• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINGKAH LAKU BERANAK DOMBA MERINO DAN SUMATERA YANG DIKANDANGKAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINGKAH LAKU BERANAK DOMBA MERINO DAN SUMATERA YANG DIKANDANGKAN"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

TINGKAH LAKU BERANAK DOMBA MERINO DAN

SUMATERA YANG DIKANDANGKAN

(Lambing Behaviour of Sumatera and Merino Ewes in Confinement)

BESS TIESNAMURTI danSUBANDRIYO Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor16002

email: pangbu@indo.net.id

ABSTRACT

A study was conducted to find out lambing behaviour of Merino and Sumaetra ewes. The parameters observed were included prelambing behaviour, at lambing behaviour (lambing position, duration of lambing and lambing time) and after lambing behaviour (success time to stand and to suckle). Data were analysed using t test and regression analysis was conducted between duration of lambing and ewe’s body weight as well as time to suckle and ambient temperature. The study showed that prelambing behaviour of both sheep were consisted of laying down, walking around the barn, flechmen, vocalization, urination and floor scratching. Lambing position was mostly laying down (75,56%) for the Merino and standing up (50%) for the Sumatera. The average lambing duration for both sheep was not significantly differed, 23,61 ± 17,95 and 31,5 ± 13,34 menit. Whereas lambing time for Merino was occurred in the evening (65,84%) and for Sumatera sheep was at day time (75%). Duration to stand up for Merino and Sumatera lambs was significantly differed (P<0,05) which is 38,2 ± 21,5 and 23,5 ± 16,4 minutes. Meanwhile time for suckling for Merino and Sumatera lambs was not significantly differed, 67,0 ± 31,5 and 56,1 ± 35,1 minutes, respectively. The regression coefficient between lambing duration and ewe weight was significantly differed (P<0,05) of the ewe’s weight, whereas regression coefficient between time to suckle and the ambient temperature showed significantly (P<0,05) effect of the ambient temperature. The study showed that Sumatera and Merino sheep are not significantly differed for the lambing behaviour and considered to have good mothering ability.

Key Words: Sheep, Lambing Behaviour

ABSTRAK

Suatu penelitian dilakukan untuk mengetahui pola tingkah laku beranak induk domba Merino dan Sumatera. Peubah diamati meliputi tingkah laku sebelum beranak (berdiri,berbaring,vokalisasi, urinasi, flechmen dan mengkais lantai), saat beranak (lama beranak, posisi dan waktu beranak) dan setelah beranak (sukses berdiri dan menyusu pada induk). Analisis data dilakukan dengan uji t serta analisis regresi terhadap lama waktu beranak dan waktu sukses menyusu terhadap bobot induk dan suhu kandang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata antara tingkah laku sebelum beranak pada domba Merino dan Sumatera, dengan tingkah laku utama adalah flechmen. Posisi beranak domba Merino kebanyakan berbaring (75,56%) sedang pada domba Sumatera adalah berdiri (50%). Rataan lama beranak domba Merino dan Sumatera tidak berbeda yaitu 23,61 ± 17,95 dan 31,5 ± 13,34 menit sedangkan waktu beranak domba Merino adalah malam hari (65,84%) dan domba Sumatera adalah siang hari (75%). Waktu sukses berdiri untuk anak domba Merino dan Sumatera nyata berbeda (P<0,05) yaitu 38,2 ± 21,5 dan 23,5 ± 16,4 menit, sementara waktu sukses menyusu tidak berbeda nyata, yaitu 67,0 ± 31,5 dan 56,1 ± 35,1 menit. Regresi lama beranak dengan bobot induk menunjukkan pengaruh nyata (P<0,05) dari bobot induk, sementara regresi antara waktu sukses menyusu anak domba dengan suhu ruang menunjukkan pengaruh nyata (P<0,05) suhu ruang. Penelitian ini menyimpulkan bahwa domba Sumatera dan Merino mempunyai tingkah laku beranak tidak jauh berbeda dan tergolong kepada tingkah laku keindukan yang baik.

