• Tidak ada hasil yang ditemukan

Beberapa Penelitian menunjukkan bahwa penyandang disabilitas memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah (Kinasih, 2010; Perwitasari, 2012).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Beberapa Penelitian menunjukkan bahwa penyandang disabilitas memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah (Kinasih, 2010; Perwitasari, 2012)."

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

2

Beberapa Penelitian menunjukkan bahwa penyandang disabilitas memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah (Kinasih, 2010; Perwitasari, 2012). Rendahnya kesejahteraan tersebut antara lain karena mereka kurang berfungsi secara optimal (Diener, Wirtz, Biswas-Diener, Tov, Prieto, Choi, & Oishi, 2009), merasa tidak berharga (Penny, Purves, Smith, Chambers, & Smith, 1999), dan sering memiliki pengalaman emosi negatif karena keterbatasan fisiknya (Diener, Sandvik, Pavot, 2009; Seligman, 2005; Eddington & Shuman, 2008). Keterbatasan fungsi fisik mengakibatkan penyandang disabilitas kesulitan mengakses pekerjaan karena dianggap kurang produktif (Kinasih, 2010). Hal ini berdampak negatif bagi penyandang disabilitas seperti kehilangan peran, kemandirian, status, dan stabilitas keuangan (Falvo, 2005; Clifton, 2005; Sulistyorini, 2005; Bastaman, 2007). Keterbatasan ini juga memaksa penyandang disabilitas tergantung kepada orang lain dan harus mengeluarkan biaya yang lebih mahal untuk membayar perawatan atau menyediakan alat bantu (Shah & Gerber, 1997; Clifton, 2005; Varga, 1978).

Memiliki penampilan fisik yang berbeda dari orang lain membuat penyandang disabilitas rendah diri (Harter, Scott, Novak, Leeman, & Morris, 2006), memiliki konsep diri yang buruk (Kinavey, 2006; Santrock, 1995), dan kesulitan dalam berinteraksi sosial (Clifton, 2005; Harter, et al., 2006; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Hak Penyandang Disabilitas) Hasil wawancara dengan pendamping dan konselor di Balai Rehabilitasi Penyandang Disabilitas Terpadu Yogyakarta pada tanggal 21 dan 25 Maret 2013 menunjukkan bahwa penyandang disabilitas merasa dirinya kurang dicintai oleh keluarga dan masyarakat di sekitarnya, tidak bisa melakukan banyak hal sebagaimana orang normal, dan merasa bahwa penampilannya tidak menarik. Hal ini membuat mereka mengisolasi diri, malu untuk berinteraksi sosial, dan merasa dirinya tidak berharga.

Kesejahteraan menurut Diener, Wirtz, Biswas-Diener, Tov, Prieto, Choi, dan Oishi (2009), terdiri dari tiga hal yaitu pengalaman positif negatif dan negatif, pikiran positif dan negatif, serta kesejahteraan psikologis. Seseorang yang memiliki pengalaman positif negatif yang lebih banyak dibandingkan dengan

(2)

3

emosi negatifnya akan lebih sejahtera. Berpikir positif dan mengurangi pikiran negatif adalah hal yang dibutuhkan bagi seseorang untuk mencapai kesejahteraan. Ellis (dalam Corey 2001) menyatakan bahwa cara orang berpikir tentang dunia dapat mempengaruhi emosi, perasaan, dan perilaku. Seseorang dengan pikiran positif akan lebih sejahtera dibandingkan dengan orang yang berpikir negatif.

Kesejahteraan psikologis mewakili fungsi manusia yang optimal. Fungsi tersebut adalah makna dan tujuan hidup, hubungan yang saling mendukung dan menguntungkan, keterlibatan dan ketertarikan, berkontribusi terhadap kesejahteraan orang lain, kompetensi, penerimaan diri, optimis, dan respek terhadap diri dan orang lain (Diener, et al, 2009). Ryff dan Keyes (1995) menjelaskan bahwa kesejahteraan psikologis merupakan kondisi penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, pertumbuhan pribadi, memiliki tujuan hidup, penguasaan lingkungan, dan otonomi.

