• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mewujudkan Ukhuwah Islamiyah sebagai Antisipasi Disintegrasi Bangsa dalam Kajian Tasawuf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Mewujudkan Ukhuwah Islamiyah sebagai Antisipasi Disintegrasi Bangsa dalam Kajian Tasawuf"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Mewujudkan Ukhuwah Islamiyah

sebagai Antisipasi Disintegrasi Bangsa

dalam Kajian Tasawuf

Oleh: Edy Yusuf Nur∗

Abstrak

Krisis moralitas dan mulai pudarnya peradaban manusia yang dirasakan akhir-akhir ini sebenarnya merupakan suatu implikasi dari keinginan dan niat buruk manusia. Di antara sifat-sifat manusia yang tercela yang dapat mengotori jiwanya adalah: iri hati, dengki, benci, berburuk sangka, sombong, merasa sempurna diri dari orang lain, memamerkan kelebihan, mencari nama dan kemasyhuran, kikir, kebendaan, membanggakan diri, pemarah, pengumpat, bicara di belakang orang, dusta, dan munafik.Dalam istilah tasawuf, sifat-sifat tercela tersebut di atas disebut maksiat batin yang merupakan pendorong dan pembangkit maksiat lahir dan selalu menimbulkan kejahatan-kejahatan baru yang diperbuat oleh manusia.

Islam selalu mengajarkan perdamaian, kerukunan, dan kasih sayang. Kajian al-Qur'an mengasumsikan berbagai macam ukhuwah, antara lain :

a. Ukhuwah ‘ubûdiyyah, yaitu persaudaraan antara sesama makhluk Allah b. Ukhuwah insâniyyah, yaitu persaudaraan antara sesama manusia

c. Ukhuwah watoniyah, yaitu persaudaraan satu keturunan dan satu bangsa d. Ukhuwah fî dîn al-Islâm, yaitu persaudaran sesama muslim

Misi perdamaian ini mestinya dipandang sebagai nilai-nilai universal yang tidak pernah hilang sepanjang masa. Karena nilai-nilai inilah yang akan menjadi tolok ukur benar tidaknya pelaksanaan suatu agama.

A. Pendahuluan

Keadaan politik Indonesia yang semakin memanas dan tidak menentu akhir-akhir ini telah menimbulkan dampak yang negatif bagi terwujudnya stabilitas nasional. Keadaan ekonomi yang semakin terpuruk, kesenjangan sosial yang semakin tinggi, tingkat kriminalitas yang semakin meningkat, kebrutalan massa, dan lain sebagainya

(2)

merupakan dampak dari situasi politik yang kacau. Kondisi yang menyesakkan dada dan tidak mengenakkan ini membuat ketenangan, ketentraman, kedamaian, dan kesejahteraan umat terancam. Hal ini dikarenakan ketidakmampuan dan ketidakseriusan aparatur pemerintah dalam menyelesaikan problematika bangsa yang krusial, kompleks, dan multi dimensi. Pemerintah nampak tidak concern memperdulikan nasib

orang yang terpinggirkan. Nasib wong cilik yang membutuhkan

ketenangan, kedamaian, dan kesejahteraan tidak diperhatikan. Mereka hanya sibuk berpolemik, bertikai, dan berebut kekuasaan. Bila masyarakat menuntut, mereka hanya menjawab bahwa ‘ini merupakan warisan orde baru yang membutuhkan waktu yang panjang untuk menyelesaikan semuanya’ dan mengatakan ‘kita baru saja belajar demokrasi’. Mereka tidak menyadari, atau mungkin membutakan mata hatinya bahwa pertikaian dan perselisihan di tingkat elit telah memakan berjuta-juta korban dan akan membawa dampak yang besar sekali bagi bangsa ini.

Kebrutalan massa yang merusak, menjarah, dan membakar tempat-tempat ibadah, kantor polisi, gedung sekolah, dan tempat pelayanan umum, adanya keinginan dan tuntutan dari berbagai wilayah untuk merdeka, pertikaian dan permusuhan antar kelompok, golongan, dan agama dapat mengancam kerukunan antar kelompok, golongan dan agama. Hal ini juga dapat mengancam intregitas nasional yang selama ini telah terbina dengan semboyannya Bhinneka Tunggal Ika, biarpun berbeda-beda tetapi tetap satu jua.

Apabila bangsa kita telah terpecah-pecah maka tidak menutup kemungkinan negeri ini akan dijajah kembali. Ketenangan, ketentraman, dan kesejahteraan yang diidam-idamkan masyarakat akan sulit terwujud. Masyarakat yang dulunya bersatu dalam keberagaman kini akan seperti buih dalam lautan yang terombang-ambing dan tiada berguna.

