• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan dampak dari adanya perubahan arah ekonomi global di negara-negara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. merupakan dampak dari adanya perubahan arah ekonomi global di negara-negara"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemiskinan yang semakin merajalela di berbagai daerah pada saat ini, merupakan dampak dari adanya perubahan arah ekonomi global di negara-negara berkembang. Globalisasi telah memaksa negara-negara berkembang untuk melaksanakan reformasi terhadap sistem perekonomiannya dengan melakukan privatisasi produksi, pengurangan intervensi negara, serta perdagangan bebas. Modernisasi menjadi salah satu resep utama yang harus dilakukan agar dapat mensejajarkan diri dengan negara-negara yang dianggap maju. Pada satu sisi, globalisasi memberikan dampak positif dengan semakin mudahnya arus informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi yang selalu berkembang. Namun di sisi lain, perekonomian di tingkat lokal juga merasakan dampak negatif dengan adanya reformasi neoliberal ini. Industrialisasi dan pengalihan subsidi pertanian membuat kehidupan perekonomian di pedesaan menjadi semakin tidak menentu. Arus migrasi dari desa ke kota yang semakin sulit untuk dibendung, menjadi salah satu dampak peningkatan ketidakpastian ekonomi di area pedesaan.

Dari hasil pengamatan penulis ketika berkunjung ke pasar Beringharjo di Kota Yogyakarta beberapa waktu lalu, penulis melihat sesosok perempuan berusia 68 tahun bekerja selama lebih dari 40 tahun menjadi buruh gendong di pasar tersebut. Jarak tempuh yang cukup jauh dari rumahnya Kulonprogo ke pasar Beringharjo tidak pernah menyurutkan niatnya untuk tetap mengais rejeki. Ia ternyata tidak sendirian, ada ratusan perempuan lain yang juga rela menempuh

(2)

2

jarak cukup jauh dari desa ke kota untuk menjadi buruh gendong di pasar tersebut. Fenomena ini menjadi bukti nyata bahwa desakan ekonomi telah membuat sebagian besar penduduk desa pergi ke kota, karena desa kini sudah tak mampu lagi menjanjikan kemakmuran bagi warganya. Menjadi buruh gendong merupakan salah satu pilihan pekerjaan yang diambil oleh para migran untuk berusaha menyambung hidup mereka di daerah perkotaan. Buruh gendong biasanya merupakan sosok perempuan lanjut usia yang menyandang selendang jarit lurik (kain bermotif lurik) dan menenteng srumbung di punggungnya. Sebagian besar buruh gendong yang ada hanya menggunakan jarit lurik untuk menggendong barang yang relatif besar, sedangkan srumbung digunakan untuk membawa barang-barang yang relatif kecil (Hidayah, 2007).

Buruh gendong merupakan representasi dari mayoritas migran yang datang ke kota tanpa memiliki keahlian, keterampilan, pendidikan yang layak, dan hanya mampu memasuki sektor pekerjaan informal untuk memperoleh tambahan nafkah. Mereka hanya mengandalkan modal dan jaringan sosial yang dikembangkan diantara sesama buruh gendong, untuk dapat terus memenuhi kebutuhan hidup. Buruh gendong adalah bagian dari livelihood strategy (strategi penghidupan), yang muncul karena adanya restrukturisasi ekonomi besar-besaran akibat globalisasi di area-area pedesaan. Munculnya fenomena buruh gendong sebenarnya tidak hanya dapat dilihat di pasar Beringharjo. Buruh gendong juga terdapat di beberapa pasar tradisional lain yang ada di sekitar kota Yogyakarta, meskipun dengan jumlah yang tidak terlalu banyak. Secara umum jumlah buruh gendong di pasar Beringharjo dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan.

(3)

3

Namun dari hasil pendataan yang dilakukan oleh Dinas Pasar yang terdaftar di paguyuban pada tahun 2009 adalah sebanyak 459 orang, sedangkan yang tidak tergabung masih banyak lagi (Dinas Pengelola Pasar Kota DIY, 2009 dalam Prahara, 2010).

