• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mahasiswa UNAIR Sulap Limbah Kulit Semangka Jadi Masker Antioksidan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Mahasiswa UNAIR Sulap Limbah Kulit Semangka Jadi Masker Antioksidan"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Mahasiswa

UNAIR

’Sulap’

Limbah Kulit Semangka Jadi

Masker Antioksidan

UNAIR NEWS – Mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Airlangga berhasil berinovasi “menyulap” limbah kulit semangka menjadi masker wajah antioksidan yang alami. Dalam produksi pertama dalam pengenalan pasar, sudah terjual 140 Pcs dengan harga yang sangat terjangkap, Rp 6.000/Pcs.

”Dua manfaat sekaligus kami hadirkan. Pertama mengatasi

permasalahan limbah, dan kedua menjadikan limbah tersebut menjadi produk bermanfaat dan punya nilai plus,” kata Amelya Mustika P, Ketua Tim Program Kreativitas Mahasiswa bidang Kewirausahaan (PKMK) FF UNAIR.

Diakui, salah satu permasalahan yang sering dihadapi pelajar, mahasiswa, dan perempuan umumnya, adalah permasalahan kulit wajah. Mengapa? Karena para pelajar dan mahasiswa, dan perempuan aktif umumnya memiliki banyak aktivitas di luar rumah/kampus. Sehingga terpapar sinar ultraviolet dan polusi menyebabkan pembentukan radikal bebas meningkat dan memicu kerusakan pada kulit, mulai kulit wajah menjadi kusam, kasar, dan timbulnya noda hitam. Keadaan demikian menyebabkan kurangnya rasa percaya diri dan rasa kurang nyaman.

Pada sisi yang lain, limbah juga merupakan permasalahan yang tiada habisnya.Mulai dari limbah organik maupun anorganik. Adanya limbah tentu sangat mengganggu masyarakat, maka diperlukan suatu upaya untuk mengolah limbah tersebut. Salah satunya mengolah limbah menjadi produk yang bermanfaat bagi masyarakat dan mempunyai nilai jual.

Berangkat dari permasalahan tersebut, tim PKM-K (Program Kreativitas Mahasiswa bidang Kewirausahaan) Fakultas Farmasi Universitas Airlangga yang beranggotakan Amelya Mustika P

(2)

(2015), Septiani (2015), Theresa Binayu P (2015), M. Dzul Azmi A.A (2015), dan Galuh Ratri (2014) mengombinasikan suatu produk yang selain dapat mengatasi permasalahan pada kulit wajah, juga membantu mengurangi limbah. Produk inovasi bernama “Watermelon Beauty Face Mask” ini telah lolos bantuan dana pengembangan dari Dirjen Dikti, Kemenristekdikti RI 2017.

Kemasan ’Watermelon Beauty Face Mask’ yang dipasarkan. (Foto: Dok PKMK FF-UA)

“Watermelon Beauty Face Mask” merupakan masker wajah yang berasal dari limbah kulit putih semangka, dimana kulit putih semangka itu memiliki kandungan antioksidan yang dapat menangkal radikal bebas serta mencerahkan kulit wajah. Menurut sebuah jurnal, kulit putih semangka kaya akan vitamin, mineral, enzim, dan klorofil. Vitamin-vitamin yang terkandung di dalamnya adalag vitamin A, vitamin B2, vitamin B6, vitamin E, dan vitamin C. Kandungan vitamin E, vitamin C.

“Protein yang cukup banyak pada kulit putih buah semangka dapat digunakan untuk menghaluskan kulit, rambut, dan membuat rambut tampak berkilau. Sedangkan sitrulin, betakaroten dan

(3)

likopen yang terdapat pada kulit putih buah semangka dapat dimanfaatkan sebagai antioksidan,” kata Amelya Mustika, ketua Tim PKMK mengutip sebuah jurnal yang ditulis Rochmatika dkk (2012).

“Sehingga kita tak perlu khawatir lagi untuk beraktivitas di luar ruangan. Selain itu, Watermelon Beauty Face Mask juga memiliki aroma yang menenangkan, sehingga sangat cocok untuk digunakan usai melakukan aktivitas sehari-hari,” tambah Amelya.

Menariknya lagi, “Watermelon Beauty Face Mask” ini begitu diperkenalkan ke masyarakat, hingga kini sudah terjual 140 Pcs pada produksi pertama. Tim menjual dengan harga Rp 6.000/Pcs dinilai sangat terjangkau bila dibandingkan dengan manfaat yang dimiliki masker buatan mahasiswa Farmasi UNAIR ini.

Guna memenuhi permintaan konsumen yang sudah mengenalnya, Watermelon Beauty Face Mask juga hadir dengan tiga varian, yang dibuat berdasarkan jenis kulit, yaitu untuk kulit kering, kulit normal, dan kulit berminyak.

Tim berharap dengan penggunaan Watermelon Beauty Face Mask ini dapat melembabkan kulit yang kering pada penggunanya, juga mengurangi sebum bagi kulit yang berminyak, dan menjaga kelembaban untuk kulit normal.

