• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTUMBUHAN CACING TANAH (Perionyx sp) DALAM MEDIA LIMBAH PELEPAH SAWIT DAN KOTORAN AYAM. Ayu Safitri 1, Yusfiati, 2 Herman 2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERTUMBUHAN CACING TANAH (Perionyx sp) DALAM MEDIA LIMBAH PELEPAH SAWIT DAN KOTORAN AYAM. Ayu Safitri 1, Yusfiati, 2 Herman 2"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1

PERTUMBUHAN CACING TANAH (Perionyx sp) DALAM MEDIA LIMBAH PELEPAH SAWIT DAN KOTORAN AYAM

Ayu Safitri1, Yusfiati,2 Herman2

1

Mahasiswa Program Studi SI Biologi, FMIPA UR

2

Dosen Jurusan Biologi FMIPA-UR

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Kampus Binawidya Pekanbaru, 28293, Indonesia

e-mail : Ayusafitri795@yahoo.com

ABSTRACT

This study aimed to determine the effect of palm sheath waste and chicken manure at various levels as growth media of earthworms (Perionyx sp). Parameters measured were increasing body weight and the amount of coccon produced. Experiment is designed as completely random (DCR) with five treatments, M1 (100% palm sheath waste); M2 (75% palm sheath waste + 25% chicken manure); M3 (50% palm sheath waste + 50% chicken manure); M4 (25% palm sheath waste + 75% chicken manure) and M5 (100% chicken manure). Body weight and the number of coccons produced were analyzed statistically using analysis of variance (ANOVA) followed by DMRT with 5% significance level. The results showed that the increase of body weight as well as the number of coccon produced among the treatments were significantly different (P > 0,05). The M2 media which consist of 75% palm sheath waste + 25% chicken manure produced the largest increase of body weight and coccon production.

Key Words: Chicken manure, Earthworm, Perionyx sp, Palm sheath waste.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh limbah pelepah sawit dan kotoran ayam di berbagai tingkatan sebagai media pertumbuhan cacing tanah (Perionyx sp). Parameter yang diukur adalah pertambahan berat badan dan jumlah kokon yang dihasilkan. Secara experimen menggunakan rancangan acak lengkap (RAL), dengan lima perlakuan, M1 (100% limbah pelepah sawit); M2 (75% limbah pelepah sawit + 25% kotoran ayam); M3 (50% limbah pelepah sawit + 50% kotoran ayam); M4 (25% limbah pelepah sawit + 75% kotoran ayam) and M5 (100% kotoran ayam). Berat badan dan jumlah kokon yang diperoleh dianalisis secara statistik menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA) dilanjutkan oleh DMRT dengan taraf signifikansi 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan berat badan serta jumlah kokon yang diproduksi berbeda nyata antara perlakuan (P > 0,05). Media M2 yang terdiri dari 75% limbah pelepah sawit + 25% kotoran ayam 25% adalah media terbaik untuk meningkatkan berat badan dan memproduksi kokon.

(2)

2

PENDAHULUAN

Cacing tanah merupakan hewan invertebrata yang dikenal cukup potensial sebagai hewan budidaya, karena selain pelaksanaannya yang mudah dilakukan dan cepat berkembangbiak, hasil budidayanya juga banyak berperan dalam bidang pertanian dan industri antara lain sebagai sumber protein hewani bahan pakan ternak dan ikan (Minnich 1977), untuk ramuan obat dan kosmetika (Rukmana 1999), mengurangi nematoda patogen di dalam tanah dan membuat struktur tanah menjadi lebih baik (Simandjuntak & Waluyo 1982).

Pertumbuhan cacing tanah dimulai dari kokon, cacing muda (juvenil), cacing produktif dan cacing tua (Palungkun 1999). Lama pertumbuhan ini tergantung pada kesesuaian kondisi lingkungan, cadangan makanan dan jenis cacing tanah (Astuti 2001). Produksi cacing tanah sangat dipengaruhi oleh media yang digunakan dan pakan yang diberikan dalam proses pembiakkan (Haryono 2003). Gaddie dan Douglas (1977), melaporkan bahwa habitat cacing tanah secara umum adalah kotoran hewan karena strukturnya relatif halus dan kaya akan nutrisi. Limbah kotoran ayam merupakan salah satu produk yang dapat digunakan untuk pakan ataupun media tumbuh cacing tanah, sedangkan kandungan serat kasar dalam limbah pelepah sawit berperan penting untuk media pertumbuhan dan perkembangbiakan cacing tanah. Pada penelitian ini akan diteliti pertumbuhan cacing tanah lokal Perionyx sp pada media campuran bahan organik yaitu limbah pelepah kelapa sawit dan kotoran ayam pada berbagai taraf.

