• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan dan kelautan yang terdapat di berbagai wilayah. Kabupaten Serdang Bedagai akan terus dikembangkan pada masa-masa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan dan kelautan yang terdapat di berbagai wilayah. Kabupaten Serdang Bedagai akan terus dikembangkan pada masa-masa"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sektor perikanan memegang peranan penting dalam perekonomian nasional terutama dalam penyediaan lapangan kerja, sumber pendapatan bagi nelayan atau pembudidaya ikan, sumber protein hewani yang bernilai gizi tinggi, serta sumber devisa yang sangat potensial (Djazuli,2002).

Potensi perikanan dan kelautan yang terdapat di berbagai wilayah Kabupaten Serdang Bedagai akan terus dikembangkan pada masa-masa mendatang dalam upaya menjadikan Serdang Bedagai sebagai salah satu daerah produsen ikan terbesar khususnya ikan air tawar dan ikan air payau (hasil tambak). Potensi perikanan budidaya air tawar yang terdapat di Kabupaten Serdang Bedagai saat ini lebih 20.000 hekter meliputi kolam air tenang 6.908 hektar, keramba 425 unit, kolam air deras dan budidaya ikan disawah 12.350 hektar, kolam pekarangan/kolam pancing 744 hektar, pembenihan 75 hektar, sedangkan potensi budidaya air payau atau tambak mencapai 400 hektar. Kapasitas produksi dengan luas kolam 100 m² adalah 10000 -15.000 kg (Dinas Perikanan dan Kelautan Serdang Bedagai, 2011).

Tingginya permintaan pasar akan kebutuhan ikan setiap hari merupakan tantangan bagi nelayan dan pembudidaya ikan di Kabupaten Serdang Bedagai untuk meningkatkan produksi ikan dari daerah ini. Untuk memenuhi kebutuhan itu, potensi perikanan yang terdapat di Kabupaten Serdang Bedagai yaitu perikanan tangkap di kawasan perairan laut dan budidya ikan tambak harus dapat diperdayakan secara maksimal oleh para nelayan dan pembudidaya ikan di

(2)

Serdang Bedagai. Hal ini dikemukakan oleh Bupati Serdang Bedagai H.T. Erry Nuradi di hadapan lima ratus pembudidaya ikan.

Menurut Effendi (2004), perikanan budidaya berdasarkan sumber air dibagi menjadi tiga yaitu budidaya air tawar (freshwater culture), budidaya air payau (brackishwater culture), dan budidaya laut (mariculture). Tingginya peluang dalam perikanan budidaya menyebabkan banyak masyarakat mulai tertarik pada sektor ini. Dalam pengembangannya, petambak mendapat binaan baik dari Pemerintah maupun Swasta. Namun demikian jika dibandingkan terlihat indikasi bahwa binaan Swasta cenderung lebih berkembang dibandingkan dengan Pemerintah.

Sesuai program nasional Departemen Kelautan dan Perikanan bahwa peningkatan produksi perikanan 5 tahun ke depan yang ditargetkan sebesar 300% dari produksi budidaya perikanan, maka komoditi ikan tidak hanya dari perikanan tangkap di laut tapi harus dapat dipenuhi melalui pengembangan budidaya tangkap dengan berbagai jenis ikan seperti ikan lele, ikan patin, bandeng, dan ikan kerapu. Dalam mencapai target produksi nasional itu maka potensi perikanan budidaya di Kabupaten Serdang Bedagai yang cukup luas harus dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat pembudidaya ikan.

Dinas perikanan dan kelautan Kabupaten Serdang bedagai mempunyai harapan kepada pembudidaya yang ada di serdang bedagai untuk dapat meningkatkan gairah dalam melakukan usaha budidaya ikan. Sehingga dapat memberikan kesejahteraan kepada masyarakat dengan target peningkatan pendapatan (50%) dan pertumbuhan aset (5%).

