• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENAMPILAN REPRODUKSI TIGA JENIS AYAM LOKAL JAWA BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENAMPILAN REPRODUKSI TIGA JENIS AYAM LOKAL JAWA BARAT"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

PENAMPILAN REPRODUKSI TIGA JENIS AYAM LOKAL

JAWA BARAT

SOEPARNA,KUNDRAT HIDAJAT danTITA D.LESTARI Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran

Jatinangor, Sumedang 45363 ABSTRAK

Penelitian mengenai penampilan reproduksi tiga jenis ayam lokal Jawa Barat telah dilaksanakan di Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Sumedang. Penelitian ini menggunakan 24 ekor ayam jantan, yang terdiri dari tiga strain lokal yaitu Pelung, Sentul dan Jantur. Masing-masing strain lokal diwakili oleh 8 (delapan) ekor. Seluruh ayam jantan yang digunakan dalam penelitian ini didatangkan dari tempat aslinya. Ayam Pelung dari Cianjur, ayam Sentul dari Ciamis, dan ayam Jantur dari Pamanukan, Subang. Peubah-peubah yang diamati selama penelitian laboratoris meliputi volume semen, pH semen, konsentrasi sperma total dan motilitas sperma. Pengambilan data dilakukan setiap minggu selama delapan minggu. Setelah pengumpulan data kualitas semen secara in vitro diperoleh, semen dari seluruh pejantan diuji periode fertil spermanya menggunakan 240 ekor ayam petelur strain Super Harco. Masing-masing pejantan diuji oleh 10 ekor betina. Pakan yang diberikan kepada ayam-ayam penelitian adalah pakan ayam petelur komersial yang mengandung protein kasar 16% dan 2850 kcal ME/kg. Setiap ekor ayam jantan memperoleh 125 gram/ekor/hari yang diberikan dua kali dalam bentuk pasta. Air minum diberikan secara ad libitum. Pengukuran peubah penelitian seluruhnya dilakukan secara manual. Penghitungan konsentrasi sperma total dan konsentrasi sperma mati dilakukan menggunakan pipet haemacytometer dan kamar hitung Neubauer. Larutan NaCl 3% digunakan untuk melakukan penghitungan konsentrasi sperma total, sedangkan BPSE digunakan dalam penghitungan konsentrasi sperma mati serta pengenceran semen untuk inseminasi untuk pengukuran periode fertil sperma. Setiap ekor ayam betina yang berumur 25 minggu diinseminasi dengan 0,25 ml semen cair yang mengandung 100 juta sperma motil. Data yang terkumpul kemudian dianalisis menggunakan Sidik Ragam. Adapun perbedaan nilai yang terjadi pada setiap strain ayam lokal diuji menggunakan Uji Beda Nyata Jujur. Hasil penelitian menunjukan bahwa ayam Pelung memiliki kualitas semen, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, yang paling baik dibandingkan dengan ayan Sentul dan ayam Jantur. Ayam Pelung yang memiliki ukuran tubuh paling besar akan memiliki jaringan testicular yang lebih besar dari dua jenis ayam lainnya sehingga mampu menghasilkan kuantitas semen yang lebih banyak. Ayam Pelung juga memiliki kemampuan beradaptasi yang lebih baik terhadap lingkungan tempat penelitian serta sistem pemeliharan selama penelitian. Keeratan hubungan antara hewan dengan manusia (animal-human relationship) ayam Pelung juga lebih baik sehingga sangat berperan dalam mengatasi cekaman (stress) selama penampungan semen sehingga kualitas semennya menjadi lebih baik. Seleksi yang dilakukan secara terus menerus ke arah kualitas suara (salah satu karakter seks sekunder jantan) pada ayam Pelung secara tidak langsung berpengaruh terhadap pencapaian kualitas dan kuantitas semennya. Penelitian ini juga menunjukan bahwa motilitas sperma merupakan parameter yang paling baik untuk menentukan kualitas sperma secara in vitro. Adapun apabila pengukuran kualitas semen dilakukan secara in vivo, maka lebih tepat menggunakan parameter periode fertil sperma.

Kata kunci: Ayam lokal, penampilan reproduksi PENDAHULUAN

Ayam lokal Indonesia yang lazim pula disebut sebagai ayam Kampung, ayam Buras, atau ayam Sayur memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap pemenuhan protein hewani masyarakat Indonesia. Ayam lokal ini pada umumnya dipelihara secara semi intensif atau ekstensif di perdesaan. Bagi golongan masyarakat tertentu, daging ayam lokal tersebut memiliki cita rasa yang sangat spesifik

dan tidak tergantikan oleh daging ayam ras yang harganya lebih murah.

