• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN DIMENSI-DIMENSI EMOSI MORAL, DIMENSI-DIMENSI KEKUASAAN, DAN PERASAAN KOMPETENSI DALAM MEMPREDIKSIKAN FITNAH DEFENSIF PADA PEMUKA AGAMA X"

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERAN DIMENSI-DIMENSI EMOSI MORAL, DIMENSI-DIMENSI KEKUASAAN, DAN PERASAAN KOMPETENSI DALAM MEMPREDIKSIKAN FITNAH DEFENSIF PADA PEMUKA AGAMA X""

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

DAN PERASAAN KOMPETENSI DALAM

MEMPREDIKSIKAN FITNAH DEFENSIF

PADA PEMUKA AGAMA “X"

Marcelia Lesar

Universitas Bina Nusantara. Jl.Kebon Jeruk Raya No.27, Kebon Jeruk, Jakarta Barat 11530 Telp. (62-21) 535 0660 Fax. (62-21) 535 0644 mlgenesis116@gmail.com

(2)

UNIVERSITAS BINA NUSANTARA Fakultas Humaniora

Jurusan Psikologi Skripsi Sarjana Psikologi Semester Genap tahun 2013/2014

PERAN DIMENSI-DIMENSI EMOSI MORAL, DIMENSI-DIMENSI KEKUASAAN, DAN PERASAAN KOMPETENSI DALAM MEMPREDIKSIKAN FITNAH DEFENSIF PADA

PEMUKA AGAMA “X" Marcelia Lesar 1301020151

ABSTRACT

This study aimed to examine the role of moral emotion dimensions, power dimensions and sense of competence in predicting defensive denigration among “X” religious leaders. Numerous qualitative field researches have shown a repetitive application of defensive denegration among “X” religious leaders. Such consistent, repetitive, and on-going conflict gives urgency for researcher to appoint it for scientific study. This study uses quantitative method with 174 samples of “X” religious leaders within two provinces: JABODETABEK (Jakarta, Bogor, Depok Tangerang, Bekasi) and North Sulawesi (100 males, 74 females, with an average 35 years old). The measurement of this study is adapted and developed from Guilt and Shame Proneness Scale, Defensive Style Questionnaires, Barrett Power Perception Scale, and Sense of Competence Scale. This study uses non-probability convenience sampling technique. Predictive correlational is the research design of this study, with multiple linear regressions as technique analyzing. Sense of competence (-0.342, p=0.00), one out of

four dimension of moral emotion, identified as: Shame-Withdrawal (0.878, p=0.040), as well as one out of four dimension of power dimension, identified as power as choices (0.680, p=0.014) has shown to be significant in predicting defensive denigration among “X” religious leaders.

Keywords : defensive denigration, moral emotion, power, sense of competence. ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran dimensi-dimensi emosi moral, dimensi-dimensi kekuasaan dan perasaan kompetensi diri dalam memprediksikan fitnah defensif pada pemuka agama “X”. Sejumlah tinjauan kualitatif lapangan menunjukan aplikasi berulang fitnah defensif pada pemuka agama “X”. Konflik yang telah sekian lama berlangsung dan berulang memberi urgensi diangkatnya fenomena ini sebagai laporan penelitian ilmiah. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan jumlah sample 174 orang pemuka agama “X” berdomisili di JABODETABEK (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi) dan Sulawesi Utara (100 laki-laki 74 perempuan, dengan rata-rata usia 35 tahun). Alat ukur penelitian ini diadaptasi dan dikembangkan peneliti dari alat ukur Guilt and Shame Proness Scale (GASP), Defensive Style Questionnaires, Barrett Power

Perception Scale, dan Sense of Competence Scale. Penelitian ini menggunakan metode non-probability sampling dengan teknik convenience sampling. Korelasional prediktif adalah desain

penelitian yang digunakan, dengan teknik analisa regresi linier berganda. Perasaan kompetensi menunjukan signifikansi dalam memprediksikan fitnah defensif dengan nilai -0.342 dengan p = 0.00. Satu dari empat dimensi emosi moral yakni: Shame-Withdrawal menunjukan hasil yang signifikan dalam memprediksikan fitnah defensif dengan nilai 0.878 dengan p = 0.040, demikian juga satu dari empat dimensi kekuasaan, yakni: kekuasaan sebagai pilihan-pilihan, dengan nilai 0.680 dengan p = 0.014

(3)

PENDAHULUAN

Konflik antar pemuka agama X bukanlah suatu fenomena baru dalam topik pembahasan penganut agama “X” ataupun masyarakat umum. Terlepas dari preferensi keyakinan spiritual individu dan kelompok, konflik ini senantiasa menjadi salah satu permasalahan organisasional yang masih menuai sejumlah pro dan kontra dari masyarakat dan badan pemerintahan tertentu. Beranjak dari serangkaian konflik yang melibatkan sejumlah pemuka agama X, ditemukan adanya aplikasi berulang fitnah defensif sebagai upaya untuk melindungi serangan yang diterima dari pihak lain. Memfitnah orang lain adalah bentuk pertahanan ego yang umum. (Baumeister, Dale, & Sommer, 1998). Bentuk mekanisme pertahanan tersebut umumnya dimanifestasikan dalam pengucilan subordinasi atau pemuka agama X lainnya yang diidentifikasikan sebagai pencetus serangan awal terhadap kepemimpinan pemuka agama. Untuk mendukung keabsahan hipotesis penelitian ini, adapun beberapa verifikasi fenomena yang ditinjau peneliti dari: (1) Referensi saksi mata, (2) Referensi media, dan (3) Tinjauan lapangan dengan salah satu pemimpin organisasi besar di Indonesia.

