POLITIK HUKUM ISLAM DALAM REGULASI JAMINAN PRODUK HALAL DI INDONESIA
(Kajian UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal)
TESIS
Diajukan untuk Memperoleh Gelar Magister (S2) Program Studi Hukum Tata Negara ( Siya>sah)
Oleh
Endah Dwi Rohayati NIM. F0.2.2.130.09
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
POLITIK HUKUM ISLAM DALAM REGULASI JAMINAN PRODUK HALAL
( Kajian UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal)
Oleh: Endah Dwi Rohayati F 022 13 009
I
Kebutuhan terhadap kehalalan produk pangan, merupakan hal yang niscaya bagi umat
Islam karena mengonsumsi yang halal merupakan hak dasar setiap muslim dan implikasi
kewajiban syariat. Ketersediaan pangan yang cukup, aman, bergizi, bervariasi sesuai dengan
daya beli masyarakat serta tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama, budaya maupun
keyakinan adalah hak warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 ( UUD
1945) dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999. Hal ini juga
merupakan bentuk upaya pemerintah dalam melindungi hak-hak warga negara sebagaimana
telah tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-empat yakni Negara Indonesia
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Namun ironisnya, permasalahan ketidakjelasan status kehalalan produk pangan masih
menjadi persoalan serius di Indonesia saat ini. Disahkannya UU No. 33 Tahun 2014 tentang
Jaminan Produk Halal (UU JPH) menjadi harapan dan tantangan baru bagi umat Islam
terkait sistem jaminan produk halal di Indonesia. Hadirnya UU JPH diharapkan mampu
menjadi acuan bagi pemerintah dan produsen untuk memberikan jaminan terhadap kehalalan
produk dan menjadi payung hukum yang menjamin konsumen sesuai asas perlindungan,
keadilan, kepastian hukum, akuntabilitas dan transparansi, efektivitas dan efisiensi serta
profesionalitas. Meskipun demikian, perkembangan legislasi jaminan produk halal ini masih
menemui banyak persoalan baik ditingkat yuridis, sosiologis maupun politis.Bagaimana
aspek sosiologis, yuridis, filosofis dibentuknya UU No 33 tahun 2014 tentang Jaminan
Produk Halal, bagaimana politik hukum Islam berperan dalam proses pembentukan regulasi
Jaminan Produk Halal di Indonesia dan bagaimana aspek nilai hukum Islam berperan dalam
esensi UU No 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, serta kaidah hukum Islam yang
dipakai dalam UU tersebut, perlu diuraikan.
Berdasarkan teori politik hukum, produk hukum yang dihasilkan oleh para legislator
merupakan hasil produk politik, karena hukum lah yang terpengaruh oleh politik dalam
produk hukum pada hakikatnya merupakan adegan konstelasi politik agar kepentingan dan
aspirasi terakomodir dalam bentuk sebuah keputusan politik dan menjadi undang-undang.
Undang–undang tersebut lahir sebagai bentuk keputusan bersama dan dipandang sebagai produk dan adegan konstelasi politik itu.
Awal abad XX yang merupakan masa berakhirnya dominasi kolonialisme, politik
hukum Islam mulai intens diwacanakan dan menjadi polemik, bersamaan dengan proses
pembentukan negara-negara muslim. Mereka mengalami kesulitan mengembangkan
hubungan antara hukum Islam dan negara, tidak terkecuali di Indonesia. Fenomena yang
terjadi di Indonesia, hukum Islam mulai dikenal oleh penduduk nusantara sejak agama Islam
disebarkan di Indonesia dan mulai diikuti dan dilaksanakan oleh pemeluknya.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif-empiris yakni penelitian tentang
identifikasi hukum. Penelitian ini termasuk socio-legal research yakni penelitian dengan
studi empiris untuk menemukan teori mengenai terjadinya hukum di dalam masyarakat dan
bekerjanya hukum tersebut. Obyek dari penelitian ini adalah Undang-Undang No 33 Tahun
2014 tentang Jaminan Produk Halal dan berbagai elemen masyarakat ( masyarakat umum,
komunitas halal, media dan LPPOM MUI) yang menjadi subjek proses politik hukum
diberlakukannya regulasi jaminan halal untuk produk -produk industri di Indonesia. Setelah
data primer dan sekunder diperoleh dan terkumpul, maka data diidentifikasi dan klasifikasi
berdasarkan pokok-pokok masalah yang diteliti. Teknik analisis data yang digunakan adalah
interpretatif understanding.
II
Politik hukum merupakan suatu bagian dalam kajian ilmu hukum yang terdiri atas
dua disiplin ilmu, yaitu ilmu politik dan ilmu hukum. Moh. Mahfud MD, berpendapat bahwa
politik hukum diartikan sebagai legal policy (kebijakan hukum) yang akan atau telah
dilaksanakan oleh pemerintah. Politik hukum ini mencakup pembuatan hukum yang
berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap materi-materi hukum agar dapat
disesuaikan dengan kebutuhan, dan pelaksanaan ketentuan hukum yang sudah ada, termasuk
penegakan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Abdul Hakim Garuda
Nusantara memaknai politik hukum sebagai legal policy dengan lebih mengedepankan
kajian politik hukum pada pembangunan hukum, yaitu tentang perlunya mengikutsertakan
dibentuk, dikonseptualisasikan, diterapkan dan dilembagakan dalam suatu proses politik yang
sesuai dengan cita-cita awal suatu negara.
Padmo Wahjono berpandangan, politik hukum adalah kebijakan dasar yang
menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk. Menurut Satjipto Rahardjo,
politik hukum merupakan aktivitas memilih dan mekanisme yang digunakan dalam rangka
mencapai tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat. Sedangkan Soedarto
menjelaskan bahwa politik hukum merupakan kebijakan negara melalui badan-badan negara
yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan
dan yang digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan
untuk mencapai tujuan yang menjadi cita-cita. Pada dasarnya politik hukum merupakan
suatu kajian yang tidak hanya berbicara pada tataran proses dari hukum-hukum yang akan
dan sedang diberlakukan tetapi juga mencakup pula hukum-hukum yang telah berlaku.