Ayam lokal Indonesia yang pada umumnya merupakan keturunan dari ayam Hutan Merah (Gallus gallus) (PRAWIROKUSUMO, 1978; ICHINOE, 1982; AINI, 1990; CRAWFORD, 1990) terdiri dari banyak strain lokal. Sampai saat ini paling tidak sudah ada 21 jenis ayam lokal yang mulai diidentifikasi (NATAAMIJAYA, 1993). Sebagian dari ayam lokal teridentifikasi tersebut berada di Jawa Barat, yaitu ayam

(2)

Banten, ayam Burgo (Cirebon), ayam Ciparage (Karawang), ayam Wareng (Indramayu), ayam Pelung (Cianjur dan Sukabumi), ayam Sentul (Ciamis), ayam Lamba (Garut) dan ayam Jantur (Pamanukan – Subang).

Ayam Pelung merupakan ayam lokal Jawa Barat dikenal sebagai ayam penyanyi yang memiliki kemurnian relatif tinggi. Hal itu merupakan konsekuensi tidak langsung dari aktivitas pemuliabiakan tradisional yang dilakukan masyarakat Cianjur dan Sukabumi ke arah penampilan suara selama puluhan tahun. Ayam Pelung juga merupakan ayam lokal yang memiliki ukuran tubuh terutama jantannya paling besar diantara ayam lokal di Jawa Barat. Pada saat ini bobot ayam Pelung jantan dewasa berkisar antara 3,50 – 5,50 kg, sedang ayam betina 2,5 – 3,5 kg (MANSJOER, S.S. et al., 1990; ANONYMOUS, 1994). Menurut penuturan para peternak sepuh di daerah Cianjur dan Sukabumi, bobot badan ayam Pelung jantan di masa lalu lebih tinggi lagi, yaitu dapat mencapai 7,5 kg.

Ayam Pelung betina mulai bertelur pada umur 5,5 – 7 bulandengan produksi 14,33 butir dalam setiap periode bertelur tau sekitar 39 – 68 butir/tahun. Telur ayam Pelung memiliki bobot rata-rata 42,20 gram/butir dengan fertilitas dan daya tetas telur sebesar 76,60% dan 80% (MANSJOER et al., 1990; 1994; NATAAMIJAYA, 1993; ANONYMOUS, 1994). Informasi mengenai potensi reproduksi ayam Pelung jantan sampai saat ini belum banyak terungkap.

Ayam Sentul merupakan ayam lokal yang berkembang di wilayah Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Penampilan fisiknya agak mirip dengan ayam sabung (Bangkok), hanya variasi warna bulu serta bentuk jengger dan/atau pialnya sangat lebar. Ayam Sentul tersebut mendapat perhatian dan pemeliharaan yang lebih baik sehubungan dengan produksi telurnya dapat mencapai 10 – 18 butir/periode peneluran. Masa istirahat antara satu periode peneluran dengan periode peneluran berikutnya relative pendek serta bobot telur yang mencapai 43,87 ± 1,25 gram merupakan daya tarik lain dari ayam tersebut. Fertilitas dan daya tetas telurnya mencapai 80,40% dan 78,20% (NATAAMIJAYA, 1993). Adapun informasi produktivitas dan kemampuan reproduksi ayam jantannya belum tergali.

Ayam Jantur adalah ayam lokal Jawa Barat yang berkembang secara alamiah di Desa Rancahilir, Kecamatan Pamanukan, Kabupaten Subang. Penampilan morfologik ayam Jantur jantan lebih mendekati postur ayam sabung (Bangkok). Perawakannya masif dengan tungkai yang kokoh. Aspek yang membedakan ayam Jantur dengan ayam Bangkok adalah keberagaman warna bulu dan bentuk jengger dan/atau pialnya. Penampilan ayam betina dewasanya pun lebih mendekati ayam Bangkok betina.

Ayam Jantur jantan dewasa memiliki berat badan 2,50 – 3,50 kg, sedangkan betina dewasanya memiliki berat badan sekitar 1,70 kg. Ayam betina mulai bertelur pada umur 5 – 6 bulan dengan berat telur sekitar 37 gram/butir.

