• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. tanker (0,68%), tugboat (8,84%), dan kapal penangkap ikan (77,09%). 1 Selain

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. tanker (0,68%), tugboat (8,84%), dan kapal penangkap ikan (77,09%). 1 Selain"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Data dari Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) menyebutkan, hingga saat ini, terdapat 400 ribu Awak Kapal Penangkap Ikan WNI yang memilih berlayar dengan kapal asing. Dari jumlah tersebut, sekitar 100 ribu AKPI WNI bekerja di kapal niaga, 100 ribu lainnya di kapal pesiar, 50 ribu di kapal industri lepas pantai dan sisanya, bekerja di kapal pencari ikan. Sedangkan berdasarkan data pihak Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), jumlah AKPI Indonesia di luar negeri sebanyak 262.869 jiwa, di mana mayoritas terpusat di kawasan Asia Pasifik, Amerika Selatan dan Afrika. Para AKPI tersebut terbagi dalam beberapa kategori, yakni AKPI yang bekerja di kapal kargo (6,57%), kapal pesiar (6,80%), kapal tanker (0,68%), tugboat (8,84%), dan kapal penangkap ikan (77,09%).1 Selain standar gaji yang lebih tinggi, hal lain yang menjadi pertimbangan bekerja di kapal asing adalah lapangan kerja bagi AKPI di dalam negeri semakin berkurang. Daya tarik bekerja di luar negeri sangat besar sehingga mencari pelaut yang andal di Indonesia tidaklah mudah sebab mereka cenderung lebih senang bekerja menjadi pelaut kapal barang di luar negeri. Banyak taruna lulusan Akademi Pelayaran Niaga

1 Muhammad Fasabeni, 2015, Ratifikasi Konvensi ILO dan Perlindungan AKPI, dimuat

dalam http://www.gresnews.com/berita/sosial/1730248-ratifikasi-konvensi-ilo-dan-perlindungan-AKPI/3/ diakses pada tanggal 28 April 2017 pukul 05.45 Wib.

(2)

Indonesia (AKPELNI) memilih bekerja di luar negeri dengan gaji dolar Amerika Serikat.2

Salah satu negara perekrut tenaga kerja migran bidang perikanan terbesar adalah Korea Selatan. Menurut data Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Seoul, saat ini terdapat 32.622 buruh migran asal Indonesia di Korea Selatan, dan sekitar 3.499 di antaranya bekerja sebagai AKPI.3 Menurut International Labour Organization (ILO), pada tahun 2014 di Korea Selatan terdapat sekitar 192.833 tenaga kerja di sektor perikanan yang mana sekitar 4.000 orang diantaranya adalah pekerja migran. Pekerja migran asal Indonesia mendominasi jumlah pekerja migran di sektor perikanan Korea Selatan dengan jumlah 2.043 orang, disusul pekerja migran asal Vietnam sebanyak 961 orang, pekerja migran dari Tiongkok 721 orang, dan sisanya 281 orang dari negara lain.4 Sedangkan berdasarkan data BNP2TKI, menunjukkan bahwa satu dari enam TKI sektor perikanan ditempatkan di Korea Selatan.5 Para AKPI yang berasal dari Indonesia tersebut ditempatkan oleh perusahaan-perusahaan penangkap ikan Korea Selatan di berbagai kapal yang beroperasi di berbagai negara di dunia.

Pengaturan tentang penempatan awak kapal penangkap ikan Indonesia ke luar negeri secara umum adalah Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Profesi

2 Sita Hidriyah, 2014, Kasus Tenggelamnya Kapal Oryong 501 dan Perlindungan TKI

AKPI, Info Singkat Hubungan Internasional Vol. VI, No. 23/I/P3DI/Desember/2014, Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI, Hlm. 6.

3Ibid.

4 Ratih Pratiwi Anwar, Tenaga Kerja Indonesia Sektor Perikanan di Kapal Berbendera

Korea Selatan, INAKOS Journal Vol III No 2 April 2017, Korean Studies in Indonesia, Hlm. 38.

(3)

sebagai awak kapal penangkap ikan termasuk dalam pekerjaan atau jabatan tertentu yang membutuhkan pengaturan secara khusus sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28 UU Nomor 39 tahun 2004 ini. Namun hingga saat ini, amanat pengaturan khusus tersebut belum dilaksanakan oleh Kementerian Tenaga Kerja sebagai pengemban amanat tersebut. Belum adanya aturan teknis tentang penempatan dan perlindungan bagi tenaga kerja Indonesia (TKI) di sektor pelaut di luar negeri dari Kementerian Ketenagakerjaan ini membuat nasib perusahaan rekrutmen awak kapal (manning agent) dan pelaut menjadi tidak menentu.

