• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NO. 4 TAHUN 1997 TENTANG PENYANDANG CACAT TERHADAP PEMENUHAN HAK ATAS PEKERJAAN DAN PENGHIDUPAN YANG LAYAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NO. 4 TAHUN 1997 TENTANG PENYANDANG CACAT TERHADAP PEMENUHAN HAK ATAS PEKERJAAN DAN PENGHIDUPAN YANG LAYAK"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NO. 4 TAHUN 1997

TENTANG PENYANDANG CACAT TERHADAP PEMENUHAN HAK

ATAS PEKERJAAN DAN PENGHIDUPAN YANG LAYAK

Oleh :

Kadek Januarsa Adi Sudharma

1

Universitas Pendidikan Nasional

ABSTRACT

Ensuring equal rights and status of person with disability in the workplace as was stipulated in article 5 of law no 4 of 1997 about the disabled was not accompanied by its implementation. In the employment field, there are still many assumption that person with disability is equal to unhealthy person so they could not be accepted to be an employee because one of the requirements are included healthy both physically and mentally. So it needs to be questioned about the legal protection of the right to work and a decent living for person with disability according to legislation and the effectiveness of law no. 4 of 1997 about the disabled in the term of fulfillment of right to work and a decent living. If we see in the article 4 of Convention on the Rights of Persons with Disabilities, expressly stated that the state is obligated to adopt all legislative and administrative policy in accordance with this convention. It is mean that all the regulations in Indonesia should be adjusted and synchronized in accordance with this convention, started from the substance up to the clauses of all articles. However, until now the government has not shown the real actions to fulfill those rights. And so as in the provisions of the disabled law that is included the protection of right to work and a decent living is not yet worked effectively. There are various factors included the law itself, the executor of the law, facilities and society that still less than optimal on the implementation of disabled law. So it is needed to have socialization in all areas and more often as well as real actions and should be integrated in providing access for the sake of fulfillment of right to work and a decent living of person with disability. Key words: disability, effectiveness, right fulfillment

1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Pendidikan Nasional (UNDIKNAS) Denpasar, Email :

(2)

4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat (selanjutnya disebut UU Penyandang Cacat), pada Bab I Pasal 1 disebutkan bahwa penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunya kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental dan penyandang cacat fisik dan mental.

Dalam dasawarsa terakhir, sebutan penyandang cacat mengalami perubahan menjadi penyandang disabilitas seiring dengan perubahan stigma di kalangan penyandang disabilitas dan organisasi terkait, yang menganggap bahwa istilah cacat merupakan istilah yang merendahkan kondisi dan kemampuan penyandang disabilitas bersangkutan.2 Isu-isu disabilitas juga kian banyak

dibicarakan sehubungan dengan meningkatnya jumlah penyandang disabilitas di Indonesia. Hampir di seluruh dunia diketahui bahwa 80 persen dari penyandang disabilitas hidup di bawah garis kemiskinan.3 Penyandang disabilitas seringkali tidak memiliki akses untuk pendidikan

yang layak, pelayanan kesehatan, dan kegiatan perekonomian. Para penyandang disabilitas juga memiliki kemungkinan kecil untuk dipekerjakan dibandingkan dengan mereka yang tanpa disabilitas. Selain itu ketika mereka dipekerjakan, seringkali mereka bekerja untuk pekerjaan yang dibayar rendah dengan kemungkinan promosi yang sangat kecil serta kondisi kerja yang buruk.4 Banyak hak-hak para penyandang disabilitas yang dilanggar dengan berbagai cara di

seluruh dunia ini termasuk di Indonesia.5

Penanganan permasalahan penyandang disabilitas telah mengalami pergeseran paradigma dari pendekatan belas kasihan ke arah yang lebih mengutamakan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas yaitu mempunyai kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan, tidak terkecuali kesempatan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya.