Tingginya keanekaragaman hayati ayam lokal di Jawa Barat khususnya dan Indonesia pada umumnya merupakan peluang bagi pelaku pemuliaan ternak mengembangkan strain ayam baru berbasis potensi lokal. Hal ini dilandasi oleh karakteristik ayam lokal yang sangat adaptif dengan kondisi iklim tropis dan sistem pemeliharaan yang tidak rumit serta potensi-potensi lainnya yang belum tergali, seperti daya tahannya terhadap penyakit tertentu.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini menggunakan 30 ekor ayam jantan yang terdiri dari 10 ekor ayam Pelung, 10 ekor ayam Sentul, dan 30 ekor ayam Jantur yang berumur antara 10 sampai 12 bulan. Ayam-ayam tersebut diperoleh dari peternak di Kabupaten Cianjur, Ciamis, dan Subang Jawa Barat. Bobot badan rata-rata ayam Pelung 3,376 kg, ayam Sentul 2,514 kg, dan ayam Jantur 2,340 kg. Masing-masing ayam dipelihara dalam kandang individu yang ditempatkan dalam ruangan seluas 30 m2. Masing-masing kandang individu yang berbahan rangka kayu dengan dinding dan alas bilah-bilah bambu berukuran panjang 80 cm, lebar 80 cm, dan tinggi 70 cm. Ruangan tersebut dilengkapi dengan dua buah exhauster fan. Adapun pencahayaan sepenuhnya menggunakan cahaya alami.

Ayam-ayam jantan penelitian diberi pakan petelur komersial yang mengandung 26%

(3)

protein kasar dan 2.850 kcal ME/kg. Setiap ekor memperoleh pakan sebanyak 120 gram/hari yang diberikan dua kali yaitu pukul 07.00 dan pukul 14.00. Pakan diberikan dalam bentuk pasta. Adapun air minum diberikan secara ad libitum. Seluruh ayam penelitian diberikan kesempatan exercise dua kali dalam seminggu, masing-masing selama dua jam (dari jam 08.30 – 10.30). Ayam-ayam tersebut dikeluarkan secara bergiliran dari kandang individu dan dilepaskan dalam ranch kecil yang berukuran 50 m2.

Penampungan semen dilakukan secara artifisial dengan cara pengurutan yang merupakan modifikasi dari metode yang dikembangkan oleh BURROWS dan QUINN (1935). Penampungan semen untuk keperluan evaluasi kualitas semen secara in vitro dilakukan selama delapan minggu dengan frekuensi satu kali per minggu. Adapun penampungan pada minggu ke-sembilan dan ke-sepuluh dilaksanakan untuk keperluan pengujian periode fertil sperma secara in vivo melalui inseminasi buatan. Seluruh kegiatan penampungan dan evaluasi semen dilaksanakan pada sore hari (pukul 15.30 – 17.30). Begitu pula dengan pelaksanaan inseminasi.

Semen yang diperoleh dari hasil penampungan kemudian dicatat kualitas makroskopiknya (volume, warna, kekentalan, bau dan pH). Setelah itu dievaluasi secara mikroskopik yang meliputi konsentrasi sperma total dan konsentrasi sperma matinya. Penghitungan konsentrasi sperma dilaksanakan menggunakan pipet Haemacytometer dan kamar hitung Neubauer. Penghitungan konsentrasi sperma total memakai larutan Natrium Klorida 3% yang diberi pewarna Eosin, sedangkan larutan Beltsville Poultry Semen Extender (SEXTON, 1977; BOOTWALLA, and MILES, 1992) digunakan dalam mengencerkan semen untuk penghitungan jumlah sperma mati. Penentuan motilitas sperma dilakukan berdasarkan perbandingan konsentrasi sperma hidup (selisih dari konsentrasi sperma total dengan konsentrasi sperma mati) dengan konsentrasi sperma total. Larutan yang sama juga dipakai mengencerkan semen untuk keperluan inseminasi.

Penentuan periode fertil sperma dilaksanakan pada 240 ekor ayam betina petelur strain Super Harco yang berumur 25

minggu. Setiap ekor pejantan diuji dengan 10 ekor ternak betina. Ayam-ayam betina tersebut diinseminasi dengan semen sebanyak 0,25 ml yang mengandung 100 juta sperma motil. Telur-telur yang dioviposisikan mulai hari ke-2 setelah inseminasi dikoleksi, diberi tanda berdasarkan individu betina, hari peneluran, dan kode pejantan. Telur-telur yang terkumpul dibersihkan dari kotoran kemudian disimpan dalam ruangan yang suhunya diatur pada 15o C. Telur-telur yang sudah terkumpul, setiap tiga hari diinkubasi. Pada hari ke-5 masa inkubasi diperiksa fertilitasnya melalui peng-amatan perkembangan embrionya. Penentuan periode fertil sperma dilakukan dengan jalan melihat telur fertil terakhir yang dihasilkan pada hari ke-n setelah pelaksanaan inseminasi.

Data mengenai bobot badan mingguan ayam jantan, kualitas semen dan periode fertil sperma diuji secara statistik menggunakan Daftar Sidik Ragam. Adapun korelasi antara satu peubah dengan peubah lain diuji menggunakan matriks korelasi. Perbedaan yang terdapat dalam satu peubah dievaluasi dengan LSD. Model matematik yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

Y = µ + αi + βj+εij + δk + αi δk + βjδk + εijk, dimana

Y = dependent variable µ = means

αi = pengaruh minggu observasi βj = pengaruh individu

εij = error of i and j δk = pengaruh strain

αiδk = interaksi antara minggu ke-i dan strain k

βjδk = interaksi antara individu j dan strain k

εijk = error of data ijk

Data penelitian tersebut diolah menggunakan Program Statistik SX 3.1 (NH Analytical Software).

HASIL DAN PEMBAHASAN Korelasi Umum

Berdasarkan matriks korelasi yang dibuat, terdapat hubungan yang cukup kuat antara bobot badan dengan volume semen (r = 0,5238) dan antara bobot badan dengan

(4)

motilitas sperma (r = 4527). Sedangkan korelasi antara volume semen dengan konsentrasi sperma total dan motilitas sperma hanya memiliki nilai r = 0,2526 dan r = 0,2371.

Rataan hasil pengamatan penampilan reproduksi tiga jenis ayam lokal selama delapan minggu disajikan pada Tabel berikut: Tabel 1. Karakteristik semen ayam Pelung, Sentul, dan Jantur

Variabel yang diamati Pelung Sentul Jantur

Bobot badan (kg) 3,515Aa 2,515 Bb 2,446Bc

Volume semen (ml) 0,48 A 0,33 b 0,32 b

pH semen 7,42 b 7,42 b 7,63 A

Konsentrasi sperma total (juta sel/ml) 3.160,30 AB 3.031,40B 3.262,30 A

Motilitas sperma ( % ) 78,52A 71,95B 60,08C

Periode fertil sperma(hari) 15,88A 14,40AB 12,91B

Keterangan: Huruf besar (superscript) yang berbeda ke arah kolom dalam baris yang sama menunjukan

perbedaan sangat nyata (P < 0,01); sedangkan huruf kecil menunjukan perbedaan nyata (P < 0,05)

Perkembangan bobot badan ayam

Pengamatan perkembangan bobot badan ayam jantan dilakukan setiap minggu untuk melihat tingkat kecukupan pakan yang diberikan. Ketiga strain ayam lokal yang dijadikan subjek penelitian menunjukkan peningkatan berat badan secara konstan. Ayam Pelung menunjukkan peningkatan berat badan yang paling tinggi, diikuti oleh strain Jantur. Adapun ayam Sentul mengalami sedikit penurunan pada minggu ke-empat dan ke-lima.

Hasil analisis statistik mengenai berat badan menunjukan bahwa masing-masing variabel, yaitu strain ayam, individu ayam dan minggu observasi menunjukkan perbedaan nyata satu dengan yang lainnya. Uji LSD memperkuat bahwa bobot badan ayam Pelung sangat nyata (P < 0,01) lebih tinggi dari pada ayam Sentul dan ayam Jantur. Adapun ayam Sentul nyata (P <0,05) lebih berat dari pada ayam Jantur.

Perbedaan tersebut selain disebabkan oleh faktor genetik, kemungkinan disebabkan oleh tingkat kemampuan ayam-ayam tersebut beradaptasi terhadap lingkungan serta sistem pemeliharaan. Ayam Pelung di tempat asalnya sudah terbiasa dikandangkan sepanjang hari dengan pemberian pakan yang lebih menjamin kebutuhan fisiologik ayam. Adapun ayam Sentul dan ayam Jantur tampaknya belum dapat beradaptasi sebaik ayam Pelung karena selain pola pemeliharaan di tempat asal sangat berbeda dengan apa yang mereka alami di

tempat penelitian. Keadaan lingkungan tempat penelitian pun sangat berbeda dengan tempat asalnya.