BAHAN DAN METODE

Penelitian telah dilaksanakan di kebun Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Riau. Penelitian berlangsung mulai bulan Desember 2012 sampai dengan Maret 2013. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cacing tanah (Perionyx sp) sebanyak 165 gr sebagai hewan percobaan, limbah pelepah sawit, kotoran ayam, kapur pembasmi semut dan air bersih, sedangkan alatnya terdiri dari 15 pot plastik, karung plastik, ember, timbangan 2 kg, timbangan digital, kamera digital, handsprayer, sarung tangan, masker, thermometer, soil tester, terpal dan alat tulis.

Persiapan Cacing Tanah (Perionix sp)

Cacing tanah yang diperoleh dari penjual pakan ikan yang beralamat di jalan Subrantas, Pekanbaru, Diidentifikasi dengan mengamati karakter morfologi cacing tanah yang meliputi bentuk tubuh bulat, warna tubuh ungu tua dan merah kecoklatan, panjang tubuh 9,5-16 cm, jumlah segmen 85-170, tipe prostomium prolobous, jumlah seta 65, tipe seta perychaetine, tipe klitelum annular, warna klitelum kuning tua, posisi klitellum pada segmen ke 13-17, jumlah segmen dalam klitellum 5, letak lubang jantan segmen ke 18 dan jumlah lubang jantan 1 pasang. Cacing tanah hasil indentifikasi kemudian dikoleksi.

Perionix sp yang digunakan disini adalah jenis cacing dewasa yang telah memiliki klitellium, tidak bau dan segar. Cacing tanah diseleksi terlebih dahulu dengan metode handshorting (Stocli 1928; Anas 1990). Metode ini terdiri dari tiga tahapan yaitu: pengambilan cacing tanah dari media koleksi, pembersihan cacing tanah dan penimbangan cacing tanah.

(3)

3

Persiapan Media

Kotoran ayam dibersihkan dari plastik-plastik dan semut. Dibiarkan dalam karung selama 2 minggu hingga gas-gas yang tidak dikehendaki cacing tanah menguap dan bau kotoran sudah tidak tajam, dimasukkan 1 ekor cacing ke dalam media bila cacing tidak naik, berarti media telah cocok, begitu juga halnya dengan limbah pelepah sawit yang akan dijadikan media pertumbuhan cacing tanah dibersihkan dan kemudian dijemur hingga kering untuk mematikan kokon atau cacing tanah yang mungkin masih terbawa kemudian disiram air hingga medianya lembab.

Metode penelitian

Penelitian dilaksanakan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 3 kali ulangan sehingga diperoleh 15 unit percobaan. Adapun perlakuan dalam penelitian ini adalah:

M1 = 100% limbah pelepah sawit

M2 = 75% limbah pelepah sawit + 25% kotoran ayam M3 = 50% limbah pelepah sawit + 50% kotoran ayam M4 = 25% limbah pelepah sawit + 75% kotoran ayam M5 = 100% kotoran ayam

Pengamatan

Pengamatan variabel respon dilakukan sebanyak 3 kali yaitu: hari ke-10, hari ke-20 hari dan pengamatan terakhir dilakukan pada hari ke-30 setelah penanaman cacing tanah ke dalam media.

Variabel respon yang diukur adalah: 1. Pertambahan bobot badan induk.

Pertambahan bobot badan induk rata-rata= bobot badan saat pengamatan dikurangi dengan bobot badan pengamatan sebelumnya, kemudian dibagi dengan jumlah populasi cacing tanah saat pengamatan.

PBB= BBn-BBn-1 ∑ populasi n Keterangan :

PBB = Pertambahan bobot badan

BBn = Bobot badan pada saat pengamatan BBn-1 = Bobot badan pengamatan sebelumnya ∑ populasi = Jumlah populasi pada saat pengamatan

2. Jumlah kokon, Perhitungan jumlah kokon dilakukan pada setiap pot plastik secara manual setelah 10 hari penanaman, setiap 10 hari selama 30 hari, dan juvenil juga dihitung, dengan konversi satu kokon sama dengan empat juvenil. Kokon dan juvenil ini kemudian dibuang dari media.