”Tunggu apa lagi, segera pesan Watermelon Beauty Face Mask dan dapatkan kulit wajah Anda yang lebih sehat,” kata Amelya berpromosi. (*)

(4)

Atasi

Pencemaran,

Beli

Sayuran Cukup dengan Sampah

Popok Bayi

UNAIR NEWS – Berawal dari keprihatinan terhadap kondisi

pencemaran sungai yang terjadi di Kota Surabaya, empat mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (UNAIR) menggagas metode baru dalam mencegah pencemaran pada salah satu sungai di kawasan Gunung Anyar Tengah, Surabaya. Metode baru yang dimaksud adalah membeli sayur memakai popok bayi (diaper) yang disingkat LISA KEPO. Keempat mahasiswa FKM UNAIR penggagas ide tersebut adalah Anca Laika (FKM/2015), Musyayadah (FKM/2015), Elsya Vira Putri (FKM/2014), dan Ahmad Habibullah (FKM/2014). Ide tersebut kemudian mereka tuangkan dalam proposal Program Kreativitas Mahasiswa – Pengabdian Masyarakat (PKM-M) dan berhasil lolos seleksi pendanaan dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) tahun 2016.

Mengapa menggunakan popok bayi? “Metode ini berawal dari keprihatinan kami terhadap kondisi Sungai Kali Mas Surabaya yang tercemar akibat melimpahnya limbah popok bayi. Sedangkan di wilayah Gunung Anyar Tengah terletak di lokasi yang diapit dua sungai, sehingga berpotensi untuk dicemari oleh limbah yang berasal dari popok bayi bekas,” ungkap Anca Laika, Ketua Tim PKM-M ini.

Sesuai dengan ilmu kesehatan lingkungan yang mereka dapatkan di bangku kuliah, popok bayi itu mengandung zat bernama Gel Sodium Polyacrylate, sehingga dapat dimanfaatkan menjadi media tanam sayuran, atau sering disebut sebagai METAPOK (MEdia TAnam POpok). Bahkan gagasan mereka ini mendapat apresiasi dari Dinas Pertanian Pemerintah Kota Surabaya dengan membantu

(5)

memberi bibit sayuran agar bisa ditanam menggunakan METAPOK tersebut.

Dalam proses implementasi gagasan, tim PKM-M LISA KEPO memberdayakan para ibu anggota Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) setempat. Tim PKM mengajak para ibu PKK untuk membuat bank sampah yang cukup besar, tujuannya untuk menampung popok bayi bekas.

Setiap warga yang menyetorkan sampah popok bayi juga dianjurkan untuk membawa buku tabungan popoknya. Di buku itu kemudian dicatatkan jumlah popok yang di kumpulka setiap hari ke pengurus bank sampah. Semakin banyak sampah popok bekas yang dikumpulkan di bank sampah, semakin banyak pula sayuran hasil tanam yang dihasilkan. Metode inilah yang diberi nama LISA KEPO (beLI SAyur paKEk POpok).

Anca dan kawan-kawan berharap, dengan adanya penemuan ini maka intensitas pembuangan popok bayi bekas bisa berkurang, kemudian gagasan ini juga bisa menyebar ke daerah lain. Sebetulnya tujuan dari ide ini hanya ingin agar masyarakat tidak membuang sampah diaper ke sungai, sebab dampak dari pembuangan popok bayi bekas ini, menurut penelitian ecoton pimpinan Prigi Arisandi, membuat 85% ikan di Kali Surabaya berkelamin betina.

“Kondisi ini bisa menyebabkan kepunahan ikan yang hidup di Sungai-sungai di Surabaya,” tutur Anca Laika, ketua pelaksanaan dalam program PKM ini.

Disinyalir, pembuangan sampah popok bayi di sungai yang dilakukan masyarakat Surabaya ini merupakan perkembangan budaya bahwa popok bayi tidak boleh dibakar. Ada kepercayaan di masyarakat jika membuang popok bayi ke tempat sampah, mereka meyakini nantinya sampah popok itu akan dibakar ketika di TPA (Tempat Pembuangan Akhir sampah), dan itu dipercaya dapat membuat bayi mereka terserang ”Suleten” (iritasi kulit pada area sekitar kelamin). (*)

(6)

Editor : Bambang Bes

Ciptakan Selai Mengkudu dan

Bogem untuk Anti Hipertensi

UNAIR NEWS – Hipertensi atau dikenal dengan tekanan darah tinggi dapat memicu beberapa penyakit kardiovaskular seperti serangan jantung, stroke, dan gagal jantung. Penyakit kardiovaskular merupakan pembunuh nomor satu di dunia. Bersarkan dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, penderita hipertensi di Indonesia sekitar 65 juta jiwa atau sekitar 25,8% dari keseluruhan penduduk Indonesia.

Kondisi stres, obesitas, kurang olahraga, merokok, dan minum alkohol merupakan beberapa faktor penyebab hipertensi. Penderita hipertensi umumnya mengkonsumsi obat sebagai sarana pengobatan. Namun, konsumsi obat dapat menyebabkan kebosanan karena rasa yang tidak enak.

Berangkat dari masalah itu, lima mahasiswa Fakultas Perikanan dan Kelautan (FPK) Universitas Airlangga, yakni Septia Rahmadini (2014), Dian Cahyani Sisari (2014), Syifa’ul Janna (2014), Qurrotul A’yun (2014) dan Aprilia Rachmawati (2015), membuat inovasi produk yang dapat mengatasi hipertensi berupa selai dengan rasa yang lebih bisa dinikmati oleh masyarakat. Produk inovasi bernama “SEL-DUGEM (Selai Mengkudu dan Bogem) Anti Hipertensi” ini telah lolos bantuan dana pengembangan dari Dirjen Dikti, Kemenristekdikti RI tahun 2016 dalam kategori Program Kreatifitas Mahasiswa Kewirausahaan (PKM-K). “SEL-DUGEM (Selai Mengkudu dan Bogem) Anti Hipertensi” ini merupakan selai yang berasal dari buah mengkudu dan buah

(7)

bogem.