Berdasarkan tinjauan saksi mata, fenomena fitnah defensif pada pemuka agama “X” dibenarkan oleh seorang blogger dan pendiri Spiritual Sounding Board bernama Julie Anne. Dalam artikel yang dipublikasi website resmi Spiritual Sounding Board tanggal 16 September 2012. Julie Anne menuliskan pengalaman keanggotaanya dalam sebuah organisasi religius yang abusive. Tanda berbahaya yang seringkali luput dari perhatian banyak orang hari-hari ini adalah ketika pemuka agama “X” tidak memiliki hubungan yang baik, tidak menunjukan rasa hormat, dan tidak ada kebutuhan akan akuntabilitas atau koneksi dengan pemuka agama “X” lainnya. Mantan pemuka agama “X” dalam organisasi dimana Julie Anne pernah melibatkan diri, menolak untuk membangun hubungan dengan pemimpin dari Grace Brethren yang merupakan komunitas yang berafiliasi dengan organisasi dimana Julie Anne bernaung. Masih kuat dalam ingatan Julie Anne bagaimana pemuka agama “X” organisasi religius memfitnah pemuka agama “X” lainnya dari atas mimbar dengan merujuk kepada ketidaksesuaian dan ketidakbenaran khotbah serta pola memimpin yang otoritatif.

Dari tinjauan media, seperti yang berhasil dirangkum dari Surabaya Pagi, perkembangan kasus saling lapor antara pemuka agama “X” AA dengan pemuka agama “X” LL serta pengacara G yang semuanya ditangani di Subdit II Hardabangta Ditreskrimum Polda Jatim, sampai Kamis (4/4) kemarin masih berjalan. Pemuka agama “X” AA, dilaporkan oleh Pemuka agama “X” LL, dengan sangkaan penggelapan dalam jabatan. Kemudian pemuka agama “X” DA, anak kandung pemuka agama “X” AA, dilaporkan pemalsuan dan atau penggunaan surat palsu. Sedangkan Pemuka agama “X” LL bersama kuasa hukumnya yang lama, advokat G, dilaporkan melakukan pencemaran nama baik, fitnah dan perbuatan tidak menyenangkan. Sedangkan pemuka agama “X” Y, menantu pemuka agama “X”. AA, dilaporkan sejumlah pengikutnya melakukan penggelapan asset organisasi. (Surabaya Pagi,

2013).

Wawancara mendalam dengan salah satu pemuka agama “X” organisasi religius besar dan berpengaruh di Jakarta dilangsungkan pada tanggal 1 September 2013. Peneliti secara tidak eksplisit menggali respon pemuka agama “X” dalam menangani fitnah, serta konflik emosi moral dalam bentuk rasa bersalah dan rasa malu ketika melakukan pelanggaran yang belum ataupun telah dipertanggungjawabkan akuntabilitasnya secara publik .

Beranjak dari ketiga tinjauan fenomena diatas, adapun aplikasi-aplikasi emosi moral umumnya diterapkan dalam proses penanganan konflik. Aplikasi berulang tersebut dapat ditinjau dari evaluasi perilaku ataupun diri secara negatif, hasrat untuk memperbaiki masalah, ataupun kecenderungan untuk lari dari masalah. Sejumlah besar pemuka agama “X” yang disorot pada website umum Spiritual

Sounding Board, Julie Anne adalah mereka yang memiliki kecenderungan lari dari masalah, tanpa

menunjukan intensi untuk memperbaiki perilaku atau pelanggaran yang telah dilakukan.

Dahl (1957) mendefinisikan kekuasaan sebagai kemampuan dari aktor A untuk membuat aktor B melakukan apa yang diinginkan pelaku A (yang bukan merupakan apa yang hendak dilakukan aktor B bagaimanapun juga). Definisi Dahl berfokus pada konflik yang dapat diamati antara dua aktor. Bachrach dan Baratz (1963) melengkapi visi kekuasaan ini dengan kekuasaan di belakang layar, seperti penetapan agenda, guna mengurangi konflik yang dapat diamati antara aktor-aktor. Lukas (1974) berpendapat bahwa kekuasaan harus diperluas untuk mencakup kegiatan yang membentuk preferensi. Jika individu atau kelompok dapat mengubah preferensi aktor yang lain untuk disesuaikan lewat sosialisasi atau persuasi, maka tidak akan ada konflik yang dapat diamati dan tidak juga perlu adanya manipulai agenda.

(4)

Beranjak dari kekuasaan, faktor eksternal lainnya yang secara langsung bersinggungan dengan fitnah sebagai mekanisme pertahanan adalah perasaan kompetensi. Disandangnya status sebagai pemuka agama X dengan membawahi sejumlah besar pengikut, lazimnya senantiasa menjadi topik perbandingan oleh subordinat. Kompetensi diri bergantung pada korespondensi antara daya juang individu dan hasil yang cukup obyektif dari upaya individu dalam memenuhinya.

Perasaan kompetensi (sense of competence) merupakan alasan antar pemuka agama X yang secara signifikan berperan dalam menentukan tinggi rendahnya fitnah sebagai mekanisme pertahanan. Ketika pemegang-kuasa tidak memperlakukan subordinat dengan baik, mereka menghalau performa subordinasi, menurunkan moral dan memperkenalkan stres dari hubungan yang merugikan(e.g., Aquino & Thau, 2009; Tepper, 2000, 2007) Satu bentuk penganiayaan yang halus namun berbahaya melibatkan fitnah yang berkelanjutan akan rasa keberhargaan dan kompetensi (Aquino & Thau, 2009; Georgesen & Harris, 1998).

Dalam disertasi R.M. Joseph pada tahun 1995, fitnah defensif diangkat sebagai salah satu dimensi signifikan dari “Self-Protective Thoughts” pada perempuan dengan kecacatan fisik, dalam berinteraksi dengan orang-orang yang tidak cacat secara fisik. R.M Joseph berpendapat seseorang dapat meningkatkan kesejahteraan subjektif nya dan menjaga harga dirinya lewat membandingkan diri dengan orang lain yang kurang beruntung. Perbandingan dapat terlihat ketika harga diri seseorang berada dibawah ancaman. Dalam upaya melindungi harga diri maka orang akan menggunakan metode perbandingan reverse downward. Untuk menginisiasikan perbandingan terbalik. Orang yang merasa sedang terancam harga dirinya, secara relatif akan membalikan status orang lain sebagai orang yang kurang beruntung. Orang yang terancam dapat melakukan hal ini lewat memfitnah orang lain. Dibawah naungan atribusi yang sama, simpulan terbaliknya menunjukan bahwa perasaan kompetensi seseorang yang tidak terganggu dapat meminimalisir fitnah defensif dalam bentuk reverse-downward Rumusan masalah penelitian ini ialah: Apakah dimensi-dimensi moral berupa NBE, REP, NSE,

WITH, kekuasaan sebagai kesadaran, kekuasaan sebagai pilihan-pilihan, kekuasaan sebagai kebebasan untuk berperilaku dengan sengaja, kekuasaan sebagai keterlibatan dalam menciptakan perubahan, dan perasaan kompetensi secara bersama-sama mampu memprediksikan fitnah defensif

pada pemuka agama “X” ?