Kesejahteraan seseorang sangat dipengaruhi oleh kondisi kesehatan (Haworth, 1997; Harding, 2002; Seligman, 2005; Eddington & Shuman, 2008; Diener, et. al, 2009; Hoyer & Roodin, 2011). Penurunan kesehatan dan fungsi fisik seseorang menyebabkan penurunan kesejahteraan (Joshi, Kumar, & Avasthi, 2003). Faktor lain yang mempengaruhi kesejahteraan menurut Hoyer & Roodin, (2003) adalah sumber daya individu, interaksi sosial, usia, jenis kelamin, sifat, religiusitas. Eddington dan Shuman (2005) mengungkapkan faktor demografis yang mempengaruhi kesejahteraan selain kesehatan, yaitu perbedaan jenis kelamin, usia, pendidikan, pendapatan, perkawinan, kepuasan kerja, religiusitas, waktu luang, pengalaman hidup, dan kompetensi. Menurut Harding (2002) kondisi yang mempegaruhi kesejahteraan selain kesehatan adalah kondisi ekonomi, pengetahuan yang dimiliki, keamanan, kebebasan, dan kesetaraan sosial. Haworth (1997) juga mengungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan yaitu kepribadian, selera humor, pendapatan, hubungan sosial, dan rasa syukur

Mengukur kesejahteraan penting untuk dilakukan karena manfaat memiliki kesejahteraan yang tinggi mendukung kesehatan yang lebih baik, memperpanjang umur, meningkatkan usia harapan hidup, menilai kualitas hidup dan fungsi di usia

(3)

4

lanjut (Diener & Suh, 1997; Diener, et.al, 2009). Kesejahteraan dapat ditingkatkan melalui pengungkapan rasa syukur (Haworth, 1997) karena kebersyukuran memiliki korelasi yang besar dengan komponen kesejahteraan psikologis yaitu penguasaan lingkungan, pertumbuhan pribadi, hubungan positif, tujuan hidup, dan penerimaan diri (Wood, Joseph, & Maltby, 2009).

Kebersyukuran merupakan konstruksi kognitif, emosi, dan perilaku (Emmons, 2007). Kebersyukuran sebagai konstruksi kognitif adalah mengakui kemurahan dan kebaikan hati atas berkah yang telah diterima dan fokus terhadap hal positif di dalam dirinya saat ini. Sebagai konstruksi emosi, kebersyukuran adalah mengubah respon emosi pada suatu peristiwa sehingga menjadi lebih bermakna (Rosenberg dalam McCullough, Tsang, & Emmons, 2004). Emosi syukur melibatkan perasaan takjub, terima kasih, penghargaan dan kebahagiaan atas anugerah dan kehidupan yang dijalani. Kebersyukuran sebagai konstruksi perilaku yaitu melakukan tindakan balasan kepada orang lain atas manfaat dan anugerah yang telah diterima. Objek dari rasa syukur adalah Tuhan, orang lain, alam, dan lainnya (Emmons & McCullough, 2004; Wood dalam Browning, 2012). komponen kebersyukuran menurut Emmons dan Mccullough (2004) adalah apresiasi rasa terima kasih, niat baik, dan kecenderungan untuk berbuat kebajikan. Apresiasi rasa terima kasih diekspresikan oleh orang yang bersyukur kepada orang yang telah memberinya manfaat (barometer moral). Orang-orang yang bersyukur mengakui manfaat yang sangat berharga dari sebuah pemberian, melihat upaya yang tinggi dan biaya yang telah dikeluarkan untuk mereka, dan kesengajaan dalam memberikan bantuan. Niat baik merupakan dorongan orang yang bersyukur untuk memberi manfaat atau tindakan prososial kepada penerima dan pemberi atau kepada orang lain (dorongan moral). Orang yang bersyukur memiliki kecenderungan untuk berbuat kebajikan sehingga meningkatkan kemungkinan bahwa penerima akan bertindak kebajikan dimasa yang akan datang (penguat moral).

Aspek-aspek rasa syukur menurut McCullough, Emmons, & Tsang (2002) adalah intensitas (intensity), frekuensi (frequency), rentang waktu (span), dan kepadatan (density). Intensitas merupakan perasaan intens akibat emosi positif

(4)

