CEDERA KEPALA PADA ANAK
Dr ISKANDAR JAPARDI
Fakultas Kedokteran Bagian Bedah
Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN
Cedera kepala pada anak merupakan penyebab kematian dan cacat yang tinggi. Kurang lebih 25% cedera yang dapat meneybabkan kematian pada anak disebabkan oleh cedera kepala (Huttlenlocher, 1987; Evans, 1987).
Di Inggris jumlah anak yang masuk ke rumah sakit karena cedera kepala meningkat 6 kali dalam 20 tahun yang terakhir (Menkes, 1985). Menurut Blaskey setiap tahun terdapat 200.000 anak yang dirawat karena cedera kepala dan diperkirakan 15.000 anak memerlukan perawatan jangka panjang. Pada anak dengan cedera kepala yang berat ± 50% mempunyai gejala sesa neurologik dan ± 2%-5% meninggalkan cacat yang berat.
Oleh karena angka kejadian cedera kepala pada anak cukup tinggi, maka perlu diagnosis dini, perawatan, pengobatan serta mengamati perjalanan penyakit merupakan kunci dalam menanggulangi cedera kepala.
PENYEBAB CEDERA KEPALA
Jenis cedera yang dapat meneybabkan kerusakan kepala dan jaringan otak sangat bervariasi dari tekanan yang paling ringan sampai kecelakaan lalu lintas. Pada anak kurang dari 4 tahun cedera kepala sering disebabkam oleh jatuh dari meja, kursi, tangga, tempat tidur dan lain-lain. Sedangkan pada anak yang lebih besar sering disebabkan oleh mengendarai sepeda atau karena kecelakaan lalu lintas (McLaurin RL and Towbin R, 1990).
PATOFISOLOGI
Kulit kepala, rambut, tulang tengkorak dan tulang muka melindungi otak dari cedera. Bila cedera dengan tekanan sedang dapat terjadi fraktur linear, tetapi bila dengan kekuatan yang tinggi dapat menyebabkan suatu fraktur depresi. Otak dan tengkorak memberi respon yang berbeda terhadap kekuatan akselerasi dan deselerasi yang disebabkan oleh pukulan.
Pergerakan otak pada permukaan tengkorak bagian dalam yang ireguler dan tajam (seperti permukaan orbita, pada fossa frontalis, sphenoid ridge, falx dantentorium) dapat menyebabkan terjadinya leserasi dan kontusio pada otak, vena serebral yang berhubungan dengan sinus venosus dapat robek sehingga darah akan masuk ke ruang subdural. Fraktur juga dapat menyebabkan putusnya arteri meningeal dan sinus venosus yang besar menyebabkan perdarahan pada ruang epidural.
Setelah cedera otak, cerebral blood flow dapat menurun oleh karena vaso spasme, sedangkan pada daerah yang lain dapat terjadi dilatasi arteriol akibat hilangnya mekanisme pengaturan yang otomatis. Akibat daripada vasodilatasi pembuluh darah disertai dengan edem serebri dan adanya hematoma dapat
KLASIFIKASI
Akibat cedera kepala dapat terjadi beberapa bentuk kelainan seperti: 1. Kulit kepala
a. Luka tertutup b. Luka terbuka
2. Fraktur tulang tengkorak, yang terdiri atas: a. Fracture linear b. Fracture diastetik c. Fracture basis d. Fracture depresi e. Fracture gabungan f. Growing fracture 3. Cedera otak a. Concussion b. Contusio c. Laserasi 4. Intrakranial hematoma a. Ekstradural hematoma b. Subdural hematoma c. Subdural hygroma
d. Intraserebral hematoma (Gilroy JB, 1982; Menkes JH, 1980) DIAGNOSA CEDERA KEPALA
1. Anamnesa
Anamnesa yang terperinci mengenai cedera perlu dilakukan sehingga dapat diketahui lokalisasi dan cara terjadinya cedera kepala
2. Pemeriksaan umum
Beberapa hal yang perlu di observasi, adalah:
• Fungsi vital
Tekanan darah yang meninggi disertai dengan bradikardi dan pernapasan yang tidak teratur (trias Cushing) menandakan adanya tekanan tinggi intrakranial. Nadi yang cepat disertai hipotensi dan pernapasan yang ireguler mungkin disebabkan gangguan fungsi batang otak misalnya pada fracture oksipital.
• Mata
Perlu diperiksa besar danreaksi dari pupil. Perdarahan retina sering terlihat pada perdarahan subarakhnoid atau perdarahan subdural
• Kepala
Diperiksa apakah terdapat luka, hematoma, fracture. Bila terdapat nyeri atau kekakuan pada leher atau perdarahan subarakhnoid
• Tekinga dan hidung
Diperiksa apakah terdapat perdarahan atau keluar cairan serebrospinal dari hidung/telinga. Perdarahan telinga disertai akimosis di daerah mastoid (Battle’s sign) mungkin akibat fracture basis kranil
• Abdomen
Abdomen juga harus diperiksa terhadap kemungkinan adanya perdarahan intra abdominal.