Berangkat dari latar belakang di atas maka yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini adalah bahwa masih relevankah aturan-aturan Islam sebagai agama yang lahir pada 14 abad yang lalu untuk mengatasinya dan mampukah ia menjawab tantangan modernitas yang krusial, kompleks, dan multidimensi ini. Secara teoritis ia mampu karena Islam adalah agama penyempurna. Islam itu tinggi dan tidak ada

(3)

yang lebih tinggi darinya. Ajaran-ajaran Islam telah selesai diturunkan dengan sempurna kepada Nabi Muhammad SAW dan telah diabadikan dalam bentuk tulisan dalam Qur'an. Firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 3:

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”.1

Jadi jelaslah bahwa Islam seharusnya mampu menjawab tantangan modernitas. Tentu saja, ini harus dibuktikan dengan seberapa mampu umatnya membawa Islam sesuai dengan ajaran Illahi tersebut.

Berkaitan dengan permasalahan di atas, khususnya mengenai terancamnya intregitas bangsa, bagaimana sebenarnya konsep Islam tentang hal ini, seperti apa ukhuwah Islam itu, dan bagaimana peran tasawuf dalam memperbaiki akhlak umat. Uraian di bawah ini akan berusaha untuk menjawabnya.

B. Ukhuwah Islamiyah

Tasawuf melihat bahwa tindakan-tindakan anarkhis, kejahatan kerah putih, dekadensi moral dan persoalan-persoalan bangsa yang kita hadapi pada saat ini ada kaitannya dengan rendahnya kualitas akhlak. Rendahnya akhlak ini karena manusia telah melakukan maksiat, entah maksiat batin maupun maksiat lahir. Adapun sifat-sifat tercela yang dapat mengotori jiwa yang disebut dengan maksiat batin adalah: hasad

(iri hati), haqad (dengki atau benci), sû'uzzan (berburuk sangka), kibr

(sombong), ‘ujub (merasa diri lebih dan paling sempurna diri dari orang lain), riyâ' (memamerkan kelebihan diri), sum’ah (cari nama atau kemasyhuran), bukhl (kikir), hubbulmâl (cinta kebendaan, materialistis, konsumeris), tafakhkhur (membanggakan diri), ghadab (pemarah), ghîbah

(pengumpat), namîmah (berbicara di belakang orang, ngrasani) kizib

(dusta), dan khiyânah (tidak dapat dipercaya)

Adapun sifat-sifat yang tercela yang merupakan maksiat lahir ialah segala perbuatan yang dikerjakan oleh anggota-anggota badan

1 Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya,

(4)

manusia yang merusak orang atau diri sendiri sehingga mengakibatkan korban benda, fikiran ataupun perasaan. Maksiat lahir melahirkan perbuatan-perbuatan yang merusak seseorang dan mengacaukan masyarakat.

Maksiat batin lebih berbahaya lagi karena tidak kelihatan dan biasanya kurang disadari dan sukar dihilangkan. Maksiat batin itu adalah pembangkit maksiat lahir dan selalu menimbulkan kejahatan-kejahatan baru yang diperbuat oleh anggota badan manusia. Kedua macam maksiat itu selalu mengganggu keselamatan dan kesejahteraan masyarakat yang dapat membawa manusia kepada kecelakan. Kedua macam maksiat itulah yang mengotori jiwa manusia setiap waktu dan kesempatan yang diperbuat oleh diri sendiri tanpa disadari.2 Dalam tataran normatif, Islam selalu mengajarkan perdamaian, kerukunan, dan kasih sayang. Misi perdamaian ini mestinya dipandang sebagai nilai-nilai universal yang tidak pernah hilang sepanjang masa. Karena nilai-nilai inilah yang akan dijadikan tolok ukur benar tidaknya pelaksanan suatu agama.

Namun, misi awal ini seringkali terjebak ke dalam interpretasi banyak orang yang memandang agama hanya dari sisi legal formalnya saja, pada ritus keagamaannya semata-mata dan bukan pada nilai subtansinya. Maka kemudian orang pun lantas terkesima dengan simbol keagamaanya sendiri-sendiri. Bahkan mereka menolak dan berkehendak membabat habis simbol agama lain. Yang terjadi kemudian adalah penganut suatu agama malah ribut berperang dengan penganut agama lain, seperti pada kasus Ambon, demi mempertahankan simbol agamanya sendiri. Bahkan, mereka yang masih satu rumpun agama pun juga terlibat serius dalam pertikaian yang tidak kunjung usai.3

Dengan terjadinya konflik antar dan intern umat beragama tersebut maka persoalan-persoalan lain dalam kehidupan umat beragama yang tidak kalah pentingnya juga menjadi terabaikan. Padahal, musuh [bersama] agama adalah krisis moralitas dan pudarnya peradaban yang sudah demikian akut menjangkiti dunia. Persoalan dehumanisasi semestinya menjadi prioritas utama di samping