Tujuan Penelitian ini ialah Untuk mengetahui peran dimensi-dimensi moral berupa NBE, REP, NSE,

WITH, kekuasaan sebagai kesadaran, kekuasaan sebagai pilihan-pilihan, kekuasaan sebagai kebebasan untuk berperilaku dengan sengaja, kekuasaan sebagai keterlibatan dalam menciptakan perubahan, dan perasaan kompetensi dalam memprediksikan fitnah defensif pada pemuka agama “X”

secara bersama-sama. Manfaat Penelitian

1. Manfaat bagi subordinat pemuka agama X agar memiliki pemahaman yang berlandaskan kajian empiris dan akademis akan peran dimensi-dimensi emosi moral, dimensi-dimensi kekuasaan, dan perasaan kompetensi dalam memprediksikan fitnah defensif pada pemuka agama X.

2. Manfaat bagi pemuka agama X dalam mengkaji dan mengantisipasi penanganan masalah 3. Sebagai edukasi objektif untuk masyarakat awam dalam menelaah fenomena konflik antar

(5)

Fitnah defensif dikembangkan dari teori perbandingan terbalik “downward comparison. Wills dalam dalam disertasi Joseph berpendapat bahwa fitnah defensif adalah perilaku untuk meningkatkan kesejahteraan subjektif, serta menjaga harga diri dengan membandingkan diri dengan orang yang dianggap kurang beruntung, perbandingan dapat terlihat ketika harga diri seseorang terancam, untuk itu orang dapat melindungi harga-dirinya sendiri dengan menggunakan perbandingan reverse-downward. Ancaman terhadap kompetensi kepribadian (e,g., Cuddy, Fiske, & Glick, 2008) menuntun yang berkuasa untuk menyakiti orang lain secara tidak langsung dalam bentuk fitnah. Pernyataan ini berdiri diatas gagasan bahwa memfitnah pihak lain adalah bentuk umum dari ego defensif (misalnya, Baumeister, Dale, & Sommer, 1998) dan bahwa kurangnya kompetensi secara khusus mengancam pihak-pihak pada posisi kekuasaan (Fast & Gruenfeld, 2012).

Salah satu variabel prediktor penelitian ini ditinjau dari sudut pandang emosi moral (moral emotions) sebagai fondasi berdirinya skala pengukuran Guilt And Shame Proneness, yang dikembangkan oleh Cohen et al., (2011) Emosi moral dapat memotivasi perilaku etis yang menguatkan orang untuk berperilaku sesuai standarisasi benar dan salah yang dapat diterima pada umumnya. Tangney (2003) memaparkan bahwa dimensidimensi emosi moral dapat memberikan dorongan yang motivasional -kekuatan dan energi- untuk melakukan yang baik dan menghindari yang jahat. Contohnya: Individu yang cenderung merasa bersalah setelah melakukan pelanggaran, yang kemudian berperilaku secara kurang agresif ketika sedang marah. Stuewig, et al., (2010) adalah mereka yang memiliki kemungkinan kecil untuk melakukan perilaku melanggar sebagai orang dewasa, dan dalam perihal berdusta dalam negosiasi bisnis. Cohen (2010). Meskipun para ilmuwan menyetujui bahwa emosi-emosi moral berperan kritis dalam mencegah perilaku tidak etis dan anti sosial Mashek, et al., (2007), adapun ketidaksepakatan perihal bagaimana kedua prototipikal emosi-emosi moral –rasa bersalah dan rasa malu- seharusnya didefinisikan, dibedakan, dan diukur. Cohen, et al., (2010).

Jurnal penelitian Guilt and Shame Proneness Scale mengukur perbedaan kecenderungan rasa bersalah dan rasa malu individu dalam berbagai bentuk pelanggaran pribadi. Cohen berpendapat bahwa pengukuran skala raa bersalah dan rasa malu (GASP) dapat membantu mendeteksi kecenderungan individu akan pengambilan keputusan yang tidak etis dan perilaku melanggar. Berdasarkan pandangan perilaku diri (self-behavior) yang dikemukakan oleh Tracy dan Robins (dalam Cohen et al., 2011), perasaan bersalah terjadi ketika seseorang membuat atribusi internal mengenai perilaku spesifik yang tidak sesuai dengan perilakunya sehingga merujuk pada munculnya perasaan negatif mengenai perilaku yang dilakukan. Di sisi lain, rasa malu muncul ketika seseorang membuat atribusi internal yang bersifat stabil dan global mengenai dirinya sehingga merujuk pada perasaan negatif mengenai diri secara global (Cohen et al., 2011). Pandangan lain yang turut mengulas perbedaan mengenai rasa malu dan bersalah adalah pandangan umum-pribadi (public-private) yang dikemukakan oleh Combs, Campbell, Jackson, dan Smith (dalam Cohen et al., 2011). Pandangan ini melandaskan pandangan antropologi dalam pembahasannya. Menurut pandangan ini, perasaan bersalah diasosiasikan dengan perasaan pribadi bahwa telah melakukan hal yang salah dan bertentangan dengan hati nuraninya. Sebaliknya, perasaan malu merupakan perasaan negatif yang muncul ketika seseorang melakukan kesalahan dan kesalahannya dikemukakan di muka umum (Cohen, Insko, Panter, Wolf, 2011).

Perasaan malu dan bersalah terjadi apabila terdapat stress yang muncul sebagai dampak dari pelanggaran yang dilakukan (Cohen, et all., 2011). Tangney (dalam Cohen et al., 2011) memaparkan bahwa rasa malu dan bersalah merupakan emosi yang terjadi dari kesadaran diri sebagai hasil dari refleksi dan evaluasi diri. Kedua emosi ini juga merupakan pendorong munculnya regulasi diri. Akan tetapi, walau terlihat serupa, perlu diingat bahwa kedua hal ini adalah variabel yang berbeda.