(3)

Sebagai contoh dapat dilihat dari data yang diperoleh dari penyuluh perikanan Kabupaten Serdang Bedagai 2012, dapat diketahui bahwa kelompok pembudidaya binaan Pemerintah dan binaan Swasta di Kecamatan Sei Bamban sebagai berikut :

Tabel 1. Aset Kelompok Pembudidaya Binaan Pemerintah, 2012

No Nama Kelompok tani Luas kolam (m²)

1 Sejahtera 2700

2 Serasi 2850

3 Mawar 2500

Sumber : Penyuluh Perikanan, 2012

Table 2. Aset Kelompok Pembudidaya Binaan Swasta, 2012

No Nama Kelompok Tani Luas kolam (m²)

1 Tenang 2380

2 Saroha 2100

Sumber : Penyuluh Perikanan, 2012

Dari data terlihat bahwa luas kolam yang dimiliki oleh pembudidaya binaan pemerintah lebih luas dibandingkan dengan pembudidaya binaan swasta. Karena pembudidaya binaan swasta memanfaatkan perkarangan rumah dengan menggunakan terpal.

Table 3. Kelompok pembudidaya Binaan Pemerintah, 2012

No Nama Kelompok Budidaya Jumlah Anggota Awal (2007) Jumlah Anggota Sekarang (2012) Perubahan (%) 1 Sejahtera Lele 20 27 35 2 Serasi Lele 20 27 35 3 Mawar Lele 20 27 35 Jumlah 60 81 105

(4)

Table 4. Kelompok Pembudidaya Binaan Swasta, 2012 No Nama kelompok Budidaya Jumlah Anggota Awal (2007) Jumlah Anggota Sekarang (2012) Perubahan (%) 1 Tenang Belut 10 25 150 2 Saroha Belut 10 25 150 Jumlah 20 50 300

Sumber : Penyuluh Perikanan, 2012.

Dari data terlihat bahwa dengan ketersediaan dana Pemerintah dan pemberian bantuan dalam bentuk hibah, sejak awal Pemerintah dapat membina kelompok tani dalam jumlah yang relatif banyak. Sebaliknya Swasta tidak memberikan bantuan cuma - cuma dan hanya dapat membina pembudidaya dalam jumlah relatif sedikit. Namun demikian dalam kurun waktu lima tahun ternyata perkembangan jumlah anggota pada kelompok binaan Pemeritah sebesar 35%, sebaliknya jumlah anggota binaan Swasta meningkat sebesar 150%.

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih jauh tentang “Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan usaha perikanan rakyat”

1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana perkembangan usaha perikanan binaan Pemerintah dan usaha perikanan binaan Swasta ?

(5)

3. Apakah ada perbedaan pertambahan pendapatan dan pertumbuhan aset antara usaha kelompok perikanan binaan Pemerintah dan usaha kelompok perikanan binaan Swasta?

1.3. Tujuan Penelitian

1. Untuk menganalisis perkembangan usaha perikanan binaan Pemerintah dan usaha perikanan binaan Swasta.

2. Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan usaha perikanan.

3. Untuk menganalisis perbedaan pertambahan pendapatan dan pertumbuhan aset antara usaha kelompok perikanan binaan Pemerintah dan usaha kelompok perikanan binaan Swasta.

1.4. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah :

1. Sebagai bahan masukkan bagi pihak-pihak yang berkaitan dengan kemitraan usaha budidaya perikanan.

(6)

I.

TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Tinjauan Pustaka 1.1.1. Potensi Perikanan

Budidaya perikanan adalah mengusahakan kecukupan pangan, khususnya pemenuhan kebutuhan protein hewani dari sumber perikanan. Sektor perikanan sendiri bersifat ekstraktif dan lebih mudah diusahakan untuk penyediaan konsumsi protein hewani yang murah ( Murtidjo, 2001). Peningkatan perkembangan sektor perikanan saat ini cukup pesat, hal ini tentunya banyak menyerap tenaga kerja yang cukup banyak, sehingga akan mengurangi angka pengangguran serta dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung dan memungkinkan berkembangnya bidang lain yang saling berkaitan satu dengan lainnya. Ikan lele merupakan salah satu jenis ikan air Tawar yang sudah dibudidayakan secara komersial oleh masyarakat Indonesia terutama di Pulau Jawa. Budidaya lele berkembang pesat dikarenakan 1) dapat dibudidayakan di lahan dan sumber air yang terbatas dengan padat tebar tinggi, 2) teknologi budidaya relatif mudah dikuasai oleh masyarakat, 3) pemasarannya relatif mudah dan 4) modal usaha yang dibutuhkan relatif rendah