2 Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu, 1995). 3 Ingat Sunni-Syi’ah, NU-Muhammadiyah

(5)

persoalan-persoalan lain seperti kelaparan, kekmiskinan dan pengangguran. Agama tidak saja mampu menyelesaikan problem rumah tangganya sendiri (intern dan antaragama) tetapi juga persoalan eksternalnya (moralitas dan peradaban manusianya yang hilang). Wajar jika pada gilirannya muncul sekte-sekte aliran sempalan nonreligius sebagai sempalan dan rasa frustasi mereka terhadap ketidakmampuan agama dalam merespon persoalan riil yang ada.

Dalam Islam dikenal istilah ukhuwah Islamiyah. Dalam kajian ilmu bahasa ia bisa berarti ukhuwah bainal muslimîn atau ukhuwah yang bersifat Islami. Yang pertama sifatnya sektoral karena hanya menghendaki kerukunan antar umat Islam sendiri. Sedangkan yang kedua sifatnya terbuka dan lintas sektoral. Ini karena ukhuwah yang Islami tidak hanya terkonsentrasi pada ukhuwah intern umat Islam semata melainkan juga meliputi ukhuwah basyariyyah (persaudaraan kemanusiaan) dan ukhuwah watoniyah (persaudaraan sebangsa). Dari tiga ukhuwah ini, dua di antaranya (ukhuwah basyariyah dan ukhuwah wathoniyah) cukup sensitif karena bagaimana pun kedua ukhuwah ini telah melewati garis yang telah dimapankan para ulama terdahulu.

Kajian al-Qur'an mengasumsikan berbagai ragam ukhuwah, antara lain: ukhuwwah ‘ubûdiyyah, yaitu persaudaraan karena sesama makhluk Allah,4 ukhuwwah insâniyyah (basyariyyah),5 ukhuwwah watoniyah yaitu persaudaran karena satu keturunanan satu bangsa,6 dan ukhuwwah

fî dîn al-Islâm.7

Perilaku Rasul saw. sendiri menjustifikasi semua bentuk ukhuwah tersebut. Sebagai contoh Ibn Ishaq meriwayatkan:

"Sesungguhnya delegasi umat Nasrani datang kepada Rasululah SAW di Madinah. Kemudian mereka masuk ke Masjid Rasul setelah selesai sholat ashar lalu mereka shalat di masjid tersebut. Para sahabat bermaksud mencegahnya. Melihat itu Rasullulah menegur para sahabat tersebut supaya membiarkan delegasi Nasrani tersebut beribadah di Masjid."

4 Lihat Q.S. Al-Baqarah:220 5 Lihat Q.S. Al-Hujurat:13

6 Lihat Q.S. Taha:29-30, Qaf:13, Al-A’raf:65 7 Lihat Q.S. Al-Hujurat:10

(6)

Demikian pula Rasulullah tidak pandang bulu dalam memberikan perhatian dan bantuan sekalipun kepada orang-orang nonmuslim. Muhammad bin Hasan seorang dari Mazhab Hanafi menjelaskan:

“Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW mengirim harta kepada penduduk Mekkah ketika terjadi paceklik agar harta itu dibagi-bagikan kepada orang-orang fakir di sana (termasuk di dalamnya nonmuslim)”8

Sejarah juga mencatat kelapangdadaan Nabi saw. dalam menerima perjanjian Hudaibiyah (gencatan senjata antara orang Islam dengan orang Quraisy). Ketika Rasulullah menerima beberapa syarat secara sepintas dianggap merugikan umat Islam. Di antaranya beliau rela menghapus basmalah dan diganti dengan bismika allâhumnma dan

menghapus Muhammad Rasulullah diganti dengan Muhammad bin

Abdullah.9

Dari deskripsi ini bisa disimpulkan bahwa secara keseluruhan ukhuwah Islamiyah memang telah dijustifikasi, baik oleh al-Qur’an, hadis, maupun sîrah Nabawiyyah. Semua juga sepakat bahwa ukhuwah ini patut dilestarikan sepanjang zaman. Persoalannya kemudian terletak pada tataran praktis. Sejauh mana ukhuwwah watoniyah dan ukhuwwah basyariyyah ini bisa dilaksanakan. Apakah ukhuwah ini dapat sampai pada tahap berbagi ‘kue politik’, misalnya menjadikan non muslim sebagai pemimpin.