Dimensi-dimensi moral dapat diukur dari emosi moral yang dimiliki individu. Emosi moral itu sendiri memiliki 4 dimensi, yaitu evaluasi perilaku negatif (NBE), inisiatif memperbaiki kesalahan (REP), evaluasi diri negatif (NSE), dan perilaku menarik diri (WIT) (Cohen, et al., 2011). Dimensi NBE dan REP merupakan indikasi adanya kecenderungan rasa bersalah, sedangkan NSE dan WIT mengindikasikan adanya kecenderungan rasa malu ketika melakukan kesalahan. Aspek yang membedakan antara dimensi NBE dengan dimensi REP adalah NBE mengukur disposisi emosi moral, sedangkan REP mengukur orientasi perilaku moral (Cohen, et al., 2011). Cohen, et all (2011) juga memaparkan bahwa dimensi NBE berkorelasi dengan dimensi REP, namun, dimensi NSE tidak berkorelasi dengan dimensi WIT. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Cohen, et al., (2011), dapat dilihat bahwa NBE, NSE, dan REP yang tinggi berkorelasi negatif dengan perilaku menyimpang atau pelanggaran moral. Namun, berbeda dengan itu, WIT berkorelasi positif dengan perilaku penyimpangan

(6)

moral. Dapat disimpulkan bahwa dimensi-dimensi moral atau perilaku penyimpangan moral dapat diindikasikan dengan skor NBE, NSE, dan REP yang rendah serta WIT yang tinggi. Sebagai metode pengukuran, pengembang alat ukur GASP merekomendasikan untuk melakukan pengukuran ke 4 dimensi secara terpisah dan tidak menjumlahkan ke 4 dimensi secara bersamaan. Pengukuran dengan menjumlahkan ke 4 dimensi ini dapat merujuk pada terjadinya multikolienaritas.

Definisi kekuasaan diteguhkan Barrett sebagai kemampuan untuk berpartisipasi secara sadar dalam perubahan yang dinyatakan lewat kesadaran, pilihan-pilihan, kebebasan untuk bertindak dengan

sengaja, dan keterlibatan dalam menciptakan perubahan (Barrett, 1983). Manifestasi dari

dimensi-dimensi ini tidak terikat pada pola yang berurutan ataupun lock-step. Empat dimensi-dimensi ini diukur oleh 12 karakteristik yang menggunakan alat ukur Kekuatan untuk Mengetahui Partisipasi dalam Perubahan (PKPCT). Karakteristik yang diangkat didasari oleh sistem pemahaman yang dapat menghambat atau meningkatkan kekuasaan dengan pengaturan akan keputusan-keputusan hidup, perihal bagaimana manusia berpartisipasi dalam perubahan. Kekuasaan adalah sebuah proses eksperensial yang dimanifestasikan dalam dua jenis yang disebut Barrett sabagai “Power as Control” dan “Power as

Freedom”. Kedua jenis ini memiliki wujud yang beragam dengan intensitas dan frekuensi yang variatif.

Teori ini menjunjung tinggi keterikatan antara kekuasaan dengan nilai bebas dalam hal definisi. Seperti mengetahui partisipasi dalam perubahan, dan empat dimensi yang terkait dengan fenomena kekuasaan. Kekuasaan bukanlah sesuatu yang baik atau jahat didalam dan dari diri seseorang meskipun kita sebagai individu atau kelompok dapat membuat poin-poin penilaian tentang berbagai bentuk manifestasi kekuasaan, dan mengkategorisasikannya dalam bentuk konstruktif atau destruktif.

Fenomena kekuasaan didirikan atas empat dimensi, dua jenis mencerminkan pandangan-pandangan dunia yang berbeda. Kausal yang bersifat predominan memandang “Kekuasaan Sebagai Kontrol”, berkarakteristik hirarkis, deterministik, reduksionis, dan mudah ditebak. “Kekuasaan Sebagai Kontrol” didominasi upaya untuk “mengendalikan”. Kekuasaan dipandang sebagai sebuah kuantitas terbatas. Sebaliknya, Kekuasaan sebagai Kebebasan” merefleksikan pandangan yang bersifat kausal. Pada perspektif ini kekuasaan memiliki pandangan yang berbeda. Karakter-karakter yang dapat dilihat adalah keterbukaan, proses yang bersifat mutual, tidak terbagi, dan tidak dapat diprediksi. Kekuasaan dikelilingi oleh hukum sebab-akibat dan persepktif sistem tertutup fisik-material dimana kekuasaan seringkali melibatkan serangan atau dominasi, dengan atau tanpa paksaan, dalam upaya untuk mengendalikan. Sebaliknya, “Kekuasaan sebagai Kebebasan” memeluk pandangan yang dikelilingi penyebab, yang mendukung “Kebebasan”.

Perasaan kompetensi adalah keyakinan akan kemampuan diri dalam mengatasi segala sesuatu dan dalam keberhasilan pencapaian tujuan. Kompetensi diri yang tinggi memiliki karakter afektif dan valuative intrinsik positif. Hal ini telah didiskusikan perannya dalam memotivasi perilaku purposive (Smith, 1968; White, 1959, 1963) dan karena peran adaptif nya dalam menghadapi stres (Bandura, 1977, 1982; Seligman, 1975). Secara kognitif, hal ini ditandai dengan adanya ekspektansi umum untuk sukses (Fibel & Hale, 1978). Kompetensi yang dipersepsikan sendiri mengacu pada persepsi kemampuan pribadi seseorang untuk terampil dalam berinteraksi serta mengubah lingkungan, atau, dengan kata lain, mempengaruhi (White, 1959).

Kekuasaan meningkatkan tingkatan dimana individu merasa bahwa mereka harus berkompetensi untuk mempertahankan kekuasaan mereka (Georgesen & Harris, 2006) dan untuk memenuhi tuntutan dan harapan yang datang dengan peranan kekuasaan yang tinggi (Fast, 2009). Pemegang kuasa yang merasa dirinya kurang secara kompetensi harus merasa terancam, riset lebar-mulai menunjukkan ancaman yang sering mengarah ke keadaan internal ego defensif. (e.g., Carver, Lawrence, & Scheier, 1999; Higgins, 1987; Maner et al., 2005; Pyszczynski, Greenberg, & Goldenberg, 2003; Stone & Cooper, 2001).