Analisis data

Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA). Jika F hitung lebih besar atau sama dengan F tabel maka dilanjutkan dengan uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5% menggunakan SPSS versi 16.0.

(4)

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertambahan Bobot Badan Induk

Penggunaan limbah pelepah sawit dan campuran kotoran ayam diduga dapat menunjang proses perkembangbiakan cacing tanah. Kandungan kimia dan kualitas makanan yang diberikan kepada cacing tanah mempengaruhi tinggi rendahnya bobot badan cacing tanah. Rataan pertambahan bobot badan cacing tanah induk disajikan pada Tabel 1. dan untuk histogram rataan pertambahan bobot badan cacing tanah setiap pengamatan ditampilkan pada Gambar 1.

Tabel 1. Rataan pertambahan bobot badan cacing tanah

No Jenis media/ perlakuan Rata-rata (g)

1 M1 (100% limbah pelepah sawit) 1,80bc

2 M2 (75% limbah pelepah sawit + 25% kotoran ayam) 2,27c 3 M3 (50% limbah pelepah sawit + 50% kotoran ayam) 1,53bc 4 M4 (25% limbah pelepah sawit + 75% kotoran ayam) 1,20ab

5 M5 (100% kotoran ayam) 0,05a

Ket: Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%.

Gambar 1. Histogram rataan pertambahan bobot badan cacing tanah

Hasil analisis ragam (Tabel 1) menunjukkan bahwa bobot badan cacing tanah berbeda sangat nyata dipengaruhi oleh jenis media atau perlakuan media. Nofyan (2000) menyatakan pengaruh pakan terhadap cacing tanah bervariasi tergantung pada kuantitas dan kualitas materi organik. Tingginya kualitas pakan secara kimia ditunjukkan dengan terpenuhinya nilai gizi dalam komposisi pakan sehingga mengakibatkan terjadinya pertumbuhan hewan khususnya cacing tanah yang jauh lebih baik (Tilman 1998). Cacing tanah mampu mengkonsumsi bahan organik sebagai pakan disebabkan oleh ketersedian bahan organik yang disukai serta kandungan kimianya (Nofyan 2000). Bahan organik yang kaya akan protein cendrung lebih mudah dikonsumsi oleh cacing tanah dibandingkan dengan bahan

0 2 4 6 8 10 12 14 16 M1 M2 M3 M4 M5 hari ke 0 hari ke 10 hari ke 20 hari ke 30 11 11 11 11 11 14,33 14,66 13,66 14,66 15 14,66 12,66 13,66 13,33 11,66 13,33 14 11,33 12,33 11,66

(5)

5

organik yang kandungan proteinnya lebih rendah (Yulipriyanto 1995). Menurut Palungkun (1999) kandungan protein media sebaiknya berkisar 9-15%.

Pada penelitian ini bahan organik yang dipakai sebagai media adalah kotoran ayam (Gambar 2a.) dan limbah pelepah kelapa sawit (Gambar 2b.) yang diduga memenuhi unsur-unsur yang dibutuhkan dalam pertumbuhan cacing tanah. Menurut Mathius (2003) ; Widjaya et al. (2005) kandungan nutrisi % dari pelepah kelapa sawit yaitu: bahan kering 26,07, protein kasar 3,07, lemak kasar 1,07, serat kasar 50,94, kalsium (Ca) 0,96, fosfor (P) 0,08, energi (Kkal/kg) 4 .841, sedangkan komposisi pupuk kotoran ayam yaitu nitrogen 1,0%, fosfor 0,8%, kalium 0,4%, dan kandungan airnya 55% (Soedijanto dan Hadmadi 1980). Hal ini sesuai menurut Rukmana (1999) syarat bahan organik yang dapat digunakan sebagai media untuk budidaya cacing tanah antara lain mempunyai daya serap yang tinggi untuk menahan air, gembur, tidak mudah menjadi padat, mudah terurai, berfungsi sebagai pakan cacing tanah, tidak mengandung tanin (alkaloid), terdiri dari bahan organik berserat yang telah mengalami pelapukan antara 50 sampai 65%, kandungan protein yang dapat langsung dicerna dalam media tidak terlalu tinggi dan tidak mengandung minyak atsiri yang berbau tajam.

