• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VII PENUTUP. 7.1 Kesimpulan. Berdasarkan hasil analisis terhadap kelima novel terlihat bahwa sastra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB VII PENUTUP. 7.1 Kesimpulan. Berdasarkan hasil analisis terhadap kelima novel terlihat bahwa sastra"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB VII PENUTUP 7.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis terhadap kelima novel terlihat bahwa sastra kolonial Belanda memiliki pertalian yang kuat dengan kolonialisme Belanda. Sastra kolonial Belanda merupakan salah satu inspirasi kolonialisme Belanda bersama dengan kepentingan-kepentingan yang bersifat pragmatis utilitarian.Tidak mudah diingkari bahwa gagasan-gagasan mengenai kolonialisme Belanda baik secara tersurat maupun tersirat terlihat dalam sastra kolonial Belanda. Pengarang baik yang berafiliasi pada haluan politik tertentu maupun yang kelihatannya tidak memiliki ketertarikan kepada haluan politik tertentu memiliki kepentingan yang sama untuk menyuarakan kepentingan-kepentingan kolonial. Dengan kata lain, pengarang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem dan praktik kolonialisme.

Analisis fokalisasi menunjukkan bahwa pencerita diaan-fokalisator dengan jelas merepresentasikan pandangan dan ideologi pengarang. Sebagian besar pengarang menunjukkan kecenderungan terhadap ideologi etis. Meskipun demikian, kecenderungan itu bersifat paradoksikal. Para pengarang yang diduga kuat akan secara tegas mengekspresikan gagasannya dalam novel berhaluan etis terbukti terjebak dalam konservatisme atau liberalisme. Ketidakkonsistenan ini menunjukkan bahwa pengarang novel kolonial Belanda memainkan strategi dengan tidak menyampaikan apa yang pada awalnya tampak dikatakan atau apa yang diperkirakan akan dikatakan. Paradoks terjadi karena dominasi politik

(2)

kolonial masih kuat di samping pengarang juga memahami karakteristik ideologi etis. Dalam rancangannya yang tampak manusiawi politik etis memberi peluang bagi pengabadian Hindia Belanda sebagai koloni Belanda. Politik etis berwajah ganda. Di satu sisi memartabatkan, di sisi lain mengerdilkan.Hal ini antara lain ditunjukkan melalui pengingkaran terhadap keberhasilan proses pembelandaan yang dilakukan oleh tokoh cerita bumiputra meskipun yang bersangkutan telah berusaha dengan sekuat tenaga menjalani semua tahap untuk proses tersebut. Berdasarkan studi pustaka yang dilakukan temuan ini memiliki kebaruan.

Analisis stereotip mendapati temuan konstruk stereotip yang dilekatkan pada liyan bumiputra bersifat ambivalen karena hampir selalu bersanding dengan kecemasan bahwa sosok bumiputra tidak sepenuhnya dapat dikuasai serta ditundukkan. Ambivalensi muncul dari tindakan splitting (pemisahan) yang dari waktu ke waktu menjiwai wacana kolonialisme Belanda. Sebagai penakluk yang tidak terlalu agung, Belanda berusaha mengakui keberadaan bangsa bumiputra dengan memberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam sistem yang diciptakannya. Namun, naluri sebagai penakluk mendorongnya untuk mengesampingkan partisipasi bangsa bumiputra, sehingga melahirkan keyakinan yang kontradiktif. Di satu sisi, orang Belanda merasa dapat menguasai orang bumiputra, tetapi di sisi lain mereka menghadapi kenyataan bahwa orang-orang bumiputra tidak sepenuhnya dapat ditundukkan. Dengan demikian, asumsi bahwa stereotip merupakan wilayah subjek terjajah terbukti tidak sepenuhnya benar. Pengarang mengungkapkan bahwa subjek terjajah juga melekati penjajah dengan stereotip yang tidak kurang menyudutkan. Subjek terjajah diberi

(3)

kesempatan mendisartikulasikan kuasa penjajah. Penstereotipan yang ambivalen ini terbukti merupakan salah satu karakteristik sastra kolonial Belanda yang berkelindan dengan praktik dan kebijakan kolonialisme Belanda yang berperspektif diskriminatif dan bervisi ganda.