(7)

METODE PENELITIAN

Karakteristik subjek penelitian adalah pemuka agama “X”, berusia 30-55 tahun, berdomisili di wilayah Manado dan JABODETABEK, telah terlibat dalam jabatan kepemimpinan organisasi agama “X” sekurang-kurangnya selama dua tahun, dan aktif dalam organisasi. Lokasi penelitian akan dilakukan di dua kota. (1) Manado-Sulawesi Utara, (2) Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (JABODETABEK) Pemilihan lokasi didasari oleh Manado sebagai salah satu kota dengan mayoritas jumlah penduduk beragama nasrani terbesar di Indonesia, dan Jakarta sebagai ibukota Negara sehingga dapat memudahkan peneliti untuk mencari sampel yang representatif. Penelitian ini menggunakan teknik sampling berupa

non-probability sampling, yakni convenience incidental sampling, yaitu pendekatan yang memilih sampel

dari orang atau unit yang paling mudah dijumpai atau diakses (Santoso & Tjiptono 2001). Menurut Sugiyono (2004) convenience incidental sampling adalah pengambilan sampel berdasarkan faktor kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan bertemu dan dapat digunakan oletih peneli sebagai sampel bila partisipan yang kebetulan ditemui cocok sebagai sumber data. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian non-eksperimental, yaitu penelitian tanpa melakukan manipulasi terhadap variabel bebas, tidak melakukan kontrol terhadap variabel, dan tidak ada pengacakan dalam pemilihan sampel. Peneliti menggunakan desain korelasional prediktif karena penelitian ini bertujuan untuk menguji prediksi seluruh variabel prediktor terhadap variabel kriteria/tergantung.

Variabel independen yang pertama adalah dimensi-dimensi emosi moral. Pengukurannya diaplikasikan lewat Guilt and Shame Proneness Scale, Wolf (2011), yang diukur melalui perasaan bersalah (Guilt), yang yang terbagi menjadi Guilt-Negative Behavior Evaluation dan Guilt-Repair. Dan Perasaan Malu (Shame), yang terdiri atas Shame-Negative Evaluation. dan Shame-Wihtdrawal. Variabel independen yang kedua adalah dimensi-dimensi kekuasaan yang didefinisikan sebagai kapasitas untuk berpartisipasi secara sadar dalam perubahan yang dinyatakan lewat kesadaran, pilihan-pilihan, kebebasan untuk bertindak dengan sengaja, dan keterlibatan dalam menciptakan perubahan (Barrett, 1983). Alat ukur kekuasaan menggunakan 4 Dimensi-dimensi kekuasaan untuk Mengetahui Partisipasi dalam

Perubahan (PKPCT) (Barrett, 1983, 1986, 1989, 1990a, 1990b, 2003). Yakni: 1. Awareness. 2. Choices.

3. Freedom to Act Intentionally. 4. Involvement of Creating Change.

Variabel independen yang ketiga adalah perasaan kompetensi (Sense of Competence), yang didefinisikan sebagai kemampuan fisik, manual, serta kemampuan interpersonal (Chickering, 1969; Chickering & Reisser, 1993). Fokus dari SCS-R terletak pada ketiga dimensi-dimensi terkait (intelektual, fisik & manual, dan interpersonal) pengembangan kompetensi.

Model Konseptual Sense of Competence-Revised (SCS-R) (Chickering dan Reisser, 1993)

Guna kesesuaian item dan subjek, maka sub skala alat ukur perasaan kompetensi diadaptasi dengan jurnal

Competency Model yang merupakan hasil penelitian dari Nominating Committees pada tahun 2005 yang

terdiri dari lima sub skala yakni: (1) Personal Relationship with God, (2) Personal Character. (3)

Leadership. (4) Relationship Skill dan (5) Organizational Skill

Variabel dependen dalam penelitian ini adalah fitnah defensif. Wills (1981) berpendapat bahwa fitnah defensif adalah perilaku untuk meningkatkan kesejahteraan subjektif, serta menjaga harga diri dengan membandingkan diri dengan orang yang dianggap kurang beruntung, perbandingan dapat terlihat ketika harga diri seseorang terancam, untuk itu orang dapat melindungi harga-dirinya sendiri dengan menggunakan perbandingan reverse-downward. Merriam-Webster mendefinisikan fitnah sebagai: (1) memperkatakan kritikan dan seringnya hal-hal yang tidak adil tentang seseorang, (2) membuat sesuatu nampak kurang penting atau berharga. Mekanisme difensif dapat dijabarkan sebagai preferensi persepsi dan pemikiran (Singer & Sincoff, 1990; Slavin & Kriegman, 1992) yang digunakan individu ketika mereka termotivasi untuk menjaga kelangsungan harga diri dan regulasi pengaruh (A. Freud, 1937, p. 235).

(8)

Hipotesa alternative (Ha) dalam penelitian ini adalah: Dimensi-dimensi moral berupa NBE, REP, NSE,

WITH, kekuasaan sebagai kesadaran, kekuasaan sebagai pilihan-pilihan, kekuasaan sebagai kebebasan untuk berperilaku dengan sengaja, kekuasaan sebagai keterlibatan dalam menciptakan perubahan, dan perasaan kompetensi secara bersama-sama mampu memprediksikan fitnah defensif pada pemuka agama

“X”.

