• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN Pleurotus spp. PADA MEDIA SERBUK GERGAJIAN KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria) ALWIAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN Pleurotus spp. PADA MEDIA SERBUK GERGAJIAN KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria) ALWIAH"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

ALWIAH

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

RINGKASAN

ALWIAH (E14202079). Pertumbuhan dan Perkembangan Pleurotus spp. pada Media Serbuk Gergajian Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria). Dibimbing oleh ELIS NINA HERLIYANA.

Hutan tropis Indonesia menyimpan keanekaragaman hayati termasuk jamur pelapuk kayu yang berpotensi untuk diteliti dan dikembangkan bagi kesejahteraan umat. Pleurotus spp. merupakan salah satu jamur pelapuk kayu yang terdapat di alam dan mempunyai potensi untuk dikembangkan dalam bidang budidaya. Pada saat ini Pleurotus spp. sudah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan pangan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan Pleurotus spp. pada media serbuk gergajian kayu sengon.

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Patologi Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, pada bulan September 2005 sampai dengan Mei 2006. Isolat Pleurotus spp. yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pleurotus sp.6 dan Pleurotus sp.9 yang merupakan koleksi Laboratorium Patologi Hutan Fakultas Kehutanan, IPB.

Penelitian dilakukan menjadi tiga tahap; tahap pertama, pembuatan media dan inokulasi bibit; tahap kedua, pengamatan pertumbuhan pada media serbuk gergajian kayu sengon untuk melihat bobot basah tubuh buah, nilai efisiensi biologi (EB), lama fase vegetatif dan lama fase reproduktif; dan tahap ketiga, pengamatan makroskopis meliputi pengukuran jumlah tudung, diameter tudung terbesar dan terkecil, diameter tangkai dan panjang tangkai. Pengukuran tersebut dilakukan setiap kali panen.

Hasil penelitian menunjukkan Pleurotus sp.6 mempunyai fase vegetatif paling singkat (11,0 hari) dibanding fase vegetatif Pleurotus sp.9 (28,0 hari). Pleurotus sp.6 juga memiliki fase reproduktif yang lebih singkat (166,0 hari) dibanding fase reproduktif Pleurotus sp.9 (206,5 hari). Perbedaan yang cukup besar antara lama fase vegetatif dan reproduktif kedua isolat, menunjukkan bahwa tiap-tiap isolat memiliki karakteristik yang berbeda-beda dalam mengambil nutrisi untuk pertumbuhan dan perkembangannya.

Kedua isolat yang diamati mengalami penurunan bobot basah tubuh buah dari panen pertama sampai panen-panen berikutnya. Hal ini diduga merupakan akibat dari kandungan nutrisi media yang semakin berkurang. Pleurotus sp.9 mempunyai bobot basah tubuh buah total terbesar yaitu 102,1 gram dibanding bobot basah tubuh buah total Pleurotus sp.6 (62,5 gram).

Nilai EB terbesar dihasilkan oleh Pleurotus sp.9 (70,8%) dan nilai EB Pleurotus sp.6 sebesar 43,3%. Hal ini menunjukkan bahwa Pleurotus sp.9 lebih efisien dalam menggunakan media produksi untuk pertumbuhannya.

Jenis isolat berpengaruh nyata terhadap jumlah tudung Pleurotus spp.. Pleurotus sp.9 mempunyai jumlah tudung lebih banyak (24,3 buah) dibanding jumlah tudung Pleurotus sp.6 (15,7 buah). Faktor waktu panen berpengaruh nyata terhadap jumlah tudung kedua isolat. Jumlah tudung kedua isolat semakin berkurang dari panen pertama sampai panen terakhir.

(3)

Jenis isolat juga berpengaruh nyata terhadap rata-rata diameter tudung terbesar dan rata-rata diameter tudung terkecil kedua isolat Pleurotus spp. Rata-rata diameter tudung terbesar Pleurotus sp.9 lebih besar (6,0 cm) dibanding diameter tudung terbesar Pleurotus sp.6 (5,0 cm). Pleurotus sp.9 juga mempunyai rata-rata diameter tudung terkecil lebih besar (1,9 cm) dibanding rata-rata diameter tudung terkecil Pleurotus sp.6 (1,3 cm).

Rata-rata diameter tangkai dan panjang tangkai antara kedua isolat tidak berbeda nyata. Pleurotus sp.9 mempunyai rata-rata diameter tangkai sebesar 1,1 cm dan rata-rata diameter tangkai Pleurotus sp.6 adalah 1,2 cm. Rata-rata panjang tangkai Pleurotus sp.9 adalah 2,4 cm dan panjang tangkai Pleurotus sp.6 adalah 2,5 cm.

(4)

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN Pleurotus spp.

PADA MEDIA SERBUK GERGAJIAN KAYU SENGON

(Paraserianthes falcataria)

ALWIAH

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Pertumbuhan dan Perkembangan Pleurotus spp. pada Media Serbuk Gergajian Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria)

Nama : Alwiah

NIM : E14202079

Menyetujui: Dosen Pembimbing,

Dr. Ir. Elis Nina Herliyana, M.Si NIP. 131 955 530

Mengetahui:

Dekan Fakultas Kehutanan IPB,

Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr NIP. 131 578 788

(6)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Pertumbuhan dan Perkembangan Pleurotus spp. pada Media Serbuk Gergajian Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria)” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2008

Alwiah NRP. E14202079

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Depok, pada tanggal 20 Agustus 1984. Penulis merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara dari pasangan Bapak H. Abdullah dan Ibu Hj. Rosyidah.

Tahun 2002 penulis lulus dari SMU YAPEMRI Depok 2 Timur dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan perguruan tinggi di IPB melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Penulis diterima pada Program Studi Budidaya Hutan, Fakultas Kehutanan.

Selama mengikuti kegiatan perkuliahan, penulis aktif di DKM ‘Ibaadurrahmaan Departemen Pembinaan Umat (DPU) dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (PSDM) pada tahun 2003/2006. Pada tahun 2005 penulis melaksanakan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) jalur Non Getas di Garut (Sancang-Kamojang) dan KPH Sukabumi selama 1,5 bulan. Pada tahun 2006 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di desa Purwasari, Bogor selama 2 bulan (Juli-Agustus).

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, penulis melakukan penelitian berjudul “Pertumbuhan dan Perkembangan Pleurotus spp. Pada Media Serbuk Gergajian Kayu Sengon” yang dibimbing oleh Dr. Ir. Elis Nina Herliyana, M.Si.

(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala curahan nikmat yang telah diberikan sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Sholawat beserta salam semoga tercurah selalu kepada Nabi Muhammad SAW beserta para sahabat dan para pengikutnya.

Penelitian yang dilakukan oleh penulis berjudul “Pertumbuhan dan Perkembangan Pleurotus spp. Pada Media Serbuk Gergajian Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria)”.

Terima kasih penulis ucapkan kepada berbagai pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, atas segala dukungan moril maupun materil, terutama kepada:

1. Ibu Dr. Ir. Elis Nina Herliyana, M.Si selaku dosen pembimbing atas segala saran, nasihat dan kesabarannya dalam membimbing.

2. Kedua orang tua Bapak H. Abdullah, Ibu Hj. Rosyidah, kakak, adik dan seluruh keluarga atas do’a dan kasih sayangnya.

3. Bapak Ir. Rahmad Hermawan, M.ScF selaku dosen penguji perwakilan Departemen KSH dan Bapak Ir. Trisna Priadi, M.Eng.Sc selaku dosen penguji perwakilan dari Departemen THH.

4. Ibu Tutin Suryatin, BScF sebagai laboran Laboratorium Patologi atas bantuan, saran dan nasihatnya.

5. Sahabat-sahabatku di Wisma Vamdi, Mushroom Studies, DKM ‘Ibaadurrahmaan, dan BDH 39.

6. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan karya ilmiah ini, semoga Allah membalas dengan yang lebih baik.

Akhir kata penulis menyadari bahwa penulisan karya ilmiah ini masih jauh kesempurnaan, semoga bisa disempurnakan oleh generasi berikutnya. Penulis juga berharap semoga karya kecil ini bisa bermanfaat bagi yang memerlukan.

Bogor, Januari 2008

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR LAMPIRAN ... iv

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Jamur Secara Umum ... 3

B. Pertumbuhan dan Perkembangan Jamur ... 5

C. Jamur Tiram (Pleurotus spp.) ... 5

1. Siklus Hidup Jamur Tiram ... 6

2. Tempat Tumbuh Jamur Tiram ... 7

3. Syarat Tumbuh Jamur Tiram ... 7

4. Penumbuhan Jamur Tiram ... 10

a. Bahan Media Pertumbuhan ... 10

b. Pengemasan Media Pertumbuhan Jamur .. ... 11

c. Sterilisasi ... 11

d. Inokulasi atau Pembibitan ... 11

e. Inkubasi ... 11

f. Penumbuhan Tubuh Buah Jamur ... 11

g. Pemeliharaan ... 11

h. Pemanenan ... 12

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 13

B. Bahan dan Alat Penelitian ... 13

C. Metode Penelitian 1. Pembuatan Media dan Inokulasi Bibit ... 14

2. Pengamatan Pertumbuhan pada Media Serbuk Gergajian Kayu Sengon ... 14

(10)

3. Pengamatan Makroskopik ... 15

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pertumbuhan Isolat Pleurotus spp. pada Media Serbuk Gergajian Kayu Sengon ... 16

B. Bobot Basah Tubuh Buah dan Nilai Efisiensi Biologi ... 18

C. Pengamatan Makroskopik Pleurotus spp. 1. Jumlah tudung Pleurotus spp. ... 19

2. Diameter tudung Pleurotus spp ... 20

3. Diameter tangkai Pleurotus spp. ... 21

4. Panjang tangkai Pleurotus spp. ... 22

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 23

B. Saran ... 23

DAFTAR PUSTAKA ... 24

(11)

DAFTAR TABEL

No Halaman

1. Faktor lingkungan yang menentukan pertumbuhan Pleurotus spp. ... 10

2. Nilai rata-rata lama fase vegetatif dan fase reproduktif Pleurotus sp.6 dan Pleurotus sp.9 ... 17

3. Bobot basah tubuh buah hasil panen dan nilai EB Pleurotus sp.6 dan Pleurotus sp.9 ... 19

4. Jumlah tudung Pleurotus sp.6 dan Pleurotus sp.9 ... 20

5. Rata-rata diameter tudung terbesar Pleurotus sp.6 dan Pleurotus sp.9 ... 21

6. Rata-rata diameter tudung terkecil Pleurotus sp. dan Pleurotus sp.9 ... 21

7. Rata-rata diameter tangkai Pleurotus sp.6 dan Pleurotus sp.9 ... 22

(12)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Bagan alir pembuatan media serbuk gergajian kayu sengon ... 27 2. Pleurotus sp.6 dan Pleurotus sp.9 pada fase vegetatif dan fase