5

dari rasa syukur. Merasakan berkah yang diterima dan berterima kasih kepada orang lain yang telah memberikan kebaikan menguatkan intensitas rasa syukur (Emmons, 2007). Frekuensi adalah seberapa sering seseorang bersyukur. Seseorang yang bersyukur setiap harinya memiliki emosi positif yang lebih besar dibandingkan dengan emosi negatif (Froh, Kashdan, Ozimkowski, & Miller, 2009). Rentang waktu merujuk pada sejumlah kondisi kehidupan dimana seseorang merasa bersyukur setiap waktunya. Rasa syukur akan semakin meningkat saat seseorang sering bersyukur tentang keluarga, pekerjaan, kesehatan, dan kehidupannya (McCullough, Emmons, & Tsang, 2002). Kepadatan menunjukkan seberapa banyak hal-hal yang disyukuri dan kepada siapa saja rasa syukur tersebut dilimpahkan. Semakin banyak hal yang disyukuri dan melimpahkannya kepada orang lain akan meningkatkan rasa syukur (Froh, YurkewicZ, & Kashdan, 2009). McCullough, dkk (2002) mengungkapkan bahwa kebersyukuran seseorang dipengaruhi oleh kepribadian dan religiusitas. Orang yang berkepribadian terbuka dan tidak pencemas (extraversion/low neuroticism) memiliki rasa syukur yang lebih tinggi. Penelitian Rosmarin, Pirutinsky, Cohen, Galler, dan Krumrei (2011) membuktikan bahwa religiusitas secara konsisten mempengaruhi kebersyukuran. Orang yang memiliki keyakinan tentang Tuhan dan menjalankan ajaran agama yang dipeluk dengan konsisten memiliki rasa syukur yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang bersyukur tanpa ada keyakinan terhadap Tuhan. Temuan ini didukung oleh penelitian Lambert, Fincham, Braitwaite, Beach, dan Graham (2009) bahwa orang-orang yang berdoa kepada Tuhan dengan frekuensi yang lebih sering memiliki kebersyukuran yang lebih tinggi.

Rasa syukur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesejahteraan seseorang (Haworth, 1997). Penelitian ilmiah membuktikan hubungan antara rasa syukur dan kesejahteraan (Wood, Froh, & Geraghty, 2010; Park, Peterson, & Seligman 2004; McCullough, Emmons, Kilpatrick, & Larson, 2001; Kashdan, Uswatte & Julian, 2006). Penelitian Emmons dan McCullough (2003) pada 385 subjek berumur 22-77 tahun yang diminta untuk membuat jurnal tentang peristiwa negatif yang dialami, hal-hal yang disyukuri, dan peristiwa kehidupan netral

(5)

6

menemukan bahwa seseorang yang menuliskan hal-hal yang disyukuri memiliki tingkat kesejahteraan subjektif yang lebih baik dan konsisten. Watkin (dalam Emmons & McCullough, 2004) mengungkapkan keterkaitan yang erat antara kebersyukuran dengan komponen kesejahteraan bahwa bersyukur merupakan pengalaman positif negatif yang akan menambah memori positif pada kognitif. Semakin sering seseorang bersyukur maka pengalaman emosi dan memori positif akan semakin banyak (recollective) kondisi ini yang disebut Diener sebagai kebahagiaan atau kesejahteraan subjektif. Pengalaman positif tersebut akan di panggil kembali (recall) saat dibutuhkan, misalnya saat menghadapi kondisi depresif. Frekuensi bersyukur yang semakin sering akan memberikan pengalaman dan emosi positif yang semakin banyak sehingga akan lebih baik dalam menghadapi kondisi depresif. Penelitian yang dilakukan oleh Miller, Bansal, Wickramaratne, Hao, Tenke, Weissman, dan Patterson (2013) menemukan bahwa orang yang bersyukur dengan landasan keimanan mengalami penebalan pada parietal, oksipital, dan lobus frontal medial di hemisper kanan dan juga di cuneus dan precuneus di hemisper kiri. Penebalan pada bagian kortex ini meningkatkan ketahanan terhadap depresi. Temuan ini didukung oleh penelitian Wood, Maltby, Gillett, Linley, dan Joseph (2008) bahwa kebersyukuran dapat menurunkan tingkat depresi. McCraty dan Childre (dalam Emmons dan McCullough, 2004) menemukan bahwa terjadi sinkronosasi antara kerja otak, emosi, dan tubuh. Saat orang bersyukur pola ritme jantung menjadi koheren yang merefleksikan kerja susunan syaraf autonom yaitu terjadi peningkatan aktifitas syaraf parasimpatik sehingga tubuh menjadi lebih tenang.

Beberapa penelitian membuktikan keterkaitan antara rasa syukur dan emosi positif. Froh, Kashdan, dan Ozimkowski (2009) melakukan penelitian tentang syukur yang melibatkan 89 subjek yang diminta untuk menulis surat terima kasih kepada seseorang secara pribadi. Hasilnya subjek yang menuliskan surat terima kasih memiliki perasaan positif dan rasa syukur yang lebih besar. Penelitian Froh, Emmons, Card, Bono, dan Wilson, (2011) yang melibatkan 1035 subjek menemukan bahwa subjek yang memiliki rasa syukur yang tinggi ternyata memiliki iri hati dan depresi yang rendah. Penelitian McCullough, Emmons, dan

(6)

7

Tsang (2002) juga mendukung temuan ini, bahwa rasa syukur yang tinggi berkorelasi positif dengan rendahnya iri hati dan depresi. Emosi-emosi positif yang muncul karena rasa syukur diantaranya adalah kemurahan hati kepada orang lain (McCullough, Kimeldorf, & Cohen, 2008), perasaan optimis menjalani kehidupan (Hyland, Whalley, & Geraghty, 2007), dan memiliki suasana hati yang lebih baik (McCullough, Tsang, & Emmons, 2004; Sheldon & Lyubomirsky, 2006).

