HUBUNGAN PENGUASAAN LAHAN SAWAH DENGAN
PENDAPATAN USAHATANI PADI
(Studi Kasus Kelompok Tani Harum IV Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi)
SKRIPSI
OCTIASARI H34070084
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
RINGKASAN
OCTIASARI. H34070084. 2011. Hubungan Status Pengusahaan Lahan dengan Pendapatan Usahatani Padi (Studi Kasus Kelompok Tani Harum IV, Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi). Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan IMAN FIRMANSYAH).
Tingginya ketergantungan Indonesia terhadap impor beras dunia merupakan salah satu alasan mengapa upaya peningkatan produksi beras nasional melalui program intensifikasi dan ektensifikasi perlu dilakukan. Di lain sisi, salah satu hambatan program intensifikasi maupun ekstensifikasi adalah adanya alih fungsi (konversi) lahan ke penggunaan non pertanian, padahal lahan merupakan faktor produksi utama dalam usaha pertanian.
Selain adanya konversi lahan pertanian, ketersediaan gabah atau beras juga dipengaruhi oleh laju pertumbuhan penguasaan lahan sawah oleh rumah tangga petani padi. Berdasarkan data Sensus Pertanian 1983-2003, dapat diketahui rata-rata kepemilikan lahan petani pada tahun 1983 sebesar 0,23 ha dan kepemilikan ini semakin kecil karena di tahun 2003 menjadi 0,07 ha. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kesejahteraan petani semakin berkurang.
Fenomena semakin kecilnya kepemilikan lahan oleh petani diindikasikan hampir tersebar di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di Kota Sukabumi. Semakin sempitnya luas kepemilikan lahan, maka produksi padi yang dihasilkan per rumah tangga petani semakin berkurang, implikasinya pendapatan pun semakin berkurang. Salah satu potret rendahnya rata-rata penguasaan lahan serta rendahnya pendapatan yang di terima oleh masing-masing rumah tangga petani terjadi di Kelompok Tani Harum IV, Kel. Situmekar, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi.
Selain itu, seringkali kecilnya kepemilikan lahan petani diikuti oleh timpangnya distribusi penguasaan dan pengusahaan lahan. Hal ini disebabkan karena terdapat sebagian kecil individu yang mempunyai akses untuk memiliki lahan dalam jumlah yang relatif luas. Sementara itu, terdapat banyak masyarakat yang tidak memiliki akses untuk menguasai lahan.
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pola distribusi penguasaan lahan petani padi, menganalisis pendapatan usahatani padi sawah berdasarkan status penguasaan lahan sawahnya, menganalisis hubungan antara pengusahaan lahan sawah dengan pendapatan usahatani padi, dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pengusahaan lahan sawah petani padi di Kelompok Tani Harum IV, Kel. Situmekar, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dan pengambilan responden dilakukan dengan metode sensus.
Berdasarkan nilai koefisien Gini, maka distribusi lahan berdasarkan penguasaan dan pengusahaan lahan di lokasi penelitian timpang, yang ditunjukkan dengan nilai koefisien Gini > 0,5. Berdasarkan analisis pendapatan tunai, usahatani padi memiliki pendapatan usahatani yang positif. Akan tetapi karena luas lahan yang diusahakan relatif kecil, maka pendapatan yang diterima petani relatif kecil dan tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari hari. Berdasarkan perhitungan pendapatan bersih tunai rumah tangga per musim, maka rata-rata
pendapatan usahatani padi adalah sebesar Rp 1.725.088. artinya, mereka mendapatkan pendapatan sekitar Rp 431.272,00/bulan dan pendapatan tersebut jauh di bawah UMR.
Terdapat hubungan yang signifikan antara pendapatan petani dengan luas pengusahaan lahan sawah. Semakin besar pendapatan usahatani padi, maka luas pengusahaan lahan sawah akan semakin meningkat. Kelompok petani yang responsif dalam meningkatkan pengusahaan lahannya adalah kelompok petani pemilik dan penggarap.
Akses untuk mengusahakan lahan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi luas pengusahaan lahan sawah adalah status penguasaan lahan (terdiri dari: kelompok status pemilik, kelompok status pemilik dan penggarap, serta kelompok status penggarap), laju peningkatan luas pengusahaan lahan, produktivitas padi, jumlah hari kerja, jumlah organisasi yang diikuti, pendapatan usahatani, aset, luas lahan sawah yang dikuasai, dan umur saat menjadi petani mandiri. Di antara semua faktor yang mempengaruhi tersebut, faktor yang paling signifikan adalah luas lahan sawah yang dikuasai, sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah adalah status penguasaan lahan (terdiri dari: kelompok status pemilik, kelompok status pemilik dan penggarap, serta kelompok status penggarap), produktivitas, umur petani, luas lahan sawah yang dikuasai, umur saat menjadi petani mandiri, dan luas lahan milik. Di antara semua faktor yang mempengaruhi tersebut, faktor yang paling signifikan adalah usia, luas lahan sawah yang dikuasai, dan umur saat menjadi petani mandiri.
HUBUNGAN PENGUASAAN LAHAN SAWAH DENGAN
PENDAPATAN USAHATANI PADI
(Studi Kasus Kelompok Tani Harum IV Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi)
OCTIASARI H34070084
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk Memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Judul Skripsi : Hubungan Penguasaan Lahan Sawah dengan Pendapatan Usahatani Padi (Studi Kasus Kelompok Tani Harum IV Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi) Nama : Octiasari NIM : H34070084 Disetujui, Pembimbing
Drs. Iman Firmansyah, MSi NIP. 19620301 1988031 001
Diketahui
Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Hubungan Penguasaan Lahan Sawah dengan Pendapatan Usahatani Padi (Studi Kasus Kelompok Tani Harum IV Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi)” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2011
Octiasari H34070084
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 10 Oktober 1988. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Chair Muchlis dan Ibunda Euis Kurnia.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Polisi 4 pada Tahun 2001 dan pendidikan menengah pertama dapat diselesaikan penulis pada tahun 2004 di SLTP Negeri 4 Bogor. Pendidikan menengah atas dapat diselesaikan penulis pada tahun 2007 di SMA Negeri 5 Bogor.
Penulis diterima pada Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2007.
Selama mengikuti pendidikan, penulis tercatat sebagai Badan Pengawas Himpunan Profesi Mahasiswa Peminat Agribisnis (HIPMA) periode 2010-2011 dan aktif di berbagai kepanitian yang diadakan di Kampus Institut Pertanian Bogor
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Pengusahaan Lahan dengan Pendapatan Usahatani Padi (Studi Kasus Kelompok Tani Harum IV Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi)”.
Penelitian ini bertujuan menganalisis pola distribusi kepemilikan, penguasaan, dan pengusahaan lahan sawah serta menganalisis hubungan pengusahaan lahan sawah dengan pendapatan usahatani padi dan mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pengusahaan lahan sawah petani padi.
Namun demikian, sangat disadari masih terdapat kekurangan karena keterbatasan dan kendala yang dihadapi. Untuk itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun ke arah penyempurnaan pada skripsi ini sehingga dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Agustus 2011 Octiasari
UCAPAN TERIMA KASIH
Proses penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Drs. Iman Firmansyah, MSi sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, dorongan, dan saran kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.
2. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS atas kesediannya menjadi dosen penguji utama dalam sidang skripsi yang telah memberikan kritik dan saran demi penyempurnaan skripsi ini.
3. Yeka Hendra Fatika, SP atas kesediannya menjadi dosen penguji komisi akademik dalam sidang skripsi dan atas segala arahan, bimbingan, waktu, motivasi yang diberikan kepada penulis, serta kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan skripsi ini.
4. Arif Karyadi, SP atas arahan, nasihat, dan waktu yang telah diberikan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.
5. Keluarga tercinta yang selalu mendoakan dan mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Ibu Ires dan Ibu Reni sebagai penyuluh pertanian Kota Sukabumi atas arahan, perhatian, dan waktu yang telah diberikan selama penulis mengumpulkan data.
7. Bapak Kandi dan keluarga yang telah banyak membantu penulis dalam mengumpulkan data. 8. Keluarga besar Kelompok Tani Harum IV atas segala keramahan, keterbukaan, perhatian,
tangis dan canda, serta segala informasi yang diberikan untuk penelitian ini.
9. H. Nenden, H. Badrudin, Mualim Jejen, Ibu Tina, Bapak Dadang, dan Ibu Titin atas kesediannya membantu penulis dalam pengujian kuisioner dan atas segala informasi yang diberikan untuk penelitian ini.
10. Seluruh dosen serta staf Departemen Agribisnis. Terima kasih atas segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis selama proses perkuliahan maupun dalam penyusunan skripsi, seminar dan sidang.
11. Tim Kesebelasan (Venty, Anten, Putri, Tamie, Haqi, Azie, Agy, Dinar, Jihan, dan Decy) atas dukungan, semangat, dan hari-hari kebersamaan yang indah dan ceria.
