• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika Sosial Dua Komunitas yang Memiliki Hubungan Gandong Pasca Konflik Maluku di Pulau Saparua

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Dinamika Sosial Dua Komunitas yang Memiliki Hubungan Gandong Pasca Konflik Maluku di Pulau Saparua"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

Bab Sembilan

Dinamika Sosial Dua Komunitas

yang Memiliki Hubungan Gandong

Pasca Konflik Maluku di

Pulau Saparua

Pengantar

Untuk menepis sinyalemen dan pernyataan banyak kalangan tentang hubungan “pela dan gandong sekedar sebagai simbol permuka-an”, yang dinilai tidak mampu mencegah konflik yang terjadi antar komunitas sejak tahun 1999.

Pernyataan PM Laksono yang melakukan penelitian di Maluku untuk disertasi doktornya mengatakan bahwa, hubungan pela di Maluku hanya bersifat bilateral dan tidak menyeluruh. Belum lagi bila dihubungkan dengan masyarakat asal luar daerah yang tidak terikat secara kultural dengan hubungan semacam itu [Kompas, Minggu 31 Januari 1999].

Pernyataan seperti ini tentu ada benarnya, tetapi juga ada tidak benarnya. Untuk memberikan kesimpulan seperti itu peneliti tentu harus melakukan penelitian secara mendalam untuk memahami sejarah dan proses terbentuknya pranata sosial pela dan gandong yang mengikat warga kedua komunitas. Bagi seorang peneliti dari luar Ambon, jika melihat penampakan-penampakan yang hanya muncul di permukaan saja, tentu ia akan terjebak untuk merumuskan kesim-pulan-kesimpulan yang keliru tentang realitas kehidupan masyarakat.

(2)

Diakui sungguh bahwa, kedua pranata sosial tersebut mengalami pelemahan akibat intervensi berbagai kebijakan publik selama Orde Baru, dan di masa Orde Reformasi, simbol itu digunakan oleh para elit politik mengelola kepentingan pemerintahan [Kompas, Minggu 31 Januari 1999].

Untuk memperoleh pengetahuan secara utuh dan menyeluruh tentang proses reintegrasi sosial pasca konflik, berikut ini akan diberi-kan gambaran tentang struktur dan sistem sosial yang sedang muncul di pulau Saparua. Interaksi sosial antar indivud, intra komunitas dan antar komunitas yang terjadi dalam ruang-ruang sosial, merupakan temuan menarik untuk menggambarkan realitas tersebut. Di samping itu, kesadaran sebagai satu gandong dan praktek untuk mempertegas-kan kembali hubungan gandong antar kedua komunitas, juga amempertegas-kan diberikan gambaran.

Kehidupan Sehari-hari

• Pasar

Seluruh upaya warga masyarakat untuk memperoleh barang-barang kebutuhan pokok demi menunjang kelangsungan hidup mere-ka, pasar yang ada di ibukota Kecamatan [Saparua] merupakan tempat transaksi [antara penjual dan pembeli] yang ramai dikunjungi orang baik dari pulau Saparua, maupun yang datang dari pulau Nusalaut serta sebagian warga masyarakat dari pulau Haruku dan dari pulau Seram [Seram Bagian Barat].

Ada tradisi yang sudah melembaga dalam kehidupan masyarakat untuk menentukan seluruh aktivitas pasar tersebut selama seminggu, yakni pada hari Senin, Selasa, Kamis, dan Jumat aktivitas di pasar berlangsung biasa-biasa saja dan relatif hanya dikunjungi oleh warga masyarakat di pulau Saparua. Sedangkan pada hari Rabu dan Sabtu, adalah hari-hari yang paling ramai dikunjungi oleh masyarakat baik dari pulau Saparua sendiri maupun yang datang dari pulau Nusalaut dan sebagian warga masyarakat yang datang dari pulau Haruku.

(3)

Mereka datang1

Aktivitas pasar ‘pulu’, pasar ‘kajadiang’ dan pasar ‘kunci taong’ merupakan tradisi yang sudah melembaga dalam kehidupan masyarakat di ketiga pulau tersebut karena sudah berlangsung kurang lebih enam puluh tahun lalu. Masyarakat yang datang dari pulau Nusalaut, sebagian dari pulau Haruku, dan bahkan juga ada yang datang dari Negeri Tihulale dan negeri Latu Hualoi di pulau Seram. Selesai menjual hasil kebun, mereka membelanjakan berbagai barang kebutuhan pokok, dan dengan menggunakan kapal-motor yang ditumpangi kemudian kembali ke kampung halaman mereka. Adakalanya kesempatan datang ke pasar juga dimanfaatkan untuk bersilaturahmi dengan saudara mereka yang tinggal di pulau Saparua.

tidak semata-mata bertujuan untuk membelanjakan barang-barang kebutuhan pokok sehari-hari [seperti misalnya sabun cuci, gula pasir, minyak tanah, teh, kopi, dan sebagainya], tetapi juga membawakan hasil kebun mereka untuk dijual di pasar. Pasar yang berlangsung pada hari Rabu dan Sabtu disebut ‘pasar pulu’ [pasar pulau]. Tidak itu saja, namun pada tanggal 24 dan tanggal 31 desember setiap tahun berjalan, juga merupakan hari-hari yang sangat ramai dikunjungi masyarakat dari ketiga pulau tersebut. Aktivitas pasar yang terjadi pada tanggal 24 desember disebut ‘pasar kajadiang’, sedangkan yang berlangsung pada tanggal 31 desember disebut ‘pasar kunci taong’.

2

Sebelum tahun 1999, warga masyarakat Salam dan Sarane baik dari ketiga pulau tersebut maupun sebagian kecil dari pulau Seram biasanya datang dengan berbagai kepentingan dan bertemu di pasar

Dibandingkan dengan hari-hari biasanya, jenis barang yang dijual pada saat ‘pasar pulu’, ‘pasar kajadiang’ dan ‘pasar kunci taong’ relatif sangat bervariasi. Aktivitas di pasar pada hari-hari biasa, hanya berlangsung beberapa jam saja [pukul 07.00 pagi hingga pukul 11 siang WIT] sedangkan pada pasar pulu, pasar kajadiang dan pada pasar kunci taong, aktivitas berlangsung lebih lama [dari pukul 07.00 pagi hingga pukul 14.00 siang WIT]”.

1 Masyarakat dari pulau Nusalaut dan sebagian dari pulau Haruku, mereka datang dengan menggunakan perahu-motor.

2 Wawancara dengan Jantje Hursepunny, Nelayan, dari negeri Ameth [pulau Nusalaut] dan Jois Siahaya, Ibu Rumah Tangga, dari negeri Hulaliu [pulau Haruku] serta Eli Pattiwael, pegawai kantor Klasis Saparua [pulau Saparua) yang dijumpai di pasar ‘pulu’, pada hari Rabu, tanggal 22 September 2010.

(4)

sehingga interaksi yang tercipta tampak sangat harmonis tanpa mem-persoalkan perbedaan yang ada di antara mereka. Namun pada saat terjadi konflik Maluku dan melanda pulau Saparua tahun 1999, aktivitas di pasar tampak hanya dipadati oleh masyarakat Sarane yang datang dari ketiga pulau tersebut. Sekalipun tidak ada larangan untuk berbelanja di pasar, basudara Salam tidak memberanikan diri datang ke pasar. Pada saat eskalasi konflik di pulau Saparua mulai menurun [tahun 2002], dengan menggunakan jasa pengawalan aparat TNI (AD) sejumlah Ibu Rumah Tangga dari negeri Sirisori Salam datang berbe-lanja ke pasar yang letaknya di pusat kota kecamatan Saparua. Dalam perjalanan yang harus meliwati pemukiman penduduk Sarane, mereka tidak pernah diganggu. Pada saat berjumpa di pasar dengan salah seorang warga komunitas Islam dari negeri Sirisori Salam ketika sedang berbelanja, menuturkan bahwa:

...jasa pengawalan aparat TNI yang biasa digunakan relatif mahal sehingga cukup memberatkan mereka dari segi keuangan. Kami percaya bahwa basudara Sarane [Kristen] sangat menge-tahui secara pasti situasi yang pernah kita alami secara bersama-sama, karena itu kami sangat yakin basudara Sarane tidak akan mengganggu kami. Sejak akhir tahun 2003, kami tidak lagi menggunakan jasa pengawalan aparat TNI, namun dengan penuh rasa percaya diri kami memberanikan diri untuk sendiri pergi berbelanja ke pasar3

Setelah kondisi keamanan di pulau Saparua mulai kondusif [tahun 2004] dan hingga kini, aktivitas jual-beli di pasar berlangsung sangat intensif. Warga masyarakat kedua komunitas terlibat dalam proses interaksi yang tampak sangat harmonis sehingga sulit bagi kita

.