Teknik analisis pada penelitian ini menggunakan teknik regresi linier berganda (multiple linear

regression). Analisis regresi linier berganda digunakan terutama untuk tujuan memprediksi, dimana

dalam model tersebut ada beberapa prediktor variabel bebas untuk memprediksikan hasil variabel terikat supaya lebih akurat (Gravetter & Wallnau, 2009). Hasil yang diperoleh dari persamaan regresi ini disebut

beta weights (b). Kemudian koefisien korelasi berganda dikuadratkan untuk mendapatkan koefisien

analisis determinasi (R2). Analisis determinasi digunakan untuk mengetahui persentase prediksi variabel independen terhadap variabel dependen secara bersamaan. Setelah mengetahui prediksi secara bersama-sama (uji F), maka didapatkan juga prediksi masing-masing prediktor. Analisis regresi berganda digunakan untuk memprediksi dua atau lebih variabel independen dengan satu variabel dependen. Variabel independen dalam penelitian ini diantaranya tendensi koruptif (X1), kekuasaan (X2), dan

perasaan kompetensi (X3). Sedangkan untuk variabel dependennya adalah fitnah defensif (Y) dengan

persamaan regresi berganda. Rumus pengolahan datanya ialah Y= a + b1 X1 + b2X2 + b3X3

Dalam persiapannya, peneliti terlebih dahulu melakukan visibility fenomena bersama supervisor peneliti pada tanggal 2 September 2013. Diskusi akademis dilandaskan data-data pendukung dari berbagai media dan nara sumber dari organisasi-organisasi terkait menjadi pertimbangan tinjauan lebih lanjut. Beranjak dari visibility awal ini, peneliti kemudian menindaklanjuti fenomena dengan penggalian teori-teori yang mendukung tiap variabel yang diangkat. baik secara dependen ataupun independen. Kemudian dibawah supervisi pembimbing, peneliti mulai menerjemahkan fenomena dalam bentuk proposal berstruktur yang berisi elaborasi akademis yang dimulai tanggal 10 September 2014.

Pelaksanaan dimulai dengan verifikasi data statistik pemuka agama X pada tiap denominasi yang memenuhi kriteria subjek penelitian. Verifikasi ini akan mempengaruhi pengaturan estimasi subjek yang ditargetkan untuk pengisian kuisioner dan wawancara sebagai data kualitatif pendukung. Dalam pelaksanaannya pemeriksaan ulang item-item kuisioner juga akan dilakukan untuk memastikan efektivitas dan objektifitas dari informasi yang dihasilkan. Penelitian akan dilakukan di dua wilayah yakni: (1) Manado- Sulawesi Utara, (2) JABODETABEK (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) Estimasi waktu dimulainya pengambilan data lapangan berkisar pada pertengahan November 2013 di wilayah JABODETABEK Jakarta, 5 Desember 2013 – 12 Januari 2014 di wilayah Manado -Sulawesi Utara.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bagian ini peneliti akan memaparkan hasil perolehan data dan gambaran umum dari responden. Penelitian berlangsung di dua kota, Manado dan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (JABODETABEK). Pengambilan data dimulai pada tanggal 5 Desember 2013 sampai 12 Januari 2014. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini memiliki karakteristik, yaitu: laki-laki dan perempuan. Penelitian ini melibatkan responden dengan total 174 orang dengan rincian perempuan sejumlah 86 orang dan laki-laki sejumlah 88 orang. Table 4.1 menunjukan perolehan persentase perempuan sebesar 49.4% dan laki-laki-laki sebesar 50.6%.

Responden berdasarkan jenis kelamin Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid Laki-Laki 88 50.6 50.6 50.6 Perempuan 86 49.4 49.4 100.0 Total 174 100.0 100.0

(9)

Karakter usia 30-55 tahun. Rata-rata usia yang menjadi responden penelitian ini adalah 41 tahun dengan mayoritas persentase usia 41-45 tahun sebesar 21.26%; 30-35 tahun sebesar 17.81%; dan 56-63 tahun sebesar 10.91%./ Data responden berdasarkan warga kota sesuai Table 4.5 didominasi oleh responden warga kota Manado sebesar 74.1%, dan JABODETABEK sebesar 18.4%

Pengujian data percobaan awal dilakukan atas 90 responden yang diambil secara acak untuk menghitung alfa, kemudian setelahnya, peneliti menidaklanjuti dengan pengujian validitas konstruk dan reliabilitas koefisien alfa 174 total responden memalui program SPSS 22.0 Berikut adalah hasil dari uji validitas dan reliabilitas dari keempat variable yakni: dimensi-dimensi emosi moral, dimensi-dimensi kekuasaan, fitnah defensif, dan perasaan kompetensi (sense of competence)

Uji Validitas dan Reliabilitas

Sub Skala Jumlah Item Awal Jumlah Item Akhir Alpha Cronbach Corrected Item Correlation Akhir

Negative Behaviour Evaluation 6 5 0.856 0.522-0.748

Shame–Withdraw 5 4 0.552 0.284-0.386

Guilt-Repair 6 6 0.817 0.498-0.690 Negative Self Evaluation

6 6 0.842 0.494-0.719

Kesadaran saya adalah … 13 8 0.820 0.428-0.721

Pilihan-pilihan saya adalah … 13 12 0.867 0.299-0.727

Kebebasan untuk berperilaku dengan sengaja saya

adalah … 13 11 0.812 0.305-0.666

Keterlibatan dalam menciptakan perubahan saya

adalah … 13 13 0.893 0.394-0.744

Perasaan Kompetensi 62 43 0.961 0.369-0.841

Fitnah Defensif 39 39 0.938 0.260-0.692

Jumlah Total 176 147

Sumber: Output Pengolahan Data SPSS 22.0

Uji asumsi normalitas baik dengan histogram maupun p-p plot menunjukkan bahwa data tersebar secara normal. Data membentuk distribusi normal dan tersebar di sekitar garis tren normal.

Uji Normalitas

Uji asumsi multikolinearitas menunjukkan bahwa data bebas dari multikolinearitas (VIF < 10), yang artinya tidak ada hubungan linear antar variable prediktor.

Indeks Koefisien Determinasi

Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate 1 .489a .240 .198 26.06619

(10)

a. Predictors: (Constant) Perasaan Kompetensi, Kekuasaan sebagai kesadaran, Kekuasaan sebagai pilihan-pilihan, Kekuasaan sebagai kebebasan berperilaku dengan sengaja, Kekuasaan sebagai keterlibatan dalam menciptakan perubahan, Shame-Withdrawal, Guilt-Repair, Negative Self Evaluation, Negative Behavior Evaluation

b. Dependent Variable: Defensive Style Questionnaires Sumber: Output Pengolahan Data SPSS 22.0

Tabel 4.5.1 menunjukkan Indeks Koefisien Determinasi, yaitu persentase yang menyumbangkan prediksi dimensi-dimensi emosi moral (X1), dimensi-dimensi kekuasaan (X2), dan perasaan kompetensi (X3) dalam memprediksikan fitnah defensif (Y) secara bersama-sama. Nilai persentase prediksi dapat dilihat pada nilai R square yaitu sebesar 0,240. Artinya, secara bersama-sama kecenderungan koruptif, kekuasaan dan perasaan kompetensi memiliki prediksi sebesar 24% terhadap fitnah defensif sedangkan 76% variasi fitnah defensif diprediksikan oleh faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.