Menurut al-Mawardi, mereka bisa diangkat menjadi wazîr al-tanfîz (ekskutif) namun tidak sebagai wazîr at-tafwîd (legislatif). Baik al-Mawardi maupun al-Farra’ keduanya sepakat untuk tidak mengangkat non muslim sebagai wazîr at-tafwîd (legislatif). Ada beberapa alasan yang

dikemukakan. Pertama, karena legislatiflah yang membuat

undang-undang. Kedua, karena ia mempunyai kekuasaan penuh. Ketiga, ia bisa mengendalikan tentara perang sendiri bahkan menentukan dan mengatur perang. Terakhir, ia bisa mendistribusikan harta baitulmâl

kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Beberapa hal ini adalah

8 Yusuf al-Qaradawi, Gair fi al-Mujtama’ al-Islami, (Kairo: Dar Garib li

at-Tiba’ah, 1397), p. 48.

(7)

pos-pos strategis yang sangat rawan jika dipegang oleh non muslim.10

C. Persatuan

Syariat Islam dan ajaran-ajaran kemasyarakatannya memandang individu sebagai bagian yang tak terpisahkan dari umat seluruhnya. Hal ini ibarat anggota badan yang tak terpisahkan sama sekali dari tubuh. Mau tidak mau setiap anggota badan pasti mendapat bagian dari zat makanan, pertumbuhan dan perasaan yang menyebar dan merata di dalam tubuh.

Kedudukan individu sebagai bagian tak terpisahkan dari masyarakat atau umat sangat tegas dijelaskan oleh turunnya wahyu Ilahi. Sebagaimana kita ketahui bahwa firman Allah itu, baik yang berupa perintah maupun larangan, tidak semata-mata ditunjukkan kepada individu. Semua petunjuk dan ajaran ajaran Allah tertuju kepada segenap anggota masyarakat dan umat manusia. Dari ajaran dan petunjuk yang mencakup semua anggota masyarakat dan umat itulah individu terkena kewajiban melaksanakan. Demikianlah cara yang di tempuh oleh Al-Quran dan as-Sunnah dalam menetapkan hukum-hukum syari’at. Sebagai contoh dapatlah diperhatikan firman-firman Allah seperti di bawah ini:

“Hai orang-orang yang beriman, rukuk dan sujudlah kalian, sembahlah Tuhan kalian dan berbuatlah kebajikan, agar kalian mendapat keberuntungan. Dan hendaklah kalian berjuang di jalan Allah dengan perjuangan yang sebenarbenarnya …”(QS.Al-Hajj:77-78)

Pada saat seorang muslim sedang ibadah seraya berada di hadapan Allah serta berdoa dan menundukkan diri kepada-Nya, apa yang diucapkannya tidak lepas sama sekali dari seluruh saudaranya sesama muslim. Bahkan sebagai bagian yang langsung berkaitan dengan semua umat, khususnya pada saat ia berucap ‘hanya kepada-Mu-lah kamu bersembah sujud dan hanya kepada-Mu-lah pula kami mohon pertolongan’, bukan ‘kepada-Mu-lah kami bersembah sujud dan kami

10 Tim Redaksi Tanwirul Afkar Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyyah

Safi’iyyah Sukorejo Situbondo, Fiqh Rakyat: Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan, (Yogyakarta: LkiS, 2000), p. 11-16.

(8)

mohon pertolongan.”

Demikian juga di saat dia berdoa mohon kebajikan dan hidayat dari Allah. Ia mohon tidak khusus bagi dirinya sendiri tetapi juga mohon untuk orang-orang muslim lainnya, yaitu saat ia berucap ‘Tunjukkanlah kami jalan yang lurus, yakni jalan orang yang Engkau karuniai nikmat kepada mereka’, bukan: ‘Tunjukkanlah aku…’

Allah SWT tidak menciptakan manusia untuk bercerai berai dan bertengkar satu sama yang lain. Bagi segenap umat manusia Allah SWT telah menetapkan agama yang satu dan sama dan kepada mereka pun diutus beberapa orang Nabi dan Rasul secara berturut-turut untuk menuntun seluruh manusia ke jalan yang benar, satu dan sama. Sudah sejak semula manusia dilarang bertengkar mengenai agama dan berpecah belah karena agama. Akan tetapi selera dan nafsu jahat membuat manusia lupa dengan wasiat yang mulia dan ingkar terhadap pusaka Ilahi yang amat penting itu. Akhirnya manusia berkeping-keping dalam berbagai macam golongan dan masing-masing golongan merasa dengki kepada yang lain serta mengharapkan kehancurannya.

