• Tidak ada hasil yang ditemukan

Cara pemberian anestesi umum ini terdiri dari beberapa cara yakni :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Cara pemberian anestesi umum ini terdiri dari beberapa cara yakni :"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

Cara pemberian anestesi umum ini terdiri dari beberapa cara yakni :

1) Parenteral (intramuskuler/intravena). Diperlukan untuk tindakan-tindakan yang memerlukan waktu yang pendek dan singkat untuk induksi anestesi tersebut. Beberapa agen anestesi yang sering digunakan yakni tiopental, dan juga seperti ketamin, diazepam, dan lain-lain. Untuk tindakan yang lama, maka anestesi parenteral ini dapat dikombinasikan dengan cara lain.

2) Perektal. Dapat dipakai pada anak untuk induksi anestesi atau tindakan singkat.

3) Inhalasi. Yaitu inhalasi yang menggunakan gas atau cairan anestesi yang mudah menguap (volatile agent) sebagai zat anestetik melalui udara pernafasan. Zat anestetik yang digunakan berupa campuran gas (dengan O2) dan konsentrasi zat anestetik tersebut tergantung dari tekanan parsialnya. Tekanan parsial dalam otak akan menentukan kekuatan dari agen anestesi. Dikatakan kuat apabila hanya dalam tekanan parsial rendah sudah dapat memberikan anestesi yang cukup kuat.

Said (2002) membagi kerja anestesi umum ini ke dalam 4 stadium yakni :

a) Stadium I (Taraf analgesia) : dimulai dari pemberian zat anestetik sampai dengan hilangnya kesadaran. Pasien masih dapat mengikuti perintah. Untuk operasi kecil seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar.

b) Stadium II (Taraf eksitasi): adanya eksitasi, apneu, hiperpneu, tonus otot meningkat, muntah, midriasis,

(2)

commit to user

hipertensi dan takikardia. Harus cepat dilewat karena dapat menyebabkan kematian.

c) Stadium III (Taraf anesthesia): stadium pembedahan, dimulai dengan teraturnya pernafasan sampai hilangnya pernafasan spontan. Stadium ini kemudian dibagi lagi menjadi 4 plana yakni plana 1 (pupil miosis, reflek cahaya ada, lakrimasi meningkat, reflek muntah tidak ada ), plana 2 (bola mata tidak bergerak, pupil midriasis, reflek cahaya menurun, reflek laring hilang), plana 3 ( lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral, reflek laring dan peritoneum tidak ada, relaksasi otot hampir sempurna), plana 4 (pupil sangat midriasis, reflek cahaya hilang, relaksasi otot sempurna

d) Stadium IV (Taraf pelumpuhan medula oblongata) : paralisis medula oblongata, otot pernafasan perut melemah dibanding tiga stadium sebelumnya. Tekanan darah tidak bisa diukur, denyut jantung berhenti, dan akhirnya terjadi kematian.

Efek samping anestesi umum yang dapat terjadi adalah depresi miokardium dan hipotensi (anestesi inhalasi), depresi nafas (terutama anestesi inhalasi), gangguan fungsi hati ringan, gangguan fungsi ginjal, hipotermia dan menggigil pasca operasi, batuk dan spasme laring serta delirium selama masa pemulihan.

Obat-obat anestesi umum yang digunakan dapat dikelompokkan menjadi:

(1) kelompok inhalasi (gas) : Nitrous oksida (N2O), siklopropan, eter, enfluran, isofluran, halotan, metoksifluran, trikoretilen, etil klorida, fluroksen.

(2) Anestesi parenteral (injeksi) dibagi menjadi beberapa golongan yaitu :

(3)

commit to user

(a) Barbiturat, bekerja dengan blokade sistem stimulus di formasio retikularis sehingga kesadaran akan hilang. Efek samping yang dapat terjadi adalah depresi pusat nafas dan menurunnya kontraktilitas otot jantung. Contoh obatnya adalah natrium tiopental, ketamin (b) Droperidol dan Fentanil digunakan untuk menimbulkan

analgesia neuroleptik dan anestesia neuroleptik (bila digunakan bersama N2O)

(c) Diazepam, obat ini menyebabkan tidur dan penurunan kesadaran yang disertai nistagmus dan bicara lambat, tetapi tidak berefek analgesia sehingga harus dikombinasi dengan obat-obat analgesia.