4

3 Hasil wawancara dengan Jen Holle [salah seorang Ibu Rumahtangga] dari negeri Sirisasi Salam yang dijumpai di pasar Saparua, pada tanggal 24 September 2010

4 Terutama ‘bagi orang luar’ yang baru pertama kali datang ke pasar.

untuk dapat membedakan secara tepat mana yang Salam dan mana yang Sarane. Dalam percakapan di pasar misalnya, mereka mengguna-kan bahasa melayu Ambon yang sangat lancar. Jika dicermati secara saksama, perbedaan itu hanya dapat diketahui dari dialek pada saat warga kedua komunitas terlibat dalam berbagai percakapan.

(5)

Ativitas Jual-Beli yang berlangsung di Pasar Saparua

Bagi orang luar yang baru pertama kali datang ke Saparua dan mengunjungi pasar, tentu sangat sulit untuk membayangkan bagaima-na dibagaima-namika interaksi yang terjadi antar warga kedua komunitas. Yang dapat dikatakan adalah bahwa interaksi timbal-balik yang terjalin saat itu merupakan suatu konstruksi sosial, dengan asumsi bahwa kejadian itu benar-benar merupakan suatu realitas sosial.

Beberapa pertanyaan penting yang perlu dikemukakan dalam kaitan dengan realitas sosial yang muncul tersebut adalah, apa yang melatarbelakangi pemikiran sehingga mereka dapat berbaur antara satu dengan yang lainnya?; apakah masih ada perasaan saling curiga yang munmcul ketika mereka terlibat dalam proses-proses sosial di pasar saat itu? Pertanyaan seperti ini tentu sangat sulit untuk dijawab secara tepat jika tidak didukung dengan data lapang yang akurat. Berikut ini akan diberikan catatan lapangan yang menyangkut dengan hal tersebut.

Dari hasil penelusuran sejarah, diketahui bahwa antara komu-nitas Kristen dan Islam [khususnya masyarakat dari beberapa negeri] di Saparua memiliki hubungan kekerabatan yang terwujud dalam bentuk ‘ikatan pela’. Dapat diketahui secara pasti bahwa orang Ouw [Kristen] dan orang Sirisori [Islam-Kristen] memiliki hubungan ‘pela’. Kemu-dian, antara orang Sirisori [Islam] dengan orang Haria [Kristen], ternyata memiliki hubungan ‘pela keras’ atau ‘pela dara’, yang sudah terjalin sejak para leluhur. Karena itu, interaksi yang terjadi dalam

(6)

berbagai konteks hubungan sosial antar warga kedua komunitas yang memiliki hubungan ‘pela’ seperti ini tentu memperlihatkan suatu hubungan yang sangat akrab, karena pada saat terlibat dalam berbagai percakapan secara timbal-balik, mereka saling menyapa dengan menyebut ‘ela’ secara bergantian antara satu dengan yang lain.

Bagi mereka, sebutan seperti itu memiliki makna yang sangat dalam yang menggambarkan adanya ‘kedekatan’ hubungan antara mereka satu dengan yang lainnya. Karena itu, pada saat berbicara, mereka tidak boleh ‘parlente’ [berbohong], harus saling terbuka untuk menerima satu dengan yang lain, sebab jika tidak, mereka akan menda-pat sanksi berupa ‘kutukan’ dari arwah para leluhur. Kutukan tersebut biasanya terwujud dalam bentuk ‘musibah’ yang menimpa mereka yang dengan sengaja melakukan pelanggaran.5

• Sarana Angkutan Umum

Terlepas dari apakah musibah yang menimpa seseorang tersebut benar-benar merupakan ‘sanksi’ dari para leluhur atau tidak, yang menarik perhatian di sini adalah mereka percaya bahwa musibah yang dialaminya merupakan ‘sanksi’ yang telah diberikan oleh arwah leluhur kepadanya. Cara warga kedua komunitas memahami sanksi tersebut, ditentukan oleh suatu pengalaman yang pernah dialami mereka, yang selalu diperhati-kan pada saat berinteraksi dengan sesama ‘saudara pela’ dalam berbagai konteks hubungan sosial. Sebagaimana dinyatakan oleh MS, 57 tahun, Islam, bahwa, kami hanya bisa menyerahkan kepada ‘hukum adat’ saja apabila ‘pela’ tidak jujur terhadap saudara pelanya.

Sarana angkutan umum merupakan salah satu fasilitas penting yang biasanya dimanfaatkan oleh anggota masyarakat dalam membuat perjalanan baik dalam suatu pulau tertentu, maupun antar pulau untuk berbagai kepentingan. Sebelum konflik Maluku malanda masyarakat di pulau Saparua, mobil angkutan umum dan motor laut merupakan sara-na transportasi penting yang dimanfaatkan oleh anggota masyarakat

5 Hasil wawancara dipasar dengan Mr.S [39 thn, Kristen] Ibu Rumahtangga dari negeri Ouw, Ad.S [42 thn, Islam] Ibu Rumahtangga dari negeri Sirisori Salam, dan Ok.M [49 thn, Kristen] seorang penjual ikan dari negeri Haria.

(7)

dari berbagai komunitas untuk bepergian baik di dalam pulau Saparua, maupun dari Saparua ke pulau Ambon. Namun pada saat konflik me-landa Saparua, fasilitas angkutan umum tersebut hanya dimanfaatkan oleh komunitas sarane sedangkan komunitas salam lebih memilih untuk memanfaatkan speed boat yang didatangkan dari negeri Tulehu [di pulau Ambon] untuk melayani mereka bepergian baik ke kota Masohi [di pulau Seram] maupun ke pulau Ambon untuk berbagai keperluan.

Setelah kondisi keamanan di pulau Saparua mulai kondusif, yang ditandai dengan mulai lancarnya mobil angkutan umum untuk mela-yani penumpang pulang pergi [PP] dari negeri Ullath dan Ouw ke kota kecamatan Saparua, tanpa ada keragu-raguan sedikitpun warga komu-nitas salam [khususnya dari Sirisori Salam] memberanikan diri meman-faatkan fasilitas tersebut untuk pergi berbelanja ke pasar.

Pada saat itu, sama sekali mereka tidak ragu memilih mobil6

Pada saat naik ke dalam mobil, mereka duduk membaur dan tidak ada yang duduk memisahkan diri dari yang lainnya, mereka [warga masyarakat kedua komunitas] saling menyapa dan saling merangkul antara satu dengan yang lain. Mereka mulai berceritera tentang berbagai kesulitan untuk memperoleh kebutuhan hidup sehari-hari dan sebagainya

untuk ditumpangi. Hingga bulan September tahun 2010, tidak ada rasa saling curiga antara satu dengan yang lainnya, karena itu jika ada keperluan mendesak di kota Saparua atau di Ambon, tanpa ragu-ragu mereka dapat tumpangi setiap mobil angkutan umum yang melintasi negeri Sirisori Salam untuk pergi ke Saparua kemudian melanjutkan perjalanan dengan menunpang mobil angkutan umum lainnya menuju pelabuhan motor laut di negeri Haria, kemudian dapat melanjutkan perjalanan mereka dengan kapal cepat ke pelabuhan Tulehu di pulau Ambon.

7

6 Ada mobil angkutan umum milik warga Sirisori Salam yang biasanya dimanfaatkan untuk berbagai keperluan di kota Kecamatan Saparua, namun jika ada keperluan men-desak mereka dapat memanfaatkan mobil angkutan umum lain yang melayani penum-pang Ullath dan Ouw.

7 Hasil wawancara dengan Bapak Jan Pical [Sopir Angkot], September 2010.

(8)

mereka satu dengan yang lain, karena itu percakapan-percakapan yang terjadi di dalam mobil seolah-olah memperlihatkan tidak pernah ter-jadi sesuatu di antara mereka.

Realitas ini tentu saja dapat terjadi karena mereka sudah sangat saling mengenal antara satu dengan yang lainnya. Sudah berpuluh-puluh tahun, bahkan beratus-ratus tahun para leluhur mereka hidup berdampingan karena letak negeri mereka saling berdekatan [berte-tangga], serta mereka pernah miliki pengalaman yang sama dalam berbagai konteks hubungan sosial. Konflik Maluku yang melanda pulau Saparua tahun 1999 saja yang memisahkan mereka satu dengan yang lainnya. Informan yang dijumpai menuturkan bahwa:

Sekarang ini sudah tidak ada batas[jarak] lagi di antara katong8

[salam dan sarane]. Pengalaman konflik yang sama-sama katong hadapi merupakan pelajaran berharga par [untuk] katong samua. Katong hidop [hidup] sudah susah, jang biking akang lebih susah lai. Sampe jua, katong pung anak-anak mau sekolah dengan baik9. Katong bakalai jua seng ada untung, biking katong

hidop [hidup] lebih sengsara. Orang luar tertawa katong, karena abis bakalai dorang [mereka] pulang, tetapi katong kalau baku-dapa [bertemu] laeng putar muka dari laeng.10

Hal ini tidak berbeda dengan realitas yang terjadi pada saat warga kedua komunitas sama-sama menggunakan kapal-motor laut dari pelabuhan Haria menuju ke pelabuhan Tulehu di pulau Ambon

11

8 Dialek melayu Ambon yang menunjukkan ‘kita

9 Hasil wawancara dengan A P [Ibu rumahtangga dari negeri Sirisori Salam], tanggal 27 September 2010.

10 Hasil wawancara dengan Merry Sahetapy (Ibu rumahtangga dari negeri Ouw], tanggal 27 September 2010.

11 Waktu yang dibutuhkan dalam perjalanan dari pelabuhan Haria ke pelabuhan Tulehu dengan menggunakan kapal Cepat, kurang lebih 50-60 menit.

