• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan perekonomian saat ini memunculkan cara berfikir seseorang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan perekonomian saat ini memunculkan cara berfikir seseorang"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang

Perkembangan perekonomian saat ini memunculkan cara berfikir seseorang untuk melangkah lebih maju ke depan dengan munculnya lembaga-lembaga keuangan syariah yang tumbuh pesat di Indonesia, seperti perbankan syariah, asuransi syariah, pasar modal dengan instrumennya obligasi dan reksadana syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya. Ekonomi syariah merupakan perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah.

Tujuan manusia melakukan kegiatan usaha adalah untuk memenuhi kebutuhan pribadinya. Kegiatan usaha dapat dilakukan manusia melalui perdagangan barang atau jasa. Orang yang berdagang menjual suatu barang kepada mereka yang membutuhkannya. Sedangkan bagi mereka yang tidak berdagang dapat menawarkan jasa dari keahlian yang mereka miliki. Terkadang dalam melakukan kegiatan usaha, apa yang direncanakan oleh manusia tidak dapat berjalan dengan baik. Tidak sedikit mereka yang melakukan kegiatan usaha tidak mendapat keuntungan seperti yang mereka harapkan dan yang lebih buruk lagi mereka dapat merugi. Meruginya suatu usaha selalu berujung pada utang piutang. Biasanya suatu utang piutang disepakati dan dilaksanakan berdasarkan perjanjian.

(2)

Pada saat suatu subjek hukum baik manusia ataupun badan usaha mengadakan suatu perjanjian, terdapat salah satu aspek yang sangat penting dalam perjanjian tersebut yakni pelaksanaan perjanjian itu sendiri. Pada prinsipnya setiap perjanjian yang dibuat harus dilaksanakan dengan itikad baik. Artinya para pihak yang telah membuat suatu perjanjian harus melaksanakan hak dan kewajiban yang telah disepakati bersama dengan itikad baik didasarkan pada norma kepatutan atau sesuatu yang dirasa sesuai dengan yang patut dalam masyarakat.

Dalam praktiknya, pelaksanaan suatu perjanjian tidak selalu berjalan dengan mulus sesuai kehendak para pihak. Adakalanya pelaksanaan suatu perjanjian merupakan suatu rangkaian yang panjang dan memakan waktu yang cukup lama sehingga menyebabkan timbul adanya suatu konflik yang timbul dari pelanggaran janji dari para pihak. Seringkali konflik tersebut tidak dapat diselesaikan dan tidak menimbulkan adanya suatu perdamaian, sehingga berkembang menjadi suatu sengketa.

Timbulnya suatu sengketa tidak boleh dibiarkan berlangsung terus menerus, melainkan harus diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian sengketa. Sama seperti kepentingan hidup manusia, sengketa juga banyak ragamnya, demikian pula faktor yang menyebabkan terjadinya maupun objek yang disengketakan. Masing-masing sengketa juga memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain, sehingga adakalanya suatu sengketa tertentu hanya dapat diselesaikan melalui lembaga tertentu pula. Artinya, tidak semua jenis sengketa dapat diselesaikan melalui satu bentuk

(3)

penyelesaian sengketa atau melalui lembaga yang sama. Bentuk penyelesaian sengketa yang sangat dikenal dan sudah lama digunakan orang adalah penyelesaian sengketa melalui pengadilan.

Dinamika dan kepesatan yang terjadi di dalam kegiatan ekonomi dan bisnis saat ini telah menimbulkan implikasi terhadap lembaga pengadilan. Pengadilan yang secara konkret memiliki tugas untuk menegakkan hukum dan keadilan ketika menerima, memeriksa, serta menyelesaikan setiap sengketa yang diajukan, dianggap sebagai tempat menyelesaikan sengketa yang tidak efektif dan efisien.1

Stigma yang berkembang terhadap lembaga pengadilan tersebut telah melahirkan suatu kecenderungan tertentu pada kalangan dunia usaha dalam memilih forum penyelesaian sengketa yang menurut kriteria mereka lebih dapat dipercaya dan sesuai dengan budaya bisnis serta memiliki resiko yang relatif kecil terhadap aktivitas bisnisnya. Forum penyelesaian sengketa yang dimaksud tidak lain adalah forum arbitrase.2 Kecenderungan dalam hal memilih forum arbitrase tersebut tercermin dari maraknya pencantuman klausula arbitrase dalam berbagai bentuk kontrak bisnis baik domestik maupun internasional.

1 Adi Sulistiyono, 2002, “Mengembangkan Paradigma Penyelesaian Sengketa Non-Litigasi dalam

Rangka Pendayagunaan Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis/Hak Kekayaan Intelektual”;

Disertasi, PDIH, Semarang, hlm. 4.