(2)

PENDAHULUAN

Tingkah laku merupakan satu potensi genetis yang dapat dieksploitasi lebih lanjut dengan tujuan untuk mendapatkan manfaat maksimal dari setiap bangsa ternak. Tingkah laku ternak merupakan potensi genetis bersifat herediter, tetapi dapat dimanipulir dengan cara memberikan pelatihan khusus. WHATELEY et

al. (1974) melaporkan bahwa dari beberapa

bangsa domba diamati, domba Romney mempunyai tingkah laku jelek,dalam arti malas mencari tempat berlindung apabila digembalakan sedangkan domba Merino cenderung selalu meninggalkan anak yang disusui. Tetapi domba persilangan RomneyxBorder Leicester mempunyai tingkah laku keindukan terbaik. FORGARTY et al. (1982)

melaporkan bahwa nilai duga ripitabilitas dan daya pewarisan tingkah laku keindukan berkisar antara 0,1–0,15 dan 0,1. Sebagai gambaran, domba dari daerah bermusim empat cenderung lebih jinak dibanding dengan domba dari daerah tropis.

Sifat keindukan merupakan salah satu sifat yang menentukan produktivitas ternak secara umum, karena tingkah laku keindukan erat terkait dengan kemampuan membesarkan anak yang secara langsung menyumbang keragaman kemampuan menyapih anak. Kemampuan membesarkan anak akan menentukan jumlah anak dan bobot anak sapih yang secara tidak langsung mempengaruhi produktivitas induk (HINCH, 1997). GATENBY (1994) melaporkan bahwa tingkah laku beranak pada domba Sumatera dan persilangannya dengan pejantan St Croix maupun Barbados Balckbelly dikategorikan dalam sifat keindukan bagus, dilihat dari kemampuan untuk memelihara anak setelah melahirkan. Berbeda dengan laporan AWATWI et al. (2000) pada kambing

West African, yang menyatakan bahwa pengenalan anak terhadap induk sesaat (18 jam) setelah dilahirkan ternyata rendah (35%) dibandingkan pada 48 jam kemudian (75%).

Domba Sumatera adalah jenis domba yang banyak dijumpai di provinsi Sumatera Utara, merupakan domba berkuran kecil dan dimanfaatkan sebagai penghasil daging, dengan bobot dewasa tidak lebih dari 25 kg. Tanda khas dari domba Sumatera adalah terdapat sepasang gelambir (wattles) di bagian leher. Mempunyai pola warna tubuh dominan coklat

dan kombinasi antara putih dan coklat dengan sedikit persentase warna hitam. Tampilan produksi induk memperlihatkan sifat prolifikasi tinggi (rataan julah anak sekelahiran 1,54 ± 0,65 ekor), rataan bobot lahir anak 1,8 kg/ekor dan rataan bobot sapih 9,2 kg (INIGUEZ et al, 1991). Salah satu sifat keunggulan domba Sumatera adalah mempunyai ketahanan genetis terhadap serangan parasit internal (Haemonchus), terutama kalau domba akan dipelihara dengan sistem penggembalaan. Sejarah mencatat bahwa domba Sumatera ini kemungkinan berasal dari pulau Jawa, dibawa transmigrasi pekerja kebun ke daerah tersebut pada masa penjajahan Belanda. Domba Merino merupakan jenis penghasil wool, banyak dipelihara di daerah bermusim empat, warna tubuh dominan adalah putih dengan bobot dewasa sekitar 40–50 kg (betina) dan 60–70 kg (jantan) dengan rataan jumlah anak sekelahiran 1,23, tampilan bobot lahir dan bobot sapih berturut-turut adalah 3,2 ± 0,54 kg dan 18,7 ± 1,1 kg. Walaupun tidak sesuai dipelihara di daerah tropis, ternyata importasi domba Merino ke Indonesia sudah berlangsung sejak awal abad ke-19, dan dilanjutkan pada masa pemerintahan orde baru.