“Kandungan yang dimiliki buah mengkudu yaitu scopoletin dan xeronin memiliki khasiat menurunkan tekanan darah. Sedangkan kandungan pada buah bogem berupa senyawa bioaktif berpotensi sebagai antihipertensi,” ujar Septia Rahmadini.

Produk SEL-DUGEM (Selai Mengkudu dan Bogem) Anti Hipertensi ini dijual dengan dua inovasi kemasan. Produk dengan berat 300 gram seharga Rp. 25.000 dan 100 gram dengan harga Rp.15.000. Selama empat bulan dibuat, produk ini sudah tersebar ke beberapa daerah di Jawa.

Ke depan, produk ini akan dipasarkan ke luar Jawa hingga ke luar negeri. “SEL-DUGEM (Selai Mengkudu dan Bogem) Anti Hipertensi” dapat dipesan melalui Instagram dan Line dengan akun ‘seldugem’, melalui facebook dengan nama ‘mengkudu dan bogem’, serta kontak whatsaap 085645078780. (*)

Editor : Binti Q. Masruroh

Atasi

Kanker

Payudara,

Mahasiswa UNAIR Buat Alat

Terapi

UNAIR NEWS – Gabungan mahasiswa Universitas Airlangga berhasil

terciptanya alat terapi Lymfipum (Lymphedema Fisiotherapeutic Pump) sebagai solusi atas penderita Limfedema akibat pasca operasi kanker payudara.

Ditanya UNAIR News tentang yang melatari penelitian itu, Ketua Tim PKM-PE Lymfipum gabungan UNAIR ini, Dewa Ayu Githa Maharani Supartha menjelaskan bahwa di negara berkembang

(8)

seperti Indonesia, dari tahun ke tahun pasien kanker terus meningkat. Sedangkan penyakit kanker yang terbanyak di Indonesia adalah kanker payudara.

Menurut Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI 2015, pada tahun 2013 saja jumlah pasien kanker payudara mencapai 0,5% yaitu sekitar 61.682 pasien. Sekitar 20-53% kanker payudara merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya limfedema (National Cancer Institute, 2012).

Seperti diketahui, limfedema adalah pembengkakan pada bagian ekstremitas atas maupun bawah yang disebabkan oleh terganggunya aliran limfa. Konon Limfedema tidak dapat disembuhkan (Greene, 2015), padahal limfedema bisa menyebabkan ketidaknyamanan, disfungsi ekstremitas, morbiditas, dan berakibat fatal pada kematian.

Selain itu, jumlah tenaga kerja fisioterapi pada tahun 2014 sekitar 6.813 pekerja. Jumlah tersebut belum memadai dengan kebutuhan secara ideal, yaitu seorang fisioterapis per 1000 penduduk (Profil Kesehatan Indonesia tahun 2014).

Dari keadaan itulah gabungan mahasiswa Universitas Airlangga yang diprakarsai Dewa Ayu Githa MS., Lucia Pangestika, Ataul Karim, Mokhammad Deny Basri, dan Mokhammad Dedy Bastomi, berhasil merancang alat terapi Lymfipum (Lymphedema Fisiotherapeutic Pump) sebagai solusi penderita Limfedema akibat pasca operasi kanker payudara.

Mereka adalah gabungan dari mahasiswa S1 Teknobiomedik (Fakultas Sains dan Teknologi/FST), dan mahasiswa D3 Otomasi Sistem Instrumentasi (OSI) Fak. Vokasi. Atas bimbingan dosen Drs. Tri Anggono Prijo, mereka berhasil menyusun makalah bertajuk “Lymfipum – Lymphedema Fisiotherapeutic Pump – Solusi Praktis Patient Post Surgery Breast Cancer” dan berhasil memperoleh dana hibah dari Ditjen Dikti Kemenristek Dikti. Menurut Dewa Ayu Githa, Lymfipum yang dibuat ini memiliki variasi range tekanan dari 20 mmHg – 60 mmHg. Selain itu

(9)

terdapat LCD yang akan menampilkan keluaran berupa tekanan yang diberikan. Cara kerja dari Lymfipum yaitu dengan memilih nilai tekanan yang diinginkan dengan menggunakan push button. Kemudian tekan tombol “oke” maka pompa udara akan mengeluarkan udara, sehingga udara akan masuk kedalam handcuff. Handcuff itu sendiri tediri dari tiga chamber yang akan mengembang dan mengempis secara bergantian seperti memijat. Mengembang dan mengempisnya chamber inilah yang akan mendesak keluar cairan limfa dari daerah yang mengalami pembengkakan (ekstremitas atas).