(4)

Sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum, jurisdiksi arbitrase lahir berdasarkan kesepakatan sukarela dari para pihak.3 Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase. Kesepakatan atau persetujuan para pihak tersebut dituangkan dalam bentuk perjanjian yang dibuat secara tertulis yang dinamakan dengan perjanjian arbitrase. Perjanjian arbitrase dapat berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (pactum de compromittendo), atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (akta kompromis).

Kedua bentuk perjanjian arbitrase baik pactum de compromittendo maupun akta kompromis pada dasarnya memiliki tujuan serta konsekuensi hukum yang sama. Artinya, perjanjian arbitrase akan melahirkan kompetensi absolut atau wewenang mutlak forum arbitrase untuk memeriksa sengketa para pihak.4

Mengenai kewenangan mutlak forum arbitrase bukan tidak terbatas, sebab tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui forum arbitrase. Di Indonesia, sengketa yang dapat diperiksa dan diselesaikan melalui forum arbitrase sangat limitatif. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut UU Arbitrase & APS) secara eksplisit menentukan jenis sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase, yaitu hanya

3Ibid, hlm. 82.

(5)

sengketa di bidang perdagangan, sedangkan sengketa yang menurut undang-undang tidak dapat diadakan perdamaian, tidak dapat diselesaikan melalui forum arbitrase. Sengketa tersebut umumnya meliputi hukum keluarga, terutama yang berkenaan dengan status sipil dan kemampuan seseorang tentang kepailitan.5

Dalam UU Arbitrase & APS dan Peraturan Prosedur Arbitrase (selanjutnya disebut PPA) Badan Arbitrase Syariah Nasional (selanjutnya disebut Basyarnas), pihak yang mengajukan permohonan atau tuntutan hukum dalam forum arbitrase dikenal dengan sebutan pemohon, sedangkan pihak lawan dari pemohon atau pihak yang dituntut disebut dengan termohon. Sementara itu di dalam literature maupun arbitration rules, pihak-pihak yang berperkara dalam forum arbitrase disebut dengan claimant untuk pemohon dan respondent untuk termohon.

Terlepas dari perbedaan tersebut bagi pihak-pihak yang berperkara dalam forum arbitrase tersebut di atas, terdapat faktor penting menyangkut masalah kualifikasi cakap menurut hukum dari pihak-pihak dalam forum arbitrase. Mengingat forum arbitrase itu terbentuk atas dasar kesepakatan para pihak, maka sebelum menjadi claimant maupun respondent, pihak-pihak yang hendak berperkara di hadapan forum arbitrase tentu saja harus tergolong cakap untuk membuat suatu kontrak. Seseorang dianggap cakap menurut hukum untuk melakukan perbuatan

5 Yahya Harahap, “Beberapa Catatan yang Perlu Mendapat Perhatian atas UU No. 30 Tahun 1999”,

(6)

hukum apapun, maka yang bersangkutan mutatis mutandis akan tergolong cakap pula untuk menjadi pihak dalam forum arbitrase.6

Penelitian ini mengambil studi kasus PT Lintas Sarana Komunikasi (“LSK”). LSK merupakan perusahaan yang bergerak di bidang penyedia menara telekomunikasi. Perusahaan ini memiliki menara-menara telekomunikasi atau yang lebih dikenal dengan Base Transceiver System (BTS) dan menyewakannya kepada operator-operator telekomunikasi seperti PT XL Axiata, Tbk, PT Telekomunikasi Indonesia (Persero), Tbk dan PT Hutchison CP Telecommunication.

LSK digugat pailit oleh krediturnya yaitu PT Bank CIMB Niaga, Tbk (“CIMB”) karena dianggap tidak dapat melunasi utang yang timbul dari fasilitas pembiayaan berdasarkan prinsip musyarakah yang diberikan CIMB kepada LSK. Baik LSK maupun CIMB Niaga telah bersepakat bahwa segala bentuk perselisihan yang timbul dari perjanjian tersebut akan diselesaikan melalui Badan Arbitrase Syariah.

Para pihak dapat menyepakati di dalam isi perjanjian jika terjadi suatu sengketa akan diselesaikan melalui jalur litigasi ataupun non litigasi dimana hal tersebut merupakan kebebasan dari para pihak dalam perjanjian. Ada dua cara menentukan pilihan di mana sengketa akan diselesaikan berdasarkan belum atau sudah terjadinya sengketa, yaitu melalui factum de compromittendo dan acta