Pengamatan ini ditujukan untuk mengetahui tingkah laku beranak induk domba Merino yang baru beradaptasi dengan lingkungan tropis Indonesia dan domba Sumatera yang memang sudah teradaptasi di lingkungan ini. Pengamatan ini bertujuan pula untuk mengetahui seberapa jauh tingkah laku beranak dapat berperan dalam manajemen pemeliharaan dan pembesaran anak.

MATERI DAN METODE

Penelitian dilakukan di lapangan percobaan domba Balai Penelitian Ternak, Bogor menggunakan 41 dan 21 ekor domba Merino dan Sumatera yang sedang bunting. Pakan diberikan adalah rumput raja sebanyak 4 kg ekor/hari dan konsentrat komersial dengan kandungan protein kasar 16% dan TDN 68% sebanyak 500 g/ekor/hari.

Pengamatan dilakukan secara visual dengan mengamati langsung induk dalam proses beranak. Induk ditempatkan dalam kandang kelompok, berukuran 3 x 3 m2 berisi 7 ekor. Pengamatan dimulai setelah melihat adanya

(3)

tanda tingkah laku induk akan beranak terdiri dari:

1. Tingkah laku sebelum beranak.

2. Tingkah laku induk saat beranak, terdiri dari waktu beranak, lama beranak (menit) maupun posisi beranak (berdiri atau berbaring).

3. Tingkah laku induk setelah beranak meliputi lama waktu menjilat anak (detik) yang baru dilahirkan dan bagian tubuh pertama dijilat (menit). Tingkah laku anak setelah dilahirkan terdiri atas waktu sukse berdiri (menit) dan waktu sukses menyusu (menit).

4. Peubah lain yang dicatat adalah bobot induk (sesaat setelah melahirkan), bobot lahir anak (kg), suhu kandang, suhu rektal (°C) setelah anak dilahirkan.

Analisis data

Data dianalisa dengan uji t (STEEL dan

TORIE, 1987) guna mengetahui pengaruh

bangsa digunakan. Sementara itu analisa regresi digunakan untuk melihat hubungan antara tingkah laku saat beranak (lama beranak), sesudah beranak (lama menjilati dan waktu sukses menyusu) sebagai peubah independen dengan suhu kandang, bobot lahir dan bobot induk saat beranak sebagai peubah independen.

HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkah laku sebelum beranak

Apabila diurutkan tingkah laku induk sebelum beranak, maka tingkah laku tertinggi adalah vokalisasi, diikuti oleh flechmen dan mengais lantai kandang dengan rataan frekuensi.

Secara umum tidak terdapat perbedaan nyata antara gerakan dalam tingkah laku sebelum beranak, menunjukkan bahwa ekspresi tingkah laku tersebut umum terjadi pada ternak domba. Diantara semua ekspresi ditunjukkan induk pada waktu mendekati kelahiran yang dilakukan oleh semua induk domba Merino adalah kegelisahan dalam bentuk berjalan mengelilingi kandang (100%), vokalisasi (100%) dan flechmen (100%). Sementara domba Sumatera tidak semuanya menunjukkan

bentuk kegelisahan seperti itu. Berbeda dengan yang terjadi pada sapi FH yang justru banyak berteriak setelah proses beranak (EDWARDS

dan BROOM, 1982). Tingkah laku flechmen

boleh jadi merupakan salah satu ekspresi perilaku menunjukkan ketidaknyamanan yang lebih sering diperlihatkan domba Sumatera (25,63 ± 14,5 kali) yang nyata (P<0,05) berbeda dibanding domba Merino (11,25 ± 6,75 kali). Tingginya frekuensi flechmen pada domba Sumatera dapat pula disebabkan karena timbulnya rasa sakit yang lebih sering pada domba Sumatera, karena bobot induk lebih kecil (29,64 ± 8,44 kg vs 51,94 ± 4,42 kg). Apalagi kalau dibandingkan bahwa total bobot lahir anak domba relatif tidak jauh berbeda yaitu 3,5 ± 0,87 vs 3,3 ± 1,65 kg untuk anak domba Merino vs Sumatera.