Volume semen

Informasi mengenai volume semen yang ditampung secara mingguan disajikan pada Gambar 2. Secara keseluruhan, volume semen dari ketiga strain ayam mengalami penurunan pada penampungan minggu kedua dan ketiga. Volume semen ayam Pelung selama penelitian relatif konstan, sedangkan dua jenis ayam lainnya mengalami penurunan yang sangat tajam pada penampungan minggu kedua. Setelah itu kembali normal meskipun volumenya tidak dapat kembali pada tingkat penampungan pertama.

Hasil analisis statistik memperlihatkan bahwa antara strain ayam terdapat perbedaan yang sangat nyata di mana ayam Pelung menempati posisi paling tinggi diikuti oleh ayam Sentul dan ayam Jantur. Adapun antara kedua strain terakhir secara statistik tidak menunjukan adanya perbedaan.

Mengacu pada pendapat LAKE (1981), bobot sepasang testes ayam jantan yang aktif secara seksual mencapai 1% dari berat badan totalnya. Ayam Pelung tampaknya akan memiliki ukuran testes yang paling besar dibandingkan dengan dua ayam jenis lainnya. Konsekuensi dari keadaan tersebut ayam Pelung mampu memproduksi semen lebih banyak daripada ayam-ayam yang berukuran

(5)

tubuh lebih kecil seperti Sentul dan Jantur. Volume semen yang diperoleh secara artifisial selain tergantung pada umur dan bangsa ayam (BAKST dan BAHR, 1993), juga dipengaruhi oleh kebiasaan ayam menjalani proses penampungan semen secara artifisial dan tingkat keahlian operator yang merangsang dan mengurutnya (FUJIHARA, 1992). Melihat sistem pemeliharaan ayam Pelung yang menekankan keeratan hubungan antara pemilik dengan ayam peliharaannya atau animal-human relationship (SIEGEL, 1993), maka tingkat stress ayam Pelung ketika menjalani proses penampungan secara buatan akan lebih rendah dibandingkan dengan ayam Sentul dan ayam Jantur.

pH semen

pH semen tiga jenis ayam lokal yang ditampung selama delapan minggu disajikan pada Gambar 3 berikut ini.

Ayam Pelung memiliki pH yang agak alkalis pada penampungan pertama sampai ketiga. Akan tetapi secara rata-rata pada penampungan keempat sampai ke delapan pH-nya relatif konstan. Adapun ayam Sentul mengalami peningkatan pH pada penampungan kedua dan bergerak mendekati nilai 7 pada periode akhir penelitian. Sedangkan ayam Jantur memiliki pH yang lebih alkalis dari kedua jenis ayam sebelumnya.

1800 2000 2200 2400 2600 2800 3000 3200 3400 3600 3800 4000 4200 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Minggu ke -Bobot ba da n (grams) Pelung Sentul Jantur

Gambar 1. Bobot badan mingguan tiga jenis ayam lokal Jawa Barat

Gambar 2. Volume semen mingguan tiga jenis ayam lokal Jawa Barat

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Minggu ke -V ol ume s eme n ( m l) Pelung Sentul Jantur

(6)

Secara statistik, ayam Jantur memiliki pH yang sangat nyata (P < 0,01) lebih alkalis dibandingkan dengan ayam Pelung dan Sentul. Adapun pH semen antara ayam Pelung dan Sentul tidak berbeda.

Konsentrasi sperma total

Rata-rata konsentrasi sperma total ayam Pelung selama delapan minggu pengamatan adalah 3.160,30 juta sel (3.037,50 juta - 3.287,50 juta) sel setiap milliliter semennya. Adapun ayam Sentul memiliki rataan konsentrasi sperma total 3.031,40 juta sel

(2.712,50 juta – 3.390,00 juta) sel/ml semen. Sedangkan ayam Jantur memiliki rataan konsentrasi sperma total yang lebih tinggi, yaitu 3.262,30 juta (2.981,30 juta – 3.575,00 juta) sel/ml semen.

Berdasarkan hasil analisis statistik diperoleh bahwa ayam Jantur memiliki rataan konsentrasi sperma total yang sangat nyata (P < 0,01) dibandingkan dengan ayam Sentul. Akan tetapi perbedaannya dengan ayam Pelung tidak nyata. Begitu pula antara konsentrasi sperma total ayam Pelung dengan ayam Sentul.