12. Hatta, Yahya, Sigit, Pandu, Teh Riska atas kebersamaannya dan menemani menyelesaikan skripsi ini.
14. Pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas bantuan dan dukungan yang selama ini telah diberikan kepada penulis.
Semoga tali silaturahmi ini akan tetap terjalin dan hanya Allah SWT yang dapat membalas segala amal kebaikan yang telah dilakukan, Amin.
Bogor, Agustus 2011
iii
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ... vi DAFTAR GAMBAR ... x I. PENDAHULUAN ... 11.1. Latar Belakang Penelitian ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 6
1.3. Tujuan Penelitian ... 11
1.4. Manfaat Penelitian ... 12
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 12
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 13
2.1. Penguasaan dan Pengusahaan Lahan ... 13
2.2. Pola dan Distribusi Lahan Petani ... 16
2.3. Pendapatan Usahatani Padi ... 17
2.4. Hubungan Status Pengusahaan Lahan dengan Pendapatan Petani ... 19
2.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengusahaan Lahan 21
III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 24
3.1. Teori Usahatani ... 24
3.2. Lahan sebagai Faktor Produksi ... 26
3.3. Pendapatan Usahatani ... 32
3.4. Hubungan Penguasaan Lahan dengan Pendapatan Petani ... 34
3.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengusahaan Lahan 34
3.6. Kerangka Pemikiran Operasional ………. . 35
IV. METODE PENELITIAN ... 43
4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 43
4.2. Metode Penentuan Responden ... 43
4.3. Jenis dan Sumber Data ………. . 44
4.4. Metode Pengolahan Data ………. . 44
4.5. Metode Analisis Data ………... 44
4.5.1. Pola dan Distribusi Lahan Petani ……… 45
4.5.2. Analisis Pendapatan Usahatani ………. .. 45
4.5.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengusahaan Lahan dan Hubungannya dengan Pendapatan .... 46
4.6 Perhitungan Skor Tingkat Pengunaan Teknologi ……... 50
4.7. Definisi Operasional ……….. . 51
V. GAMBARAN UMUM ... 55
5.1. Wilayah dan Topografi ... 55
5.2. Jumlah Kepala Keluarga (KK) Tani dan Status Penguasaan Lahan di Kelurahan Situmekar ... 55
5.3. Potensi Lahan Usahatani Situmekar ... 56
5.4. Usatani Tanaman Pangan dan Sayuran ... 57
iv
5.6. Karakteristik Kelompok Tani di Kelurahan Situmekar .. 59
5.7. Sosial Ekonomi Petani ... 60
5.8. Sistem Penguasaan dan Pengusahaan Lahan ... 61
VI. KARAKTERISTIK RESPONDEN ... 65
6.1. Indikator Karakteristik Petani ... 65
6.2. Alasan Responden menjadi Petani ... 67
6.3. Status Responden ketika menjadi Petani ... 69
6.4. Keragaan Kelompok Umur Petani ... 70
6.5. Keragaan Pengalaman Bertani ... 71
6.6. Keragaan Tingkat Pendidikan Petani ... 73
6.7. Jumlah Tanggungan Keluarga Rumah Tangga Petani ... 74
6.8. Konsumsi Beras Rumah Tangga Petani berdasarkan Kelompok Umur dan Jumlah Tanggungan Keluarga .... 75
6.9. Keterampilan yang Dimiliki Petani berdasarkan Kategori Status Penguasaan dan Luas Pengusahaan Lahan Padi ... 77
6.10. Jenis Keterampilan yang Dimiliki Petani selain Berusahatani Padi berdasarkan Kategori Status Penguasaan dan Luas Pengusahaan Lahan Padi ... 78
6.11. Pekerjaan Rumah Tangga Petani di Luar Sektor Pertanian berdasarkan Kategori Status Penguasaan dan Luas Pengusahaan Lahan Padi ... 80
6.12. Alokasi Waktu Kerja Rata-Rata Petani ... 81
6.13. Indikator Keaktifan Responden ... 82
6.14. Transaksi Pengadaan Lahan ... 83
6.15. Rata-Rata Biaya Sewa Garapan Usahatani Padi (Kg/Ha) 84 6.16. Keragaan Jumlah Tenaga Kerja Keluarga Rumah Tangga Petani ... 85
6.17. Peranan Keluarga dalam Meningkatkan Penguasaan Lahan ... 87
6.18. Sumber Pendanaan Peningkatan Penguasaan Lahan ... 88
6.19. Nilai Aset Petani Penggarap ... 89
6.20. Nilai Aset Petani Pemilik dan Penggarap ... 90
6.21. Nilai Aset Total Petani ... 91
VII. KERAGAAN DAN POLA DISTRIBUSI PENGUASAAN LAHAN ... 93
7.1. Keragaan Pengusahaan Lahan Rumah Tangga Petani ... 93
7.2. Keragaan Pengusahaan Lahan Rumah Tangga Petani untuk Tanaman Padi ... 97
7.3. Hubungan Kekerabatan antara Pemilik dan Penggarap . 107
7.4. Rata-Rata Lama Waktu Menggarap Lahan dengan Sistem Garap Sewa ... 109
7.5. Tingkat Penggunaan Tingkat Teknologi ... 110
7.6. Rata-Rata Skor dan Distribusi Tingkat Penggunaan Tingkat Teknologi ... 111
7.7. Ketimpangan Penguasaan dan Pengusahaan Lahan ... 113
v
VIII. ANALISA PENDAPATAN USAHATANI PADI ... 117
8.1. Rata-Rata Produksi Padi Petani (Return to Land) ... 117
8.2. Penerimaan Usahatani Padi Rata-Rata Petani ... 118
8.3. Biaya Usahatani Padi Rata-Rata Petani ... 118
8.4. Pendapatan Tunai Rata-Rata Petani ... 120
8.5. Pendapatan Tunai Bersih Rata-Rata Petani ... 120
8.6. Pendapatan Bersih per Rumah Tangga Petani setiap Musim ... 121
IX. HUBUNGAN ANTARA PENGUSAHAAN LAHAN SAWAH DENGAN PENDAPATAN USAHATANI PADI . 124
9.1. Hubungan antara Luas Pengusahaan Lahan Sawah dengan Pendapatan Usahatani Padi ... 125
9.2. Hubungan antara Laju Peningkatan Luas Pengusahaan Lahan Sawah dengan Pendapatan Usahatani Padi ... 129
X. ANALISA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUSAHAAN LAHAN SAWAH 132
10.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Luas Pengusahaan Lahan Sawah ... 132
10.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Laju Peningkatan Luas Pengusahaan Lahan Sawah ... 140
KESIMPULAN ... 147 SARAN ... 148 DAFTAR PUSTAKA ………... 150 LAMPIRAN ……….. 153
vi
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Ekspor-Impor Beras Indonesia Tahun 2008-2011 ... 2 2. Konversi Lahan Pertanian di Indonesia 1983-2003 (Hektar) .. .. 3 3. Jumlah RTP Pengguna Lahan menurut Luas Lahan yang
Dikuasai di Indonesia pada Sensus Pertanian 1983, 1993,
2003 ………. 5
4. Luas Wilayah, Jumlah Petani, dan Luas Sawah Irigasi Desa
Tiap Kecamatan 2007 ... 8 5. Jumlah RTP Menurut Golongan Luas Lahan yang Dikuasai di
Provinsi Jawa Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan
pada Sensus Pertanian 1983, 1993 dan 2003 ……….. .. 31 6. Jumlah RTP Pengguna Lahan Menurut Luas Lahan yang
Dikuasai di Indonesia pada Sensus Pertanian 1983, 1993,
dan 2003 ………. 32
7. Potensi Lahan Sawah berdasarkan Jenis Pengairan di Kec.
Lembursitu Tahun 2008 ... 56 8. Potensi Lahan Darat dan Kolam berdasarkan Penggunaan di
Kec. Lembursitu Tahun 2008 ... 57 9. Keadaan Usahatani Tanaman Pangan dan Sayuran Kelurahan
Situmekar Tahun 2009 ... 58 10. Karakteristik Kelompok Tani di Kelurahan Situmekar Tahun
2009 ... 59 11. Tingkat Kemampuan Kelompok Tani Harum IV, Kec.
Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2009 ……….………. 60
12. Distribusi Responden berdasarkan Status Pengusahaan Lahan di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota
Sukabumi Tahun 2011 ……….. 63
13. Beberapa Indikator Karakteristik Petani di Kelompok Tani
Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 …. .. 66 14. Alasan Responden menjadi Petani di Kelompok Tani Harum
IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 …….….... 68
15. Status Responden ketika menjadi Petani di Kelompok Tani
Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 …. 69
16. Keragaan Kelompok Umur Petani di Kelompok Tani Harum
IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 …………. 71
17. Pengalaman Berusahatani di Kelompok Tani Harum
IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 …………. 72
18. Keragaan Tingkat Pendidikan Petani di Kelompok Tani
Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 … .. 74 19. Jumlah Tanggungan Keluarga Rumah Tangga Petani di
Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi
Tahun 2011 ……… . 75
20. Konsumsi Beras Rumah Tangga Petani berdasarkan Kelompok Umur dan Jumlah Tanggungan Keluarga di Kelompok Tani
vii Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 ….. . 76 21. Keterampilan yang Dimiliki Petani berdasarkan Kategorik
Status Penguasaan dan Luas Pengusahaan Lahan Padi di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi
Tahun 2011 …. ... 78 22. Jenis Keterampilan yang Dimiliki Petani Selain Berusahatani
Padi berdasarkan Kategorik Status Penguasaan dan Luas Pengusahaan Lahan Padi di Kelompok Tani Harum IV,
Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 ……… . 79
23. Pekerjaan di Luar Sektor Pertanian Rumah Tangga Petani berdasarkan Kategorik Status Penguasaan dan Luas Pengusahaan Lahan Padi di Kelompok Tani Harum IV,
Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 ……… . 80
24. Alokasi Waktu Kerja Rata-rata Petani di Kelompok Tani
Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011... 82 25. Indikator Keaktifan Responden di Kelompok Tani Harum
IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 …………. .. 83
26. Transaksi Pengadaan Lahan di Kelompok Tani Harum IV,
Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 ……… . 84
27. Rata-rata Biaya Sewa Garapan Usahatani Padi (kg/ha) di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi
Tahun 2011 ………... . 85
28. Keragaan Jumlah Tenaga Kerja Keluarga Rumah Tangga Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota
Sukabumi Tahun 2011 ……….. . 86
29. Peranan Keluarga dalam Meningkatkan Penguasaan Lahan di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi
Tahun 2011 ………... . 88
30. Sumber Pendanaan Peningkatan Pengusahaan Lahan di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi
Tahun 2011 ……… 89
31. Keragaan Penguasaan dan Pengusahaan Rumah Tangga Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota
Sukabumi Tahun 2011 ……….. . 94
32. Luas Total Pengusahaan Lahan di Kelompok Tani Harum IV,
Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 ……… . 96
33. Rata-rata Luas Lahan Padi Tiap Persil di Kelompok Tani
Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 …. .. 97 34. Luas Lahan Pemilik dan Penggarap Sewa (ha) pada
Pengusahaan Tanaman Padi di Kelompok Tani Harum IV,
Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 ……… . 100
35. Luas Lahan Pemilik dan Penggarap Akad (ha) pada Pengusahaan Tanaman Padi di Kelompok Tani Harum IV,
Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 ……… . 101
36. Keragaan Pengusahaan Lahan Padi MT 3 2010-2011 Rumah Tangga Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec.
Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 ………. . 102
viii Pertama Kali menjadi Petani di Kelompok Tani Harum IV,
Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 …………..…. 103
38. Sumber Perolehan Lahan Sawah bukan Hak Milik Padaa Saat Pertama Kali menjadi Petani di Kelompok Tani Harum IV,
Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 ………... .. 103
39. Kriteria Pemilihan Lahan untuk Peningkatan Penguasaan Lahan di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota
Sukabumi Tahun 2011 ……….………. . 104
40. Alasan Penambahan dan Pengurangan Penguasaan Lahan di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi
Tahun 2011 ………... ... 105
41. Responden yang Mengalami Pemindahan Hak Garap/Sewa di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi
Tahun 2011 ………... . 106
42. Alasan Terjadinya Pemindahan Hak Garap/Sewa di
Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi
Tahun 2011 ………... . 107
43. Hubungan Kekerabatan antara Pemilik dan Penggarap di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi
Tahun 2011 ……… 108
44. Rata-rata Lama Waktu (Tahun) Menggarap Lahan dengan Sistem Garap Sewa di Kelompok Tani Harum IV, Kec.
Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 ………. . 110
45. Tingkat Penggunaan Teknologi di Kelompok Tani Harum IV,
Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 ……… . 111
46. Rata-rata Skor dan Distribusi Tingkat Penggunaan Teknologi di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota
Sukabumi Tahun 2011 ……….. . 112
47. Perhitungan Koefisien Gini (G) untuk Berbagai Kategori Penguasaan Lahan di Kelompok Tani Harum IV, Kec.
Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 ………. . 113
48. Keragaan Lahan yang Dikuasai Rumah Tangga Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi
Tahun 2011 ……… 114
49. Lahan yang Diusahakan Padi oleh Rumah Tangga Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi
Tahun 2011 ……… 115
50. Lahan Milik yang Diusahakan Padi oleh Rumah Tangga Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota
Sukabumi Tahun 2011….……… ... 116
51. Rata-Rata Pengeluaran Rumah Tangga Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun
2011 ………. ... 123 52. Hasil Pengujian Regresi Pendapatan Usahatani Padi
terhadap Luas Pengusahaan Lahan Sawah ... .... 126 53. Nilai Koefisien Regresi Masing-Masing Independent variable
untuk Hasil Pengujian Regresi Pendapatan Usahatani Padi
ix 54. Hasil Pengujian Regresi Pendapatan Usahatani Padi
terhadap Laju Peningkatan Luas Pengusahaan Lahan Sawah ... 130 55. Hasil Pengujian Regresi Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Luas Pengusahaan Lahan Sawah ... 133 56. Nilai Koefisien Regresi Masing-Masing Independent Varible
untuk Hasil Pengujian Regresi Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Luas Pengusahaan Lahan Sawah ... 134 57. Rata-Rata Pengusahaan Lahan Sawah berdasarkan Status
Penguasaan Lahan yang Didekati oleh Model Persamaan dan Kondisi Saat Ini di Kelompok Tani Harum IV, Kec.
Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 ………. . 137
58. Hasil Pengujian Regresi Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Laju Peningkatan Luas Pengusahaan Lahan
Sawah ... ... 141 59. Nilai Koefisien Regresi Masing-Masing Independent Varible
untuk Hasil Pengujian Regresi Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Laju Peningkatan Luas Pengusahaan Lahan
Sawah ... 143
x
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Kerangka Pemikiran Operasional Hubungan Pengusahaan Lahan Sawah dengan Pendapatan Usahatani Padi di Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi
Tahun 2011 ……… 42
2. Nilai Aset Petani Penggarap di Kelompok Tani Harum IV,
Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 ………. .... 90
3. Nilai Aset Petani Pemilik dan Penggarap di Kelompok Tani
Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 .… .. 91 4. Nilai Aset Total Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec.
Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 ……… .. 92
5. Grafik Distribusi Penguasaan Lahan di Kelompok Tani
Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 .… .. 114 6. Grafik Distribusi Pengusahaan Lahan Padi di Kelompok Tani
Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 …. .. 115 7. Grafik Distribusi Lahan Milik yang Diusahakan Padi di
Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi
Tahun 2011 ……… . 116
8. Indikator Produksi Padi Rata-rata Petani di Kelompok Tani
Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 ….. . 117 9. Indikator Penerimaan Usahatani Padi Rata-rata Petani di
Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi
Tahun 2011 ……… 118
10. Indikator Biaya Usahatani Padi Rata-rata di Kelompok Tani
Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 …. .. 119 11. Indikator Pendapatan Rata-rata Petani di Kelompok Tani
Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 …. .. 120 12. Indikator Pendapatan Bersih Rata-rata Petani di Kelompok
Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi
Tahun 2011 ……… 121
13. Indikator Pendapatan Bersih Per Rumah Tangga Petani Setiap Musim di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2011), peranan penting sektor pertanian dalam arti luas (Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan) dapat terlihat dari kontribusinya terhadap nilai PDB, atas dasar harga berlaku tahun 2010 PDB pertanian sebesar 985,1 triliun rupiah atau sebesar 15,33 persen terhadap total nilai PDB. Selain itu, sektor pertanian juga mampu menyerap tenaga kerja sebesar 41.494.941 jiwa atau sebesesar 38,35 persen terhadap total nilai tenaga kerja1. Peran penting sektor pertanian lainnya dapat terlihat dari sumbangannya terhadap devisa negara. Total devisa yang diperoleh dari kegiatan ekspor pertanian di tahun 2008 mampu mencapai US$ 17.979.58 juta2.