Tingkah laku saat beranak

Pengamatan menunjukkan ada beberapa tingkah laku induk saat beranak yang patut dicatat yaitu mengasingkan diri dari teman satu kelompok dan biasa terlihat di pojok ruang kandang. Tetapi ada juga induk beranak di tengah-tengah kelompok dengan tidak memilih tempat. Sebagian besar induk yang menyendiri pada waktu beranak dimungkinkan karena rataan luas kandang per individu realtif kecil (0,71–0,83 m2), jauh dari saran dianjurkan KILGOUR dan DALTON (1984) sebesar 1,5 dan 2,5 m2/ekor untuk domba berukuran kecil dan besar. Mengasingkan diri sebagai upaya memilih tempat beranak yang tenang dijumpai pula pada domba bangsa Romney, yang sudah tampak 15 hari sampai 4 jam sebelum induk beranak. Tidak saja untuk induk dikandangkan tetapi juga untuk domba gunung yang masih liar. Tampaknya tingkah laku ini dipandang umum terjadi pada domba karena ALEXANDER

(1990) melaporkan bahwa induk cenderung untuk beranak terpisah dari yang lain, dimana ARNOLD dan MORGAN (1975) menyatakan

bahwa 45% induk domba akan memisahkan diri untuk beranak walaupun masih dekat dengan kelompoknya. Ternyata tingkah laku ini juga dijumpai pada sapi perah FH (EDWARDS dan

BROOM, 1982) yang mendapatkan bahwa walau banyak induk sengaja dipindahkan ke kandang beranak (dari pangonan), tetapi sebagian menyukai beranak ditengah kelompoknya.

(4)

Tabel 1. Tingkah laku induk domba sebelum beranak

Merino Sumatera Tingkah laku Frekuensi

(kali/30 menit)

Persentase Induk Frekuensi (kali/30 menit) Persentase Induk Berdiri 3,00 + 1,6 100,00 7,75 + 0,74 87,50 Berbaring 2,87 + 1,5 90,24 7,63 + 7,48 75,00 Vokalisasi 22,62 + 10,18 100,00 29,00 + 24,0 87,50 Urinasi 0,90 + 0,1 51,22 0,63 + 0,74 50,00 Flechmen 11,25 + 6,75a 100,00 25,63 + 14,50b 87,50 Mengais-ngais 8,25 + 6,23 95,12 16,87 + 17,59 87,50

Superskrip berbeda dalam satu baris menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

Ada kecenderungan bahwa domba Sumatera lebih dapat berinteraksi dengan petugas kandang sehingga akan merasa nyaman beranak apabila ada orang disekelilingnya.

Distribusi waktu beranak untuk domba dalam pengamatan ini memperlihatkan domba Merino kebanyakan (65,8%) beranak malam hari (18:00–06:00 WIB) sedang domba Sumatera (70%) beranak siang hari (06.00– 18.00 WIB). Walaupun dalam pengamatan ini waktu beranak domba Merino berbeda dengan domba Sumatera, sebetulnya domba Merino dapat beranak dengan tidak mengenal waktu (ARNOLD dan MORGAN, 1975) selama 24 jam. Sehingga pemilihan waktu beranak yang cenderung malam hari dapat disebabkan karena ternak memilih waktu tenang dan relatif nyaman. SUTAMA dan BUDIARSANA (1995) melaporkan bahwa 57% domba ekor gemuk dan 54,3% domba ekor tipis (SUTAMA dan

INOUNU, 1993) beranak siang hari. Tidak diketahui apakah ada hubungan antara waktu kawin dengan waktu beranak, yang kemungkinan dapat menerangkan kejadian ini. Tabel 2. Distribusi waktu beranak domba Merino

dan Sumatera

Persentase induk

Waktu Merino Sumatera

06.00–12.00 WIB 12,19 40,00 12.00–18.00 WIB 21,95 36,00 18.00–24.00 WIB 36,58 16,00 24.00–06.00 WIB 29,26 8,00

Boleh jadi hal ini disebabkan induk Merino belum beradaptasi dengan baik pada kondisi setempa mengingat bahwa perbedaan waktu antara Sidney dimana ternak berasal dan Bogor adalah sekitar 5–6 jam.