Mengenai satunya seluruh umat manusia itu Allah SWT telah menegaskan di dalam firmaNya:

“Hai para Rasul, hendaklah kalian makan dari makanan yang baik-baik dan berbuatlah kebajikan. Sesungguhnya aku Maha Mengetahui apa yang kalian perbuat. Sesungguhnya umat manusia itu adalah umat yang satu, dan Akulah Tuhan kalian, maka hendaklah kalian bertaqwa kepada-Ku. Namun kemudian mereka para pengikut Rasul-Rasul menjadikan agama mereka terpecah-pecah menjadi beberapa pecahan. Masing-masing golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada mereka. Maka biarkanlah mereka di dalam kesesatannya sampai satu saat.”(Q.S. Al-Mu’minun: 51-54)11

Dalam ayat terebut Allah menerangkan bahwa fikiran mengikuti hawa nafsu dan kedurhakaan itulah yang menyebabkan terjadinya perpecahan luas. Yang pasti adalah bahwa apabila ilmu pengetahuan terpisahkan dari akhlak dan tidak dilandasi kejujuran dan keikhlasan

11 Beberapa kitab tafsir menafsirkan kalimat “umat yang satu” dengan

(9)

tentu akan menjadi bencana yang membahayakan orang-orang yang berilmu itu sendiri dan umat manusia. Sebelum adanya agama Allah umat manusia terombang ambang di dalam kesesatan dan kebingung-an. Setelah Allah menurunkan agama, kemudian orang-orang yang bertanggung jawab mulai memperdagangkan agama dan ilmu untuk kepentingan ambisi mereka sendiri, umat manusia menjadi berantakan terseret ke jalan yang tidak benar dan durhaka.

Rasulullah SAW sendiri selalu berdoa memohon kepada Allah SWT supaya dijauhkan dari ilmu yang tidak bermanfaat. Pada umatnya beliau mencanangkan, yang selanjutnya terkenal dengan dalil yang berbunyi:

“Yang paling kukhawatirkan atas kalian sepeninggalku ialah munculnya orang munafik yang berlidah ilmu”.

Memang benar sekali, hati yang telah rusak akan menjadi senjata untuk berbuat kerusakan. Baik pada zaman dahulu maupun di zaman kita dewasa ini, dunia ini menjadi rusak akibat ilmu-ilmu pengetahuan yang tidak sehat. Allah SWT telah memberitahu kita melalui Firman-Nya bahwa kaum ilmuwan yang ilmunya hanya di lidah semata dan tidak ada di dalam hati, mereka itulah yang merobek-robek persatuan dan kerukunan umat manusia. Allah berfirman yang artinya:

“Allah telah mensyari’atkan bagi kalian suatu agama seperti apa yang telah kami wasiatkan kepada Nuh. Dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan kami mewasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, (yaitu) : Hendaklah kalian menegakkan agama yang mengesakan Allah dan janganlah kalian berpecah belah tentang agama. Memang amatlah berat bagi kaum musyrikin untuk dapat menerima agama yang engkau serukan kepada mereka. Allah mendekatkan kepada agama itu orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada orang-orang yang kembali kepada-Nya untuk dapat menerima agama itu. Sedangkan mereka para ahli kitab baru berpecah belah setelah datangnya ilmu pengetahuan yang dibawa oleh para Nabi kepada mereka, karena kedengkian di antara sesama mereka.” (Q.S. Asy-Syura: 13 -14).

(10)

“Tidaklah berselisih mengenai kitab itu kecuali mereka orang-orang yang kepada mereka telah diturunkan kitab, yaitu telah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang jelas, karena kedengkian di antara mereka sendiri…”(QS. al-Baqarah: 213)

Bila diperhatikan, betapa bahayanya ilmu pengetahuan yang tidak dilandaskan pada kejujuran dan keikhlasan kepada Allah dan rasa cinta kasih kepada sesama manusia. Renungkanlah betapa besarnya pengaruh dan peranan ilmu pengetahuan semacam itu dalam menimbulkan perpecahan dan pemutusan hubungan persaudaraan yang telah diperintahkan Allah SWT.

Perselisihan paham dan perbedaan pendapat bukanlah soal yang aneh dalam kehidupan ini. Akan tetapi itu bukanlah alasan untuk berpecah belah dan memutuskan hubungan persaudaraan. Perpecahan hanya dapat terjadi karena adanya faktor-faktor lain yang menunggangi perbedaan faham dan perselisihan pendapat untuk mencapai kepentingan hawa nafsu yang tersembunyi. Dari titik tolak itulah hakekat perpecahan harus diperiksa, yakni dengan memeriksa faktor-faktor jahat yang menungganginya dan bukan ilmu pengetahuannya itu sendiri.

Seandainya niat memeriksa sebab-sebab perpecahan itu disertai dengan itikad baik dan orang-orang yang melakukannya benar-benar jauh dari maksud ingin menang, tidak mencari popularitas, tidak berambisi ingin berkuasa, dan tidak serakah ingin memperoleh harta maka pertengkaran-pertengkaran yang memenuhi jalannya sejarah itu pasti akan dapat dicegah dan tidak menjadi lebih keruh dan lebih tajam.