Belut merupakan jenis ikan konsumsi air tawar dengan bentuk tubuh bulat memanjang yang hanya memiliki sirip punggung dan tubuhnya licin. Belut suka memakan anak-anak ikan yang masih kecil. Biasanya hidup di sawah-sawah, di rawa-rawa/lumpur dan di kali-kali kecil. Di Indonesia sejak tahun 1979, belut mulai dikenal dan digemari, hingga saat ini belut banyak dibudidayakan dan menjadi salah satu komoditas ekspor.

(7)

Menurut Bungaran Saragih (2001) dimasa akan datang, kesempatan sub sektor perikanan untuk tumbuh masih terbuka luas, baik dilihat dari sisi penawaran maupun dari sisi permintaan. Berkenaan dengan hal tersebut, maka usaha-usaha menjadikan sektor perikanan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru sangat mungkin dilakukan mengingat potensi sumber daya perikanan di Indonesia sangat melimpah. Sampai saat ini usaha perikanan nasional masih banyak didominasi oleh usaha dengan skala kecil (perikanan rakyat) yang menggunakan modal investasi terbatas, teknologi sederhana, sangat dipengaruhi musim dan untuk konsumsi lokal.

Karena konsumsi lele dan belut sangat tinggi baik di pasaran lokal maupun luar negeri. Sementara saat ini, belut masih kekurangan pasokan untuk memenuhi kebutuhan akan konsumsi belut. Pangsa pasar ekspor belut di dunia sangat tinggi. Permintaan belut dari negara-negara Uni Eropa hingga kini belum terpenuhi. Oleh sebab itu, prospek bisnis belut sangat menjanjikan. Pembudidaya belut tidak perlu merasa takut hasil panennya tidak ada yang beli. Jika disalurkan atau bekerja sama dengan mitra yang bisa dipercaya, pemasaran belut bukan lagi masalah.

1.1.2. Kemitraan

Dalam penjelasannya Hafsah (2000), mengatakan bahwa dalam pengembangan usaha kecil disktor perikanan di Indonesia, terdapat beberapa pola atau bentuk kemitraan antara usaha kecil atau petani dengan pengusaha besar, yang dapat digolongkan sebagai berikut:

1. Pola kemitraan inti-plasma. Pada pola ini umumnya merupakan hubungan antara petani, kelompok tani sebagai plasma dengan perusahaan inti yang

(8)

bermitra usaha. Perusahaan inti menyediakan lahan, sarana produksi, bimbingan teknis, manajemen, menampung, mengolah dan memasarkan hasil produksi. Sedangkan kelompok mitra berkewajiban memenuhi kebutuan perusahaan inti sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati bersama. Pola ini dapat diterapkan dalam pengembangan Tambak Inti Rakyat.

2. Pola Kemitraan subkontrak. Pola ini merupakan pola kemitraan antara perusahaan dengan kelompok mitra yang memproduksi komponen yang diperlukan perusahaan mitra sebagai bagian dari hasil produksinya. Pada pola ini ditandai dengan adanya kesepakatan tentang kontrak bersama yang menyangkut volume, harga, mutu dan waktu. Pola ini sangat bermanfaat dalam transfer alih teknologi, modal, ketrampilan, dan produktifitas.

3. Pola Kemitraan dagang umum. Pola ini merupakan hubungan usaha dalam pemasaran hasil produksi. Dalam pola ini pihak yang terlibat adalah pihak pemasaran dengan kelompok usaha pemasok komoditas tertentu. Penerapan pola banyak dijumpai pada kegiatan agribisnis hortikultura, dimana kelompok tani hortikultura bergabung dalam bentuk koperasi kemudian bermitra dengan swalayan atau kelompok supermarket. Pihak kelompok tani berkewajiban memasok barang-barang dengan persyaratan dan kualitas produk yang telah disepakati bersama.

