• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang dapat dijadikan tanaman obat. Selain itu tingkat kepercayaan masyarakat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang dapat dijadikan tanaman obat. Selain itu tingkat kepercayaan masyarakat"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini, penggunaan bahan-bahan alam banyak diminati oleh masyarakat maupun industri farmasi seiring meningkatnya penyakit degeneratif dari tahun ke tahun. Hal tersebut didukung oleh kekayaan hayati flora Indonesia yang dapat dijadikan tanaman obat. Selain itu tingkat kepercayaan masyarakat terhadap efektifitas obat herbal sebagai alternatif pengobatan penyakit degeneratif kini juga semakin tinggi. Beberapa penyakit degeneratif diantaranya adalah tumor, kanker, dan hipertensi.

Hipertensi merupakan salah satu penyakit degeneratif yang perlu mendapatkan perhatian dikarenakan prevalensinya yang tinggi. Secara global, prevalensi hipertensi pada orang dewasa berusia 18 tahun keatas adalah sekitar 22% pada tahun 2014 (WHO, 2013). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki prevalensi hipertensi sebesar 25,8%. Jika saat ini penduduk Indonesia sebesar 252.124.458 jiwa maka terdapat 65.048.110 jiwa yang menderita hipertensi (Kemenkes RI, 2013). Hal tersebut merupakan masalah kesehatan dan tantangan besar bagi bangsa Indonesia.

Bentuk upaya di dunia pengobatan terhadap masalah kesehatan di atas diwujudkan melalui beberapa industri farmasi dan lembaga ilmu pengetahuan Indonesia yang kini mulai banyak mengembangkan formulasi obat antihipertensi, baik dalam bentuk kimia maupun bahan alam. Produk SKM merupakan salah

(2)

satu antihipertensi dari bahan alam berupa ekstrak herbal kombinasi yang di formulasi oleh PT. Swayasa Prakarsa bekerjasama dengan Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada. Produk SKM ini mengandung kombinasi dari ekstrak herba seledri, ekstrak daun kumis kucing, dan ekstrak buah mengkudu. Penelitian oleh Winarti (2015) menyebutkan bahwa penggunaan kombinasi ekstrak herba seledri, ekstrak daun kumis kucing, dan ekstrak buah mengkudu pada dosis 20,25 mg/kgBB dan 40,5 mg/kgBB diketahui dapat menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik pada tikus galur Sprague Dawley normal maupun yang diinduksi fenilefrin melalui metode Non Invasive Blood Pressure (Septia, 2015).

Tanaman seledri mengandung berbagai komponen senyawa aktif yang telah teridentifikasi. Apigenin merupakan salah satu komponen yang bersifat hipotensif dan berefek pada pelebaran pembuluh darah perifer (Dalimartha, 2000). Studi toksisitas akut ekstrak seledri diketahui tidak menunjukkan adanya gejala toksisitas dengan dosis mencapai 2000 mg/kgBB (Vasanthkumar & Jeevitha, 2014).

Penggunaan kumis kucing sebagai obat tradisional telah banyak digunakan dan dipercaya masyarakat sebagai obat hipertensi (Hutapea dkk., 2001), dengan salah satu kandungan senyawa kimia yaitu sinensetin (BPOM RI, 2010). Pemberian ekstrak kumis kucing dengan dosis 5 dan 10 mg/kgBB per oral pada tikus Sparague-Dawley menunjukkan aktivitas diuretik yang tergantung pada dosis dengan pembanding furosemid dan hidroklortiazida 10 mg/kgBB (Adam dkk., 2009). Dalam studi toksisitas akut oleh Abdullah dkk (2009) maupun toksisitas subkronis selama 28 hari oleh Mohamed dkk (2011) pemberian ekstrak

(3)

etanolik kumis kucing tidak memperlihatkan adanya tanda-tanda toksisitas atau kematian.

Buah mengkudu juga memiliki khasiat penyembuhan terhadap penyakit hipertensi. Salah satu kandungan kimia penting tanaman ini yaitu skopoletin (BPOM RI, 2010). Aktivitas vasodilator mengkudu sebagai antihipertensi melalui mekanisme blokade kanal kalsium maupun pelepasan kalsium dari penyimpanan intraseluler (Gilani dkk., 2010). Studi toksisitas akut ekstrak etanolik mengkudu diketahui tidak menunjukkan adanya indikasi ketoksikan (Radhakrishnan dkk., 2015). Pada toksisitas subkronis selama 90 hari menyebutkan nilai NOAEL pemberian ekstrak mengkudu lebih besar dari 6,86 g/kgBB serta tidak menunjukkan adanya perubahan signifikan pada pengukuran kadar kimia darah dan fungsi hati hewan uji (West dkk., 2009).

Diantara ketiga ekstrak yang digunakan belum ada penelitian mengenai toksisitas ekstrak dalam bentuk kombinasi. Uji toksisitas subkronis ini dilakukan mengingat banyaknya kandungan yang terdapat pada tanaman untuk pembuatan ektstrak kombinasi tersebut. Penggunaan dalam jangka waktu yang lama juga mendorong perlunya penentuan toksisitas subkronis. Meskipun dianggap aman, belum diketahui adanya kemungkinan efek yang tidak diharapkan pada tubuh akibat pemakaian lama. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi lebih jauh paparan toksikan dari berbagai macam komponen senyawa aktif bahan uji, terutama pada parameter kimia darah serta untuk mengevaluasi batas keamanan penggunaan produk tersebut di masyarakat dalam jangka panjang.