(d) Etomidat merupakan anestetik non barbiturat yang digunakan untuk induksi anestesi tetapi tidak berefek analgesia. Etomidat hanya menimbulkan efek minimal terhadap sistem kardiovaskular dan pernafasan. Efek anestesinya berlangsung segera, dalam waktu 1 menit pasien sudah tidak sadar

b. Anestesi Lokal

Tindakan menghilangkan rasa sakit/nyeri secara lokal tanpa disertai hilangnya kesadaran. Anestesi ini hanya menghilangkan rasa di area tertentu yang akan dilakukan tindakan. Mempunyai kemampuan untuk merintangi transmisi ke batang otak yang kemudian dipakai sebagai anestesi blokade saraf pada pembedahan maupun dalam anestesi spinal umum.

Anestesi lokal yang ideal yang tidak merusak ataupun mengiritasi jaringan secara permanen, kerjanya singkat, cukup aman digunakan, masa kerja yang cukup lama, larut dalam air, stabil dalam larutan, dapat disterilkan tanpa mengalami perubahan dan efeknya reversibel.

(4)

commit to user

Obat-obat anestesi lokal umumnya dipakai adalah garam kloridanya yang mudah larut dalam air. Untuk memperpanjang daya kerjanya ditambahkan suatu vasokonstriktor yang dapat menciutkan pembuluh darah sehingga absorbsi akan diperlambat, toksisitas berkurang, mula kerja dipercepat dengan khasiat yang lebih ampuh dan lokasi pembedahan praktis tidak berdarah, contohnya adrenalin dan efineprin.

1. Anestesi Inhalasi

Menggunakan gas atau cairan anestesi yang mudah menguap (volatile agent) sebagai zat anestetik melalui udara pernafasan. Zat anestetik yang digunakan berupa campuran gas (dengan O2) dan konsentrasi zat anestetik tersebut tergantung dari tekanan parsialnya. Tekanan parsial dalam otak akan menentukan kekuatan dari agen anestesi. Dikatakan kuat apabila hanya dalam tekanan parsial rendah sudah dapat memberikan anestesi yang cukup kuat.

Nitrous oksida (N2O), kloroform, dan eter adalah agen anestesi

inhalasi pertama yang diterima secara universal. Kemudian generasi berikutnya ditemukanlah etil klorida, etilen, dan siklopropan. Namun sebagian besar agen-agen anestetik tadi telah ditarik dari pasaran dikarenakan efek toksiknya yang jauh lebih besar dibanding efek terapinya.

Dewasa ini terdapat lima agen inhalasi yang masih digunakan dalam praktik anestesi yakni nitrous oksida, halotan, isofluran, desfluran, dan sevofluran. Anestetik inhalasi ini paling banyak dipakai untuk induksi pada pediatri atau pasien anak-anak dimana cukup sulit apabila dilakukan lewat jalur intravena. Di sisi lain, bagi pasien dewasa biasanya dokter anestesi lebih menyukai induksi cepat dengan agen intravena. Meskipun demikian, sevofluran masih menjadi obat induksi pilihan.

(5)

commit to user

2. Farmakokinetik Anestesi Inhalasi

Mekanisme kerja anestesi inhalasi saat ini masih belum diketahui dan dipastikan seperti apa mengingat prosesnya yang cukup rumit dalam farmakologi modern.

Meskipun mekanisme aksi anestetik inhalasi masih belum diketahui secara pasti, para ahli mengasumsikan bahwa efek anestesi diperoleh dari konsentrasi terapetik di sistem saraf pusat.