4. Pola kemitraan kerjasama operasional. Pola kemitraan ini merupakan pola hubungan bisnis yang dijalankan oleh kelompok mitra dengan perusahaan mitra. Umumnya kelompok mitra adalah kelompok yang menyediakan lahan, sarana dan tenaga kerja. Sedangkan perusahaan mitra menyediakan biaya, modal, manajemen dan pengadaaan sarana produksi lainnya. Terkadang

(9)

perusahaan mitra juga berperan sebagai penjamin pasar dengan meningkatkan nilai tambah produk melalui pengolahan dan pengemasan. Pola ini sering diterapkan pada usaha perkebunan tebu, tembakau, sayuran dan pertambakan. Dalam pola ini telah diatur tentang kesepakan pembagian hasil dan resiko.

Kemitraan usaha pertanian/perikanan adalah kerjasama usaha antara perusahaan mitra dengan kelompok mitra di bidang pertanian/perikanan. Secara formal, konsepsi kemitraan telah tercantum dalam Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 2004 pasal 63 tentang Perikanan yang berbunyi : "Pengusaha perikanan mendorong kemitraan usaha yang saling menguntungkan dengan kelompok nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil, baik dari sumber dalam negeri maupun sumber luar negeri, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku".

Keputusan Menteri Pertanian No : 940/Kpts.OT.210/10/97 Bab 1 pasal 2 tentang pedoman Kemitraan usaha pertanian menyebutkan bahwa tujuan kemitraan usaha pertanian/perikanan adalah untuk meningkatkan pendapatan, kesinambungan usaha, meningkatkan kualitas sumberdaya kelompok mitra, peningkatan skala usaha dalam rangka menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan kelompok mitra yang mandiri.

1.2. Landasan Teori

1.2.1. Teori Umum Kemitraan Agribisnis

Martodireso, S dan Suryanto, W.A, (2002) mengatakan bahwa kemitraan usaha pertanian merupakan salah satu instrumen kerja sama yang mengacu kepada

(10)

terciptanya suasana keseimbangan, keselarasan, dan ketrampilan yang didasari saling percaya antara perusahaan mitra dan kelompok melalui perwujudan sinergi kemitraan, yaitu terwujudnya hubungan yang saling membutuhkan, saling menguntungkan dan saling memperkuat.

Kemitraan adalah kerjasama yang sinergis antar dua atau lebih pihak untuk melaksanakan suatu kegiatan (in acion with). Kerjasama tersebut merupakan pertukaran sosial yang saling memberi (sosial rewards), bersifat timbal balik (dyadic) dan saling menerima (reinforcement) (Mardikanto, 2009).

Pada dasarnya tujuan dan manfaat kemitraan adalah win-win solution partnership. Kesadaran dan saling menguntungkan disini tidak berarti para partisipan dalam kemitraan tersebut harus memiliki kemampuan dan kekuatan yang sama, tetapi yang lebih dipentingkan adalah adanya posisi tawar yang setara berdasarkan peran masing-masing (Sutawi, 2002)

Kemitraan mempunyai beberapa prinsip dasar yang harus dilakukan agar proses kemitraan tersebut dapat berjalan baik serta tujuan dapat tercapai. Mardikanto (2009) mengatakan bahwa prinsip-prinsip kemitraan adalah saling membutuhkan, saling ketergantungan, saling percaya, saling menguntungkan, saling mendukung, saling membangun dan saling melindungi.

Salah satu indikator keberhasilan dari suatu pembangunan ekonomi adalah adanya pertumbuhan ekonomi yang pesat. Fokus terhadap pertumbuhan seringkali menimbulkan efek samping berupa kesenjangan dan ketimpangan, yaitu ketimpangan antar wilayah, antar desa dan kota, ketimpangan antar sektor, dan lainlain, akibat dari kurang diperhatikannya keseimbangan, pemerataan dan keadilan. Tolok ukur keberhasilan pembangunan adalah kesejahteraan yang merata bagi setiap lapisan masyarakat serta berkurangnya ketimpangan dalam

(11)

masyarakat. Dengan demikian makin dirasakan betapa pentingnya kemitraan dalam era pembangunan dewasa ini dan di masa mendatang untuk menjembatani lapisan masyarakat yang belum tersentuh oleh derasnya arus pembangunan secara lebih merata ke semua lapisan masyarakat sesuai dengan peran dan partisipasi aktif dalam pembangunan serta menikmati hasil-hasil pembangunan tersebut (Hafsah, 2000).