Hal tersebut di atas sangat merugikan bagi para pelaut dalam hal perlindungan, karena tidak adanya payung hukum yang jelas yang memayungi mereka. Selain pelaut, para manning agent pun turut merasakan dampaknya, salah satunya dalam hal perizinan perusahaan. Sebagai contoh, terkait perizinan bagi

manning agent yang merekrut dan menempatkan pelaut perikanan di luar negeri.

Manning agent merasa kebingungan tentang perizinan yang harus mereka taati sesuai dengan aturan yang berlaku saat ini, sebab ada beberapa aturan dari beberapa instansi Pemerintah yang mengatur tentang hal tersebut, diantaranya adalah:

1. Surat Izin Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (SIPPTKI) dari Kemenaker sesuai Pasal 12 UU PPTKILN.

2. Pendaftaran sebagai Pelaksana Penempatan Pelaut Perikanan (P4) di Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) sesuai Peraturan Kepala BNP2TKI No: PER.03/I/KA/2013 tentang Tata Cara Penempatan dan Perlindungan TKI Pelaut Perikanan di Kapal Berbendera Asing.

(4)

3. Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal (SIUPPAK) dari Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 84 Tahun 2013 tentang Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal.

Kelemahan aturan terkait penempatan AKPI perikanan ini tidak hanya bersumber dari Indonesia sebagai negara pengirim, namun kelemahan aturan juga bersumber dari Korea Selatan sebagai negara penerima yang belum secara maksimal mengatur penempatan AKPI perikana asal Indonesia ini. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya kasus-kasus pelanggaran dan bahkan kejahatan yang terjadi di kapal-kapal perusahaan asal Korea Selatan. Salah satu kasus yang pernah terjadi adalah kasus eksploitasi AKPI asal Indonesia di kapal ‘the Oyang 70’ Asal Korea Selatan yang melakukan usaha penangkapan ikan di laut Selandia Baru pada tahun 2010.6 Para awak kapal asal Indonesia di atas kapal tersebut menuturkan

bahwa keadaan tempat hidup mereka di atas kapal itu sangat tidak layak. Ruang tempat mereka tinggal selalu terendam air, tanpa tempat tidur, sangat kotor dan selalu dipenuhi serangga. Mereka harus mandi dengan air laut dan minum air yang sangat kotor dan tidak dimasak. Mereka juga mengaku tidak mendapatkan makanan dengan kuantitas dan kualitas yang memadai, bahkan mereka kadang hanya makan nasi dan umpan ikan yang sudah membusuk, dan setelah 20 hari berlayar makanan mereka dijatah dan dapur kapal dikunci. Kondisi ini sangat berbeda dengan para

6 Christina Stringer, dkk., 2011, Not in New Zealand’s Waters, Surely? Labour and Human

Rights Abuses Aboard Foreign Fishing Vessels, New Zealand Asia Institute, New Zealand, Hlm. 13-14.

(5)

petugas kapal yang dapat makan berbagai makanan dan minuman sepanjang pelayaran.

Berbagai kecelakaan kerja juga dialami oleh para awak kapal yang minim perlengkapan keselamatan. Mereka hanya diberi satu set sarung tangan dalam sebulan tanpa kacamata pelindung, pakaian keamanan dan perlengkapan keselamatan lainnya. Berbagai insiden yang menimpa para pekerja seperti jari yang hancur di sabuk conveyer, jari hancur tertimpa pengawet ikan seberat 12 kilogram, cedera karena terjatuh, tersandung dan terperangkap dalam kawat ketika menarik jaring, dan berbagai kasus lainnya. Sebagian besar kasus tersebut hanya diobati dengan plester luka atau obat yang sudah kedaluarsa atau bahkan tanpa pengobatan sama sekali dan semua kecelakaan ini tidak dicatat dalam buku catatan kapal dan tidak dilaporkan ke petugas kelautan Selandia Baru. Ketika tiba di pelabuhan, para awak kapal yang terluka dilarang untuk turun dari kapal agar petugas pelabuhan tidak melihat kondisi mereka.

Gaji yang diterima juga tidak sesuai dengan kontrak kerja dan bahkan yang lebih buruk tidak dibayarkan gajinya. Pembayaran gaji AKPI juga tak sesuai dengan peraturan. Misalnya gaji dikirim ke agensi di Indonesia, dipotong untuk biaya agensi, dan sisanya dikirim pada keluarga. Ada juga kasus diskriminasi penggajian, AKPI Uruguay menerima US $600, sedangkan AKPI Indonesia hanya US $180. Beberapa kasus yang ditangani BNP2TKI juga menunjukkan banyak AKPI yang tidak memiliki perjanjian kerja laut (PKL), karena agensi kebanyakan menyodorkan perjanjian kerja biasa saja. Masalah lainnya, perjanjian kerja tidak ditanda tangani oleh pelaut dan agensi tetapi hanya ditanda tangani oleh pelaut dan

(6)

saksi mata dari agensi. Biaya penempatan AKPI dalam beberapa kasus melebihi biaya penempatan yang semestinya atau overcharging. Ada juga kasus di mana perjanjian kerja tak disahkan oleh instansi yang berwenang, tak diasuransikan, dan jikapun diasuransikan tak jelas asuransinya.