Proses perjalanan dari zat anestetik ke jalan nafas pasien hingga

akhirnya menimbulkan efek dipengaruhi oleh berbagai hal, di antaranya

a. Proses ambilan oleh paru b. Difusi gas dari paru ke darah

c. Distribusi oleh darah ke otak dan organ lainnya

Gas segar yang ke luar dari mesin anestesia bercampur dengan gas di jalur pernapasan sebelum dihirup oleh pasien. Oleh karena itu, pasien tidak langsung mendapatkan konsentrasi yang sesuai dengan pengaturan dari mesin anestesi tersebut. Ada beberapa hal yang mempengaruhi komposisi yang paling tepat campuran gas yang di hirup yaitu laju aliran gas segar, volume dalam sirkuit pernapasan, dan absorpsi mesin anestesia. Zat inhalasi yang dihirup akan semakin dekat dengan konsentrasi yang ke luar dari mesin anestesi apabila laju aliran gas segar tinggi, volume sirkuit napas sedikit, dan absorpsi mesin rendah.

Sementara itu untuk kecepatan induksi dan pemulihannya, yang paling memegang peranan adalah kelarutan zat inhalasi dalam darah.

Keadaan hiperventilasi akan menaikkan ambilan gas oleh alveolus. Sedangkan kondisi hipoventilasi akan menurunkan ambilan gas alveolus.

Proses anestesi inhalasi ini didapati suatu kadar minimal yang diperlukan gas anestetik dalam alveolus pada tekanan satu atmosfer, untuk mencegah gerakan pada 50 % pasien pada perlakuan insisi

(6)

commit to user

standar. Pada umumnya apabila kadar dari zat tersebut dinaikkan sejumlah 30%, maka akan terjadi immobilisasi pada sekitar 95% pasien.

Tekanan parsial alveolar ini penting karena turut menentukan tekanan parsial agen anestetik tersebut di dalam darah dan kemudian di otak. Tekanan parsial gas anestetik di otak secara langsung mempengaruhi konsentrasi zat di jaringan otak, yang menentukan efek klinis pada pasien. Semakin besar ambilan agen anestetik, semakin besar pula perbedaan antara konsentrasi alveolar dengan konsentrasi inspirasi, dan semakin lambat kecepatan induksi.

Jaringan dapat digolongkan menjadi empat grup berdasarkan perfusi dan solubilitasnya. Grup tinggi vaskularisasi (otak, jantung, liver, ginjal, dan organ endokrin) adalah yang pertama mengambil anestetik dalam jumlah yang signifikan.

Grup otot (kulit dan otot) tidak mempunyai perfusi sebaik grup yang pertama, sehingga ambilannya lebih pelan. Kapasitasnya pun lebih besar; ambilan oleh grup kedua ini berlangsung dalam beberapa jam. Berlanjut ke grup berikutnya, perfusi di grup lemak kurang lebih sama dengan grup otot; tetapi solubilitas anestetik pada grup lemak yang luar biasa sekaligus volume jaringan yang relatif besar menghasilkan kapasitas total yang memerlukan beberapa hari untuk diisi.

Grup terakhir beranggotakan jaringan perfusi minimal dengan vaskularisasi rendah (tulang, ligamen, gigi, rambut, dan kartilago) hampir tidak memberi kontribusi terhadap ambilan anestetik.

Sebagian besar gas anestetik ini dikeluarkan lagi dari tubuh lewat paru. Sebagian lagi ada yang dimetabolisis oleh hepar menggunakan sistem oksidasi sitokrom P450. Sedangkan gas anestetik yang larut dalam air akan dikeluarkan melalui ginjal.

(7)

commit to user

3. Tingkat Kesadaran

Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang terhadap rangsangan dari lingkungan, tingkat kesadaran dibedakan menjadi :

a. Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya.

b. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.

c. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal. d. Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon

psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.

e. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap nyeri.

f. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya).

Perubahan tingkat kesadaran dapat diakibatkan dari berbagai faktor, termasuk perubahan dalam lingkungan kimia otak seperti keracunan, kekurangan oksigen karena berkurangnya aliran darah ke otak, dan tekanan berlebihan di dalam rongga tulang kepala.

Adanya defisit tingkat kesadaran memberi kesan adanya hemiparese serebral atau sistem aktivitas reticular mengalami injuri. Penurunan tingkat kesadaran berhubungan dengan peningkatan angka morbiditas (kecacatan) dan mortalitas (kematian).