Karena merupakan suatu strategi bisnis, maka keberhasilan kemitraan sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan di antara yang bermitra dalam menjalankan etika bisnis. Dengan kata lain keberhasilan kemitraan merupakan resultan dari konsistensi dalam penerapan etika bisnis, perencanaan yang tepat dibarengi dengan strategi yang jitu serta proses pelaksanaan yang selalu dimonitor, dievaluasi dalam lingkungan dan kondisi yang kondusif serta hal yang tidak dapat dipungkiri adalah faktor keberuntungan ( Hafsah,2000).

Kemitraan juga harus memadukan prosedur guna memastikan kemajuan pada program-program tindakan efektif dan meletakkan hal-hal dengan benar ntuk menjaga masalah-masalah tidak timbul dan berkembang dalam kemitraan ( Linton, 1997).

1.2.2. Indikator-Indikator Keberhasilan Kemitraan

Indikator-indikator keberhasilan kemitraan berkaitan erat dengan pola kemitraan yang diterapkan perusahaan. Pola kemitraan mendasari latar belakang kemitraan, tujuan kemitraan dan ketentuan-ketentuan dalam kemitraan. Indikator-indikator keberhasilan suatu kemitraan disesuaikan dengan pola kemitraan yang diterapkan oleh perusahaan. Namun, ada beberapa indikator yang berlaku secara umum dan digunakan untuk menentukan keberhasilan suatu kemitraan, diantaranya:

(12)

1) Pada Penelitian Putro (2008), Aryani (2008), dan Iftaudin (2005), pendapatan mitra merupakan indikator keberhasilan petani mitra. Ukuran pendapatan digunakan karena memilki cakupan yang luas, yaitu mencakup ukuran tunai dan ukuran-ukuran non tunai. Penelitian keberhasilan kemitraan berdasarkan pendapatan dilakukan dengan melihat pendapatan kotor usahatani, pendapatan bersih usahatani, dan RC rasio (Soekartawi, 1986). RC rasio biasanya digunakan oleh peneliti untuk melihat perbandingan petani mitra dan petani lain yang tidak tergabung dalam kemitraan.

2) Pertumbuhan aset usahatani mengidikasikan keberhasilan petani mitra dalam meningkatkan skala usahanya. Pertumbuhan aset erat kaitannya dengan akumulasi kapital, yaitu besarnya pendapatan yang disisihkan untuk menambahkan modal usaha (Soekartawi, 1986). Pertumbuhan aset yang tinggi menunjukan perkembangan usahatani dimana secara tidak langsung akan mempengaruhi kemandirian petani mitra dan pertumbuhan sektor pertanian suatu daerah.

3) Transparansi antara perusahaan dengan petani mitra (Putro, 2008). Tranparansi dapat meminimalisir kecurangan baik dari pihak perusahaan ataupun pihak peternak mitra. Transparansi sangat penting dalam kemitraan usahatani biasanya berkaitan dengan penjualan produk. Pihak perusahaan harus memberikan catatan yang lengkap agar petani mitra mengetahui seberapa besar hak yang diterimanya sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Petani mitra juga harus bisa menjelaskan aktifitas budidaya yang dilakukan, kondisi sumberdaya, pemberian pupuk, dan bisa menjelaskan dengan jelas apabila target perusahaan tidak tecapai atau adanya kegagalan dalam panen. Dalam janka panjang transparansi dapat menimbulkan rasa percaya sehingga sistem kemitraan akan semakin kuat.

(13)

4) Kepatuhan peternak mitra terhadap kontrak (Putro, 2008). Dalam kemitraan, perusahaan menetapkan kebijakan-kebijakan dalam hal standar produk yang diterima, pola tanam, dan kewajiban-kewajiban petani lainnya. Namun, masih ada saja kewajiban-kewajiban yang disetujui antara petani dan perusahaan yang dilanggar. Sehingga hal ini akan berpengaruh negatif terhadap keuntungan yang diterima petani dan perusahaan. Selain itu, kepercayaan perusahaan juga akan menurun apabila petani mitra tidak mematuhi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati dalam kontrak kemitraan yang telah disepakati sebelumnnya.