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 telah disebutkan bahwa Negara telah menjamin bahwa setiap warga negaranya berhak memperoleh hak asasi. Salah satunya adalah hak memperoleh pekerjaan seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab XA Pasal 28 D ayat (2) yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Mengacu pada Pasal tersebut dapat terlihat dengan jelas bahwa dalam hak dan perlindungan kerja merupakan hal mutlak yang harus diberikan kepada setiap orang yang bekerja tanpa mengenal dikriminasi dan membeda-bedakan seseorang atas dasar status, ras, agama maupun kondisi fisik seseorang.6

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

enyandang cacat atau penyandang disabilitas merupakan bagian dari masyarakat yang tidak terpisahkan dalam kehidupan. Menurut Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor

P

2 Okta, Siradj & Irwanto, 2010, Analisis Situasi Penyandang Disabilitas di Indonesia, Jakarta: FISIP

UI-AusAID,hlm. 2.

3UN Enable Fact sheet on Persons with Disabilities, http://www.un.org/disabilities/default.asp?id=18, diakses

tanggal 01 Desember 2015.

4 International Labour Office, 2013, Mempromosikan Pekerjaan Layak bagi Semua Orang: Membuka Kesempatan

Pelatihan dan Kerja bagi penyandang Disabilitas, Jakarta: ILO Publication, hlm. 4.

5 Action on Disability and Development, http://www.add.org.uk/disability_facts.asp, diakses tanggal 01

Desember 2015.

6 El-Muhtaj, Majda, 2012, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media

(3)

Penyetaraan hak penyandang disabilitas dalam hal memperoleh pekerjaan telah dijamin dalam Pasal 14 UU Penyandang Cacat yang telah mengatur adanya kuota satu persen bagi penyandang disabilitas dalam ketenagakerjaan, artinya ada kewajiban bagi perusahaan untuk mempekerjakan satu orang penyandang disabilitas untuk setiap 100 orang pegawai. Dengan demikian, tak ada alasan bagi perusahaan untuk menutup lapangan pekerjaan bagi penyandang disabilitas yang mempunyai keinginan untuk bekerja dalam rangka meningkatkan taraf kualitas kehidupannya. Terjaminnya kesamaan hak dan kedudukan penyandang disabilitas dalam dunia kerja seperti yang telah diatur dalam Pasal 5 UU Penyandang Cacat, ternyata tidak disertai dengan pelaksanaannya di lapangan. Dalam bidang ketenagakerjaan masih banyak yang menganggap bahwa penyandang disabilitas sama dengan tidak sehat, sehingga tidak dapat diterima sebagai pekerja karena syarat untuk menjadi pekerja salah satunya adalah sehat jasmani dan rohani.

Cara pandang yang salah terhadap penyandang disabilitas dan minimnya fasilitas yang diberikan untuk menjangkau dunia kerja bagi para penyandang disabilitas memperlihatkan bahwa masih lemahnya implementasi perlindungan hukum akan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi penyandang disabilitas, meskipun telah ada perlindungan hukum dari UU Penyandang Disabilitas.

Sebagai upaya perlindungan hukum hak-hak warga negara penyandang disabilitas maka diperlukan sebuah sosialisasi regulasi yang jelas sehingga mampu melindungi hak penyandang disabilitas. Dengan regulasi yang disertai aksi nyata maka akan diharapkan dapat memperkecil kemungkinan pengurangan akan hak dalam memperoleh pekerjaan yang dihadapi para penyandang disabilitas serta menjamin tak adanya diskriminasi maka pengawasan dan penelaahan lebih mendalam mengenai efektivitas dari UU Penyandang Cacat dalam memberikan perlindungan hukum akan hak atas pekerjaan merupakan hal mutlak yang wajib dilakukan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka masalah yang menjadi bahasan penulisan ini adalah:

1. Bagaimanakah perlindungan hukum dalam pemenuhan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi penyandang disabilitas menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia? 2. Bagaimanakah implementasi Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat

dalam memenuhi hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak?