Pada bulan Juni tahun 2015, peneliti melakukan observasi dan mengikuti salah satu buruh gendong perempuan yang sedang bekerja untuk mengetahui berapa sesungguhnya pendapatan mereka dalam satu hari. Buruh gendong yang berhasil ditemui oleh peneliti adalah Ibu Sri Wartini. Ibu Sri Wartini memulai pekerjaan sejak pukul 08.00 pagi, dan langsung menuju ke lantai 3 pasar Beringharjo di wilayah bongkar muat. Pertama-tama beliau pergi ke arah parkiran untuk mengambil bawang merah di salah satu truk yang diparkir. Kemudian beliau mulai menggendong bawang tersebut, namun tidak lantas langsung dikirim ke majikannya. Sebelumnya beliau harus menimbang muatan tersebut terlebih dahulu. Di dekat parkiran terdapat seorang ibu yang menjaga timbangan, setelah menimbang beliau mencatat nama buruh gendong dan berapa kilo bawang yang dibawanya. Hingga pukul 12 saja, Ibu Sri telah bolak-balik menimbang sebanyak 15 kali. Sekali mengangkut bawang, beliau bisa membawa antara 20-25 kg dan upah untuk pekerjaannya tersebut adalah sebanyak Rp. 2.000,00. Pada pukul 12.00 siang, beliau memutuskan untuk menghentikan kerjanya sebentar untuk solat dan makan siang. Kemudian sekitar pukul 13.00, beliau kembali melanjutkan kerja dan kali ini berganti mengangkut buah. Hingga pukul 16.00 sore, beliau telah bolak-balik menimbang sebanyak 10 kali. Jadi jika ditotal pada hari itu, Ibu Sri Wartini telah mengangkut sebanyak 25 kali, dengan upah Rp.

(4)

4

2.000,00 sekali angkut, jadi total pendapatan beliau bekerja dari pukul 08.00 pagi hingga 16.00 sore adalah sebanyak Rp. 50.000,00.

Di pasar tersebut sebenarnya tidak hanya ada buruh gendong perempuan, namun juga terdapat buruh gendong laki-laki yang disebut “manol”. Lama kerja dan jumlah upah antara buruh gendong laki-laki dan perempuan di pasar Beringharjo pada kenyataannya menunjukkan perbedaan yang signifikan. Manol biasanya bekerja di bongkar muat, yaitu pada wilayah parkir lantai dua pasar Beringharjo. Jumlah mereka memang lebih sedikit jika dibandingkan dengan buruh gendong perempuan, yaitu hanya sekitar 60 orang buruh gendong laki-laki. Meskipun demikian mereka mengaku mendapatkan upah minimal sekitar 100 ribu rupiah per hari. Dengan jam kerja mulai dari pukul 09.00 pagi, hingga pasar tutup yaitu pukul 16.00 sore. Menurut penuturan salah satu manol, mereka hanya bekerja di wilayah bongkar muat saja. Hal ini berbeda dengan buruh gendong perempuan yang setelah bekerja di bongkar muat biasanya masih berkeliling untuk mencari pelanggan (wawancara dengan manol bernama Pak Trimo pada tanggal 24 Desember 2014).