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Bagan alir proses pembuatan media serbuk gergajian kayu sengon ... 27 2. Pleurotus sp.6 dan Pleurotus sp.9 pada fase vegetatif dan fase

reproduktif ... 28 4. Rekapitulasi data jumlah tudung dua isolat Pleurotus spp. ... 29 5. Rekapitulasi data diameter tudung terbesar rata-rata dua isolat

Pleurotus spp. ... 30 6. Rekapitulasi data diameter tudung terkecil rata-rata dua isolat

Pleurotus spp. ... 31 7. Rekapitulasi data diameter tangkai dua isolat Pleurotus spp. ... 32 8. Rekapitulasi data panjang tangkai dua isolat Pleurotus spp. ... 33 9. Rekapitulasi data bobot basah tubuh buah dan efisiensi biologi dua

isolat Pleurotus spp. ... 34 10. Rekapitulasi data fase vegetatif dan fase reproduktif dua isolat

Pleurotus spp. ... 35 11. Rekapitulasi data suhu dan kelembaban pada saat pengamatan ... 36

(14)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hutan tropis Indonesia menyimpan keanekaragaman hayati yang berpotensi untuk diteliti dan dikembangkan bagi kesejahteraan umat manusia. Hutan tropis tersebut didalamnya terdiri atas beragam jenis binatang, pohon-pohon dan tumbuhan tingkat tinggi lainnya serta tumbuhan tingkat rendah yang salah satu jenisnya adalah jamur pelapuk kayu.

Keanekaragaman hayati semakin terancam keberadaannya seiring dengan meningkatnya pemenuhan kebutuhan hidup manusia terutama terhadap kayu. Hal ini menimbulkan pemikiran terhadap masyarakat untuk memanfaatkan hasil hutan lainnya yang bukan kayu seperti jamur. Menurut Suriawiria (2002), jamur memiliki potensi yang sangat tinggi di bidang pertanian, kehutanan, industri, lingkungan, bahan makan, dan sebagai bahan berkhasiat obat. Melihat potensi dan keberadaannya yang terancam akibat kerusakan hutan, sudah selayaknya kekayaan jenis jamur ini dilestarikan dengan cara melakukan budidaya .

Jamur pelapuk kayu yang ditemukan di alam, pada saat ini belum banyak digali potensinya seperti Pleurotus spp. Secara alami Pleurotus spp. dapat ditemukan di hutan pada batang pohon berdaun lebar atau bahan tanaman berkayu lainnya. Pleurotus spp. tidak memerlukan cahaya matahari yang banyak untuk pertumbuhannya dan miselium akan tumbuh lebih cepat di tempat terlindung .

Pleurotus spp. sudah dibudidayakan sejak tahun 1982 (Gunawan 2001). Proses budidayanya dapat dilakukan dengan teknologi sederhana yaitu dengan menggunakan bahan media serbuk gergajian kayu dan ditambah nutrisi seperti dedak, gips, kapur, biji-bijian dan air. Pada saat ini Pleurotus spp. sudah banyak dibudidayakan oleh masyarakat sebagai bahan pangan.

Pleurotus spp. memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi dilihat dari morfologi luarnya, seperti diameter tudung, panjang tangkai serta warna tubuh buah dan diperlukan informasi tentang mana jenis yang baik untuk dibudidayakan.

(15)

B. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan Pleurotus spp. pada media serbuk gergajian kayu sengon. Parameter pertumbuhan dan perkembangan yang diamati yaitu lama fase vegetatif, lama fase reproduktif, bobot basah tubuh buah, nilai Efisiensi Biologi dan morfologi makroskopik tubuh buah yang meliputi jumlah tudung, diameter tudung terbesar dan terkecil, diamater tangkai dan panjang tangkai.

(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Jamur Secara Umum

Jamur adalah organisme eukariotik, uniselular atau multiselular yang mempunyai dinding sel berupa kitin atau selulosa sebagai komponen utamanya. Jamur tidak memiliki klorofil sehingga hidupnya heterotrof, yaitu dengan memanfaatkan senyawa organik di lingkungannya sebagai sumber nutrisi. Jamur umumnya mensekresikan enzim-enzim yang memecah makromolekul menjadi senyawa lebih sederhana yang kemudian akan memasuki sel secara osmosis atau dengan mekanisme transpor tertentu (Moore-Landecker 1996). Jamur merupakan cendawan sejati yang ukurannya relatif besar (makroskopik), dapat dilihat dengan mata bugil, dapat dipegang atau dipetik dengan tangan, bentuknya mencolok (Gunawan 2001).

Menurut Suhardiman (1989) jamur adalah tumbuhan berinti, berspora, tidak berklorofil, berupa sel atau benang-benang bercabang. Perkembangbiakan jamur secara seksual adalah dengan peleburan nukleus dari dua sel induknya dan aseksual melalui pembelahan, penguncupan, atau pembentukan spora (Pelezar dan Chan 1986).

Jamur hidup secara saprofitik atau dapat juga secara parasitik. Hidup secara saprofitik adalah hidup pada sisa makhluk lain yang sudah mati, misalnya sampah, tumpukan kotoran hewan, serbuk gergajian kayu, ataupun pada batang kayu yang sudah lapuk proses ini berperan dalam penguraian zat-zat organik. Sedangkan hidup secara parasitik adalah hidup makhluk lain, misalnya tumbuh-tumbuhan, hewan atau manusia. Keberadaan jamur tersebut biasanya menjadi penyebab penyakit atau gangguan (Suriawiria 2002).

Tubuh buah jamur yang telah dewasa akan menghasilkan spora. Spora yang menemukan habitat (tempat tumbuh) yang cocok untuk kehidupannya akan berkecambah membentuk benang-benang halus. Benang halus ini dinamakan hifa dan kumpulan hifa dinamakan miselium. Hifa akan tumbuh bercabang-cabang dan memenuhi tempat tumbuhnya. Pada bagian-bagian tertentu, miselium membentuk gumpalan-gumpalan kecil seperti simpul benang. Gumpalan miselium yang dibentuk ini memberikan tanda awal pembentukan tubuh buah. Gumpalan

(17)

miselium akan bertambah besar dan membentuk struktur yang membulat. Struktur ini dinamakan primordium. Sesuai dengan jenis jamurnya primordium akan tumbuh dan berkembang menjadi tubuh buah. Tubuh buah jamur yang telah dewasa akan menghasilkan spora yang dapat berkecambah lagi membentuk miselium untuk mengulang daur hidupnya kembali (Gunawan 2001).

Menurut Kaul (1997), jamur dibagi ke dalam empat kelas berdasarkan ciri-ciri reproduksi seksual dan cara spora seksual dibentuk, yaitu :

1. Kelas Deuteromycetes

Merupakan Imperfect fungi karena dalam fase reproduksi seksual (fase telemorf) jamur belum diketahui sedangkan fase reproduksi aseksual (fase anamorf) jamur sudah diketahui. Ciri-ciri jamur pada kelas ini adalah hifanya bersekat dan membentuk konidia. Contoh jamur kelas ini adalah Fusarium spp. dan Penicillium spp..

2. Kelas Basidiomycetes

Umumnya merupakan jamur yang mempunyai hifa yang bersekat, membentuk tubuh buah, membentuk sambungan apit (clamp connection) dan berkembangbiak secara aseksual maupun seksual. Reproduksi dicirikan oleh adanya peleburan dua inti dengan urutan terjadinya plasmogami, kariogami dan meiosis. Alat kelamin jantan dan betina tidak dapat dibedakan. Jamur dalam kelas ini ada jenis yang dapat dikonsumsi sebagai bahan pangan dan ada yang dapat digunakan sebagai bahan obat. Contoh jamur pada kelas ini adalah Agaricus spp. dan Pleurotus spp..

3. Kelas Ascomycetes

Jamur pada kelas ini mempunyai ciri-ciri adanya askus (kantong) yang berisi spora seksual, hifanya bersekat, mempunyai alat kelamin jantan (anteridium) dan alat kelamin betina (askogonium). Contoh jamur pada kelas ini adalah Oidium spp., Sacharomyces spp., dan Capnodium spp.. 4. Kelas Oomycetes

Jamur pada kelas ini mempunyai ciri-ciri talusnya terbentuk filamen, hifanya tidak bersekat, alat kelamin jantan (anteridium) dan alat kelamin

(18)

betina (oogonium). Contoh jamur pada kelas ini adalah Phytium spp., Phytopthora spp. dan Saprolegnia spp..

B. Pertumbuhan dan Perkembangan Jamur

Pertumbuhan mempunyai pengertian bertambah besar atau bertambah tinggi secara makroskopis atau ukuran. Perkembangan adalah bertambah sempurna, bertambah dewasa (Mulyono et al. 2001).

Pertumbuhan pada jamur ditandai dengan adanya pertumbuhan sel-sel pada jamur misalkan dengan semakin tingginya tangkai jamur dan semakin besarnya diameter tudung. Perkembangan pada jamur ditunjukan dengan adanya siklus hidup jamur, mulai dari spora yang dihasilkan dari tubuh buah jamur yang telah dewasa akan bercambah membentuk benang-benang halus (hifa) dan kumpulan hifa dinamakan miselium (Chang dan Miles 1989).

Hifa akan tumbuh bercabang-cabang dan memenuhi tempat tumbuhnya. Pada bagian-bagian tertentu, miselium membentuk gumpalan-gumpalan kecil seperti simpul benang. Gumpalan miselium akan bertambah besar dan membentuk struktur yang membulat yang disebut primordia Seluruh tahap sampai tumbuh primordia ini disebut fase vegetatif. Sesuai dengan jenis jamurnya primordium akan tumbuh dan berkembang menjadi tubuh buah (fruiting bodies). Setelah miselia penuh sampai membentuk tubuh buah dinamakan fase reproduktif (Chang dan Miles 1989).