5) Menurut Soetardjo (1994) beberapa indikator keberhasilan kemitraan dapat dirumuskan, diantaranya:

a. Keuntungan perusahaan lebih besar apabila menerapkan sistem kemitraan daripada mengerjakan sendiri. Dalam kemitraan kedelai edamame, perusahaan melakukan kemitraan karena memiliki keterbatasan lahan usaha, sehingga produksi kedelai edamame terbatas dan permintaan pasar tidak dapat terpenuhi. Kemitraan membantu perusahaan dalam memproduktifkan sumberdaya modal yang dimilikinya sehingga keuntungan perusahaan dapat dioptimalkan. Namun, perlu ada kajian yang lebih dalam mengenai perbandingan tambahan keuntungan melalui kemitraan dengan keuntungan perusahaan apabila memelihara sendiri dengan menyewa lahan.

b. Adanya kepastian pasar, jumlah, dan harga bagi petani mitra.

c. Peningkatan sumberdaya manusia terutama berkaitan dengan teknis dan manajemen usaha.

6) Peningkatan jumlah petani mitra dan peningkatan jumlah aset perusahaan yang dikelola melalui sisem kemitraan (Putro, 2008). Semakin besar peningkatan yang

(14)

terjadi, maka sistem kemitraan dapat dikatakan semakin berhasil. Kondisi ini menunjukan adanya perkembangan sistem kemitraan yang dijalankan.

1.2.3. Biaya Produksi

Biaya produksi biasanya diklasifikasikan menjadi dua yaitu biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variable cost). Yang dimaksud dengan biaya tetap adalah biaya yang besar kecilnya tidak tergantung pada besar kecilnya produksi. Sedangkan biaya variabel merupakan biaya yang besar kecilnya berhubungan langsung dengan besarnya produksi (Mubyarto, 1994).

1.2.4. Produksi

Faktor-faktor yang mempengaruhi biaya adalah: Metode kerja, Pekerja, Lokasi, Requirement alat, Faktor satuan, Budaya, Komposisi sumber daya yang dibutuhkan, Pendefinisian lingkup pekerjaan, iklim, gempa bumi, badai, banjir, air pasang dan lain-lain (Mankiw, 2000).

Menurut Soekartawi (2005), faktor produksi memang sangat menentukan besar kecilnya produksi yang diperoleh. Dalam berbagai pengalaman menunjukkanbahwa faktor produksi lahan, modal untuk membeli bibit, pupuk, obat-obatan, tenagakerja dan aspek manajemen adalah faktor produksi yang terpenting diantara faktorproduksi yang lain. Hubungan antara faktor produksi (input) dan produksi (output) biasanya disebut dengan fungsi produksi.

Soekartawi (2001), mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan faktor produksi adalah semua korbanan yang diberikan pada tanaman agar tanaman tersebut mampu tumbuh dan menghasilkan dengan baik. Faktor produksi dikenal pula dengan istilah input dan korbanan produksi. Faktor produksi memang sangat

(15)

menentukan besar-kecilnya produksi yang diperoleh. Faktor produksi lahan, modal untuk membeli bibit, pupuk, obat-obatan dan tenaga kerja dan aspek manajemen adalah faktor produksi yang terpenting. Hubungan antara faktor produksi (input) dan produksi (output) biasanya disebut dengan fungsi produksi atau faktor relationship.

1.2.5.

Pendapatan adalah suatu ukuran balas jasa terhadap faktor-faktor produksi yang ikut dalam proses produksi. Pengukuran pendapatan untuk tiap-tiap jenis factor produksi yang ikut dalam usaha tergantung kepada tujuannya (Prawirokusumo, 1990).