Salah satu produk pertanian strategis Indonesia yang menjadi komoditi utama ketahanan pangan nasional adalah padi. Padi merupakan sumber makanan pokok mayoritas penduduk Indonesia, ketersediannya sangat tergantung pada dinamika produksi dan konsumsi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2010), produksi padi dari tahun 2008-2010 mengalami peningkatan sebesar 9,37 persen. Pada tahun 2010, produksi padi sebesar 65.980.670 ton Gabah Kering Giling (GKG), dengan tingkat rendemen sebesar 0,6 jumlah ketersediaan gabah tersebut diperkirakan setara dengan 39.588.402 ton beras. Untuk melihat dinamika kebutuhan beras nasional, dapat didekati dari tingkat konsumsi beras per kapita. Menurut Deputi Bidang Statistik Produksi Badan Pusat Statistik (BPS), Subagio Dwijosumono, asumsi konsumsi beras per kapita per tahun rakyat Indonesia sebanyak 139,15 kg3. Oleh karena itu, untuk mencukupi kebutuhan konsumsi 237.556.363 jiwa penduduk Indonesia, diperlukan beras sebanyak 38 juta ton. Sekilas berdasarkan perhitungan angka angka statistik tersebut, terlihat bahwa Indonesia sebetulnya mengalami surplus beras. Akan tetapi dengan melihat fakta
1
Badan Pusat Statistik. 2010. Penduduk 15 Tahun Ke Atas Menurut Status Pekerjaan Utama 2004, 2005, 2006, 2007, 2008, 2009 dan 2010.
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=06¬ab=3. [26 Maret 2011].
2
Kementrian Pertanian. 2010. Rancangan Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. http://agribisnis.deptan.go.id/organisasi/renstra_Ditjen_PPHP.pdf. [28 Maret 2011].
3
Berita Terbaru. 2011. BPS: Jika dihitung, Indonesia Surplus Beras 4 Juta Ton.
http://www.berita-terbaru.com/berita-nasional/bps-thn-2011-seharusnya-beras-surplus-4jt-ton-tapi-kemana-yah-larinya-ayo-tebak.html. [29 Maret 2011].
2 adanya impor beras yang jumlahnya relatif besar dan kelangkaan beras di penghujung tahun 2010, mengindikasikan kenyataan sebaliknya, bahwa ketersediaan beras nasional Indonesia belum aman dan masih tergantung pada impor luar negeri.
Keragaan ekspor dan impor beras Indonesia dapat terlihat pada Tabel 1. Berdasarkan tabel tersebut, impor beras di tahun 2008 mencapai 289.689,411 ton. Namun, pada tahun 2009 jumlah tersebut menurun 13,5 persen menjadi sebesar 250.473,149 ton. Pada tahun 2010 impor beras kembali mengalami penurunan sebesar 31,6 persen menjadi sebesar 171.442,022 ton. Akibat kelangkaan beras di akhir tahun 2010, pada tahun 2011 ini, pemerintah telah mengeluarkan izin impor beras sebanyak 1,5 juta ton untuk mencukupi stok Badan Urusan Logistik (Bulog)4. Terakhir Indonesia mengimpor beras dalam jumlah besar pada tahun 1998 sebesar 5,8 juta ton dan 4 juta ton pada tahun 1999 dengan rata-rata impor sebesar 2 juta ton/tahun5. Hal tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara importer beras terbesar di dunia dan menunjukkan rentannya kemandirian pangan, padahal sejarah mencatat pada tahun 1984 Indonesia mampu mendapatkan penghargaan oleh Badan Pangan Sedunia (FAO) karena dinilai telah berhasil memenuhi kebutuhan pangan nasional (swasembada beras).
Tabel 1. Ekspor-Impor Beras Indonesia Tahun 2008 -2011
Sumber : Badan Pusat Statistik (2010) Ket : *) Rencana Impor Bulog 2011
4
Berita Terbaru. 2011. BPS: Jika dihitung, Indonesia Surplus Beras 4 Juta Ton.
http://www.berita-terbaru.com/berita-nasional/bps-thn-2011-seharusnya-beras-surplus-4jt-ton-tapi-kemana-yah-larinya-ayo-tebak.html. [29 Maret 2011].
5
Husodo SY. 2003. Membangun Kemandirian di Bidang Pangan: Suatu Kebutuhan bagi Indonesia. Jurnal Ekonomi Rakyat Artikel - Th. II - No. 6.
http://www.ekonomirakyat.org/edisi_18/artikel_3.htm. [16 April 2011] Tahun Ekspor (Ton) Laju Ekspor (%) Impor (Ton) Laju Impor (%) 2008 722,364 289.689 2009 2.344,057 224,5 250.473 -13,5 2010 203,284 -91,3 171.442 -31,6 2011* - - 1.500.000 775
3 Salah satu upaya mengurangi impor beras adalah dengan peningkatan produksi padi. Peningkatan produksi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu intensifikasi dan ektensifikasi. Salah satu hambatan program intensifikasi maupun ekstensifikasi adalah adanya alih fungsi (konversi) lahan pertanian. Masalah ini muncul seiring dengan semakin tinggi dan bertambahnya kebutuhan dan permintaan terhadap lahan, khususnya dari sektor non pertanian seperti sektor perumahan, sebagai dampak kegiatan pembangunan.
Salah satu sumber data yang menjadi acuan dalam menjelaskan terjadinya konversi lahan adalah Sensus Pertanian (SP) yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik. SP dilakukan secara periodik setiap 10 tahun sekali, mulai 1973, 1983, 1993, dan 2003. Berdasarkan hasil Sensus Pertanian yang sudah dilakukan selama tiga dekade terakhir, yaitu pada tahun 1983, 1993, dan 2003 oleh Badan Pusat Statistik (Tabel 2), selama periode 1983-1993 konversi lahan pertanian mencapai 1.280.268 ha, dan sebagian besar terjadi di Jawa (79,3 persen). Pada dasawarsa berikutnya (1993-2003), besaran konversi lahan pertanian relatif tidak mengalami perubahan yang berarti, yaitu sebesar 1.264.140 ha, dan sebagian besar terjadi di Sumatera (92,3 persen). Sejalan dengan dinamika pembangunan, sebaran konversi lahan pertanian cenderung mengalami pergeseran dari Jawa ke luar Jawa terutama Sumatera.
Tabel 2. Konversi Lahan Pertanian di Indonesia, 1983-2003 (Hektar)
Wilayah Total lahan pertanian Konversi lahan
SP 19831) SP 19932) SP 20033) 1983-1993 1993-2003
Jawa 5.422.449 4.407.029 4.019.887 -1.015.420 -387.142
Bali & Nusa
Tenggara 1.208.164 1.060.218 1.095.551 -147.946 +35.293 Sumatera 5.668.811 5.416.601 4.249.706 -252.210 -1.166.895 Sulawesi 1.637.811 1.772.444 2.184.508 +134.693 +412.064 Kalimantan 2.222.153 2.191.596 2.096.230 -30.557 -95.357 Maluku 378.662 400.339 351.970 +21.717 -48.369 Irian Jaya 166.322 175.777 142.043 +9.455 -33.734 INDONESIA 16.704.272 15.424.004 16.704.272 -1.280.268 -1.264.140
Sumber: Badan Pusat Statistik 2004, diacu dalam Lokollo et al. 2007 1) Sensus Pertanian Seri J3, 1983
2) Sensus Pertanian Seri J3, 1993 3) Sensus Pertanian Seri A3, 2003
4 pengurangan sebanyak 1.402.562 ha atau sebanyak 70.128,1 ha/tahun. Konversi lahan pertanian ke non pertanian berdasarkan ketentuan UUPA No 5 Tahun 1960 dibenarkan jika dalam waktu yang bersamaan terjadi pencetakan lahan pertanian baru yang disesuaikan dengan kualitas lahannya. Minimnya program pencetakan lahan baru, menyebabkan dampak utama konversi lahan adalah berkurangnya produksi pertanian. Seberapa besar dampak kehilangan ini dapat digambarkan dengan ilustrasi jika semua luas areal pertanian yang hilang tersebut dimanfaatkan untuk budidaya padi. Dengan asumsi intensitas pertanaman (IP) sebesar 150, produktifitas padi sebesar 5,6 ton/ha serta rendemen gabah-padi sebesar 60 persen, maka konversi lahan telah mengurangi potensi gabah sebesar 589.076,04 ton gabah/tahun atau 353.445,62 ton beras/tahun, dengan harga beras medium saat ini sebesar Rp 6000/kg, maka nilai kehilangan beras diperkirakan sebesar 2,12 triliun rupiah/tahun.
Oleh karena itu, pengendalian laju konversi sangat penting dilakukan untuk tercapainya ketersediaan beras nasional. Jika konversi terus berlangsung dan upaya untuk melaksanakan ekstensifikasi tidak terwujud atau terkendala, maka produksi gabah atau beras nasional akan semakin berkurang. Upaya pengendalian konversi lahan pertanian tersebut menjadi cukup mendesak mengingat pertumbuhan produksi beras akhir-akhir ini mengalami stagnasi akibat terkendala oleh kejenuhan teknologi.