Sebetulnya, baik untuk pemeliharaan di lapangan percobaan maupun pada peternakan rakyat atau komersial lainnya, saat beranak yang tepat adalah pada waktu siang hari, dimana pengawas kandang/pemilik tersedia, sehingga dapat membantu apabila ada kesulitan kelahiran

Tidak terdapat perbedaan nyata lama waktu beranak domba Merino (23,61 ± 17,95 menit) dan domba Sumatera (31,5 ± 13,34 menit), menunjukkan tidak terdapat pengaruh bangsa domba. Tidak terdapat perbedaan nyata pada lama beranak dalam pengamatan ini sejalan dengan laporan beberapa penelitian terdahulu (GATENBY et al., 1994) yaitu kurang dari 40

menit. SUTAMA dan INOUNU (1993) melaporkan lama beranak domba lokal ekor tipis berkisar antara 25-32 menit, sedang pada domba ekor gemuk adalah 39-42,2 menit (SUTAMA dan BUDIARSANA, 1995). Tipe lahir

tampaknya memberi sumbangan terhadap lama beranak domba. Hasil analisa regresi lama beranak domba Merino dan Sumatera berturut-turut adalah:

Y = 125,8 – 1,9373X

dan

Y= 66,903–1,1945X

(5)

Tabel 3. Tingkah laku induk saat beranak dan setelah beranak

Tingkah laku Domba Merino Domba Sumatera

Tingkah laku saat beranak

Lama waktu beranak (menit) 23,61 ± 17,95a 31,5 ± 13,34a

Posisi beranak Berbaring Berdiri

Tingkah laku setelah beranak

Sukses berdiri (menit) 38,24 ± 21,5a 23,5 ± 16,4b

Sukses menyusu (menit) 67,0 ± 31,5a 56,1 ± 35,1a

Superskrip berbeda dalam satu baris menunjukkan perbedaan nyata P<0,05)

Apabila dilihat dari persamaan regresi lama beranak, dengan koefisien regresi yang negatif untuk kedua persamaan tersebut, memberi arti bahwa semakin tinggi bobot badan, maka semakin cepat waktu beranak. Hal ini dapat dijelaskan bahwa induk dengan bobot lebih berat akan mempunyai cukup cadangan tenaga sehingga proses kelahiran anak berlangsung relatif lebih cepat.

Apabila dilihat lebih banyak induk Merino beranak dengan posisi berbaring (75,56%) tetapi tidak untuk domba Sumatera, dimana posisi berbaring (50%) sama banyak dengan posisi berdiri (50%). Perbedaan nyata (P<0,05) pada posisi beranak domba Merino dan Sumatera tampaknya sependapat dengan laporan KESZTHELEYI et al. (1987) untuk

domba Krak dan Merino di Hungaria yang beranak sambil berdiri. Lebih banyak induk dengan posisi berbaring dilaporkan oleh SUTAMA dan INOUNU (1993) pada domba ekor

tipis maupun domba ekor gemuk (SUTAMA dan

BUDIARSANA, 1995). Apakah posisi berbaring lebih menguntungkan dibandingkan dengan posisi berdiri? Posisi berbaring dapat dikatakan lebih menguntungkan, karena memberikan kesempatan kepada induk untuk segera menjilati lender ditubuh anak, sehingga induk relatif lebih cepat dapat mengenali anak. Tampaknya posisi beranak yang berbaring merupakan sifat umum induk domba, karena hanya 28% domba Merino yang beranak dalam posisi berdiri (ARNOLD dan MORGAN, 1975). Akan tetapi penulis menyaksikan kejadian beranak, dimana induk dalam posisi berdiri. Sesaat setelah beranak (terlempar kelantai) segera anak bergerak-gerak dan berusaha untuk melepaskan diri dari selubung kelahiran dan diikuti dengan gerakan induk untuk menjilati dan mengenali anak.