Gambar 2. Media pertumbuhan a. Kotoran ayam dan b. Limbah pelepah sawit Rataan bobot badan induk cacing tanah pada kelima jenis media mengalami penambahan, tetapi nilai penambahan bobot badan tidak sama. Peningkatan penambahan bobot badan cacing tanah signifikan.

Histogram rataan penambahan bobot badan cacing tanah kelima perlakuan pada pengamatan pertama (hari ke 10) menunjukkan peningkatan yang tinggi (Gambar 1). Peningkatan rataan bobot badan cacing tanah diduga disebabkan ketersediaan nutrisi yang cukup pada media. Sesuai menurut Palungkun (1999) bobot badan cacing tanah sangat dipengaruhi oleh kondisi media dan ketersediaan nutrisi. Gaddie dan Douglas (1977), menyatakan cacing tanah membutuhkan pakan yang cukup mengandung selulosa, protein, mineral dan vitamin. Kebutuhan zat makanan tersebut tidak tercukupi oleh satu jenis bahan saja. Cacing tanah lebih menyukai bahan organik yang sedang mengalami proses dekomposisi dibanding yang sudah terdekomposisi ataupun yang masih segar (Minnich 1977).

Pertambahan tertinggi terdapat pada M2, diikuti oleh M1, M3, M4 dan penambahan bobot badan terendah terdapat pada M5. Perbedaan ini diduga disebabkan oleh berbedanya kombinasi penggunaan pakan dan media hidup

(6)

6

cacing tanah. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi media M2 dan M1 lebih cocok untuk pertumbuhan cacing tanah dibandingkan dengan media M3, M4 dan M5. Makin tinggi taraf pemberian kotoran ayam terdapat indikasi bobot hidup cacing tanah makin menurun. Media kompos kotoran ayam (M5) menunjukkan hasil penambahan bobot badan cacing tanah paling rendah diduga cacing tanah Perionyx sp kurang menyukai media kotoran ayam, walaupun kotoran ayam ini memiliki nutrisi yang baik untuk pertumbuhan dan reproduksi cacing tanah tapi media ini tidak memiliki aerasi yang cukup dan mudah memadat.

Perpaduan media pakan limbah pelepah sawit 75% dengan kotoran ayam 25% lebih disukai oleh cacing tanah yang berpengaruh baik terhadap proses reproduksi dan produksi kokon. Penggunaan limbah pelepah sawit potensial sebagai media hidup cacing tanah, keadaan demikian kemungkinan disebabkan karena selain kandungan nutrisi juga karena pelepah sawit mempunyai tekstur yang kasar menyebabkan aerasi media menjadi lebih baik, media tidak memadat. Sehingga disukai oleh cacing tanah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Minnich (1977), bahwa media yang terlalu padat dapat menyebabkan ketersediaan oksigen berkurang, sehingga cacing tanah sulit bernafas dan akan terganggu kesehatan dan produksi cacing tanah. Campuran media tersebut dapat memaksimalkan reproduksi cacing tanah. Kotoran ternak dapat menyuplai protein dan mineral, sehingga dilakukkan pencampuran kotoran ayam kedalam limbah pelepah sawit sebagai media pertumbuhan cacing tanah. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa tingkat kesukaan cacing tanah berbeda terhadap konsentrasi pemberian kotoran ayam.

Kondisi lingkungan media merupakan faktor lain yang mempengaruhi bobot badan cacing tanah. Suhu mempengaruhi kegiatan-kegiatan yang berlangsung dalam tubuh cacing tanah seperti pertumbuhan, reproduksi, metabolisme (Edwards dan Lofty 1977). Menurut Neuhauser et al. (1988) dalam Samosir (2000) suhu yang optimal untuk Perionix exavatus adalah 300C. Hal ini sesuai hasil pengukuran terhadap temperatur media terlihat rata-ratanya dari pengamatan hari ke 10 berkisar antara 28,46-29,10.