Umumnya para buruh gendong tersebut tidak mempunyai keahlian yang cukup untuk mendukung pekerjaan mereka di sektor formal. Hal ini terjadi karena mereka tidak sempat mengenyam pendidikan di bangku sekolah dasar. Meskipun demikian karena didorong motivasi untuk membantu memenuhi hidup keluarga, para buruh gendong perempuan memutuskan untuk tetap bekerja karena penghasilan suami tidak mencukupi untuk kehidupan sehari-hari (Hidayah, 2007). Pernyataan ini juga diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Gatot

(5)

5

(1999), yang menunjukkan bahwa motivasi buruh gendong perempuan meninggalkan rumah adalah karena adanya tuntutan kebutuhan hidup keluarga. Yaitu untuk memenuhi kebutuhan esensiil seperti pemenuhan kebutuhan primer, biaya pendidikan anak, maupun kebutuhan sekunder lainnya. Selain itu menurut Prahara (2010), ada faktor pendorong yang berasal dari luar yaitu ajakan para tetangga dan orang tua. Menjadi buruh gendong pada saat ini masih merupakan suatu strategi untuk memenuhi bidang nafkah dan merupakan budaya turun temurun. Selain itu buruh gendong perempuan di pasar Beringharjo juga merasakan kenyamanan dalam kerjanya. Hal tersebut dikarenakan buruh gendong perempuan merasa bahwa bekerja adalah perwujudan orientasi ekonomi guna mempertahankan kelangsungan hidup keluarganya, merupakan perwujudan otonomi diri, kerja dimaknai sebagai rejeki pemberian Tuhan, merupakan bagian dari kehidupan sosial, dan sebagai sarana untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Meski sebagian besar buruh gendong merasa nyaman dalam menjalankan pekerjaan tersebut, namun secara medis terdapat beberapa resiko penyakit yang mengintai mereka. Saat menjalankan pekerjaannya, mereka lebih mengandalkan kekuatan punggung dan cenderung tidak menggunakan alat. Demi mengejar upah, para buruh gendong seringkali menggunakan teknik atau cara pengangkutan yang salah, tidak memperhatikan berat beban maksimal yang boleh diangkat, serta frekuensi angkat maksimal dalam sehari kerja. Dimana hal tersebut tentu saja akan meningkatkan resiko cedera, seperti keseleo dan nyeri punggung. Khususnya

(6)

6

bagi buruh gendong perempuan, jenis pekerjaan ini juga menjadi ancaman terhadap sistem kesehatan reproduksi mereka (Susanto et al., 2013).

Melihat kondisi buruh yang memprihatinkan, Yasanti (Yayasan Annisa Swasti) ternyata memiliki perhatian yang cukup besar terutama pada pekerja perempuan di sektor informal. Organisasi sosial yang telah berdiri sejak tahun 1982 ini memiliki misi untuk mendorong usaha-usaha mewujudkan kehidupan berorganisasi buruh yang independen dan demokratis, serta menumbuhkan kesadaran kritis komunitas buruh khususnya buruh perempuan melalui pengorganisasian, pendidikan dan advokasi. Demi mewujudkan misi tersebut, ada beberapa kegiatan yang telah dilaksanakan oleh Yasanti selama ini. Salah satu kegiatan yang telah berjalan pada tahun 2014 lalu adalah “Sekolah Kepemimpinan Buruh Gendong” yang memiliki tujuan untuk memberikan pendidikan dan pelatihan (pengorganisasian, penyadaran gender, kepemimpinan, kewirausahaan, kesehatan reproduksi, dll). Dalam upayanya memfasilitasi para buruh perempuan, Yasanti juga melaksanakan kegiatan lain seperti pendampingan kelompok, diskusi reguler, kelompok UB (Usaha Bersama) serta perluasan jaringan dengan organisasi lain (Yasanti, 2003).

Pada prinsipnya Yasanti sadar bahwa pembangunan manusia dan masyarakat tidak boleh membedakan jenis kelamin, kelas sosial, ekonomi dan budaya, agama bahkan aliran politik tertentu. Tapi pada faktanya banyak praktek kehidupan sosial yang menempatkan perempuan dalam kondisi subordinat, terdiskriminasi, termarjinal bahkan menjadi obyek pelecehan dan kekerasan. Persoalan-persoalan tersebut memunculkan keprihatinan bagi sesama perempuan.