Tingkah laku setelah beranak

Tidak terdapat perbedaan nyata interval waktu menjilati anak oleh induk Merino (28,59 ± 80,76 detik) dan Sumatera (9,62 ± 17,22 detik). Bagian tubuh anak yang pertama dijilati adalah bagian kepala (dilakukan oleh 60,98% induk Merino dan 62,5% induk Sumatera) sedangkan sisanya adalah bagian tubuh lainnya. Analisis regressi lama menjilati anak oleh induk domba Merino dan Sumatera berturut-turut adalah:

Y=-132,07 + 3,12 x (r=0,17)

dan

Y=2,0595 + 0,2508 x (r=0,83)

dengan pengaruh nyata (P<0,05) dari bobot induk.

GATENBY et al, (1994) melaporkan bahwa usaha induk untuk menjilati tubuh anak, dimulai dari bagian kepala. Dimulainya penjilatan induk terhadap bagian kepala anak domba dapat terjadi karena kepala merupakan bagian yang menarik perhatian karena bergerak. Selain itu secara instingtif induk berusaha untuk membersihkan saluran pernafasan anak dan berusaha memulai hubungan antara anak dan induk (TOMASZEWKA et al., 1991). Gagalnya bentuk ikatan ini akan mengakibatkan anak terlantar , lemah dan tidak bertahan sampai saat disapih. Sifat keindukan yang baik, juga sudah mulai tampak dari gerakan ini, sehingga induk yang tidak segera mengenali dan menjilati anak dikategorikan sebagai sifat keindukan yang kurang baik.

(6)

Tabel 4. Tampilan induk dan anak setelah kelahiran

Peubah Domba Merino Domba Sumatera

Total bobot lahir (kg) 3,8 ± 0,87 3,3 ± 1,65

Rataan bobot induk (kg) 51,48 ± 4,40a 29,6 ± 8,44b Rataan suhu rektal anak (°C) 39,0 ± 0,72 38,94 ± 0,19

Superskrip berbeda dalam satu baris menunjukkan perbedaan nyata P<0,05)

Terdapat perbedaan nyata (P<0,05) waktu sukses berdiri antara domba Merino dan Sumatera, dimana anak domba Sumatera lebih cepat berdiri (23,5 ± 16,4 menit) dibandingkan dengan anak domba Merino (23,5 ± 16,4 menit). Kisaran waktu diperlukan untuk berdiri pada domba Sumatera dan Merino berturut-turut adalah 10–49 menit dan 12–117 menit. OWEN (1975) menyatakan bahwa semakin

besar bobot lahir anak, maka peluang untuk cepat berdiri semakin besar. Walaupun dalam penelitian ini total bobot lahir anak domba Merino ternyata tidak berbeda nyata dengan domba Sumatera. Tetapi tidak terjadi seperti yang diharapkan, hal ini dapat disebabkan lantai kandang yang licin akibat cairan amniotik, sehingga menyulitkan anak untuk berdiri. Sementara itu SLEE dan SPRINGBELT

(1997) melaporkan waktu sukses berdiri berkisar antara 17,5 menit untuk domba Scottish Blackface sampai 54,0 menit untuk domba Finnish Landrace.