Politik hukum ini mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif
dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman, tidak hanya kepada pembuat UU,
tetapi juga pengadilan yang menetapkan UU dan juga kepada para penyelenggara pelaksana
putusan pengadilan. Pembentukan kebijakan hukum didasarkan pada cita hukum, cita-cita
dan tujuan negara yang termaktub di dalam konstitusi.
Politik hukum nasional merupakan alat dan sarana yang digunakan oleh pemerintah
untuk membentuk sistem hukum nasional, sebagaimana yang dijelaskan oleh Mahfud MD
bahwa politik hukum merupakan legal policy untuk pemberlakuan hukum sehingga dapat
mencapai tujuan negara. Sistem hukum nasional inilah yang akan dapat mewujudkan cita-cita
bangsa sebagaimana yang tertera di dalam landasan ideologi negara yaitu pancasila dan UUD
1945.
Wilayah telaah politik hukum mencakup proses penggalian aspirasi yang ada dari
masyarakat oleh para penyelenggara negara yang berwenang, kemudian aspirasi tersebut
menjadi bahan dan wacana yang akan diperdebatkan dan dikontestasikan oleh para
penyelenggara negara yang berwenang dalam rumusan rancangan peraturan
perundang-undangan.Dalam penentuan rumusan rancangan perundang-undangan hingga berhasil
ditetapkan menjadi undang-undang atau hukum positif, banyak faktor internal dan eksternal
yang mempengaruhi proses politik hukum baik pada saat akan dirumuskan, maupun setelah
III
Islam adalah agama yang komprehensif. Hal ini karena ajaran Islam meliputi berbagai
cakupan yakni hukum yang berkaitan dengan akidah, ibadah, hukum sosial kemasyarakatan,
hukum perekonomian, hukum pemerintahan, hukum pendidikan, sistem sanksi dan hukum
akhlaq. Dalam kaitannya dengan politik, Islam tidak memisahkan antara urusan agama dan
politik. Politik Islam merupakan pengaturan dan pemeliharaan urusan umat yang didasarkan
pada hukum Islam. Politik hukum Islam secara khusus bisa diartikan sebagai proses arah
hukum Islam yang akan dipakai negara untuk mewujudkan tujuan negara, baik berupa hukum
baru atau penggantian hukum lama. Prosesnya menjadi spesifik dibandingkan hukum lain
yang tidak berbasis agama, karena sumber kebenaran teks hukum Islam berbeda. Perbedaan
yang terjadi adalah pada interpretasi hukum dari sumber teks yang sama baik dari Al-Quran,
Al-Hadis, Ijmak maupun qiyas.
Terkait dengan dinamika politik hukum Islam di Indonesia, kita tidak dapat
melepaskannya dari pluralitas masyarakat yang menjadikan hukum senantiasa hidup dan
berkembang sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat, secara sosio-kultural
maupun politik. Munculnya Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang peradilan agama
menjadi pemicu lahirnya produk-produk hukum Islam dalam regulasi di Indonesia. Hingga
saat ini lahirnya UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk halal menjadi bukti terus
bergulirnya perjuangan umat Islam dalam ranah politik hukum di Indonesia.
Hukum Islam dan lembaganya sebagai bagian dari institusi sosial dalam masyarakat
juga tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh lingkungan sosial dan politik yang
melingkupinya. Sehingga dalam konteks transformasi hukum Islam ke dalam hukum
nasional, atau upaya agar hukum Islam dapat menjadi undang-undang negara, tetap harus
melalui kontestasi dan pertarungan sosial politik dan juga melalui proses politik dalam
lembaga legislatif.
Orde reformasi di Indonesia memperlihatkan situasi yang lebih kondusif bagi
eksistensi perjuangan politik hukum Islam. Substansi dari produk hukum dalam UU No. 17
tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU No. 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat, UU No. 18 Tahun 2001 tentang OTSUS NAD, UU No. 41 Tahun 2004
tentang Wakaf, UU No. 3 Tahun 2006 tentang Amandemen terhadap UU No. 7 Tahun 1989
hukum Islam. Sedangkan kebijakan-kebijakan di bidang hukum pidana umum mulai
memasukkan nilai nilai hukum Islam yang bersifat universal dan dapat berlaku bagi semua
kalangan baik muslim maupun non muslim.
IV
Jaminan produk halal ( JPH) dapat dinyatakan sebagai kepastian hukum terhadap
kehalalan produk yang dibuktikan dengan sertifikasi halal. Sertifikat halal adalah surat
keterangan yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia ( MUI) pusat maupun propinsi
tentang halalnya suatu produk makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetika yang
diproduksi oleh perusahaan setelah melalui proses penelitian dan dinyatakan halal. Sistem
Jaminan Halal adalah suatu sistem manajemen terintegrasi yang dibuat dan dilaksanakan
oleh perusahaan pemegang sertifikat halal dalam menjamin kesinambungan proses produksi
halal sesuai persyaratan LPPOM MUI, dengan cara mengatur bahan, proses produksi,
produk, sumber daya manusia dan prosedurnya.
Jaminan Produk halal berangkat dari aspek filosofis yang menjadi landasannya, yaitu
Al-Quran, sunnah, Ijmak dan qiyas yang diijtihadkan oleh Ulama dalam hal ini kita merujuk
kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI adalah sebuah lembaga yang didalamnya
berkumpul para ulama, zu ‘ama dan cendekiawan muslim dari berbagai golongan dan organisasi umat Islam di Indonesia. Dalam menentukan status hukum halal dan haram pada
makanan dan minuman, para fuqaha menggunakan berbagai prinsip penetapan hukum.Selain
prinsip halal dan tayib sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al-Quran dan hadis, dikenal
pula teori istihla>k dan istih{al>a>h, kaidah-kaidah fikih (qawa>id fiqhiyyah) serta konsep
maslahat dan mafsadat. Teori istihla>k dan istiha>lah telah banyak diperbincangkan oleh para
ulama terdahulu. Keduanya merupakan cara penyucian makanan dan minuman dari bahan
asalnya yang bersifat najis menjadi halal dan suci. Teori istihla>k telah dipakai oleh para
ulama dalam menentukan status hukum makanan, namun yang menjadi perselisihan adalah
sejauh mana teori istihla>k ini diaplikasikan dalam berbagai bidang yang berbeda.