Pendapatan

Dalam kegiatan perusahaan, pendapatan ditentukan dengan cara mengurangkan berbagai biaya yang dikeluarkan dari hasil penjualan yang diperoleh. Apabila hasil penjualan yang diperoleh dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan produsen nilainya adalah positif maka diperolehlah pendapatan. Pendapatan merupakan keuntungan yang diperoleh para pengusaha sebagai pembayaran dari melakukan kegiatan-kegiatan seperti: menghadapi risiko ketidakpastian di masa yang akan datang, melakukan inovasi/pembaruan di dalam berbagai kegiatan ekonomi dan mewujudkan kekuasaan monopoli di dalam pasar (Sukirno, 1994).

Menurut Mankiw (2009), jumlah pendapatan yang diterima oleh suatu perusahaan sebagai hasil dari penjualan output disebut pendapatan total (Total Revenue-TR). Jumlah pengeluaran yang harus dikeluarkan suatu perusahaan untuk membeli input disebut biaya total (Total Cost-TC). Jadi, keuntungan (profit)

(16)

pendapatan usahatani dapat kita hitung dengan mengurangi nilai output total (penerimaan) dengan nilai total input (biaya). Sisa itu kita namakan pendapatan pengelola atau management income. Jadi pendapatan itu jumlah yang tersisa setelah biaya, yaitu semua nilai input untuk produksi, baik yang benar-benar dibayar maupun yang hanya diperhitungkan, telah dikurangkan dari penerimaan (Soekartawi, 1990).

1.2.6. Luas Kolam

Menurut Daniel (2002), luas penguasaan lahan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam proses produksi ataupun usaha tani dan usaha pertanian. Dalam usaha tani misalnya pemilikan atau penguasaan lahan sempit sudah pasti kurang efisien dibanding lahan yang lebih luas. Semakin sempit lahan usaha, semakin tidak efisien usaha tani yang dilakukan. Kecuali bila suatu usaha tani dijalankan dengan tertib dan administrasi yang baik serta teknologi yang tepat. Tingkat efisiensi sebenarnya terletak pada penerapan teknologi. Karena pada luasan yang lebih sempit, penerapan teknologi cenderung berlebihan (hal ini erat hubungannya dengan konversi luas lahan ke hektar), dan menjadikan usaha tidak efisien.

Luas lahan pertanian akan mempengaruhi skala usaha dan selanjutnya akan mempengaruhi besar kecilnya pendapatan yang akan diterima petani. Mubyarto (1989) menyatakan lahan atau tanah sebagai salah satu faktor produksi yang merupakan pabriknya hasil-hasil pertanian yaitu tempat dimana produksi berjalan dan dari mana hasil produksi keluar.

Menurut Rosyidi (2002), yang dimaksud dengan tanah bukanlah sekedar tanah untuk ditanami atau untuk di tinggali saja, tetapi termasuk pula didalamnya segala sumber daya alam. Istilah tanah maksudnya adalah segala sesuatu yang

(17)

bisa menjadi faktor produksi, yang antara lain meliputi: a) tenaga penumbuh dari pada tanah, baik untuk pertanian, perikanan, maupun pertambangan; b) ikan dan mineral, baik ikan dan mineral darat (sungai, danau, tambak, kuala, dan sebagainya) maupun ikan dan mineral laut.

1.2.7. Pendidikan

Singarimbun dan Penny dalam Soekartawi (1999) mengemukakan bahwa banyaknya atau lamanya sekolah/pendidikan yang diterima seseorang akan berpengaruh terhadap kecakapannya dalam pekerjaan tertentu. Sudah tentu kecakapan tersebut akan mengakibatkan kemampuan yang lebih besar dalam menghasilkan pendapatan bagi rumahtangga.

Batoa (2008) menyatakan bahwa tingkat pendidikan merupakan salah satu indikator untuk melihat mutu sumber daya petani. Pendidikan formal dan informal merupakan ,modal dasar petani untuk dapat mengakses informasi dari berbagai media, sehingga memudahkan petani untuk menyerapsuatu perubahan inovasi yang berhubungan dengan perilaku.

1.2.8. Penelitian Terdahulu.

Penelitian yang dilakukan oleh Iftahuddin (2005) mengenai pengaruh kemitraan petani tambak udang terhadap pendapatan usahatani dan efisiensi penggunaan input produksi. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pendapatan petani mitra lebih besar dari pada petani non-mitra, namun perbedaan pendapatannya tidak signifikan. Analisis terhadap tingkat efisiensi penggunaan faktor produksi petani mitra belum optimal karena tenaga kerja terlalu banyak.