Kisaran waktu dibutuhkan untuk sukses menyusu domba Merino adalah 27–165 menit sedangkan untuk anak domba Sumatera adalah 18–113 menit. Lamanya waktu sukses menyusu domba Merino (69,0 ± 31,5 menit) tidak berbeda nyata dengan domba Sumatera (56,1 ± 35,1 menit). Kisaran waktu tersebut masih dalam kisaran normal waktu anak mencapai ambing pada domba daRi daerah bermusim empat, dengan rataan 24,9 menit dan 94,6 menit untuk domba Welsh Mountain dan Finnish Landrace (SLEE dan SPRINGBELT, 1997), sementara domba Scottish Blackface mempunyai rataan waktu 30,9 menit. Hasil analisa regressi sukses menyusu pada anak domba Merino dan domba Sumatera berturut-turut adalah:

Y=133,95 – 1,3008 x (r=-0,182)

dan

Y= 168,74 – 3,7996 (r=-0,914)

dengan pengaruh nyata (P<0,05) bobot induk dan suhu kandang.

Keberhasilan anak untuk menyusu pada induk merupakan kerjasama antara induk dan anak. Agresvitas anak untuk segera menyusu hendaknya dibarengi dengan sifat keindukan yang baik. Pada beberapa kejadian, ada induk yang tidak mau menyusui anaknya dan selalu menolak kehadiran anak dikarenakan sifat keindukan yang tidak bagus. Apabila hal itu berlangsung terus, perlu dicermati untuk memberikan susu tambahan pada anak domba yang tertolak, karena dapat dipastikan bahwa anak tertolak akan mempunyai pertumbuhan yang kurang bagus. Koefisien regresi negatif untuk pengaruh bobot induk menandakan semakin berat bobot induk maka akan semakin cepat anak menyusu. Walaupun pada domba Merino, bentuk ikatan tersebut tidak terlalu kuat dibanding pada domba Sumatera. Hal ini menerangkan bahwa bobot induk Merino yang relatif lebih besar tidak selalu membuat anak segera menyusu, tetapi juga sifat keindukan.

Koefesien regressi negatif untuk suhu kandang terhadap interval sukses menyusu menjelaskan bahwa waktu sukses menyusu dapat dipercepat apabila suhu kandang yang cukup panas (SUTAMA dan INOUNU, 1995).

Domba Merino yang kebanyakan beranak pada malam hari mempunyai nilai regresi yang kurang kuat (r = −0,0209) dibandingkan dengan domba Sumatera (r = −0,854).

KESIMPULAN

Secara umum tingkah laku sebelum beranak pada domba Merino dan Sumatera tidak berbeda nyata, kecuali untuk tingkah laku

flechmen. Lama beranak domba Merino tidak

(7)

waktu beranak domba Merino malam dan domba Sumatera siang hari. Posisi berbaring dijumpai untuk domba Merino dan berdiri untuk domba Sumatera. Tingkah laku setelah beranak kedua bangsa domba dikategorikan baik, karena induk langsung menolong dan memberi kesempatan anak untuk menyusu.

DAFTAR PUSTAKA

ALEXANDER, G.,D. STEVENS, L.R. BRADLEY and S.A.BARWICK. 1990. Maternal behaviour in Border Leicester, Glen Vale and Merino sheep. Aust. J. Exp. Agric. 30: 27–38.

AWOTWI,E.K.,K.OPPONG-ANANE,P.C.ADDAE and E.O.K. ODDOYE. 2000. Behavioural interaction between West African dwarf nanny goats and their twin-borb kids during the first 48 h post-partum. Appl. Anim. Behav.Sci. 68(4): 281–291.

EDWARDS, S.A. and D.M. BROOM. 1982. Behavioural interactions of dairy cows with their newborn calves and the effects of parity. Anim. Behav. 30: 525–535.

FORGARTY, H.M., G.E. DICKERSON and L.D. YOUNG. 1982. Genetics parameters for reproduction in sheep. Proc. of Australian Society of Animal Prod. 14: 435–438. GATENBY, R.M. 1994. The behaviour of sheep at

lambing. SR-CRSP, Sub Balitnak North Sumatera, Indonesia.

HINCH, G.N. 1997. Genetics of Behaviour. in: The genetics of sheep. L. PIPER and A. RUVINSKY (Eds). CAB International. pp: 353–374. INIGUEZ ,L.C., M. SANCHEZ and S.P. GINTING, 1991.