6 Eman Suparman, Op.Cit, hlm. 85.

(7)

compromise. Factum de compromittendo merupakan kesepakatan para pihak yang mengadakan perjanjian mengenai domisili hukum yang akan dipilih tatkala terjadi sengketa. Ketentuan ini biasa dicantumkan dalam kontrak atau akad yang merupakan klausul antisipatif. Sedangkan acta compromise adalah suatu perjanjian yang dibuat setelah terjadinya sengketa. Namun demikian, pilihan tempat penyelesaian sengketa disini lebih mengarah pada wilayah yurisdiksi pengadilan dalam suatu lingkungan peradilan, bukan pilihan terhadap peradilan di lingkungan yang berbeda.7 Maka dari itu, sudah sepatutnya CIMB sebagai pihak yang merasa dirugikan menyerahkan permasalahan ini kepada Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), bukannya membawa permasalahan ini kepada ranah kepailitan. Perlu dipertegas kembali bahwa penunjukkan badan arbitrase dalam akta perjanjian dalam menyelesaikan sengketa memuat konsekuensi bahwa klausul arbitrase tersebut berlaku dan mengikat para pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat 1 Undang Undang No. 30 Tahun 1999, sehingga pengadilan menjadi tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dengan perjanjian arbitrase.

Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kemudian menjatuhkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 07/PAILIT/2011/PN.Niaga.Jkt.Pst tertanggal 31 Maret 2011, yang memutuskan LSK dalam keadaan pailit dan menunjuk Deni Hamdani, S.H. sebagai kurator. Kepailitan merupakan suatu proses dimana seorang debitur yang mempunyai

7 Hasbi Hasan, 2010, Kompetensi Peradilan Agama Dalam Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah,

(8)

kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya.8

Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut “UU Kepailitan dan PKPU”) menyatakan bahwa pernyataan pailit adalah berdasarkan putusan pengadilan atas dasar permohonan dari kreditur atau debitur. Maksud dari pengajuan permohonan tersebut adalah sebagai pemenuhan asas publisitas dari keadaan tidak mampu membayar dari seorang debitur.9 Dengan demikian pernyataan pailit tidak dapat dideklarasikan secara sepihak oleh salah satu pihak (debitur atau kreditur).

Dari sudut sejarah hukum, undang-undang kepailitan pada mulanya bertujuan untuk melindungi para kreditur dengan memberikan jalan yang jelas dan pasti untuk menyelesaikan utang yang tidak dapat dibayar.10 Dalam perkembangannya kemudian, Undang-Undang Kepailitan juga bertujuan untuk melindungi debitur dengan memberikan cara untuk menyelesaikan utangnya tanpa membayar secara penuh, sehingga usahanya dapat bangkit kembali tanpa beban utang.

Sejarah perundang-undangan kepailitan di Indonesia telah dimulai hampir 100 tahun yang lalu yakni sejak 1906, sejak berlakunya “Verordening op het

8 Djohansah, J., “Pengadilan Niaga”, dalam Rudy Lontoh (Ed.), 2001, Penyelesaian Utang Melalui

Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, hlm. 23.

9

Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 2004, Kepailitan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 12.

10 Erman Radjagukguk, “Latar Belakang dan Ruang Lingkup Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998

(9)

Faillissement en Surceance van Betaling voor de European in Indonesia” sebagaimana dimuat dalam Staatblads 1905 No. 217 jo. Staatblads 1906 No. 348 Faillissementsverordening. Dalam tahun 1960-an, 1970-an secara relatip masih banyak perkara kepailitan yang diajukan kepada Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia, namun sejak 1980-an hampir tidak ada perkara kepailitan yang diajukan ke Pengadilan negeri.11

Tahun 1997 krisis moneter melanda Indonesia, banyak utang tidak dibayar lunas meski sudah ditagih, sehingga timbul pikiran untuk membangunkan proses kepailitan dengan cara memperbaiki perundang-undangan di bidang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang atau biasanya disingkat PKPU.

Pada tanggal 20 April 1998 pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan yang kemudian telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi Undang-Undang, yaitu Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan tanggal 9 september 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 nomor 135).

11

Kartini Muljadi, “Perubahan pada Faillissementsverordening dan Perpu No. 1 Tahun 1998 jo No. 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU Kepailitan menjadi UU”, makalah dalam seminar Perkembangan Hukum Bisnis Indonesia, Jakarta, 25 Juli 2003.

(10)

Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tersebut bukanlah mengganti peraturan kepailitan yang berlaku, yaitu Faillissements Verordening Staatsblad tahun 1905 No. 217 juncto Staatblads tahun 1906 No. 308, tetapi sekedar mengubah dan menambah.

Dengan diundangkannya Perpu No. 1 tahun 1998 tersebut, yang kemudian disahkan oleh DPR dengan mengundangkan Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tersebut, maka tiba-tiba Peraturan Kepailitan (Faillissements Verordening S. 1905 No. 217 jo S. 1906 No. 348) yang praktis sejak lama sudah tidak beroperasi lagi, menjadi hidup kembali.12 Sejak itu, pengajuan permohonan-permohonan pernyataan pailit mulai mengalir ke Pengadilan Niaga dan bermunculan berbagai putusan pengadilan mengenai perkara kepailitan.