“Sehingga dengan diciptakannya Lymfipum ini, diharapkan mampu mengurangi resiko kematian akibat terjadinya limfedema pada pasien pasca operasi kanker payudara,” kata Githa berharap mewakili rekan-rekannya. (*)

Penulis : Nuri Hermawan

Editor : Bambang Edy Santosa

Prihatin

Akan

Budaya

Mengemis, Pemuda Madura Ikuti

Komunitas Binaan Mahasiswa

UNAIR

UNAIR NEWS – Semangat untuk mengembangkan pendidikan terus

bermunculan dari putra putri Universitas Airlangga. Salah satunya ialah dibentuknya komunitas baru yang bergerak dalam bidang pendidikan, Komunitas Saghara Elmo. Saghara Elmo berasal dari bahasa Madura. Saghara yang berarti lautan, dan Elmo adalah ilmu.

(10)

Program Komunitas tersebut adalah mengumpulkan buku-buku dari p a r a d o n a t o r . B u k u y a n g t e l a h t e r k u m p u l k e m u d i a n didistribusikan untuk taman baca di Dusun Kokon, Kecamatan Manding, Kabupaten Sumenep. Ide mendirikan komunitas tersebut bermula dari kegelisahan lima mahasiswa UNAIR yakni Imamatul Khair (Sastra Inggris), Niken Cahyani (Sastra Inggris), Husnul Muasyaroh (Psikologi), Nikmatus Solicha (Ilmu Informasi dan Perpustakaan) dan Arika Kamelia (Akuntansi). Mereka juga bekerjasama dengan komunitas lain dari Jakarta untuk mencapai tujuan mulia mereka.

Iim, sapaan akrab Imamatul Khair, bersama rekan-rekannya kemudian mengajukan ide tersebut untuk dikembangkan dalam sebuah pengabdian masyarakat. Proposal yang ia kirim pada Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) Pengabdian Masyarakat berjudul “Saghara Elmo sebagai Upaya Menghilangkan Budaya Bhurmain di Dusun Planggaran, Branta Tinggi, Tlanakan, Pamekasan, Madura”. Proposal tersebut akhirnya diterima dan Dikti bersedia untuk mendanai program tersebut. Hal ini semakin mendekatkan Iim dengan harapannya untuk mengembangkan pendidikan di salah satu wilayah di pulau garam tersebut.

“Daerah tersebut dipilih bukan tanpa observasi terlebih dahulu. Di wilayah tempat kami mengabdi terlihat bahwa sering sekali orang tua mengajak putra putri mereka mengemis (Bhurmain) di wisata Api Tak Kunjung Padam,” ujar Iim selaku ketua kelompok PKM.

Program Komunitas Shagara Elmo yang diberi nama “Minggu Berlayar” tersebut direalisasikan setiap minggunya di MI (Madrasah Ibtidaiyah) Darul Mukhlisin di Dusun Planggaran, Branta Tinggi, Tlanakan, Pamekasan, Madura.

“Program Minggu Berlayar diharapkan dapat menjadi media yang akan mengurangi, bahkan menghilangkan kebiasaan tidak baik di masyarakat daerah tersebut. Dalam Program Minggu Berlayar, kami mengusung perpaduan pendidikan karakter dan akademik secara project-based learning,” lanjutnya kemudian.

(11)

Pada tahap realisasi, Komunitas Shagara Elmo memberikan materi pembelajaran yang berbeda setiap minggunya, seperti Fun Science, I-Youth, World Wide, dan Kidspreneur.

Pada Minggu, (8/5) tim pengabdian tersebut mengadakan kegiatan Kidspreneur yaitu melukis Tote Bag. Kegiatan ini mengenalkan tata cara berwirausaha sejak dini kepada peserta didik. Selain itu, Komunitas Shagara Elmo juga turut membangun sebuah perpustakaan yang dijuluki Smart Library. Program Minggu Berlayar juga menyediakan konsultasi materi sekolah di sesi “Klinik Ilmu”.

Foto bersama anggota komunitas Saghara Elmo dengan anak-anak didikinya (Foto: Istimewa)

Berbagai program yang dijalankan tim disambut baik oleh pemuda lokal Madura. Seiring berjalannya waktu, komunitas ini berusaha untuk mengajak dan merekrut pemuda lokal Madura agar mau bergabung menjalankan program Minggu Berlayar. Selanjutnya, Iim dan rekan-rekannya dibantu oleh belasan

(12)

pemuda Madura lainnya untuk menjalankan program ini. Iim dan rekan-rekannya berharap agar Program Minggu Berlayar tidak berhenti ketika program PKM tersebut selesai, namun tetap menjadi sebuah program rutin yang memiliki nilai positif. “Saya bisa belajar banyak hal dari kegiatan Minggu Berlayar. Banyak pembelajaran yang saya dapat dari Kakak-kakak di Komunitas Saghara Elmo. Terlebih saya juga sangat senang karena bisa mengabdi untuk memajukan minat anak-anak di bidang pendidikan di Madura,” ujar Sasmitha, salah satu relawan di Program Minggu Berlayar yang merupakan siswa SMA kelas XI. (*) Penulis : Binti Q. Masruroh

Editor : Dilan Salsabila

Penyakit Leukemia Akut Banyak

Jangkiti Anak-anak

UNAIR NEWS – Jumlah angka kejadian kanker pada anak-anak dari

tahun ke tahun mengalami peningkatan. Tahun 2014, tercatat ada 144 kasus, sedangkan tahun 2015 menjadi 206 kasus baru. Jumlah tersebut merangkak naik di tahun berikutnya. Tahun 2016, angka kejadian kanker pada anak menjadi 252 kasus baru.