Dapat disaksikan betapa banyak soal-soal remeh yang dapat menimbulkan perselisihan besar. Pada mulanya perselisihan itu dipengaruhi oleh adanya kepentingnan-kepentingan politik. Sebaliknya perselisihan mengenai soal penting bisa mengkeret menjadi kecil dan akhirnya dibiarkan berlangsung secara wajar. Sebab sesungguhnya perbedaan itu hanya merupakan perselisihan teori belaka.

Oleh karena perselisihan-perselisihan seperti itu dapat menimbulkan keraguan dan merusak sendi-sendi agama dan kehidupan umat manusia. Untuk itu Islam memandangnya sebagai suatu kegiatan yang keluar dari ajaran Islam dan merupakan kekufuran. Mengenai hal ini Allah SWT telah menegaskan dalam firman-Nya yang artinya:

(11)

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka kemudian manjadi bergolong-golongan, sedikitpun engkau tidak memikul tanggung jawab atas perbuatan mereka. Urusan mereka kembali kepada Allah, dan Allah akan memberitahukan mereka mengenai apa yang telah mereka perbuat.”(QS. Al-An’am: 159)

Allah SWT dengan keras memperingatkan kaum muslimin supaya jangan terpecah belah dan bertengkar mengenai agama sehingga menjadi berbagai golongan yang berbaku-hantam dan saling mengutuk seperti yang pernah dilakukan manusia zaman dahulu kala. Firman Allah yang artinya:

“Janganlah sekali-kali kalian menyerupai orang-orang yang berpecah belah dan bertengkar setelah datangnya keterangan-keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itu memperoleh siksaan yang berat. Pada hari itu banyak wajah menjadi putih berseri-seri dan ada pula wajah yang menjadi hitam dan muram. Adapun orang-orang yang wajahnya menjadi hitam dan muram itu kepada mereka dikatakan: ”Mengapa mereka menjadi kafir setelah tadinya beriman? Karena itu rasakan azab akibat kekafiran itu”. Adapun orang-orang yang wajahnya putih berseri-seri, mereka itu akan berada di dalam rahmat Allah (surga) dan mereka itu kekal di dalamnya.” (QS. Ali Imran: 105-107)

Kesatuan hati dan perasaan serta kesatuan tujuan dan cara yang ditempuh merupakan ajaran Islam yang paling gamblang dan wajib dipupuk oleh seluruh umat Islam. Tidak diragukan lagi bahwa kesatuan barisan dan kebulatan tekad yang seia sekata adalah kekuatan pokok yang dapat menjamin kesentosaan umat, kelestarian negara dan keberhasilan usaha. Jika saja kalimat tauhid yang merupakan sendi utama agama Islam diimplementasikan secara konsisten maka kesatuan dan persatuan sebagai kunci rahasia kelestarian umat akan terealisir. Sekaligus pula merupakan jaminan satu-satunya untuk dapat berjumpa dengan Allah SWT pada hari kiamat dengan wajah berseri-seri dan air muka jernih.

Rasulullah dengan keras memeringatkan akibat-akibat buruk yang akan ditimbulkan oleh sikap memencilkan diri dan hidup bercerai

(12)

berai. Baik ketika beliau mesih hidup maupun setelah wafat, Islam tetap menekankan pentingnya hidup berjamah dan bersatu. Sa’ad al-Musayyab meriwayatkan sebuah hadits bahwasannya Rasulullah pernah bersabda:

”Syaitan akan memperhatikan satu atau dua orang,tetapi jika mereka bertiga syaitan tidak akan memperhatikan…” (Malik).

Pernah terjadi bahwa dalam suatu perjalanan jauh Rasulullah melihat rombongan kafilahnya beristirahat secara berpencar-pencar yang seolah-olah rombongan kafilah itu tidak ada hubungan sama sekali. Beliau sangat tidak senang menyaksikan pandangan seperti itu. Abu Sa’labah meriwayatkan sebagai berikut : “Ketika mereka (anggota-anggota khafilah) tiba di sebuah tempat maka mereka bercerai berai, ada yang di lereng-lereng gunung dan ada pula yang di lembah. Saat itu Rasul berkata : “Kalian bercerai berai seperti itu adalah kelakuan syaitan.” Sejak itu semua anggota kafilah bila beristirahat di sebuah tempat seluruhnya bergabung menjadi satu. Sedemikian rapatnya mereka berkumpul sehingga dapat dikatakan : “Seandainya dibentang-kan sepotong baju pasti dapat mencakup semuanya”. (Abu Dawud). Itu semua adalah berkat pengaruh satunya perasaan mereka dan berkat adanya rasa saling mencintai serta eratnya barisan mereka.