Kebersyukuran mengarahkan seseorang untuk memandang dirinya lebih positif. Penelitian Froh, Yurkewicz, dan Kashdan (2009) dengan subjek 154 orang yang diminta mengisi lembar syukur, kepuasan hidup global, optimisme, dukungan sosial, dan perilaku prososial membuktikan bahwa rasa syukur memiliki hubungan yang kuat dengan penghargaan terhadap diri, pandangan hidup positif, dan inisiatif. Penelitian Wood, Joseph, dan Linley (2007) juga menemukan bahwa syukur berkorelasi positif dengan reinterpretasi positif, koping aktif, perencanaan hidup dan berkorelasi negatif dengan perilaku menyalahkan

Rasa syukur meningkatkan perilaku prososial (Froh, et al., 2009; Bartlett & DeSteno, 2006; Algoe, Haidt, & Gable, 2008). Penelitian Froh, Bono, dan Emmons (2010) selama 6 bulan yang melibatkan 700 subjek membuktikan bahwa kebersyukuran meningkatkan integrasi sosial, perilaku prososial dan kepuasan hidup. Penelitian-penelitian lain menemukan bahwa rasa syukur mendorong seseorang untuk melihat situasi dari sisi yang menguntungkan (Wood, Maltby, Gillett, Linley, & Joseph, 2008), orang yang bersyukur merasa puas dengan pengalaman hidupnya (Froh, Sefick, & Emmons, 2008; Chen & Kee, 2008; Lambert, Fincham, Stillman, & Dean, 2009), dan rasa syukur adalah prediktor kuat kesejahteraan seseorang (Watkin, Woodward, Stone, & Kolt, 2003).

Emmons (2007) mengungkapkan bahwa salah satu cara terbaik untuk menumbuhkan rasa syukur adalah mengingatkan diri dari karunia, rahmat, manfaat, dan hal-hal baik setiap harinya. Olson dan Hergenhahn (2009) menyatakan bahwa pengulangan yang sering dilakukan akan meningkatkan kekuatan koneksi antara situasi yang merespon dengan stimulus. Koneksi akan melemah jika praktik tidak sering dilakukan. Intervensi kebersyukuran dalam

(7)

8

penelitian ini dilakukan dengan aktivitas-aktivitas harian dan didukung dengan pertemuan kelompok. Aktivitas harian yang dilakukan adalah melakukan tugas rutin (pengulangan) yaitu, menghitung berkah, memanjatkan doa syukur, dan membaca bacaan tentang syukur. Aktivitas menuliskan surat terima kasih, berefleksi, dan berbagi pengalaman (sharing) akan dilakukan pada pertemuan kelompok. Menghitung 3-5 berkah setiap hari dan memiliki alasan mengapa hal tersebut disyukuri terbukti meningkatkan rasa syukur (Emmons, 2007; Sansone & Sansone, 2010). Menghitung berkah juga terbukti sebagai teknik yang efektif untuk terapi klinis (Wood, Froh & Geraghty, 2010), memunculkan emosi positif dan menguatkan hubungan interpersonal (Emmons & McCullough, 2003), serta meningkatkan kepuasan hidup (Froh, Sefick, & Emmons, 2008). Penelitian Lambert, Fincham, Braithwaite, Beach, dan Graham (2009) yang melibatkan 1558 subjek menemukan bahwa berdoa terbukti meningkatkan rasa syukur. Doa syukur juga terbukti memiliki manfaat psikologis (Emmons & Hill, 2001; Emmons, 2007; Sansone & Sansone, 2010; Rosmarin, et.,al 2011). Browning (2012) mengungkapkan bahwa meningkatkan kebersyukuran juga dapat dilakukan dengan membaca bacaan tentang syukur. Penelitian Seligman (2005) menemukan bahwa menuliskan surat terima kasih dan membacakannya kepada orang yang dituju terbukti meluaskan pengalaman positif negatif dan kebahagiaan. Penemuan lain membuktikan bahwa menuliskan ungkapan terima kasih kepada seseorang meningkatkan rasa syukur (Froh, Kashdan, Ozimkowski, & Miller, 2009; Sansone & Sansone, 2010), merasa bahagia (Wood, Froh & Geraghty, 2010), dan memiliki sikap lebih positif (Raggio & Folse, 2009). Emmons (2007) mengungkapkan bahwa meningkatkan rasa syukur dapat dilakukan dengan merefleksikan tiga pertanyaan pokok kepada diri sendiri tentang “Apa yang telah saya terima?”, “Apa yang telah saya berikan?”, dan “Masalah dan kesulitan apa yang telah saya lakukan?”. Pertanyaan pertama mengingatkan diri bahwa seseorang menerima pemberian dari orang lain seperti senyum, nasehat, atau pertolongan. Pertanyaan kedua terhubung pada konektifitas dengan orang lain, memberikan tanpa mengharap imbalan. Pertanyaan terakhir mendorong diri untuk berintrospeksi.