Histogram (Gambar 1) menjelaskan tentang rataan penambahan bobot badan pada pengamatan kedua (hari ke 20) bobot badan cacing tanah tetap mengalami kenaikan, tapi tidak sebesar pengamatan pertama. Hal ini diduga karena pada pengamatan kedua cacing tanah mengalami masa aktif bereproduksi dan mulai memproduksi kokon yang lebih banyak. Menurut Hisbinudin (2000) pertumbuhan cacing tanah akan berlangsung lambat dan terjadi penurunan bobot badan cacing tanah setelah cacing tanah mencapai dewasa kelamin.

Rataan pertambahan bobot badan cacing tanah pada pengamatan ketiga (hari ke 30) terjadi penurunan nilai bobot badan cacing tanah, hal ini kemungkinkan karena kandungan nutrisi pada media akan semakin berkurang akibat aktivitas makan cacing. Hal lain yang mempengaruhi penurunan rataan bobot cacing tanah adalah umur cacing tanah yang semakin tua dan kegiatan bereproduksi (Herayani 2001). Media M1 merupakan media yang penurunan nilai bobot badan cacing tanah tertinggi dibandingkan media lain, sedangkan media yang penambahan nilai bobot badan cacing yang tertinggi terdapat pada media M4 selanjutnya diikuti oleh media M3, M5 dan M2. Hal ini kemungkinan karena pada media M1 dan M2 pengamatan kedua cacing tanah mulai memproduksi kokon cukup banyak, sedangkan media M3, M5 dan M4 kokon yang dihasilkan cacing tanah tidak

(7)

7

sebanyak media M1 dan M2. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan jumlah kokon tidak berkorelasi positif dengan bobot badan cacing tanah.

Pada pengamatan kedua hasil pengukuran temperatur media menunjukkan rata-rata suhu media diatas suhu optimal cacing tanah yaitu Perionyx sp yaitu 30,100C-30,73oC, sedangkan pada pengamatan ke tiga hasil rata-rata pengukuran temperatur media masih berkisar suhu normal cacing yaitu 29,56oC–30,16oC. Kehilangan air dari tubuh cacing tanah merupakan persoalan utama bagi cacing tanah. Anas (1990) menyatakan bahwa sebanyak 75%-90% dari bobot cacing tanah hidup adalah air. Cacing tanah akan kehilangan cairan tubuh apabila media menjadi kering. Cairan yang terus menerus menguap akan menyebabkan kehilangan bobot cacing sampai 75% dari total tubuhnya (Roots 1956; Armadi 2001).

Jumlah kokon

Analisis ragam menunjukkan terdapat pengaruh sangat nyata jenis media/ perlakuan terhadap produksi kokon oleh cacing tanah. Data rataan jumlah kokon cacing tanah disajikan pada Tabel 2. dan untuk Histogram rataan jumlah kokon cacing tanah setiap pengamatan ditampilkan pada Gambar 3.

Tabel 2. Rataan jumlah kokon cacing tanah

No Jenis media/ perlakuan Rata-rata (butir)

1 M1 (100% limbah pelepah sawit) 6,20b

2 M2 (75% limbah pelepah sawit + 25% kotoran ayam) 15,90c 3 M3 (50% limbah pelepah sawit + 50% kotoran ayam) 1,56a 4 M4 (25% limbah pelepah sawit + 75% kotoran ayam) 0,63a

5 M5 (100% kotoran ayam) 1,00a

Ket: Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%

Gambar 3. Histogram jumlah kokon cacing tanah.

Cacing tanah bersifat hermaprodit sehingga dalam waktu 30 hari setiap induk cacing tanah yang ditanam mampu memproduksi kokon bila kondisi media memungkinkan. Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa perbedaan media dan pakan yang diberikan pada cacing tanah dapat mempengaruhi reproduksi. Pada penelitian ini tidak setiap cacing tanah dapat menghasilkan kokon. Cacing

0 5 10 15 20 25 M1 M2 M3 M4 M5 hari ke 10 hari ke 20 hari ke 30 5,3 7,3 6 5,6 20 22 1,3 1 2,3 0,6 0,3 1 1 0,6 1,3

(8)

8

tanah memanfaatkan nutrien media untuk berbagai aktivitas tubuh terutama untuk reproduksi sehingga akan segera melakukan perkawinan selanjutnya menghasilkan kokon (Gambar 4.)