3. Pemeriksaan neurologik
Derajat kesadaran merupakan indikator beratnya kerusakan otak. Derajat kesadaran harus dinyatakan dalam bentuk respons mata, verbal dan motorik. Pada anak dipergunakan dalam Children Coma Scale. (Raimondi AJ, 1986) Respons mata: score maksimal 4
• Gerakan mata pursuit Score 4
• Otot ekstra intak, pupil reaktif Score 3
• Fixed pupil atau gangguan otot ekstra okuler Score 2
• Fixed pupil dan paralise otot ekstra okuler Score 1 Respons verbal: score maksimal 3
• Menagis Score 3
• Napas spontan Score 2
• Apnoe Score 1
Respon motorik: score maksimal 4
• Fleksi dan ekstensi Score 4
• Dengan rangsangan nyeri terjadi gerakan withdrawn Score 3
• Hipertonik Score 2
• Flaksid Score 1
Menurut North B and Reilly P., jumlah score yang normal :
• Bayi baru lahir sampai umur 6 bulan , jumlah score 9
• Umur 6 bulan sampai 12 bulan, jumlah score 11
• Umur 12 bulan sampai umur 2 tahun, jumlah score 12
• Umur 2 tahun sampai umur 5 tahun, jumlah score 13
• Umur 5 tahun atau lebih, jumlah score 14
Selanjutnya diperiksa saraf otak lainnya (bentuk pupil, refleks cahaya, refleks kornea, refleks okulosefalik), refleks fisiologis serta refleks patologis.
4. Pemeriksaan penunjang
• Foto kepala
Foto kepala dibuat apabila didapat riwayat kehilangan kesadaran, pernah kraniotomi, pemeriksaan klinik didapat cekungan tengkorak, keluar darah atau cairan palpebra/kedua mata, terdapat korpus alienum dalam luka, dalam keadaan stupor atau koma, terdapat gejala neurologik fokal
• Fungsi lumbal
Pada pasen dengan sk,cairan serebrospinal menunjukkan warnasantokrom. Pada komsio serebri dan hematoma epidural cairan serebrospinal berwarna jernih sedangkan pada kontusio serebri cairan serebrospinal bercampur darah
• EKG
EKG abnormal sering ditemukan segera setelah terjadi trauma dan cendrung membaik setelah terjadi penyembuhan.
• Angiografi
Pemeriksaan ini cukup berbahaya dan hanya dilakukan pada pasen yang mengalami perburukan secara progresif atau adanya tanda fokal seperti hemiparese dengan kecurigaan adanya hematoma. Bila ada kelainan didalam otak akan tampak adanya pergeseran lokasi pembuluh darah. Pemeriksaan ini bermanfaat bila alat OTOT-OTOT Scan tidak ada.
• Burr holes
Tindakan ini digunakan untuk mendiagnosa sekaligus merupakan tindakan operasi pada kasus subdural dan epidural hematoma
• Air encephalography
Tindakan ini mempunyai resiko yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan tindakan angiografi oleh karena dapat menekan otak
• Computed Tomography
Dengan computed tomography dapat diketahui adanya kerusakan otak. Dengan alat ini dpat ditentukan adanya kerusakan di dalam maupun di luar otak
• Ultrasonography
Pada umumnya ultrasonography digunakan pada bayi dengan trauma intrakranial serta untuk mengikuti perjalanan dari suatu khronik subdural hematoma
PENGOBATAN
Tujuan pengobatan adalah untuk menciptakan keadaan yang optimal serta mencegah komplikasi>
1. Pernapasan
Pada pasen cedera kepala dengan kesadaran menurun tidak dapat dipertahankan jalan napas adekuat. Mulut dan farings dapat tersumbat oleh sekresi sisa muntah dan bekuan darah. Lesi di batang otak dapat pula mengganggu pusat pernapasan sehingga pernapasan menjadi tidak adekuat. Oleh karena itu menjaga jalan napas serta ventilasi yang efektif sangat penting pada pasen dengan cedera kepala.
2. Mempertahankan perfusi otak
Tekanan perfusi otak dipengaruhi oleh tekanan darah arterial dan tekanan intrakranial (tekanan perfusi serebral tekanan darah arterial-tekanan intrakranial). Oleh karena itu pada cedera kepala tekanandarah dicegah jangan sampai menurun. Jika terdapat syok dan perdarahan harus segera diatasi. Dan bila didapat tekanan intrakranial yang meningkat harus dicegah. 3. Edema otak
Bila terdapat tanda-tanda edema otak, maka harus diberikan obat untuk mengurangi edema otak tersebut.