Dari sederet kasus kanker yang diidap oleh anak-anak, hampir setengah dari mereka menderita kanker darah atau yang biasa dikenal dengan leukemia. Jenis kanker darah yang paling banyak diderita adalah Leukemia Limfoblastik Akut (LLA).

Guru Besar bidang Ilmu Spesialis Anak Fakultas Kedokteran, Prof. Dr. I Dewa Gede Ugrasena, dr., Sp.A (K), mengatakan jumlah kasus penyakit LLA tersebut dikumpulkan berdasarkan pasien yang masuk di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo

(13)

(RSDS). Bila pada tahun 2015 ada 106 kasus baru, maka tahun 2016 ada 108 kasus baru yang ditangani di RSDS.

Meski jumlah kasusnya terus meninggi, penyebab penyakit ini belum bisa diketahui.

“Bila darah pada orang dengan penyakit Tuberkulosis atau Lepra diperiksa, akan diketahui penyebabnya. Sedangkan, penyebab penyakit kanker termasuk leukemia, belum diketahui,” tutur Ugrasena ketika diwawancarai.

Mengutip penelitian para ahli, Ugrasena menyatakan penyakit leukemia kemungkinan disebabkan zat-zat kimiawi dan fisis. Anak-anak cukup rentan mengkonsumsi makanan dan minuman yang mengandung bahan-bahan pengawet. Dugaannya, bahan pengawet tersebut bisa menyebabkan kanker pada anak.

Di sisi lain, anak-anak yang menderita kanker darah juga banyak ditemukan usai ledakan reaktor nuklir di Chernobyl Ukraina tahun 1986 lalu. “Sehingga dihipotesiskan oleh para ahli bahwa atom atau fisika bisa menyebabkan kanker,” imbuh dokter spesialis anak tersebut.

Para orang tua perlu jeli dalam melakukan deteksi dini pada anak-anak. Gejala awal yang terlihat pada anak dengan leukemia adalah peningkatan suhu tubuh selama kurun waktu dua minggu dan disertai perdarahan pada kulit dan mukosa.

“Kita (orang tua) harus bisa membedakan apakah ini kanker padat atau kanker darah. Kanker yang solid itu bisa dikenali. Ketika memandikan, jika ibu jeli, dia akan merasakan benjolan di tubuh anaknya,” tutur Ugrasena.

Untuk itulah, orang tua disarankan segera datang ke tempat fasilitas kesehatan layanan kanker apabila gejala-gejala tersebut sudah ditemukan pada anak.

Polimorfisme

(14)

mengobati anak dengan kanker darah. Namun, ada sejumlah penyebab kegagalan dalam pengobatan kanker darah, salah satunya adalah cacat genetik.

Cacat genetik atau polimorfisme adalah kelainan genetik yang dibawa oleh anak sejak awal kehidupan. Jumlah kasus polimorfisme kanker darah cukup banyak. Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia cabang Jawa Timur menyebutkan, kasus polimorfisme mencapai sepertiga dari jumlah kasus LLA. Selain itu, polimorfisme mengakibatkan obat-obat kemoterapi tak mempan dalam menghabisi sel-sel kanker. Dalam penelitian berjudul “Single Nucleotide Polymorphisms of Interleukin-15 is Associated with Outcomes of Childhood Acute Lymphoblastic Leukemia” yang diterbitkan di jurnal Paediatrica Indonesiana tahun 2016, Ugrasena dan tim meneliti resistensi penyakit tersebut terhadap obat metotreksat (MTX) yang digunakan dalam kemoterapi.

“Mereka nggak mempan. Jadi, pasien-pasien leukemia ini biasanya diperiksa terlebih dulu apakah ada polimorfisme. Kalau sekarang kita tahu ada resistensi, kita ganti dengan obat lain yang sejenis,” tutur dokter kelahiran Tabanan, Bali.

Pemerintah perlu turun tangan

Pengobatan penyakit leukemia yang banyak diderita anak-anak berusia lima tahun itu bukan berarti tak kerap menemui keterbatasan. Jaminan kesehatan nasional tak mencakup pemeriksaan imunofenotipe. Pemeriksaan ini diperlukan untuk mengetahui kondisi pasien sehingga dokter bisa menentukan golongan risiko penyakit.

“Dengan pemeriksaan imunofenotipe, kita bisa menggolongkan apakah pasien termasuk high risk atau tidak. Ini menentukan terapi yang akan kita berikan,” tutur Kepala Instalasi Rawat Inap Anak RSUD Dr. Soetomo.

(15)

satu kali periksa. Dengan biaya pemeriksaan yang tinggi, kondisi tersebut bisa menyulitkan pasien dengan ekonomi kurang mampu.

“Kita bisa melakukan, cuma pemerintah atau rumah sakit tidak mau menyediakan karena biayanya mahal dan BPJS tidak mau menanggung, sehingga tidak menjadi pemeriksaan rutin,” terang Ugrasena yang pernah menjadi lulusan terbaik Sekolah Pascasarjana UNAIR.

Selain persoalan pemeriksaan, keterbatasan stok obat kemoterapi juga menjadi faktor penyebab angka kesintasan anak dengan leukemia rendah. Menurut Ugrasena, ketersediaan obat tak sejalan dengan keinginan pasien untuk sembuh. Ia mengatakan ada tiga hingga empat jenis obat kemoterapi yang tidak tersedia, salah satunya jenis obat metotreksat.