Para fuqaha mendefinisikan istih{a>lah sebagai perubahan dan pertukaran suatu bahan
kepada bahan lain yang meliputi perubahan zat dan sifat. Para fuqaha berselisih pendapat
mengenai aspek aplikasi teori istihalah. Ulama madzab Al-Shafi’i tidak meluaskan pengaplikasian istih{a>lah pada persoalan-persoalan baru. Sementara ulama madzab H{anafi,
penggunaan teori Istih{a>lah. Penentuan hukum halal haram makanan berdasarkan teori
istihla>k dan istih{a>lah sekalipun dapat digunakan namun tidak mudah diaplikasikan hanya
berdasarkan aspek perubahan fisik zat semata namun menyangkut perubahan struktur kimia
maupun fisik bahan tersebut. Maka harus dipastikan terlebih dahulu agar tidak terjerumus
kepada mengonsumsi yang haram secara tidak sengaja. Kebanyakan hukum terkait dengan
makanan dan minuman tidak hadir dalam bentuk yang sudah terperinci.Namun sebaliknya,
justru dituangkan berupa prinsip-prinsip umum dalam bentuk qawai>d fiqhiyyah.
Terkait dengan konsep maslahat dan mafsadat, Imam Al-Gaza>li> menjelaskan konsep
maslah}ah yang menjadi al-maqa>s}id al-shari> ‘ah yaitu: menjaga kesucian dan ketinggian
agama ( hifz} al –di>n); menjaga keselamatan diri ( hifz} al-nafs), menjaga kebaikan dan
kecerdasan akal fikiran ( hifz} al-‘aql), menjaga kebaikan keturuanan ( hifz} al-nasal) dan
menjaga kesucian dan keselamatan harta benda ( hifz} al-ma>l). Penjagaan atas kelima hal di
atas dianggap maslah}ah dan setiap hal yang merusak lima perkara tersebut dianggap
mafsadah dan pencegahan/penolakannya dianggap maslahat.
Landasan yuridis jaminan produk halal terdapat dalam UUD 1945 pasal 29 ayat (2).
UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, UU No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan ,PP
No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, Permenkes RI No. 280/ Menkes/Per/ XI/
1976 tentang Ketentuan Peredaran dan Penandaan pada Makanan yang mengandung Bahan
yang berasal babi. Permenkes RI No. 76/Menkes/Per/III/78 tentang label dan Periklanan
Makanan, Keputusan Menkes RI No. 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan
Halal pada label makanan, dan perubahannya berupa keputusan Menteri Kesehatan RI No.
924/Menkes/SK/VII/1996 beserta peraturan pelaksanaanya berupa keputusan Dirjen POM
No. HK.00.06.3.00568 tentang Tata Cara Pencantuman Tulisan Halal pada label makanan,
dan Surat Keputusan Bersama antara Menteri Agama dan Menteri Kesehatan No.
427/Menkes/SKB/VIII/1985 dan No. 68/1985 tentang Pencantuman Tulisan “Halal” pada
label makanan.
V
Proses pembentukan dan implementasi hukum juga dipengaruhi oleh berbagai faktor,
yakni sistem ideologi negara, sistem politik, sistem ekonomi, sistem sosial dan budaya serta
sistem hukum itu sendiri. Demikian pula dalam proses implementasi hukum Islam dalam
meliputi berbagai aspek. Proses legislasi jaminan produk halal, berhadapan dengan berbagai
perbedaan pendapat di lapang terkait interpretasi fikih halal-haram. Hal ini disebabkan
adanya perbedaan pendapat para fuqaha yang diikuti oleh masyarakat dalam memahami
konsep halal-haram.
Ada empat tahap dalam proses pembentukan undang-undang dalam era reformasi ini,
yaitu Pengajuan dan pembahasan Rancangan Undang-Undang ( RUU), Tahap Persetujuan
Bersama Rancangan Undang-Undang (RUU), Pengesahan RUU JPH menjadi UU JPH, dan
tahap pengundangan. Setelah fase pengundangan UU JPH, Pro dan Kontra di masyarakat
masih terus bergulir hingga taraf implementasinya. Menurut pendapat penulis, Pro dan kontra
terhadap UU JPH disebabkan, pertama perbedaan pendapat di kalangan intern umat Islam
dari aspek interpretasi pemahaman fikih halal-haram, karena memang hukum terkait halal
haram sifatnya global. Terjadi perbedaan penggunaan qawa>id fiqhiyyah dalam menentukan
status halal produk. Kedua, secara sosiologis, pluralitas masyarakat Indonesia baik dari sudut
pandang agama, budaya, ekonomi maupun pendidikan, menjadi tantangan tersendiri dalam
implementasi regulasi JPH ini. Menurut pandangan penulis, disinilah perlunya sosialisasi dan
eduukasi halal yang lebih masif kepada masyarakat. Peran ulama, pemerintah dan para pegiat
halal sangat penting, di samping adanya sikap toleransi yang baik di kalangan umat yang
beragam. Ketiga, dari sisi substansi UU JPH memang masih ditemui adanya materi UU JPH
yang dilematis jika diimplementasikanm sehingga dimungkinkan adanya peluang uji materi (
judicial review) terhadap UU JPH ini.
Ini adalah tantangan politik hukum Islam selanjutnya dalam tataran implementasi dan
efektivitas hukum dalam UU JPH. Namun esensi utama UU JPH ialah memberi keamanan
dan kenyamanan, sehingga berbagai kekhawatiran yang ada terkait produk tanpa sertifikasi
halal dan pro-kontranya dapat selesai dengan diberikannya keamanan dalam implementasi
UU ini.
VI
Suatu produk hukum memiliki keterkaitan yang erat dan dipengaruhi oleh aspek
sosiologis, yuridis maupun filosofis tempat hukum tersebut dihasilkan. UU No. 33 Tahun
2014 tentang Jaminan Produk Halal terbentuk karena memiliki akar sosiologis yang kuat
dimana mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Namun pro dan kontra di kalangan
umat Islam sendiri tidak terelakkan dikarenakan dari sumber teks hukum Islam sendiri
perbedaan tingkat pemahaman masyarakat terhadap halal juga mewarnai pro dan kontra yang
terjadi.