(18)

penelitian tersebut yaitu kemitraan tidak berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan peternak.

Witasari (1996) meliputi dampak pola kemitraan Contact farming terhadap pendapatan petani dan eksportir kopi di Kecamatan Sumber Jaya, Lampung Barat. Hasil penelitian tersebut yaitu petani mitra memperoleh pendapatan yang lebih besar, dan dapat disimpulkan bahwa kemitraan berpengaruh positif terhadap peningkatan pendapatan petani.

(19)

1.2.9. Kerangka Pemikiran

Gambar. 1. Skema Kerangka Pemikiran

KEMITRAAN PEMERINTAH SWASTA Tingkat Keberhasilan 1. Pendapatan 2. Pertumbuhan aset Tingkat Keberhasilan 1. Pendapatan 2. Pertumbuhan aset Berbeda 1. Luas kolam 2. Pengalaman 3. Pendidikan 4. Umur 5. Manajemen kelompok 6. Kepatuhan 7. Pelatihan dan pendampingan 8. Bantuan permodalan 9. Kepastian pasar 1. Luas kolam 2. Pengalaman 3. Pendidikan 4. Umur 5. Manajemen kelompok 6. Kepatuhan 7. Pelatihan dan pendampingan 8. Bantuan permodalan 9. Kepastian pasar Sama

(20)

1.3. Hipotesis

1. Faktor yang mempengaruhi keberhasilan usaha perikanan adalah Luas kolam, Pengalaman, Pendidikan, Umur, Manajemen kelompok, Kepatuhan, Pelatihan, Bantuan permodalan, dan Kepastian pasar

2. Ada perbedaan pertambahan pendapatan dan pertumbuhan asset antara usaha kelompok perikanan binaan Pemerintah dan usaha kelompok perikanan binaan Swasta.

Gambar

Table 3. Kelompok pembudidaya Binaan Pemerintah, 2012
Table 4. Kelompok Pembudidaya Binaan Swasta, 2012  No  Nama  kelompok  Budidaya  Jumlah  Anggota  Awal (2007)  Jumlah  Anggota  Sekarang   (2012)  Perubahan (%)  1  Tenang  Belut  10  25  150  2  Saroha  Belut  10  25  150  Jumlah   20  50  300

Referensi

Dokumen terkait

Dalam studi manajemen, kehadiran konflik pendidikan tidak bisa terlepas dari permasalahan keseharian yang dirasakan oleh pengelola lembaga pendidikan. Konflik tersebut

Ketika ada jumlah konektivitas internal yang tinggi, tetapi konektivitas eksternal dengan pelanggan dan pesaing masih rendah, suatu perusahaan harus fokus pada menggunakan

Temperatur material sampah pada penelitian kedua belum dapat naik hingga optimum sehingga debit udara rendah dari 1 L/menit dinaikkan menjadi 4 L/menit dan debit

Aktivitas keempat plantarisin setelah mengalami penyimpanan suhu dingin selama 10 hari menghasilkan diameter zona hambat yang paling besar, sehingga plantarisin

Delici ekipmanın aynadan çekilmesi, delici kolların manevra için aynadan çekilip sabitenmesi, Jumbo denge ayar kollarının kaldırılması ve su, elektrik vs. gibi

1) Mempersiapkan pendidik dan pengelola melalui pelatihan dan pemagangan. Pelatihan dapat memberikan pembekalan konsep sedangkan magang memberikan pengalaman praktik.

SUATU INSTALASI SISTEM TENAGA LISTRIK YANG BERFUNGSI MELAYANI PENYALURAN TENAGA LISTRIK DARI PUSAT PEMBANGKIT SAMPAI KE SISTEM DISTRIBUSI. INSTALASI SISTEM PENYALURAN TERDIRI DARI

Informasi dalam dokumen ini didasarkan pada pengetahuan terkini kamidan berlaku untuk produk yang berkaitan dengan tindakan pencegahan dan keselamatan.Itu tidak mewakilimenjamin