(4)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah gejala klinis dan sifat efek toksik yang ditimbulkan akibat pemejanan produk SKM secara berulang selama 90 hari dan 14 hari masa reversibilitas pada tikus jantan galur Wistar?

2. Bagaimanakah pengaruh pemejanan produk SKM secara berulang selama 90 hari dan 14 hari masa reversibilitas pada tikus jantan galur Wistar terhadap perubahan berat badan, asupan makanan, dan asupan minuman?

3. Bagaimanakah pengaruh pemejanan produk SKM secara berulang terhadap parameter kimia darah pada hewan uji selama masa perlakuan (hari ke-91) dan reversibilitas (hari ke-105)?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui gejala klinis dan sifat efek toksik yang ditimbulkan akibat pemejanan produk SKM secara berulang selama 90 hari dan 14 hari masa reversibilitas pada tikus jantan galur Wistar.

2. Mengetahui pengaruh pemejanan produk SKM secara berulang selama 90 hari dan 14 hari masa reversibilitas pada tikus jantan galur Wistar terhadap perubahan berat badan, asupan makanan, dan asupan minuman.

3. Mengetahui pengaruh pemejanan produk SKM secara berulang terhadap parameter kimia darah pada hewan uji selama masa perlakuan (hari ke-91) dan reversibilitas (hari ke-105).

(5)

D. Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu kefarmasian khususnya pada bidang uji praklinik, ilmu kedokteran, dan pengetahuan tentang uji ketoksikan subkronis.

2. Sebagai sarana pemberian informasi bagi dinas kesehatan, BPOM, perusahaan industri obat, dan bagi konsumen pengguna obat untuk mengetahui batas keamanan produk SKM pada penggunaannya untuk manusia.

3. Sebagai bahan informasi dan tambahan masukan untuk percobaan selanjutnya dalam meneliti masalah toksisitas produk SKM.

E. Tinjauan Pustaka 1. Definisi Toksikologi

Perkembangan toksikologi berawal ketika Paracelcus (1493-1541) menyatakan bahwa semua senyawa adalah racun, tidak ada satu pun yang bukan racun. Takaran (dosis) tepatlah yang membedakan antara racun dan obat (Doull & Bruce, 1986). Hal tersebut dilatarbelakangi karena pada awalnya toksikologi didefinisikan sebagai ilmu tentang racun. Kondisi itu dirasa kurang sesuai karena bahan yang tidak berbahaya pun dapat menjadi racun jika masuk kedalam tubuh dalam jumlah yang cukup.

Selanjutnya, muncul beberapa definisi-definisi baru mengenai toksikologi. Toksikologi merupakan cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang aksi berbahaya dari racun atau zat kimia berbahaya atas sistem biologi tertentu (Loomis, 1978). Racun sendiri merupakan senyawa-senyawa berbahaya yang

(6)

dapat mengakibatkan kerusakan apabila dipejankan pada makhluk hidup baik sengaja maupun tidak (Hodgson & Levi, 1997). Selain mengkaji mengenai hakikat dan mekanisme efek toksik, toksikologi juga membahas penilaian kuantitatif mengenai berat dan kekerapan efek toksik dari suatu racun (Lu, 1995).

2. Asas Umum Toksikologi

Menurut Donatus (2001), berdasarkan alur peristiwa timbulnya efek toksik terdapat empat asas umum yang perlu dipelajari dan dipahami dalam toksikologi. Pemahaman atas empat asas umum tersebut akan mempermudah dalam menghayati dasar-dasar terapi antidot guna penanggulangan keracunan, karena pada dasarnya toksikologi dikembangkan utamanya untuk mengantisipasi pengaruh toksik, pencegahan aksi toksik, serta penyembuhan keracunan yang mungkin terjadi akibat pemejanan suatu senyawa atas makhluk hidup. Asas utama tersebut diantaranya :

a. Kondisi efek toksik

Kondisi efek toksik meliputi kondisi pemejanan (kondisi paparan zat kimia) dan kondisi makhluk hidup (Donatus, 2001). Menurut Loomis (1978), kondisi efek toksik suatu senyawa merupakan berbagai keadaan atau faktor yang memiliki pengaruh terhadap efektivitas absorbsi, distribusi, dan eliminasi senyawa tersebut di dalam tubuh makhluk hidup. Kondisi tersebut akan menentukan keberadaan zat kimia secara utuh atau dalam bentuk metabolitnya di dalam sel sasaran dan efektivitas antaraksinya dengan sel sasaran.

(7)

b. Wujud Efek Toksik

Hasil akhir dari aksi dan respon tubuh terhadap racun digolongkan menjadi tiga, yaitu perubahan biokimiawi, perubahan fisiologi atau fungsional, dan perubahan histopatologi atau struktural. Berbagai perubahan ini masing-masing memiliki sifat yang khas, yaitu terbalikkan ataupun tak terbalikkan. Wujud dan sifat aksi toksik suatu zat beracun diacu sebagai respon toksik sel, jaringan, atau organ tubuh terhadap aksi toksik zat beracun tersebut (Donatus, 2001).