(8)

commit to user

Oleh karena itu, sangat penting dalam mengukur status neurologikal dan medis pasien. Tingkat kesadaran ini bisa dijadikan salah satu bagian dari vital sign.

Salah satu cara untuk mengukur tingkat kesadaran dengan hasil seobjektif mungkin adalah menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS) dipakai untuk menentukan derajat cidera kepala. Reflek membuka mata, respon verbal, dan motorik diukur dan hasil pengukuran dijumlahkan jika kurang dari 13, maka dikatakan seseorang mengalami cidera kepala, yang menunjukkan adanya penurunan kesadaran.

Metode lain adalah menggunakan sistem AVPU, di mana pasien diperiksa apakah sadar baik (alert), berespon dengan kata-kata (verbal), hanya berespon jika dirangsang nyeri (pain), atau pasien tidak sadar sehingga tidak berespon baik verbal maupun diberi rangsang nyeri (unresponsive).

Ada metoda lain yang lebih sederhana dan lebih mudah dari GCS dengan hasil yang kurang lebih sama akuratnya, yaitu skala ACDU, pasien diperiksa kesadarannya apakah baik (alertness), bingung /kacau (confusion), mudah tertidur (drowsiness), dan tidak ada respon (unresponsiveness).

4. Pemeriksaan GCS

Glasgow Coma Scale (GCS) yaitu skala yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran pasien, (apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak) dengan menilai respon pasien terhadap rangsangan yang diberikan.

Respon pasien yang perlu diperhatikan mencakup 3 hal yaitu reaksi membuka mata, bicara dan motorik. Hasil pemeriksaan dinyatakan dalam derajat (score) dengan rentang angka 1–6 tergantung responnya.

(9)

commit to user

Yang pertama kali dinilai adalah yakni dengan melihat respon membuka mata yang dinilai dalam skor 1-4. Pada pasien dikatakan skor 4 apabila dapat spontan membuka mata. Skor 3 apabila pasien dapat membuka mata dengan rangsang suara. Skor 2 diberikan apabila pasien dapat membuka mata dengan rangsangan nyeri misal dengan memberikan rangsangan nyeri pada kuku jari sedangkan skor 1 apabila pasien tidak ada respon.

Tahap penilaian yang kedua yakni dengan menilai keadaan verbal pasien. Dinilai dalam skor 1-5. Apabila pasien dapat berorientasi baik maka skor 5. Apabila pasien bingung dan mengacau maka didapatkan skor 4. Skor 3 diberikan apabila pasien hanya dapat berkata-kata saja tanpa bicara jelas tetapi tidak dalam satu kalimat. Skor 2 apabila pasien hanya mengerang. Sedangkan skor 1 diberikan apabila tidak ada respon dari pasien.

Kriteria penilaian selanjutnya adalah dengan menilai kemampuan motoric pasien. Dinilai dalam skala 1-6. Diberikan skor 6 apabila pasien dapat bergerak mengikuti perintah. Skor 5 diberikan apabila pasien dapat melokalisir nyeri (menjangkau dan menjauhkan stimulus nyeri). Diberikan skor 4 apabila pasien menghindar dan menarik tubuh menjauhi rangsangan nyeri. Skor 3 diberikan apabila pasien melakukan fleksi abnormal. Sedangkan skor 2 diberikan apabila pasien melakukan ekstensi abnormal. Sedangkan skor 1 diberikan apabila tidak ada respon dari pasien.

Hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol E…V…M…

Selanutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi adalah 15 yaitu E4V5M6 dan terendah adalah 3 yaitu E1V1M1.

(10)

commit to user

Jika dihubungkan dengan kasus trauma kapitis maka didapatkan hasil :

GCS : 14 – 15 = CKR (cidera kepala ringan) GCS : 9 – 13 = CKS (cidera kepala sedang) GCS : 3 – 8 = CKB (cidera kepala berat)

Penurunan tingkat kesadaran mengindikasikan difisit fungsi otak. Tingkat kesadaran dapat menurun ketika otak mengalami kekurangan oksigen (hipoksia); kekurangan aliran darah (seperti pada keadaan syok); penyakit metabolik seperti diabetes mellitus (koma ketoasidosis); pada keadaan hipo atau hipernatremia; dehidrasi; asidosis, alkalosis; pengaruh obat-obatan, alkohol, keracunan: hipertermia, hipotermia; peningkatan tekanan intrakranial (karena perdarahan, stroke, tomor otak); infeksi (encephalitis); epilepsi.