(8)

9

Bernard, Burlingame, Flores, Greene, Joyce, Kobos, Lleszcz, Semands, Piper, Mceneaney, dan Feirman (2008) mengungkapkan bahwa sharing kelompok efektif digunakan untuk proses terapi. Pendekatan ini memiliki fungsi terapiutik, saling mendukung dan menerima antar anggota kelompok (Yalom, 1985). Bernard, et al. (2008) mengungkapkan bahwa proses sharing kelompok diawali dengan membuka diri, saling mendukung dan menghargai, saling percaya sehingga menumbuhkan keterbukaan, tumbuh kerjasama terapiutik, dan akhirnya anggota kelompok mengapresiasi pengalaman kelompok tersebut. Sharing kelompok akan dilakukan tiga sesi setiap pertemuan kelompok. Peserta akan berbagi pengalaman tentang diri dan aktivitas individu selama proses penelitian.

Penelitian ini menggunakan konsep kesejahteraan menurut Diener dkk (2009) yang mengukur kesejahteraan melalui pengalaman positif negatif dan negatif, pikiran positif, dan kesejahteraan psikologis. Penulis memilih konsep ini karena lebih komprehensif dalam mengukur kesejahteraan, yaitu melihat aspek pikiran, emosi, dan keberfungsian seseorang yang merupakan modalitas manusia (Ancok, 2012; Covey, 2005). Konsep ini juga lebih baru dan merupakan pengembangan konsep pengukuran tentang kesejahteraan oleh Diener yang telah ada sebelumnya.

Kerangka kerja dalam penelitian ini dijelaskan pada gambar 1 yaitu pada tahap awal dimulai dengan mengungkap stresor seseorang menjadi penyandang disabilitas fisik. Tahap selanjutnya peneliti menjelaskan fakta bahwa penyandang disabilitas fisik memiliki fisik yang berbeda, keterbatasan fungsi fisik, ketergantungan kepada orang lain, stigma dan sikap negatif lingkungan, akses pekerjaan lebih sulit, membutuhkan biaya yang lebih mahal, dan kehilangan peran. Fakta-fakta tersebut membuat penyandang disabilitas fisik stres karena merasa menjadi beban orang lain, ketakutan akan masa depan, rendah diri, memiliki konsep diri rendah, kesulitan berinteraksi sosial, merasa kurang dicintai, dan kurang menerima diri. Kondisi-kondisi yang dialami penyandang disabilitas fisik tersebut menurunkan kesejehteraan (Joshi, Kumar, & Avasthi, 2003). Tahap selanjutnya penyandang disabilitas fisik diberikan intervensi kebersyukuran yang dilakukan dengan aktivitas harian dan aktivitas kelompok. Aktivitas harian

(9)

10

dilakukan dengan membaca bacaan tentang syukur, menuliskan 3-5 keberkahan, dan memanjatkan doa syukur. Aktivitas kelompok dilakukan dengan berefleksi tentang tiga pertanyaan pokok, yaitu “Apa yang telah saya terima?”, “Apa yang bisa saya berikan?”, dan “Apa masalah dan kesulitan yang telah saya lakukan?”, Menuliskan surat terima kasih kepada orang yang telah berjasa dalam hidup dan membacakannya, dan Sharing pengalaman.

Belajar pengalaman syukur dari penyandang disabilitas melalui membaca kisah hidupnya diharapkan akan meningkatkan kepercayaan diri penyandang disabilitas fisik dan lebih optimis menghadapi masa depan. Menghitung berkah yang diterima dan memanjatkan doa syukur sebagai sarana penerimaan diri dan memahami bahwa Tuhan mencintai dirinya. Merefleksikan diri sebagai sarana pengenalan dan pemahaman diri sehingga penyandang disabilitas fisik memiliki konsep diri yang lebih baik. Menuliskan surat terima kasih kepada orang yang berjasa atas kebaikan yang diterima dan sharing pengalaman akan menguatkan hubungan sosial dan memeliharanya. Percaya diri, optimis, penerimaan diri yang lebih baik, merasa dicintai, memiliki konsep diri yang lebih baik, dan terampil berhubungan sosial sebagai efek dari intervensi kebersyukuran akan meningkatnya kesejahteraan penyandang disabilitas fisik