Sebagian besar racun yang masuk ke dalam tubuh akan ditanggapi dengan berbagai respon biokimia yang bersifat adaptif, namun apabila berlanjut akan menyebabkan perubahan atau kekacauan biokimia yang bersifat patologis. Pada umumnya, perubahan ini bersifat terbalikkan. Perubahan fungsional yaitu respon fisiologi berkaitan dengan fungsi jasmani seperti bernafas, aliran darah, kontraksi otot, keseimbangan elektrolit, dan pada umumnya perubahan tersebut bersifat terbalikkan. Kekacauan struktural terwujud akibat timbulnya luka selular melalui aksi langsung dan tak langsung sehingga dapat menuju ke perubahan morfologi yang pada akhirnya terwujud sebagai kekacauan struktural (Donatus, 2001). c. Mekanisme efek toksik

Mekanisme bagaimana racun menimbulkan efek toksiknya digolongkan menjadi tiga, yaitu berdasarkan sifat dan tempat kejadian awal (mekanisme luka intrasel dan ekstrasel), sifat antaraksi antara racun dan tempat aksinya (terbalikkan dan tak terbalikkan), dan risiko penumpukan racun dalam gudang penyimpanan tubuh (Donatus, 2001).

(8)

d. Sifat efek toksik

Efek toksik racun terdiri dari dua sifat, yaitu terbalikkan dan tidak terbalikkan. Efek toksik terbalikkan berarti setelah pemejanan dihentikan maka efek yang ditimbulkan oleh racun akan hilang. Sedangkan pada efek toksik tak terbalikkan seperti karsinoma, mutasi, efek teratogenik dan sirosis hati, maka efek toksik akan menetap atau bahkan bertambah parah walaupun pemejanan dihentikan (Donatus, 2001).

3. Uji Toksikologi

Tujuan utama dari uji toksikologi adalah mengurangi resiko terjadinya efek toksik pada manusia. Sebelum senyawa obat dipasarkan dan digunakan pada manusia, harus dilakukan uji toksisitas sehingga merupakan salah satu bagian dari uji pra klinik suatu produk. Pada umumnya uji toksikologi dilakukan pada hewan uji karena lebih menguntungkan dan lebih etis dilakukan daripada menggunakan manusia secara langsung. Meskipun demikian, ekstrapolasi dari hewan uji kepada manusia masih sering menimbulkan masalah dan perbedaan (Hodgson & Levi, 1997). Serangkaian uji toksikologi berdasarkan tolak ukur kualitatif dan kuantitatif dapat digunakan sebagai persyaratan keamanan suatu xenobiotik yang akan diproduksi dan dipasarkan kepada konsumen (Donatus, 2001).

Uji toksikologi digolongkan menjadi dua, yaitu uji ketoksikan tak khas dan uji ketoksikan khas. Uji ketoksikan tak khas adalah uji toksikologi yang dirancang untuk mengevaluasi spektrum efek toksik suatu senyawa secara keseluruhan pada berbagai macam hewan uji. Uji ketoksikan tak khas terdiri dari uji ketoksikan akut, subkronis, dan kronis. Uji ketoksikan khas merupakan uji toksikologi yang

(9)

digunakan untuk mengevaluasi efek toksik yang khas suatu senyawa pada berbagai macam hewan uji. Uji ketoksikan khas misalnya uji potensiasi, karsinogenik, mutagenik, reproduksi, kulit dan mata, dan perilaku (Loomis, 1978).

4. Uji toksisitas subkronis

Uji toksisitas subkronis merupakan uji ketoksikan suatu senyawa yang dipejankan dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu, selama kurang dari tiga bulan. Meskipun dapat dilakukan dengan durasi bervariasi, namun pada umumnya uji ketoksikan ini dilakukan selama 90 hari (Eaton & Gilbert, 2008). Uji ini dilakukan untuk mengungkapkan spektrum efek toksik senyawa uji, serta memperlihatkan apakah spektrum efek toksik berkaitan dengan takaran atau dosis (Donatus, 2001).

Uji ketoksikan subkronis termasuk golongan uji ketoksikan tak khas yang dilakukan bertujuan untuk mengestimasi kisaran dosis yang tidak menimbulkan efek toksik atau sering disebut NOAEL (No Observed Adverse Effect Level) dan mengidentifikasi lebih jauh target organ spesifik yang mungkin terkena efek toksik akibat pemejanan berulang (Eaton & Gilbert, 2008).

Hasil uji ketoksikan subkronis bermanfaat dalam memberikan informasi mengenai efek toksik utama senyawa uji beserta organ-organ sasaran yang dipengaruhinya. Uji ini juga akan memberikan informasi tentang efek toksik yang lambat berkaitan dengan takaran dosis yang tidak teramati pada uji ketoksikan akut, kekerabatan antar senyawa dalam darah dan jaringan terhadap perkembangan luka toksik, serta sifat keterbalikan efek toksik (Loomis, 1978).

(10)

5. Guideline OECD 408

OECD (Organization for Economic Co-Operation and Development) merupakan suatu organisasi yang berperan penting dalam menetapkan standar internasional tentang berbagai hal, dari pertanian, pajak hingga keamanan bahan kimia. Organisasi ini menganalisis dan membandingkan data untuk memprediksi tren masa depan sehingga tugas utamanya yaitu untuk mempromosikan kebijakan-kebijakan guna meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial seluruh masyarakat dunia (OECD, 2015). OECD sudah banyak mempublikasikan guideline untuk banyak penelitian, yang merupakan standar operasional prosedur dalam sebuah penelitian.