5. Pemulihan Tingkat Kesadaran Pasca Operasi

Prinsip dalam penatalaksananaan anestesi pada suatu operasi, terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi, tahap penatalaksana ananestesi dan pemeliharaan serta tahap pemulihan dan perawatan pasca anestesi.

Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi yang biasa dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room, yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca bedah atau anestesi. Ruang pulih sadar adalah batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi dan anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.

Pulih dari anestesi umum atau dari analgesia regional secara rutin dikelola dikamar pulih atau Unit Perawatan Pasca Anestesi Recovery Room (RR) atau Post Anestesia Care Unit (PACU). Idealnya bangun dari anestesi secara bertahap, tanpa keluhan dan

(11)

commit to user

mulus. Kenyataannya sering dijumpai hal-hal yang tidak menyenangkan akibat stres pasca bedah atau pasca anestesi yang berupa gangguan napas, gangguan kardiovaskular, gelisah, kesakitan, mual-muntah, menggigil dan kadang-kadang pendarahan.

Recovery room atau ruang pemulihan adalah sebuah ruangan di rumah sakit, di mana pasien dirawat setelah menjalani operasi bedah dan pulih dari efek anestesi. Pasien yang baru saja di operasi atau prosedur diagnostik yang menuntut anestesi atau obat penenang dipindahkan ke ruang pemulihan, di mana keadaan vital sign pasien (nadi, tekanan darah, suhu badan dan saturasi oksigen) diawasi ketat setelah efek dari obat anestesi menghilang.

Pasien biasanya akan mengalami disorientasi setelah sadar kembali, dan di ruang pemulihan ini pasien ditenangkan apabila menjadi anxietas dan dipastikan kalau fisik dan emosionalnya terkendali.

Unit Perawatan Pasca Anestesi (UPPA) harus berada dalam satu lantai dan dekat dengan kamar bedah, supaya kalau timbul kegawatan dan perlu segera diadakan pembedahan ulang tidak akan banyak mengalami hambatan. Selain itu karena segera setelah selesai pembedahan dan anestesi dihentikan pasien sebenarnya masih dalam keadaan anestesi dan perlu diawasi dengan ketat seperti masih berada di kamar bedah.

Besar ruangan dan fasilitas tergantung pada kemampuan kerja kamar bedah. Kondisi ruangan yang membutuhkan suhu yang dapat diatur dan warna yang tidak mempengaruhi warna kulit dan mukosa sangat membantu untuk membuat diagnose dari adanya kegawatan nafas dan sirkulasi. Ruang pulih sadar yang terletak di dekat kamar bedah akan mempercepat atau memudahkan bila diperlukan tindakan bedah kembali. Alat untuk mengatasi gangguan nafas dan jalan nafas harus tersedia, misalnya jalan nafas orofaring, jalan nafas orotrakeal,

(12)

commit to user

laringoskop, alat trakeostomi, dalam segala ukuran. Oksigen dapat diberikan dengan FiO2 25% - 100%.

6. Persiapan Pra Anestesi

Kegiatan persiapan anestesi ini dilakukan 1-2 hari sebelumnya dan untuk tindakan bedah darurat dilakukan sesingkat mungkin.

Tujuan dari tindakan ini adalah untuk mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal, merencanakan dan memilih teknik dan obat-obat anestetik yang sesuai serta menentukan klasifikasi yang sesuai American Society of Anesthesiologists (ASA)

Pemeriksaan dari pra anestesi ini terdiri dari beberapa yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium.(Said, 2002)

a. Anamnesis

Identifikasi, keluhan, riwayat penyakit, riwayat obat-obatan, riwayat anestesi sebelumnya, riwayat kebiasaan sehari-hari, riwayat keluarga, riwayat yang meliputi keadaan umum, dan makanan terakhir yang dimakan.