Ayam Jantur merupakan ayam asli daerah pantai utara Jawa Barat, tepatnya dari Desa

6.4 6.5 6.6 6.7 6.8 6.9 7 7.1 7.2 7.3 7.4 7.5 7.6 7.7 7.8 7.98 8.1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Minggu ke - pH Pelung Sentul Jantur 150 175 200 225 250 275 300 325 350 375 400 425 450 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Minggu ke -Kons entra si Sperma (10 juta sell /ml) Pelung Sentul Jantur

Gambar 3. pH semen mingguan tiga jenis ayam lokal Jawa Barat

(7)

Rancahilir Kecamatan Pamanukan Kabupaten Subang. Temperatur lingkungan harian di daerah tersebut jauh lebih panas dibandingkan dengan tempat asal ayam Sentul (Ciamis), apalagi dengan daerah Cianjur kota. Kondisi klimatologik tempat penelitian (Jatinangor) yang sedikit lebih hangat dari Cianjur dan lebih dingin dibandingkan dengan wilayah pantai utara Jawa Barat serta Ciamis kemungkinan merupakan salah satu stimulator yang membuat ayam Jantur mengalami proses spermatogenesis lebih aktif. Faktor temperatur lingkungan tersebut telah terbukti menurunkan tingkat spermatogenesis pada ternak (ORTAVAN, dkk., 1969; PINEDA, 1989; GARNER dan HAFEZ, 1993).

Motilitas sperma

Rataan motilitas sperma ayam penelitian selama delapan minggu pengamatan menunjukan bahwa ayam Pelung memiliki

nilai motilitas sperma yang paling tinggi, yaitu 78,52% (74,38 - 81,25 %), diikuti oleh ayam Sentul sebesar 71,95% (65,00 - 76,25%) dan ayam Jantur sebesar 60,08% (42,50 - 73,75%). Ketiga jenis ayam dalam penelitian ini memperlihatkan pola motilitas sperma mingguan yang berbeda. Ayam Pelung memperlihatkan pola yang relative konstan dari minggu pertama sampai akhir penelitian, diikuti oleh ayam Sentul, Adapun ayam Jantur memperlihatkan fluktuasi motilitas sperma yang unik dari minggu ke minggu dengan kecenderungan yang terus membaik.

Hasil analisis sidik ragam memperlihatkan bahwa motilitas sperma ayam Pelung sangat nyata (P < 0,01) lebih tinggi dibandingkan dengan motilitas sperma ayam Sentul. Motilitas sperma ayam Sentul juga sangat nyata (P < 0,01) lebih tinggi dari pada motilitas sperma ayam Jantur.

Perbedaan motilitas sperma tersebut selain merupakan salah satu karakter reproduksi dari setiap jenis ayam yang diteliti, juga erat kaitannya dengan faktor pH, baik pH semen maupun pH larutan pengencer yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu Beltsville Poultry Semen Extender yang memiliki nilai 7,50. Semen ayam Jantur yang lebih alkalis dari ayam Pelung dan Sentul, juga memiliki rentang perbedaan pH yang lebih lebar terhadap larutan BPSE, yaitu 0,13. Adapun semen ayam Pelung

dan ayam Sentul rata-rata hanya memiliki perbedaan sebesar 0,08.

Periode fertil sperma

Kemampuan sperma ayam, yang digunakan dalam penelitian ini, untuk membuahi sel telur bevariasi menurut jenis (strain) maupun individu di dalam masing-masing strain. Rata-rata periode fertil sperma ayam Pelung adalah 15,88 ± 5,58 hari ( 6 – 25 hari); ayam Sentul 14,40 ± 4,99 hari (6 – 23 hari); dan ayam Jantur 12,91 ± 4,45 hari (6 – 21 hari).

10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Minggu ke -M otil ita s s perm a (%) Pelung Sentul Jantur

(8)

Berdasarkan hasil analisis statistik, periode fertil sperma ayam Pelung sangat nyata (P < 0,01) lebih lama dari pada periode fertil sperma ayam Jantur. Adapun antara ayam Pelung dan ayam Sentul serta ayam Sentul dan ayam Jantur tidak menunjukan perbedaan lamanya periode fertil.

Pencapaian periode fertil sperma ayam Pelung yang lebih lama dibandingkan dengan dua strain ayam Jawa Barat lainnya merupakan manifestasi dari kualitas semen ayam Pelung yang secara keseluruhan lebih baik dibandingkan dengan semen ayam Sentul dan Jantur. Meskipun jumlah sperma motil yang diinseminasikan adalah sama (100 juta sel) untuk setiap ekor betina, jumlah sperma ayam Pelung yang mampu mencapai sperm nest di daerah infundibulum kemungkinan besar lebih banyak dibandingkan dengan sperma ayam Jantur dan Sentul. Mekanisme di dalam saluran reproduksi ayam betina hanya memfasilitasi pengangkutan sperma motil menuju lipatan-lipatan penyimpanan di bagian infundibulum. Adapun sperma yang mati tidak akan mampu mencapai daerah penyimpanan yang berdekatan tengan tempat berlangsungnya proses fertilisasi tersebut (WISHART, 1984; WISHART dan PALMER, 1985; BRILLARD, 1992).