C. Jamur Tiram (Pleurotus spp.)

Jamur tiram (nama umum di Indonesia) disebut juga shimeji, hiratake (di Jepang) dan abalone mushroom atau oyster mushroom (di Eropa, Amerika) atau supa liat (di Jawa Barat). Jamur ini banyak tumbuh secara liar (walaupun berukuran kecil), di kawasan yang berdekatan dengan hutan, menempel pada kayu atau dahan kering. Jamur ini tumbuh terutama pada waktu musim hujan (Suriawiria 2002). Disebut jamur tiram atau oyster mushroom karena bentuk tudungnya agak membulat, lonjong dan melengkung seperti cangkang tiram. Batang atau tangkai tanaman ini tidak tepat berada pada tengah tudung, tetapi agak ke pinggir (Yuniasmara et al. 2001).

(19)

Menurut Gunawan (2001), jamur tiram (Pleurotus ostreatus) memiliki tudung dengan diameter 4-15 cm lebih, bentuk seperti tiram cembung kemudian menjadi rata atau kadang membentuk corong; permukaan licin, agak berminyak ketika lembab; warna bervariasi dari putih sampai abu-abu, cokelat, atau cokelat tua; tepi menggulung ke dalam, pada jamur muda sering kali bergelombang atau bercuping. Daging tebal, berwarna putih kokoh, tetapi lunak pada bagian yang berdekatan dengan tangkai. Bilah cukup berdekatan, lebar, warna putih atau keabuan dan sering kali berubah menjadi kekuningan ketika dewasa. Tangkai tidak ada atau jika ada biasanya pendek, kokoh, dan tidak di pusat atau lateral (tetapi kadang-kadang di pusat), panjang 0,5-4,0 cm, gemuk, padat, kuat, kering, umumnya berambut atau berbulu kapas paling sedikit di dasar.

Jamur Pleurotus diklasifikasikan oleh beberapa peneliti dalam Alexopolous et al. (1996) dan Chang dan Miles (1989) adalah sebagai berikut: Super Kingdom: Eukariota; Kingdom: Mycetes (Fungi); Divisi: Mycota; Sub Divisi: Eumycotina; Phylum: Basidiomycota; Kelas: Hymenomycetes (Basidiomycetes); Sub Kelas: Holobasidiomycetidae; Ordo: Agaricales; Famili: Tricholomataceae; Genus: Pleurotus; Species: Pleurotus spp. Menurut Segedin et al. (1995) dalam Herliyana (2007), Pleurotus diklasifikasikan ke dalam famili tersendiri yaitu Pleurotaceae.

1. Siklus Hidup Jamur Tiram

Tahap-tahap pertumbuhan jamur tiram adalah sebagai berikut: 1) Spora (basidiospora) yang sudah masak atau dewasa jika berada di tempat yang lembab akan tumbuh dan berkecambah membentuk serat halus seperti serat kapas, yang disebut miselium atau miselia; 2) Jika keadaan lingkungan tempat tumbuh miselia tersebut baik, dalam arti temperatur, kelembaban, kandungan C/N Rasio substrat tempat tumbuh memungkinkan, maka kumpulan miselia tersebut akan membentuk bakal tubuh buah jamur (primordia); 3) Bakal tubuh buah jamur tersebut akan membesar, dan pada akhirnya membentuk tubuh buah atau bentuk jamur yang siap dipanen dan 4) Tubuh buah jamur dewasa akan membentuk spora. Spora ini tumbuh di bagian ujung basidium, sehingga disebut basidiospora. Jika sudah matang atau dewasa, spora akan jatuh dari tubuh buah. Dalam keadaan

(20)

normal, waktu yang diperlukan dari perkecambahan spora sampai membentuk tubuh buah jamur, rata-rata antara 1-2 bulan (Suriawiria 2002).

Menurut Adinata dan Hendritomo (2002), di dalam jamur tiram terdapat dua bentuk sel yaitu sel generatif dan sel vegetatif bercabang yang disebut hifa. Sel-sel jamur tiram dapat berdiri sendiri atau bergandengan sehingga membentuk benang hifa. Kumpulan benang hifa membentuk miselium. Dari miselium ini kemudian terbentuk gumpalan kecil seperti simpul menyerupai urat akar. Simpul miselia bermuara membentuk bulatan kecil yang disebut pinhead atau kepala jamur. Periode pembentukan pinhead disebut juga sebagai periode primordia yang selanjutnya menjadi stadia dewasa (fruiting bodies) dan akhirnya membentuk jamur tiram yang sempurna yang terdiri dari batang (stem) tanpa cincin (ring) dan tudung (cap). Struktur jamur tiram dewasa asimetris menyerupai bentuk payung.

2. Tempat Tumbuh Jamur Tiram

Menurut Djarijah (2001) Pleurotus spp. dapat tumbuh dan berkembang pada berbagai macam kayu. Jamur tiram tumbuh optimal pada kayu lapuk yang tersebar di dataran rendah sampai lereng pegunungan atau kawasan yang memiliki ketinggian antara 600-800 m di atas permukaan laut. Jamur tiram tidak memerlukan cahaya matahari yang banyak, di tempat terlindung miselia jamur akan tumbuh lebih cepat dibanding di tempat yang terang dan terkena cahaya matahari berlimpah.

Jamur tiram tumbuh soliter tetapi umumnya membentuk massa menyerupai susunan papan pada batang kayu. Di alam jamur tiram banyak dijumpai tumbuh pada tumpukan limbah biji kopi (Gunawan 2001).

3. Jumlah Jenis Jamur Tiram

Jamur tiram termasuk golongan jamur yang memiliki spora putih. Nama-nama jamur tiram biasanya dibedakan menurut warna tudung tubuh buah atau sporanya (Djarijah 2001).

Jamur tiram putih bersih (P. florida dan P. ostreatus) memiliki tudung berwarna putih susu atau putih kekuning-kuningan dengan garis tengah 3-14 cm. Jamur tiram merah jambu (P. djamor atau P. salmoneostramineus atau P.

(21)

flabellatus atau P. incarnatus) memiliki tudung berwarna kemerah-merahan. Jamur tiram kelabu (P. sayor caju atau P. pulmonarius) memiliki tudung berwarna abu-abu kecokelatan atau kuning kehitam-hitaman dengan lebar 6-14 cm. Jamur tiram abu-abu (P. cystidiosus atau P. abalonus) dikenal sebagai jamur tiram abalon karena tudungnya berwarna putih atau sedikit abu-abu dan abu-abu kecokelatan dengan lebar 5-12 cm. Jamur tiram krem atau kuning kecokelatan (P. cornucoiae atau P. sapidus) memiliki tudung selebar 5-12 cm berwarna krem atau putih sampai kuning kecokelatan. Jamur tiram lain yang mulai populer adalah P. eryngii dan P. tubereneginum (Djarijah 2001).

4. Syarat Tumbuh Jamur Tiram

Menurut Adinata dan Hendritomo (2002) media tumbuh jamur tiram harus memenuhi persyaratan agar jamur dapat tumbuh dan berkembang biak dengan baik. Kandungan gizi lengkap yang diperlukan oleh jamur tiram antara lain karbohidrat, protein, lemak, mineral dan vitamin. Sumber karbohidrat untuk media tumbuh jamur tiram adalah komponen kayu seperti selulosa, hemiselulosa dan lignin yang lunak dan berongga. Bahan baku sumber karbohidrat yang dimaksud adalah berupa serbuk gergaji, ampas tahu, dedak, tepung jagung, bonggol jagung dan lain-lain. Sumber protein yang diperlukan jamur tiram dapat diperoleh dari urea. Selain itu untuk bahan organiknya adalah dari biji-bijian antara lain biji-biji limbah pemintalan kapas atau kapuk. Sumber mineral seperti CaCO3 (kapur) dan CaSO4 (gips) bertujuan membentuk tekstur media tumbuh agar kompak, tidak mudah pecah dan untuk meningkatkan pH yaitu mengikat kelebihan asam oksalat diikat menjadi garam Ca-oksalat.

Syarat tumbuh jamur tiram meliputi beberapa peubah, terutama temperatur, kelembaban relatif, waktu, kandungan CO2, dan cahaya. Peubah tersebut memiliki pengaruh, antara lain terhadap: 1) Pertumbuhan miselia pada substrat tanam, 2) Pembentukan primordia (bakal kuncup) jamur, 3) Terhadap pembentukan tubuh buah, 4) siklus panen, dan 5) nilai Efisiensi Biologi (EB) (Suriawiria 2002).

Menurut Hendritomo (2002), berdasarkan kisaran suhu, jamur dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu jamur psikrofil, jamur mesofil dan jamur termofil. Jamur psikrofil adalah jamur yang hidup pada rentang 0-17oC, jamur

(22)

mesofil adalah jamur yang hidup pada kisaran suhu 15-40oC dan jamur termofil adalah jamur yang dapat hidup pada kisaran suhu 35-50oC. Gunawan (2001) menjelaskan bahwa kisaran suhu untuk pertumbuhan miselium pada umumnya lebih luas dibandingkan untuk pembentukan tubuh buah jamur. Suhu optimum yang diperlukan untuk pembentukan tubuh buah umumnya lebih rendah dibanding untuk pertumbuhan miselium. Apabila nilai pH terlalu rendah atau terlalu tinggi maka pertumbuhan jamur tiram akan terhambat bahkan kemungkinan akan tumbuh jamur lain yang mengganggu pertumbuhan jamur tiram itu sendiri. Nilai pH media diatur antara pH 6-7 dengan menggunakan kapur (Yuniasmara et al. 2001).

Chang dan Miles (1989) telah merangkum faktor lingkungan yang menentukan faktor pertumbuhan jamur tiram (Tabel 1).

Tabel 1 Faktor lingkungan yang menentukan pertumbuhan jamur tiram

Parameter Pertumbuhan Besaran

Pertumbuhan miselia pada substrat tanam a. Temperatur inkubasi b. RH c. Waktu tumbuh d. Kandungan CO2 e. Cahaya f. Sirkulasi udara 24oC -29oC 90% -100% 10-14 hari 5.000-20.000 ppm 500 – 1.000 lux 1-2 jam Pembentukan Primordia

a. Temperatur inisiasi pertumbuhan 21oC -27oC

b. RH 90%-100%

c. Waktu Tumbuh 3-5 hari

d. Kandungan CO2 < 1.000 ppm

e. Cahaya 500-1.000 lux

f. Sirkulasi udara 4-8 jam

Pembentukan tubuh buah

a. Temperatur inisiasi pertumbuhan 21oC -28oC

b. RH 90%-100%

c. Waktu tumbuh 3-5 hari

d. Kandungan CO2 < 1.000 ppm

e. Cahaya 500-1.000 lux

(23)

6. Kultivasi Jamur Tiram

Kultivasi jamur tiram meliputi beberapa tahap yaitu persiapan bahan media pertumbuhan, pengemasan media pertumbuhan jamur, sterilisasi, inokulasi atau pembibitan, inkubasi, penumbuhan tubuh buah jamur, pemeliharaan, dan pemanenan.