(7)

7

Berangkat dari keprihatinan itulah maka muncul keinginan untuk memikirkan dan menangani persoalan tersebut, baik praktek hasil ketidakadilan maupun sumber penyebabnya. Untuk itulah Yasanti hadir dengan tujuan dapat melakukan penguatan menuju kemandirian perempuan. Penguatan perlu dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup perempuan baik secara ekonomi, sosial maupun politik (Yasanti, 2003).

Horn (2010) di dalam penelitiannya menyebutkan bahwa mayoritas perempuan di negara berkembang bekerja di sektor informal. Pada satu sisi hal tersebut menunjukkan peningkatan kerja perempuan pada ranah kerja yang dibayar. Namun juga menunjukkan bahwa ketidakadilan gender telah membuat perempuan menjadi tidak mampu bersaing di ranah pekerjaan formal, karena adanya beban kerja ganda maupun kurangnya pendidikan dan keahlian. Meskipun perempuan seringkali hanya dianggap sebagai pencari nafkah tambahan, sebenarnya pendapatan yang mereka peroleh sangatlah membantu perekonomian rumah tangga. Selain itu sektor informal sendiri juga merupakan sektor yang seringkali menopang roda perekonomian ketika terjadi krisis. Oleh karena itu penguatan kemandirian perempuan yang bekerja di sektor informal menjadi penting untuk dilakukan, karena selain dapat meningkatkan kualitas hidup perempuan hal tersebut juga sangat bermanfaat untuk memperkuat sektor informal yang mayoritas menjadi ranah pekerjaan kaum perempuan.

Selama ini sudah ada beberapa penelitian yang membahas tentang kondisi pekerja perempuan di sektor informal. Secara garis besar penelitian-penelitian tersebut dapat dibagi ke dalam tiga kecenderungan utama. Pertama,

(8)

penelitian-8

penelitian yang menganalisa pengaruh globalisasi yang semakin memperparah posisi perempuan pada pembagian kerja baik secara global maupun nasional, serta mengakibatkan ketidaksetaraan gender dalam mengakses aset dan kekuasaan. Hal ini memengaruhi pembagian kerja pada level rumah tangga, sehingga membuat perempuan yang memiliki peran domestik dan reproduksi hanya mampu bekerja di sektor informal (Omoyibo dan Ajayi, 2011; Oberhauser dan Yeboah, 2011; Oberhauser, 2010). Kedua, penelitian-penelitian yang memandang bahwa perempuan yang bekerja di sektor informal pada kenyataannya memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap pertumbuhan ekonomi, yang menjadi salah satu faktor penting keberhasilan negara bersaing dalam era globalisasi (Ganu dan Boateng, 2012; Fapohunda, 2012; Singh, 2013; Arora, 2012; Horn, 2010; Anaeto dan Asoegwu, 2013; Fonjong, Fombe dan Lang, 2013). Ketiga, adalah penelitian-penelitian yang memberikan saran bahwa kebijakan berperspektif gender sangat dibutuhkan guna memberikan perlindungan sosial bagi perempuan yang bekerja di sektor informal (Oberhauser dan Yeboah, 2011; Ganu dan Boateng, 2012; Horn, 2010; Mahmood, et al, 2014).

Beberapa penelitian tersebut pada intinya telah melihat bagaimana proses marjinalisasi yang harus dihadapi oleh perempuan yang bekerja di sektor informal. Namun hingga saat ini perempuan harus mencari jalan keluar sendiri untuk memperbaiki nasibnya. Meskipun sudah banyak pihak yang menganggap penting peran perempuan dalam pembangunan, namun pada prakteknya hanya sedikit pihak yang benar-benar melaksanakannya. Bahkan pemerintah sendiri pun masih belum maksimal dalam memanfaatkan potensi perempuan dalam

(9)

9

pembangunan maupun dalam memberikan perlindungan kepada mereka. Pada kenyataannya pemerintah tidak dapat bekerja sendiri, dan di dalam pilar “Good Governance” pemerintah harus membagi fungsinya pada pihak swasta maupun civil society. Mau tidak mau, peran pihak swasta dan civil society juga harus diperkuat untuk memperkuat peran negara. Oleh karena itu penting untuk melihat bagaimana responsivitas gender pada program/kegiatan yang telah dilakukan oleh civil society, guna mengukur sudah sejauh mana keberhasilan program/kegiatan mereka terhadap kaum perempuan.