Productivity of Sumatera sheep in a system integrated with rubber plantation. Small Rumin. Res. 12: 123–134.

SLEE, J. and A. SPRINGBELT, 1997. Early post-natal behaviour in lambs of ten breeds. Applied Animal Behaviiour 15: 229–240.

STEEL, R.G.D. and R.J. TORRIE, 1981. Principles and procedure of statistics. Mc Graw-Hill Book. Co., New York.

SUTAMA,I.K. dan I.INOUNU, 1993. Tingkah laku beranak pada domba Jawa dengan galur prolifikasi yang berbeda. Ilmu dan Peternakan 6(2): 16–19.

SUTAMA, I. K. dan I.G.M. BUDIARSANA, 1995. Tingkah laku induk domba ekor gemuk sekitar waktu beranak. Ilmu dan Peternakan 8(2): 15– 18.

WHATELEY,J.R.KILGOUR and D.C. DALTON, 1974. Behaviour of hill country sheep breeds during farming routines. Proc. of the New Zealand Soc. of Animal Production. 34: 28–36. WODZICKA-TOMASZEWKA,M. , I-K. SUTAMA, I-G.

PUTU and T.D. CHANIAGO. 1991. Reproduksi, Tingkah Laku dan Produksi Ternak di Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

DISKUSI Pertanyaan:

1. Mohon dijelaskan metoda pengukuran tingkah laku ternak yang diamati, demikian pula arti dari sukses menyusui dan flechmen?

2. Apakah yang dimaksud dengan perbedaan bangsa dalam menentukan lama waktu sukses berdiri?

Jawaban:

1. Metoda pengukurannya (dalam menit) dimulai saat induk mulai menunjukkan tanda-tanda kelahiran, seterusnya sampai anak lahir, anak dapat berdiri, bahkan anak dapat menyusu pada induknya. Suksek menyusu artinya lama waktu yang dibutuhkan oleh anak dari saat lahir sampai meraih ambing/putting dan dapat menyusu. Flechmen artinya adalah tingkah laku nyengir.

2. Perbedaan bangsa yang dimaksud disini adalah karena ukuran-ukuran tubuh yang berbeda dan bobot lahir.

Gambar

Tabel 1. Tingkah laku induk domba sebelum beranak
Tabel 3. Tingkah laku induk saat beranak dan setelah beranak
Tabel 4. Tampilan induk dan anak setelah kelahiran

Referensi

Dokumen terkait

PRODI TEKNOLOGI PEMBELAJARAN PROGRAM PASCASARJANA. UNIVERSITAS PENDIDIKAN

:=aktor yang mendukung kepala sekolah dalam melaksanakan super&#34;isi kaitanya sebagai super&#34;isor dalam proses belajar mengajar mata pelajaran %&amp;$ terpadu, yaitu 3uru

Apakah campuran minyak nabati, surfaktan dan ko-surfaktan yang didapat dari proses skrining dan optimasi dapat menghasilkan formula SNEDDS ekstrak etanolik jinten hitam

Faktor psikologis yang mendukung perokok untuk berhenti merokok pada penelitian ini adalah adanya persepsi mengenai manfaat dari berhenti merokok (100%) dan... Hal

Metode penelitian yang digunakan adalah dengan analisa data sekunder yang kemudian dituangkan ke dalam bentuk peta dilakukan komparasi dan overlay pada peta-peta tersebut

To check binding site between PAF AH (wild type and mutant) and PAF, we performed rigid docking. The affinity energy from this process was -4.0 kcal/mol to

 Panjang artikel 5-7 halaman, disertai foto yang mendukung  Seminar dihadiri oleh DPL, Kades, Muspika, dan Pejabat Unesa  Mahasiswa wajib mengakomodir masukan dari peserta

&#34;Menurut MacDonald dalam Crooks &amp; Baur (2005), individu biseksual adalah individu yang dapat terlibat dan menikmati aktivitas seksual dengan kedua jenis