. Pada saat naik ke atas kapal, mereka [para penumpang dari kedua komu-nitas] tidak memilih tempat duduk secara terpisah. Mereka duduk membaur sehingga agak sulit untuk membedakan mereka satu dengan yang lainnya. Selama dalam perjalanan, mereka terlibat dalam perca-kapan-percakapan yang sangat intensif. Tema-tema percakapan cende-rung lebih banyak menyangkut dengan berbagai kesulitan yang mereka

(9)

hadapi dalam realitas kehidupan sehari-hari. Menurut beberapa orang informan, kondisi ini umumnya dilatarbelakangi oleh keinginan masing-masing orang [penumpang] untuk mendapatkan kebebasan dalam mendiskusikan berbagai persoalan hidup yang dihadapi. Saling bertegur sapa dan kadang-kadang mengobrol di tempat duduk [di atas kapal-motor], mewarnai pola interaksi warga kedua komunitas selama dalam perjalanan.

Meskipun saat ini tersedia sarana transportasi laut yang lain [KM Ferry] milik PT ASDP cabang Ambon yang menyinggahi dermaga Ferry di bagian selatan pulau Saparua [tepatnya di negeri Kulur, pemu-kiman Salam], di mana dua hingga tiga kali dalam seminggu biasanya mengangkut penumpang dari Saparua ke Tulehu, namun warga masya-rakat Sirisori Salam cenderung lebih suka memilih untuk bepergian ke Ambon melalui pelabuhan Haria.

Pada saat pergi dengan menggunakan kenderaan sendiri, mereka baru menggunakan sarana transportasi tersebut. Jika mereka memerlu-kan waktu lebih cepat untuk tiba di Ambon, maka ‘speed boad atau kapal cepat’12

Sekarang ini kalau mau datang ke Haria siang atau malam beta [saya] datang saja, beta tidak takut, beta percaya basudara Sarane seng akan biking susah beta. Samua [seluruh] warga masyarakat negeri Haria ini beta pung ‘pela’, lihat beta dari jauh lagi dong [mereka] sudah sapa beta ‘ela’. Kalau mau ke Ambon, beta mau naik speed boad atau kapal-motor tergantung beta punya suka, tapi kalau beta perlu [butuh] cepat, biasanya beta naik speed boad.

yang mengangkut penumpang di pelabuhan Haria biasa-nya digunakan tanpa mempersoalkan perbedaan yang ada di antara mereka. Dalam situasi seperti ini, maka sebagai konsekuensi logis dari keberadaan dermaga kapal-motor penumpang di negeri Haria, negeri ini kemudian menjadi tempat pertemuan warga dari kedua komunitas. Intensitas pertemuan warga kedua komunitas semakin tinggi, sejak situasi keamanan mulai kondusif hingga saat ini.

13

12 Waktu yang dibutuhkan dalam perjalanan dari pelabuhan Haria ke pelabuhan Tulehu dengan menggunakan speed boad, kurang lebih 45 menit.

13 Hasil wawancara dengan Jenna [salah satu Ibu Rumahtangga dari Sirisori Salam] penumpang Speed Boad dari Haria ke Tulehu, tanggal 2 Oktober 2010.

(10)

Pengamatan langsung pada saat penulis menggunakan jasa ang-kutan penyeberangan KM Ferry untuk kembali ke Ambon [pertengah-an Oktober 2010] menunjukk[pertengah-an bahwa, jadwal tetap keber[pertengah-angkat[pertengah-an sarana angkutan tersebut dari dermaga penyeberangan di negeri Kulur biasanya pada sore hari [jam 15.00 WIT] dan diperlukan waktu 3 jam perjalanan baru tiba di dermaga penyeberangan Tulehu. Selain diman-faatkan oleh warga masyarakat kedua komunitas {yang beraktivitas sebagai ‘pedagang antar pulau’ biasanya setiap saat memanfaatkan jasa angkutan ini untuk membawakan barang-barang dagangan mereka [seperti, umbi-umbian, pisang, kelapa, dll] untuk kemudian dijual di pasar Passo atau pasar di kota Ambon}, juga para pedagang ‘cina’ di kota Saparua biasanya memanfaatkan sarana angkutan ini mengangkut kenderaan [mobil truk] mereka untuk mengambil barang-barang dagangan di kota Ambon. Kenyataan seperti ini tentu sangat sulit di-bayangkan, jika ada keperluan mendesak dari warga masyarakat kedua komunitas yang dapat diselesaikan di Ambon, kemudian harus kembali pada hari itu juga. Karena itu, tidak ada pilihan bagi mereka untuk menggunakan sarana angkutan lain yang tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama dalam perjalanan. Lagi pula, jadwal tetap dari jasa angkutan Kapal Cepat dalam sehari biasanya jam 07.00 WIT, berangkat dari pelabuhan Haria menuju pelabuhan Tulehu, kemudian pada jam 14.00 WIT berangkat dari pelabuhan Tulehu kembali ke pelabuhan Haria.

(11)

KM Ferry milik PT ASDP cabang Ambon, yang melayari rute Tulehu, Kailolo, Kulur dan Latu, p.p., tiga kali dalam seminggu

Sedangkan sarana angkutan Speed Boad, setiap jam melayani penumpang dari pelabuhan Haria ke pelabuhan Tulehu pulang-pergi, dan mereka baru berhenti pada pukul 18.00 WIT. Tidak tertutup kemungkinan, apabila sudah meliwati batas waktu tersebut namun jika ada warga masyarakat kedua komunitas yang membutuhkan sarana angkutan tersebut untuk ‘dicarter’, dengan senang hati akan dilayani tergantung pada kesepakatan dari mereka tentang uang sewa atau bayaran.

(12)

Menurut informan14

Menurut salah satu informan ‘MS’ [57 tahun, Islam] bahwa, saat itu mereka tidak dikunjungi oleh ‘saudara gandong’ dari Sirisori Sarane , kepercayaan warga komunitas Islam untuk menggunakan speed-boad maupun kapal motor dari pelabuhan Haria ke pelabuhan Tulehu, dilihat sebagai tanggung jawab kemanusiaan yang harus dilaksanakan secara baik. Dalam hal ini, tidak ada perlaku-an yperlaku-ang berbeda, tetapi seluruh penumpperlaku-ang diperlakukperlaku-an sama.

Praktik Memperkuat Hubungan Gandong

Bagi warga masyarakat yang tinggal di daerah perdesaan, peraya-an hari-hari besar keagamaperaya-an yperaya-ang dirayakperaya-an merupakperaya-an salah satu moment penting bagi mereka untuk mempertegaskan kembali sturktur kekerabatan yang terjalin di antara mereka. Apalagi, bagi masyarakat yang sudah berpuluh bahkan beratus tahun menempati pemukiman secara berdekatan antara satu dengan yang lainnya. Bagi warga masya-rakat kedua komunitas yang diteliti, aktivitas saling mengunjungi untuk bersilahturahmi pada saat hari-hari besar keagamaan [Natal dan Lebaran] dirayakan sudah berlangsung sejak lama [dari para pendahulu mereka], hanya terhenti ketika konflik sosial melanda mereka pada tahun 1999. Namun, ketika situasi keamanan di pulau Saparua mulai kondusif, aktivitas tersebut kembali berlangsung.

Ketika konflik Maluku mulai terjadi di kota Ambon tanggal 19 Januari tahun 1999, saat itu bertepatan dengan perayaan Idul Fitri yang dilaksanakan oleh komunitas Islam di negeri Siri Sori Salam. Pada saat itu, sejumlah warga dari komunitas Kristen di Sirisori Sarane sementara berada di dalam pemukiman komunitas Islam untuk bersilahturahmi dengan sesama saudara yang sedang merayakan hari raya Idul Fitri. Sekalipun demikian, aktivitas saling mengunjungi untuk memberikan ‘ucapan selamat’ tetap berlangsung hingga sore hari dalam situasi yang aman dan terkendali. Menjelang malam, warga masyarakat dari komu-nitas Kristen diantar ke wilayah perbatasan oleh sejumlah warga dari komunitas Islam dari negeri Sirisori Salam.

(13)

saja, tetapi beberapa orang saudara ‘pela’ dari negeri ‘Ouw’ [Kristen] dan dari negeri ‘Haria’ [Kristen] juga datang memberikan ucapan selamat kepada kami. Kemudian pada saat basudara kami yang ‘sarane’ [Kristen] merayakan ‘Hari Natal’, giliran kami yang pergi mengunjungi untuk memberikan ‘ucapan selamat’ kepada mereka.