Pada umumnya, jika manusia tidak dipersatukan oleh kebenaran maka mereka akan dicerai-beraikan oleh kebatilan. Bila mereka tidak dipersatukan dengan ibadah kepada Tuhan, mereka akan dikoyak-koyak oleh syaitan. Bila tidak didorong oleh keinginan memperoleh kebahagiaan akhirat, mereka akan berbaku-hantam memperebutkan kesenangan duniawi. Oleh karena itu tidak anehlah kalau tabiat suka

bergontok-gontokan itu menjadi salah satu ciri khusus kejahiliyahan dan watak orang yang tidak beriman. Mengenai hal itu Rasulullah SAW telah mewanti-wanti melalui haditsnya yang artinya:

“Janganlah sepeninggalku kalian menjadi kafir dan saling membunuh satu sama lain“. (HR at-Tirmizi).

Yang dimaksud dengan hadits Rasulullah tersebut di atas ialah bahwa pertarungan merupakan kebiasaan orang-orang kafir yang terpecah belah dalam berbagai golongan, berbaku hantam dan saling

(13)

membunuh.

Agama Islam bersikap lunak terhadap perbedaan pikiran dan pendapat. Terhadap pendapat yang keliru pun diberikan pahala apalagi pendapat yang tepat. Kedua-duanya memperoleh keleluasaan selama masing-masing benar-benar jujur dalam usahanya mencari kebenaran, pengertian dan melaksanakan pendapatnya dengan ikhlas. Mengenai hal ini Rasulullah bersabda yang artinya sebagai berikut:

“Bila seorang hakim berijtihad kemudian benar, ia akan mendapat dua pahala. Bila ijtihadnya itu ternyata keliru ia mendapat satu pahala.”(Al-Bukhari).

Hadits tersebut kita dapat melihat bahwa rahmat Allah yang berkaitan langsung dengan hasil pemikiran sepenuhnya tergantung pada sehatnya niat dan tujuan. Jelaslah bahwa pemikiran manusia tidak dipersempit oleh agama Allah yang luas itu. Lantas apa gunanya sampai terjadi permusuhan dan kekerasan hanya karena perbedaan pendapat dan fikiran.

Selaras dengan ajaran-ajaran Islam mengenai keharusan menjaga kesentausaan umat dari rongrongan perpecahan, para ulama menfatwa-kan bahwa usaha menghapusmenfatwa-kan kemunkaran tidak harus dilakumenfatwa-kan bila akan mengakibatkan timbulnya kerusakan yang lebih besar. Tetapi adanya kemunkaran memang suatu bahaya tetapi terjadinya kerusakan yang lebih besar jauh lebih berbahaya. Oleh karena itu lebih baik memilih bahaya yang lebih ringan. Sebagaimana diketahui, seorang dokter tidak akan melakukan pembedahan bila ia mengetahui kondisi badan si penderita sakit tidak mungkin bertahan. Bila dokter yakin bahwa dengan pembedahan itu si penderita akan mengalami kematian, ia akan dibiarkan walau tetap menderita sakit.

Seorang muslim yang saleh tidak akan meronta-ronta karena kehilangan nasib baik di dunia. Jika dalam pekerjaannya ia tidak mendapatkan kedudukan atau pangkat atau diberi gaji yang sepadan, ia tidak akan berteriak melampiaskan kemarahan dan kebenciaan orang lain. Marah dan meronta seperti itu hanya karena soal-soal keduniaan adalah ciri-ciri orang munafik, sebagaimana yang di terangakan Allah melalui Firman-Nya yang artinya:

(14)

(pembagian) zakat. Bila mereka diberi sebagian dari Zakat itu mereka bersenang hati dan bila mereka tidak diberi dari Zakat itu dengan serta merta mereka menjadi marah”.(QS.At-Taubah;58)

Manakala perpecahan banyak terjadi di mana-mana tentu akan diketahui dengan jelas bahwa di belakang semuanya itu terdapat ambisi-ambisi keduniaan dan semangat mengutamakan kepentingan sendiri secara membabi buta. Persatuan adalah kekuatan. Itu tidak saja mengenai urusan urusan manusia saja namun sudah menjadi hukum alam. Benang yang rapuh bila di gabungkan satu sama lain akan dapat menjadi tali yang kuat menarik barang yang berat. Alam semesta yang besar ini pun bukan lain hanyalah terdiri dari butiran butiran atom yang terpadu satu sama lain.