Pada penelitian ini, sebagai acuan digunakan pedoman berupa OECD 408 Repeated Dose 90-day Oral Toxicity Study in Rodents yang dilakukan revisi terbaru pada 21 September 1998. Guideline ini memuat informasi secara spesifik mengenai tatalaksana prosedur uji ketoksikan subkronis pemberian dosis 90 hari secara berulang pada hewan uji. Pengamatan yang dilakukan dalam uji ketoksikan subkronis meliputi :

a. Perubahan berat badan yang diperiksa paling tidak 7 hari sekali.

b. Asupan makanan dan minuman untuk masing-masing hewan atau kelompok hewan uji paling tidak 7 hari sekali.

c. Gejala-gejala klinis umum yang diamati setiap hari.

d. Pemeriksaan hematologi paling tidak diperiksa dua kali, yaitu pada awal dan akhir uji coba.

(11)

f. Pemeriksaan urin, paling tidak sekali.

g. Pemeriksaan histopatologi organ pada hewan yang mati pada masa pengujian dan pada seluruh hewan pada akhir uji coba (Donatus, 2001; Loomis, 1978; OECD, 1998).

6. Produk SKM

Gambar 1. Kapsul dan serbuk produk SKM

SKM merupakan produk herbal hasil riset Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan PT. Swayasa Prakarsa yang berfungsi membantu menurunkan tekanan darah. Produk dengan nomor batch 14.04.T1.01 ini diproduksi pada 10 Desember 2014 dan waktu kadaluarsa 10 Desember 2016. Produk ini memiliki komposisi ekstrak herba seledri 75 mg, ekstrak daun kumis kucing 75 mg, dan ekstrak buah mengkudu 75 mg.

Berdasarkan hasil penelitian Septia (2015) melalui metode Non Invasive Blood Pressure, kombinasi ekstrak herba seledri, daun kumis kucing, dan buah mengkudu diketahui dapat menurunkan tekanan darah pada tikus galur Sprague Dawley yang diinduksi fenilefrin. Pemberian dosis 20,25 mg/kgBB dari kombinasi ekstrak mampu menurunkan tekanan darah sistolik sebesar 16,10% dan

(12)

tekanan darah diastolik sebesar 19,48%, sedangkan dosis 40,5 mg/kgBB mampu menurunkan tekanan darah sistolik sebesar 15,84% dan tekanan darah diastolik sebesar 17,77% yang kedua dosis tersebut memiliki efektivitas sebanding dengan kaptopril. Efek perubahan tekanan darah pada tikus normal juga dihasilkan setelah pemberian kombinasi ekstrak berupa penurunan tekanan darah. Kombinasi ekstrak dosis 20,25 mg/kgBB menghasilkan presentase penurunan tekanan darah sistol sebesar 7,1 ± 1,8% dan tekanan darah diastol sebesar 13,8 ± 3,2%, sedangkan kombinasi ekstrak dosis 40,5 mg/kgBB menghasilkan presentase penurunan tekanan darah sistol sebesar 10,2 ± 2,6% dan tekanan darah diastol sebesar 12,3 ± 3,1% (Winarti, 2015).

7. Kumis kucing

Gambar 2. Kumis kucing (Hutapea dkk., 2000)

Klasifikasi tanaman kumis kucing adalah sebagai berikut: Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Bangsa : Tubiflorae Suku : Labiatae

(13)

Marga : Orthosiphon

Jenis : Orthosiphon stamineus Benth.

(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1980).

Pada umumnya, kumis kucing memiliki kandungan kimia berupa alkaloid, saponin, flavonoid dan polifenol, zat samak, orthosiphon glikosida, minyak lemak, sapofonin, garam kalium (0,6-3,5%) dan myoinositol, serta minyak atsiri sebanyak 0,02-0,06% yang terdiri dari 60 macam sesquiterpenes dan senyawa fenolik, glikosida flavonol, turunan asam kaffeat. Hasil ekstraksi daun dan bunga kumis kucing ditemukan methylripariochromene A atau 6-(7, 8-dimethoxyethanone). Selain itu, ditemukan 9 macam golongan senyawa flavon dalam bentuk aglikon, 2 macam glikosida flavonol, 1 macam senyawa coumarin, scutellarein, 6-hydroxyluteolin, sinensetin (Van Steenis, 1975).

Secara empiris daun kumis kucing telah digunakan oleh masyarakat dalam pengobatan tradisional, antara lain sebagai peluruh air seni, mengobati batu ginjal, mengobati kencing manis, penurun tekanan darah tinggi serta mengobati encok (Hutapea dkk., 2000).

Pada prinsipnya kumis kucing digunakan sebagai diuretik, ekstrak alkohol-air dari kumis kucing memicu urinasi dan sekresi ion Na+ pada tikus. Melalui percobaan farmakologi dan uji klinis yang telah dilakukan, efek diuretik ini diduga disebabkan oleh flavonoid, mesoinositol, minyak menguap, kalium atau efek sinergis dari senyawa-senyawa tersebut (Sudarsono dkk., 2006). Dari hasil penelitian, ekstrak air dengan dosis 5 dan 10 mg/kgBB per oral pada tikus Sparague-Dawley menunjukkan aktivitas diuretik yang tergantung pada dosis

(14)

dengan pembanding furosemid dan hidroklortiazid 10 mg/kgBB namun tidak menunjukkan penurunan ion Na+ dan Cl-. Penggunaan harus berhati-hati karena terjadi peningkatan aktivitas enzim pada ginjal meskipun kecil (Adam dkk., 2009).