(10)

11

Gambar 1. Kerangka Kerja Penelitian Keterangan

: Menyebabkan : Pemberian Intervensi : Ranah Intervensi : Diharapkan

: Intervensi Kebersyukuran : Berarti

STRESSOR

Menjadi Penyandang Disabilitas Fisik

FAKTA

 Memiliki fisik yang berbeda  Keterbatasan fungsi fisik

 Ketergantungan kepada orang lain  Stigma dan sikap negatif lingkungan  Akses pekerjaan lebih sulit

 Membutuhkan biaya lebih mahal  Kehilangan peran

STRES

 Merasa menjadi beban orang lain  Ketakutan akan masa depan  Rendah diri

 Konsep diri rendah

 Kesulitan berinteraksi sosial  Merasa kurang dicintai  Kurang menerima diri

KESEJAHTERAAN RENDAH

INTERVENSI KEBERSYUKURAN

1. Melakukan aktivitas setiap hari selama 14 hari

a. Membaca bacaan tentang syukur b. Menuliskan 3-5 keberkahan c. Memanjatkan doa syukur 2. Aktivitas kelompok

a. Berefleksi tentang tiga pertanyaan pokok, yaitu “Apa yang telah saya terima?”, “Apa yang bisa saya berikan?”, dan “Apa masalah dan kesulitan yang telah saya lakukan?” b. Menuliskan surat terima kasih kepada

orang yang telah berjasa dalam hidup dan membacakannya

c. Sharing pengalaman 3.

 Belajar pengalaman syukur dari penyandang disabilitas lain melalui membaca akan meningkatkan kepercayaan diri dan lebih optimis menghadapi masa depan

 Menghitung berkah yang diterima dan memanjatkan doa syukur sebagai sarana penerimaan diri dan memahami bahwa Tuhan mencintai dirinya

 Merefleksikan diri sebagai sarana pengenalan dan pemahaman diri sehingga memiliki konsep diri yang lebih baik

 Menuliskan surat terima kasih kepada orang lain atas kebaikan yang diterima dan sharing pengalaman akan menguatkan hubungan sosial dan memeliharanya

(11)

12

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh intervensi kebersyukuran dalam meningkatkan kesejahteraan penyandang disabilitas fisik. Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh intervensi kebersyukuran terhadap kesejahteraan penyandang disabilitas fisik yaitu meningkatnya pengalaman emosi positif, kesejahteraan psikologis, dan pikiran positif pada kelompok eksperimen dibandingkan dengan kelompok kontrol. Semakin tinggi kebersyukuran akan diikuti oleh semakin meningkatnya pengalaman emosi positif, kesejahteraan psikologis, dan pikiran positif sebagai indikator kesejahteraan.

Metode

Subjek

Subjek dalam Penelitian ini berjumlah 13 orang. 8 orang adalah penyandang disabilitas fisik (tuna daksa) di Balai Rehabilitasi Terpadu Penyandang Disabilitas (BRTPD) Yogyakarta sebagai kelompok eksperimen dan 5 orang penyandang disabilitas di Yayasan Penyandang Cacat Mandiri Craft (YPCM) Sewon Bantul sebagai kelompok kontrol yang memenuhi kriteria inklusi, yaitu laki-laki atau perempuan penyandang disabilitas fisik kecuali tuna rungu dan tuna netra, bukan merupakan penyandang disabilitas ganda, mampu membaca dan menulis, mampu berkomunikasi dengan cukup baik, memiliki skor kebersyukuran dan kesejahteraan yang rendah dan sedang, bersedia menjadi responden dengan menandatangani surat persetujuan. Kriteria eksklusi adalah subjek yang sedang atau pernah mendapatkan pelatihan atau perlakuan psikologis karena dapat mempengaruhi hasil intervensi

Pengukuran

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur variabel dependen adalah adaptasi skala kesejahteraan yang susun oleh Diener dkk (2009) yaitu skala pengalaman positif dan negatif (Scale of Positive And Negative Experience atau SPANE) yang mengungkap tentang emosi positif dan negatif, skala kesejahteraan psikologis (Psychological Well-Being Scale atau PWB) untuk mengukur makna

(12)

13

dan tujuan hidup, hubungan yang saling mendukung dan menguntungkan, keterlibatan dan ketertarikan, kontribusi terhadap kesejahteraan orang lain, kompetensi, penerimaan diri, optimis, dan respek terhadap diri dan orang lain. Skala pikiran positif (Positive Thinking Scale atau PTS) untuk mengukur pikiran dan persepsi positif dan negatif.