Gambar 4. Kokon cacing tanah

Hasil pengamatan pada kokon cacing tanah menunjukkan bahwa kokon mulai dihasilkan pada pengamatan pertama (hari ke 10), tetapi hasil yang diperoleh masih sedikit dimana rataan kokon tertinggi terdapat pada media M2 yaitu 5,6 butir dan rataan yang paling sedikit terdapat pada media M4 yaitu 0,6 butir. Hal ini diduga karena cacing tanah belum mencapai aktivitas reproduksi yang optimal dan nutrisi yang diperoleh lebih diutamakan untuk pencapaian bobot badan dewasa. Brata (2003) mengemukakan dalam hasil penelitiannya bahwa kokon baru yang dihasilkan pada fase reproduksi masih dalam jumlah yang sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa cacing tanah membutuhkan waktu satu minggu setelah mencapai bobot badan dewasa untuk menghasilkan jumlah kokon yang maksimal.

Hasil analisis ragam memperlihatkan bahwa dengan taraf pemberian kotoran ayam yang berbeda berpengaruh sangat nyata terhadap produksi kokon cacing tanah. Media M2 berbeda nyata terhadap M1, M3, M4 dan M5, dan M1 berbeda nyata terhadap M3, M4 dan M5.

Pada media M2 menghasilkan rataan produksi kokon tertinggi, ini menunjukkan bahwa media limbah pelepah kelapa sawit 75% dengan penambahan kotoran ayam 25% cocok untuk perkembangbiakan cacing tanah. Menurut Sihombing (2000) jenis dan jumlah pakan yang dikonsumsinya akan menentukan produktivitas cacing dalam menghasilkan kokon. Cacing tanah yang diberikan bahan organik yang mengandung nitrogen (N) yang lebih tinggi, lebih cepat tumbuhnya dan menghasilkan kokon yang lebih banyak (Anas 1990). Hasil penelitian yang dilakukan Haryono (2003) juga menunjukkan hal yang sama, bahwa kandungan nitrogen yang tinggi dalam media memberikan pengaruh baik terhadap reproduksi dan produksi kokon cacing tanah jenis Lumbricus rubellus.

Hasil pengamatan selama 30 hari media M5, M4, dan M3 merupakan media yang sedikit memproduksi kokon, diduga penyebabnya karena faktor kepadatan media, aerasi dan bobot badan cacing tanah. Hermawati (1998); Astuti (2001) menuliskan aerasi yang baik dapat mempengaruhi produksi kokon. Media M1 produksi kokon lebih sedikit dari M2, kemungkinan karena cacing tanah dalam memproduksi kokon membutuhkan campuran kotoran ternak dalam menyuplai protein dan mineral. Kotoran hewan dapat menyuplai protein dan mineral

(9)

9

sedangkan sayur-sayuran menyuplai selulosa dan vitamin (Palungkun 1999). Protein memiliki peranan penting dalam kehidupan cacing tanah. menurut Lingga (2002) kotoran ayam memiliki kandungan unsur hara N 1%, P 0,80%, K 0,40% dan kadar air 55%. Hal ini didukung oleh Anas (1990) populasi cacing tanah segera terpacu apabila tanah diberi kotoran hewan. Abbot dan parker (1981) juga mengemukakan bahwa ketersedian protein sangat penting dalam menentukan penyebaran dan produksi cacing tanah.

Menurut Lee (1985) cacing tanah menghasilkan kokon dipengaruhi oleh kepadatan populasi, bobot biomassa, temperatur, kelembaban, derajat keasaman dan kandungan zat makanan yang tersedia. Perubahan suhu mempengaruhi aktivitas cacing tanah termasuk metabolisme, pertumbuhan, respirasi dan perkembangbiakan (Minnich 1977). Menurut Neuhauser et al, (1988) dalam Samosir (2000), suhu yang optimal untuk Perionix exavatus adalah 30oC. suhu pada penelitian ini adalah masih dalam kisaran normal yaitu antara 28–31°C. Gaddie dan Gouglas (1977) menuliskan bahwa cacing tanah sangat aktif pada suhu 26oC, dan apabila kelembaban media terjaga masih dapat hidup serta melakukan perkawinan pada suhu 37,7oC.

Jumlah produksi kokon yang terbesar diperoleh pada pengamatan ketiga (hari ke 30). Jumlah peningkatan produksi kokon diduga akan terus bertambah jika waktu pengamatan ditambah. Hal ini dikarenakan cacing tanah masih aktif untuk bereproduksi. Masa pra reproduksi cacing tanah P. coretrurus (Fr. Mull) berkisar antara 3-4 bulan, sedangkan masa aktif produksi cacing 5-7 bulan (Yulminarti 1994). Kemungkinan peningkatan jumlah kokon diikuti oleh penurunan pola bobot badan karena energi yang dimiliki cacing tanah digunakan untuk memproduksi kokon.

KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bobot badan cacing tanah serta produksi kokon berbeda nyata dipengaruhi oleh jenis media (P > 0,05). Pertambahan tertinggi dengan (PBB) = 0,28 gr/ ekor pada media M2 dan pertambahan terendah dengan (PBB) = 0,02 gr/ekor pada media M5. Produksi kokon terbanyak 19 butir pada media M2 dan produksi kokon paling sedikit 0,3 butir pada media M4. Kandungan serat kasar yang tinggi dan protein yang tidak terlalu tinggi dalam media dapat meningkatkan hasil produksi cacing tanah begitu juga sebaliknya komposisi protein yang tinggi dan serat kasar yang tidak cukup ditambah dengan mineral rendah akan menghasilkan pertumbuhan dan produksi kokon yang kurang baik.

Berdasarkan hasil penelitian ini maka disarankan dalam budidaya menggunakan media limbah pelepah sawit 75% dengan campuran kotoran ayam 25% untuk meningkatkan populasi cacing tanah dan perlu dilakukan penelitian mengenai jenis-jenis limbah organik lain yang memiliki serat kasar yang berpotensial digunakan sebagai media pertumbuhan cacing tanah.

DAFTAR PUSTAKA

Abbot, I., C. A Parker, 1981. Interactions Between Earthworms and Their Soil Environment, Soil Biol. Biochem. 13 (3) : 191-197.

(10)

10

Anas, I. 1990. Metode Penelitian Cacing Tanah dan Nematoda. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor.

Armadi. 2001. Pengaruh Pemberian Ampas Tahu, Kapur dan Perlakuan Suhu Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Cacing Lumbricus rubellus serta Kualitas Vermicompost yang Dihasilkan dengan Menggunakan Media Kotoran Sapi. [Skripsi]. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Astuti ND. 2001. Pertumbuhan dan Perkembangan Cacing Tanah Lumbricus rubellus dalam Media Kotoran Sapi yang Mengandung Tepung Darah. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Biang, brata, 2003. Kualitas Eksmecat dari Beberapa Spesies Cacing Tanah pada

Tingkat Penyiraman dan Pengapuran yang Berbeda. Jurnal. Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. Bengkulu.

Edwards CA, Lofty JR. 1977. Biology of Earthworm. London: Chapman and Hall.

Gaddie SRRE, Douglas DE.1977. Earthworm For Ecology and Profit. Volume 11, Scientific Earthworm Farming. California: B. Publishing Company.

Hanafiah, K. A., I. Anas, A. Napoleon dan N. Ghoffar. 2003. Biologi Tanah. PT. Raja Grafindo. Jakarta.

Haryono. 2003. Pemanfaatan Serbuk Sabut Kelapa dan Ampas Tahu sebagai Media Pakan Cacing Tanah (Lumbricus rubellus). Prosiding Temu Teknis Fungsional Non Peneliti. Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. 66-73.

Herayani, Yanti. 2001. Pertumbuhan dan Perkembangbiakan Cacing Tanah Lumbricus rubellus dalam Media Kotoran Sapi yang Mengandung Tepung Daun Murbei (Morus multicaulis). [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor Hisbinudin, N. 2000. Pengaruh Jenis Media Campuran Kotoran Sapi, Kelinci dan Cacahan Batang Pisang Terhadap Produktivitas dan Kualitas Nutrisi Cacing Tanah (Lumbricus rubellus). [Skripsi]. Jurusan Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Lee, KE. 1985. Earthworms Their Ecology and Relationships With Soil and Land Use. CSIRO Division of Soil Adelaide, sydney

Lingga, P. 2002. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya. Jakarta.

Minnich J.1977. The Earthworms Book: How to Rise and Use Earthworms for Your Farm and Farden. USA: Rodale Press Emmaus, PA.