Dalam studi toksisitas akut, ekstrak etanolik 50% kumis kucing pada dosis 5000 mg/kg tidak memperlihatkan adanya tanda-tanda toksisitas atau kematian (Abdullah dkk., 2009). Sementara pada toksisitas subkronis, ekstrak etanolik 50% kumis kucing pada 1250, 2500, dan 5000 mg/kg selama 28 hari tidak menyebabkan kematian dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam kondisi umum, pertumbuhan, bobot organ, parameter hematologi, nilai-nilai kimia klinis, dan mikroskopis organ (Mohamed dkk., 2011).

8. Seledri

Gambar 3. Seledri (Hutapea dkk., 2001)

Tanaman yang mempunyai aroma khas ini memiliki klasifikasi sebagai berikut:

Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiosperma

(15)

Kelas : Dicotyledonae Bangsa : Umbelliflorae Suku : Umbelliferae Marga : Apium

Jenis : Apium graveolens L.

(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1980).

Selain populer sebagai sayur, lalap untuk penyedap masakan, secara tradisisonal herba seledri digunakan sebagai pemacu enzim pencernaan, peluruh air seni, dan penurun tekanan darah (Anonim, 1985). Herba seledri mengandung flavonoid, tanin, minyak atsiri, saponin, flavo-glukosida (apiin), apigen, kolin, lipase, asparagine, vitamin (A, B, dan C). Apigenin bersifat hipotensif (Dalimartha, 2000).

Seluruh bagian tanaman berefek menurunkan tekanan darah pada hewan yang dibuat hipertensi. Apigen juga diketahui berefek pada pelebaran pembuluh darah perifer. Efek hipotensif ditunjukkan oleh pemberian intravena apigenin 10 mg/kg pada anjing dan kelinci. Pemberian campuran ekstrak seledri dan madu secara oral 3 kali sehari juga telah dibuktikan adanya efek menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi. Efek penurunan tekanan darah disebabkan terjadinya stimulasi pada reseptor kimia pada “carotid body” dan “aorticarch” yang berkaitan dengan sistem saraf simpatik (Heyne, 1987).

Studi toksisitas akut ekstrak seledri diketahui tidak menunjukkan adanya gejala toksisitas dengan dosis mencapai 2000 mg/kgBB (Vasanthkumar & Jeevitha, 2014). Beberapa pengamatan toksisitas telah dilaporkan berkaitan

(16)

dengan konsumsi pucuk-pucuk seledri dengan kandungan nitrat tinggi, yaitu 3,2-7% bobot kering dapat menyebabkan menurunnya berat badan sapi di California. Informasi lain yaitu dapat menyebabkan iritasi epitel dan menimbulkan reaksi hipersensitivitas (Sudarsono dkk., 2006).

9. Mengkudu

Gambar 4. Mengkudu (Hutapea dkk., 2001)

Dalam sistem taksonomi tumbuhan, mengkudu termasuk dalam: Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Bangsa : Rubiales Suku : Rubiaceae Marga : Morinda

Jenis : Morinda Citrifolia L. (Hutapea dkk., 2001).

Secara keseluruhan mengkudu telah dilaporkan banyak mengandung mikronutrien penting seperti senyawa fenolik, asam organik dan alkaloid

(17)

(Anonim, 1985). Senyawa fenolik meliputi antrakinon (damna-canthal, morindone, dan morindin) juga aucubin, asperuosida, dan skopoletin. Senyawa alkaloid yang terkandung merupakan serotonin (Anonim, 1980).

Pengaruh hipotensif dihasilkan oleh adanya kandungan skopoletin pada buah mengkudu. Aktivitas hipotensif ini ditunjukkan melalui mekanisme yang menyurupai antihipertensi golongan Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) (Yang dkk., 2007). Sebuah laporan penelitian terbaru menunjukkan bahwa efek spasmolitik dan vasodilator ekstrak etanolik akar mengkudu dimediasi melalui blokade kanal kalsium dan pelepasan kalsium intraseluler (Gilani dkk., 2010). Studi lain juga menunjukkan bahwa efek antihipertensi dari mengkudu mungkin sebagian dimediasi oleh efek pemblokiran α1-adrenoreseptor di vas deferens tikus oleh kandungan senyawa bioaktif yaitu skopoletin dan rutin (Pandy dkk., 2010).

Studi toksisitas akut ekstrak etanolik buah mengkudu dengan dosis 2000 mg/kgBB diketahui tidak menunjukkan adanya indikasi ketoksikan serta adanya perubahan tingkah laku maupun perubahan fisiologi. Ditunjukkan dengan tidak adanya perubahan terhadap paremeter biokimia dan hematologi pada tikus Wistar albino (Radhakrishnan dkk., 2015).