Aktivitas saling mengunjungi seperti ini sudah berlangsung sejak lama, tanpa ada gangguan sedikit-pun. Pengakuan ‘MS’ tersebut di atas senada dengan pernyataan dari dua orang informan lainnya, yakni ‘AP’ [47 tahun, Kristen] dari negeri ‘Ouw’ dan ‘SM’ [55 tahun, Kristen] dari negeri Sirisori Sarani ketika ditemui di tempat terpisah. Menurut mereka, bukan kali ini saja mereka baru saling mengunjungi untuk memberikan ‘ucapan selamat’, tetapi kegiatan ini sudah berlangsung dari ‘orang tua-tua’ mereka sejak dahulu. Mereka mengisahkan bahwa satu atau dua hari menjelang dirayakan hari-hari raya besar keagamaan pada masa lalu, orang tua-tua mereka [khususnya yang memiliki marga yang sama, sekalipun berbeda agama yang dianut] sudah mengantarkan bahan makanan berupa ‘hasil kebun’ kepada saudara mereka yang akan merayakan ‘Natal atau Lebaran’.

Kegiatan saling mengunjungi untuk bersilaturahmi antar kedua komunitas pada saat perayaan hari-hari besar keagamaan dirayakan baru saja berhenti, ketika konflik sosial melanda pulau Saparua. Diakui secara polos oleh para informan bahwa sebenarnya “ada kerinduan untuk saling mengunjungi”, namun situasi keamanan pada saat itu [saat konflik] tidak memungkinkan, serta kehadiran ‘orang luar’ [dalam jumlah relatif banyak] yang tidak mengetahui relasi-relasi sosial yang telah terbangun sejak lama di antara warga kedua komunitas di pulau Saparua.

Setelah kondisi keamanan benar-benar telah pulih, tradisi saling mengunjungi untuk bersilaturahmi antar warga kedua komunitas pada saat perayaan hari-hari besar keagamaan dirayakan mulai terjalin kem-bali. Tanpa diundang sekalipun namun pada saat Hari Natal dan Idul Fitri dirayakan, mereka masing-masing mengetahui dengan pasti, siapa yang harus mereka kunjungi. Perjumpaan timbal-balik yang terjadi pada saat Hari Natal dan Idul Fitri dirayakan, merupakan perjumpaan

(14)

untuk saling melepas ‘kerinduan’ karena mereka dipisahkan beberapa tahun selama konflik berlangsung.

Sambil berjabat tangan dan saling merangkul antara satu dengan yang lain dan memberikan ‘ucapan selamat’, merupakan ungkapan yang sangat dalam dari warga kedua komunitas. Mereka mulai saling ‘berceritera’ tentang pengalaman yang dialami selama konflik berlang-sung, serta tema-tema ceritera lain yang berhubungan dengan berbagai kesulitan yang mereka hadapi dalam realitas kehidupan sehari-hari.

Memaknai realitas sosial yang berkembang saat ini, MS, 57 tahun, Islam menyatakan bahwa, hubungan sosial antar kedua komu-nitas yang terjalin saat ini jauh lebih baik dibanding dengan beberapa tahun sebelum konflik melanda mereka. Dikatakan selanjutnya bahwa, hidup kami [warga kedua komunitas] terasa tidak lengkap apabila kami tidak saling mengunjungi untuk bersilaturahmi ketika hari-hari besar keagamaan dirayakan. Hal tersebut disebabkan karena, tradisi untuk saling mengunjungi antara satu dengan yang lain sudah berlangsung sejak lama, dari para leluhur mereka.

Relasi sosial antar warga kedua komunitas di pulau Saparua, semata-mata tidak hanya terjalin ketika hari-hari besar keagamaan di rayakan saja, tetapi terwujud pula dalam berbagai aktivitas kesaharian yang dilaksanakan oleh mereka. Beberapa kasus yang dijumpai dalam daur kehidupan mereka dapat dikemukakan pada bagian ini untuk bisa digunakan dalam rangka memahami seberapa jauh dinamika interaksi yang terjadi dalam kehidupan warga kedua komunitas.

Pertama. Pada acara ‘baptisan’ yang akan dilakukan terhadap salah seorang anak dari keluarga Saimima [Kristen] di Negeri Sirisori Sarani, seminggu sebelumnya orang tua dari anak tersebut telah pergi memberitahukan sekaligus mengundang keluarga besar Saimima [Islam] di negeri Sirisori Salam untuk menghadiri sekaligus merayakan acara tersebut. Informasi yang diperoleh dari informan Tj. S 49 tahun [orang tua dari anak yang dibaptis] bahwa, keluarga besar Saimima yang diundang, mereka datang dan secara bersama-sama merayakan acara tersebut. Demikian pula sebaliknya, pada acara ‘sunatan’ yang pernah dilakukan terhadap salah seorang anak dari keluarga

(15)

‘Sopamena’ [Islam] di Sirisori Salam, orang yang pertama kali diberi-tahu sekaligus diundang untuk ikut bersama-sama merayakan acara tersebut adalah keluarga besar ‘Sopamena [Kristen] dari Sirisori Sarani, kemudian baru mereka mengundang para tetangga yang tinggal secara berdekatan untuk menghadiri acara tersebut dengan mereka.

Kedua. Ketika salah seorang anggota keluarga dari marga Sopaheluwakan15 [Islam] meninggal dunia di Sirisori Salam, anaknya16

Sekembalinya dari lokasi pemakaman, mereka juga mengikuti acara ‘tahlilan’ yang dilakukan pada malam hari, sekalipun mereka tidak bertahan hingga selesai. Ketika dilakukan konfirmasi dengan ‘YS’ 54 tahun [Kristen] salah seorang dari keluarga Sopaheluwakan di Sirisori Sarani yang mengikuti proses pemakaman hingga selesai saat itu, mengatakan bahwa yang meninggal itu adalah ‘salah satu orang tua kita’. Dari silsilah keluarga, kami [keluarga Sopaheluwakan di Sirisori Salam maupun di Sirisori Sarani] berasal dari satu ‘moyang’, hanya yang satu menganut agama Islam dan yang lain menganut agama pertama-tama pergi menghubungi salah satu dari keluarga besar Sopaheluwakan [Kristen] di Sirisori Sarani untuk memberitahukan mereka tentang kejadian tersebut.

Beberapa saat ketika berita duka tersebut didengar oleh semua keluarga besar Sopaheluwakan di negeri Sirisori Sarani, mereka mengumpulkan hasil kebun berupa pisang, dan umbi-umbian yang masih ada di rumah mereka saat itu, kemudian pergi menuju ke rumah duka sekaligus membawa hasil kebun tersebut dan menyerahkannya kepada keluarga yang sedang berduka. Pada saat jenazah almarhumah dibawa ke ‘mesjid’ sebelum disemayamkan, keluarga Sopaheluwakan, khususnya laki-laki [Kristen] ikut serta mengantar jenazah tersebut hingga selesai dilakukan pemakaman di lokasi pekuburan.

15 Yang meninggal dunia tersebut adalah seorang Ibu, yang sudah berusia 80 tahun lebih.

16 Hasil wawancara, September 2010 dengan ‘S’ 57 tahun [Islam] utusan dari keluarga Sopaheluwakan yang pergi memberitahu berita kedukaan tersebut kepada keluarga besar Sopaheluwakan [Kristen] di negeri Sirisori Sarani.

(16)

Kristen. Kami memang berbeda agama, tetapi kami berasal dari satu keturunan17

Keempat. Ketika acara pelantikan ‘raja’ negeri Sirisori Salam [Islam] akan dilaksanakan, sekalipun tanpa diundang, warga masyara-kat dari negeri Sirisori Sarani [Kristen] serta dari negeri Ouw [Kristen] datang untuk mengerjakan ‘sabuah’ [rumah tenda] yang akan

dipergu-.

Ketiga. Pada saat salah satu keluarga Pelupessy [Islam] dari Sirisori Salam akan menikahkan anak laki-laki-nya, tiga hari sebelum-nya keluarga Pelupessy [Islam] membuat acara ‘kumpul basudara yang satu marga’ baik Islam maupun Kristen [dari negeri Sirisori Salam, Sarani, maupun dari negeri Ouw] diundang untuk menghadiri acara tersebut.

Acara ini dilaksanakan semata-mata hanya bermaksud untuk memberitahukan secara resmi tentang persiapan untuk menikahkan anak mereka, sekaligus meminta dukungan moral dan material dari semua keluarga besar Pelupessy. Tepat pada tanggal 18 Oktober tahun 2007, acara kumpul basudara dapat dilaksanakan dan perwakilan dari seluruh keluarga Pelupessy dari ketiga negeri menghadirinya. Kesepa-katan yang dicapai saat itu adalah mereka semua sepakat untuk me-ngumpulkan bantuan [badati] bahan makanan dalam rangka mensuk-seskan acara pernikahan tersebut.

Ketika acara pernikahan dilangsungkan pada tanggal 21 Oktober [tepat pada saat merayakan hari Lebaran tahun 2007], group band dari negeri Ulath [Kristen] diundang dan mereka datang untuk memeriah-kan pesta pernikahan tersebut hingga selesai. Ketika dilakumemeriah-kan wawan-cara dengan salah satu informan kunci [Ai. P, 33 tahun, Kristen] dari negeri Sirisori Sarani, dengan maksud untuk mengetahui secara jelas tentang acara pernikahan itu, informan tersebut secara tegas mengata-kan peristiwa itu memang benar-benar terjadi karena ia sendiri juga hadir baik pada saat acara pertemuan keluarga besar Pelupessy [Islam dan Kristen], maupun ketika pesta pernikahan dilangsungkan.