KESIMPULAN

1. Ayam Pelung merupakan strain ayam local Jawa Barat yang memiliki karakteristik semen paling baik, dibandngkan dengan ayam Sentul dan ayam Jantur, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Ada tiga kemungkinan untuk menjelaskan fenomena tersebut:

a. Bobot tubuh berperan penting sebagai penentu produksi semen. Ternak yang memiliki ukuran tubuh lebih besar akan memiliki jaringan testikular lebih besar yang pada akhirnya lebih mampu menghasilkan semen dalam volume yang lebih besar pula.

b. Tingkat adaptasi hewan terhadap lingkungan klimatologik dan sistem pemeliharaan, serta animal-human relationship ayam Pelung yang lebih baik dibandingkan dengan ayam Sentul dan ayam Jantur merupakan faktor-faktor

yang memperkuat produksi semen, baik secara kualitatif maupun kuantitif. c. Ayam Pelung memiliki status genetik

lebih baik sebagai hasil proses seleksi dan pemuliabiakan selama beberapa generasi. Proses seleksi ayam Pelung jantan yang diarahkan pada kualitas suara yang merupakan salah satu karakter seks sekunder jantan secara tidak langsung berpengaruh terhadap produksi dan kualitas semen.

2. Motilitas sperma merupakan parameter terbaik untuk menduga kualitas semen secara in vitro. Adapun pengujian secara in vivo, periode fertil sperma merupakan parameter yang paling baik untuk menentukan kualitas semen ayam secara keseluruhan.

DAFTAR PUSTAKA

AINI, I. 1990. Indigenous chicken production in

South-East Asia. World’s Poultry Science Journal, 46: 51-57.

ANONYMOUS. 1994. Kokok Pelung mengundang kedatangan Pangeran Jepang. Trubus, 299. Jakarta. Indonesia. pp. 16-16.

ANONYMOUS. 1994. Spesies Ayam dan Varietasnya. Trubus, 299 (Supplement). Jakarta. Indonesia. pp. 1-16.

BAHR, J.M. and M.R. BAKST. 1993. Poultry. In:

HAFEZ, E.S.E. (Ed.). Reproduction in Farm Animals. 6th edition. L

EA and FEBIGER.

Philadelphia. pp. 385 - 402.

BOOTWALLA, S.M. and R.D. MILES. 1992.

Developments of diluents for domestic fowl semen. World’s Poultry Science Journal, 48:121-128.

BRILLARD, J.P.1993. Sperm storage and transport following natural mating and artificial insemination. Poultry Science, 72: 923-928. BRILLARD, J.P and M.R. BAKST. 1990.

Quantification of spermatozoa in the sperm-storage tubules of turkey hens and the relation to the sperm numbers in the perivitelline layer of eggs. Biology of Reproduction, 43: 271-175.

CRAWFORD, R.D. 1990. Origin and history of

poultry species, Pages 1-41, In: Poultry Breeding and Genetics, R.D.CRAWFORD (ed.). Elsevier. Amsterdam.

(9)

FUJIHARA, N. 1992. Accessory reproductive fluids

and organs in male domestic birds. World’s Poultry Science Journal, 48: 39-56.

GARNER,D.L.and E.S.E.HAFEZ. 1993. Spermatozoa and Seminal Plasma. In: HAFEZ,E.S.E.(Ed.).

Reproduction in Farm Animals. 6th edition. LEA and FEBIGER. Philadelphia. pp. 165 - 187

ICHINOE, K. 1982. Introduction. In: ICHINOE (Ed.)

Physiological and Ecological Studies on Jungle Fowls. Tokyo University of Agriculture. pp. 3-8.

LAKE,P.E.1981. Male genital organs. In : Form

and Function in Birds. Vol. 2. A.S. King and J. MCLELLAND (eds.). Academic Press. New York. pp. 3 - 53.

MANSJOER, S.S. 1989. Genetic characters and

performance of Indonesian native chickens. Bogor Agricultural University. Bogor. Indonesia.

MANSJOER, S.S. MANSJOER, S.H.S. SIKAR and S.