10. Parameter Kimia Darah

Pemeriksaan kimia darah merupakan salah satu pemeriksaan patologi klinik untuk mengetahui apakah kadar berbagai macam zat kimia dalam darah yang digunakan tubuh berfungsi dengan baik (Widmann, 1989) serta untuk

(18)

mengevaluasi organ target spesifik dari suatu senyawa toksik dan memberikan informasi yang saling berhubungan untuk memahami proses terjadinya penyakit (Gad, 2007). Parameter kimia darah meliputi :

a. Glukosa

Glukosa merupakan bahan bakar untuk kebanyakan fungsi sel dan jaringan, oleh karena itu proses dalam menyediakan glukosa menjadi prioritas utama dari homeostasis. Terdapat berbagai macam hormon yang berperan dalam regulasi kadar glukosa dalam darah, baik pada keadaan mantap, maupun sebagai respons terhadap rangsangan. Dengan mengukur kadar glukosa dalam darah dapat diketahui apakah regulasi berhasil atau tidak, serta menandakan apakah homeostasis terganggu dilihat dari adanya penyimpangan yang jelas pada hasil pengukuran (Widmann, 1989).

Terdapat dua macam teknik yang biasanya digunakan dalam pengukuran kadar glukosa. Cara-cara kimia memanfaatkan sifat mereduksi molekul glukosa yang tidak spesifik. Pada cara-cara enzimatik, glukosa oksidase bereaksi dengan substrat spesifiknya yakni glukosa dengan membebaskan hidrogen peroksida yang banyaknya diukur secara tak langsung. Nilai-nilai yang ditemukan dengan cara reduksi adalah 5-15 mg/dl lebih tinggi dari yang didapat dengan cara-cara enzimatik selain glukosa juga terdapat zat-zat mereduksi lain di dalam darah (Widmann, 1989). Glukosa oksidase memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap β-D-glukosa. Sebanyak 36% dan 64% glukosa dalam cairan terdapat dalam bentuk α dan β, sehingga reaksi lengkap membutuhkan adanya mutarotasi dari bentuk α menjadi β. Prosedur ini telah banyak digunakan dalam penetapan

(19)

glukosa urin, plasma, serum dan CSF, namun pendekatan ini tidak cocok untuk penetapan glukosa dalam keseluruhan darah dikarenakan sel darah mengkonsumsi oksigen (Burtis dkk., 2008).

b. Kolesterol

Kolesterol merupakan komponen membran sel yang diperlukan untuk biosintesis hormon steroid dan asam empedu. Serum kolesterol dapat berasal dari asupan makanan serta sintesis endogen, terutama oleh hati. Hati melalui sistem biliary merupakan jalur ekskresi utama untuk kolesterol (Gad, 2007). Sumber kolesterol tersebut pertama berasal dari makanan, kedua hati dan usus mensintesis kolesterol dari senyawa-senyawa yang konfigurasi molekulnya berbeda dari kolesterol (Widmann, 1989).

Kolesterol total adalah hitungan total dari semua jenis kolesterol dalam darah. Kadar kolesterol total dalam mg/dl dan perbandingan banyak antara kolesterol bebas dan kolesterol ester sejak lama diukur untuk menilai metabolisme lemak dan fungsi hati. Analisis mengenai metabolisme lipida tersebut mendorong usaha untuk pencarian hubungan antara hasil pengukuran dengan faktor-faktor risiko kardiovaskular (Widmann, 1989).

Metode enzimatik telah menjadi metode pilihan yang sering digunakan untuk pengukuran rutin kadar kolesterol. Metode ini tepat dan akurat ketika dikalibrasi dengan tepat dan mudah diadaptasikan untuk digunakan pada analisa otomatis. Reagen kolesterol secara komersial tersedia dengan menggabungkan semua enzim dan komponen lain yang diperlukan menjadi satu reagen fotometrik. Reagen tersebut biasanya dicampur dengan 3

(20)

sampai 10-μL aliquot dari serum atau plasma, diinkubasi dalam kondisi yang terkendali untuk pengembangan warna dan absorbansi diukur umumnya pada panjang gelombang sekitar 500 nm (Burtis dkk., 2008).

c. Kreatinin

Kreatinin merupakan produk sisa nitrogen nonprotein yang bebas dari filtrasi oleh glomerulus, terbentuk dari dari pemecahan kreatin yang merupakan molekul penyimpan energi di otot dalam bentuk fosfokreatin. Konsentrasi serum kreatinin diantaranya dipengaruhi oleh masa otot namun relatif tidak dipengaruhi oleh adanya diet (Gad, 2007). Jumlah kreatinin yang disusun sebanding dengan massa otot rangka. Ginjal dapat mengekskresi kreatinin tanpa kesulitan. Kreatinin dalam darah meningkat apabila fungsi ginjal berkurang. Jika pengurangan fungsi ginjal terjadi lambat-lambat disertai massa otot yang menyusut secara berangsur, maka kemungkinan kadar kreatinin dalam serum tetap sama, meskipun ekskresi per 24 jam kurang dari normal (Widmann, 1989).

Metode penentuan kreatinin yang paling banyak digunakan adalah dengan reaksi Jaffe. Reaksi Jaffe adalah reaksi antara kreatinin dan asam pikrat pada suasana basa untuk membentuk senyawa berwarna oranye-merah. Intensitas warna yang terbentuk setara dengan kadar kreatinin dalam sampel, diukur dengan sistem fotometrik pada panjang gelombang 490-510 nm (Burtis dkk., 2008).

d. Albumin

Albumin adalah protein yang disintesis oleh liver. Kecepatan sintesis albumin utamanya dikontrol olah tekanan osmotik koloidal, serta banyaknya

(21)

intake protein. Albumin juga merupakan komponen protein pada kebanyakan cairan tubuh ekstravaskuler. Fungsi dari protein ini adalah untuk menjaga tekanan osmotik dan mengangkut berbagai molekul yang disirkulasi oleh darah. Beberapa diantaranya yaitu asam lemak bebas, fosfolipid, ion logam, asam amino, obat-obatan, hormon, dan bilirubin. Tingkat serum albumin ditentukan oleh kecepatan sintesis dan sekresi liver, pertukaran antara kompartemen intra dan ekstravaskuler, lymphatic uptake, perubahan volume distribusi, degradasi protein, dan penurunan berat badan (Friedman & Fadem, 2010; Burtis dkk., 2008).