“Pasien-pasien sekarang itu kebingungan. Mereka akhirnya membeli ke Malaysia karena pengin sembuh. Obat tersebut di-cover oleh BPJS Kesehatan. Hanya secara nasional, obat itu tidak bisa masuk ke Indonesia. Padahal kasusnya banyak. Jadi, kontinuitas ketersediaan obat kemoterapi tidak selalu ada. Suatu saat obat itu ada, lain waktu obatnya habis,” tuturnya. Ia lantas mengimbau agar pemerintah Indonesia menjamin hak-hak kesehatan warganya dengan menyediakan obat-obatan yang diperlukan agar para pasien bisa berobat secara rutin. Jika tidak, peluang angka bertahan hidup anak dengan penyakit LLA bisa menurun. (*)

Penulis : Defrina Sukma S Editor : Binti Q. Masruroh

(16)

Mendulang Rupiah dari Limbah

Ternak

UNAIR NEWS – Limbah telah menjadi masalah perkotaan yang tidak

bisa dipandang sebelah mata. Limbah yang berasal dari industri, rumah tangga, hingga peternakan kerap kali menimbulkan permasalahan yang bisa merusak lingkungan. Beda hal dengan Guru Besar bidang Ilmu Reproduksi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Prof. Dr. Herry Agoes Hermadi yang menjadikan pengolahan limbah ternak sebagai sumber ekonomi baru.

Sebagai peneliti sekaligus dosen di FKH UNAIR, ia tertantang untuk berkontribusi dalam menyelesaikan persoalan lingkungan. “Limbah rumah potong hewan seperti perut sapi (rumen), sebenarnya jika diperas akan menghasilkan cairan bio fermentor. Ini bermanfaat untuk mengurangi bau pada septic tank bahkan mampu menguras WC (water closet) tanpa disedot,” tutur Herry.

Sari rumen bisa dimanfaatkan untuk menghancurkan limbah k o t o r a n y a n g d i h a d a p i K o t a S u r a b a y a . B e r d a s a r k a n pengamatannya, warga di atas 50 persen masyarakat di Kota Surabaya masih membuang limbah kotorannya di sungai. “Mereka memiliki WC yang masih open defecation bukan close defecation. Ini artinya pembuangannya selalu bermuara ke sungai,” terangnya.

Selain itu, bio fermentor juga dapat dimanfaatkan untuk memproses fermentasi bahan pakan. Jika cairan bio fermentor dicampur dengan pupuk NPK dan disemprotkan di tanaman, kesuburan tanaman tersebut akan membaik.

Limbah lainnya yang bisa dimanfaatkan dari keberadaan peternakan adalah darah hewan yang sudah dipotong. Dalam satu hari, para pemotong hewan bisa menyembelih sekitar seratus

(17)

ekor sapi. Tak disangka, darah yang dibuang ini bisa dikembangkan menjadi pakan ternak yang memilki nilai ekonomis. “Setiap sapi bisa bisa menghasilkan 20 sampai 30 liter darah per hari. Bayangkan jika tiap harinya ada sekitar 100 ekor sapi yang disembelih namun tidak dimanfaatkan akan sayang sekali,” tutur Herry yang menjadi dosen pembimbing lapangan kegiatan Kuliah Kerja Nyata – Belajar Bersama Masyarakat UNAIR ini.

Penulis: Helmy Rafsanjani Editor: Defrina Sukma S

CSR Bukan Sekadar “Sedekah”

UNAIR NEWS – Semua perusahaan sudah selayaknya menyediakan

slot anggaran untuk program Corporate Social Responsibility (CSR). Terlebih, bila perusahaan itu berhubungan dengan penggalian potensi sumber daya alam. Dana CSR umumnya diberikan pada masyarakat yang berada di sekitar perusahaan tersebut menjalankan usaha.

Selama ini, sudah banyak perusahaan yang menyalurkan CSR dalam jumlah besar. Namun pertanyaannya, apakah gelontoran uang tersebut tepat sasaran dan benar-benar berdampak positif secara simultan? Untuk menjawab pertanyaan itu, bisa dilihat dari kondisi para penerima CSR selama ini. Apakah mereka mengalami pemberdayaan secara kontinu. Khususnya, di aspek sosial, ekonomi, dan pemeliharaan lingkungan.

Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNAIR Prof. Dr. Mustain Mashud, Drs., M.Si menyatakan, ada banyak

(18)

hal yang mesti disiapkan sebuah perusahaan sebelum menjalankan usahanya. Apalagi, bila usaha itu secara khusus berhubungan dengan pengelolaan atau penggalian sumber daya alam. Biasanya, perusahaan melakukan analasia mengenai dampak terhadap lingkungan. Termasuk di dalamnya, analisa terhadap polusi yang mungkin terjadi, lalu lintas yang bisa jadi tambah padat di area usaha, dan lain sebagainya.

Meski demikian, ada yang jauh lebih penting. Yakni, analisa penerimaan masyarakat pada keberadaan perusahaan tersebut. Kalau problem yang bukan manusia, pasti ada treatment penanggulangannya yang sudah baku. Namun, bila masalah yang muncul bersumber dari dampak gesekan dengan masyarakat, formula yang digunakan untuk mengatasi masalah ini pun pasti berbeda antara satu kawasan dengan kawasan lain.