DARWATI.1990. Pencarian galur murni ayam Kampung, ayam Pelung dan ayam Bangkok, dalam usaha pelestarian sumber genetik ayam di Indonesia. Institut Pertanian Bogor. MANSJOER, S.S., S.H. SIKAR, B. JUNIMAN, R.

HERLINA,S.DARWATI and GATOT.M. 1994. A

Study on the Immunogenetic Response towards New Castle Disease in Indonesian Native Chicken. Bogor Agriculture University. Indonesia.

NATAAMIJAYA, A.G. 1993. Pengamatan terhadap status Ayam Pelung, Nunukan, Kedu, Gaok dan Sentul, di pedesaan serta eksplorasi kemungkinan keberadaan ayam Buras langka lainnya. Paper. Seminar Nasional Pengembangan Ternak Ayam Buras melalui wadah Koperasi Menyongsong PJPT II. Universitas Padjadjaran. Bandung.

NATAAMIJAYA, A.G., HARYONO, E. SUMANTRI, P.

SITORUS,M.KUSNI,SUHENDAR, and SUBARNA. 1993. Karakteristik morfologis delapan breed ayam bukan ras (Buras) langka. Seminar Nasional Pengembangan Ternak Ayam Buras melalui wadah Koperasi menyongsong PJPT II. Padjadjaran University. Indonesia. ORTAVANT,R.,M.COUROT, and M.T.HOCHEREAU.

1969. Spermatogenesis and morphology of the spermatozoon. In: COLE,H.H.and P.T.CUPPS

(Eds.) Reproduction in domestic animals. Academic Press. New York, London. pp. 272-273.

PINEDA, M.H. 1989. Male reproduction. In:

MCDONALD, L.E. and M.H. PINEDA (Eds.). Veterinary endocrinology and reproduction. LEA and FEBIGER. Philadelphia, London. pp. 263-266

PRAWIROKUSUMO, S. 1978. Problem to improve small scale native chickens management in South-East Asia countries. Proceeding XIII World’s Poultry Congress. Japan. pp. 113-117.

SEXTON,T.J.1977. A new poultry semen extender.

1. Effect of extension on the fertility of chicken semen. Poultry Science, 56: 1143-1146.

SIEGEL, P.B. 1993. Behavior-genetic analyses and poultry husbandry. Poultry Science, 72: 1-6. WISHART, G.J. 1984. Effect of lipid peroxide

formation on sperm motility, ATP content, and fertilizing ability. Journal of Reproduction and Fertility, 71: 113-116.

WISHART,G.J. and F.H.PALMER. 1985. Correlation

of the fertilizing ability of semen from individual male fowls with sperm motility and ATP content. British Poultry Science, 27: 97-102.

Gambar

Tabel 1. Karakteristik semen ayam Pelung, Sentul, dan Jantur
Gambar 1. Bobot badan mingguan tiga jenis ayam lokal Jawa Barat
Gambar 4. Konsentrasi sperma total tiga jenis ayam lokal Jawa Barat
Gambar 5. Motilitas sperma tiga jenis ayam lokal Jawa Barat

Referensi

Dokumen terkait

pada Telur Ayam dan Telur Bebek yang Dijual di Pasar Tradisional di Provinsi Jawa Barat adalah karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum

pada Telur Ayam dan Telur Bebek yang Dijual di Pasar Tradisional di Provinsi Jawa Barat adalah karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum

Selam a periode 1993-2006 sebanyak 14 daerah dengan pencapaian R L S masih dibawah rata-rata Jawa Barat yaitu: Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten

Berdasarkan latar belakang tersebut, tujuan penulisan makalah ini adalah: (1) Mendeskripsikan karakteristik peternak dan peternakan ayam petelur di Jawa Barat dan

MANAJEMEN USAHA PETERNAKAN AYAM BROILER PEMBIBIT DI PT INTERTAMA TRIKENCANA BERSINAR FARM GEKBRONG, KECAMATAN GEKBRONG, KABUPATEN CIANJUR, JAWA BARAT (

Selama periode 1993-2006 sebanyak 14 daerah dengan pencapaian RLS masih dibawah rata-rata Jawa Barat yaitu: Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten

Penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian studi kasus di peternakan Jimmy’s Farm Cipanas Kabupaten Cianjur Jawa Barat dengan analisis deskriptif terhadap

Penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian studi kasus di peternakan Jimmy’s Farm Cipanas Kabupaten Cianjur Jawa Barat dengan analisis deskriptif Umur pertama