Uji reliabilitas skala dilakukan terhadap 37 penyandang disabilitas di Balai Rehabilitasi Terpadu Penyandang Disabilitas (BRTPD) Yogyakarta dan Pusat Rehabilitasi Yakkum (PRY) Yogyakarta. Azwar (2013) menyatakan bahwa korelasi item total yang memiliki koefisien korelasi lebih atau sama dengan 0,30 daya bedanya dianggap memuaskan, tetapi dapat diturunkan menjadi 0,25 untuk memenuhi item yang dibutuhkan. Koefisien reliabilitas alat ukur dituntut setinggi mungkin tetapi terkadang koefisien yang tidak begitu tinggi masih dapat dianggap cukup berarti pada alat ukur yang digunakan bersama-sama dengan alat ukur yang lain dalam suatu pengukuran. Toleransi koefisien reliabilitas alat ukur adalah lebih dari 0,70. Jumlah item skala pengalaman positif negatif adalah 12 item dengan korelasi item total antara 0,264 - 0,649 dan koefisian reliabilitasnya sebesar 0,774. Jumlah item skala kesejahteraan psikologis adalah 8 item tidak ada item yang gugur dengan korelasi item total berkisar antara 0,324 – 0,699 dan koefisian reliabilitasnya sebesar 0,780. Jumlah item skala pikiran positif adalah 10 dari 22 item dengan korelasi item total antara 0,313 – 0,578 dan koefisien reliabilitasnya sebesar 0,752. Skala pikiran positif tetap memenuhi aspek-aspek pikiran positif meskipun 12 item gugur.

Pengukuran variabel independen menggunakan modifikasi Gratitide Questionnaire Six Form (GQ-6) yang disusun oleh McCullough dan Emmons (2002) berdasarkan intensitas, frekuensi, dan kepadatan bersyukur. Skala ini untuk mengetahui tingkat kebersyukuran sehingga sesuai dengan kriteria inklusi sebagai subjek penelitian dan memonitoring skor syukur subjek sebelum dan setelah mendapatkan perlakuan. Jumlah item skala kebersyukuran setelah uji coba adalah 5 dari 8 item dengan korelasi item total antara 0,323 – 0,708 dan koefisien reliabilitasnya sebesar 0,747. Skala kebersyukuran tetap memenuhi aspek-aspek kebersyukuran meskipun 3 item gugur.

(13)

14

Desain dan Prosedur Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain untreated control group design with dependent pretest and posttest samples (Shadish, Cook & Campbell, 2002). Penelitian ini melibatkan dua kelompok yaitu (1) kelompok eksperimen merupakan kelompok yang mendapatkan perlakukan, dan (2) kelompok kontrol merupakan kelompok daftar tunggu (waiting list) artinya kelompok ini mendapatkan perlakuan yang sama dengan kelompok eksperimen setelah semua proses penelitian selesai. Pengukuran pada penelitian ini dilakukan tiga kali yaitu sebelum intervensi, setelah intervensi, dan follow up satu minggu setelah intervensi

Tahap awal sebelum penelitian, peneliti melakukan asesmen ke Balai Rehabilitasi Terpadu Penyandang Disabilitas (BRTPD) Pundong Bantul, Pusat Rehabilitasi Yakkum (PRY), dan Yayasan Penyandang Cacat Mandiri Craft (YPCM). Hasil asesmen yang dilakukan melalui wawancara dan observasi menyimpulkan bahwa BRTPD memiliki warga binaan kurang lebih 70 penyandang disabilitas, YPCM memiliki 30 anggota, dan PRY hanya memiliki 3 orang binaan saat penelitian akan dilakukan karena sistem rehabilitasi di PRY yang lebih menekankan pada rehabilitasi berbasis masyarakat. Peneliti akhirnya memutuskan memilih warga binaan BRTPD sebagai kelompok eksperimen dan anggota YPCM sebagai kelompok kontrol. Kelompok eksperimen yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 17 orang, tetapi yang bersedia berpartisipasi menjadi subjek penelitian 8 orang. Kelompok kontrol yang memenuhi kriteria inklusi ada 12 orang, tetapi yang bersedia menjadi subjek 8 orang, ditengah proses penelitian 3 orang mengundurkan diri sehingga subjek untuk kelompok kontrol berjumlah 5 orang.

Peneliti mengujicoba alat ukur yang telah disusun sebelum penelitian dilaksanakan. Alat ukur yang diujicoba meliputi skala kebersyukuran, skala pengalaman positif negatif, skala kesejahteraan psikologi dan skala pikiran positif. Peneliti juga menyusun modul intervensi dan mengujicobakan pada 6 orang penyandang disabilitas yang sesuai dengan kriteria subjek penelitian. Ujicoba modul dilakukan oleh psikolog.