Analisis ruang ketiga mengungkapkan bahwa ruang ketiga diperlukan karena menjadi tempat pertemuan dan menjembatani oposisi biner yang diasumsikan menandai ruang pertama dan ruang kedua. Jika penjajah diposisikan berada diruang pertama dan terjajah di ruang kedua, mereka akan mengalami kesulitan untuk bernegosiasi dan bertranslasi. Padahal, pada dasarnya mereka saling membutuhkan dan bergantung satu dengan lainnya. Dalam ruang ketiga penjajah dapat bertahan karena melakukan kompromi dengan subjek terjajah. Sebaliknya, subjek terjajah mendapatkan status dan kekuasaan dalam kedekatannya dengan penjajah.

Dari perspektif Belanda kesalingbergantungan ini dapat dipahami sebagai strategi untuk melanggengkan kekuasaan. Dalam ruang ketiga berlangsung agenda tersembunyi untuk menjadikan Belanda tetap sebagai majikan dan bumiputra sebagai bawahan, sehingga pada akhirnya tercipta intimasi unikyang mengesampingkan perbedaan yang ada di antara mereka. Intimasi ini menggugurkan asumsi bahwa pemosisian penjajah dan terjajah bersifat stabil, menyatu, dan mengandaikan adanya perbedaan serta konflik antara yang satu dengan lainnya.

Asumsi teoretis bahwa ruang ketiga sebagai ruang translasi, enunsiasi, dan ruang hibriditas tidak mengikuti pola-pola tatanan yang sudah ada atau neither the

(4)

one nor the other tidak mudah ditemukan dalam praktik. Berdasarkan analisis, ruang ketiga baru hadir ketika pihak yang diasumsikan dominanbersedia mengesampingkan ego untuk bernegosiasi dan bertranslasi memasuki ranah pihak yang dianggap pinggiran.

Berdasarkan analisis uncanny dihasilkan temuan bahwa sebagian tokoh cerita berkebangsaan Belanda mengalami fenomena uncanny baik dalam kadar ringan maupun berat dan dalam wujud yang beragam. Sebagian tokoh cerita mengalami fenomena uncanny karena gagal menjadikan Hindia Belanda sebagai ruangkuasi domestik seperti yang dialaminya secara empiris di Belanda. Hindia tetap merupakan Hindia yang tidak pernah benar-benar menjadi rumah bagi tubuh dan jiwanya. Hindia tetap merupakan situs misteri dan eksotisisme yang tidak berhasil dipahami. Sebagian yang lain tidak berhasil menjadikan Hindia Belanda

sebagai perluasan Kerajaan Belanda dan arena petualangan kolonial. Uncanny hadir karena penjajah menganggap tanah jajahan sebagai

miliknya, padahal bukan miliknya sepenuhnya. Mereka menghadapi eksklusi masyarakat bumiputra yang secara turun temurun menjadi pemilik sah dari tanah tersebut. Di samping itu, ekslusi juga dapat datang dari rekan senegara. Hal ini terjadi ketika seorang penyinggah pulang, baik untuk sementara maupun permanen ke negeri asal. Eksklusi dari rekan senegara justru merupakan fenomena uncanny yang sangat menekan karena tereksklusi mengalami kompleks salah tempat (misplaats) dan merasa tercerabut dari komunitasnya. Dengan status sebagai manusia Hindia (Indische mensen) tereksklusi berubah menjadi sosok ambivalen karena mengalami kekacauan identitas baik di tanah jajahan maupun di

(5)

negara asal. Secara teoretis temuan ini memiliki kebaruan karena fenomena

tersebut biasanya dijelaskan terjadi di tanah jajahan. Temuan yang lain ialah novel Hindia Belanda memunculkan fenomena

uncanny yang lebih luas daripada eksplanasi Bhabha. Di samping ketidakkerasanan (unhomely) dalam pertemuan kolonial juga ditemukan fenomena lain seperti pengalaman déjà vu, dan tekanan kekuatan magi.