ANOVA

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 35111.746 9 3901.305 5.742 .000b

Residual 111429.179 164 679.446

Total 146540.925 173

a. Dependent Variable: Defensive Style Questionnaires

b.Predictors: (Constant) Perasaan Kompetensi, Kekuasaan sebagai kesadaran, Kekuasaan sebagai pilihan-pilihan, Kekuasaan sebagai kebebasan berperilaku dengan sengaja, Kekuasaan sebagai keterlibatan dalam menciptakan perubahan, Shame-Withdrawal, Guilt-Repair, Negative Self Evaluation, Negative Behavior Evaluation

Sumber: Output Pengolahan Data SPSS 22.0

Coeficients Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients t Sig. B Std. Error Beta 1 (Constant) 180.428 24.038 7.506 .000 Perasaan Kompetensi -.342 .068 -.360 -5.023 .000 Kekuasaan sebagai kesadaran -.435 .298 -.166 -1.459 .146 Kekuasaan sebagai pilihan-pilihan .680 .273 .313 2.486 .014 Kekuasaan sebagai kebebasan berperilaku dengan sengaja -.206 .145 -.105 -1.420 .157 Kekuasaan sebagai keterlibatan dalam menciptakan perubahan .085 .301 .040 .281 .779 Shame-Withdrawal .878 .424 .167 2.069 .040 Negative Self Evaluation -.500 .487 -.135 -1.028 .305 Guilt-Repair -.521 .458 -.147 -1.136 .258 Negative Behavior Evaluation 1.005 .570 .245 1.763 .080

Dependent Variable: Defensive Style Questionnaires Sumber: Output Pengolahan Data SPSS 22.0

(11)

Hasil olah data menunjukkan nilai perasaan kompetensi = -0.342 dengan p = 0.00. Dapat dikatakan bahwa perasaan kompetensi mampu memprediksikan fitnah defensif dalam arah negatif. Artinya semakin tinggi perasaan kompetensi seseorang, semakin rendah fitnah defensif individu.

Nilai Beta Kekuasaan sebagai kesadaran adalah -0.435 dengan p=0.146. Dapat dikatakan bahwa

Guilt and Shame Proneness tidak mampu memprediksikan fitnah defensif. Hal ini dikarenakan p > 0.05.

Nilai Beta Kekuasaan sebagai pilihan-pilihan adalah 0.680 dengan p=0.014. Dapat dikatakan bahwa kekuasaan sebagai pilihan-pilihan mampu memprediksikan variabel fitnah defensif dalam arah positif. Artinya semakin tinggi Kekuasaan sebagai pilihan-pilihan, semakin tinggi fitnah defensif pada pemuka agama “X”. Hal ini dikarenakan p >0.05.

Nilai Beta kekuasaan sebagai kebebasan berperilaku dengan sengaja = -0.206 dengan p= 0.157. Dapat dikatakan bahwa Kekuasaan sebagai kebebasan berperilaku dengan sengaja tidak mampu memprediksikan variabel fitnah defensif dalam arah positif, artinya semakin tinggi Pilihan-Pilihan, semakin tinggi fitnah defensif. Hal ini karena nilai signifikansi pilihan pilihan <0.05.

Nilai Beta Kekuasaan sebagai keterlibatan dalam menciptakan perubahan = -0.085 dengan p=0.779 Dapat dikatakan bahwa Kekuasaan sebagai keterlibatan dalam menciptakan perubahan tidak mampu memprediksikan fitnah defensif. Hal ini dikarenakan nilai signifikansi kebebasan untuk

berperilaku dengan sengaja >0.05.

Nilai Beta Withdrawal = 0.878 dengan p= 0.040 Dapat dikatakan bahwa

Withdrawal mampu memprediksikan fitnah defensif dalam arah positif, artinya semakin tinggi Shame-Withdrawal, semakin tinggi fitnah defensif. Hal ini dikarenakan p <0.05

Nilai Beta Negative Self-Evaluation= -0.500 dengan p = 0.305 Dapat dikatakan bahwa

keterlibatan dalam menciptakan perubahan tidak mampu memprediksikan fitnah defensif. Hal ini

dikarenakan nilai signifikansi keterlibatan dalam menciptakan perubahan >0.05

Nilai Beta Guilt-Repair= -0.521 dengan p = 0.258. Dapat dikatakan bahwa Guilt-Repair tidak mampu memprediksikan fitnah defensif dalam arah negatif, artinya semakin tinggi Guilt-Repair, semakin rendah fitnah defensif. Hal ini dikarenakan p<0.05

Nilai Beta Negative Behaviour Evaluation= 1.005 dengan p = 0.080. Dapat dikatakan bahwa

Negative Behaviour Evaluation tidak mampu memprediksikan fitnah defensif. Hal ini dikarenakan

p<0.05

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan analisa regresi linear berganda yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa dimensi-dimensi moral berupa NBE, REP, NSE, WITH, kekuasaan sebagai kesadaran, kekuasaan

sebagai pilihan-pilihan, kekuasaan sebagai kebebasan untuk berperilaku dengan sengaja, kekuasaan sebagai keterlibatan dalam menciptakan perubahan, dan perasaan kompetensi secara bersama-sama

mampu memprediksikan fitnah defensif pada pemuka agama “X”.

Satu dari empat dimensi-dimensi emosi moral, yakni: Shame-Withdrawal dapat memprediksikan fitnah defensif pada pemuka agama “X”. Satu dari empat dimensi-dimensi kekuasaan, yakni: Kekuasaan

sebagai pilihan-pilihan memiliki nilai signifikan dalam mempredikisikan fitnah defensif pada pemuka

agama “X”. Sementara perasaan kompetensi menunjukan nilai yang signifikan dalam memprediksikan fitnah defensif pada pemuka agama “X”.