17 Lihat pula hasil temuan Eklevina Pattinama, Disertasi untuk memperoleh gelar Doktor pada program Studi Antropologi, Universitas Indonesia, tahun 2009.

(17)

nakan untuk melangsungkan ‘pesta’ pelantikan raja. Kedatangan warga dari komunitas Kristen tersebut disebabkan karena antara masyarakat negeri Sirisori Salam dengan masyarakat negeri Sirisori Sarani terikat dalam satu ‘ikatan gandong’, sedangkan dengan masyarakat dari negeri Ouw, mereka terikat dalam satu ‘ikatan pela’.

Sebaliknya, ketika acara pelantikan ‘raja’ negeri Sirisori Sarani akan dilaksanakan, hal yang sama juga terjadi. Pada pertengahan bulan Desember 2010 yang lalu ketika acara pelantikan ‘raja’ negeri Ouw dilaksanakan, sebagian warga kedua komunitas dari negeri Sirisori Sarani dan dari negeri Sirisori Salam, juga hadir dan mengikuti secara saksama seluruh rangkaian acara tersebut, hingga selesai. Pertanyaan penting yang perlu dikemukakan di sini adalah, apa yang melatar-belakangi pemikiran warga kedua komunitas sehingga kebekuan inter-aksi yang terjadi pada saat konflik melanda mereka, ternyata dalam waktu yang begitu singkat dapat mencair kembali?

Realitas sosial sebagaimana digambarkan di atas, tentu mesti dilihat sebagai upaya dari warga masyarakat kedua komunitas untuk memelihara dan merawat serta tetap mempertahankan hubungan sosial yang terjalin melalui ‘ikatan pela’ dan ‘ikatan gandong’. Karena itu, sekalipun konflik melanda mereka namun realitas hubungan warisan para leluhur, tetap tidak dapat dibiarkan begitu saja.

Salah seorang informan kunci ‘MS’, 57 tahun, Islam18

menyata-kan bahwa, pada saat konflik sedang berlangsung dan kami [komunitas Islam] mengalami kesulitan ‘bahan makanan’, namun ketika ‘saudara pela’ kami dari Ouw [Kristen] dengan menggunakan ‘speed boad’ hendak pergi ke Saparua dan pada saat akan meliwati depan negeri kami, mereka melepaskan bahan makanan berupa ‘pisang’19

18 Hasil wawancara mendalam dengan Bapak MS [Islam] tanggal 27 September, tahun 2010.

19 Pisang diambil dari hasil kebun, dan bila dilepaskan ke laut, pisang tetap terapung, tidak tenggelam ke dasar laut seperti hasilkebun lain, misalnya umbi-umbian.

ke laut [air laut] kemudian kami menggunakan sampan [perahu] untuk pergi mengambilnya. Hanya dengan cara ini saja yang dapat dilakukan, karena saat itu putusnya jalur transportasi darat yang menghubungkan

(18)

kami satu dengan yang lain, di samping pada saat itu masih banyaknya ‘orang luar’ yang berada di negeri kami mengakibatkan kami tidak berdaya untuk melakukan sesuatu yang lebih berarti.

Sekalipun tidak diberitahukan bahwa kami sedang mengalami kesulitan bahan makanan, namun ‘saudara pela’ kami merasakan hal tersebut. Oleh sebab itu, mereka tergerak untuk membantu kami, walaupun dengan berbagai cara yang harus dilakukan. Lebih jauh ditambahkan bahwa, pada saat ‘saudara gandong’ kami dari Sirisori Sarani [Kristen] mengungsi ke hutan ketika negeri mereka suda terbakar habis, kami warga Sirisori Salam [Islam] merasakan bahwa mereka sedang mengalami kesulitan bahan makanan, namun kami tidak dapat membantu mereka karena kami sendiri juga mengalami kesulitan bahan makanan. Yang dapat dilakukan oleh saya saat itu adalah, ‘saya sangat merasa sedih’ ketika mengingat “saudara gandong” saya yang sementara berada [mengungsi] di hutan pada saat itu.

Reintegrasi Berbasis Gandong

• Hubungan antar Komunitas: Gandong sebagai Kekuatan Perekat [Bridging]

Ikatan Gandong [budaya lokal] merupakan variabel yang teriden-tifikasi pada penelitian lapangan September 2010 lalu. Budaya lokal adalah berfungsinya nilai, norma dan kebiasaan (tradisi) lokal berkait-an dengberkait-an perilaku kolektif komunitas yberkait-ang secara khusus berkenberkait-an dengan perilaku reintegrasi sosial. Hasil wawancara mendalam yang dilakukan pertama kali dengan sejumlah informan kunci, variabel ini belum dapat terungkap secara jelas. Namun pada saat dilakukan wawancara kembali, hal ini justeru menjadi temuan serta masukan menarik dan penting baik terhadap perilaku individu maupun pada perilaku kolektif.

Pada tingkat individu, hubungan gandong menjadi acuan moral dan pengorganisasian bagaimana ‘kehidupan bersama’ dan emosi warga diwujudkan dalam tindakan yang tercermin dalam realitas kehidupan sehari-hari. Pada tingkat kolektif, hubungan gandong menjadi

(19)

kerang-ka norma dan tindakerang-kan kolektif bagaimana merajut kembali ikerang-katan yang terlanjur “hancur” akibat konflik untuk mencapai sebuah tujuan yang didambakan yakni ‘kehidupan berdampingan’ secara harmonis.

Dambaan tersebut secara umum tampak dari warga kedua komunitas memiliki acuan normatif dalam aktivitas pembangunan kembali gedung Gereja [yang hancur pada saat konflik] dilakukan secara bersama sehingga intensitas hubungan semakin dipertegaskan kembali. Di samping itu, kuatnya dorongan dari komunitas Islam di negeri Sirisori Salam untuk secepatnya memulihkan hubungan dengan saudara gandong, sehingga tidak lagi ada jarak diantara mereka satu dengan yang lainnya. Pengakuan sejumlah informan bahwa hal terse-but dapat terjadi karena masih berfungsinya budaya lokal yang meru-pakan warisan para leluhur karena adanya ‘pertalian darah’di antara mereka20

Wawancara lepas dengan beberapa orang anggota masyarakat [yang masih berusia muda] dari kedua komunitas pada saat bertemu di jalan terungkap bahwa memang tidak terlalu mendalam untuk mencari akar budaya lokal ini, akan tetapi dari beberapa ucapan lisan yang dituturkan oleh tokoh adat dan salah satu staf pemerintah negeri mengungkapkan kultur tersebut, antara lain’ kami

yang menganjurkan saling menyayangi, saling melindungi, dan saling membantu antara satu dengan yang lainnya; serta nilai-nilai moral yang bersumber dari ajaran agama [Islam dan Kristen] yang mengajarkan pengendalian diri, kesabaran dan cinta kasih dalam membangun kehidupan dengan sesama.

21 sebenarnya ‘satu’,

kami makan dusun masuk-keluar, kami miliki marga yang sama22, dan

kami memiliki banyak kesamaan dalam praktik kehidupan sehari-hari23

20 Munculnya kesadaran dari warga kedua komunitas karena mereka lahir dari ‘rahim

yang sama’, sekalipun berbeda dari segi agama yang dianut. 21 Warga kedua komunitas

22 Marga Patty, Pelupessy, Saimima, Sanaki dan beberapa marga lainnya selain ada [Kristen] di negeri Sirisori Sarani, ada juga [Islam] di negeri Sirisori Salam.

23 Hasil wawancara dengan Bapak MS, 57 tahun [Islam] di negeri Sirisori Salam dan Bapak Ai.P, 33 tahun [Kristen], tanggal 23 dan 24 September 2010.

. Lebih jauh dituturkan bahwa secara fisik kami memang dua negeri, tetapi kami hanya miliki satu kepala adat. Karena itu, seluruh

(20)

ritual-ritual adat yang hendak dilaksanakan misalnya upacara adat yang dilaksanakan pada saat pelantikan raja di negeri Sirisori Sarane maupun di Sirisori Salam, kepala adat berfungsi untuk memimpinnya sekaligus melantik calon ‘raja’ [Kepala Desa] tersebut secara adat. Realitas ini secara tidak langsung menunjukkan kedudukan sebagai kepala adat ternyata memiliki peran yang signifikan karena mendapat legitimasi sosial dari masyarakat atau para pendukung adat. Legitimasi sosial tersebut terbangun dari warisan para leluhur, diawetkan, diwariskan serta dipraktekkan dalam realitas kehidupan sehari-hari.

Ada kecenderungan bahwa proses pewarisan sejarah [hubungan Gandong] dari generasi tua kepada generasi muda dewasa ini tampak-nya mengalami hambatan yang cukup berarti. Generasi muda sekarang hanya mengetahui bahwa mereka memiliki hubungan Gandong antar kedua komunitas, namun proses terbentuk hubungan tersebut tidak diketahui secara pasti.