Penerimaan masyarakat ini juga memiliki hubungan dengan penyaluran dana CSR. Sebab, penerima dana CSR itu, harus diutamakan berasal dari masyarakat sekitar tempat usaha. Maka itu, sedari awal, harus ada komunikasi antara perusahaan dan masyarakat setempat. Di dalamnya, dibahas pula tentang pengaplikasian program CSR.

Perusahaan harus melakukan pemetaan menyeluruh tentang kondisi, kebutuhan, dan potensi masyarakat. Sehingga, program CSR bisa dijalankan secara tepat sasaran. “CSR itu bukan sekadar pemberian uang untuk kegiatan sosial atau sedekah, bangun jembatan, atau bantuan dana untuk acara di kelurahan. Lebih dari itu, CSR harus dialokasikan untuk program yang bisa memberdayakan masyarakat,” kata dosen Sosiologi tersebut.

Harus ada telaah mendalam yang ekstra detail dari perusahaan. Pihak perusahaan tidak boleh malas untuk melakukan ini. Kebutuhan masyarakat harus dipetakan, lantas ditanya pada masyarakat itu secara langsung terkait apa yang mereka butuhkan. Setelah itu, ajak elemen masyarakat atau tokoh setempat merumuskan program bersama.

(19)

Misalnya, di kawasan itu potrensi batik, maka harus ada pelatihan batik yang melibatkan pihak berkompeten. Selain disiapkan sarana dan prasarananya, disediakan pula modalnya. Demikian pula, bila di daerah tersebut potensinya adalah beternak ayam. Maka, mesti disiapkan apa saja yang diperlukan agar masyarakat dapat terus berkarya dan berjalan roda ekonominya di bidang ternak tersebut.

“Para akademisi atau peneliti bisa berperan sebagai pihak yang mengawal proses pemetaan ini. Nanti, ikut pula dalam melakukan evaluasi,” ungkap Musta’in.

Dengan demikian, lambat laun, ekonomi rakyat dapat berdaya dan makin kuat. Bisa jadi, pada satu waktu, program itu sudah tidak mendapat bantuan CSR lagi. Karena, kalau sudah mandiri dan berdaya, masyarakat pasti sudah tidak butuh bantuan di bidang itu. Lantas, dana CSR yang ada bisa digunakan untuk kebutuhan lain yang perlu dikembangkan.

Kalau konsep dasar yang digunakan perusahaan sejak awal berbasis kondisi, kebutuhan, potensi, modal sosial, dan jaringan masyarakat yang bersifat lokalitas semacam itu, secara umum, warga pasti dengan senang hati menerima perusahaan tersebut. Lebih dari itu, CSR juga memiliki manfaat kongkret. “CSR idealnya menjadi investasi produktif. Bukan yang dipakai habis, dipakai habis,” ungkap profesor kelahiran Tulungagung tersebut. . Problemnya, tidak semua perusahaan mengacu pada standar ideal itu. Bahkan, kata Musta’in, dia pernah melakukan pengamatan pada sebuah kabupaten yang punya banyak perusahaan. Di sana, nyaris semua pola CSR di sana hanyalah berbentuk hibah atau bantuan yang sifatnya langsung habis.

Imbasnya, tidak ada pendidikan, pembelajaran, dan pemberdayaan yang meningkatkan kualitas warga setempat. Apa yang dibutuhkan warga, hanya ditanyakan oleh perusahaan melalui Camat atau Lurah. Hasilnya, tidak ada interaksi intensif yang berkesinambungan antara perusahaan dan masyarakat akar rumput.

(20)

Transformasi masyarakat utuk menjadi kekuatan yang lebih baik tidak bisa terwujud secara komprehensif.

Padahal, bila CSR dikelola dengan standar ideal secara cermat, akuntabilitasnya pun tetap terjaga. tidak ada pihak-pihak yang berani melakukan penyelewengan dana. Sebab, semua masyarakat dilibatkan. Semua warga turut mengontrol.

Pria yang pernah menjabat sebagai Ketua Program Studi Sosiologi UNAIR ini meyakini program CSR yang ditawarkan perusahaan swasta di Indonesia bisa membangun masyarakat yang mandiri. Program CSR pun harus didasari dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat (community development). Melalui pendekatan tersebut, program CSR diharapkan mengembangkan masyarakat berdasarkan kebutuhan dan potensi yang dimiliki. Kesejahteraan sosial dan penguatan ekonomi dapat terwujud. (*)

MINDUR, Inovasi Mie Kering

yang Tinggi Antioksidan

UNAIR NEWS – Indonesia sebagai negara maritim tentu memiliki garis pantai dengan hutan mangroove yang luas. Sayangnya masyarakat sekitar belum banyak memanfaatkan tumbuhan mangrooove.

Salah satu dari jenis mangroove tersebut yaitu Bruguiera gymnorrhiza atau yang lebih dikenal sebagai buah lindur. Padahal seluruh bagian dari tumbuhan ini dapat dimanfaatkan termasuk buahnya yang mengandung karbohidrat yang lebih tinggi dari beras dan jagung.

(21)

Berawal dari latar belakang tersebut, salah satu tim PKM-K dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga beranggotakan Winda Kusuma Dewi, Paskalia Nike Fortuna Sihura, Shabrina Fauzia Prayoga, dan Wahyu Dwi Katmono, membuat suatu inovasi mie berbahan dasar tepung buah lindur yang bernama MINDUR (Mie Lindur).

“Inovasi ini sebagai sumber alternatif karbohidrat,” tegas Winda selaku salah satu anggota.