Persiapan Bahan Media Pertumbuhan. Suprapti (2000) menjelaskan bahwa bahan yang diperlukan untuk media pertumbuhan jamur adalah serbuk gergajian kayu, dedak, biji-bijian atau tepungnya, mineral dan air.

Serbuk gergajian semua jenis kayu dapat digunakan untuk media jamur. Serbuk gergajian yang berasal dari kayu tidak awet (kelas awet III, IV, V) dapat digunakan langsung sebagai media. Jenis kayu yang baik untuk digunakan antara lain sengon (P. falcataria), karet (Hevea brasiliensis), pulai (Toona sureni) (Suprapti 1993). Serbuk gergajian sebaiknya telah dikeringkan, dipilih yang berukuran sedang, yaitu yang tidak terlalu lembut dan tidak terlalu kasar atau sekitar 20-60 mesh. Serbuk gergajian yang berasal dari kayu awet (kelas awet I, II) seperti jati (Tectona grandis) memerlukan pengomposan beberapa hari sebelum digunakan.

Dedak yang ditambahkan ke media sebaiknya dedak yang halus dan masih segar, karena penggunaan dedak yang sudah terkontaminasi atau dihinggapi hama dapat menimbulkan jamur lain. Banyak dedak yang ditambahkan sebesar 10,0-20,0 % (Suprapti 1988).

Biji-bijian yang dapat digunakan diantaranya sorgum, jewawut, millet, beras, jagung dan gandum yang berupa butiran maupun yang sudah digiling. Banyaknya sekitar 20,0 % yang terdiri atas dedak dan biji-bijian (Suprapti dan Djarwanto 1995 dalam Suprapti 2000).

Pupuk yang ditambahkan dapat berupa pupuk buatan seperti trisodium fosfat, dan ZA maupun pupuk organik seperti daun-daun dari famili Leguminoceae. Pupuk yang ditambahkan sebaiknya kurang dari 0,5% (Suprapti 1989).

Mineral kalsium yang ditambahkan ke dalam media antara lain gips, kapur, kalsium karbonat, dan kalsium difosfat. Dalam pembuatan media secara langsung, kapur yang ditambahkan berkisar 1,0-1,5 %. Jika media asam maka

(24)

ditambahkan kapur, jika media basa maka dapat ditambahkan gips, sedangkan jika media netral dapat dicampurkan kapur dan gips.

Menurut Suprapti (2000) air yang ditambahkan merupakan air bersih seperti air sumur, air gunung atau air suling. Banyaknya air yang ditambahkan tergantung pada bahan medianya.

Pengemasan Media Pertumbuhan Jamur. Cara kerja pengemasan dapat dilaksanakan sebagai berikut: (1) bahan media dicampurkan hingga homogen kemudian ditambahkan air hingga dapat dikepal; (2) media dimasukkan ke dalam kantong PVC tahan panas sambil agak dipadatkan dan dibentuk seperti botol dengan memberi leher paralon, bambu atau plastik, kemudian disumbat dengan kapas, kain atau gabus. Sumbat tersebut dilapisi dengan kertas atau plastik dan diikat dengan karet gelang.

Sterilisasi. Sterilisasi berguna untuk membunuh mikroorganisme lain yang tidak dikehendaki. Sterilisasi dengan menggunakan autoklaf pada suhu 1210C, tekanan 1 atm, selama 30 menit. Jika menggunakan steamer (drum pengukus) memerlukan waktu lebih lama karena suhu dan tekanannya kurang tinggi. Jika menggunakan steamer ukuran besar dengan suhu 75-900 C maka lama pemanasan 6-8 jam (Suprapti 2000).

Inokulasi atau pembibitan. Inokulasi adalah memasukkan bibit jamur ke dalam media secara aseptik di ruang steril. Spatula atau sendok kecil serta pinset dan tangan dibersihkan dengan larutan desinfektan. Mulut media dan juga mulut wadah bibit jamur dibuka, dipanaskan lalu ditutup kembali. Spatula dipanaskan kemudian bibit dipindahkan ke dalam media dan selanjutnya disimpan di ruang inkubasi (Suprapti 2000).

Inkubasi. Inkubasi, yaitu penyimpanan media yang telah diinokulasi di ruang tertentu yang bersuhu kurang lebih 250C atau pada suhu kamar sampai terlihat putih di seluruh permukaan kantung plastik. Media diletakkan berjejer dan rapat di rak bertingkat.

Penumbuhan Tubuh Buah Jamur. Setelah media dipenuhi miselium jamur (3-4 minggu setelah inokulasi), kantong media dirobek pada bagian atas atau leher untuk memberi kesempatan tubuh buah untuk tumbuh, kemudian dikultivasi.

(25)

Pemeliharaan. Langkah-langkah pemeliharaan atau penanaman jamur tiram meliputi pembuatan atau perbaikan rumah jamur, perawatan miselium dan tubuh buah, serta panen dan pasca panen. Kondisi lingkungan di dalan ruang penumbuh jamur dipertahankan agar optimal. Media disimpan dalam ruangan yang bersuhu antara 20-300C dengan ventilasi cukup dan sedikit cahaya. Kelembaban ruang diusahakan terjaga dengan menyemprotkan air bersih secara berkala dengan menggunakan sprayer atau alat penyemprot yang lembut.

Pemanenan. Jamur dipanen apabila tubuh buah jamur telah masak petik, umumnya umur tiga hari setelah nampak primordia (bakal jamur). Pemanenan dilakukan dengan cara mencabut semua tubuh buah jamur sampai ke akarnya dengan menggunakan tangan bersih (steril). Tubuh buah jamur dibersihkan dari media yang menempel, dan dihilangkan pangkal tangkainya (Suprapti 2000).

Panen dapat dilakukan antara 4-8 kali, tergantung pada kandungan substrat tanam, bibit jamur, serta lingkungan selama pemeliharaan. Keberhasilan budidaya jamur ditentukan oleh nilai EB, semakin tinggi nilai EB, semakin baik budidaya jamur tersebut (Suriawiria 2002).

(26)

III. BAHAN DAN METODE

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2005–Mei 2006, di Laboratorium Patologi Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

B. Bahan dan Alat Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah isolat Pleurotus sp.6 yang tubuh buahnya berwarna pink dan Pleurotus sp.9 yang tubuh buahnya berwarna abu-abu (koleksi Laboratorium Patologi Hutan IPB), serbuk gergajian kayu sengon (P. falcataria), dedak, gips (CaSO4), kapur (CaCO3) dan air (H2O).

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah plastik PP (polypropilen), kapas, ring (cincin) plastik, kertas penutup, kertas label, ayakan (penyaring serbuk), laminar air flow, kompor, drum kukusan, sprayer, oven, penggaris, alat tulis, timbangan digital dan kamera digital.

C. Prosedur Penelitian

1. Pembuatan Media dan Inokulasi Bibit

Untuk pembuatan bibit, isolat Pleurotus sp.6 dan sp.9 yang ditumbuhkan pada media MEA diinokulasikan pada media bibit dalam botol yang berisi sorgum 23%, dedak 3%, kapur 0,4% dan serbuk gergajian kayu sengon 73,6% serta air secukupnya. Selanjutnya biakan tersebut diinkubasi sampai miselium tumbuh memenuhi media bibit dalam botol. Setelah bibit penuh, bibit diinokulasikan pada media serbuk gergajian kayu sengon yang terdiri dari 82,5%, 15% dedak, 1,5% gips, 1% kapur dan air secukupnya. Semua bahan dicampur secara merata sampai kadar airnya lebih kurang 70%. Sebanyak 400 gram media dimasukkan ke dalam kantong plastik dan disterilisasi dalam drum kukus selama 7 jam. Media serbuk gergajian kayu sengon yang sudah diinokulasi dengan bibit disimpan di ruang inkubasi selama fase vegetatif. Kantong yang sudah dipenuhi dengan miselium selanjutnya disimpan di ruang pemeliharaan selama fase reproduktif. Percobaan ini dilakukan dengan 15 kali ulangan. Apabila tubuh buah jamur yang muncul

(27)

telah masak petik, maka dilakukan pemanenan. Pemanenan dilakukan dengan cara mencabut semua tubuh buah jamur dari akarnya dengan menggunakan tangan ataupun alat pemotong yang bersih. Pemanenan juga dilakukan pada tubuh buah jamur muda yang terdapat pada satu rumpun agar tidak menimbulkan kebusukan atau kontaminasi. Tubuh buah yang sudah dipanen dibersihkan dari media ataupun kotoran-kotoran yang masih menempel, lalu dilakukan penimbangan bobot tubuh buah segar dan pengukuran morfologi tubuh buahnya yang meliputi diameter tudung terbesar, diameter tudung terkecil, diameter tangkai, panjang tangkai dan jumlah tudung.

Media yang telah dipanen disimpan kembali di ruang pemeliharaan dan disiram sampai tubuh buahnya muncul dan panen kembali. Tahapan selanjutnya seperti pada panen pertama dilakukan sampai panen ke empat.

2. Pengamatan Pertumbuhan Pada Media Serbuk Gergajian Kayu Sengon

Waktu dari inokulasi sampai panen ke empat. Pengamatan pertumbuhan dilakukan setiap hari, bertujuan untuk melihat bobot basah, lama fase vegetatif dan reproduktif. Lama fase vegetatif adalah lama waktu inkubasi dari awal inokulasi sampai dengan miselium penuh. Lama fase reproduktif adalah lama waktu inkubasi setelah miselium penuh sampai panen tubuh buah dan substrat habis, pada penelitian ini dilakukan sampai 4 kali panen.