• Kesadaran sebagai Satu Gandong

Ketika kedua komunitas diperhadapkan dengan konflik sosial yang melanda Maluku tahun 1999, realitas ini dihadapi dengan meng-gunakan mekanisme tradisional24 yang telah terpola dalam kehidupan

masyarakat yang terikat dalam satu hubungan ‘gandong’, yakni masya-rakat negeri Tamilou25

Pada saat itu, mekanisme tradisional tersebut kurang memper-oleh dukungan yang berarti karena banyaknya ‘orang luar’ yang terlibat dan memberikan pengaruh secara signifikan yang tercermin dari isyu-isyu yang dikembangkan untuk memprovokasi warga kedua komunitas. Karena itu, sekalipun adanya kesepakatan untuk saling

di pulau Seram, masyarakat negeri Hutumuri di pulau Ambon dan masyarakat negeri Sirisori Amalatu [Sirisori Salam dan Sarane] di pulau Saparua.

24 Rapat [pertemuan] Adat.

25 Dalam sejarah hubungan Gandong antara ketiga negeri tersebut, negeri Tamilou merupakan ‘kakak yang tertua kemudian Hutumuri, dan Sirisori Amalatu adalah adik bungsu. Di samping itu, mereka bertiga memiliki dua saudara perempuan lagi, yang satu kawin di negeri Haria [pulau Saparua] dan yang lainnya kawin di negeri Waai [pulau Ambon].

(21)

melindungi antar kedua komunitas yang dicapai dalam pertemuan bersama26 yang diprakarsai oleh utusan dari negeri Tamilou, namun

kedua komunitas tidak dapat menghindar dari realitas konflik sosial yang berkembang pada saat itu. Akibatnya, warga kedua komunitas terlibat dalam konflik terbuka sehingga mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan harta benda. Hal ini secara tidak langsung menunjuk-kan bahwa kegagalan untuk merawat solidaritas sosial warisan para leluhur sehingga berdampak pada jatuhnya korban jiwa dan harta benda, merupakan permasalahan yang baru pernah terjadi27

Kesepakatan yang dicapai dari pertemuan tersebut sebenarnya mendapat dukungan sepenuhnya dari seluruh warga kedua komunitas, namun mendapat penolakan sepenuhnya dari ‘orang luar’

.

Ia menuturkan bahwa, kehadiran utusan dari negeri Tamilou untuk melakukan pertemuan dengan para tokoh dari kedua komunitas tersebut merupakan cara untuk mengingatkan kem-bali sekaligus mempertegaskan kemkem-bali solidaritas yang tercipta karena hubungan ‘gandong’ di antara mereka. Keeratan hubung-an Ghubung-andong di hubung-antara mereka akhubung-an tetap terpelihara denghubung-an baik apabila mereka yang terikat dalam hubungan tersebut memiliki kesadaran moral untuk merawat ikatan tersebut.

28

26 Hasil wawancara mendalam yang dilakukan dengan Bapak Made [tokoh Adat] di negeri Sirisori Salam, tanggal 27 September 2010. Informan menuturkan bahwa pertemuan tersebut dilaksanakan di negeri Sirisori Salam dan dihadiri oleh tokoh adat dan tokoh masyarakat dari kedua komunitas.

27 Pengakuan Informan kunci Bapak Ai Pelupessy [salah satu Staf Pemerintah negeri Sirisori Sarane] yang diwawancarai di Sirisori Sarane tanggal 22 September 2010. 28 Anggota Lasykar Jihad yang datang, tinggal dan membantu komunitas Sirisori Salam untuk menyerang komunitas Sirisori Sarane.

. Untuk menggantikan kesepakatan tersebut, orang luar berupaya untuk mem-bangun solidaritas atas dasar kesamaan agama yang dianut, sekalipun menimbulkan resistensi dari warga masyarakat di negeri Sirisori Salam. Upaya ini selain terwujud dalam bentuk melakukan daqwah [khotbah] keagamaan yang menekankan pentingnya ukuah islamiah, juga dilaku-kan dengan cara menyebardilaku-kan buku-buku tentang ‘jihad’. Buku-buku tersebut selain diberikan untuk anggota masyarakat, juga dibagikan

(22)

kepada siswa-siswi Sekolah Dasar Negeri Sirisori Salam, sekalipun selang beberapa bulan kemudian ditarik kembali29

• Praktik Mempertahankan Hubungan Gandong [Pembangunan kembali Gedung Gereja]

.

Pertanyaan penting yang perlu dikemukakan di sini yakni, apakah ada keinginan dari masyarakat kedua komunitas untuk merajut kembali solidaritas yang terabaikan pada saat mereka terlibat dalam konflik sosial beberapa waktu lalu? Pertanyaan seperti ini tentu sangat sulit untuk dijawab secara tepat jika tidak didukung dengan data lapang yang akurat. Berikut ini akan diberikan catatan lapangan yang me-nyangkut dengan hal tersebut.

Salah satu peristiwa penting yang dilaksanakan untuk merajut kembali solidaritas yang terabaikan dan sekaligus untuk mempertegas kembali rasa kebersamaan antar warga kedua komunitas adalah dimulainya pembangunan kembali gedung Gereja komunitas Kristen di negeri Sirisori Sarane. Gedung Gereja yang hancur akibat konflik sosial yang melanda masyarakat kedua komunitas pada bulan September tahun 2002, dibangun kembali pada tahun 2007. Inisiatif pembangunan kembali gedung Gereja tersebut awalnya muncul dari komunitas Sirisori Salam.

Kesadaran yang muncul baik secara individu maupun kolektif dari komunitas Islam di negeri Siri Sori Salam sangatlah beralasan. Dari catatan sejarah para leluhur mereka diketahui bahwa Gedung Gereja pertama [Gereja Tua] komunitas Kristen di negeri Siri Sori Sarane dibangun dan dikerjakan oleh warga komunitas Islam dari negeri Siri Sori Salam. Diceriterakan oleh salah seorang informan kunci bahwa, di masa lalu, kehidupan berdampingan para leluhur dari masyarakat kedua komunitas dibangun atas dasar ikatan ‘darah’ tanpa membeda-bedakan mereka satu dengan yang lainnya. Tujuannya adalah semata-mata hanya untuk memelihara dan merawat ‘ikatan’ tersebut yang

29 Hasil wawancara mendalam dengan Bapak ‘x’ di negeri Sirisori Salam, pada tanggal 27 September 2010. Informan menuturkan bahwa, distribusi buku-buku tersebut dilakukan dibawa ancaman.

(23)

senantiasa terwujud dalam berbagai konteks hubungan sosial. Di saat itu, hubungan-hubungan sosial antar warga kedua komunitas di-pelihara secara baik, sekalipun mereka berbeda agama yang dianut. Karena itu, pembangunan kembali gedung Gereja yang dilaksanakan secara bersama-sama tersebut merupakan ungkapan perasaan senasib-sepenanggungan yang tidak dapat dihindari.

Cikal bakal dari dimulainya pembangunan kembali gedung Gereja tersebut berawal dari munculnya keinginan serta dorongan yang kuat dari seluruh warga komunitas Sirisori Salam. Keinginan dan dorongan tersebut ketika diketahui oleh pemerintah negeri Sirisori Salam, selang beberapa hari kemudian pemerintah negeri mengambil inisiatif untuk melaksanakan rapat [pertemuan] adat dalam rangka merespons keinginan warga tersebut.

Tanpa sepengetahuan warga komunitas Sirisori Sarane [saudara Gandong], pertemuan adat tersebut dilaksanakan. Pertemuan tersebut dipimpin oleh Raja negeri Sirisori Salam dan dihadiri oleh seluruh warga, tokoh adat, tokoh agama dan staf pemerintah negeri. Substansi dari pertemuan tersebut semata-mata hanya membicarakan berbagai hal yang menyangkut dengan persiapan pembangunan kembali gedung Gereja milik saudara gandong. Usai pertemuan tersebut, Raja dan beberapa orang staf pemerintah negeri Sirisori Salam mendatangi dan bertemu dengan pemerintah negeri Sisisori Sarane beserta tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk menyampaikan hasil kesepakatn yang telah dicapai dalam pertemuan adat yang telah mereka laksanakan. Setelah selesai menyampaikan hasil kesepakatan tersebut, pemerintah negeri Sirisori Sarane dan seluruh warga masyarakat memberikan respons positif terhadap hasil kesepakatan tersebut.