II. PEMBAHASAN

2.1 Perlindungan Hukum Dalam Pemenuhan Hak Atas Pekerjaan Dan Penghidupan Yang Layak Bagi Penyandang Disabilitas Menurut Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia

onvention on the Rights of Persons with Disabilities (selanjutnya disingkat CRPD) merupakan konvensi tentang hak-hak penyandang disabilitas yang telah diratifikasi oleh Negara Republik Indonesia dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan CRPD (selanjutnya disingkat UU Pengesahan CRPD). CRPD merupakan instrument HAM internasional dan nasional dalam upaya penghormatan, pemenuhan dan perlindungan hak penyandang disabilitas di Indonesia. Tujuan konvensi ini adalah untuk

(4)

memajukan, melindungi, dan menjamin kesamaan hak dan kebebasan yang mendasar bagi semua penyandang disabilitas, serta penghormatan terhadap martabat penyandang disabilitas sebagai bagian yang tidak terpisahkan (inherent dignity).7

Salah satu pembeda CRPD dengan konvensi internasional yang terkait dengan perlindungan hak asasi manusia lainnya adalah luasnya tujuan, makna dan ruang lingkup perlindungan bagi disabilitas. Dilihat dari tujuannya, konvensi ini tidak hanya untuk memajukan, melindungi dan menjamin penyandang disabilitas untuk menikmati hak-hak asasi manusia dan kebebasan fundamental yang juga dapat dinikmati orang yang bukan disabel, tetapi lebih jauh dari itu mereka harus dapat menikmatinya secara penuh dan tanpa diskriminasi yang didasarkan disabilitas.

Selain itu, konvensi ini juga bertujuan untuk meningkatkan penghormatan terhadap harkat dan martabat insani yang melekat pada setiap diri manusia tanpa pandang bulu.8 Dari kedua

tujuan tersebut terlihat bahwa konvensi ini ingin menegaskan kembali bahwa penyandang disabilitas mempunyai hak-hak asasi dan martabat yang harus dapat dinimatinya secara penuh dan tanpa diskriminasi yang didasarkan pada disabilitas

Konvensi menetapkan kewajiban umum setiap Negara peserta termasuk Indonesia, untuk wajib merealisasikan hak yang termuat dalam Konvensi, melalui penyesuaian peraturan perundang-undangan, hukum dan administrasi dari setiap negara, termasuk mengubah peraturan perundang-undangan, kebiasaan dan praktik-praktik yang diskriminatif terhadap penyandang disabilitas, menjamin partisipasi penyandang disabilitas dalam segala aspek kehidupan seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan, politik, olahraga, seni dan budaya, serta pemanfaatan teknologi, informasi dan komunikasi.

Dalam pasal 4 (empat) konvensi tersebut, secara tegas dinyatakan bahwa negara wajib mengadopsi semua kebijakan legislatif dan administratif sesuai dengan Konvensi ini. Artinya, seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku positif di Indonesia, seperti Undang Lalu-Lintas, Undang Kepegawaian, Undang Kesehatan, Undang-Undang Ketenagakerjaan, Undang-Undang-undang Bangunan serta peraturan dibawahnya haruslah disesuaikan serta disinkronikasikan sesuai dengan konvensi ini, mulai dari substansi di dalam perundang-undangannya hingga sampai klausul-klausul pasalnya. Namun hingga saat ini, pemerintah belum memperlihatkan tindakan nyata. Belum ada peraturan perundang-undangan yang diupayakan untuk disinkronisasi atau diharmonisasi dengan CRPD. Inilah peran utama dan tindakan yang harus sesegera mungkin dilakukan oleh Pemerintah dalam hal pemenuhan hak bagi penyandang Disabilitas.

Dalam Konvensi hak-hak bagi penyandang disabilitas tentang pekerjaan diatur dalam pasal 27, yaitu :

1) Penyandang cacat memiliki kesamaan hak dan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan. 2) Melarang diskriminasi atas dasar kecacatan berkaitan dengan pekerjaan termasuk pada saat

rekrutmen, pemberian pekerjaan, keberlanjutan pekerjaan, pengembangan karir, serta kondisi lingkungan kerja yang aman dan sehat.