Bobot Jamur dan Efisiensi Biologi (EB). Untuk penentuan bobot basah tubuh buah jamur, bobot yang diperoleh merupakan hasil penimbangan semua bagian tubuh buah yang ada dalam media produksi berupa batang (stem), tudung (cap) beserta akar-akarnya yang telah dibersihkan selama empat kali panen. Tiap isolat terdiri atas 15 ulangan. Untuk mengukur nilai EB digunakan rumus sebagai berikut: (Madan et al., 1987)

EB = Bobot basah tubuh buah jamur segar x 100%

(28)

3. Pengamatan Makroskopik

Pengamatan dilakukan dengan mengukur diameter tudung terbesar dan terkecil, diameter tangkai dan panjang tangkai Pleurotus spp. pada saat tubuh buah dipanen, dengan menggunakan penggaris. Pengamatan jumlah tudung Pleurotus spp. dilakukan dengan menghitung jumlah tudung yang ada pada saat tubuh buah dipanen baik yang berukuran besar ataupun yang masih kecil.

4. Analisis Data

Analisis statistik dilakukan untuk mengetahui perbedaan kedua jenis isolat. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Pengolahan data menggunakan aplikasi komputer program SPSS 15.0.

(29)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Keberhasilan penumbuhan dan budidaya Pleurotus spp. sangat ditentukan oleh kualitas media tanam, proses budidaya, faktor lingkungan dan kualitas bibit yang digunakan. Selain beberapa faktor tersebut, keberhasilan juga tidak terlepas dari persiapan bahan baku media termasuk kualitas serbuk kayu yang digunakan, pencampuran bahan-bahan tambahan, teknik penanaman, pemeliharaan tanaman hingga penanganan pada saat masa panen dan pascapanen (Kushendrarini 2003). Serbuk gergajian kayu yang digunakan adalah serbuk gergajian kayu sengon yang diperoleh dari tempat penggergajian kayu. Agar terhindar dari kontaminasi mikroorganisme lain dan terjaga kualitasnya serbuk gergajian disimpan pada tempat kering dan diayak terlebih dahulu sebelum digunakan.

Pleurotus spp. dalam pertumbuhan dan perkembangannya dipengaruhi oleh suhu, kelembaban, kandungan O2 dan CO2, imbangan C/N, mineral jumlah substrat dan populasi awal inokulum. Suhu dan kelembaban pada saat pengamatan fluktuatif diduga karena kondisi tempat pengamatan yang kurang mendukung. Untuk menjaga suhu dan kelembaban dilakukan perlakuan dengan menyemprotkan air bersih secara berkala dengan menggunakan sprayer.

A. Pertumbuhan Isolat Pleurotus spp. Pada Media Serbuk Gergajian Kayu Sengon

Hasil penelitian menunjukkan faktor isolat berpengaruh nyata terhadap fase vegetatif dan fase reproduktif. Pleurotus sp.6 mempunyai fase vegetatif pada substrat serbuk gergajian kayu sengon paling singkat (11,0 hari) dan pada Pleurotus sp.9 lebih lama (28,0 hari). Begitu juga fase reproduktif, Pleurotus sp.6 membutuhkan waktu 166,0 hari dan pada Pleurotus sp.9 lebih lama (206,5 hari) (Tabel 2).

Tabel 2 Nilai rata-rata lama fase vegetatif dan fase reproduktif Pleurotus sp.6 dan Pleurotus sp.9

Fase reproduktif (hari) Isolat vegetatif Fase

(hari) Panen 1 Panen 2 Panen 3 Panen 4

Total fase reproduktif

(hari)

Pleurotus sp.6 11,0 9,6 66,7 51,2 38,5 166,0a

Pleurotus sp.9 28,0 61,7 45,7 49,8 49,7 206,5b

(30)

Pleurotus spp. mempunyai fase vegetatif pada substrat gergajian kayu sengon antara 14,0-19,5 hari, dan fase reproduktif antara 112,5-156,0 hari dengan jumlah panen antara 4-6 kali panen. Perbedaan yang cukup besar antara lama fase vegetatif dan reproduktif diduga dipengaruhi oleh kemampuan genetik masing-masing isolat dalam hal menghasilkan enzim-enzim untuk memecah struktur senyawa karbon dan nitrogen, sehingga pada satu isolat memerlukan waktu yang lebih lama untuk memecah senyawa tersebut. Hal ini juga menunjukkan bahwa tiap-tiap isolat memiliki karakteristik yang berbeda-beda dalam mengambil nutrisi untuk pertumbuhannya (Herliyana 2007).

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini untuk fase vegetatif lebih singkat. Namun, untuk fase reproduktif lebih lama, hal ini diduga disebabkan oleh pengaruh faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban, cahaya dan pH yang kurang mendukung pertumbuhan. Kisaran suhu dan kelembaban pada saat penelitian belum sesuai dengan kondisi untuk pertumbuhan jamur yang optimum yaitu 270C (suhu pagi), 59,1% (pagi), 27,40C (suhu sore) dan 59,3% (sore). Menurut Chang dan Miles (1989) kelembaban yang dibutuhkan untuk pemunculan primordia dan tubuh buah adalah 90-100%.

Menurut Suriawiria (2002), waktu yang diperlukan untuk tiap stadium atau tingkatan daur hidup bervariasi, tergantung pada : (a) bentuk dan sifat media atau substrat tempat tumbuh; (b) lingkungan yang mendukung, lingkungan fisik (cahaya, temperatur), lingkungan kimia (kemasaman/nilai pH, kadar air), dan lingkungan biologis (kehadiran jasad lain, misalnya bakteri atau jamur liar); dan (c) jenis atau strain jamur. Dalam keadaan normal, waktu yang diperlukan dari perkecambahan spora sampai terbentuk tubuh buah rata-rata antara 1-2 bulan.

Pleurotus spp. dapat dipanen sebanyak 10-12 kali dari setiap kantong media pada satu periode penanaman selama 6-7 bulan. Dalam kondisi yang baik, Pleurotus spp. dapat dipanen sampai 16 kali. Setelah media tumbuh hanya menghasilkan tubuh buah jamur yang berukuran kecil harus diganti dengan bibit baru dari hasil pembiakan yang baik dan mutunya terjamin (Djarijah 2001).

Pleurotus sp.6 membutuhkan waktu yang sangat singkat untuk panen pertama (9,6 hari). Setelah memasuki panen ke dua, aktivitas Pleurotus sp.6

(31)

mengalami penurunan drastis, dilihat dari waktu yang cukup lama untuk panen ke dua (66,7 hari) dan panen ke tiga (51,2 hari), sedangkan pada panen ke empat Pleurotus sp.6 memerlukan waktu yang lebih cepat dari panen dua dan panen tiga (38,5 hari).

Pleurotus sp.9 memerlukan waktu cukup lama untuk panen pertama (61,7 hari), memasuki panen ke dua dibutuhkan waktu lebih cepat (45,5 hari) dan pada panen ke tiga serta ke empat lebih lama dibandingkan panen ke dua (49,8 dan 49,3 hari).

B. Bobot Basah Tubuh Buah dan Nilai Efisiensi Biologi Efisiensi biologi adalah presentase efisiensi jamur dalam menggunakan substrat untuk membentuk tubuh buah. EB yang tinggi menunjukkan kemampuan jamur yang baik dalam menggunakan media produksinya (Subowo dan Latupapua 1998).

Hasil analisis menunjukkan faktor isolat berpengaruh nyata terhadap total bobot basah tubuh buah total dan nilai efisiensi biologi (Tabel 3). Pleurotus sp.9 menghasilkan bobot basah tubuh buah total paling besar (102,1 gram) dan nilai EB yang tinggi (70,8%) dibanding Pleurotus sp.6. Hasil ini menunjukkan bahwa Pleurotus sp.9 lebih baik dalam menggunakan substrat untuk pertumbuhan dan perkembangannya dibandingkan Pleurotus sp.6.

Menurut Herliyana (2007) Pleurotus spp. mempunyai rata-rata total panen antara 97,3 gram sampai dengan 142,4 gram dan nilai EB 81,4%-119,0% pada media serbuk gergajian kayu sengon.

Tabel 3 Bobot basah tubuh buah hasil panen dan nilai EB Pleurotus sp.6 dan Pleurotus sp.9

Bobot basah tubuh buah rata-rata panen ke-

Isolat

I II III IV

Rata-rata total panen I-IV/kantong substrat

(gram) Nilai EB (%)

Pleurotus sp.6 17,2 20,7 14,8 9,7 62,5a 43,33a

Pleurotus sp.9 32,2 27,1 25,0 17,8 102,1b 70,8b

Keterangan: Nilai EB diatas merupakan rata-rata dari 4 kali panen dan 15 kali ulangan; bobot kering media produksi 144,1; Huruf yang berbeda menunjukkan nilai yang berbeda nyata (P<0,05)

(32)

Menurut Gunawan (1992), nilai EB Pleurotus spp. pada media serbuk gergajian kayu sengon dapat mencapai 52,6%. Bahkan menurut Widiastuti dan Gunawan dalam Kartika (1992) Efisiensi Biologi pada media campuran serbuk gergaji kayu sengon dengan limbah pabrik kertas mencapai 126%.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa kedua isolat mengalami penurunan bobot dari panen pertama ke panen-panen berikutnya. Hal ini diduga disebabkan oleh semakin berkurangnya nutrisi di dalam substrat serta kemungkinan dihasilkannya zat-zat metabolit sekunder yang dapat menghambat pertumbuhan jamur.

Dalam waktu 160 hari (3 kali panen) Pleurotus sp.9 mampu menghasilkan bobot basah tubuh buah total sebesar 84,3 gram sedang Pleurotus sp.6 (4 kali panen) hanya mampu menghasilkan 62,5 gram. Hal ini menunjukkan bahwa Pleurotus sp.9 lebih produktif dan baik digunakan untuk budidaya jamur, karena menghasilkan bobot basah tubuh buah, nilai EB yang lebih besar dan nilai produktifitas yang lebih tinggi.

C. Pengamatan Makroskopik Pleurotus spp.

1. Jumlah tudung Pleurotus spp.

Faktor isolat berpengaruh nyata terhadap jumlah tudung. Pleurotus sp.9 menghasilkan jumlah tudung lebih banyak (24,3 buah) dibanding Pleurotus sp.6 (15,7 buah). Faktor panen juga berpengaruh nyata terhadap jumlah tudung, pengamatan menunjukkan jumlah tudung Pleurotus sp.9 dan Pleurotus sp.6 pada panen tiga dan empat mengalami penurunan (Tabel 4). Hal ini diduga karena nutrisi yang terkandung dalam substrat semakin berkurang tiap panennya. Menurut Herliyana (2007), jumlah tudung Pleurotus spp. pada media serbuk gergajian kayu sengon berkisar antara 35,4 sampai dengan 36,0 buah.