Berdasarkan uraian diatas terlihat bahwa lahan merupakan faktor produksi utama dalam usaha pertanian. Dengan kata lain, eksistensi lahan dapat dianggap sebagai tumpuan dalam produksi usahatani khususnya padi untuk memenuhi ketersediaan beras nasional. Oleh karena itu, upaya untuk terus meningkatkan penguasaan dan pengusahaan lahan secara optimal, khususnya lahan sawah perlu semakin ditingkatkan dengan pertimbangan: (a) swasembada beras saat ini masih belum stabil, kemungkinan impor beras masih mungkin terjadi, salah satu penyebab utamanya adalah peningkatan bencana alam di Indonesia; (b) pasar pangan padi di dunia semakin kecil, akibat negara produsen padi cenderung untuk mengamankan produksi dalam negerinya; (c) keterbatasan devisa Indonesia, sebagai gambaran selama periode 1996-2005 devisa negara berkurang sebanyak 14,7 triliun rupiah per tahun untuk mengimpor beras; (d) berkembangnya
5 bioenergi yang berdampak terhadap menurunnya ketersediaan pangan yang berimplikasi terhadap peningkatan harga pangan secara umum; dan (e) mengimbangi pertumbuhan penduduk Indonesia yang selalu bernilai positif (Surya 2011).
Selain adanya konversi lahan pertanian, ketersediaan gabah atau beras juga dipengaruhi oleh laju pertumbuhan penguasaan lahan sawah oleh rumah tangga petani padi. Tabel 3 menyajikan data SP 1983, 1993 dan 2003 mengenai jumlah rumah tangga pertanian (RTP) penggunaan lahan berdasarkan luas lahan yang dikuasai. Berdasarkan tabel tersebut terlihat jumlah rumah tangga petani pengguna lahan yang < 0,49 ha mengalami peningkatan yang cukup besar. Jika pada tahun 1983 jumlahnya sebanyak 7,600,964 RTP, maka pada tahun 2003 jumlahnya menjadi 14,064,589 RTP. Dengan demikian kenaikan jumlah RTP luas lahan < 0,49 ha selama 20 tahun sebesar 85,04 persen. Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui rata-rata kepemilikan lahan petani pada tahun 1983 sebesar 0,23 ha dan kepemilikan ini semakin kecil karena di tahun 2003 menjadi 0,07 ha. Berkurangnya lahan yang dikuasi oleh petani mengindikasikan kesejahteraan petani semakin berkurang.
Tabel 3. Jumlah RTP Pengguna Lahan Menurut Luas Lahan yang Dikuasai di Indonesia pada Sensus Pertanian 1983, 1993 dan 2003.
Luas Lahan (ha) 1983 1993 2003
RTP Luas Lahan (Ha) RTP Luas Lahan (Ha) RTP Luas Lahan (Ha) < 0.49 7,600,964 1,767,400 9,580,885 830,385 14,064,589 972,842 44.50 18.92 45.29 4.95 56.47 4.94 0.5-0.99 4,000,264 2,655,352 4,373,203 3,906,272 4,578,053 4,581,431 23.42 28.42 20.67 23.29 18.38 23.29 1-1.99 3,179,270 4,087,770 4,422,493 4,253,652 3,460,406 4,988,852 18.61 43.75 20.90 25.36 13.89 25.36 > 2 2,298,818 833,172 2,779,390 7,784,770 2,801,627 9,130,287 13.46 8.92 13.14 46.41 11.25 46.41 17,079,403 9,343,785 21,156,058 16,775,133 24,904,764 19,673,466 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 Sumber: Badan Pusat Statistika 2004, diacu dalam Lokollo et al. 2007
Semakin sempitnya luas kepemilikan lahan, maka produksi padi yang dihasilkan per rumah tangga petani semakin berkurang, implikasinya pendapatan
6 petani pun semakin berkurang. Dilihat dari perspektif penguasaan lahan, salah satu upaya yang akan dilakukan oleh petani untuk mempertahankan kehidupannya pada kondisi pendapatan petani semakin berkurang adalah dengan cara meningkatkan penguasaan lahan. Penguasaan lahan oleh petani dapat dilakukan dengan cara membeli, menyakap, menyewa, dan meminjam. Mengingat profil petani Indonesia yang sebagian besar merupakan kelompok berpendapatan rendah, maka upaya penguasaan lahan yang paling banyak dilakukan oleh petani adalah dengan cara menyakap, menyewa dan meminjam.
1.2. Perumusan Masalah
Pembangunan pertanian di Indonesia dihadapkan pada berbagai perubahan kondisi sosial ekonomi petani dan usaha pertanian di perdesaan. Beberapa perubahan yang juga menjadi permasalahan dalam pembangunan pertanian di Indonesia, antara lain: (1) semakin meningkatnya Rumah Tangga Petani, sementara pengusahaan dan penguasaan lahan pertanian per keluarga petani semakin kecil, yang diakibatkan karena tingginya laju konversi lahan ke penggunaan non pertanian; (2) Tenaga kerja pertanian didominasi oleh tenaga kerja usia tua serta tidak tertariknya tenaga kerja muda dan berpendidikan tinggi untuk bekerja di sektor pertanian; (3) Ada kecenderungan menurunnya penggunaan berbagai input produksi (pupuk dan pestisida) disebabkan daya beli dan nilai tukar petani yang makin menurun; dan (4) Peranan sektor pertanian pada PDB semakin menurun, namun tidak diikuti oleh menurunnya penyerapan tenaga kerja. Hal ini menyebabkan produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian relatif rendah dibanding sektor non pertanian sehingga pendapatan rumah tangga petani yang diperoleh rendah (Lokollo
et al. 2007).
Gambaran terhadap tantangan pembangunan pertanian di atas juga diperkuat dari beberapa kesimpulan yang bisa diperoleh dari hasil Sensus Pertanian tahun1983-2003, yaitu: (1) jumlah rumah tangga petani semakin meningkat dan peningkatan tersebut didominasi oleh petani dengan skala < 0,5 ha, (2) rata-rata kepemilikan lahan petani yang termasuk ke dalam kelompok < 0,5 ha semakin kecil, dan (3) semakin banyaknya petani yang tidak memiliki lahan atau tunakisma. Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka dapat muncul suatu pertanyaan “Apakah
7 dengan semakin kecilnya kepemilikan lahan pertanian akan berpengaruh terhadap semakin kecilnya pendapatan petani?”.
Status lahan pertanian dapat dilihat berdasarkan penguasaan dan pengusahaan lahan. Penguasaan lahan diartikan sebagai lahan yang dikuasai oleh petani dan dilakukan melalui pembelian lahan, sakap, sewa, gadai, dan pinjam. Akan tetapi tidak semua lahan yang dikuasi tersebut diusahakan oleh petani. Besar kecilnya penguasaan dan pengusahaan lahan pertanian dapat berhubungan dengan pendapatan rumah tangga petani, tergantung pada struktur mata pencaharian rumah tangga petani. Kesimpulanpenelitian yang dilakukan oleh Supriyati, Saptana, dan Supriyatna Y (2003) tentang “Hubungan Penguasaan Lahan dan Pendapatan
Rumah Tangga di Perdesaan”, memberikan gambaran sebegai berikut ini:
pertama, jika mata pencaharian rumah tangga petani di dominasi dari sektor pertanian, maka terjadi pola hubungan yang positif antara penguasaan lahan dengan pendapatan petani. Kedua, jika mata pencaharian rumah tangga petani di dominasi dari sektor non pertanian, maka terjadi hubungan yang negatif antara penguasaan lahan dengan pendapatan petani. Dengan demikian, konsep yang tepat untuk menggambarkan hubungan antara status lahan dan pendapatan petani bukan dengan konsep penguasaan lahan melainkan dengan konsep pengusahaan lahan.
Fenomena semakin kecilnya kepemilikan lahan oleh petani diindikasikan hampir tersebar di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di Kota Sukabumi. Sebagai salah satu kota di Propinsi Jawa Barat, dinamika penguasaan lahan rumah tangga petani di Kota Sukabumi menarik untuk dikaji dengan pertimbangan sebagai berikut ini :
1. Berdasarkan data Sensus Pertanian terakhir, yaitu Sensus Pertanian Tahun 2003, rata rata luas lahan yang dikuasai rumah tangga pertanian di Kota Sukabumi sebesar 0,14 ha, sedikit lebih kecil dibandingkan dengan Kabupaten Cianjur yang memiliki rata rata luas lahan yang dikuasai rumah tangga petani sebesar 0,15 ha. Kita semua mengetahui bahwa Kabupaten Cianjur merupakan kabupaten sentra produksi beras, meskipun demikian merupakan hal yang menarik untuk mempelajari karakteristik petani di Kota Sukabumi terutama hubungannya dengan penguasaan dan pengusahaan
8 lahan, mengingat rata rata kepemilikan lahannya yang tidak jauh berbeda dengan Kabupaten Cianjur.