7 Penjelasan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan

CRPD.

(5)

3) Melindungi tenaga kerja penyandang cacat atas dasar kesetaraan termasuk kondisi kerja yang adil, penggajian yang sama, promosi jabatan.

4) Memajukan kesempatan agar penyandang cacat dapat bekerja sendiri, berwiraswasta, kerjasama dan memulai bisnis sendiri.

Secara normatif, telah terdapat beberapa instrumen hukum yang dilahirkan untuk melindungi hak penyandang disabilitas untuk bekerja. Instrument hukum tersebut meliputi:

1) UUD tahun 1945 Pasal 28 D ayat 2

2) UU No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Pasal 67

3) UU No.4/1997: Tentang Penyandang Cacat Pasal 6 (2), (3) dan (4), Pasal 3, Pasal 14 4) UU No.39/1999: Tentang Hak Asasi Manusia

5) Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No. Kep.205/MEN/1999 tentang Pelatihan Kerja dan Penempatan Tenaga Kerja Penyandang Cacat.

6) Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No. Kep.205/MEN/ 1999 tentang Pelatihan Kerja dan Penempatan Tenaga Kerja Penyandang Cacat.

7) Surat tEdaran Badan Kepegawaian Negara No.K.26-20/U-5-39/48 Tentang Pengangkatan Penyandang Cacat menjadi Pegawai Negeri.

8) Kesepakatan Bersama antara Menteri Sosial. Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Dalam Negeri dan DPP Apindo tentang Penempatan dan Pendayagunaan Tenaga Kerja Penyandang Cacat di Perusahaan dan dan Masyarakat

9) Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.01.KP.01.15. 2002 Tentang Penempatan Tenaga Kerja Penyandang Cacat di Perusahaan.

10) Surat Edaran Menteri Sosial RI No.001/PR/ XII-4/SE.MS Tentang Penerimaan Tenaga Kerja Penyandang Cacat di sektor pemerintah dan swasta.

2.2 Implementasi Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat Dalam Memenuhi Hak Atas Pekerjaan Dan Penghidupan Yang Layak

Peraturan perundang-undangan, baik yang tingkatannya lebih rendah maupun yang lebih tinggi bertujuan agar masyarakat maupun aparatur penegak hukum dapat melaksanakannya secara konsisten dan tanpa membedakan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya. Namun dalam realitasnya peraturan perundang-undangan yang ditetapkan seringkali dilanggar sehingga aturan tersebut tidak berlaku efektif.

Implementasi UU Penyandang Cacat masih belum efektif dalam memberikan perlindungan hukum dalam rangka pemenuhan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi penyandang disabilitas di Indonesia. Ketidak efektifan peraturan perundang-undangan tersebut dikarenakan kondisi-kondisi berikut yang sepatutnya terlaksana penuh dan juga sesuai dengan syarat-syarat berlakunya hukum secara efektif menurut teori efektivitas hukum. Kondisi-kondisi tersebut meliputi:

a) Undang-undang sepatutnya dirancang dengan baik, dimana kaidah-kaidah yang mematoki harus dirumuskan dengan jelas dan dapat dipahami dengan penuh kepastian. Tanpa patokan-patokan yang jelas orang sulit untuk mengetahui apa yang sesungguhnya diharuskan sehingga undang-undang tidak akan efektif. Hal ini tersirat dalam UU Penyandang Cacat terkait

(6)

pemenuhan hak atas pekerjaan masih kurang jelas dan pasti. Pasal-pasalnya tersebut masih berfokus pada social base bukannya human rights base. Hak dan kewajiban penyandang cacat yang masih harus disesuaikan dengan jenis dan derajat kecacatan, kemampuan dan pendidikannya merupakan bagian yang kurang pasti dan lugas dalam melindungi hak penyandang disabilitas dalam memperoleh pekerjaan. Pasal 8 yang menyatakan bahwa pemerintah dan/atau masyarakat berkewajiban mengupayakan terwujudnya hak-hak penyandang cacat banyak kurang dipahami. Misalnya dalam lingkungan terkecil dari penyandang disabilitas itu sendiri, banyak anggota keluarga yang tidak memahami pasti seperti apa tindakan yang dapat menghilangkan hak-hak penyandang disabilitas tersebut dan bagaimana dapat berupaya dalam membantu penyandang disabilitas dalam mendapatkan hak-haknya.