Najib, A. 1983. Peningkatan Pemanfaatan Limbah Melalui Pemeliharaan Cacing Tanah dan Uji Organoleptik sebagai Komponen Pengedel. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Nofyan, E. 2000. Studi Berbagai Macam Feses Hewani Terhadap Laju Konsumsi dan Produksi Kokon Cacing Tanah P. Javanica Gates. Prosiding BKS-PTN Bidang Mipa, UNRI. Pekanbaru

Palungkun, R. 1999. Sukses Beternak Cacing Tanah (Lumbricus rubellus). Penebar Swadaya, Jakarta.

Rukmana. 1999. Budidaya Cacing Tanah. Kanisius. Yogyakarta.

Samosir, Cristina M. F. 2000. Studi Performasi Produksi Cacing Tanah Dari Tiga Spesies Yang Berbeda. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor

(11)

11

Sherman R. 2003. Raising earthworms succesfully. Ekstension Solid Waste Spesialist Biological and Agricultural Engineering North Carolina state University, Raleigh, NC. North Carolina State: North Carolina Cooperatve Extension Service 641 : 1-26.

Sihombing, D. T. H. 2002. Satwa Harapan I. Pengantar Ilmu dan Teknologi Budidaya Wirausaha Muda. Bogor.

Simandjuntak, A.K dan Djoko Wuloyo. 1982. Budidaya Cacing Tanah dan Pemanfaatannya. PT. Penebar Swadaya. Jakarta

Soedijanto dan Hadmadi. 1980. Pupuk Kandang Hijau Kompos. Bumi Restu. Jakarta. 50 Halaman

Tilman, D. A. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Widjaya, E., B.N. Utomo,. S. Muhrizal. 2005. Inovasi Teknologi Mendukung Sistem Integrasi Temak dengan Kelapa Sawit di Kalimantan Tengah. Prosiding Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi 22-23 Agustus 2005 di Banjarbaru. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.

Yulminarti. 1994. Pengaruh Berbagai Macam Serasah Daun dan Feses Hewani Pada cacing Tanah Pontoscolex corethrurus Fr. Mull. Terhadap Produksi Kokon dan Lamanya Masa Reproduksi. Tesis Pasca Sarjana ITB. Bandung. (tidak dipublikasikan).

Yulprianto. 1995. Pengaruh Dosis dan Jenis Pupuk Terhadap Populasi Cacing Tanah Lokal (Pheretima sp) Cakrawala Pendidikan. Edisi khusus.

Gambar

Tabel 1. Rataan pertambahan bobot badan cacing tanah
Gambar 2. Media pertumbuhan a. Kotoran ayam dan b. Limbah pelepah sawit  Rataan bobot badan induk cacing tanah pada kelima jenis media mengalami  penambahan,  tetapi  nilai  penambahan  bobot  badan  tidak  sama
Tabel 2. Rataan jumlah kokon cacing tanah
Gambar 4. Kokon cacing tanah

Referensi

Dokumen terkait

Pada derajat kemiripan genetik lebih kecil dari 0,63 (63 %), klon merah pagar berada dalam satu kelompok dengan klon merah dan hijau yang termasuk dalam kelompok spanish (Gambar

UUD 1945 sebagai konstitusi Negara Republik Indonesia memiliki banyak wajah UUD 1945 tidak saja dapat dilihat sebagai konstitusi politik ( political constitution ) yang

Proses level 0 (Gambar 2) ini menjelaskan alur keseluruhan proses yang terjadi pada aplikasi untuk sistem Kamus Bahasa Indonesia ke Bahasa Dayak Ngaju dan Bahasa

CDU karya Rohendy dan Supis (1959/60) dapat dikatakan merupakan jawaban dari ketidakpuasan orang Sunda, yang diwakili oleh perkumpulan yang bergerak dalam bidang

Pada metode individual bearing tanah lempung dan tanah pasir kenaikan kapasitas yang paling besar terjadi pada saat jumlah helix pada tiang helical ditambah yang semula

Pertama, adalah karena persiapan menyusui tidak dapat dilakukan secara mendadak (harus sejak masa kehami- lan); kedua, kemungkinan bayi diberikan susu formula atau makanan

Pandangan Marx yang menyatakan bahwa keberadaan manusia ditentukan atau dikondisikan oleh realitas material yang berada di luar jangkauan kesadaran, dan pada saat yang sama

Peningkatan kepadatan gulma akan ber- pengaruh nyata pada berat buah pertanaman (R 2 = 0,9), semakin banyak kepadatan gulma yang diperoleh maka semakin sedikit bobot