Saran untuk penelitian selanjutnya adalah:

1. Pembagian responden berdasarkan jenis kelamin baiknya didistribusikan dalam jumlah yang seimbang untuk tujuan generalisasi.

2. Guna mendapatkan hasil lebih valid dan reliable, maka penelitian selanjutnya

dengan jenis sampel yang sama diharapkan untuk meminimalisir jumlah pertanyaan, dan memperbesar cetakan agar responden tidak kelelahan dan lebih efektif dalam pengisian.

3. Merapihkan penulisan kalimat pertanyaan-pertanyaan dalam perangkat kuisioner untuk menghindari ambiguitas.

4. Diharapkan penelitian selanjutnya dapat melibatkan kriteria sampel yang lain

atau spesifikasi kriteria pada sampel yang sama untuk makin meluaskan dan menyempurnakan penelitian tentang fitnah defensif terhadap kecenderungan koruptif, kekuasaan dan perasaan kompetensi.

(12)

1. Berdasarkan penelitian ilmiah ini, besar harapan pemuka agama “X” untuk senantiasa memantau kompetensi diri, dan secara progresif melakukan upaya-upaya pengembangan kompetensi diri, baik pengetahuan ataupun keahlian. Kesadaran untuk meninjau serta mengembangkan kompetensi diri memperkecil kemungkinan munculnya fitnah defensif.

2. Penarikan diri atas dasar rasa malu ketika pelanggaran dilakukan ataupun dalam situasi konflik, sebaiknya diatasi dengan konseling atau intervensi sejenisnya, sebelum diimplementasikan lebih jauh dan berujung pada munculnya fitnah defensif.

3. Sikap menghormati pilihan-pilihan yang diambil pemegang kekuasaan dalam hirarki organisasional perlu diawasi konsistensinya untuk kesejahteraan hubungan yang sehat dan produktif antara pemimpin dan yang dipimpin.

REFERENSI

Anderson, C. et, al (2012). The Personal Sense of Power. Journal of Personality, 80 (2).

Bal, V. et, al (2008). The Role of Power In Effective Leadership. CCL Research White Paper, 6. Barrett, F. L. et, al (2002). Defensive Verbal Behavior Assesment. Society for Personality and Social

Psychology, Inc, 776-788.

Baumeister, R. F., Dale, K., & Sommer, K. L. (1998). Freudian defense mechanisms and empirical findings in modern social psychology: Reaction formation, projection, displacement, undoing, isolation, sublimation, and denial. Journal of Personality, 66(6), 1081–1124.

Cho, Y., & Fast, N.J. (2012). Power, defensive denigration, and the assuaging effect of gratitude expression. Journal of Experimental Social Psychology. 1-5

Cohen, T.Y. et, al (2011). Introducing the GASP Scale: A New Measure of Guilt and Shame Proneness. Journal of Personality and Social Psychology, 100(5), 947–966.

Cruz, et al., (2009). Nurses Perception of Power Regarding Their Clinical Role, 7(2):234-9

Fast, N. J., & Chen, S. (2009). When the boss feels inadequate: Power, incompetence, and aggression. Psychological Science, 20(11), 1406–1413.

Gibbs, E. (2000). The Church Next: Quantum Changes in How We Do Ministry. Intervarsity Press, 7-8. Joseph, R. (1995). Self Protective Thoughts of Women with Physical Disabilities

Regarding Interactions with Nondisabled People. Disertasi S3. Psikologi, The City University of New York, New York.

Surabaya Pagi. (2013). Polda Nyatakan Penyidikan Konflik Pendeta Bethany Masih Berlanjut. Diakses pada tanggal: 8 Agustus 2013. Retrieved by:

http://surabayapagi.com/index.php?read=Polda-Nyatakan-Penyidikan-Konflik-Pendeta-Bethany-Masih-Berlanjut;3b1ca0a43b79bdfd9f9305b8129829629b6cdf8085cf8145a8082968510a40c2

Tegar, A.F. 2014. Demokrat: Anas Jangan Fitnah! Diperoleh (Januari 28 2014) dari http://news.okezone.com/read/2014/01/08/339/923503/demokrat-anas-jangan-fitnah

RIWAYAT PENULISAN

Nama

: Marcelia Lesar

Tempat/Tanggal Lahir

: Manado, 3 Maret 1991

Pendidikan

: S1

Universitas

: Bina Nusantara

Bidang Ilmu

: Psikologi

Tahun

: 2014

Jabatan Pekerjaan

: Certified Hypnotherapist

Gambar

Tabel 4.5.1 menunjukkan Indeks Koefisien Determinasi, yaitu persentase yang menyumbangkan prediksi  dimensi-dimensi  emosi  moral  (X1),    dimensi-dimensi  kekuasaan  (X2),  dan  perasaan  kompetensi  (X3)  dalam memprediksikan fitnah defensif (Y) secara

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Berdasarkanpenelitianmenunjukkan bahwa gelatin yang diperoleh dari pencucian dengan air mengalir sebanyak 5 x berat bahan kulit kaki ayam (P5), rerata waktu yang

Hal ini didukung oleh hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Gani (2015) menunjukkan bahwa persepsi siswa tentang matematika berpengaruh positif dan signifikan terhadap

konsumsi nasional, sedangkan sisanya sebesar 79% dipasok dari impor (Kementerian Pertanian, 2016). Dampak dari tingginya impor susu mengakibatkan timbulnya kerugian

Hubungan kebiasaan konsumsi makanan siap saji modern (fast food), aktivitas fisik, dan faktor lainnya dengan kejadian gizi lebih pada remaja SMA Islam PB..

Tanah dengan bahan organik yang tinggi sangat baik untuk tanaman panili karena.. sifat perakarannya yang dangkal dan peka terhadap

listrik, yaitu: menentukan persamaan diferensial dalam domain-t dari suatu rangkaian listrik dengan menggunakan hukum pada rangkaian tersebut (hukum Ohm atau hukum Kirchoff);

[r]