Produk inovasi mie kering MINDUR ini telah lolos bantuan dana pengembangan dari Dirjen Dikti, Kemenristekdikti RI tahun 2016 dalam kaegori Program Kraetivitas Mahasiswa Kewirausahaan (PKM-K). Winda juga menjelaskan bahwa MINDUR bukanlah sekedar mie biasa.

“Tidak seperti mie pada umumnya yang dijual dipasaran, MINDUR diolah tanpa bahan pengawet yang berbahaya. Selain tinngi karbohidrat, MINDUR juga mengandung anti oksidan yang bermanfaat untuk menangkal radikal bebas, mencegah penuaan dini, melawan sel kanker dan mencegah kerusakan sel tubuh,” jelasnya.

Mengenai varian Winda mengatakan bahwa MINDUR terdiri dari beberapa varian rasa yakni original, balado, pedas manis dan ayam bawang. MINDUR juga dapat dimakan secara langsung, maupun dapat diolah sesuai selera konsumen. Hingga saat ini, mindur sudah dipasarkan di sekitar wilayah Banyuwangi. Salah satunya dalam event bergengsi di Banyuwangi yaitu Agro Expo Banyuwangi.

“Kalu soal harga, produk MINDUR dijual dengan harga terjangkau. Rp. 5.000,- per kemasan 100gr. Jadi sangat terjangkau,” terang Winda.

Di akhir penjelasannya Winda juga menyatakan bahwa produk ini tidak hanya dijual secara offline, mindur juga dapat dipesan secara online.

(22)

@mie_lindur dan line dengan akun @eam3990s,” pungkasnya. (*) Editor: Nuri Hermawan

Cangkang Kepiting dan Udang

sebagai Penyembuh Glaukoma

UNAIR NEWS – Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) tahun 2002, glaukoma merupakan penyebab kebutaan paling banyak kedua dengan prevalensi sekitar 4,4 juta, atau sekitar 12,3% dari jumlah kebutaan di dunia. Glaukoma adalah penyakit mata yang ditandai dengan meningkatnya tekanan intraokular secara patologis.

Dengan tekanan intraokular normal sekitar 15mmhg, pada glaukoma dapat meningkat cepat sampai 60 hingga 70mmhg. Tekanan yang sangat tinggi tersebut dapat menyebabkan kebutaan dalam beberapa hari atau beberapa jam.

Berdasarkan data dari American Academy of Ophthalmology tahun 2010, terapi konvensional untuk glaukoma membutuhkan satu atau lebih obat tetes mata topikal yang dirancang untuk menurunkan intraocular pressure (IOP) setidaknya 25%.

Sejauh ini, glaukoma bisa ditangani dengan beberapa penanganan. Diantara penanganan itu adalah dengan menggunakan pengobatan secara oral, obat tetes mata, dan pengobatan laser atau prosedur operasi. Pengobatan glaukoma saat ini dapat dilakukan dengan mengimplementasikan drug delivery system pada mata.

Kelemahan implementasi drug delivery system dan pengobatan yang sudah ada saat ini yaitu karena dilakukan secara invasif.

(23)

Pengobatan dapat menyebabkan infeksi, sehingga harus dilakukan operasi kedua. Hal inipun membutuhkan biaya yang tak sedikit. Berdasarkan latar belakang di atas, lima mahasiswa Universitas Airlangga memberikan solusi untuk membantu penyembuhan glaukoma. Solusi itu adalah dengan memanfaatkan bahan alam chitosan yang berasal dari cangkang kepiting atau udang.

Kelebihan chitosan gliserophosphate dan alginate yaitu memiliki kemampuan antibakteri yang mampu mencegah infeksi. Pada chitosan ditambahkan alginate yang berasal dari alga coklat dan dikemas dalam bentuk hydrogel yang memiliki sistem drug deliver.

Tim Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian (PKM-P) bidang eksakta yang mendapatkan pendanaan dari Kemenristek Dikti ini diketuai oleh Nadia Rifqi Cahyani dengan anggota Annisa Wahyu Alifiany, M. Bagus Lazuardi, Marsya Nilam Kirana, dan Iffa Aulia Fiqrianti. Dr. Prihartini Widiyanti, drg., M.kes, S.Bio, CCD bertindak sebagai dosen pembimbing.

Produk mahasiswa UNAIR ini dikemas dalam bentuk hydrogel yang memiliki sistem drug delivery. Produk ini dikemas dalam bentuk seperti butiran yang apabila diteteskan ke dalam mata, butiran akan menyebar ke mata bagian retina. Sehingga, dapat mengurangi cairan yang dapat meningkatkan tekanan intraokuler pada mata glaukoma.

Langkah ini diharapkan akan memperpanjang jangka waktu penghantaran obat mata pada retina sehingga pasien tidak perlu meneteskan obat mata berulang kali.

“Mata merupakan organ vital yang sangat penting bagi kehidupan. Dengan solusi yang kami buat, diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup dan memberi harapan bagi penderita glaukoma yang memiliki potensi besar terhadap kebutaan,” ujar Nadia selaku ketua tim.

(24)

(FTIR), Scanning Electron Microscope (SEM), swelling, dan drug delivery sehingga diharapkan dapat menjawab persoalan yang ada. (*)

Gambar

Foto bersama anggota komunitas Saghara Elmo dengan anak-anak didikinya (Foto: Istimewa)

Referensi

Dokumen terkait