Sementara itu, kecenderungan ideologi pengarang yang terepresentasikan melalui stereotip, ruang ketiga, dan uncanny dalam sastra kolonial Belanda periode 1860—1942 secara tersirat memiliki pertalian dengan politik etis. Politik etis juga memiliki karakteristik yang paradoksikal. Di satu pihak, etisisme berusaha untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa Hindia Belanda dengan berbagai rancangan kebijakannya, seperti beschaving missie (misi pemberadaban), pengenalan pendidikan dan kebudayaan Barat, pengenalan pendidikan kesusilaan, dan pemerintahan Hindia untuk Hindia. Di pihak lain, politik asosiasi yang menjadi teras kebijakannya yang tidak segera memberi kepercayaan kepada orang-orang bumiputra untuk secara mandiri mengelola tanah airnya menjadikan orang-orang bumiputra semakin inferior dan bergantung pada Belanda.

Politik etis merupakan kontinuitas kebijakan yang dilakukan oleh Belanda sejak zaman Kompeni yang memanfaatkan elite bumiputra sebagai kepanjangan tangannya. Strategi ini sengaja dipilih mengingat sebagai negara penakluk Belanda bukan negara yang benar-benar kuat seperti para pesaingnya di Eropa yang mampu menaklukkan koloni dan memerintahnya secara langsung. Belanda menggunakan kecerdikannya dengan lebih banyak memanfaatkan unsur-unsur

(6)

bumiputra dalam lingkaran kekuasaannya. Dalam situasi ini secara sadar dilakukan splitting (pemisahan/pembelahan). Di satu pihak diperkenalkan berbagai program kemanusiaan sebagaimana disebutkan di atas. Di pihak lain, terus-menerus dilakukan upaya untuk mempertahankan Hindia Belanda sebagai koloninya. Proses inferiorisasi sistematis ini terus berlangsung, sehingga pada paruh pertama abad ke-20 sebagian besar elite bumiputra Hindia Belanda telah menjadi murid yang setia dari para penganjur etisisme.

Etisisme merupakan salah satu peredam kecemasan kredo “Hindia hilang, malapetaka datang” (Indië verloren rampspoed geboren) yang menjadi kesadaran bersama orang Belanda pada paruh pertama abad ke-20. Ketergantungan Belanda pada Hindia sangat kuat dan hal ini tidak terjadi pada Inggris, Prancis, dan Jerman terhadap koloninya. Kecemasan akan kehilangan Hindia secara tersirat dan tersurat terepresentasikan dalam sastra colonial Belanda periode 1860—1942.

7.2 Saran

Berdasarkan analisis terhadap novel-novel kolonial Belanda periode 1890—1942 dikemukakan saran sebagai berikut. Pertama, sudah saatnya dilakukan pengkajian secara kritis untuk memasukkan sastra Hindia Belanda sebagai ranah kajian sastra (kolonial) Indonesia. Hal ini dikemukakan karena sumber inspirasi dari karya-karya tersebut sama dengan sastra Indonesia, yaitu masyarakat yang kemudian disebut sebagai masyarakat Indonesia pada zaman kolonial. Karya-karya tersebut perlu dikaji karena mengisahkan masyarakat kolonial dari perspektif yang berbeda dengan perspektif resmi penjajah Belanda.

(7)

Karya sastra Hindia Belanda mengemukakan persoalan-persoalan keseharian yang sebagian besar terabaikan dalam pembicaraan tentang sistem dan praktik kolonialisme Belanda, misalnya ketidakkerasanan permanen meskipun sudah lama tinggal di Hindia, hubungan timbal balik antara orang Belanda dan orang bumiputra.

Kedua, di luar lingkup penelitian ini,perlu dilakukan kajian ideologi estetik terhadap sastra Hindia Belanda karena korpus sastra ini merupakan inspirasi yang tidak pernah kering bagi penulisan sastra modern Indonesia sejak zaman kolonial sampai dengan periode mutakhir. Pada zaman kolonial beberapa orang sastrawan Indonesia baik secara tersurat maupun tersirat memanfaatkan inspirasi sastra Hindia Belanda, berupa pengolahan kembali dan penyerapan gagasan tentang modernitas. Pada periode pra dan pasca kemerdekaan sampai dengan runtuhnya Orde Baru tema-tema perlawanan/penerimaan terhadap kolonialisme Belandadimanfaatkan untuk menumbuhkan nasionalisme, membangkitkan nostalgia, dan alegori bagi sistem kekuasaan Orde Baru yang autoritarian. Sastra poskolonial pada era ini merupakan hasil pembacaan kritis terhadap sistem dan praktik kolonialisme yang kemudian diapropriasikan pada situasi sezaman. Pada periode terakhir, pasca runtuhnya Orde Baru tema-tema tentang kolonialisme masih ditulis orang. Diduga kuat karya-karya ini masih digunakan sebagai alegori kekuasaan autoritarian Orde Baru yang dialami sebagai trauma dan sebagai proyek penulisan kembali sastra kolonial dengan perspektif Indonesia.