Substansi UU JPH masih memerlukan adanya pembenahan melalui peraturan
pemerintah yang ada di bawahnya agar dapat diimplementasikan secara baik. Peluang adanya
uji materi terhadap UU JPH tetap ada dalam rangka menyesuaikan substansinya. Sistem
Ideologi negara yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan unsur
religiusitas negara yang menjadi pilar sistem hukum nasional sehingga perjuangan politik
hukum Islam dalam regulasi jaminan Produk Halal memiliki payung konstitusional yang
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... ii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ... iii
LEMBAR PERSETUJUAN ... iv
PENGESAHAN TIM PENGUJI ... v
ABSTRAKSI ... vi
KATA PENGANTAR ... viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ... x
DAFTAR ISI ... xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ... 1
B. Rumusan Masalah ... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4
1. Tujuan Penelitian ... 4
2. Manfaat Penelitian ... 5
D. Kerangka Teoretik ... 5
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ... 9
F. Metodologi Penelitian ... 13
G. Sistematika Penulisan ... 17
BAB II POLITIK HUKUM NASIONAL DI INDONESIA A. Definisi dan Ruang Lingkup Politik Hukum ... 19
B. Politik Hukum Nasional ... 23
iii
BAB III POLITIK HUKUM ISLAM
A. Politik Hukum Islam di Indonesia ... 31
B. Transformasi Hukum Islam ke dalam Hukum Nasional ... 38
BAB IV JAMINAN PRODUK HALAL A. Epistemologi ... 44
1. Jaminan Produk Halal ... 44
2. Sertifikat Halal ... 45
3. Sistem Jaminan Halal ... 47
B. Aspek Filosofis Jaminan Produk Halal ... 49
C. Prinsip Penetapan Hukum Halal Haram ... 59
D. Aspek Yuridis Legislasi Jaminan Produk Halal ... 67
1. Jaminan Produk Halal dalam UUD 1945 ... 68
2. Jaminan Produk Halal dalam Undang-Undang ... 69
3. Jaminan Produk Halal dalam Peraturan Pemerintah ... 71
4. Jaminan Produk Halal dalam Peraturan Menteri Kesehatan ... 73
5. Jaminan Produk Halal dalam Surat Keputusan Menteri ... 74
BAB IV POLITIK HUKUM ISLAM JAMINAN PRODUK HALAL A. Politik Hukum Islam Jaminan Produk Halal ... 76
B. Mekanisme pembentukan Regulasi Jaminan Produk Halal... 82
C. Sikap terhadap Legislasi Jaminan Produk halal ... 90
D. Analisa Politik Hukum Islam Jaminan Produk Halal... 96
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan... 106
B. Saran... 107
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Kebutuhan terhadap kehalalan produk pangan1, merupakan hal yang
niscaya bagi umat Islam karena mengonsumsi yang halal merupakan hak dasar
setiap muslim dan implikasi kewajiban syariat.2 Ketersediaan pangan yang
cukup, aman, bergizi, bervariasi sesuai dengan daya beli masyarakat serta tidak
bertentangan dengan nilai-nilai agama, budaya maupun keyakinan adalah hak
warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 ( UUD 1945) dan
Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999.3 Hal ini juga
merupakan bentuk upaya pemerintah dalam melindungi hak-hak warga negara
sebagaimana telah tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-empat
yakni Negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia.
1 Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan,
kehutanan, perikanan, peternakan, perairan dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman (pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan).
2 Anton Apriyantono, “LPPOM MUI Harus Diperkuat”, Jurnal Halal, No.99, Th. XVI, (Jakarta: LPPOM MUI, 2013), 30.
2
Namun ironisnya, permasalahan ketidakjelasan status kehalalan produk
pangan masih menjadi persoalan serius di Indonesia saat ini. Kasus bakso daging
babi tahun 19844 , kasus vaksin meningitis jemaah haji yang ditengarai
mengandung unsur enzim babi pada tahun 2009, hingga kasus bakso babi
berlabel halal5 pada tahun 2012, merupakan contoh permasalahan yang
merugikan produsen, konsumen, dan dunia usaha. Tingginya prosentase produk
pangan instan yang belum bersertifikat halal6, dan maraknya kasus pemalsuan
label halal, semuanya menunjukkan masih lemahnya perlindungan terhadap
konsumen muslim di Indonesia.
Disahkannya UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
(UU JPH) menjadi harapan dan tantangan baru bagi umat Islam terkait sistem
jaminan produk halal di Indonesia. UU JPH ini juga merupakan representasi
tanggung jawab pemerintah untuk melindungi dan memberikan rasa aman bagi
konsumen, khususnya konsumen muslim dalam mengonsumsi produk sesuai
dengan syari’at Islam yaitu halal dan tayib. Hadirnya UU JPH diharapkan mampu menjadi acuan bagi pemerintah dan produsen untuk memberikan jaminan
4Ma’ruf Amin, “Fatwa Halal Melindungi Umat dari Kerugian yang Lebih Besar”, Jurnal Halal, No. 103, Th.XVI, ( Jakarta: LPPOM MUI,2013), 20.
5 “Bakso Babi Berlabel Halal, PAN: MUI Kebobolan”, dalam http://www.jaringnews.com (21 Agustus 2013).
6 “Berdasarkan data dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM), jumlah produk yang beredar di masyarakat sebanyak 194.776. Namun, hanya setengahnya yang telah memiliki sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam masa berlaku tahun 2013 – 2015. Jumlah produk bersertifikat halal tersebut ada sebanyak 98.543 atau memiliki prosentase sebesar 50,6 persen” Hardiat Dani Satria,
3
terhadap kehalalan produk dan menjadi payung hukum yang menjamin
konsumen sesuai asas perlindungan, keadilan, kepastian hukum, akuntabilitas
dan transparansi, efektivitas dan efisiensi serta profesionalitas.7
Meskipun demikian, perkembangan legislasi jaminan produk halal ini
masih menemui banyak persoalan baik ditingkat yuridis, sosiologis maupun
politis. Asrorun Ni’am Sholeh, Ketua Komite Syariah World Halal Food Council (WHFC), menjelaskan bahwa meski sudah diundangkan, masih saja muncul
upaya pemandulan UU JPH untuk tidak segera direalisasikan.8 Politik hukum
Islam dalam legislasi jaminan produk halal memiliki urgensitas yang bernilai
tinggi baik dalam bentuk undang-undang maupun infrastruktur yang kondusif
agar persoalan umat Islam terkait sistem jaminan halal dapat terselesaikan, dan
selanjutnya Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim dapat
memposisikan diri sebagai pusat halal dunia dalam globalisasi sertifikasi halal.