Di dalam UU Kepailitan dan PKPU ini terdapat beberapa pokok materi baru yang tidak ada dalam Undang-undang Kepailitan sebelumnya. Hal yang sangat penting adalah diberikannya batasan yang tegas mengenai pengertian utang. Pemberian batasan yang tegas ini mendesak untuk dilakukan supaya dapat dihindari timbulnya berbagai penafsiran. Apa yang dimaksud dengan Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang

12

Sutan Remy Sjahdeni, 2002, Hukum Kepailitan, Memahami Faillissementsverordening juncto Undang-undang No. 4 Tahun 1998, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, hlm. ix.

(11)

dan yang wajib dipenuhi oleh Debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitur.13

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar berlakang di atas, maka permasalahan yang dapat dikemukakan dalam penelitian ini adalah bagaimana kompetensi Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk mengadili dan menyelesaikan perkara kepailitan yang timbul dari sengketa perbankan syariah ditinjau dari sisi yuridis dan empiris?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dengan dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui kompetensi Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk mengadili dan menyelesaikan perkara kepailitan yang timbul dari sengketa perbankan syariah ditinjau dari sisi yuridis dan empiris.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat memberikan manfaat berupa kontribusi bagi ilmu hukum dalam hal teoritis dan pelaksanaannya pada dunia perbankan syariah. Penulis berharap bahwa dengan adanya penelitian ini, dapat

13

Pasal 1 angka 6 Undang-undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

(12)

diketahui kompetensi dari Pengadilan Niaga dalam mengadili dan menyelesaikan perkara kepailitan yang timbul dari sengketa perbankan syariah ditinjau dari sisi yuridis dan empiris dikaitkan dengan kasus yang menimpa LSK. Penulis juga ingin mengetahui bagaimana kompentensi dari BASYARNAS dan Pengadilan Agama sebagai lembaga-lembaga penyelesaian sengketa syariah dalam menyelesaikan perkara kepailitan yang timbul dari sengketa perbankan syariah dikaitkan dengan kasus yang menimpa LSK.

E. Keaslian Penelitian

Penulis menyadari bahwa sebelumnya telah banyak penelitian di bidang hukum kepailitan. Endang Wahyu Utami, SH pernah menyusun suatu tesis yang berjudul “Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Memeriksa Dan Memutus Perkara Permohonan Pernyataan Pailit Kaitannya Klausul Arbitrase” sebagai syarat untuk memenuhi kelulusan dalam Program Magister Ilmu Hukum pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro tahun 2004. Dalam penelitian tersebut, Endang Wahyu Utami, SH membahas mengenai kewenangan Pengadilan Niaga dalam mengadili suatu perkara kepailitan dimana dalam perjanjian awal telah disepakati bahwa para pihak akan menyelesaikan sengketa melalui arbitrase. Penulis melihat terdapat perbedaan antara tesis tersebut dengan tesis yang saat ini disusun oleh Penulis. Dalam tesis ini penulis ingin memfokuskan penelitian sehubungan dengan kewenangan Pengadilan Niaga dalam mengadili dan menyelesaikan kasus kepailitan terhadap suatu perkara memiliki perjanjian dengan prinsip syariah dari sisi

(13)

yuridis maupun empiris. Walaupun terdapat persamaan dan perbedaan, tetapi penulis berkeyakinan bahwa penelitian yang dilakukan oleh Endang Wahyu Utami, SH sebagaimana yang diuraikan diatas, mendukung mengenai hal yang akan dibahas oleh penulis dalam tesis ini. Sudah sepatutnya sebagai umat Islam dan sebagai warga negara yang taat hukum untuk mentaati perjanjian yang telah dibuatnya dan untuk menyelesaikan sengketa syariah sesuai dengan syariat Islam pula.

Referensi

Dokumen terkait

Berat Segar Umbi Tanaman Ubi Kayu Berat segar umbi tanaman ubi kayu pada Tabel 4 menunjukkan bahwa tanaman ubi kayu terjadi interaksi antara pelakuan waktu tanam dan jumlah bibit

[r]

[r]

[r]

Surat Keterangan Lunas SPP Dari Biro Administrasi Umum & Keuangan (BAUK) - Untirta2. Transkrip Hasil Studi

[r]

Berdasarkan hal-hal tersebut dan memperhatikan aspirasi masyarakat yang mulai berkembang sejak tahun 1954 dan selanjutnya secara formal tertuang dalam Keputusan Dewan Perwakilan

Pengaruh Perlakuan Terhadap Daya Tetas Secara rinci daya tetas telur itik dengan fumigasi asap cair tempurung kelapa tertinggi 66,67 persen dihasilkan dari telur