Kadar albumin ditetapkan dengan memakai indikator-indikator yang dapat mengikatkan dirinya kepada protein (albumin), banyaknya indikator yang terikat menjadi ukuran untuk banyaknya albumin (Widmann, 1989). Kebanyakan uji laboratorium klinis terhadap kadar albumin yaitu dengan metode pengikatan warna otomatis menggunakan pewarna bromkresol hijau (BCG) atau ungu (BCP). Pewarna ini memiliki afinitas yang besar untuk albumin. Oleh karena itu tingkat pengikatan biasanya diukur dan menggambarkan konsentrasi albumin dalam sampel (Burtis dkk., 2008).

e. Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase (SGOT)

Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase (SGOT) atau aspartate aminotransferase (AST) merupakan enzim yang termasuk dalam golongan aminotransferase, yakni berperan dalam mengkatalisis penggugusan asam amino secara reversible antara asam amino dan asam alfa-keto. SGOT menyelenggarakan reaksi serupa antara alanin dan asam alfa-ketoglutamat.

(22)

SGOT lebih banyak terdapat di jantung dibandingkan di hati, selain itu juga terdapat dalam otot bergaris, ginjal, dan otak (Widmann, 1989).

Aktivitas SGOT dapat diukur secara kuantitatif dengan alat fotometer menggunakan metode kinetik GPT-ASAT (Aspartate Aminotransferase). Serum yang akan dianalisis direaksikan dengan 2-oksoglutarat dan L-aspartate di dalam larutan buffer. Oksaloasetat yang terbentuk selanjutnya diubah menjadi malat. Reaksi tersebut dikatalisis oleh enzim malat dehidrogenase (MDH) yang membutuhkan NADH dalam reaksi yang dikatalisis. NADH mempunyai serapan pada panjang gelombang 340 nm. Fotometer akan mengukur sisa NADH yang tidak bereaksi. NADH dioksidasi menjadi NAD+. Hilangnya NADH diikuti dengan mengukur penurunan absorbansi selama beberapa menit. Perubahan absorbansi per menit sebanding dengan mikromol dari NADH yang dioksidasi dan juga sebanding dengan mikromol substrat yang diubah permenit. Menurunnya aktivitas serapan menunjukkan bahwa kadar penggunaan NADH meningkat (Burtis dkk., 2008).

Penggunaan klinik dari SGOT yaitu untuk mengevaluasi kelainan hepatoselular dan kerusakan otot rangka. Kelainan di luar hati kadang-kadang juga meningkatkan aktivitas SGOT, khususnya kolaps sirkulasi, gagal jantung kongestif, dan infark jantung. Penyebabnya adalah sel-sel hati yang dekat vena sentralis dalam setiap lobulus sangat mudah dipengaruhi oleh hipoksia yang membuat sel-sel hati menderita dan aktivitas SGOT meningkat sedang. Aktivitas SGOT akan meningkat lebih banyak lagi jika terjadi infark jantung karena enzim tersebut banyak terdapat di otot jantung (Widmann, 1989).

(23)

f. Serum Glutamate Pyruvic Transaminase (SGPT)

SGPT atau alanine aminotransferase (ALT) adalah salah satu enzim yang telah banyak digunakan untuk mengevaluasi kerusakan hepatoseluler. SGPT ditemukan dalam banyak jaringan, namun konsentrasi terbesar di sebagian besar spesies adalah dalam hepatosit. Enzim ini terutama terdapat dalam sitosol, dan konsentrasi dalam sel mencapai 10.000 kali lebih besar daripada dalam serum. Secara umum, aktivitas SGPT adalah aktivitas enzim yang paling berguna untuk mengidentifikasi adanya kerusakan hepatoseluler (Gad, 2007).

Aktivitas SGPT dapat diukur secara kuantitatif dengan alat fotometer menggunakan metode kinetik GPT-ALAT (Alanin Aminotransferase). Serum yang akan dianalisis direaksikan dengan 2-oksoglutarat dan L-alanin di dalam larutan buffer. Secara spesifik, SGPT mengkatalisis pemindahan gugus asam amino dari alanin ke α-ketoglutarat dengan pembentukan glutamat dan piruvat. Piruvat yang terbentuk selanjutnya diubah menjadi laktat. Reaksi tersebut dikatalisis oleh enzim laktat dehidrogenase (LDH) yang membutuhkan NADH dalam reaksi yang dikatalisis. Substrat, NADH, dan enzim tambahan (LDH) harus hadir dalam jumlah yang cukup sehingga laju reaksi hanya dibatasi oleh jumlah SGPT. NADH mempunyai serapan pada panjang gelombang 340 nm. Fotometer akan mengukur sisa NADH yang tidak bereaksi. NADH dioksidasi menjadi NAD+. Hilangnya NADH diikuti dengan mengukur penurunan absorbansi selama beberapa menit. Perubahan absorbansi per menit sebanding dengan mikromol dari NADH yang dioksidasi dan juga sebanding dengan

(24)

mikromol substrat yang diubah permenit. Menurunnya aktivitas serapan menunjukkan bahwa kadar penggunaan NADH meningkat (Burtis dkk., 2008).