Dengan demikian berdasarkan alasan-alasan yang telah dikemukakan di
atas, penelitian ini mengambil judul: POLITIK HUKUM ISLAM DALAM
REGULASI JAMINAN PRODUK HALAL DI INDONESIA. Judul ini
menitikberatkan pada urgensitas politik hukum Islam dalam regulasi halal di
Indonesia.
7 Lihat Undang –Undang No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
4
B. Rumusan Masalah
Dengan mengacu pada latar belakang penelitian tentang “ Politik Hukum Islam dalam Regulasi Jaminan Produk Halal di Indonesia ” maka dalam
penelitian ini, permasalahan yang akan diteliti adalah:
1. Bagaimana aspek sosiologis, yuridis, filosofis dibentuknya UU No 33
tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal?
2. Bagaimana politik hukum Islam berperan dalam proses pembentukan
regulasi Jaminan Produk Halal di Indonesia?
3. Bagaimana aspek nilai hukum Islam berperan dalam esensi UU No 33
tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, serta kaidah hukum Islam
yang dipakai dalam UU tersebut?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah target yang ingin dicapai dalam
penelitian, baik sebagai solusi atas masalah yang dihadapi (disebut sebagai
tujuan obyektif) maupun sebagai pemenuhan atas sesuatu yang diharapkan
(tujuan subyektif). Oleh karena itu tujuan penelitian ini adalah sebagai
5
a. Tujuan obyektif dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui faktor-faktor apa yang mempengaruhi dibentuknya
UU No 33 Tahun 2014 baik secara sosiologis, yuridis maupun filosofis.
2. Untuk mengetahui politik hukum Islam dalam proses pembentukan dan
pengesahan UU No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
3. Untuk mengetahui apa saja aspek nilai hukum Islam yang berperan
dalam esensi UU no 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
b. Sedangkan tujuan subyektif adalah untuk mendapatkan jawaban atas
permasalahan yang diteliti.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat yang didapatkan dari suatu penelitian:
a. Manfaat teoritis, penelitian ini diharapkan dapat mendeskripsikan
bagaimana politik hukum Islam dapat menjadi mekanisme penyelesaian
persoalan umat Islam dalam menjalankan kewajibannya sebagai umat
beragama tanpa menimbulkan gesekan diantara kemajemukan masyarakat
yang ada di Indonesia, khususnya dalam masalah jaminan produk halal
sebagaimana tertuang dalam UU No. 33 Tahun 2014.
b. Manfaat praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membuka
6
menjadikan politik hukum Islam sebagai mekanisme menciptakan
kemaslahatan umum dalam masyarakat Indonesia tanpa meninggalkan
aspek kebhinnekaan serta hukum Islam yang menjadi pedoman hidup Umat
Islam.
D. Kerangka Teoretik
Penelitian tesis ini mengenai politik hukum Islam dalam regulasi
jaminan produk halal di Indonesia dengan objek studi Undang – Undang No.
33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Berdasarkan hal tersebut maka
kerangka teori yang akan digunakan pada penyusunan tesis ini adalah:
Pertama, teori politik hukum, yaitu produk hukum yang dihasilkan oleh
para legislator merupakan hasil produk politik, karena hukum lah yang
terpengaruh oleh politik dalam proses pembentukannya. Dengan
mengasumsikan bahwa hukum adalah produk politik, maka hukum dipandang
sebagai dependent variable (variabel terpengaruh), sedangkan politik dipandang
sebagai independent variable ( variable berpengaruh). Peletakan hukum sebagai
variabel yang tergantung, atas`politik itu mudah dipahami dengan melihat
realitas hukum sebagai peraturan abstrak yang merupakan kristalisasi dari
kehendak politik yang saling bersaing dan berinteraksi. Sidang parlemen dalam
pembentukan undang-undang sebagai produk hukum pada hakikatnya
7
dalam bentuk sebuah keputusan politik dan menjadi undang-undang. Undang– undang tersebut lahir sebagai bentuk keputusan bersama dan dipandang sebagai
produk dan adegan konstelasi politik itu.9
Kedua, selanjutnya penelitian ini akan membahas aspek politik hukum
Islam. Secara umum di dunia Islam, awal abad XX yang merupakan masa
berakhirnya dominasi kolonialisme, politik hukum Islam mulai intens
diwacanakan dan menjadi polemik, bersamaan dengan proses pembentukan
negara-negara muslim seperti Malaysia, Pakistan, Mesir, Sudan, Turki, Al Jazair
bahkan perdebatan ini merambah hingga ke negara-negara sekuler.10 Mereka
mengalami kesulitan mengembangkan hubungan antara hukum Islam dan
negara, tidak terkecuali di Indonesia.
Fenomena yang terjadi di Indonesia, hukum Islam mulai dikenal oleh
penduduk nusantara sejak agama Islam disebarkan di Indonesia dan mulai
diikuti dan dilaksanakan oleh pemeluknya. Hal ini dapat diketahui dari beberapa
bukti sejarah berupa hasil karya para pujangga yang hidup pada masa itu
misalnya kitab Sabi>l al-Muhtadi>n, Kutaragama, Sajinatu al- Hukum serta
9 M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia ( Jakarta: LP3ES, 1998), 10.
8
beberapa kitab yang ditulis oleh orang asing seperti Mugharrar karya Al-Rafi’i, Niha>yah karya Al-Ramli dan kitab hukum madzab Al-Sha>fi’i> lainnya.11
Perkembangan Islam mulai dikendalikan setelah penjajah Belanda
masuk ke Indonesia dan setelah tahun 1927, Van Vollenhoven dan Snouck
Hurgronje (penasehat pemerintah Hindia Belanda tentang soal-soal Islam di
negeri jajahan Belanda) dengan teori receptie mendapat landasan peraturan
perundang-undangan Indische Staatsregeling (IS 1925). Menurut pandangan
teori ini, hukum Islam bukanlah hukum, melainkan hukum Islam baru menjadi
hukum apabila telah diresepsi (diterima) terlebih dahulu oleh hukum adat. Teori
ini berpangkal dari keinginan Snouck Hurgronje agar orang-orang pribumi
sebagai rakyat jajahan tidak memegang ajaran Islam dengan kuat, sebab pada
umumnya orang–orang yang kuat memegang ajaran Islam, tidak mudah dipengaruhi oleh peradaban barat. Oleh karena itu eksistensi teori ini
dikukuhkan dalam pasal 134 IS dengan redaksional: “adatsrecht ialah
undang-undang agama, lembaga kebudayaan bangsa dan kebiasaan”, artinya bagi orang
pribumi jika menghendaki penerapan hukum Islam, akan diberlakukan selama
tidak bertentangan dengan hukum adat.12
Ketiga, selanjutnya penelitian ini akan menggunakan teori pembentukan
undang-undang sebagai landasan hukum yang menjadi dasar pelaksana dari
11 Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009),127.
9
seluruh kebijakan yang akan dibuat pemerintah.13 Dalam pembentukan sebuah
undang yang baik, harus sesuai dengan asas-asas pembentukan
undang-undang dan materi muatan yang tidak bertentangan dengan UUD 1945, sehingga
undang-undang tersebut bisa berlaku secara berkesinambungan.
Keempat, penelitian ini akan mengkaji tentang efektivitas hukum yang
berarti daya kerja hukum dalam mengatur/memaksa warga masyarakat untuk
taat terhadap hukum. Hal ini berarti kaidah hukum yang ditetapkan haruslah
memenuhi syarat yakni berlaku secara yuridis, sosiologis maupun filosofis.
Hukum merupakan suatu sistem yang meliputi tiga komponen, yakni legal
substance atau substansi hukum yang berisi aturan-aturan atau norma-norma;
legal structure, yaitu institusi penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim dan
pengacara dan yang ketiga adalah legal culture yakni budaya hukum termasuk
didalamnya agama dan kepercayaan, sikap, ide, pandangan tentang hukum.14
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Pembahasan dan penelitian tentang regulasi jaminan produk halal sudah
banyak dilakukan orang sebelumnya, namun pembahasan yang dilakukan
kebanyakan terkait sertifikasi halal yang ditekankan pada urgensi regulasi dan
edukasi halal untuk konsumen, kepastian hukum tentang sertifikasi halal dan
13 Yuliandri, Asas–Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik, gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), 1.
10
konsep sistem jaminan halal dengan pendekatan studi kasus, aspek hukum
perlindungan konsumen pada sistem jaminan halal, Penelitian yang secara
khusus membahas tentang regulasi jaminan halal dari aspek politik hukum
terkait perspektif konflik dan bagaimana munculnya perbedaan pendapat dalam
tafsir regulasi ini belum ada. Untuk memperoleh rujukan awal tentang
permasalahan di atas, penulis akan menyampaikan sejumlah buku, jurnal dan
disertasi yang relevan, diantaranya:
1. Politik Hukum di Indonesia karya Mahfudz MD, menjelaskan tentang
legal policy yaitu pengaruh politik terhadap hukum yang akan diberlakukan
baik mengenai pembuatan hukum baru maupun penggantian hukum lama
untuk mencapai tujuan negara. Buku ini juga menjelaskan tentang
konfigurasi politik demokrasi dan otoriter.
2. Membangun Teori Politik Hukum di Indonesia karya Abdul Halim yang
menjelaskan tentang transformasi hukum Islam ke dalam hukum nasional
tidak memiliki hubungan dengan perjuangan menuju negara Islam atau
Islam sebagai dasar negara. Legislasi hukum Islam menjadi
perundang-undangan memiliki kontribusi positif terhadap penguatan komitmen umat
Islam dalam kehidupan berbangsa. Studi ini membantah pendapat yang
menyatakan bahwa akomodasi hukum Islam oleh peraturan
perundang-undangan merupakan agenda menuju negara Islam karena proses
11
hukum Islam berada pada tataran sumber hukum sehingga akomodasinya
ke dalam perundang-undangan diawali dengan pengujian agar selalu sesuai
dengan pancasila dan UUD 1945.15
3. Urgensi Regulasi dan Edukasi Produk Halal bagi Konsumen, karya
Rahmah Maulidia, menjelaskan urgensi regulasi produk halal bagi umat
Islam di Indonesia. Kurangnya edukasi dan sosialisasi produk halal
memberikan dampak yang signifikan terhadap pengabaian masyarakat
akan produk halal. Namun demikian, masyarakat juga menyadari bahwa
pemerintah seharusnya memberikan jaminan keamanan pangan meskipun
dalam studi kasusnya dijelaskan perbedaan pendapat dalam strategi
sertifikasi halal di Indonesia.16
4. Kepastian Hukum Sertifikasi dan Labelisasi Halal Produk Pangan, karya
KN. Sofyan Hasan. Tulisan ini menjelaskan bahwa sertifikat halal
bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi konsumen, namun
regulasi yang ada masih terkesan sektoral, parsial dan inkonsistensi serta
tidak sistemik. Selain itu penulis juga menjelaskan bahwa sertifikat halal
yang masih bersifat sukarela (voluntary) tidak dapat menciptakan jaminan
kepastian hukum kehalalan produk pangan. Untuk itu agar tercapai
12
kepastian hukum, RUU JPH segera diubah menjadi UU JPH dengan
memberikan otoritas kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk
melakukan sertifikasi halal melalui Lembaga Pengkajian Pangan
Obat-Obatan dan Kosmetika MUI (LPPOM MUI) dan komisi fatwa. Pemerintah
berfungsi sebagai regulator dan pengawas dalam implementasi ketentuan
Undang-Undang yang ditetapkan tersebut.17
5. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Pemberian Label Halal pada
Produk Makanan dan Minuman Perspektif Hukum Perlindungan
Konsumen, karya Kurniawan, Budi Sutrisno dan Dwi Martini. Penelitian
ini mengupas tentang masalah labelisasi halal produk makanan, yang harus
mengikuti prosedur dan tahapan tertentu, sanksi –sanksi pidana, perdata maupun administratif bagi pelaku usaha yang melakukan pemalsuan label
halal tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, dan Undang-Undang Pangan dan peraturan pemerintah tentang
label dan iklan pangan.18
17 KN. Sofyan Hasan, “Kepastian Hukum sertifikasi dan Labelisasi Halal Produk Pangan” Jurnal
Dinamika Hukum, Vol. 14, No. 2, ( Mei, 2014), 227.
18Kurniawan, Budi Sutrisno dan Dwi Martini, “ Tanggung Jawab Pelaku Usaha terhadap Pemberian
13
F. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian tentang Politik Hukum Islam dalam Regulasi
Jaminan Produk Halal di Indonesia ini digunakan jenis penelitian hukum
kualitatif-empiris yakni penelitian tentang identifikasi hukum. Penelitian ini
termasuk socio-legal research yakni penelitian dengan studi empiris untuk
menemukan teori mengenai terjadinya hukum di dalam masyarakat dan
bekerjanya hukum tersebut.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif.
Metode kualitatif merupakan jenis studi yang temuan-temuannya tidak
diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya.19 Metode ini
juga bisa digunakan untuk mendapatkan wawasan tentang sesuatu yang baru
sedikit diketahui serta dapat memberikan rincian yang kompleks tentang
fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode kuantitatif.20 Metode kualitatif
juga sering tidak berfikir dalam hal seperti variabel bebas dan mandiri , tetapi
permasalahan dinyatakan dalam bentuk dan cara yang lengkap dan
problematik. Penelitian ini dilakukan melalui penggalian informasi
sebanyak-banyaknya dari subjek penelitian.
19 Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif: Tata Langkah dan Teknik-teknik Teoritisasi Data, Terj. Muhammad Sodiq dan Imam Muttaqin ( Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 4.
14
2. Obyek Penelitian
Obyek dari penelitian ini adalah Undang-Undang No 33 Tahun 2014
tentang Jaminan Produk Halal dan berbagai elemen masyarakat ( masyarakat
umum, komunitas halal, media dan LPPOM MUI) yang menjadi subjek proses
politik hukum diberlakukannya regulasi jaminan halal untuk produk -produk
industri di Indonesia.
3. Sumber data
a. Data primer.
Penelitian ini adalah penelitian hukum kualitatif-empiris dengan
metode penelusuran lapang (field research) yang menggunakan
instrumen dokumen, wawancara dan observasi. Observasi di arahkan
ke berbagai elemen ormas/tokoh dan badan LPPOM MUI sebagai
penyelenggara sertifikasi jaminan halal, pressure group dan media
sebagai infrastruktur politik tercapainya jaminan produk halal di
Indonesia.
b. Data sekunder
Data sekunder diambil dari library research ( studi kepustakaan)
terhadap literatur-literatur hukum maupun perundang-undangan yang
15
dan Biken dalam Nawawi, secara ringkas bahwa analisis data dalam
studi kualitatif terdapat beberapa model diantaranya model studi yang
bersifat bibliografis ( library research) dan model studi lapangan ( field
research).21
Bahan Hukum Primer adalah bahan pustaka berisi pengetahuan
ilmiah yang baru/mutakhir ataupun pengertian baru tentang politik baru
tentang fakta yang diketahui maupun mengenai suatu gagasan atau ide.
Bahan Hukum Primer mencakup (a) buku; (b) kertas kerja konferensi,
lokakarya, seminar, simposium dan seterusnya; (c) laporan penelitian;
(d) laporan teknis; (e) majalah; (f) disertasi atau tesis; dan (g) paten.22
Bahan Hukum Primer yang digunakan dalam penelitian ini berupa
peraturan perundang-undangan yakni UU No 33 tahun 2014 tentang
Jaminan Produk Halal.
Bahan hukum sekunder adalah bahan pustaka berisikan
informasi tentang bahan primer yang antara lain mencakup : (a) abstrak;
(b) indeks; (c) bibliografi; (d) penerbitan pemerintah; dan (e) bahan
acuan lainnya.23 Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam
penelitian ini adalah buku-buku, jurnal, rancangan peraturan
21 Ismail Nawawi, Penelitian Kualitatif ( Jakarta: Refka Cita media, 2012)
16
perundang-undangan, hasil penelitian, makalah, yang terkait dengan
regulasi halal.
Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang pada
dasarnya mencakup: (a) bahan – bahan yang memberikan petunjuk
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang telah
dikenal dengan nama bahan acuan bidang hukum atau bahan rujukan
bidang hukum, contohnya abstrak perundang-undangan, bibliografi
hukum, direktori pengadilan, ensiklopedia hukum, indeks majalah
hukum, kamus hukum dan seterusnya; dan (b) bahan-bahan primer,
sekunder dan tersier di luar bidang hukum, misalnya yang berasal dari
bidang sosiologi, ekonomi, ilmu politik,filsafat dan sebagainya, yang
oleh para peneliti hukum dipergunakan untuk melengkapi atau
menunjang data penelitiannya.24
4. Analisis Data
Setelah data primer dan sekunder diperoleh dan terkumpul, maka data
diidentifikasi dan klasifikasi berdasarkan pokok-pokok masalah yang diteliti.
Teknik analisis data yang digunakan adalah interpretatif understanding, yaitu
penafsiran atau pemaknaan data dengan masalah yang ada atau terhadap data
yang saling berhubungan untuk mendapatkan kesimpulan sementara yang
17
dipakai sebagai landasan mengumpulkan data selanjutnya.25 Interpretasi
terhadap bahan hukum dilakukan secara otentik, historis, tekstual dan
kontekstual ( historis).
Hasil analisis data tersebut kemudian dideskripsikan secara kualitatif
dan disusun secara sistematis dalam bab-bab, dan sub-sub bab dalam bentuk
laporan penelitian.
G. Sistematika Penulisan
Dalam menyajikan penulisan ini, penulis menyusun sistematika
pembahasan sebagai berikut:
Pada bab pertama adalah pendahuluan. Pada bab ini diuraikan tentang
latar belakang, identifikasi permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian,
kerangka teoritis, metodeologi penelitian dan sistematika penulisan.
Adapun bab kedua adalah diskursus tentang politik hukum nasional di
Indonesia. Pada bab ini diuraikan secara singkat tentang definisi dn ruang
lingkup politik hukum, politik hukum nasional, dan konfigurasi politik.