(8)

Ketiga, analisis wacana kolonialisme/poskolonialisme yang bertujuan menjelaskan sikap dan ideologi pengarang hendaknya didahului dengan analisis unit naratif berupa fokalisasi. Analisis fokalisasi yang menjelaskan visi atau pandangan tokoh-tokoh cerita mengidentifikasi pandangan dominan pengarang. Dari pandangan tersebut dapat diketahui sikap dan kecenderungan pengarang terhadap ideologi tertentu. Dengan cara itu, juga dapat dihindari simplifikasi bahwa tokoh cerita selalu identik dengan pengarang sebagaimana yang sering terjadi dalam berbagai penelitian sastra. Dalam peneltian ini teridentifikasi seorang pengarang yang sepanjang kariernya sebagai jurnalis banyak melakukan kritik terhadap praktik kolonialisme yang represif dan eksploitatif terbukti menulis sebuah cerita yang secara tersirat meneguhkan hal-hal yang dikritiknya.Di samping itu, analisis fokalisasi terhadap sastra kolonial Hindia Belanda dapat meminimalisasi kesalahan peneliti dalam mengidentifikasi kecenderungan sebuah karya sastra. Karya sastra yang ditafsirkan bervisi antikolonial bisa jadi hanya merupakan sebuah empati terhadap penindasan dan ketidakadilan.

Keempat, sastra kolonial Belanda hendaknya dapat menjadi acuan bagi para peminat sejarah kolonial Indonesia mengingat sebagai fakta mental karya sastra itu dapat menggambarkan hal-hal tersembunyi yang tidak diungkap dalam versi resmi narasi sejarah kolonial. Sastra kolonialBelanda merupakan memori naratif dari peristiwa-peristiwa sejarah yang dikisahkan di dalamnya. Sebagai representasi kenyataan, narasi novel kolonial Belanda tidak dapat disederhanakan begitu saja sebagai fiksi yang hanya berasal dari pikiran pengarang. Novel kolonial Belanda mengungkapkan cara pandang yang pada masa itu diyakini

(9)

kebenarannya.Setidak-tidaknya, dengan membaca novel kolonial Belanda kita dapat membaca sejarah dari perspektif liyan.

Referensi

Dokumen terkait

Akuntabilitas (accountability) juga dapat diartikan sebagai berfungsinya seluruh komponen penggerak jalannya kegiatan perusahaan, sesuai tugas dan kewenangannya

DAN JADWAL PENGAMBILAN NOMOR PESERTA TES CPNS.

#erdasarkan hasil pengukuran awal yang telah kami lakukan dil!kasi pekerjaan maka dengan ini kami mengusulkan agar dilakukan addendum 102.1 9 pekerjaan tambah kurang ;

Penerapan data mining dengan teknik klasifikasi menggunakan algoritma C4.5 yang dilakukan menghasilkan sebuah informasi dalam memprediksi masa studi tepat waktu mahasiswa di

hubungan antara sifat akustik durian Berdasarkan data yang diperoleh menunjuk- ngan daging durian memiliii hubungan yang kan bahwa nilai ultrasonik Mo dapat untuk

Plat kendaraan berasal dari kelas berbeda namun teridentifikasi sebagai kelas yang sama , antara query dari kelas kedua yang diambil pada pagi dan siang hari dengan citra no.84

Aspek yang perlu dilakukan monitoring dari IPAL sistem anaerobik aerobik yang perlu dilakukan monitoring dari IPAL sistem anaerobik aerobik biofilter ini meliputi

(5) Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil (SKPDN) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c diterbitkan apabila jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah