• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Vitiligo merupakan suatu kelainan didapat yang mengenai kulit dan mukosa yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. Vitiligo merupakan suatu kelainan didapat yang mengenai kulit dan mukosa yang"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

6 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Vitiligo

Vitiligo merupakan suatu kelainan didapat yang mengenai kulit dan mukosa yang ditandai dengan makula depigmentasi berbatas tegas yang terjadi akibat adanya kerusakan selektif pada melanosit (Alikhan dkk., 20110). Vitiligo merupakan kelainan depigmentasi yang paling sering ditemukan, dapat terjadi pada semua umur dan jenis kelamin (Alikhan dkk., 2011 ; Birlea dkk., 2012 ).

Prevalensi vitiligo diperkirakan berkisar 0,1%-2% dan menunjukkan variasi yang luas diantara kelompok etnis yang berbeda. Perbedaan ini kemungkinan dihubungkan dengan lebih tingginya pasien vitiligo yang melapor. Hal ini berkaitan dengan kontras warna kulit yang tampak dan stigma yang diterima oleh pasien yang mendorong untuk mencari pengobatan. (Alzolibani dkk., 2011 ; Kruger dan Schallreuter, 2012).

Prevalensi vitiligo pada kelompok umur anak atau dewasa muda dengan kelompok umur dewasa tidak terdapat perbedaan. Limapuluh persen pasien vitiligo datang sebelum usia 20 tahun dan 70-80% datang sebelum usia 30 tahun dan sangat jarang ditemukan saat lahir (Alzolibani dkk., 2011). Onset vitiligo rerata didapatkan lebih awal pada pasien dengan riwayat keluarga yang positif, yang berkisar antara 7,7% sampai lebih dari 50% (Alikhan dkk., 2011). Vitiligo dilaporkan lebih sering pada wanita dibandingkan pria yang kemungkinan

(2)

menunjukkan peningkatan pelaporan kasus oleh wanita akibat lebih besarnya konsekuensi sosial yang diterima (Alzolibani dkk., 2011).

2.1.1. Etiologi dan Patogenesis

Vitiligo merupakan penyakit yang multifaktorial. Vitiligo memiliki patogenesis kompleks yang belum diketahui sepenuhnya. Berbagai teori dihubungkan dengan patogenesis vitiligo dimana faktor genetik dan non-genetik berinteraksi sehingga mempengaruhi fungsi dan survival melanosit dan selanjutnya menyebabkan kerusakan autoimun terhadap melanosit. Berbagai teori tersebut antara lain gangguan pada adhesi melanosit, kerusakan neurogenik, kerusakan biokimia, dan autotoksisitas (Bagherani dkk., 2011 ; Birlea dkk., 2012 ).

Vitiligo sebagian besar terjadi secara sporadik, namun terdapat 15-20% pasien yang memiliki satu atau lebih anggota keluarga tingkat pertama yang juga mengalami vitiligo. Secara umum, pola penurunan pada vitiligo tidak mengikuti pola penurunan Mendelian yang menunjukkan penurunan yang bersifat poligenik dan multifaktorial. Beberapa gen yang dihubungkan dengan fungsi imunitas diduga berperan dalam kejadian vitiligo, seperti lokus MHC, CTLA4, PTPN22, IL10, MBL2, dan NALP1 (Birlea dkk., 2012). Lokus AIS1, kromosom 1p3, diketahui berkaitan sangat signifikan dengan vitiligo generalisata pada orang kaukasia yang tinggal di Amerika Utara dan Inggris. Penurunan aktivitas dari gen VIT1, kromosom 2p16, telah dikaitkan dengan peningkatan kerentanan terhadap vitiligo, mungkin sebagai akibat dari disfungsi perbaikan nukleotida melanosit (Alzolibani dkk., 2011).

(3)

Beberapa bukti menunjukkan bahwa vitiligo adalah penyakit yang terjadi di seluruh epidermis, kemungkinan melibatkan baik melanosit dan keratinosit. Abnormalitas ultrastruktural dari keratinosit pada bagian perilesional kemungkinan berhubungan dengan gangguan aktivitas mitokondria yang diduga mempengaruhi produksi dari faktor pertumbuhan dan sitokin spesifik dari melanosit yang mengatur survival melanosit. Temuan adanya peningkatan hidrogen peroksida pada lesi yang kemungkinan disebabkan oleh menurunnya aktivitas antioksidan dari keratinosit dan melanosit. Gangguan sistem antioksidan menyebabkan melanosit lebih rentan baik terhadap sitotoksisitas imunologis maupun toksisitas yang diinduksi oleh reactive oxygen species (ROS) (Dytoc dan Malhotra, 2011 ; Koshoffer dan Boissy, 2014).

Pewarisan sifat biologis mungkin bisa membuat melanosit dari beberapa orang menjadi rentan terhadap pencetus lingkungan atau stres lainnya, mengakibatkan melanosit mati oleh nekrosis, apoptosis atau pyroptosis, sebagai akibat hilangnya toleransi imun dan akhirnya autoimunitas melanosit. Di sisi lain, akumulasi senyawa toksik, perubahan lingkungan selular, gangguan migrasi dan proliferasi melanosit, infeksi seperti virus, saraf, autoimun dan faktor autositotoksik semuanya dapat berkontribusi untuk vitiligo (Bagherani dkk., 2011 ; Yaghoobi dkk., 2011).

Berbagai bukti biologis menunjukkan adanya peranan autoimun pada vitiligo. Awalnya sistem imunitas humoral dikaitkan dengan patogenesis vitiligo dengan ditemukannya antibodi antimelanosit yang menargetkan berbagai antigen melanosit sehingga menyebabkan kerusakan melanosit secara in vitro dan in

(4)

vivo. Saat ini, diduga bahwa antibodi ini adalah suatu respon humoral sekunder. Infiltrat inflamasi pada tepi lesi yang terutama terdiri atas limfosit T sitotoksik diduga memainkan peranan yang lebih besar. Sel T ini menghasilkan profil sitokin tipe 1 dan terdapat secara bersamaan dengan melanosit epidermal, sehingga dihipotesiskan bahwa sel ini bersifat sitolitik aktif terhadap melanosit yang ada melalui granzyme/perforin pathway (Yaghoobi dkk., 2011 ; Birlea dkk., 2012 )

Selain itu melanin merupakan pigmen koloid. Pigmen koloid diketahui memiliki afinitas tinggi untuk ion logam. Ion logam tertentu seperti tembaga, seng dan besi ditemukan dengan kadar tinggi dalam jaringan berpigmen yang terlibat dalam sintesis melanin (Bagherani dkk., 2011 ; Yaghoobi dkk., 2011).

2.1.2. Manifestasi Klinis

Lesi vitiligo biasanya asimptomatis, namun pernah dilaporkan adanya keluhan gatal. Lokasi predileksi vitiligo adalah pada area yang terpapar sinar dan biasanya mengalami hiperpigmentasi seperti daerah wajah, periorifisium, permukaan dorsal tangan dan kaki, puting susu, daerah lipatan seperti aksila dan inguinal, serta regio anogenital, namun semua area tubuh dapat terkena. Vitiligo ditandai dengan adanya makula berwarna putih susu dengan depigmentasi yang homogen berbatas tegas, tepi konveks, tersebar secara diskret. Secara umum lesi vitiligo berkembang perlahan, baik dari pelebaran secara sentrifugal dari lesi yang lama atau adanya pembentukan lesi yang baru (Birlea dkk., 2012).

(5)

Faktor pemicu terjadinya vitiligo yang pernah dilaporkan antara lain trauma fisik, paparan sinar matahari, stres psikologis, inflamasi, kehamilan, kontrasepsi, defisiensi vitamin, dan banyak lagi. Fenomena Koebner juga dapat ditemukan pada vitiligo dimana lesi dapat muncul pada area kulit yang mengalami trauma. Depigmentasi pada rambut yang terdapat pada lesi vitiligo atau leukotrikia dapat terjadi antara 10-60% dan dianggap sebagai indikasi kerusakan reservoir melanosit di dalam folikel rambut serta dihubungkan dengan respon terapi yang lebih buruk (Alikhan dkk.,2011 ; Birlea dkk., 2012 ).

Vitiligo berdasarkan distribusi polimorfik, perluasan dan jumlah bercak putih yang terjadi, dibedakan menjadi lokalisata (fokal, segmental dan mukosal), generalisata (vulgaris, akrofasial, campuran) dan universal. Sedangkan berdasarkan gambaran klinis dibedakan menjadi tipe segmental dan non segmental. Menurut pengklasifikasian ini, vitiligo non segmental termasuk semua kasus yang tidak diklasifikasikan ke dalam vitiligo segmental, termasuk diantaranya adalah vitiligo lokalisata generalisata dan akrofasial (Taieb dan Picardo, 2007 ; Birlea dkk., 2012). Ezzedine dkk. menambahkan kelompok vitiligo campuran (mixed vitiligo) yang didefinisikan sebagai kombinasi dari lesi awal vitiligo segmental yang kemudian berkembang dengan munculnya lesi depigmentasi bilateral dari vitiligo non-segmental dalam beberapa bulan hingga tahun kemudian (Ezzedine dkk., 2012). Selain itu berdasarkan aktivitas penyakit vitiligo juga dibedakan menjadi aktif dan stabil. Sistem penilaian ini berdasarkan pada laporan pasien sendiri mengenai aktivitas penyakit yang dialami (Alghamdi dkk., 2012).

(6)

2.1.3. Diagnosis

Diagnosis dari vitiligo biasanya ditegakkan berdasarkan penilaian klinis yang mencakup distribusi, luas lesi dan perjalanan penyakit (Taieb dan Picardo, 2007). Pemeriksaan lampu Wood dapat membantu menegakkan diagnosis. Lampu Wood dapat digunakan untuk menentukan luas dan aktivitas vitiligo serta monitoring respon terapi (Alikhan dkk., 2011).

Pemeriksaan laboratorium tidak spesifik untuk diagnosis vitiligo, tetapi beberapa diperlukan sebagai skrining karena banyaknya kelainan autoimun yang dapat menyertai vitiligo. Beberapa pemeriksaan tersebut antara lain hitung sel darah lengkap, kadar hormon tiroid, dan antibodi antinuklear. Pemeriksaan biopsi kulit juga jarang digunakan untuk penegakan diagnosis vitiligo. Secara histopatologi biasanya vitiligo akan menunjukkan kehilangan melanosit epidermis pada area yang terkena dan kadang disertai infiltrat limfosit jarang pada dermis, perivaskular, dan perifolikuler terutama pada bagian tepi lesi awal dan lesi aktif yang kemungkinan menunjukkan adanya proses imunologis yang diperantarai oleh sel yang menyebabkan kerusakan melanosit in situ (Gawkrodger dkk., 2008 ; Birlea dkk., 2012 ). Beberapa diagnosis banding yang dapat dipertimbangkan saat diagnosis vitiligo dapat dilihat pada tabel berikut.

(7)

Tabel 2.1. Diagnosis Banding Vitiligo (Birlea dkk., 2012) DIAGNOSIS BANDING VITILIGO VULGARIS Hipomelanosis yang Diturunkan

Piebaldisme Sindrom Waardenburg’s Tuberosklerosis Hipomelanosis Ito Penyakit Infeksi Tinea versikolor Sifilis sekunder Kusta (tuberkuloid/lepromatosa) Hipopigmentasi Pasca Inflamasi

Lupus eritematosus diskoid, skleroderma, liken sklerosus et atropikus, psoriasis Hipomelanosis Paramaligna

Mikosis fungoides Melanoma kutaneus

Reaksi autoimun terhadap melanoma Kelainan Idiopatik

Hipomelanosis gutata idiopatik Depigmentasi Akibat Toksin Depigmentasi akibat obat

DIAGNOSIS BANDING VITILIGO SEGMENTAL Nevus Depigmentosus

Nevus Anemikus

2.1.4 Penilaian derajat keparahan vitiligo

Baru-baru ini diperkenalkan metode penilaian klinis VASI. Metode ini telah terstandarisasi serta sensitif untuk mengukur derajat dan persentase dari depigmentasi dan repigmentasi (Hamzavi dkk., 2004). Alghamdi dkk. menyatakan bahwa skor VASI bersama penggunaan lampu wood dan rule of nine merupakan metode yang paling baik untuk menilai lesi pigmentasi dan mengukur luas serta derajat vitiligo baik secara klinis maupun dalam penelitian dan uji klinis (Alghamdi dkk., 2012).

(8)

Pada penghitungan skor VASI tubuh pasien dibagi menjadi 5 bagian yaitu tangan, ekstrimitas atas (tidak termasuk tangan), badan, ekstrimitas bawah (tidak termasuk kaki), dan kaki. Regio aksila dimasukkan dalam ekstrimitas atas sedangkan regio inguinal dan bokong dimasukan dalam ekstrimitas bawah. Satu hand unit, yang mencakup telapak tangan dan permukaan volar dari jari tangan diperkirakan sebanyak 1% dan digunakan untuk menilai jumlah area yang terlibat di setiap regio (Hamzavi dkk., 2004).

Derajat depigmentasi ditentukan berdasarkan gambaran lesi yang dinilai dengan skor 0%, 10%, 25%, 50%, 75%, 90%, 100%. Derajat 100% depigmentasi berarti tidak ada pigmen yang tampak, derajat 90% berarti terdapat bercak pigmen yang tampak, derajat 75% berarti area depigmentasi melebihi area pigmentasi, derajat 50% berarti area yang mengalami depigmentasi dan yang mengalami pigmentasi adalah sama banyak, derajat 25% berarti area pigmentasi melebihi area depigmentasi, derajat 10% berarti hanya terdapat bercak depigmentasi, dan derajat 0% berarti tidak terdapat bercak depigmentasi. Skor VASI ditentukan dengan menjumlahkan area vitiligo dalam hand units dan derajat depigmentasi dalam setiap hand unit yang diperiksa dengan skor minimal 0 sampai dengan skor maksimal 100 menggunakan rumus (Hamzavi dkk., 2004; Kawakami dan Hashimoto, 2011) :

.

(9)

Gambar 2.1. Panduan untuk memperkirakan derajat pigmentasi pada vitiligo (Hamzavi dkk., 2004)

2.1.5. Penatalaksanaan

Terdapat berbagai modalitas terapi yang dapat digunakan seperti kortikosteroid topikal, inhibitor kalsineurin topikal, fototerapi, kostikosteroid oral, siklofosfamid, siklosporin, anti-TNFα dan pembedahan. Kortikosteroid topikal digunakan karena efek anti-inflamasi dan imunomodulasinya. Kortikosteroid topikal merupakan pilihan terapi pertama pada bentuk vitiligo yang terbatas bersama dengan inhibitor kalsineurin topikal. Inhibitor kalsineurin topikal digunakan terutama pada area dimana kortikosteroid topikal tidak dianjurkan untuk digunakan jangka panjang. Kortikosteroid topikal memiliki hasil yang paling baik pada daerah yang terpapar sinar matahari seperti wajah dan leher, namun memiliki respon buruk pada lesi akral. Sedangkan inhibitor kalsineurin topikal memiliki hasil baik terutama pada area kepala dan leher (Taieb dkk., 2013).

(10)

Yaghoobi dkk. dalam randomized control trial membandingkan efektifitas steroid topikal dengan kombinasi steroid topikal dan seng sulfat oral pada 15 pasien. Pada pengamatan didapatkan respon klinis yang cukup namun tidak signifikan secara statistik terhadap 24,7% pasien dalam kelompok kombinasi steroid topikal-seng oral dibandingkan dengan 21,43% pada kelompok steroid topikal setelah empat bulan terapi. (Gupta dkk., 2014).

Fototerapi menggunakan narrowband ultraviolet B (NB-UVB) (311 nm) saat ini menjadi pilihan terutama pada vitiligo aktif dengan lesi yang luas. Fototerapi NB-UVB memiliki efek samping yang lebih rendah dibandingkan fotokemoterapi psoralen dan UVA (PUVA) atau khellin dan UVA (KUVA) dengan efektivitas yang setara. Saat ini dikembangkan alat targeted phototherapy yang dapat menjadi pilihan pada lesi yang lebih terlokalisir yaitu menggunakan excimer atau lampu yang menghasilkan sinar dalam range UVB (puncak pada 308 nm) (Majid, 2010 ; Taieb dkk., 2013 ).

Kostikosteroid oral dapat menghambat aktivitas penyakit namun tidak efektif dalam repigmentasi vitiligo yang telah stabil. Penggunaan agen ini dibatasi karena adanya efek samping yang dihubungkan dengan penggunaan steroid jangka panjang. Penggunaan oral pulse therapy dikatakan dapat meningkatkan efektivitas terapeutik steroid dan mengurangi efek sampingnya. Imunosupresan dan agen biologis lain yang digunakan adalah siklofosfamid, siklosporin, dan anti-tumor necrosis factor α. (TNFα). Pada kondisi vitiligo yang stabil dan terlokalisir dapat dipilih modalitas terapi pembedahan. Pembedahan

(11)

dilakukan dengan transplantasi melanosit pada lesi vitiligo dengan kulit normal yang berasal dari donor autolog (Majid, 2010 ; Taieb dkk., 2013 ).

2.1.6 Perjalanan Penyakit dan Prognosis

Perjalanan penyakit vitiligo tidak dapat diprediksi, namun sebagian besar kondisi bersifat progresif lambat dan sulit untuk dikontrol dengan terapi. Beberapa lesi berkembang seiring waktu, tetapi lesi lainnya dapat menetap dalam kondisi stabil dalam jangka waktu yang lama. Parameter seperti durasi penyakit yang lama, adanya fenomena koebner, adanya leukotrikia, dan keterlibatan mukosa dikatakan dapat menjadi faktor prognostik buruk pada pasien (Birlea dkk., 2012).

2.2 Seng

2.2.1. Homeostasis Seng

Homeostasis atau mempertahankan keadaaan konstan dari nutrizi seng selular merupakan hal penting untuk fungsi normal. Pada hewan dan manusia, penyesuaian dalam absorpsi seng dan ekskresi intestinal endogen adalah sarana utama mempertahankan homeostasis seng. Penyesuaian absorpsi seng pada gastrointestinal dan ekskresi endogen adalah sinergis (King dkk., 2000).

Seng merupakan salah satu trace element penting yang terdapat dalam tubuh manusia. Trace element adalah kelompok zat gizi mikro yang mutlak dibutuhkan tubuh dalam jumlah yang sangat kecil untuk memelihara kehidupan yang optimal.9 Seng dikategorikan sebagai trace element karena kurang dari 0,005% total berat badan. Kadar seng dalam darahyang normal berkisar 70-180

(12)

µgm/100ml dengan nilai rata-rata dari 120 ± 22 µgm/100ml (Arora dkk., 2002 ; Bagherani dkk., 2011).

Seng terdapat dalam jumlah yang cukup banyak di dalam setiap sel. Seng tersebar dalam semua organ, jaringan dan cairan tubuh. Kulit mengandung sekitar 6% dari total seng tubuh, deposito terbesar terdapat dalam otot dan tulang (Hidayat, 1999 ; Bagherani dkk., 2011 ). Konsentrasi seng tinggi dalam jaringan berpigmen. Melanosom bertindak sebagai tempat penyimpanan seng pada tingkat selular (Bagherani dkk., 2011). Kebutuhan seng fisiologis yang sebenarnya adalah banyaknya seng yang harus diabsorpsi untuk menggantikan pengeluaran endogen, pembentukan jaringan, pertumbuhan dan sekresi susu. Jadi kebutuhan seng fisiologis tergantung dari usia dan status fisiologis seseorang (Hidayat, 1999).

Absorpsi seng pada individu sehat bervariasi antara 2 - 41% tergantung dari jenis makanannya. Nilai absorpsi yang rendah terdapat dalam bahan makanan yang banyak mengandung sereal, sedangkan yang tinggi berasal dari daging sapi, tiram, hati, susu dan produk-produk kacang kedelai. Absorpsi seng dalam usus dihambat oleh fitat, kalsium dan fosfat. Beberapa obat seperti ciprofloksasin, penisilin, tetrasiklin dan antagonis reseptor H2 menurunkan absobsi seng. Kontrasepsi oral dan tetrasiklin juga dapat menurunkan kadar seng dalam plasma. Absorpsi seng terjadi di sepanjang usus kecil namun sebagian besar terjadi di duodenum bagian distal dan jejunum proksimal oleh transpor aktif dan difusi. Sel mukosa usus halus dapat menyerap seng dan menyalurkannya ke dalam darah. Transpor aktif kedalam aliran darah dimediasi

(13)

oleh ikatan dengan albumin, α2 makroglobulin atau transferin. Seng dalam plasma diangkut oleh albumin (60 - 70%) dan α2 makroglobulin (30-40%). Sejumlah kecil diangkut oleh transferin dan asam amino bebas (Hidayat, 1999).

Seng sebagian besar disekresi dalam pankreas dan sedikit dalam empedu. Bioavailabilitas diet seng bervariasi antara sumber yang berbeda, tetapi sekitar 20% sampai 30%. Seng didistribusikan ke seluruh tubuh dengan konsentrasi tertinggi ditemukan di otot, tulang, kulit, mata, dan cairan prostat. Seng terutama diekskresikan dalam feses dan pengaturan pembuangan melalui feses penting dalam homoeostasis seng. Sejumlah kecil seng hilang dalam urin dan keringat (Hidayat, 1999 ; Bagherani dkk., 2011 ).

Defisiensi seng dapat terjadi karena asupan makanan yang tidak memadai dan absorpsi yang buruk atau karena meningkatnya ekskresi. Beberapa faktor predisposisi asupan makanan yang tidak memadai dan absorpsi yang buruk adalah gagal ginjal kronis atau keganasan, Penurunan kadar seng juga telah dilaporkan pada penyakit sistemik seperti tuberkulosis, sirosis, hepatitis virus dan infark miokard. Penurunan kadar seng juga dapat terjadi pada pemakaian kontrasepsi oral, kehamilan, alkoholisme (Arora dkk., 2002 ; Shamerr dkk., 2005).

2.2.2. Fungsi Seng

Fungsi fisiologis yang bergantung pada seng ialah pertumbuhan dan pembelahan sel, kekebalan seluler dan humoral, antioksidan, perkembangan seksual, adaptasi gelap, pengecapan serta nafsu makan. Peranan terpenting seng bagi mahluk hidup adalah pada pertumbuhan dan pembelahan sel, dimana seng berperan penting

(14)

dalam sintesa dan degradasi dari karbohidrat, lemak, protein, asam nukleat dan pembentukan embrio. Seng juga berperan penting dalam sistem kekebalan dan terbukti bahwa seng adalah mediator potensial pertahanan tubuh terhadap infeksi. Limfopenia dan penurunan fungsi lekosit sering ditemukan pada pasien defisiensi seng (Prasad, 2009 ; Baltaci dan Mogulkoc, 2012).

Seng adalah elemen yang terlibat dalam banyak proses biokimia yang mendukung kehidupan. Proses yang paling penting adalah respirasi selular, pemanfaatan oksigen seluler, reproduksi deoxyribonucleic acid (DNA) dan ribonucleic acid (RNA), pemeliharaan integritas membran sel dan penyerapan radikal bebas (Yaghoobi dkk., 2011 ; Zeng dkk., 2014 ). Seng berperan dalam hampir semua fungsi tubuh dari spermatogenesis hingga pertumbuhan proses berpikir abstrak (Arora dkk., 2002).

Seng dapat berfungsi sebagai metalloenzymes. Metalloenzyme adalah setiap enzim yang mengandung atom logam yang terikat dengan erat. Seng merupakan komponen dari metalloenzymes untuk mempertahankan kelangsungan berbagai proses metabolisme dan stabilitas membran sel. Fungsi seng dalam metalloenzyme ialah katalitik, pengaturan struktural dan non-katalitik. Sejak tahun 1869, seng telah terbukti menjadi kofaktor lebih dari 300 metalloenzymes dan lebih dari 2000 faktor transkripsi (Hidayat, 1999 ; Bagherani dkk., 2011 ). Sebagai kofaktor dari metalloenzymes, seng memiliki efek besar pada hampir semua aspek metabolisme yang terjadi pada organ tubuh, termasuk kulit (Birlea dkk., 2012).

(15)

Seng sebagai salah satu metalloenzymes memainkan peran penting dalam proses melanogenesis. Melanogenesis yaitu proses sintesis dan distribusi melanin di epidermis. Melanogenesis meliputi beberapa tahapan, transkripsi protein yang dibutuhkan untuk melanogenesis, biogenesis melanosom, pemilihan protein melanogenik dalam melanosom, transpor melanosom ke ujung dendrit melanosit dan transfer melanosom ke keratinosit (Park dan Yaar, 2012).

Melanin merupakan derivat indol dihidroksi fenilalanin (DOPA) dan dibentuk dalam melanosom melalui suatu rangkaian langkah-langkah oksidatif. Sintesis kedua jenis melanin melibatkan langkah-langkah katalitik dengan kecepatan terbatas dimana asam amino tirosin dioksidasi oleh enzim tirosinase menjadi DOPA. Perubahan tirosin menjadi DOPA dianggap sebagai langkah penghenti melanogenesis karena inhibisi reaksi ini menghambat sintesis melanin. Di kedua reaksi, DOPA berfungsi sebagai kofaktor dan substrat untuk tirosinase. DOPA dioksidasi menjadi dopaquinon, dopaquinon kemudian diubah menjadi dopachrome dan dopachrome dapat diubah menjadi 5,6 dihidroksiindol (DHI) atau menjadi 5,6-dihidroksiindol-2-asam karboksilik (DHICA) (Anstey, 2010).

Reaksi perubahan dopachrome dikatalisasi oleh enzim dopachrome tautomerase atau TRP-2. Jumlah eumelanin coklat versus hitam tampak berhubungan dengan rasio DHI/DHICA dengan rasio yang lebih besar menyebabkan pembentukan eumelanin hitam dan rasio yang lebih rendah menyebabkan pembentukan eumelanin coklat. Dopaquinon juga dapat berkombinasi dengan glutation atau sistein untuk membentuk cysteinyl DOPA

(16)

yang kemudian menjadi pheomelanin kuning/merah terlarut, dengan berat molekul rendah (Simon dkk., 2009 ; Videira dkk., 2013).

Tirosinase merupakan enzim penting pada melanogenesis. Struktur protein tirosinase sangat stabil di antara spesies yang lain dan menunjukkan homologi tinggi dengan related protein lainnya termasuk tyrosinase-related protein 1 (TRP1 / TYRP1) dan tyrosinase-tyrosinase-related protein 2 (TRP2 / TYRP2 / DCT). Tyrosinase-related protein 2 terutama mengikat seng sedangkan TYRP1 itu mengikat besi dengan lemah (Solano dkk., 1996 ; Slominski dkk., 2004 ).

Tyrosinase-related protein 2 bertindak sebagai tautomerase dopachrome mengkatalisis transformasi dari dopachrome ke DHICA. Jadi seng mengkatalisis penataan dopachrome untuk membentuk DHICA dan peningkatan pembentukan eumelanin polimer dari monomer. Proses ini merupakan tahap akhir dari pembentukan eumelanin pada melanogenesis (Gambar 3) (Prota, 1988 ; Anstey, 2010 ).

(17)

Gambar 2.2. Peran metalloenzyme pada sintesis melanin (Anstey, 2010)

Antioksidan merupakan suatu zat yang mempengaruhi reaksi zat dengan oksigen. Pengertian antioksidan lainnya adalah setiap zat yang menghambat reaksi radikal bebas, sedangkan radikal bebas adalah setiap spesies yang berisi satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan (Powell, 2000). Seng berfungsi sebagai antioksidan dengan berbagai mekanisme. Pertama, seng bersaing dengan ion besi dan tembaga untuk mengikat membran dan protein sel, menggusur logam redoks-aktif yang mengkatalisis produksi gugus hidroksil (OH) dari hidrogen peroksida (H2O2). Kedua, seng mengikat kelompok sulfhidril (SH) pada molekul biologi yang akan melindungi dari oksidasi (Prasad, 2014).

(18)

Ketiga, seng meningkatkan aktivasi molekul, protein dan enzim antioksidan seperti glutathione (GSH), catalase (CAT) dan superoxida dismutase (SOD) dan juga mengurangi aktivitas enzim yang menginduksi pembentukan oksidan, seperti inducible nitric acid synthase (iNOS) dan nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADPH) oksidase serta menghambat proses peroksidase lipid. Seng menghambat enzim NADPH oksidase sehingga mengurangi pembentukan ROS. Keempat, seng menginduksi pembentukan metallotionein (MT) yang kaya cysteine melindungi dari radikal bebas terutama ion OH (Prasad, 2014). Seng sebagai antioksidan memainkan peran penting dalam perlindungan terhadap kerusakan oleh radikal bebas. Seng terlibat dalam perusakan radikal bebas melalui sistem enzim kaskade (Bagherani dkk., 2011 ; Orlova dan Orlov, 2011 ; Quere dkk., 2014 ).

Apoptosis adalah salah satu jenis kematian sel untuk mempertahankan keseimbangkan antara proliferasi dan kematian. Beberapa logam seperti seng dan besi memainkan peran yang penting. Seng intraseluler digambarkan sebagai inhibitor apoptosis dan sebaliknya defisiensi seng dalam organisme menginduksi kematian banyak sel. Kerusakan DNA, dampak radiasi, agen sitotoksik, glukokortikoid, gangguan regulasi oleh sitokin, dan lain-lain dapat mengaktivasi gen p53 sehingga terdapat sinyal ke sel untuk menginduksi apoptosis. Proses ini dikendalikan oleh mitokondria dan menyebabkan aktivasi caspase-9 pada tahap akhir. Cytochromes C (CytC) berpartisipasi dalam proses kontrol apoptosis. Jalur apoptosis melalui banyak jalur dan dimediasi oleh banyak tahapan yang belum

(19)

dapat dijelaskan. Jalur aktivasi р53 hingga caspase 9 berjalan melalui aktivasi gen proapoptotik kelompok Bcl-2 (Orlova dan Orlov, 2011).

Mekanisme apoptosis р53 terkait erat dengan fungsi DNA-polimerase, yang merupakan bagian dari enzim yang tergantung seng. Hampir semua jalur yg dijelaskan merupakan jalur tergantung-seng, di mana ion seng yang disertakan sebagai faktor intermediet, bekerja dalam ketergantungan konsentrasi seng dan adanya faktor tambahan, seperti inhibitor apoptosis atau agen sitotoksik kuat yg mempengaruhi tahapan-tahapan yg terkait proses. Mekanisme seng hampir selalu merupakan proses mediasi dan proses tersebut berlangsung melalui cara yang relatif rumit dan berbeda. Seng berpartisipasi dalam sinyal sel sebagai mesenger sekunder. Pengaruh seng pd proses tergantung konsentrasi (Orlova dan Orlov, 2011).

Penggunaan seng untuk tujuan anti-apoptosis dapat memberikan kelangsungan hidup jangka panjang dari sel. Seng hanya dapat memblokir apoptosis tanpa efek pemulihan siklus sel normal. Penurunan konsentrasi seng intraseluler mungkin menginduksi apoptosis. Peran penting seng pada stres oksidatif dan disfungsi mitokondria diawali dengan ROS menginduksi pelepasan seng dari protein MT, kemudian asupan seng menyebabkan disfungsi mitokondria dan meningkatkan pembentukan ROS dari mitokondria. Hal ini mendorong mobilisasi lanjut seng keluar dari МТ dan seng mengaktifkan konsumsi seng dari mitokondria dan apoptosis. Defisiensi seng serta kelebihan seng menyebabkan kesalahan pelipatan dan hilangnya fungsi protein (Bagherani dkk., 2011)

(20)

Nekrosis tergantung dosis seng, sedangkan apoptosis tidak meningkat dengan meningkatnya konsentrasi seng. Ekspresi anti-apoptosis secara nyata meningkat, sedangkan ekspresi proapoptotik protein Bax dan Bad menurun. Pada Gambar. 2.2. digambarkan keterkaitan seng dan partisipan utama apoptosis. Seng termasuk dalam berbagai jalur siklus yang mengarah ke apoptosis. Jalur siklus terkecil dan paling banyak dipelajari adalah siklus antioksidan, namun untuk lebih lengkapnya siklus menjadi lebih lebar dan beragam, terjalin satu sama lain dan mencakup antar-hubungan yang lebih luas (Bagherani dkk., 2011 ; Orlova dan Orlov, 2011).

Gambar 2.3. Seng sebagai antioksidan dan regulator apoptosis (Orlova dan Orlov, 2011).

Pada penelitian telah diamati keadaan defisiensi seng dengan kerentanan terhadap infeksi karena disfungsi imunitas seluler. Suplementasi seng dapat mengakibatkan penurunan yang signifikan pada insiden infeksi. Efek seng pada

(21)

peningkatan respon imun memperbaiki pertahanan tubuh host dan meningkatkan resistensi terhadap patogen pada subyek dengan defisiensi seng. Masuknya seng dalam jumlah normal ke dalam organisme merupakan faktor imunoregulator penting terutama dalam menjaga homeostasis jaringan epitel yang berada di baris depan untuk menghadapi infeksi. Defisiensi seng menyebabkan adanya hipofungsi dalam sistem respon imun sel Т yang memperburuk efek dari faktor risiko lain pada sistem kekebalan tubuh. Limfosit T lebih rentan terhadap defisiensi seng dibandingkan dengan sel B sehingga sistem imun sel Т lebih tergantung pada homeostasis seng, terutama terkait dengan sekresi interleukin tergantung sel Т dan sitokin yang berbeda (Prasad, 2014)

Defisiensi seng mempengaruhi aktivitas thymulin (hormon thymus), menurunkan pembentukan interleukin-2 (IL-2) dan interferon γ (IFN-γ) dari sel T helper 1 (Th1) serta menurunkan produksi IL-12 dari makrofag. IFN-γ, bersama dengan IL-12, diperlukan untuk aktivitas fagositosis optimal dari makrofag terhadap parasit, virus dan bakteri. Pada subyek dengan defisiensi seng pembentukan IL-1β ex vivo meningkat, hal ini menunjukkan bahwa defisiensi seng mungkin mengaktifkan monosit dan makrofag untuk menghasilkan sitokin inflamasi dan meningkatkan stress oksidatif. Suplemen seng memperbaiki produksi sitokin oleh sel Th1, penurunan pembentukan sitokin inflamasi dan penurunan biomarker plasma stress oksidatif. IL-10 yang dihasilkan oleh sel Th2, yang dikenal menghasilkan efek negatif pada pembentukan IL-2 oleh sel Th1, secara signifikan lebih tinggi pada defisiensi seng. Gambar 2.3. merupakan

(22)

ringkasan konsep mengenai peran seng dalam imunitas seluler (Orlova dan Orlov, 2011 ; Prasad, 2014 ).

Gambar 2.4. Peran seng pada imunitas (Prasad, 2014).

2.3 Peranan Seng pada Vitiligo

Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk mengungkap pengaruh trace elements pada penyakit dermatologi. Penurunan kadar seng dalam darah telah dilaporkan dalam sejumlah kelainan kulit oleh beberapa peneliti, sementara yang lain telah membantah temuan ini. Tidak banyak penelitian tentang kadar seng dalam darah pada kelainan kulit (Arora dkk., 2002). Pada 50 tahun terakhir, telah terdapat kemajuan dalam hubungan seng dengan berbagai patologi kulit (Bagherani dkk., 2011).

(23)

Beberapa penelitian mengenai kadar seng dalam darah pada vitiligo telah dilakukan, namun hasil penelitian yang ada sekarang masih terdapat kontroversi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Arora dkk. didapatkan kadar seng dalam darah lebih rendah pada pasien vitiligo daripada kelompok kontrol, tetapi perbedaan ini tidak signifikan secara statistik. Perbedaan ini tidak signifikan dalam nilai rata-rata kadar seng dalam darah yang diamati dalam kaitannya dengan jenis kelamin, usia, ras, kebiasaan makanan dan variasi diurnal (Arora dkk., 2002).

Helmy dkk. menunjukkan kadar seng dalam darah secara signifikan lebih tinggi pada pasien vitiligo dibandingkan dengan kontrol. Peneliti berpikir bahwa peningkatan kadar seng dalam darah berasal dari pelepasan seng melalui peningkatan apoptosis sel mononuklear darah perifer pada pasien vitiligo. Selain itu, melanin adalah pigmen koloid dan memiliki afinitas tinggi dengan ion logam, oleh karena itu, seng dan ion logam lainnya ditemukan dalam kadar tinggi pada jaringan berpigmen yang terlibat dalam sintesis melanin. Karena melanosit menurun pada pasien vitiligo, sedikit seng digunakan untuk sintesis melanin, sehingga meningkatkan kadar seng dalam darah (Bagherani dkk., 2011).

Analisis kadar seng dalam darah pada penelitian Shameer dkk. menunjukkan pengurangan kadar pada 21,6% pasien dan hanya satu pasien menunjukkan peningkatan kadar seng. Pada penelitian ini, kadar seng dalam kelompok kontrol dalam kisaran normal. Perbedaan antara dua kelompok ini signifikan secara statistik (Shameer dkk., 2005). Inamadar dan Palit melaporkan lesi kulit depigmentasi seperti vitiligo karena penghentian suplemen seng pada

(24)

dua saudara kandung dengan akrodermatitis enteropatika yang mengalami penurunan kadar seng dalam darah (Inamadar dan Palit, 2007). Mohamed dkk. melakukan penelitian untuk memperkirakan kadar seng dalam darah dan kulit pasien vitiligo, mereka menemukan penurunan yang signifikan kadar seng dalam darah. Wasan dan Rubayee pada penelitiannya menemukan kadar seng dalam darah menurun secara bermakna pada pasien vitiligo dibandingkan dengan kontrol dan mereka menyimpulkan bahwa penurunan kadar seng dapat memiliki peran penting pada etiopatogenesis penyakit vitiligo (Wasan dan Rubayee, 2011). Dalam suatu meta-analisis kadar seng dalam darah dibandingkan antara kelompok kasus dan kontrol. Kadar seng secara signifikan lebih rendah pada pasien vitiligo daripada kelompok kontrol yang sehat (Zeng dkk., 2014).

Peneliti seperti Shameer dkk. dan Zeng dkk. dalam penelitiannya menyimpulkan terdapat dua mekanisme yang terkait antara penurunan seng dengan vitiligo, yaitu seng sebagai salah satu metalloenzymes yang diperlukan dalam proses melanogenesis dan seng sebagai antioksidan (Shameer dkk., 2005 ; Zeng dkk., 2014 ). Sedangkan Bagherani dkk. menyimpulkan terdapat beberapa kemungkinan mekanisme peran seng pada vitiligo, setelah membandingkan kemungkinan patogenesis terjadinya vitiligo pada berbagai penelitian dengan signifikansi fungsional seng pada manusia. Beberapa kemungkinan mekanisme peran seng pada vitiligo tersebut adalah seng sebagai salah satu metalloenzymes, sebagai antioksidan, sebagai faktor antiapoptotik potensial, merangsang cell-mediated immunity (Bagherani dkk., 2011 ; Yaghoobi dkk., 2011).

(25)

Seng sebagai salah satu metalloenzymes memainkan peran penting dalam proses melanogenesis. Selama tahap akhir pembentukan eumelanin pada melanogenesis, metalloenzymes mengkatalisis transformasi dopachrome untuk membentuk DHICA sehingga seng mungkin memiliki efek penting pada vitiligo (Shameer dkk., 2005 ; Wasan dan Rubayee, 2011 ; Zeng dkk., 2014 ). Reaksi transformasi dopachrome dikatalisis oleh enzim dopachrome tautomerase atau TRP2. Tyrosinase-related protein 2 yang terutama mengikat seng bertindak sebagai tautomerase dopachrome mengkatalisis transformasi dari dopachrome. Hal itu berarti seng mengkatalisis proses yang merupakan tahap akhir dari pembentukan eumelanin pada melanogenesis yaitu transformasi dopachrome untuk membentuk DHICA dan peningkatan pembentukan eumelanin polimer dari monomer.

Seng berfungsi sebagai antioksidan dengan berbagai mekanisme dan sebagai antioksidan seng memainkan peran penting dalam perlindungan terhadap kerusakan oleh radikal bebas. Radikal bebas bersifat sitotoksik terhadap melanosit dan menghambat tirosinase. Seng terlibat dalam perusakan radikal bebas melalui sistem enzim kaskade. (Bagherani dkk., 2011 ; Orlova dan Orlov, 2011 ; Quere dkk., 2014 ).Seng dan trace element lainnya dihubungkan dengan sistem pertahanan antioksidan terhadap ROS, seng-superoxide dismutase mengkatalisis dismutasi ROS menjadi O2 atau H2O2. Salah satu teori mengenai patogenesis vitiligo adalah stres oksidatif dapat menyebabkan destruksi melanosit. Seng kemungkinan berperan pada vitiligo melalui penghambatan produksi radikal bebas. Ketidakseimbangan sistem oksidan-antioksidan

(26)

memainkan peran patogenik penting dalam vitiligo. Telah diketahui bahwa defisiensi zat antioksidan dapat menyebabkan meningkatnya aktivitas radikal bebas, yang bersifat sitotoksik terhadap melanosit dan menghambat tirosinase. Penelitian di tingkat molekuler telah menunjukkan defisiensi zat antioksidan dalam kulit pasien vitiligo. Hal ini menyebabkan efek sitotoksik dari ROS seperti anion superoksida dan hidroksil radikal yang dihasilkan oleh epidermis yang rusak oleh ultraviolet (Z Shameer dkk., 2005 ; Zeng dkk., 2014 ).

Pada sisi lain, melalui mekanisme pertahanan antioksidan, seng sebagai trace element dapat merangsang kaskade protective antiapoptotic cellular stress-signaling dan dengan demikian dapat menstabilkan protein sel sehingga menjadi sedikit rentan terhadap oksidasi. Oleh karena itu, seng merupakan faktor antiapoptotik potensial meskipun kelebihannya bisa menyebabkan sitotoksik (Bagherani dkk., 2011 ; Prasad, 2014). Penurunan seng intraselular di bawah ambang batas kritis tidak hanya memicu jalur utama aktivasi caspase tetapi juga dapat memfasilitasi proses dimana caspase diaktifkan. Caspase kelompok enzim merupakan regulator apoptosis (Bagherani dkk., 2011 ; Orlova dan Orlov, 2011). Seng memiliki peran regulasi apoptosis, baik itu menginduksi maupun memblok apoptosis selular, tergantung pada konsentrasi selular (Prasad, 2009). Berdasarkan beberapa data histologis dan laboratorium, telah disarankan bahwa apoptosis melanosit sebagai kemungkinan mekanisme terjadinya vitiligo. Seng kemungkinan berperan pada vitiligo melalui pencegahan apoptosis melanosit (Bagherani dkk., 2011 ; Orlova dan Orlov, 2011).

(27)

Seng memiliki peran penting pada fungsi imunitas selular. Defisiensi seng pada manusia menurunkan aktivitas thymulin (hormon thymus) yang diperlukan untuk pematangan sel T-helper. Sitokin T-helper 1 (Th1) menurun tetapi sitokin T-helper 2 (Th2) tidak terpengaruh oleh defisiensi seng. Pergeseran fungsi Th1 ke Th2 menghasilkan disfungsi imunitas selular. Karena produksi IL-2 (sitokin Th1) menurun, menyebabkan penurunan aktivitas sel natural-killer dan sel T sitolitik, yang terlibat dalam membunuh virus, bakteri dan sel-sel tumor (Prasad, 2014). Defisiensi seng merupakan salah satu dari banyak faktor yang terlibat dalam supresi non spesifik imunitas seluler. Seng dapat merangsang imunitas seluler melawan kemungkinan infeksi dan faktor lainnya yang berkontribusi pada terjadinya vitiligo (Bagherani dkk., 2011 ; Prasad, 2014).

Gambar

Tabel 2.1. Diagnosis Banding Vitiligo (Birlea dkk., 2012)  DIAGNOSIS BANDING VITILIGO VULGARIS  Hipomelanosis yang Diturunkan
Gambar 2.1. Panduan untuk memperkirakan derajat pigmentasi pada vitiligo  (Hamzavi dkk., 2004)
Gambar 2.2. Peran metalloenzyme pada sintesis melanin (Anstey, 2010)
Gambar 2.3.  Seng sebagai antioksidan dan regulator apoptosis (Orlova dan  Orlov, 2011)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Pemberian kuasa dan wewenang kepada Direksi Perseroan dengan hak subsitusi untuk melaksanakan segala tindakan yang diperlukan berkaitan dengan Penawaran Umum

Evaluasi Potensi Terjadinya Konflik Sosial Pada Masyarakat Miskin Kota dilakukan untuk mengetahui bentuk-bentuk konflik serta potensi konflik, pelanggaran HAM dan

Perakaran dari LCC ini dapat meningkatkan aktifitas mikro organisme tanah yang mengakibatkan terbentuknya porositas tanah yang baik. Tajuk tanaman kelapa sawit juga

Berdasarkan pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa reksadana merupakan suatu wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya

Dari beberapa pengertian kinerja di atas maka dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah suatu prestasi yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugas atau

The unit rates for these items quoted by the bidders and specified in the Contract shall be fixed, and payment by the Employer to the Service Provider for these items shall

 Nyeri, menyebabkan pasien sangat menderita, tidak mampu bergerak, tidak mampu bernafas dan batuk dengan baik, susah tidur, tidak enak makan5dan minum, !emas, gelisah,

Berdasarkan hasil perhitungan ANOVA dan mean effect yang telah dilakukan, didapatkan hasil bahwa bahan yang paling berpengaruh terhadap kualitas mie adalah A