Di dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan perspektif feminisme Marxis sebagai standing position untuk melihat posisi buruh gendong di dalam sistem pembagian kerja. Feminis Marxis percaya bahwa kapitalisme adalah suatu sistem hubungan kekuasaan dan juga hubungan pertukaran. Jika kapitalisme dipandang sebagai suatu sistem hubungan pertukaran, kapitalisme digambarkan sebagai suatu masyarakat komoditi atau pasar yang di dalamnya segala sesuatu, termasuk kekuatan kerja seseorang, mempunyai harga dan semua transaksi pada dasarnya merupakan transaksi pertukaran. Jika dipandang sebagai suatu sistem hubungan kekuasaan, maka kapitalisme digambarkan sebagai suatu masyarakat yang di dalamnya setiap hubungan transaksional, pada dasarnya adalah eksploitatif. Di dalam hubungan ini, majikan yang mempunyai kekuasaan lebih besar mengkoersi pekerja untuk bekerja lebih keras tanpa mempunyai kemungkinan untuk mendapatkan perbaikan upah. Sebagaimana dijelaskan oleh Marx di dalam Capital, hal ini terjadi karena majikan mempunyai monopoli terhadap alat produksi. Karena itu, pekerja harus memilih antara dieksploitasi atau

(10)

10

tidak mempunyai pekerjaan sama sekali (Tong, 141-143: 2010). Pada akhirnya feminis Marxis lebih berfokus pada upaya kemandirian dan kesejahteraan ekonomi bagi perempuan, karena proses penghapusan sistem kapitalisme dan patriarki agar opresi terhadap buruh gendong perempuan (pekerja sektor informal) dapat dihentikan tidak dapat sepenuhnya dilakukan.

Yasanti sebagai LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang concern terhadap nasib buruh, telah memiliki berbagai macam pengalaman yang bersinggungan dengan kehidupan para buruh gendong secara langsung. Dengan demikian informasi tentang bagaimana responsivitas gender pada setiap kegiatan yang pernah dilakukan oleh Yasanti menjadi penting untuk dilakukan. Evaluasi terhadap proses pendampingan buruh gendong perlu dilakukan untuk melihat sejauh mana level keberdayaan dari perempuan yang selama ini telah mendapatkan program/kegiatan penguatan serta bekerja di sektor informal. Oleh sebab itu penelitian ini berfokus pada salah satu kegiatan yang dilakukan oleh Yasanti, yaitu Sekolah Buruh Gendong dengan menggunakan teknik analisis Longwe sebagai alat analisisnya. Dengan melihat apakah kegiatan tersebut memang telah responsif gender dalam arti mengakomodasi kepentingan dan kebutuhan perempuan buruh gendong yang dianggap rentan. Misalnya bagaimana partisipasi aktif, peningkatan kesejahteraan, keberdayaan, serta posisi tawar mereka sebagai tenaga kerja sektor informal setelah adanya kegiatan ini. Perspektif gender sangat diperlukan sebagai alternatif untuk melihat apakah kegiatan tersebut memang sudah memasukkan pengalaman perempuan secara subyektif, ataukah malah masih bias gender.