Jika melihat pada kondisi tersebut, perlindungan terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) AKPI perlu dilakukan secara lebih maksimal oleh Pemerintah Indonesia. Oleh karena itu, komitmen Pemerintah Indonesia, khususnya lembaga-lembaga terkait seperti Kementerian Ketenagakerjaan, BNP2TKI, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Perhubungan untuk memberikan perlindungan yang berkualitas, menyeluruh, dan berkelanjutan bagi para TKI di luar negeri harus benar-benar dibuktikan. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, sejatinya AKPI yang bekerja di kapal asing juga termasuk TKI yang dilindungi. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia perlu memberikan perhatian lebih terhadap upaya perlindungan TKI AKPI di luar negeri, apalagi melihat realita bahwa dari tahun ke tahun memang semakin terasa bertambah besarnya animo TKI untuk bekerja ke luar negeri. Animo tersebut tidak terkecuali juga terjadi di sektor kelautan dan perikanan, bahkan TKI yang dikirim untuk bekerja sebagai AKPI ke luar negeri bisa mencapai 10.000 orang per tahunnya.7

Adanya berbagai kasus yang dihadapi oleh para pekerja migran asal Indonesia yang bekerja di kapal-kapal perikanan Korea Selatan sebenarnya dapat

7 Sita Hidriyah, Op.Cit.

(7)

diminimalisir dengan adanya ketentuan baku yang dapat melindungi mereka. Ada banyak kasus yang dihadapi AKPI Indonesia di kapal perikanan Korea Selatan tersebut disebabkan karena kurangnya pemahaman para pekerja dan perusahaan penerima terkait hak-hak dan kewajibannya saat perekrutan dan pasca penempatan tenaga kerja. Banyak dari kontrak kerja yang ditandatangani oleh para pekerja migran ini ternyata tidak memihak mereka, tetapi karena kendala bahasa dan tuntutan perusahaan pengerah yang kadang hanya memberikan waktu beberapa menit untuk membaca kontrak sehingga akhirnya terpaksa mereka setujui tanpa tahu isi kontrak-kontrak tersebut. Di pihak lain, Korea Selatan sebagai negara penerima juga belum melakukan upaya yang maksimal untuk memberikan perlindungan bagi AKPI asal Indonesia. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya kasus-kasus pelanggaran dan bahkan kejahatan yang dihadapi oleh para pekerja migran ini. Permasalahan inilah yang kemudian melatarbelakangi penulis untuk mengangkat permasalahan ini dalam penelitian yang berjudul “Analisis Kelemahan Tata Kelola Penempatan Awak Kapal Penangkap Ikan Asal Indonesia yang Bekerja di Kapal Perikanan Korea Selatan”.

B. Rumusan Masalah

Adapun fokus permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimanakah tata kelola penempatan awak kapal penangkap ikan asal

Indonesia yang bekerja di kapal perikanan Korea Selatan?

2. Bagaimanakah kelemahan tata kelola penempatan awak kapal penangkap ikan asal Indonesia yang bekerja di kapal perikanan Korea Selatan?

(8)

3. Bagaimanakah rekomendasi tata kelola penempatan awak kapal penangkap ikan asal Indonesia yang bekerja di kapal perikanan Korea Selatan?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui tata kelola penempatan awak kapal penangkap ikan asal Indonesia yang bekerja di kapal perikanan Korea Selatan.

2. Untuk menganalisis kelemahan tata kelola penempatan awak kapal penangkap ikan asal Indonesia yang bekerja di kapal perikanan Korea Selatan.

3. Untuk membuat rekomendasi kelemahan tata kelola penempatan awak kapal penangkap ikan asal Indonesia yang bekerja di kapal perikanan Korea Selatan.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diambil meliputi manfaat dari segi akademis maupun manfaat dari segi praktis. Dari penelitian ini juga mencakup kedua manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini, yaitu:

1. Manfaat Akademik

Penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum perburuhan internasional, terutama yang berkaitan dengan standar kontrak kerja anak buah kapal penangkap ikan asal Indonesia yang bekerja di kapal perikanan Korea Selatan.