2. Berdasarkan laporan dari Bank Indonesia tahun 2010, dibandingkan dengan kota lainnya di Jawa Barat seperti Kota Bogor, Bandung, Cirebon, Bekasi, Depok, dan Kota Tasikmalaya, maka inflasi untuk sektor perumahan di Kota Sukabumi adalah yang paling tinggi, yaitu sebesar 11,32 persen6. Mencermati angka inflasi tersebut terlihat bahwa prospek industri perumahan di Kota Sukabumi sangat baik, terlebih setelah lesunya industri perumahan di Kota Depok dan Bekasi yang ditandai dengan nilai inflasi yang negatif. Membaiknya prospek industri perumahan di Kota Sukabumi akan mengakibatkan besarnya permintaan akan lahan, sehingga dengan kata lain permintaan lahan yang tinggi akan memicu terjadinya konversi lahan. 3. Konversi di Kota Sukabumi secara tidak langsung akan mempengaruhi pola
distribusi penguasaan dan pengusahaan lahan oleh rumah tangga petani. Pola distribusi penguasaan lahan selanjutnya akan berhubungan dengan pendapatan rumah tangga petani.
Tabel 4. Luas Wilayah, Jumlah Petani, dan Luas Sawah Irigasi Desa Tiap Kecamatan 2007 No Kecamatan Luas (Km2) Jumlah Petani Luas Lahan Sawah Luas Panen Bersih (ha) Produkti-fitas Padi (ton/ha) Produksi Padi (ton) 1 Baros 6,11 2.114 289,60 707,75 8,22 5.817,71 2 Citamiang 4,04 661 79,41 279,30 7,62 2.128,27 3 Warudoyong 7,60 1.762 25,99 690,65 7,15 4.938,15 4 Gunung Puyuh 5,50 2.315 14,70 482,60 8,13 3.925,47 5 Cikole 7,08 535 10,98 387,60 7,12 2.759,71 6 Lembursitu 8,90 3.100 344,70 641,25 8,10 5.194,13 7 Cibeureum 8,77 2.325 505,44 895,85 7,32 6.557,62
Sumber: Kota Sukabumi dalam Angka (2008)
6
Berdasarkan Kajian Ekonomi Regional Propinsi Jawa Barat oleh Bank Indonesia pada triwulan 4 tahun 2010, diketahui inflasi sektor perumahan di tiap kota di Jawa Barat, yaitu ;Kota Sukabumi 11,32 persen, Kota Bogor 1,62 persen, Kota Bandung 1,74 persen, Kota Cirebon 3,64 persen, Kota Bekasi – 0,29 persen, Kota Depok, -0,69 persen dan Kota Tasikmalaya 6,47 persen.
9 Secara administratif, Kota Sukabumi terbagi menjadi 7 (tujuh) kecamatan, yaitu Kecamatan Baros, Citamiang, Warudoyong, Gunung Puyuh, Cikole, Lembursitu, dan Cibeureum. Tabel 4 menyajikan luas wilayah, jumlah petani, luas sawah irigasi desa, luas panen bersih, produktifitas padi dan produksi padi di tiap tiap kecamatan. Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa dari luas wilayah, Kecamatan Lembursitu paling luas dibandingkan kecamatan lainnya, selain itu jumlah petani di Kecamatan Lembursitu pun paling banyak, akan tetapi jika dilihat dari luas areal sawah irigasi desa, Kecamatan Cibeureum merupakan kecamatan yang paling luas areal sawah irigasinya.
Jika dikaitkan dengan isu ketimpangan penguasaan lahan, maka kajian terhadap Kecamatan Lembursitu akan lebih menarik dibandingkan dengan kecamatan lainnya, dengan jumlah petani yang relatif banyak, akan tetapi luas panen bersih tanaman padi yang tidak sebesar Kecamatan Cibeureum dan Warudoyong, maka diperkirakan bahwa rata-rata penguasaan lahan sawah petani di Kecamatan Lembursitu relatif kecil jika dibandingkan dengan Cibeureum dan Warudoyong. Gejala awal konversi akan terlihat dari perpindahan hak milik yang mengakibatkan ketimpangan pola distribusi lahan. Dengan rata-rata kepemilikan lahan yang kecil, maka diperkirakan pola distribusi penguasaan lahan di Kecamatan Lembursitu relatif timpang. Kondisi ini dapat mengakibatkan terhadap perubahan struktur petani yang didominasi oleh kelompok petani penggarap.
Kelurahan Situmekar merupakan salah satu kelurahan di Kecamatan Lembursitu Kota Sukabumi yang memiliki potensi dalam menghasilkan padi sawah. Luas areal lahan sawah berdasarkan jenis pengairan di Kelurahan Situmekar mencapai 63,330 ha (40,84 % dari luas Kelurahan Situmekar sebesar 155,040 ha). Meskipun sistem irigasi yang digunakan hanyalah sistem irigasi sederhana, namun kelurahan ini mampu menghasilkan kualitas padi sawah terbaik dibandingkan dengan kelurahan-kelurahan lain yang ada di Kecamatan Lembursitu, karena letaknya yang paling dekat dengan sumber air yaitu dekat dengan Sungai Cikadulawang.
Hal lainnya yang menarik untuk di kaji di Kelurahan Situmekar adalah rendahnya rata rata penguasaan lahan dan adanya gap pendapatan antara petani pemilik lahan dengan petani bukan pemilik lahan. Salah satu potret rendahnya
10 rata-rata penguasaan lahan dan adanya gap pendapatan antara petani pemilik lahan dengan petani bukan pemilik lahan terjadi di Kelompok Tani Harum IV, Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi. Berdasarkan hasil pendataan penyuluh pertanian kota Sukabumi tahun 2009, rata-rata penguasaan lahan sawah di Kelompok Tani Harum IV, baik berdasarkan pengelompokan lahan milik dan bukan milik (sewa, bagi hasil/sakap, gadai, dan pinjam) adalah sebesar 0,09 ha/petani dengan jumlah petani sebanyak 32 orang. Selain itu berdasarkan hasil pendataan penyuluh pertanian (2008), terdapat gap yang cukup besar pada rata-rata tingkat pendapatan usahatani/ha/tahun antara petani lahan milik dan petani bukan milik, yaitu masing-masing sebesar Rp 8.250.000,00 dan Rp 3.987.750,00, sehingga diperkirakan kecenderungan pendapatan yang diperoleh antara petani lahan milik dan bukan milik masing masing sebesar Rp 618.750,00 per bulan dan Rp 299.081,25 per bulan. Hal ini tentu saja jauh dari standar upah minimum regional (UMR) atau ukuran kesejahteraan di wilayah manapun.
Kecilnya pendapatan dari usahatani padi di Kelompok Tani Harum IV, mengakibatkan RTP mencari pekerjaan lain di luar usahataninya untuk melindungi mereka dari tingkat kesejahteraan yang semakin menurun. Menurut Handewi et al. (2002) peranan pendapatan yang berasal dari usahatani padi pada berbagai strata penguasaan lahan sawah diperkirakan hanya dapat mengatasi 21 persen hingga 38 persen terhadap keseluruhan pengeluaran rumah tangga sehingga petani padi harus meningkatkan luasan penguasaan lahan sawahnya apabila ingin mengatasi pengeluaran rumah tangganya dan tetap fokus dalam usahatani padi.
Berdasarkan uraian sebelumnya, kajian terhadap status lahan dan pendapatan petani di Kota Sukabumi dimulai dengan pemahaman terhadap tingginya inflasi perumahan yang memungkinkan terjadinya konversi lahan di wilayah tersebut. Motivasi petani untuk menjual atau mempertahankan lahan yang dimilikinya akan dipengaruhi oleh persepsi petani atas kemampuan usahatani dalam menghidupi keluarganya. Kemampuan petani dalam meningkatkan penguasaan lahan pertanian akan mempengaruhi terhadap struktur pendapatan rumah tangga pertanian, apakah rumah tangga tersebut akan bergantung pada
11 sektor pertanian atau tergantung pada sektor non pertanian. Dengan demikian berdasarkan uraian permasalahan, penulis mencoba untuk merumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut ini:
1) Bagaimana pola distribusi penguasaan lahan petani padi di Kelompok Tani Harum IV, Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi?
2) Apakah terdapat perbedaan pendapatan usahatani padi sawah berdasarkan status penguasaan lahan sawahnya di Kelompok Tani Harum IV, Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi?
3) Apakah terdapat hubungan antara pengusahaan lahan sawah dengan pendapatan usahatani padi di Kelompok Tani Harum IV, Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi?
4) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pengusahaan lahan sawah petani padi di Kelompok Tani Harum IV, Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini, yaitu:
1) Menganalisis pola distribusi penguasaan lahan petani padi di Kelompok Tani Harum IV, Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi.
2) Menganalisis pendapatan usahatani padi sawah berdasarkan status penguasaan lahan sawahnya di Kelompok Tani Harum IV, Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi.
3) Menganalisis hubungan antara pengusahaan lahan sawah dengan pendapatan usahatani padi di Kelompok Tani Harum IV, Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi.
4) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pengusahaan lahan sawah petani padi di Kelompok Tani Harum IV, Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi.