b) Undang-undang itu, seyogianya bersifat melarang dan bukannya bersifat mengharuskan. Pada umumnya hukum prohibitur itu lebih mudah dilaksanakan ketimbang hukum mandatur. Pasal-pasal terkait pemenuhan hak atas pekerjaan masih bersifat mengharuskan penyedia lapangan kerja untuk wajib memperkerjakan penyandang disabilitas sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya, pendidikan dan kemampuannya yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah karyawan dan/atau kualifikasi perusahaan.

c) Berat sanksi yang diancamkan kepada si pelanggar tidaklah boleh terlalu berat. Sanksi yang terlalu berat dan tak sebanding dengan macam pelanggarannya akan menimbulkan keengganan dalam hati penegak hukum untuk menerapkan sanksi itu secara konsekuen terhadap orang-orang golongan tertentu. Dalam pasal 28 UU Penyandang Cacat mengenai ketentuan pidana bagi siapa saja yang melanggar pasal 14 UU Penyandang Cacat mengenai kesamaan kesempatan dalam memperkerjakan penyandang disabilitas memperlihatkan kondisi demikian. Banyak perusahaan baik swasta dan negeri ataupun penyedia lapangan kerja yang meyakini bahwa penerimaan tenaga kerja merupakan hak mereka yang dilakukan sesuai tuntutan industri kerja dan target pengusaha. Oleh karena itu, ketentuan pidana tersebut dianggap memberatkan untuk jenis pelanggaran yang diyakini tidak sepenuhnya sebagai suatu pelanggaran.

d) Kemungkinan untuk mengamati dan menyidik perbuatan-perbuatan yang dikaidahi dalam undang-undang harus ada. UU Penyandang Cacat termasuk dalam hukum yang dibuat untuk melarang perbuatan-perbuatan yang sulit dideteksi sehingga keefektifannya sangat sulit tercapai. Di banyak kalangan masyarakat di Indonesia, disabilitas masih dipercaya sebagai bagian dari takdir buruk dalam hidup seorang manusia. Penyandang disabilitas diyakini merupakan orang yang tak mampu belajar, tidak memiliki keterampilan dan kemampuan serta tidak akan pernah mandiri dalam berbagai kegiatan. Itulah sebabnya UU Penyandang Cacat yang berkehendak mengontrol kepercayaan-kepercayaan atau keyakinan-keyakinan orang tersebut tidak efektif.

e) Hukum yang mengandung larangan-larangan moral akan jauh lebih efektif ketimbang hukum yang tak selaras dengan kaidah-kaidah moral. Namun, larangan penolakan calon tenaga kerja dengan disabilitas merupakan bagian yang dirasa tidak terdapat dalam kaidah-kaidah moral sehingga hukum kalah efektif dalam pelaksanaanya.

f) Agar hukum itu bisa berlaku secara efektif, mereka yang bekerja sebagai pelaksana hukum harus menunaikan tugas dengan baik. Para pelaksana hukum tersebut harus mengumumkan

(7)

undang-undang secara luas. Terkait dengan UU Penyandang Cacat, sosialisasi masih terasa kurang merata dan kurang menyentuh langsung baik penyandang disabilitas maupun pihak penyedia lapangan kerja (dari skala kecil, menengah hingga skala besar. Aparat-aparat penegak hukum yang seharusnya juga bekerja keras tanpa mengenal jemu untuk menyidik dan menuntut pelanggar-pelanggar, belum melaksanakan tugas penting ini. Banyak penyandang disabilitas berkompenten masih menganggur dan belum diselidiki alasan mereka tidak memperoleh pekerjaan. Banyak perusahaan yang tidak memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang disabilitas dalam memperoleh pekerjaan tidak dituntut telah melakukan pelanggaran.