Tabel 4 Jumlah tudung Pleurotus sp.6 dan Pleurotus sp.9

Jumlah tudung/panen (buah) Isolat

Panen 1 Panen 2 Panen 3 Panen 4

Total jumlah tudung (buah) Pleurotus sp.6 5,1 5,3 2,7 2,5 15,7a Pleurotus sp.9 7,6 7,3 5,4 3,9 24,3b

(33)

2. Diameter tudung Pleurotus spp.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa faktor isolat berpengaruh nyata terhadap diameter tudung terbesar. Pleurotus sp.9 memiliki rata-rata diameter tudung terbesar lebih tinggi (6,0 cm) dibanding rata-rata diameter tudung terkecil Pleurotus sp.6 (5,0 cm). Diameter tudung terbesar Pleurotus sp.6 mengalami kenaikan pada panen ke dua dan ke tiga, hal ini diduga merupakan pengaruh dari sedikitnya jumlah tudung yang dihasilkan pada panen ke dua dan ke tiga sehingga diameter tudung yang dihasikan semakin besar. Pleurotus sp.9 mengalami penurunan mulai dari panen dua sampai panen berikutnya (Tabel 5), diduga karena substrat sudah banyak termanfaatkan pada awal panen sehingga pada panen terakhir tubuh buah yang terbentuk lebih kecil.

Tabel 5 Rata-rata diameter tudung terbesar Pleurotus sp.6 dan Pleurotus sp.9

Rata-rata diameter tudung terbesar/panen (cm)

Isolat Panen 1 Panen 2 Panen 3 Panen 4

Rata-rata diameter tudung terbesar (cm) Pleurotus sp.6 4,1 5,3 5,8 4,7 5,0a Pleurotus sp.9 6,7 6,3 5,9 5,1 6,0b

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan nilai yang berbeda nyata (P<0,05)

Menurut Gunawan (2001), P. ostreatus memiliki tudung dengan diameter 4,0-15,0 cm atau lebih, bentuk seperti tiram, cembung kemudian menjadi rata atau kadang-kadang membentuk corong; permukaan licin, agak berminyak ketika lembap, tetapi tidak lengket; warna bervariasi dari putih sampai abu-abu, cokelat atau cokelat tua. Kisaran ukuran diameter ini sesuai dengan hasil pengukuran yaitu 5,0-6,0 cm.

Tabel 6 Rata-rata diameter tudung terkecil Pleurotus sp.6 dan Pleurotus sp.9

Rata-rata diameter tudung terkecil/panen (cm) Isolat

Panen 1 Panen 2 Panen 3 Panen 4

Rata-rata diameter tudung terkecil (cm) Pleurotus sp.6 1,3 1,8 1,2 0,9 1,3a Pleurotus sp.9 2,0 2,1 1,5 1,8 1,9b

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan nilai yang berbeda nyata (P<0,05)

(34)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor isolat dan panen berpengaruh sangat nyata terhadap diameter tudung rata-rata terkecil (Tabel 6). Pleurotus sp.9 menghasilkan diameter tudung terkecil yang lebih besar (1,9 cm) dibanding diameter tudung terkecil Pleurotus sp.6 (1,3 cm). Menurut Herliyana (2007) diameter tudung terkecil Pleurotus spp. dapat mencapai 1,6-1,9 cm.

Pertumbuhan diameter tudung rata-rata terkecil tiap panen Pleurotus sp.9 lebih fluktuatif, pada panen dua mengalami kenaikan namun pada panen tiga turun drastis. Pleurotus sp.6 mengalami kenaikan pada panen kedua dan menurun pada panen-panen berikutnya.

3. Diameter tangkai Pleurotus spp.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor isolat tidak berpengaruh nyata terhadap diameter tangkai, rata-rata diameter tangkai yang dihasilkan antara kedua isolat tidak berbeda nyata yaitu berkisar 1,0-1,2 cm. Menurut Gunawan (2001), tangkai Pleurotus biasanya pendek, kokoh, dan tidak di pusat lateral (tetapi kadang-kadang di pusat), gemuk, padat, kuat, kering, dan umumnya berambut atau berbulu kapas paling sedikit di dasar. Menurut Herliyana (2007), diameter tangkai Pleurotus spp. hasil kultivasi berkisar antara 0,38 sampai dengan 1,85 cm.

Tabel 7 Rata-rata diameter tangkai Pleurotus sp.6 dan Pleurotus sp.9

Rata-rata diameter tangkai/panen (cm) Isolat

Panen 1 Panen 2 Panen 3 Panen 4

Rata-rata diameter tangkai(cm)

Pleurotus sp.6 1,2 1,3 1,1 1,0 1,2a

Pleurotus sp.9 1,2 1,3 1,2 1,0 1,1a

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0,05)

Faktor panen berpengaruh nyata terhadap diameter tangkai. Diameter tangkai kedua isolat pada panen kedua mengalami kenaikan sedangkan pada panen selanjutnya keduanya mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena nutrisi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan semakin berkurang tiap panennya sehingga tubuh buah yang dihasilkan semakin mengecil.

(35)

4. Panjang tangkai Pleurotus spp.

Faktor isolat tidak berpengaruh nyata terhadap panjang tangkai, tiap isolat mempunyai panjang tangkai yang tidak berbeda nyata. Menurut Djarijah (2001), tangkai Pleurotus spp berkisar antara 2,0-6,0 cm. Kisaran tersebut sesuai dengan hasil pengukuran terhadap kedua isolat yaitu 2,4-2,5 cm (Tabel 8). Menurut Herliyana (2007), Pleurotus spp. mempunyai panjang tangkai berkisar antara1,0 sampai dengan 3,0 cm.

Tabel 8 Rata-rata panjang tangkai Pleurotus sp.6 dan Pleurotus sp.9

Rata-rata panjang tangkai /panen (cm) Isolat

Panen 1 Panen 2 Panen 3 Panen 4

Rata-rata panjang tangkai(cm)

Pleurotus sp.6 2,5 2,6 2,7 2,2 2,5a

Pleurotus sp.9 2,7 2,8 2,3 2,1 2,4a

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0,05).

Hasil penelitian menunjukkan faktor panen berpengaruh terhadap panjang tangkai. Panjang tangkai semakin menurun tiap panennya karena semakin bertambah panen semakin berkurang juga nutrisi yang terkandung. Panjang tangkai Pleurotus sp.6 pada panen dua dan tiga mengalami peningkatan, sedangkan Pleurotus sp.9 cenderung semakin menurun dari panen ke dua sampai panen ke empat.

(36)

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa fase vegetatif dan fase reproduktif Pleurotus sp.6 lebih singkat dibanding fase vegetatif dan fase reproduktif Pleurotus sp.9.

Bobot basah tubuh buah kedua isolat mengalami penurunan dari panen pertama ke panan-panen selanjutnya. Hal ini diduga disebabkan oleh kandungan nutrisi media yang semakin berkurang serta kondisi lingkungan yang kurang mendukung.

Bobot basah tubuh buah total dan nilai Efisiensi Biologi terbesar dihasilkan oleh Pleurotus sp.9. Hal ini menunjukkan bahwa Pleurotus sp.9 lebih efisien dalam menggunakan media produksi untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Pleurotus sp.9 juga menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi dibanding Pleurotus sp.6.

Pleurotus sp.9 mempunyai jumlah tudung, diameter tudung terbesar dan diameter tudung terkecil yang lebih besar dibanding Pleurotus sp.6. Diameter tangkai dan panjang tangkai yang dihasilkan oleh kedua isolat tidak berbeda secara nyata.

B.Saran

Dari hasil penelitian ini disarankan penelitian lebih lanjut terhadap jenis isolat Pleurotus spp. lainnya untuk mendapatkan jenis yang baik untuk digunakan sesuai dengan potensinya. Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan seperti suhu, pH dan kelembaban disarankan juga untuk diteliti lebih lanjut.

(37)

DAFTAR PUSTAKA

Adinata GS, Hendritomo HI. 2002. Pembibitan dan Produksi Jamur Tiram. Jakarta:

Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Bio industri.

Alexopoulos CJ, Mims CW, Blackwell M. 1996. Introductory Mycology. Ed ke-4. New York: John Willey and Sons Inc.

Chang ST, Miles PG. 1989. Edible Mushroom and Their Cultivation. Florida: CRC

Press, Inc.

Dix NJ, Webster J. 1994. Fungal Ecology. Ed ke-1. London: Chapman and Hall. Djarijah NM, Djarijah AS. 2001. Jamur Tiram Pembibitan Pemeliharaan dan Pe-

ngendalian Hama-Penyakit. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Febrina R. 2002. Karakterisasi Isolat Jamur Berpotensi Mendegradasi Lignin

[skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. IPB. Gunawan AW. 2001. Usaha Pembibitan Jamur. Bogor: Penebar Swadaya. Hadi S. 1989. Patologi Hutan dan Perkembangannya di Indonesia. Bogor: Fakul-

tas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Hendritomo HI. 2002. Biologi Jamur Pangan. Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pene-

rapan Tekhnologi Bio Industri.

Herliyana EN. 2007. Potensi Ligninolitik Jamur Pelapuk Kayu Kelompok Pleurotus

[disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. IPB

Kartika L. 1992. Pertumbuhan Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) (Jaqc. Ex.

Fr) Kummer pada Campuran Serbuk Gergajian Kayu Jeunjing dan Tongkol

Jagung. [skripsi]. Bogor: FMIPA. IPB.

Kaul TN. 1997. Introduction to Mushroom Science. New Hampshire: Science Pub-

(38)

Kushendrarini P. 2003. Analisis Budidaya untuk Peningkatan Produksi Jamur tiram

Putih (Pleurotus ostreatus). [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana. IPB Madan M., Vasudevan P, Sarma S. 1987. Cultivation of Pleurotus sajor-caju on

Different Wastes. J Biologic Wastes 22:241-250.

Mulyono AM. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ed ke 3. Jakarta: Balai Pustaka.

Pelezar MJJr, Chan ECS. 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Volume ke-1,2. Hadioetomo RS, Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL, penerjemah; Jakarta: UI Pr. Terjemahan dari: Elements of Mirobiology.