Pada saat dimulai pembangunan kembali gedung Gereja tersebut, organisasi pemerintah negeri Sirisori Salam turut berperan sebagai pendorong sehingga terjadi kesepakatan untuk mempercepat proses pembangunan. Namun pada saat hendak diimplementasikan kesepakat-an tersebut, orgkesepakat-anisasi pemerintah negeri jugalah ykesepakat-ang dominkesepakat-an menjadi motor penggerak bukan saja untuk mengorganisir tenaga kerja semata tetapi juga berupaya membangun jaringan ke kota Ambon

(24)

untuk mengumpulkan dana [biaya] sehingga kesepakatan tersebut dapat diwujudkan dan tidak menimbulkan kekecewaan warga. Dalam situasi seperti ini, organisasi pemerintah negeri sangat berfungsi sebagai pengatur perilaku kolektif, menstruktur pola tindakan kolektif menjadi sebuah tindakan yang bertujuan namun terkendali secara sosial.30

Ketika panitia telah terbentuk, suasana yang dapat direkam saat itu adalah seluruh warga kedua komunitas menerima kenyataan tersebut sebagai upaya untuk mencairkan kembali kebekuan interaksi

Mengawali aktivitas pembangunan kembali gedung Gereja, di-bentuk panitia untuk mempersiapkan berbagai hal sehubungan dengan kegiatan tersebut. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa cikal bakal pembentukan panitia tersebut berawal dari adanya rapat [perte-muan] adat yang dilakukan warga masyarakat negeri Sirisori Salam. Pada akhir tahun 2006 yang lalu, panitia pembangunan dibentuk dan mengakomodir warga masyarakat kedua komunitas tanpa mempersoal-kan status mereka.

Dalam komposisi panitia inti, Raja Sirisori Salam dipercayakan sebagai Ketua Umum dan Bapak Made Sanaki [tokoh masyarakat dari negeri Sirisori Salam] sebagai Sekretaris umum panitia, sedangkan wakil ketua, wakil sekretaris dan bendahara dipercayakan kepada Raja negeri Sirisori Sarane dan dua orang stafnya. Di samping itu, beberapa orang warga masyarakat dari kedua komunitas juga diakomodir untuk mengatur pekerjaan fisik pembangunan. Bagi orang dari luar yang kurang atau tidak mengetahui dengan benar tentang pertalian ikatan gandong antar kedua komunitas tersebut, tentu sangat sulit untuk membayangkan bagaimana mungkin seorang Raja dan tokoh masya-rakat dari komunitas yang berbeda dapat dipercayakan oleh satu komunitas yang lain untuk memimpin suatu panitia pembangunan gedung Gereja?.

30 Pada saat konflik, gedung Gereja di negeri Sirisori Sarane dihancurkan oleh para perusuh, namun setelah kondisi keamanan telah kondusif warga Sirisori Salam-lah yang pertama-tama berinisiatif untuk membangun kembali gedung Gereja tersebut, dan keseluruhan proses tersebut sepenuhnya dikendalikan oleh pemerintah negeri.

(25)

yang pernah terjadi akibat konflik yang melanda mereka. Yang dapat dikatakan adalah bahwa sikap positif yang ditunjukkan oleh seluruh warga kedua komunitas untuk menerima panitia saat itu merupakan suatu konstruksi sosial, dengan asumsi bahwa kejadian itu benar-benar merupakan suatu fakta sosial.

Komposisi panitia pembangunan sebagaimana tersebut di atas tidak semata-mata hanya mendapat dukungan dari seluh warga masya-rakat kedua komunitas di Sirisori Amalatu saja, tetapi warga kedua komunitas yang berdomisili saat ini di Ambon, Masohi dan kota-kota lainnya di Indonesia, maupun warga Sirisori Amalatu yang berdomisili di negeri Belanda31 memberikan dukungan sepenuhnya. Karena itu,

mereka mulai mempersiapkan diri untuk terlibat dalam seluruh proses pembangunan32

Mengawali dilakukan pekerjaan fisik pembangunan, seluruh warga komunitas Islam dari negeri Siri Sori Salam melaksanakan ritual adat yang dipimpin oleh Raja dan staf pemerintah negeri beserta tokoh adat dan tokoh masyarakat. Ritual adat tersebut dilakukan dengan cara berjalan mengelilingi negeri Sirisori Salam sambil memukul ‘tifa’ dan mendendangkan lagu ‘gandong’

.

33

31 Hasil wawancara dengan Bapak A Pelupessy [salah satu staf pemerintah negeri Sirisori Serani], pada tanggal 23 September 2010.

32 Hasil wawancara dengan Sekretaris Umum Panitia, tanggal 24 September 2010. 33 Hasil wawancara dengan Sekretaris Umum Panitia, tanggal 24 September 2010.

. Usai berjalan mengelilingi negeri, lantunan lagu gandong terus dinyanyikan mengiringi mereka dalam perjalanan menuju ke negeri Siri Sori Serani untuk bergabung dengan saudara gandong yang sudah menunggu kehadiran mereka. Pada saat tiba, mereka [saudara gandong dari Siri Sori Salam] disambut oleh seluruh warga komunitas Kristen di negeri Siri Sori Sarane dengan penuh haru bercampur dengan isak tangis sebagai ungkapan rasa ‘syukur’ karena mereka [kedua bersaudara] sudah dapat dipersatukan kembali. Rasa haru yang muncul saat itu karena syair lagu tersebut dimaknai oleh mereka sangat menyentuh ‘sanubari’ seluruh warga

(26)

kedua komunitas, sehingga mereka hanyut dalam suasana yang penuh keakraban34

Ketika dimulai pekerjaan fisik pembangunan, warga masyarakat kedua komunitas terlibat mengangkat batu dan pasir secara bersama-sama tanpa membedakan antara satu dengan yang lain. Mereka mulai bekerja dari pagi dan berhenti pada sore hari. Tanpa ada perintah, laki-laki dari komunitas Sirisori Salam setiap pagi sudah hadir untuk melak-sanakan pekerjaan fisik. Hal ini disebabkan karena mereka menyadari sungguh bahwa: yang bisa bekerja sebagai ‘tukang batu’ hanya kami dari Sirisori Salam. Mulai dari mengerjakan pondasi bangunan, penge-coran tiang, pemasangan batu bata dan plester dinding gereja, pemba-ngunan menara lonceng hingga pemasangan atap gedung gereja, kami yang melakukannya. Kami bekerja dengan penuh suka-cita tanpa ada rasa paksaan dari siapa pun. Kami bekerja untuk saudara sendiri bukan untuk orang lain. Apa yang saudara gandong rasakan, kami juga merasakannya. Karena itu, sekalipun saudara kami [dari Sirisori Sarane] tidak memiliki ketrampilan untuk bekerja sebagai tukang batu, namun mereka sangat banyak membantu kami untuk melakukan pekerjaan lain, misalnya menyiapkan penyanggah [bambu] untuk pengecoran tiang, pemasangan batu bata dan plester dinding bangunan gereja, mengangkut batu dan pasir, mencampur semen serta jenis pekerjaan

.

Gandong la mari gandong, mari jua rapat e Beta mau bilang ale, katong dua satu gandong Hidup adik dan kakak sungguh manis lawang e Ale rasa beta rasa, katong dua satu gandong

Reff. Gandong e, sio gandong e

Mari beta gendong, beta gendong ale jua Katong dua cuma satu gandong e

Satu hati, satu jantong e...

[Pencipta: Alm. Buce Sapury]

34 Hasil wawancara dengan Ibu M,S [51 tahun, Islam] dan Ibu AP [47 tahun, Kristen], tanggal 21September 2010.

(27)

lainnya. Hal ini tidak sedikitpun mengurangi perasaan kami dalam pekerjaan, yang terjadi justeru kami tetap setia untuk bekerja menyelesaikan pembangunan gedung gereja.35

Gedung Gereja Sirisori Sarane yang baru dibangun, kondisi fisik bangunan hingga September 2010.

Menyikapi perkembangan kemajuan pekerjaan fisik pembangun-an gedung Gereja dari hari lepas hari selama dua tahun terakhir (2008-2009), Bapak Made Sanaki [Sekretaris Umum Panitia] dan Raja negeri Siri Sori Sarane dengan sengaja setiap saat hadir ditempat pekerjaan mendampingi warga masyarakat kedua komunitas yang sedang bekerja, dengan maksud untuk memberikan dorongan dan motivasi bagi mereka.

35 Hasil wawancara dengan Bapak Made Sanaki [Sekretaris Umum Panitia], tanggal 24 September 2010.

(28)

Hingga kini, perkembangan pekerjaan sudah rampung dan sementara menunggu panitia pembangunan menyiapkan acara peres-miannya.

• Peran LSM

Sekalipun pada tahun 2003 stabilitas keamanan belum terlalu kondusif di pulau Saparua, namun berbagai upaya yang dilaksanakan untuk mencairkan kebekuan interaksi antar kedua komunitas yang terlibat konflik, terus dilaksanakan oleh sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat [LSM], baik lokal, nasional maupun internasional. Dengan ijin yang diperoleh dari pemerintah Provinsi Maluku dan pemerintah Kabupaten Maluku Tengah, pada tahun 2003 salah satu LSM lokal ‘Arika Mahina’ hadir di komunitas Kristen [Sirisori Sarane] dengan program utamanya berupa ‘trauma healing’ yang diberikan bagi para pengungsi, khususnya perempuan dan anak-anak yang pada saat itu masih berada di lokasi pengungsian di hutan. Program tersebut diberi-kan dalam rangka mempersiapdiberi-kan mereka sebelum kembali ke lokasi pemukiman [negeri] semula pada tahun 2004, dan kemudian akan menempati rumah-rumah penduduk yang telah dibangun oleh pemerintah.