12
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi: (1) penulis sebagai sarana pembelajaran dan penerapan ilmu; (2) petani sebagai bahan pertimbangan dan masukan dalam melakukan penguasaan lahan di Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi; (3) pihak penyuluh pertanian sebagai bahan informasi dan evaluasi program yang akan datang; (4) pemerintah dalam upaya penyusunan strategi dan kebijakan pertanian yang lebih baik; dan (5) peneliti lain yang ingin mengembangkan penelitian ini pada tahap berikutnya.
1.5. Ruang Lingkup
Penelitian ini dilakukan dengan lingkup regional yaitu Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi, Propinsi Jawa Barat dengan padi sawah sebagai komoditi yang akan diteliti. Petani yang dijadikan responden dalam penelitian ini adalah petani padi sawah yang tergabung dalam Kelompok Tani Harum IV.
Objek penelitian ini meliputi penguasaan lahan yang dibedakan berdasarkan statusnya serta faktor-faktor yang mempengaruhi. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengusahaan lahan dalam penelitian ini adalah status penguasaan lahan (terdiri dari: kelompok status pemilik, kelompok status pemilik dan penggarap, serta kelompok status penggarap), umur, pendidikan, pengalaman bertani, jumlah tanggungan keluarga, jumlah keluarga yang bekerja di sektor pertanian, jumlah hari kerja, jumlah organisasi yang diikuti, interaksi pertemuan di kelompok tani, hutang, aset, luas lahan sawah yang dikuasai, luas lahan milik, produktivitas padi, biaya usahatani, penerimaan usahatani, dan pendapatan usahatani.
Selain itu, untuk memenuhi tujuan penelitian tentang hubungan antara pengusahaan lahan sawah dengan pendapatan usahatani, maka yang menjadi variabel dependentnya adalah luas pengusahaan lahan sawah, sedangkan yang menjadi variabel independentnya adalah pendapatan. Hubungan ini tidak bersifat simultan, artinya dalam penelitian ini tidak dilakukan hubungan sebaliknya.
13
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penguasaan dan Pengusahaan Lahan
Menurut Wiradi (2008) dalam tulisannya tentang “Pola Penguasaan
Tanah dan Reforma Agraria”, istilah land tenure dan land tenancy sebenarnya
merupakan dua sejoli, namun pengertian atau bidang yang diartikan oleh masing-masing istilah tersebut dalam penggunannya agak berbeda. Kata land memang sudah jelas yaitu tanah, sedangkan kata tenure berasal dari kata dalam bahasa latin
tenere yang mencakup arti: memelihara, memegang, memiliki. Oleh karena itu, land tenure memperoleh arti: hak atas tanah atau penguasaan tanah. Istilah land tenure biasanya dipakai dalam uraian-uraian yang membahas masalah yang
pokok-pokok umumnya adalah mengenai status hukum dari penguasaan tanah seperti hak milik, gadai, bagi hasil, sewa-menyewa, dan juga kedudukan buruh tani. Uraian itu menunjukkan kepada pendekatan juridis. Artinya penelaahannya biasanya bertolak dari sistem yang berlaku yang mengatur kemungkinan penggunaan, mengatur syarat-syarat untuk dapat menggarap tanah bagi penggarapnya, dan berapa lama penggarapan itu dapat berlangsung.
Kata land tenancy secara etimologis adalah saudara kembar dari kata land
tenure. Sebab, kata tenant mempunyai arti: orang yang memiliki, memegang,
menempati, menduduki, menggunakan atau menyewa sebidang tanah tertentu. Tetapi, suatu uraian yang menggunakan istilah ini biasanya menunjuk kepada pendekatan ekonomis. Artinya, penelaahannya meliputi hal-hal yang menyangkut hubungan penggarapan tanah. Objek penelaahan itu biasanya berkisar di sekitar pembagian hasil antara pemilik dan penggarap tanah, faktor-faktor tenaga kerja, investasi-investasi, besarnya nilai sewa, dan sebagainya.
Di Indonesia, nampaknya soal peristilahan hubungan penguasa tanah belum dibakukan. Ada yang berpendapat bahwa land tenancy sebaiknya diterjemahkan dengan penyakapan. Dengan demikian maka hubungan-hubungan sewa-menyewa, bagi hasil, kedokan, ceblokan, gadai, dan sebagainya tercakup dalam istilah penyakapan. Tetapi ada juga yang menggunakan istilah penyakapan khusus untuk menunjuk kepada bagi hasil (misal Studi Dinamika Perdesaan
14 Survei Agro Ekonomi atau SDP-SAE). Sedangkan hubungan-hubungan lainnya disebut dengan istilah aslinya (sewa-menyewa dan sebagainya).
Kiranya perlu juga dibedakan antara istilah pemilikan, penguasaan, dan pengusahaan tanah. Kata pemilikan menunjuk kepada penguasaan formal, sedangkan kata penguasaan menunjuk kepada penguasaan efektif. Misalnya, jika sebidang tanah disewakan kepada orang lain maka orang lain itulah yang secara efektif menguasainya. Jika seorang menggarap tanah miliknya sendiri, misalnya 2 ha, lalu menggarap juga 3 ha tanah yang disewa dari orang lain, maka ia menguasai 5 ha. Dalam hubungan ini perlu dicatat bahwa dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 56/1960, atau yang dikenal sebagai UU Land Reform, batas luas maksimum dikenakan bukan saja pada pemilikan tanah tetapi juga penguasaan tanah (Pasal 1 Undang-Undang No 56/1960). Kata pengusahaan nampaknya cukup jelas, yaitu menunjuk kepada bagaimana caranya sebidang tanah diusahakan secara produktif.
Susilowati dan Suryani (1996) serta Suhartini dan Mintoro (1996) juga mengutarakan hal mengenai pemahaman pola pemilikan dan pengusahaan lahan. Pola pemilikan lahan pertanian menggambarkan keadaan pemilikan faktor produksi utama dalam produksi pertanian. Keadaan pemilikan lahan sering dijadikan suatu indikator bagi tingkat kesejahteraan masyarakat perdesaan walaupun belum mencerminkan keadaan yang sebenarnya bagi tingkat kesejahteraan itu sendiri. Namun demikian, pola pemilikan lahan dapat dijadikan gambaran tentang pemerataan penguasaan faktor produksi utama di sektor pertanian yang dapat dijadikan sumber pendapatan bagi pemiliknya. Pada pola pengusahaan lebih ditekankan pada pemanfaatan secara langsung sumberdaya lahan untuk usahatani yang dilakukan oleh rumah tangga petani (RTP).
Perbandingan antara tingkat pemilikan lahan dengan tingkat pengusahaan lahan dapat menunjukkan gambaran mengenai kemampuan RTP dalam mengusahakannya. Di samping itu, dengan melihat pola pengusahaan lahan dapat dilihat suatu gambaran mengenai adanya transaksi pelepasan lahan dari pemilik lahan kepada penggarap, sehingga penggarap dapat aktif dalam kegiatan produksi sebagai bagian dari kegiatan ekonomi perdesaan. Adanya transaksi pelepasan lahan dari pemilik ke penggarap akan menciptakan suatu sistem pasar lahan di
15 perdesaan dan terciptanya suatu kelembagaan yang berkaitan dengan hubungan kerja antara petani pemilik lahan dengan penggarap (Saleh dan Zakaria 1996).
Sumaryanto (1996) memasukan hak pengusahaan atau penggarapan bersama hak kepemilikan dalam cakupan hak penguasaan. Hak pengusahaan merupakan salah satu produk kelembagaan sehingga dinamikanya berkaitan erat dengan perubahan nilai, norma atau hukum yang dianut dan berlaku dalam suatu komunitas. Dibandingkan dengan hak kepemilikan, derajat okupasi hak pengusahaan lebih rendah. Pemilik mempunyai hak dan kewenangan untuk menjual, menukarkan, menghibahkan atau mewariskan lahannya itu kepada orang lain, sedangkan penggarap pada hakekatnya hanyalah memiliki hak untuk mengelola atau menggarap lahan tersebut sebagaimana diatur dalam sistem kelembagaan yang lazim dianut dalam komunitas tersebut.
Sugiarto (1996) dan Syukur et al. (1996) membagi sistem kelembagaan pengusahaan lahan menjadi empat bagian, yakni : sistem sewa-menyewa, sistem bagi hasil, sistem gadai dan sistem kombinasi. Sistem sewa merupakan pengalihan hak garap kepada orang lain dengan imbalan yang pada umumnya berupa uang tunai kepada pemilik lahan. Besarnya tingkat sewa biasanya ditentukan sesuai dengan harga pasar lahan setempat. Selanjutnya setelah transaksi sewa terjadi maka pengelolaan atas lahan dan risikonya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penyewa. Sistem sakap atau bagi hasil merupakan pengalihan hak garap kepada orang lain, dimana antara pemilik dan penggarap terjadi ikatan pengusahaan usahatani dan pembagian produksi. Dalam sistem sakap, pemilik lahan menyediakan lahan sedangkan penggarap menyediakan tenaga kerja sepenuhnya. Siapa yang menanggung sarana produksi dan bagaimana pembagian hasil produksi tergantung dari tradisi setempat dan perjanjian sebelumnya.