(11)

11 B. Rumusan Masalah

Salah satu kegiatan pendampingan yang akan menjadi fokus studi dalam penelitian ini adalah kegiatan “Sekolah Kepemimpinan Buruh Gendong”. Kegiatan ini dilaksanakan oleh Yayasan Annisa Swasti (Yasanti) semenjak awal tahun 2014 yang lalu. Tujuan kegiatan ini adalah untuk memberikan pendidikan dan pelatihan (pengorganisasian, penyadaran gender, kepemimpinan, kewirausahaan, kesehatan reproduksi, dll) yang akan membangkitkan jiwa kritis para peserta untuk memperjuangkan hak-haknya. Adapun sasaran dari kegiatan ini adalah buruh gendong. Buruh gendong adalah sesosok perempuan yang biasanya menggunakan jarit (selendang) untuk membawakan barang dagangan pengunjung di pasar-pasar tradisional, dan untuk sasaran yang akan digunakan di dalam penelitian ini adalah buruh gendong yang mendapatkan pendampingan dari Yasanti. Kegiatan ini secara pokok merupakan agenda untuk melakukan pengorganisasian dan penguatan komunitas dampingan di tingkat basis, serta merupakan program utama dari Yasanti. Oleh sebab itu secara spesifik penelitian ini ingin menjawab masalah sebagai berikut:

1) Apa saja manfaat yang diperoleh buruh gendong dengan mengikuti kegiatan Sekolah Buruh Gendong tersebut?

2) Bagaimana responsivitas gender pada kegiatan Sekolah Buruh Gendong yang dilakukan oleh Yasanti?

C. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini ingin mengetahui secara lebih detil pelaksanaan kegiatan Sekolah Buruh Gendong yang dilakukan oleh Yasanti dengan

(12)

12

menggunakan teknik analisis Longwe. Tujuannya adalah untuk menjelaskan apakah kegiatan tersebut telah benar-benar meningkatkan keberdayaan, partisipasi, kesejahteraan perempuan. Pada akhirnya penelitian ini ingin merumuskan manfaat yang diperoleh buruh gendong khususnya dalam meningkatkan keberdayaan mereka atau kualitas hidupnya dalam masyarakat yang dapat menjamin keadilan bagi pemenuhan hak-hak kaum perempuan maupun laki-laki.

D. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar dalam merencanakan kembali program/kegiatan/proyek pendampingan dan penguatan perempuan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat khususnya bagi tenaga kerja di sektor informal. Hasil penelitian dapat digunakan untuk menyusun berbagai instrumen dalam melaksanakan program/kegiatan/proyek yang responsif gender. Penelitian ini sekaligus dapat membantu program pengarusutamaan gender dalam pembangunan perempuan yang bekerja di sektor informal. Dari aspek metodologis dan teoritis penelitian ini akan memperkaya model penelitian yang berperspektif gender.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk Hasil deteksi hotspot atau kantong pneumonia balita menggunakan Flexibly Shaped Spatial Scan Statistic didapatkan empat kantong yang menunjukkan bahwa

Pada tahap ini dilakukan proses perancangan media Miss PPL. Dalam perancangan ini ditetapkan bentuk/desain media yang dibuat serta materi yang akan dimuat pada

Berdasarkan hasil observasi dan analisis data serta data pendukung pada siklus I pertemuan 1 dan pertemuan 2 maka refleksi pada siklus I adalah sebagai berikut: (1)

Pada penelitian ini, akan menggabungkan antara teknologi image processing pada robotika dengan merancang sebuah navigasi robot berdasarkan pergerakan obyek berupa bola, sebagai

penjara hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir; (b) Perlindungan khusus bagi anak pelaku tindak

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Dewi Utami (2015) dalam penelitiannya” Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketepatan Waktu Pelaporan

Sehingga seorang guru harus terus dapat meningkatkan kemampuannya dalam berkomunikasi (menyampaikan pesan-pesan pembelajarannya) kepada siswa, dengan tidak lupa untuk

Kesimpulan—Terdapat kecenderungan bagi ibu dengan tingkat pendidikan menengah keatas untuk memiliki perilaku pencegahan ISPA pada balita baik, begitu juga pada ibu yang