Ketika sudah kembali, tahun 2005 dan 2006 LSM tersebut kem-bali melakukan intervensi program pemberdayaan kepada perempuan korban konflik yang melibatkan dua kelompok dari kedua komunitas [masing-masing kelompok 10 orang]. Jenis program intervensi tersebut berupa ‘pemberian modal usaha’ [modal bergulir]36

36 Hasil wawancara [tanggal 27 September 2010] dengan Ibu Halimah Salatalohi [Sirisori Salam] dan Ibu Evy Pelupessy [Sirisori Sarane] sebagai anggota kelompok yang mengikuti kegiatan tersebut. Menurut mereka, masing-masing kelompok memperoleh bantuan modal bergulir sebesar Rp. 5.000.000.

. Sebelum bantuan modal usaha diberikan, LSM Arika Mahina melaksanakan work shop yang diikuti oleh seluruh peserta selama empat hari. Kegiatan Wark shop diberikan dengan tujuan agar para peserta dapat memperoleh pengetahuan dasar tentang ‘manajemen usaha serta mekanisme guliran modal’ yang nantinya akan diterima oleh masing-masing kelompok.

(29)

Satu tahun kemudian, LSM tersebut kembali melaksanakan perlombaan olah raga [khusus bagi perempuan] dalam rangka memperingati ‘hari Ibu’ pada tanggal 22 Desember tahun 2007. Untuk memperlancar jalannya perlombaan dimaksud, LSM tersebut memben-tuk panitia kecil dan hanya terdiri dari beberapa orang saja [yang mewakili masing-masing komunitas]. Perlombaan tersebut mendapat sambutan positif karena diikuti oleh perempuan [ibu-ibu] dari kedua komunitas.

Sekalipun saat ini program-program tersebut sudah tidak dilan-jutkan lagi, namun Ibu Halima Salatalohi (53 thn) [dari Sirisori Salam] memberikan apresiasi positif dengan mengatakan bahwa kami sangat berterima kasih kepada LSM Arika Mahina, karena mereka telah melaksanakan program-program untuk mempersatukan katong [kedua komunitas] kembali.

Di samping itu, setelah mendapat ijin dari pemerintah Provinsi Maluku dan pemerintah Kabupaten Maluku Tengah pada bulan Agustus tahun 2005, salah satu LSM internasional yakni ‘Mercy Corps’ juga hadir membawakan program utamanya ‘peace building’ dengan kelompok sasaran adalah generasi muda pada kedua komunitas. Menurut penuturan informan [JP ,39 tahun, Kristen] bahwa pada bulan September tahun 2005, program yang dilakukan adalah ‘workshop’ bagi petani muda kemudian dilanjutkan dengan program pengembang-an usaha tpengembang-ani bagi para pemuda, dengpengembang-an melibatkpengembang-an para pemuda dari kedua komunitas. Kedua program tersebut ternyata mendapat respons positif dari pemuda kedua komunitas yang ditunjukkan melalui parti-sipasi mereka secara aktif pada seluruh tahapan kegiatan. Para pemuda yang hadir sebagai peserta mewakili masing-masing komunitas saat itu, pada hari pertama bertemu di tempat kegiatan, mereka berjabat tangan dan saling merangkul, kemudian mereka duduk tidak memisahkan diri antara satu dengan yang lain, kemudian pada sesi diskusi mereka terli-bat dalam diskusi yang cukup intensif tanpa mempersoalkan berbagai persoalan konflik yang baru mereka lalui. Situasi ini dapat tercipta karena mereka [para pemuda kedua komunitas] sudah saling kenal antara satu dengan yang lain sebelumnya, dan mereka pernah miliki

(30)

pengalaman yang sama dalam berbagai konteks hubungan sosial sebelum konflik terjadi. Pada jam istirahat [snack dan makan siang], para peserta tidak mengelompokkan diri pada masing-masing komuni-tas tetapi mereka membaur antara satu dengan yang lain dan mereka terlibat dalam berbagai percakapan sehingga suasana yang tampak saat itu memperlihatkan terciptanya rekonsiliasi di antara mereka.

Hasil wawancara mendalam dengan ‘H’, 32 tahun [peserta dari Sirisori Salam] menyatakan bahwa, selama kegiatan berlangsung ia tidak secara penuh mengikuti seluruh tahapan kegiatan secara baik. Ada sesi yang diikutinya, tetapi ada sesi yang tidak diikutinya. Hal ini dapat terjadi karena ketatnya prosedur administrasi kegiatan yang diterapkan oleh LSM tersebut, di mana seluruh peserta diwajibkan untuk menandatangani daftar hadir pada setiap sesi kegiatan. Realitas ini lah yang menjadi dasar munculnya prasangka di dalam dirinya bahwa “katong [kami] ikut kegiatan yang dilakukan LSM tapi katong takut lai, karena katong nama diambil, dan katong ada punya tanda tangan”. Ia memberikan contoh, pada saat kegiatan akan berakhir dan peserta diberikan uang ‘duduk’, ia tidak menandatangani daftarnya tetapi meminta kesediaan salah satu teman [dari Sirisori Salam] untuk menandatanganinya.

Menjelang peringatan hari ‘sumpah pemuda’ tanggal 28 Oktober tahun 2006, LSM Mercy Corps kembali melaksanakan kegiatan seminar sehari tentang ‘Negeri Siri Sori” [Salam dan Serane] dengan menghadirkan 50 orang pemuda [masing-masing komunitas 25 orang], juga melibatkan beberapa orang pemuda dari negeri-negeri tetangga {kristen}. Dua hari kemudian, dilaksanakan lomba olah raga bola kaki [gawang mini] dan volly ball yang diikuti oleh para pemuda dari kedua komunitas. Dari awal hingga akhir perlombaan, tidak terjadi benturan karena para pemuda yang mengikuti perlombaan tersebut diatur secara membaur dalam satu team tanpa membeda-bedakan mereka satu dengan yang lainnya.

• Peran Pemerintah

Setelah stabilitas sosial dan keamanan mulai kondusif, pada tahun 2003 pemerintah membangun 381 unit rumah dengan ukuran 4

(31)

x 5 m bagi 381 kepala keluarga di negeri Siri Sosi Serane. Di samping itu, pemerintah juga memberikan bantuan biaya sebesar dua ratus juta rupiah untuk pembangunan gedung Gereja.

Salah satu dari 381 unit rumah [ukuran 4x5] yang dibangun pemerintah di Negeri Siri Sori Serane

Kesimpulan

Dari temuan penelitian lapangan sebagaimana telah digambarkan di atas dapat disimpulkan bahwa struktur dan sistem sosial yang sudah muncul [baik antar individu, maupun antar kelompok] pada dua komunitas yang terikat dalam satu hubungan gandong di pulau Saparua, ternyata mempercepat terwujudnya proses reintegrasi sosial. Realitas ini dapat terjadi karena munculnya kesadaran kolektif di antara mereka sehingga interaksi sosial yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, tidak nampak terpolarisasi.

Kesadaran akan adanya hubungan darah antara satu dengan yang lain karena dilahirkan dari “rahim” yang sama [gandong], merupakan dorongan yang kuat bagi kedua komunitas untuk segera membangun

(32)

kembali kehidupan berdampingan secara serasi. Oleh sebab itu, maka untuk merawat sekaligus mempertahankan hubungan tersebut, kedua komunitas mewujudkannya dalam bentuk kerja sama secara timbal-balik dengan tidak mempertimbangkan perbedaan yang ada.

Referensi

Dokumen terkait

Diantaranya ialah adanya pengiriman notifikasi dan alert, jaminan pengiriman pesan singkat, pengiriman informasi yang andal dan murah, kemampuan untuk melakukan filter pada

Apabila menggunakan obat-obatan yang dengan mudah diperoleh tanpa menggunakan resep dokter atau yang dikenal dengan Golongan Obat Bebas dan Golongan Obat Bebas Terbatas,

Setelah membaca dan mengoreksi skripsi saudari Jawahirul Umi Zahroh NIM 10220055, Jurusan Hukum Bisnis Syariah, Fakultas Syariah, Universitas Islam Negeri

Bentuk perlindungan hukum preventif bagi para pihak terutama terhadap kontraktor dalam perjanjian pemborongan pekerjaan dapat diwujudkan dengan pengaturan ketentuan

106 tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan tertentu Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 pada prinsipnya memuat beberapa hal pokok yaitu: Pertama,

Jurnal Dusturiyah menerima naskah dalam Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Bahasa Arab dengan ketentuan sebagai berikut: kajian tentang hukumdan

Apabila masih dalam ikatan Surat Peringatan Kedua terjadi 3 (tiga) kali pelanggaran apapun dari aturan/SOP pengawalan KRL atau 1(satu) kali pelanggaran yang melawan

Jenis penelitian pada penelitian ini adalah penelitian lapangan ini bersifat kualitatif, dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara, observasi dan dokumentasi,