(14)

15 Tabel 1.

Blue print modul intervensi kebersyukuran

Intervensi kebersyukuran Tujuan Berefleksi dengan tiga pertanyaan pokok,

yaitu “Apa yang telah saya terima?”, “Apa yang telah saya berikan?”, dan “Masalah dan kesulitan apa yang telah saya lakukan?”. (Emmons, 2007; Sansone & Sansone, 2010)

Mengingatkan bahwa seseorang telah menerima pemberian dari orang lain, terhubung dengan orang lain, dan mendorong untuk berintrospeksi (Emmons, 2007). Menguatkan interaks sosial (Emmons & Hill, 2001)

Menuliskan surat terima kasih dan membacakannya (Emmons, 2007; Seligman, 2005; Froh, Kashdan, Ozimkowski, & Miller, 2009; Sansone & Sansone, 2010)

Mengungkapkan rasa terima kasih kepada orang yang dituju sebagai perwujudan syukur untuk meningkatkan kebahagiaan, mengurangi depresi (Wood, Froh & Geraghty, 2010) dan memiliki sikap yang lebih positif (Raggio & Folse, 2009) Membaca bacaan tentang kebersyukuran

(Browning, 2012)

Mengarahkan individu belajar bersyukur dari pengalaman orang lain, menerima diri (Browning, 2012)

Menuliskan 3-5 keberkahan harian (Emmons, 2007; Sansone & Sansone, 2010)

Memunculkan emosi positif dan menguatkan hubungan interpersonal (Emmons & McCullough, 2003). Meningkatkan kepuasan hidup (Froh, Sefick, & Emmons, 2008)

Memanjatkan doa syukur (Lambert, Fincham, Braithwaite, Beach, dan Graham, 2009; Emmons & Hill, 2001)

Mengkoneksikan diri dengan Tuhan. Terima kasih atas semua berkah yang telah diterima sehingga seseorang akan merasa bahagia dan merasakan kebermaknaan (Emmons & Hill, 2001)

Sharing kelompok (Bernard, Burlingame, Flores, Greene, Joyce, Kobos, Lleszcz, Semands, Piper, Mceneaney, dan Feirman, 2008)

Fungsi terapiutik, saling mendukung dan menerima antar anggota kelompok (Yalom, 1985)

Subjek penelitian mengisi lembar persetujuan (informed consent) sebagai bukti kesediaan mengikuti proses penelitian sampai selesai sebelum intervensi dilakukan. Lembar persetujuan bersifat sukarela. Lembar ini diisi oleh subjek sebelum intervensi. Pelaksanaan intervensi dilakukan selama 8 hari dimulai dengan pertemuan kelompok. Pertemuan kelompok dilakukan tiga kali yaitu pada hari pertama, hari keempat, dan hari kedelapan. Aktivitas individu yaitu mengerjakan tugas harian secara mandiri dilakukan pada hari pertama sampai hari ke tujuh. Subjek mengisi skala kebersyukuran, skala pengalaman positif negatif, skala kesejahteraan psikologi, dan skala pikiran positif pada waktu yang berbeda, yaitu sebelum intervensi (pretest), setelah intervensi (posttest), dan satu minggu setelah intervensi (follow up)

Gambar

Gambar 1. Kerangka Kerja Penelitian Keterangan

Referensi

Dokumen terkait

Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa layanan informasi pemahaman diri berpengaruh positif terhadap kecerdasan emosional pada siswa kelas XI

Berdasarkan hasil penelitian secara parsial menunjukkan bahwa variabel harga dan kualitas produk memiliki pengaruh positif signifikan terhadap keputusan pembelian pada

Sentra Indologis Utama Manado dalam prakteknya dikenakan PPN atas harga jual produk jasa sebesar 10% dari jumlah tagihan atau seharusnya ditagih, begitu juga dengan pajak

Perusahaan besar lebih stabil dan lebih mampu dalam menghasilkan laba dan membayar kewajibannya dibanding perusahaan dengan total aktiva yang kecil, sehingga

memanjemen, mengendalikan, dan mengolah isi situs. Pada halaman utama admin terdapat beberapa sub halaman yang didalamnya terdiri dari : halaman kategori barang bekas, halaman

Implikasi dasarnya, pusat zakat mesti memastikan bahawa bantuan modal yang disediakan kepada asnaf adalah sekurang-kurangnya pada tahap minimum yang membolehkan keperluan

Penurunan jumlah skor dan kategori dalam pencapaian kinerja divisi Quality Assurance terus terjadi hinga data terakhir yang didapatkan oleh penulis yaitu pada Triwulan