Ramdhani M. 2000. Studi Pemanfaatan Fungi Pelapuk Putih Dalam Proses Biodelignifikasi Limbah Kayu Sengon. [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi

Pertanian. IPB.

Ramdhani MA. 1994. Biopulping, Pemanfaatan Fungi White Rot Sebagai Rekayasa Proses Alternatif Industri Pulp Dengan Bahan Baku Kayu Sengon. [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. IPB.

Suhardiman P. 1989. Jamur Kayu. Jakarta: Penebar Swadaya.

Suriawiria, U. 1986. Pengantar untuk Mengenal dan Menanam Jamur. Bandung: Penerbit Angkasa.

Suriawiria U. 2001. Sukses Beragrobisnis Jamur Kayu Shiitake, Kuping dan Tiram.

Jakarta: Penebar Swadaya.

Suriawiria U. 2002. Budidaya Jamur Tiram. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Suprapti S. 1987. Pembudidayaan Jamur Tiram Putih (Pleurotus osteratus) dengan

Media Limbah Kayu. J Peneliti Hasil Hutan 4 (3): 50-53.

Suprapti S. 1988. Pengaruh Penambahan Dedak Terhadap Produksi Jamur Tiram J Peneliti Hasil Hutan 5 (6): 337-339.

Suprapti S. 2000. Petunjuk Teknis Budidaya Jamur Tiram pada Media Serbuk Gergaji. Bogor: Pusat Penelitian Hasil Hutan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan.

Yuniasmara C, Muchrodji, Bakrun M. 2001. Jamur Tiram. Penebar Swadaya. Jakarta.

(39)

Gambar Lampiran 1. Bagan alir proses pembuatan media serbuk gergajian kayu sengon

Bahan media serbuk gergajian kayu sengon Serbuk gergajian kayu sengon : 82,5% Dedak/bekatul : 15%

Gips(CaSO4) : 1,5% Kapur (CaCO3) : 1,0%

Air : Secukupnya

Dicampur sampai rata

Pengemasan media serbuk gergajian ke dalam plastik polypropilen

Sterilisasi/pengukusan media selama 7 jam dalam drum kukusan

Inokulasi bibit ke media serbuk gergajian kayu sengon

Inkubasi (penyimpanan) dan pemeliharaan media serbuk gergaji sengon

(40)

A B

C D

Gambar Lampiran 2. (A) Pleurotus sp.6 pada fase vegetatif (B) Pleurotus sp.6 pada fase reproduktif (C) Pleurotus sp.9 pada fase vegetatif dan (D) Pleurotus sp.9 pada fase reproduktif.

(41)

Tabel Lampiran 3. Rekapitulasi data jumlah tudung dua isolat Pleurotus spp..

Keterangan: Σ = Jumlah

X = Rata-rata

Jumlah Tudung Dua Isolat Jumlah tudung (cm) Isolat Ulangan 1 2 3 4 Total/media Pleurotus sp.6 1 7 8 3 2 20 2 5 7 4 3 19 3 4 7 3 3 17 4 4 8 6 5 23 5 5 9 3 2 19 6 7 8 3 3 21 7 5 4 2 2 13 8 4 4 2 2 12 9 6 5 1 1 13 10 7 2 1 3 13 11 5 3 2 2 12 12 6 3 2 3 14 13 4 5 2 2 13 14 4 4 2 3 13 15 4 3 5 2 14 Σ 77 80 41 38 23 X 5,1 5,3 2,7 2,5 12 Pleurotus sp.9 1 10 8 6 4 28 2 10 7 4 3 24 3 10 14 7 4 35 4 8 10 7 4 29 5 6 8 4 4 22 6 6 8 6 3 23 7 6 8 6 4 24 8 7 11 6 5 29 9 6 6 6 5 23 10 8 4 5 2 19 11 7 4 3 4 18 12 8 4 4 2 18 13 8 5 6 4 23 14 9 8 6 6 29 15 6 5 5 5 21 Σ 115 110 81 59 35 X 7,6 7,3 5,4 3,9 18

(42)

Tabel Lampiran 4. Rekapitulasi data diameter tudung terbesar Pleurotus spp..

Diameter tudung terbesar (cm) Total/kantong

Isolat Ulangan 1 2 3 4 Pleurotus sp.6 1 5,4 8,0 4,2 4,5 22,1 2 4,3 3,2 7,3 5,5 20,3 3 4,0 4,2 5,9 4,3 18,3 4 3,9 4,5 6 5,0 19,4 5 3,8 5,2 6 4,7 19,7 6 5,8 3,9 4,3 4,6 18,6 7 3,8 7,0 7,5 4,6 22,9 8 3,9 6,4 5,5 5,1 20,9 9 3,8 5,5 9 4,3 22,6 10 5,3 5,3 4,6 5,3 20,5 11 3,4 4,7 5,6 4,4 18,1 12 5,1 4,5 4,2 4,5 18,2 13 3,9 5,4 4,6 4,6 18,4 14 3,3 6,5 5,3 4,5 19,5 15 3,5 5,3 7,7 4,5 20,9 X 4,1 5,3 5,8 4,7 20,0 Pleurotus sp.9 1 5,0 5,0 6,4 4,6 21,0 2 7,0 6,3 5,6 5,6 24,5 3 5,8 6,0 5,3 4,8 21,9 4 5,0 4,9 4,7 4,2 18,7 5 5,6 6,5 5,6 5,7 23,4 6 5,9 5,5 5,5 4,9 21,8 7 5,0 5,5 5,4 4,7 20,6 8 8,8 7,9 6,8 5,6 29,0 9 6,8 6,6 6,4 5,8 25,6 10 5,3 5,8 5,5 5,0 21,5 11 7,2 7,4 6,8 5,0 26,4 12 10,3 7,6 6,8 5,7 30,4 13 7,3 6,5 6,2 4,8 24,8 14 8,0 6,0 5,6 4,6 24,2 15 7,5 8,0 5,7 5,4 26,6 X 6,7 6,4 5,9 5,1 24,0 Keterangan: X = Rata-rata

(43)

Tabel Lampiran 5. Rekapitulasi data diameter tudung terkecil Pleurotus spp.

Diameter tudung terkecil (cm) Isolat Ulangan 1 2 3 4 Total/media Pleurotus sp.6 1 1,6 1,7 1,3 0,9 5,5 2 1,4 1,8 1,3 0,9 5,4 3 1,2 1,8 1,3 0,7 5,0 4 1,2 1,6 1,3 1,2 5,3 5 1,2 2,1 1,2 1,0 5,5 6 1,4 1,9 1,4 0,9 5,6 7 1,3 1,7 1,0 0,8 4,8 8 1,3 1,8 1,2 0,8 5,1 9 1,4 1,9 1,0 1,1 5,4 10 1,4 1,9 1,0 1,9 6,2 11 1,4 1,9 1,0 1,0 5,3 12 1,3 1,8 1,2 1,2 5,5 13 1,2 1,9 1,2 0,9 5,2 14 1,2 1,9 1,2 0,8 5,1 15 1,3 1,7 1,3 0,8 5,1 X 1,3 1,8 1,2 0,9 5,3 Pleurotus sp.9 1 1,8 2,1 1,4 1,6 6,9 2 2,2 2,2 1,5 1,7 7,6 3 2,0 2,3 1,6 1,8 7,7 4 2,0 2,3 1,6 1,9 7,8 5 2,3 2,1 1,7 1,8 7,9 6 2,1 2,1 1,5 1,7 7,4 7 2,0 2,0 1,4 1,7 7,1 8 2,0 2,2 1,8 1,8 7,8 9 2,1 2,1 1,8 1,8 7,8 10 2,1 2,0 1,5 2,1 7,7 11 2,1 2,1 1,4 1,9 7,5 12 2,4 2,1 1,5 1,8 7,8 13 1,8 2,2 1,6 1,8 7,4 14 1,8 2,2 1,5 2,1 7,6 15 1,7 2,0 1,5 1,6 6,8 X 2,0 2,1 1,5 1,8 7,5 Keterangan: X = Rata-rata

(44)

Tabel Lampiran 6. Rekapitulasi data diameter tangkai dua isolat Pleurotus spp.

Diameter tangkai (cm)

Isolat Ulangan 1 2 3 4 Total/baglog

Pleurotus sp.6 1 1,3 1,4 0,9 1,0 4,6 2 1,2 1,4 0,7 1,0 4,3 3 1,1 1,1 0,7 0,9 3,8 4 1,1 1,4 1,0 0,9 4,4 5 1,3 1,5 1,0 1,0 4,8 6 1,2 1,3 1,0 1,0 4,5 7 1,3 1,2 0,8 0,8 4,1 8 1,2 1,1 0,9 0,8 4,0 9 1,0 1,3 1,7 1,4 5,4 10 1,1 1,2 1,7 1,25 5,25 11 1,3 1,2 1,0 1,0 4,5 12 1,2 1,5 1,3 1,0 5,0 13 1,5 1,2 1,2 1,1 5,0 14 1,4 1,1 1,2 1,0 4,7 15 1,2 1,2 1,2 1,1 4,7 Σ 18,4 19,1 16,3 15,3 X 1,2 1,3 1,1 1,0 4,6 Pleurotus sp.9 1 1,3 1,4 1,2 0,9 4,8 2 1,3 1,2 1,4 1,0 4,9 3 1,0 1,3 1,3 1,0 4,6 4 1,0 1,3 1,2 0,9 4,4 5 1,4 1,4 1,0 0,9 4,7 6 1,0 1,3 1,1 1,0 4,4 7 1,0 1,2 1,2 1,0 4,4 8 1,5 1,4 1,2 1,0 5,1 9 1,2 1,2 1,2 1,1 4,7 10 1,5 1,3 1,3 1,0 5,1 11 1,0 1,3 1,1 1,0 4,4 12 1,6 1,3 1,2 1,2 5,3 13 1,3 1,4 1,2 1,0 4,9 14 1,2 1,3 1,2 1,0 4,7 15 1,3 2,0 1,1 1,1 5,5 Σ 18,6 20,3 17,9 15,1 5,5 X 1.2 1.35 1,19 1,0 4,8 Keterangan: Σ = Jumlah X = Rata-rata

(45)

Tabel Lampiran 7. Rekapitulasi data panjang tangkai dua isolat Pleurotus spp.