Sistem gadai merupakan pengalihan hak garap kepada orang lain yang sifatnya lebih sebagai jaminan atas pinjaman pemilik lahan terhadap penggarap. Dibandingkan dengan sewa, penetapan besarnya nilai lahan pada gadai tidaklah selugas sewa dan sangat tergantung kepada lamanya pemilik lahan mampu mengembalikan pinjamannya. Pada umumnya pemilik uang (dalam hal ini sebagai penggarap atau yang mengusahakan lahan tersebut) sebagai penentu harga. Sistem kombinasi merupakan sistem modifikasi bentuk pengusahaan lahan, seperti:
16 pemilik-penyewa, pemilik-penyakap, pemilik-penggadai, penyewa-penyakap, penyewa-penggadai, penyakap-penggadai dan lain sebagainya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem penguasaan lahan dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok besar, yaitu : (1) petani yang mengusahakan lahan milik sendiri, (2) petani yang mengusahakan lahan bukan milik sendiri, dan (3) gabungan dari keduanya. Bagi petani yang mengusahakan lahan orang lain dapat dilakukan dengan cara menyewa, bagi hasil/sakap, dan gadai serta sangat dimungkinkan terjadinya kombinasi antar petani milik, menyewa, bagi hasil, dan gadai dalam satu rumah tangga petani. Selain itu penguasaan lahan dan pengusahaan lahan merupakan konsep yang berbeda. Penguasaan lahan merujuk pada kewenangan seseorang dalam menguasai lahannya yang diakibatkan karena memiliki, menyewa, sakap, gadai, dan pinjam.
Sedangkan pengusahaan lahan merujuk pada seberapa luas
pemanfaatan/penggunaan lahan yang dikuasi oleh petani. Tidak semua lahan yang dikuasai oleh petani diusahakan semuanya.
2.2. Pola dan Distribusi Lahan Petani
Sumaryanto dan Rusastra (2000) menelaah data Sensus Pertanian (SP) 1983 dan 1993 untuk melihat struktur penguasaan tanah di tingkat makro. Hasil SP 1993 menunjukkan bahwa struktur pemilikan tanah rumah tangga pertanian cukup timpang, sekitar 49 persen rumah tangga pertanian tanaman pangan termasuk kelompok dengan penguasaan kurang dari 0,5 ha, dengan rata-rata luas penguasaan sekitar 0,24 ha. Sementara pada tahun 1983 sebesar 41 persen, dengan rata-rata luas penguasaan 0,26 ha. Di sisi lain, terjadi kecenderungan menurunnya proporsi rumah tangga yang termasuk kelompok penguasaan tanah 0,51 ha ke atas, tetapi rata-rata luas penguasaannya bervariasi.
Pada kelompok penguasaan 15 ha ke atas, proporsinya turun drastis dari 0,19 persen menjadi 0,06 persen tetapi rata-rata luas penguasaannya meningkat dari 20,7 ha menjadi 22,2 ha. Dengan demikian selama periode 1983-1993 terjadi perubahan struktur penguasaan rumah tangga pertanian dan yang paling menonjol adalah makin banyaknya petani gurem dengan luas penguasaannya yang semakin menyempit, dan di sisi lain terjadi pengumpulan penguasaan pada sebagian kecil rumah tangga bertanah luas. Fenomena ini telah mengindikasikan
17 terjadinya polarisasi penguasaan tanah di perdesaan.
Pada awal tahun 1980-an, menurut Wiradi dan Makali (1984) terdapat 2 kelompok pakar/peneliti yang berbeda pendapat tentang struktur penguasaan tanah di perdesaan. Kelompok pertama, yaitu Geertz, Hayami, dan Kikuchi berpendapat bahwa masyarakat perdesaan di Jawa tidak terkutub menjadi petani luas (tuan tanah) dan petani gurem (hamba tani), namun lebih merupakan stratifikasi yang meningkat. Kelompok lain adalah Sayogyo, Collier, Lyon, dan Kano yang berpendapat bahwa pengutuban masyarakat desa dalam hal penguasaan tanah memang sedang terjadi. Dinamika struktur penguasaan tanah 1983-1993 memperkuat pendapat kelompok kedua (Sumaryanto dan Rusastra 2000; Rusastra dan Sudaryanto 1997).
Data di tingkat mikro juga menunjukkan gejala ketimpangan pemilikan lahan dan peningkatan proporsi rumah tangga tunakisma terutama di perdesaan Jawa. Hasil penelitian Studi Dinamika Perdesaan (SDP) pada tahun 1982 di 12 desa di Jawa dan 3 desa di luar Jawa (Sulawesi Selatan) menunjukkan bahwa hampir di semua desa, Indeks Gini pemilikan tanah di atas 0,60. Terutama di Jawa, 6 dari 12 desa, indeks Gininya di atas 0,80, suatu tingkat ketimpangan yang berat. Temuan lain yang sangat bermakna adalah hampir di semua desa, 30 persen atau lebih rumah tangga tidak memiliki tanah, sedangkan kurang dari 20 persen rumah tangga memiliki setengah atau lebih dari total luas sawah yang ada (Wiradi dan Makali, 1984).
Hasil penelitian Panel Petani Nasional (PATANAS) tahun 1994/1995 dan 1998/1999 juga menunjukkan kecenderungan yang sama. Selama periode tersebut, proporsi rumah tangga yang tidak mempunyai tanah cenderung meningkat, kecuali di desa perkebunan di luar Jawa. Indeks Gini di Jawa cenderung meningkat dari 0,72 menjadi 0,78, demikian juga di luar Jawa, meningkat dari 0,53 menjadi 0,54. Nampak bahwa ketimpangan pemilikan tanah di Jawa lebih besar dibandingkan luar Jawa (Adnyana 2000).
2.3. Pendapatan Usahatani Padi
Penelitian mengenai analisis pendapatan usahatani padi telah banyak dilakukan dan berikut beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini: Perbedaan biaya sewa lahan antara dua daerah yang mempunyai karakteristik
18 geografis yang berbeda juga dapat mempengaruhi pendapatan usahatani di Kabupaten Subang (Disti 2006). Penelitian ini menunjukkan bahwa pendapatan dan biaya usahatani yang dikeluarkan petani program PTT di Desa Cijengkol lebih rendah jika dibandingkan dengan biaya total petani Desa Mulyasari. Selain itu, penggunaan faktor-faktor produksi baik petani PTT Desa Mulyasari dan Desa Cijengkol juga belum mencapai kondisi optimal karena rasio NPM dan BKM tidak sama dengan satu sehingga baik petani PTT Desa Mulyasari maupun petani PTT Desa Cijengkol belum efisien. Berdasarkan perbandingan tingkat pendapatan terlihat bahwa penggunaan faktor produksi usahatani masih dapat ditingkatkan. Hal ini ditunjukkan dengan R/C rasio atas biaya tunai lebih besar daripada R/C rasio aktual. R/C rasio atas biaya tunai untuk petani PTT Desa Mulyasari pada kondisi optimal sebesar 5,28. Sedangkan R/C rasio tunai yang aktual sebesar 1,44. R/C rasio tunai untuk petani PTT Desa Cijengkol pada kondisi optimal sebesar 3,91 dan rasio tunai yang aktual sebesar 1,52.
Penjelasan Handayani (2006) lebih jauh mengungkapkan bahwa pendapatan usahatani milik luas lebih menguntungkan daripada pendapatan usahatani milik sempit. Nilai R/C pada usahatani milik luas adalah sebesar 2,12 sedangkan pada usahatani milik sempit adalah sebesar 1,97. Lebih rendahnya keuntungan yang diterima pada usahatani milik sempit disebabkan proporsi biaya yang dikeluarkan lebih besar dibandingkan usahatani milik luas, khususnya biaya tenaga kerja dalam keluarga. Di sisi lain, pendapatan usahatani bukan milik luas memiliki keuntungan yang lebih kecil dibandingkan pendapatan usahatani bukan milik sempit. Nilai R/C pada usahatani bukan milik luas adalah sebesar 1,32 sedangkan nilai R/C pada usahatani bukan milik sempit adalah sebesar 1,36. Namun, secara umum keseluruhan usahatani padi sawah yang dilakukan di Desa Karacak cukup menguntungkan dan memberikan intensif untuk dilaksanakan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai R/C yang lebih besar dari nilai satu.
Penelitian Hantari (2007) mengenai analisis pendapatan dan produksi usahatani padi sawah lahan sempit yang dilakukan di Desa Sitimulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul. Petani responden di daerah penelitiannya terbagi menjadi petani pemilik lahan dan petani penggarap lahan dengan status bagi hasil. Simpulan penelitiannya memperlihatkan bahwa penerimaan total petani padi