(9)

Penelitian ini diharapkan dapat membantu pemerintah (Kementerian Ketenagakerjaan, BNP2TKI, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Perhubungan), aktivis pemerhati yang terkait, pengusaha dan masyarakat untuk mencermati kelemahan tata kelola penempatan awak kapal penangkap ikan asal Indonesia yang bekerja di kapal perikanan Korea Selatan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu menemukan formulasi tata kelola penempatan awak kapal penangkap ikan asal Indonesia yang bekerja di kapal perikanan Korea Selatan sebagai wujud perlindungan tenaga kerja migran asal Indonesia yang bekerja di kapal perikanan asing dan perusahaan-perusahaan yang terlibat di dalamnya, sehingga dapat meminimalisir kasus-kasus pelanggaran yang dialami oleh para pekerja migran tersebut.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian ini berjudul “Analisis Kelemahan Tata Kelola Penempatan Awak Kapal Penangkap Ikan Asal Indonesia yang Bekerja di Kapal Perikanan Korea Selatan”. Sepanjang penelusuran peneliti, penelitian atas judul tersebut belum pernah dilakukan oleh pihak lain. Oleh karenanya, peneliti berkeyakinan bahwa sejauh ini belum ada yang membahas secara spesifik tentang analisis kelemahan tata kelola penempatan awak kapal penangkap ikan asal Indonesia yang bekerja di kapal perikanan Korea Selatan. Adapun penelitian yang masih ada kaitannya dengan judul penelitian yang peneliti angkat, yaitu:

1. Penelitian dosen Universitas Gadjah Mada yang berjudul “Urgensi Re-Format Tata Kelola Penempatan Dan Perlindungan AKPI Yang Bekerja Di Kapal

(10)

Berbendera Asing Dalam Rangka Peningkatan Perlindungan Hukum Terhadap AKPI” tahun 2015 oleh Agustina Merdekawati dan Susilo Andi Darma.

Persamaan dari kajian hasil penelitian di atas dengan kajian yang akan peneliti lakukan adalah sama-sama membahas mengenai adanya kelemahan pengaturan penempatan AKPI yang bekerja di luar negeri. Perbedaannya adalah penelitian tersebut lebih berfokus mengkaji kelemahan peraturan Indonesia dalam mengatur penempatan awak kapal penangkap ikan asal Indonesia di luar negeri, yang kemudian ditambahkan dengan rekomendasi formulasi pengaturan dari perspektif penulis, sedangkan penelitian ini akan mencoba menguraikan akar masalah kelemahan pengaturan tersebut dari negara pengirim (Indonesia) dan negara penerima (Korea Selatan). Penulis juga akan mencoba memerikan rekomendasi terkait pengaturan yang baik menurut perspektif penulis. Luaran penelitian ini diharapkan bisa menjadi landasan dalam menciptakan kebjakan yang lebih baik terkait pengaturan penempatan AKPI yang bekerja di Korea Selatan. Sehingga, menurut hemat penulis, penelitian yang dilakukan oleh penulis merupakan penelitian yang berbeda dan bersifat komplementer dari penelitian sebelumnya, sehingga penulis berharap penelitian ini nantinya dapat menjadi tambahan atau pelengkap dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.

Referensi

Dokumen terkait

semua golongan agama, dalam rangka pemerataan pelayanan dan untuk mendukung akselerasi pembangunan Kota Jakarta yang mengarah kepada pusat pelayanan jasa (Service

Dalam penelitian ini pembuatan desain pembelajaran bermuatan nilai dengan model pembelajaran kooperatif inkuiri difokuskan pada topik hukum- hukum dasar kimia,

(4) Dalam hal Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang berasal dari perseorangan secara bersama- sama tidak dapat

tersebut seringkali disebut dengan kekerasan domestik. Kekerasan domestik sebetulnya tidak hanya menjangkau para pihak dalam hubungan perkawinan antara suami dengan istri saja,

Untuk mengetahui hubungan antara keadaan sosial ekonomi ibu dengan kecemasan yang dialami ibu menjelang persalinan dilakukan Uji Chi Square yang disajikan pada

Dalam penelitian ini akan dianalisa kestabilan dari model matematika pada permasalahan pengendalian hama terpadu yang secara kimia dilakukan dengan penyemprotan

pengarahan. Seperti perangkat Desa Mojodelik selaku mediasi antara masyarakat dan pihak migas selalu memberikan arahan agar uang ganti rugi pembebasan lahan untuk

Pengalaman dalam berorganisasi dibutuhkan dalam membangun suatu organisasi, tetapi dalam penelitian ini pengalaman organisasi berpengaruh negatif terhadap persepsi pemuda