g) Agar suatu undang-undang dapat efektif maka suatu standar hidup sosio-ekonomi yang minimal harus ada di dalam masyarakat. Isu disabilitas juga merupakan isu sosial dan ekonomi. Banyak penyandang disabilitas yang kesulitan menjangkau akses kesehatan yang layak. Keluarga pendamping juga menghadapi kesulitan dalam memahami kondisi disabilitas tersebut. Hal ini pun berdampak pada semakin beratnya derajat disabilitas orang bersangkutan yang semakin mempersempit kemampuannya. Kondisi kesehatan yang tidak baik, mempersulit penyandang disabilitas dalam mengakses jenjang dan jalur pendidikan atau pelatihan keterampilan. Sehingga hal ini menyebabkan banyak penyandang disabilitas yang tidak memiliki pendidikan dan kemampuan yang sesuai dengan tuntutan dunia pekerjaan. Sehingga standar sosio-ekonomi yang seharusnya tercapai menjadi sangat rendah, dan berdampak pada tidak terlaksananya pasal perlindungan pemenuhan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi penyandang disabilitas.

Kondisi-kondisi yang menggambarkan belum efektifnya UU Penyandang Cacat dalam memenuhi hak penyandang disabilitas juga sesuai dengan lima syarat bagi efektif tidaknya suatu sistem hukum menurut teori efektivitas hukum yang dikemukakan oleh Clearence J. Dias, Howard dan Mummers9. Kelima syarat tersebut meliputi:

a) Mudah tidaknya makna atau isi aturan-aturan hukum itu ditangkap. Pengetahuan tentang disabilitas dan upaya pemenuhan hak disabilitas dalam UU Penyandang Cacat merupakan bagian yang sulit dipahami karena isu disabilitas baru menjadi arus utama hanya pada organisasi-organisasi sosial yang berupaya memberdayakan para penyandang disabilitas. b) Luas tidaknya kalangan di dalam masyarakat yang mengetahui isi aturan-aturan yang

bersangkutan. Banyak warga masyarakat yang tidak berkepentingan langsung terhadap isu disabilitas tidak mengetahui adanya peraturan ini. Bahkan penyandang disabilitas sendiri sebagai subjeknya kerap tidak mengetahui isi dari setiap pasal pada UU Penyandang Cacat. c) Efesien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum yang dicapai dengan bantuan aparat administratsi yang menyadari kewajibannya untuk melibatkan dirinya ke dalam usaha mobilisasi yang demikian atau para warga masyarakat yang merasa terlibat dan merasa harus berpartisipasi di dalam proses mobilisasi hukum.

d) Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang merata yang tidak hanya harus mudah dihubungi dan dimasuki oleh setiap warga masyarakat, akan tetapi juga harus cukup efektif

9 H.Salim & Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi,

(8)

menyelesaikan sengketa. Berbagai bentuk penghambatan dalam pemerataan kesempatan memperoleh pekerjaan yang telah lama terjadi di Indonesia, belum pernah diselesaikan sebagaimana mestinya. Walaupun Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB melalui UU Pengesahan CRPD, namun masih banyak peraturan perundang-undangan yang isinya tidak mendukung terciptanya akses dan pemenuhan serta perlindungan hak bagi para penyandang disabilitas di Indonesia.

e) Adanya anggapan dan pengakuan yang merata di kalangan warga masyarakat, bahwa aturan-aturan dan pranata-pranata hukum itu memang sesungguhnya berdaya mampu efektif. Namun ketidaktahuan warga masyarakat terhadapnya adanya UU Penyandang Cacat menyebabkan pengakuan terhadap peraturan tersebut tiada. Terlebih lagi adanya stigma negative yang masih sangat kuat ada di masyarakat menyebabkan UU ini belum efektif untuk melindungi hak-hak penyandang disabilitas terutama hak untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak.

III. KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

1. Perlindungan hukum dalam rangka pemenuhan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi penyandang disabilitas telah tertera dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia yang dimana salah satunya Indonesia telah meratifikasi Convention on the Rights of Persons with Disabilities (selanjutnya disingkat CRPD) yang merupakan konvensi tentang hak-hak penyandang disabilitas menjadi Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan CRPD.

2. Sejauh ini implementasi ketentuan-ketentuan dalam UU Penyandang Cacat yang menyangkut perlindungan pemenuhan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak belum efektif. Berbagai faktor baik undang-undang itu sendiri, pelaksana undang-undang, sarana prasarana dan faktor masyarakat masih kurang optimal dalam pelaksanaan undang-undang penyandang disabilitas tersebut.

3.2 Saran-Saran

1. Diperlukan sosialisasi terhadap UU Penyandang Cacat yang lebih merata dengan frenkuensi pelaksanaan yang lebih sering. Media dan metode sosialisasi UU Penyandang Cacat juga harus bisa mengakomodir kebutuhan para penyandang disabilitas baik tuna netra, tuna rungu, tuna daksa, tuna grahita maupun cacat ganda.

2. Diperlukan langkah konkrit dan terintegrasi dalam penyediaan akses demi mendukung pemenuhan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Pemerintah sebaiknya menyediakan pendidikan yang terjangkau dan merata, akses kesehatan yang baik serta pelaksanaan berbagai program yang dapat mengurangi stigma negatif para penyandang disabilitas di masyarakat.

(9)

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

El-Muhtaj, Majda, 2012, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

H.Salim & Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

International Labour Office, 2013, Mempromosikan Pekerjaan Layak bagi Semua Orang: Membuka Kesempatan Pelatihan dan Kerja bagi penyandang Disabilitas, Jakarta: ILO Publication. Okta, Siradj & Irwanto, 2010, Analisis Situasi Penyandang Disabilitas di Indonesia, Jakarta:

FISIP UI-AusAID

Undang-Undang :

Indonesia, Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan CRPD

Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat

Internet :

Action on Disability and Development, http://www.add.org.uk/disability_facts.asp, diakses tanggal 01 Desember 2015.

UN Enable Fact sheet on Persons with Disabilities, http://www.un.org/disabilities/default.asp?id=18, diakses tanggal 01 Desember 2015.

Referensi

Dokumen terkait

Pemberian OAJ kepada pasien dengan faktor risiko, disertai gejala klinis, dan hasil pemeriksaan radiologi dan atau laboratorium yang mencurigakan infeksi jamur.. Terapi pre-emptive

Peserta yang lolos babak penyisihan seleksi proposal dinyatakan sebagai Finalis LRBJ IX Civilweek UNS 2017 yang kemudian akan mengikuti babak final yang

Materi penyuluhan merupakan lanjutan dari materi yang telah diberikan pada penyuluhan umum, yang berupa materi tentang apa yang harus di- lakukan saat remaja mengalami

Obat ditaruh dibawah lidah, Tidak melalui hati sehingga tidak diinaktif, dari selaput di bawah lidah langsung ke dalam aliran darah, sehingga efek yang dicapai lebih cepat misalnya

1) Berdasarkan pasal 2 ayat (1) huruf a Undang- Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, bahwa: “jasa penerimaan yang termasuk kelompok penerimaan

Berdasarkan Tabel 5 Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan mendistribuskan hasil tangkapan ke pasar lokal (domestik) dan ekspor. Distribusi olahan ikan asin dan

Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh durasi penambahan 2% tepung jahe emprit (TJE) dalam ransum terhadap energi metabolis (EM) dan bobot badan akhir (BBA) pada ayam

Proses media buying itu sederhana, pada dasarnya hanya implementasi dari apa yang ada di media plan dan sudah di-approved oleh klien. Tahapan setelah