b. Pemeriksaan fisik

Tinggi dan berat badan, frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta suhu tubuh, jalan nafas, kondisi jantung, paru-paru, abdomen, ekstremitas, neurologis.

c. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan darah rutin (hemoglobin, leukosit, hitung jenis lekosit, golongan darah, masa perdarahan, dan masa pembekuan), urin (protein, reduksi, sedimen), elektrokardiografi, spirometri, fungsi hati dan fungsi ginjal

(13)

commit to user

Berdasarkan status fisik pasien, American Society of Anesthesiologists membuat klasifikasi pasien menjadi (Muhardi dkk, 1989) :

1) ASA I merupakan pasien normal dan sehat fisik dan mental yang memerlukan operasi

2) ASA II merupakan pasien dengan penyakit sistemik ringan dan tidak ada keterbatasan fungsional.

3) ASA III merupakan pasien dengan penyakit sistemik sedang hingga berat yang menyebabkan keterbatasan fungsi dengan berbagai sebab

4) ASA IV merupakan pasien dengan penyakit sistemik berat yang secara langsung mengancam hidupnya.

5) ASA V merupakan pasien yang tidak diharapkan hidup dalam 24 jam baik dengan operasi maupun tanpa operasi.

7. Halotan

Merupakan cairan tidak berwarna, berbau, tidak iritatif, mudah menguap, tidak mudah terbakar atau meledak, mudah diuraikan oleh cahaya. Merubakan obat anestetik dengan kekuatan 2-4 kali lipat dibanding eter dan 2 kali lipat dibanding kloroform. (Mansjoer dkk, 2008)

2 MAC dari halotan menghasilkan 50% penurunan tekanan darah dan curah jantung. Halotan dapat secara langsung menghambat otot jantung dan otot polos pembuluh darah serta menurunkan aktivitas saraf simpatis. Penurunan tekanan darah terjadi akibat depresi langsung pada miokard dan penghambatan refleks baroreseptor terhadap hipotensi, meski respons simpatoadrenal tidak dihambat oleh halotan (sehingga peningkatan PCO2 atau rangsangan

(14)

commit to user

makin jelas turunnya kontraksi miokard, curah jantung, tekanan darah, dan resistensi perifer.

Efek bradikardi disebabkan aktivitas vagal yang meningkat. Automatisitas miokard akibat halotan diperkuat oleh pemberian agonis adrenergik (epinefrin) yang menyebabkan aritmia jantung. Efek vasodilatasi yang dihasilkan pada pembuluh darah otot rangka dan otak dapat meningkatkan aliran darah.

Efek terhadap respirasi adalah pernapasan cepat dan dangkal. Peningkatan laju napas ini tidak cukup untuk mengimbangi penurunan volume tidal, sehingga ventilasi alveolar turun dan PaCO2. Depresi

napas ini diduga akibat depresi medula (sentral) dan disfungsi otot interkostal (perifer). Halotan diduga juga sebagai bronkodilator poten, di mana dapat mencegah bronkospasme pada asma, menghambat salivasi dan fungsi mukosiliar, dengan relaksasi otot maseter yang cukup baik (sehingga intubasi mudah dilakukan), namun dapat mengakibatkan hipoksia pasca operasi dan atelektasis. Efek bronkodilatasi ini bahkan tidak dihambat oleh propanolol.

Dengan mendilatasi pembuluh darah serebral, halotan menurunkan resistensi vaskular serebral dan meningkatkan aliran darah otak, sehingga ICP meningkat, namun aktivitas serebrum berkurang (gambaran EEG melambat dan kebutuhan O2 yang

berkurang). Efek terhadap neuromuskular adalah relaksasi otot skeletal dan meningkatkan kemampuan agen pelumpuh otot nondepolarisasi, serta memicu hipertermia malignan.

Efek terhadap ginjal adalah menurunkan aliran darah renal, laju filtrasi glomerulus, dan jumlah urin, semua ini diakibatkan oleh penurunan tekanan darah arteri dan curah jantung. Efek terhadap hati adalah penurunan aliran darah hepatik, bahkan dapat menyebabkan penyempitan arteri hepatik. Selain itu, metabolisme dan klirens dari beberapa obat (fentanil, fenitoin, verapamil) jadi terganggu.