Islam sangat teguh dalam usaha menjaga keselamatan umatnya dan memelihara kelestarian. Oleh sebab itu Islam dengan keras menyerukan supaya setiap individu dari kaum muslimin bergandeng tangan satu sama lain untuk menyelamatkan umat dari bencana perpecahan dan hari depannya yang sangat berbahaya. Dalam hal ini Rasulullah SAW menegaskan:

”Kekuatan Allah bersama kekuatan jama’ah. Barang siapa yang menyimpang dari jama’ah ia menuju ke dalam neraka”

Musuh-musuh Islam berhasrat keras hendak memperalat individu-individu kaum muslimin untuk dijadikan daya tarik guna mengelabui umat Islam secara keseluruhan. Oleh karena itu tidak anehlah kalau orang yang keluar dari rel Islam itu harus ‘dijebol’ agar kaum muslimin dapat diselamatkan dari bahaya orang seperti itu. Sabda Rasul SAW:

“Akan terjadi bencana demi bencana. Oleh karena itu barang siapa hendak memecah belah umat ini secara keseluruhan, maka penggalah lehernya dengan pedang, tak pandang siapapun ia itu.” (Muslim)

Kiranya tidak akan ada seorang pun yang memandang aneh peringatan keras tersebut di atas sebab bisul pepercahan tumbuhnya selalu bersama-sama dengan munculnya bahaya yang mengancam kehancuran umat.

(15)

Di kalangan umat ada sementara orang yang bertabiat buruk dan tabiat buruk itu kadang-kadang dapat mati sendiri di tengah-tengah persatuan yang sempurna. Apabila diperhatikan sungguh–sungguh permulaan proses perpecahan maka akan tampak dengan jelas adanya orang-orang oportunis (yang selalu mengintai kesempatan) berhimpun di sekitar orang yang memulai perpecahan. Pada lahirnya mereka berhimpun membela untuk membela prinsip namun yang mereka fikirkan sesungguhnya bukanlah itu.

Orang yang mempunyai penyakit ambisi kekuasaan atau kepemimpinan tidak akan berguna bagi umat dan tidak pula akan berguna bagi dirinya sendiri meskipun ia mempunyai keutamaan dan kekayaan. Orang yang menuntut kepemimpinan akan kehilangan taufiq Allah dan orang yang yang tidak mendapatkan taufiq Allah tidak ada harganya, sekalipun ia orang jenius. Oleh sebab itu Islam melarang keras orang yang menuntut kepemimpinan atau kedudukan yang diinginkan.

Adalah sesuatu yang mengherankan, justru penyakit-penyakit buruk yang menggoyahkan sendi-sendi agama dan kesentausaan umat Islam itu telah lama terjadi dan tetap diulang-ulang dilakukan oleh sementara orang dan keluarga yang kejangkitan penyakit merindukan keausan. Jika Rasulullah sendiri tidak mau memberikan kekuasaan kepada orang yang merindukannya, apalagi kepada orang yang berperangai buruk dan berbudi rendah. Oleh karena itu setiap muslim hendaknya tetap hati-hati dan waspada terhadap kemungkinan terjadinya penyelewengan seperti itu di manapun juga dan siapa pun dia dulunya. Setiap muslim wajib membentengi umat dari kemungkinan terjadinya hal yang buruk seperti itu.

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya,

Surabaya: Surya Cipta, 1993.

Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya: Bina Ilmu, 1995.

Tim Redaksi Tanwirul Afkar Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyyah Safi’iyyah Sukorejo Situbondo, Fiqh Rakyat: Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan, Yogyakarta: LkiS, 2000.

Yusuf al-Qaradawi, Gair fi al-Mujtama’ al-Islami, Kairo: Dar Garib li at-Tiba’ah, 1397.

Referensi

Dokumen terkait

Likuor amnii atau yang disebut dengan air ketuban adalah cairan yang Likuor amnii atau yang disebut dengan air ketuban adalah cairan yang terdapat di dalam

Langkah-langkah yang dilakukan pada tahap pelaksanaan, antara lain: (1) Menentukan kelas riset; (2) Memberikan tes kepada siswa yang menjadi subjek penelitian

Namun masih menurut skema dari LEI, terdapat beberapa sistem sertifikasi ekolabel hutan yang berkembang secara internasional maupun yang ada di Indonesia, namun secara

Bagi warga jemaat / pasangan yang berencana akan melangsungkan perkawinan di 6 bulan kedepan, diharapkan dapat mengikuti katekisasi PRA PERKAWINAN, yang akan dilaksanakan selama

Kanker merupakan penyakit kompleks yang terjadi pada jaringan dan organ ketika kerusakan genetik pada sel menyebabkan mutasi pada onkogen atau gen supresor tumor yang

[r]

[r]

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk segala berkat, rahmat, kemudahan serta bimbingan-Nya selama menyusun skripsi yang berjudul “Hubungan