Panjang tangkai (cm)

Isolat Ulangan 1 2 3 4 Total/media (cm)

Pleurotus sp.6 1 2,2 2,5 1,5 2,0 8,2 2 2,0 2,5 2,5 2,2 9,2 3 2,3 2,5 1,5 1,4 7,7 4 2,2 2,4 3,5 3,0 11,1 5 2,6 2,5 3,7 2,3 11,1 6 2,3 2,3 1,5 2,0 8,1 7 2,4 2,5 2,5 2,3 9,7 8 2,7 2,4 1,0 1,0 7,1 9 2,6 2,6 2,5 2,0 9,7 10 2,7 3,0 4,5 3,5 13,7 11 2,3 2,5 2,5 2,3 9,6 12 3,2 2,5 2,5 2,0 10,2 13 2,2 3,0 2,5 2,5 10,2 14 2,4 2,8 3,5 2,1 10,8 15 2,7 2,5 1,8 2,3 9,3 Σ 36,8 38,5 34,5 32,9 13,7 X 2,5 2,6 2,7 2,2 9,7 Pleurotus sp.9 1 2,5 2,5 2,1 2,2 9,3 2 1,0 2,5 2,4 2,0 7,9 3 3,0 2,5 2,3 2,0 9,8 4 2,8 2,5 2,4 2,0 9,7 5 2,4 2,6 2,0 2,0 9,0 6 2,3 2,6 2,2 2,1 9,2 7 2,2 2,8 2,2 2,0 9,2 8 4,0 3,7 2,6 2,3 12,6 9 3,0 3,0 2,5 2,3 10,8 10 2,5 2,4 2,1 2,0 9,0 11 3,0 2,5 2,3 2,1 9,9 12 2,0 3,1 2,4 1,7 9,2 13 3,2 3,0 2,5 2,3 11,0 14 3,5 2,6 2,6 2,1 10,8 15 3,0 3,0 2,3 2,0 10,3 Σ 40,4 41,3 34,9 1,1 12,6 X 2,7 2,8 2,3 2,07 9,84 Keterangan: Σ = Jumlah X = Rata-rata

(46)

Tabel Lampiran 8. Rekapitulasi data bobot basah tubuh buah dan nilai EB Pleurotus spp..

Panen (gram)

Isolat Ulangan I II III IV

Total panen/kantong EB (%) Pleurotus sp.6 1 26,6 30,4 13,7 8,5 79,2 62,2 2 16,8 29,4 27,5 16,7 90,4 70,9 3 14,2 24,7 14,3 10,7 63,9 50,2 4 14,1 23,6 38,5 30,6 106,8 83,8 5 15,6 39,6 13,9 10,6 79,7 62,6 6 22,4 26,6 11,5 7,4 67,9 5,.3 7 15,2 14,6 7,8 7,1 44,7 35,1 8 14,6 15,6 7,9 6,9 45,0 35,3 9 19,3 17,3 4,3 4,2 45,1 35,4 10 23,2 12,4 11,6 10,8 58,0 45,5 11 15,4 13,3 13,5 6,4 48,6 38,2 12 18.,6 15,4 12,2 9,7 55,9 43,9 13 14,8 17,5 15,3 5,8 53,4 41,9 14 13,3 16,2 15,6 4,3 49,4 38,7 15 14,5 13,5 15,1 5,6 48,7 38,2 X 17,2 20.,7 14,8 9,7 62,5 43,33 Pleurotus sp.9 1 30,2 25,5 22,4 15,3 93,4 58,1 2 35,3 26,5 25,7 16,4 103,9 64,6 3 33,2 32,4 29,6 17,4 112,6 70,0 4 32,6 30,4 29,6 16,5 109,3 68,0 5 32,2 35,7 28,5 15,7 112,1 69,7 6 27,5 27,8 23,5 16,7 95,5 59,4 7 25,6 27,3 24,3 17,5 94,7 58,9 8 28,9 35,5 30,6 20,1 115,1 71,6 9 26,6 35,2 31,3 21,6 114,7 71,3 10 32,5 21,3 19,6 10,6 84 52.2 11 30,3 15,2 13,5 17,7 76,7 47,7 12 50,9 21,5 19,8 11,3 103,5 64,4 13 34,4 27,6 26,6 20,7 109,3 68,0 14 37,6 26,5 25,3 29,6 119 74,0 15 25,5 17,3 24,6 19,8 87,2 54,2 X 32,2 27,1 25,0 17,8 102,1 70,8 Keterangan: X = Rata-rata

(47)

Tabel Lampiran 9. Rekapitulasi data fase vegetatif dan fase reproduktif Pleurotus spp..

Lama Panen (hari)

Isolat Ulangan Fase Vegetatif I II III IV

Masa Panen Jamur (hari) Pleurotus sp.6 1 11,0 5,0 58,0 41,0 33,0 137,0 2 11,0 5,0 58,0 40,0 31,0 134,0 3 11,0 6,0 57,0 43,0 28,0 134,0 4 11,0 6,0, 60,0 89,0 35,0 190,0 5 11,0 10,0 58,0 38,0 33,0 139,0 6 11,0 ,10,0 57,0 40,0 43,0 150,0 7 11,0 10,0 72,0 57,0 29,0 168,0 8 11,0 10,0 74,0 55,0 29,0 168,0 9 11,0 10,0 86,0 77,0 38,0 211,0 10 11,0 12,0 54,0 62,0 54,0 182,0 11 11,0 12,0 74,0 45,0 51,0 182,0 12 11,0 12,0 74,0 45,0 51,0 182,0 13 11,0 12,0 72,0 42,0 33,0 159,0 14 11,0 12,0 72,0 41,0 38,0 163,0 15 11,0 12,0 74,0 53,0 52,0 191,0 X 11,0 9,6 66,7 51,2 38,5 166,0 Pleurotus sp.9 1 24,0 49,0 45,0 58,0 53,0 205,0 2 24,0 50,0 53,0 52,0 52,0 207,0 3 24,0 52,0 50,0 54,0 49,0 205,0 4 24,0 85,0 41,0 56,0 42,0 224,0 5 24,0 48,0 46,0 54,0 54,0 202,0 6 28,0 48,0 51,0 52,0 53,0 204,0 7 28,0 48,0 51,0 53,0 52,0 204,0 8 28,0 81,0 55,0 45,0 43,0 224,0 9 28,0 48,0 33,0 41,0 35,0 157,0 10 28,0 81,0 42,0 31,0 56,0 210,0 11 32,0 93,0 39,0 29,0 56,0 217,0 12 32,0 77,0 42,0 31,0 56,0 206,0 13 32,0 77,0 42,0 72,0 44,0 235,0 14 32,0 44,0 48,0 78,0 37,0 207,0 15 32,0 44,0 48,0 41,0 57,0 190,0 X 28,0 61,7 45,7 49,8 49,3 206,5 Keterangan: X = Rata-rata

(48)

Tabel Lampiran 10. Rekapitulasi suhu dan kelembaban pada saat pengamatan (1 bulan) Waktu Pengamatan Pagi Sore Tanggal Suhu

(OC) Kelembaban (%) Suhu (OC) Kelembaban (%)

16 September 2005 27 62 27 62 17 September 2005 27 61 27 62 18 September 2005 27 61 28 63 19 September 2005 28 63 28 63 20 September 2005 27 61 27,5 62 21 September 2005 27 61 27 62 22 September 2005 26 59 27 60 23 September 2005 27 60 28 62 24 September 2005 27 60 27 59 25 September 2005 27 58 27 58 26 September 2005 27 58 27 59 27 September 2005 27,5 60 27 61 28 September 2005 27 60 27,5 62 29 September 2005 27 57 27 60 30 September 2005 27 58 28 63 1 Oktober 2005 27 57 27 61 2 Oktober 2005 27 57 27 60 3 Oktober 2005 28 62 27,5 60 4 Oktober 2005 28 61 28 63 5 Oktober 2005 28 61 27,5 62 6 Oktober 2005 27,5 60 27 61 7 Oktober 2005 27,5 59 27 60 8 Oktober 2005 27 58 27 60 9 Oktober 2005 27 58 27,5 61 10 Oktober 2005 27 57 27 60 11 Oktober 2005 27 56 27 59 12 Oktober 2005 27 56 27 59 13 Oktober 2005 27 57 26 59 14 Oktober 2005 27 58 27 60 15 Oktober 2005 26 58 27 60 16 Oktober 2005 27 59 26 61

(49)

Gambar

Tabel 1 Faktor lingkungan yang menentukan pertumbuhan jamur tiram  Parameter Pertumbuhan  Besaran
Tabel 2 Nilai rata-rata lama fase vegetatif dan fase reproduktif Pleurotus sp.6 dan               Pleurotus sp.9
Tabel 4 Jumlah tudung Pleurotus sp.6 dan Pleurotus sp.9  Jumlah tudung/panen (buah)  Isolat
Tabel 6 Rata-rata diameter tudung terkecil Pleurotus sp.6 dan Pleurotus sp.9  Rata-rata diameter tudung terkecil/panen (cm)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Slameto (1995:97-98) mengemukakan bahwa dalam proses belajar mengajar, guru mempunyai tugas untuk mendorong, membimbing, dan memberi fasilitas belajar

Dengan adanya sistem penjadwalan konsumsi listrik ini maka semua peralatan bertenaga listrik yang dibutuhkan dalam aktivitas usaha dapat berjalan dalam waktu yang

Dari pernyataan informan di atas dapat diuraikan bahwa apakah sarana dan prasarana dapat membantu dalam meningkatkan kinerja layanan di perpustakaanmerasa

hal negatif yang saya dapatkan adalah saya tidak berkonsentrasi dalam pembelajaran karena masih dalam keadaan mengantuk yang sebabkan saya kurang tidur dan kurang darah, hal

3 bertanggung jawab langsung kepada Kepala Laboratorium terkait dengan pengembangan dan pelaksanaan program kerja Laboratorium, Setiap tahun dilakukan perekrutan

Seirama dengan pertumbuhan penduduk di suatu kota akibat urbanisasi dan juga adanya peningkatan jumlah penduduk usia produktif (yang sudah atau akan memulai suatu fase kehidupan

Songon i ma nian nang roha mi Sonang nai molo rap hita nadua Uli denggan sude nang rohakki Dang jadi sirang be ra hita nadua Sai gabe ma sahat tu saur matua Sonang nai molo

Organisasi Lini dan Fungsional adalah organisasi yang masing-masing anggota mempunyai wewenang yang sama dan pimpinannya kolektif. Organisasi Komite lebih