Penerapan klinik dari uji SGPT terbatas untuk mengevaluasi gangguan hepatik. Kenaikan aktivitas transaminase dalam serum menyebabkan pengaruh yang sangat penting terhadap adanya kelainan hepatik. Pada kebanyakan kelainan hepatik menunjukkan aktivitas SGPT yang lebih tinggi dibandingkan dengan SGOT. Pada kondisi inflamasi liver akut, kenaikan SGPT lebih tinggi daripada SGOT dan cenderung bertahan lebih lama (Burtis dkk., 2008).

F. Landasan Teori

Hipertensi merupakan penyakit heterogen dengan peningkatan tekanan darah arteri secara persisten, yaitu tekanan sistol > 140 mmHg atau tekanan diastol > 90 mmHg (Sukandar dkk., 2009). Pengobatan hipertensi yang dianjurkan oleh JNC VII antara lain golongan Diuretik, Beta Blocker, Calcium Chanel Blocker, Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor, dan Angiotensin II Receptor Blocker (Tjay & Rahardja, 2008). Namun, penggunaan obat herbal kini juga banyak diminati dan dipercaya masyarakat sebagai alternatif pengobatan penyakit hipertensi.

Produk SKM merupakan antihipertensi dari bahan alam yang mengandung kombinasi ekstrak herba seledri, ekstrak daun kumis kucing, dan ekstrak buah mengkudu. Penelitian oleh Adam dkk (2009) menyebutkan pemberian ekstrak kumis kucing dengan dosis 5 dan 10 mg/kgBB per oral pada tikus Sparague-Dawley menunjukkan aktivitas diuretik yang tergantung pada dosis dengan

(25)

pembanding furosemid dan hidroklortiazid 10 mg/kgBB. Berdasarkan analisis serum, pemberian ekstrak tersebut dapat meningkatkan kadar glukosa, BUN, albumin, dan kreatinin secara signifikan terhadap kontrol. Selain itu, penggunaan harus berhati-hati dikarenakan kelompok perlakuan menunjukkan adanya peningkatan aktivitas enzim pada ginjal meskipun kecil.

Profil toksisitas baik akut maupun subkronis pada masing-masing ekstrak yang digunakan sebagai bahan penyusun produk SKM menunjukkan tidak adanya indikasi ketoksikan maupun kematian. Namun, mengingat penggunaan obat antihipertensi yang umumnya relatif lama, maka diperlukan suatu uji ketoksikan subkronis untuk melihat tingkat keamanan penggunaan produk SKM dalam jangka waktu yang lebih lama. Selain itu, belum adanya penelitian toksisitas ekstrak dalam bentuk kombinasi serta adanya potensi peningkatan aktivitas enzim ginjal pada pemberian ekstrak kumis kucing menjadikan pentingnya dilakukan uji toksisitas subkronis kombinasi ekstrak pada produk SKM.

G. Hipotesis

Kombinasi ekstrak herba seledri, ekstrak daun kumis kucing, dan ekstrak buah mengkudu yang terkandung dalam produk SKM diduga tidak menimbulkan pengaruh toksik dalam uji toksisitas subkronis pada tikus jantan galur Wistar selama 90 hari perlakuan dengan parameter pengamatan gejala toksik klinis, purata kenaikan berat padan per hari (PKBP), asupan makanan, asupan minuman, dan parameter kimia darah.

Gambar

Gambar 1. Kapsul dan serbuk produk SKM
Gambar 2. Kumis kucing (Hutapea dkk., 2000)
Gambar 3. Seledri (Hutapea dkk., 2001)
Gambar 4. Mengkudu (Hutapea dkk., 2001)

Referensi

Dokumen terkait

Kerugian dan Santunan Tanah Untuk Pembangunan, Penyelesaian Masalah1. Ganti Kerugian dan Santunan Tanah Untuk Pembangunan,

Peningkatan ketuntasan belajar klasikal dan daya serap klasikal dari siklus I ke siklus II sebesar 20,02% dan 22,17% untuk hasil observasi aktifitas siswa dan

Algoritma LVQ merupakan metode pembelajaran dengan menggunakan sistem kompetisi artinya dalam proses pembelajaran neuron-neuron dalam lapisan kompetisi akan

2 Vivek Agrawal, Vikas Tripathi, Anand Mohan Agrawal Methodology for Evaluating Service Quality of Public Transport: Case of Delhi, India Journal of Supply Chain

media pembelajaran yang telah diteliti dan dinyatakan efektif dalam meningkatkan kemampuan sintaksis siswa tunarungu [4]. Sasaran dari program pendampingan dan pelatihan

Haiwan-haiwan di hutan bakau merangkumi haiwan-haiwan yang tinggal di bawah tanah seperti cacing; yang hidup di permukaan berlumpur seperti ketam rebab dan ikan belacak serta juga

Penelitian-penelitian sebelumnya belum ada yang melakukan korelasi antara kadar hepcidin serum dengan indeks massa tubuh dan ukuran lingkar pinggang pada subjek

Semangat kerja dan etos profesionalisme seorang muslim tidak hanya berkembang karena ada tuntutan realitas empirik masyarakat modern, melainkan dilandasi oleh semangat