4. Cairan dan elektrolit
Pasen dengan kesadaran menurun atau pasen dengan muntah, pemberian cairan dan elektrolit melalui infus merupakan hal yang penting. Harus diukur input dan output cairan, sebab hidrasi yang berlebihan dapat memperburuk edema. Keadaan dehidrasi harus dikoreksi
5. Nutrisi
Pada pasen dengan cedera kepala kebutuhan kalori dapat meningkat karena terdapat keadan katabolik. Bila perlu diberi makanan melalui sonde lambung 6. Pasen yang gelisah
Pada pasen yang gelisah dapat diberi obat penenang misalnya haloperidol. Untuk nyeri kepala dapat diberi analgetik. Pemberian sedatif dapat mengganggu penilaian tingkat kesadaran
7. Hiperpireksia
Suhu tubuh pasen harus dijaga jangan sampai terjadi hiperpireksia. Biasanya hiperpireksia terjadi segera setelah trauma kemungkinan disebabkan oleh gangguan hipotalamus.
8. Bangkitan kejang
Bila terjadi bangkitan kejang dapat diatasi dengan pemberian diazepam intravena dengan dosis 0.3 mg/koagulan BB dengan maksimal 5 mg untuk anak kurang 5 tahun dan 10 mg untuk anak yang lebih besar
9. Operasi
Pada sebagian kecil pasen dibutuhkan tindakan operasi, misalnya pada hematoma subdural dan hematoma epidural.
PROGNOSA
Tengkorak anak masih elastis dan mempunyai kesanggupan untuk mengalami deformasi, maka tengkorak anak dapat mengabsorpsi sebagian energi kekuatan fisik tersebut sehingga dapat memberikan perlindungan pada otak.
Prognosis cj pada anak lebih baik dibandingkan orang dewasa. Kelainan yang sering dijumpai adalah: epilepsi post cedera kepala. Angka kejadian epilepsi post cedera kepala kurang dari 5%.
Subdural efusi kronik merupakan komplikasi yang sering terjadi disebabkan pengobatan yang tidak adekuat. Apabila ditemukan adanya pembesaran lingkaran kepala secara cepat dan pemeriksaan transiluminasi menunjukkan adanya cairan, maka kemungkinan terdapat subdural efusi. Menurut Evans pada cedera kepala yang berat, 80% akan mengalami perbaikan, 20% menunjukkan gangguan neurologik yang berat dan 10% mengalami kerusakan yang tidak dapat diperbaiki/meninggal.
DAFTAR PUSTAKA
Blaskey J. Head trauma in pediatrics neurologic physical theraphy. 3th ed. London : WB Saunders. 1990, p. 2149-2192
Eisenberg HM. Late complication of head injury, in pediatrics neurosurgery. Grune & Stratton a subsidiary of harcourt Brace Jovanovich, London. 1982, p. 321-331
Evans OB. Manual of child neurology. New York : Churchill Livingstone. 1987, p. 319-327
Gilroy J.; Holliday PL. Trauma in basic neurology. New York : MacMillan. 1982, p. 288-295
Huttenlocher PR. Head injury in Nelson textbook of pediatrics. 13th ed. London :
WB Saunders. 1987, p. 1325-1326
Marks CV; Lavy CBD. A practical guide to head injury management. London: WB Sounders, 1992: p. 120-121
McLaurin RL. Head injury in pediatrics neurology. 3th ed. Philadelpia: Harper & Row. 1983, p. 507-548
Menkes JH; Batzdorf U. Postnatal trauma and injuries by physical agents in Menkes JH. Textbook of child neurology. 2nd ed. Philadelpia : Lea &
Febiger, 1980, p. 411-435
North B; Reilly P. Raised intracranial pressure, Heinemann medical books. 1990, p. 32-34Raimondi AJ. Hirschauer J. Clinical criteria children’s coma score and outcome scale for decision making in managing head injury infants and toddlers in Raimondi JA. Head injuries in the newborn and infants. New York : Springer Verlag. 1986, p. 141-162
Russel H; Patterson JR. Injury of the head and spine in cecil. Loebs textbook of medicine. 13th ed. London : WB Saunders. 1979, p. 879-885
Selhorst JB. Neurological examination of head injury patients in Becker DP; Gudeman SK, textbook of head injury. London : WB Saunders. 1989, p. 82-100
Ward JD. Pediatrics head injuries: Special consideration in Becker DP, textbook of head injury. London : WB Sounders. 1989, p. 319-349