(15)

commit to user Biotransformasi dan Toksisitas

Eksresi halotan utamanya melalui paru, hanya 20% yang dimetabolisme dalam tubuh untuk dibuang melalui urin dalam bentuk asam trifluoroasetat, trifluoroetanol, dan bromida. Halotan dioksidasi di hati oleh isozim sitokrom P-450 menjadi metabolit utamanya, asam trifluoroasetat. Metabolisme ini dapat dihambat dengan pemberian disulfiram. Bromida, metabolit oksidatif lain, diduga menjadi penyebab perubahan status mental pasca anestesi. Disfungsi hepatik pasca operasi dapat disebabkan oleh: hepatitis viral, perfusi hepatik yang terganggu, penyakit hati yang mendasari, hipoksia hepatosit, dan sebagainya. Penggunaan berulang dari halotan dapat menyebabkan nekrosis hati sentrolobular dengan gejala anoreksia, mual muntah, kadang kemerahan pada kulit disertai eosinofilia.

Kontraindikasi dan Interaksi Obat

Halotan dikontraindikasikan pada pasien dengan disfungsi hati, atau pernah mendapat halotan sebelumnya. Halotan sebaiknya digunakan secara hati-hati pada pasien dengan masa intrakranial (kemungkinan adanya peningkatan TIK). Efek depresi miokard oleh halotan dapat dieksaserbasi oleh agen penghambat adrenergik (seperti propanolol) dan agen penghambat kanal ion kalsium (seperti verapamil). Penggunaannya bersama dengan antidepresan dan inhibitor monoamin oksidase (MAO-I) dihubungkan dengan fluktuasi tekanan darah dan aritmia. Kombinasi halotan dan aminofilin berakibat aritmia ventrikel.

8. Sevofluran

Sama halnya dengan desfluran, sevofluran terhalogenisasi dengan fluorin. Peningkatan kadar alveolar yang cepat membuatnya menajdi pilihan yang tepat untuk induksi inhalasi yang cepat dan mulus untuk pasien anak maupun dewasa. Induksi inhalasi 4-8%

(16)

commit to user

sevofluran dalam 50% kombinasi N2O dan oksigen dapat dicapai

dalam 1-3 menit.

Stabil pada suhu kamar dan memiliki titik didih sekitar 58,60 C

dan tekanan uap 157 mmHg sehingga dapat digunakan sebagai standar vaporizer. (Patel dan Goa, 1996)

Merupakan halogenasi eter, dikemas dalam bentuk cairan tidak berwarna, tidak berbau, tidak eksplosif, dan tidak mengiritasi sehingga baik untuk induksi inhalasi. (Mangku dan Senapathi, 2010)

Efek terhadap Sistem Organ

Sevofluran dapat menurunkan kontraktilitas miokard, namun bersifat ringan. Resistensi vaskular sistemik dan tekanan darah arterial secara ringan juga mengalami penurunan, namun lebih sedikit dibandingkan isofluran atau desfluran. Belum ada laporan mengenai coronary steal oleh karena sevofluran. Agen inhalasi ini dapat mengakibatkan depresi napas, serta bersifat bronkodilator. Efek terhadap SSP adalah peningkatan TIK, meski beberapa riset menunjukkan adanya penurunan aliran darah serebral. Kebutuhan otak akan oksigen juga mengalami penurunan. Efeknya terhadap neuromuskular adalah relaksasi otot yang adekuat sehingga membantu dilakukannya intubasi pada anak setelah induksi inhalasi. Terhadap ginjal, sevofluran menurunkan aliran darah renal dalam jumlah sedikit, sedangkan terhadap hati, sevofluran menurunkan aliran vena porta tapi meningkatkan aliran arteri hepatik, sehingga menjaga aliran darah dan oksigen untuk hati.

Biotransformasi dan Toksisitas

Enzim P-450 memetabolisme sevofluran. Soda lime dapat mendegradasi sevofluran menjadi produk akhir yang nefrotoksik. Meski kebanyakan riset tidak menghubungkan sevofluran dengan gangguan fungsi ginjal pasca operasi, beberapa ahli tidak menyarankan pemberian sevofluran pada pasien dengan disfungsi ginjal. Sevofluran juga dapat didegradasi menjadi hidrogen fluorida

(17)

commit to user

oleh logam pada peralatan pabrik, proses pemaketannya dalam botol kaca, dan faktor lingkungan, di mana hidrogen fluorida ini dapat menyebabkan luka bakar akibat asam jika terkontak dengan mukosa respiratori. Untuk meminimalisasi hal ini, ditambahkan air dalam proses pengolahan sevofluran dan pemaketannya menggunakan kontainer plastik khusus.

Kontraindikasi dan Interaksi Obat

Sevofluran dikontraindikasikan pada hipovolemik berat, hipertermia maligna, dan hipertensi intrakranial. Sevofluran juga sama seperti agen anestetik inhalasi lainnya, dapat meningkatkan kerja pelumpuh otot.

9. Aldrete Score

Aldrete score adalah suatu penilaian pasca operasi untuk menilai pemulihan terhadap anestesi yang digunakan yang kemudian akan digunakan sebagai patokan apakah pasien dapat dipindahkan ke bangsal ataupun masih perlu mendapat perawatan di ICU. Berikut adalah penilaian aldrete score dengan poin masing-masing.

Penilaian dinilai berdasarkan lima hal yaitu warna (merah muda, pucat, sianosis), pernapasan (dapat bernapas dalam dan batuk, dangkal namun pertukaran udara adekuat, dan apnea atau obstruksi), sirkulasi (tekanan darah menyimpang < 20% dari normal, tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normal, dan tekanan darah menyimpang >50% dari normal), kesadaran (Sadar penuh, bangun namun cepat kembali tertidur, dan tidak berespons) dan aktivitas (Seluruh ekstremitas dapat digerakkan, dua ekstremitas dapat digerakkan, dan tidak bergerak)

(18)

commit to user

B. Kerangka Pemikiran

halotan

sevofluran

C. Hipotesis

Ada perbedaan aldrete score akibat penggunaan anestesi halotan dan sevofluran Agen anestetik inhalasi dari mesin vaporizer (halotan dan sevofluran) Masuk ke udara inspirasi dalam pernafasan Difusi di dalam paru (alveoli) Penurunan konsentrasi di otak akibat biotransformasi, kehilangan transkutan, dan ekshalasi Efek masa kerja

agen anestetik inhalasi Masuk ke pembuluh darah dan terdistribusi ke jaringan sesuai target anestetik Kembalinya fungsi normal jaringan dan otak Terjadi pemulihan pasca

operasi Dipantau dengan aldrete score

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil pemeriksaan foto Femur sinistra AP + Lateral (Post Operasi) dan Foto Pelvis /Panggul AP( Post Operasi) ditemukan drain terpasang dengan tip berada pada soft

Dari hasil penelitian mengenai Penyebaran dan Intensitas serangan rayap yang terdapat di perkebunan karet Selamat Group di Desa Pagar Banyu Kecamatan Kota Argamakmur

Apakah kualitas audit, opini audit tahun sebelumnya dan pertumbuhan perusahaan berpengaruh terhadap penerimaan opini audit going concern baik secara parsial maupun

Berdasarkan uji regresi logistik, diketahui bahwa pendapatan termasuk variabel yang mempengaruhi terjadinya BBLR OR=0,081 artinya pendapatan ibu yang rendah mempunyai peluang

After p-aminobenzoic acid was inserted into the interlayer space of Zn-Al-Cl layered double hydroxide, the FTIR spectra of the product was, once again, recorded. FTIR spectra

Pengalaman untuk melihat proses lati- han dan berbentuknya musik, melihat juga bagaimana Robert Nordling (direktur Bandung Philharmonic) bicara kepada orkes dan secara

PT Astra Agro Lestari Tbk (AAL), yang 79,7% sahamnya dimiliki oleh Perseroan, membukukan laba bersih sebesar Rp801 miliar, meningkat dari Rp418 miliar pada kuartal pertama tahun 2016,

menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara umur dan jenis kelamin anak dengan terjadinya campak. Pada analisis lebih lanjut tampak variabel umur ibu mempunyai