Pada bab ketiga penulis membahas mengenai politik hukum Islam Pada
bab ini diuraikan tentang politik hukum Islam di Indonesia, dan proses
transformasi hukum Islam dalam hukum nasional.
18
Pada bab keempat, penulis akan membahas tentang sistem jaminan
halal. Bagaimana halal dalam perspektif Islam, aspek filosofis atau sumber
hukum penetapan halal haram dan aspek yuridis ( dasar hukum) legislasi
jaminan produk halal.
Pada bab kelima, akan dibahas mengenai politik hukum Islam jaminan
produk halal. Bab ini menguraikan tentang aspek politik hukum Islam dalam
regulasi jaminan produk halal, mekanisme pembentukan regulasi jaminan
produk halal , perspektif hukum Islam dan analisa.
Sedangkan bab keenam adalah penutup. Pada bab ini diuraikan
mengenai kesimpulan penulis dan rekomendasi penulis berbasis pada hasil
19
BAB II
POLITIK HUKUM NASIONAL DI INDONESIA
A. Definisi dan Ruang Lingkup Politik Hukum
Politik hukum merupakan suatu bagian dalam kajian ilmu hukum yang
terdiri atas dua disiplin ilmu, yaitu ilmu politik dan ilmu hukum. Moh. Mahfud MD,
menganggap politik hukum masuk dalam disiplin ilmu hukum. Beliau berpendapat
bahwa politik hukum diartikan sebagai legal policy (kebijakan hukum) yang akan
atau telah dilaksanakan oleh pemerintah. Politik hukum ini mencakup pembuatan
hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap materi-materi
hukum agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan, dan pelaksanaan ketentuan
hukum yang sudah ada, termasuk penegakan fungsi lembaga dan pembinaan para
penegak hukum.1
Pengertian politik hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh Mahfud
MD tersebut sejalan dengan pengertian yang dikemukakan oleh Abdul Hakim
Garuda Nusantara yang juga bermakna legal policy.2 Perbedaannya, Abdul Hakim
lebih mengedepankan kajian politik hukum pada pembangunan hukum, yaitu
tentang perlunya mengikutsertakan peran kelompok-kelompok sosial dalam
masyarakat dalam hal bagaimana hukum itu dibentuk, dikonseptualisasikan,
1 M. Mahfud MD , Politik Hukum di Indonesia, ( Jakarta: LP3ES,1998), 8.
20
diterapkan dan dilembagakan dalam suatu proses politik yang sesuai dengan
cita-cita awal suatu negara.3
Padmo Wahjono berpandangan, politik hukum adalah kebijakan dasar
yang menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk.4 Menurut
Satjipto Rahardjo, politik hukum merupakan aktivitas memilih dan mekanisme
yang digunakan dalam rangka mencapai tujuan sosial dan hukum tertentu dalam
masyarakat.5 Sedangkan Soedarto menjelaskan bahwa politik hukum merupakan
kebijakan negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan
peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan dan yang digunakan
untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk
mencapai tujuan yang menjadi cita-cita.6
Sunaryati Hartono menjelaskan bahwa politik hukum tidak terlepas dari
realitas sosial dan tradisional yang ada dalam negara kita, di sisi lain sebagai
anggota masyarakat internasional, politik hukum Indonesia juga terkait dengan
realita dan politik hukum internasional.7 Faktor-faktor yang menentukan politik
hukum bukan hanya ditentukan oleh apa yang dicita-citakan atau tergantung pada
kehendak pembentuk hukum, para teoretisi maupun praktisi hukum saja, namun
juga tergantung pada kenyataan dan perkembangan hukum internasional. Menurut
3 Ibid., 27.
4 Padmo Wahjono, dalam Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia ( Jakarta: Rajawali,2010),1. 5 Abdul Hakim Garuda Nusantara, dalam Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, menegakkan Konstitusi, ( Jakarta: Rajawali Press,2011),15.
6 Soedarto dalam Mahfud MD, Ibid., 14.
21
perspektif F. Sugeng Istanto, politik hukum merupakan bagian dari ilmu hukum
dan dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu politik hukum sebagai terjemahan
dari Rechts Politik, politik hukum bukan terjemahan dari Rechts politik dan politik
hukum yang membahas tentang public policy.8
Politik hukum memerlukan sebuah mekanisme yang melibatkan banyak
faktor. Kita mengenal mekanisme ini sebagai sebuah proses politik hukum. Dari
pengertian ini, politik hukum mempunyai dua ruang lingkup yang saling terkait,
yaitu dimensi filosofis-teoritis dan dimensi normatif-operasional. Sebagai dimensi
filosofis-teoritis, politik hukum merupakan parameter nilai bagi implementasi
pembangunan dan pembinaan hukum di lapangan. Sebagai dimensi
normatif-operasional, politik hukum lebih terfokus pada pencerminan kehendak penguasa
terhadap tatanan masyarakat yang diinginkan.9
Pada tataran empiris, Mahfud MD berusaha menjelaskan hakekat politik
hukum dengan langsung menggunakan pendekatan politik hukum dalam
penelitiannya. Mahfud melihat hukum dari sisi yuridis-sosio-politis, yaitu
menghadirkan sistem politik sebagai variabel yang mempengaruhi rumusan dan
pelaksanaan hukum. Menurut Mahfud, hukum tidak bisa dijelaskan melalui
pendekatan hukum semata, tetapi juga harus memakai pendekatan politis.10
8 F. Sugeng Istanto dalam Abdul Latif dan Hasbi Ali , Politik Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010),6. 9 Marzuki Wahid, “konfigurasi Politik Hukum Islam di Indonesia; studi tentang pengaruh Politik Hukum Orde baru terhadap Kompilasi Hukum Islam,”Mimbar Studi, No. 2 Tahun XXII 9 Januari-April 1999), 104-105.
22
Indonesia merupakan negara yang menganut faham Rechtstaat ( negara
berdasarkan hukum), mempunyai agenda utama dalam mengarahkan kebijakan
hukum, yaitu untuk mewujudkan keadilan sosial dan menegakkan negara yang
berkedaulatan rakyat sebagaimana tertera dalam pembukaan UUD 1945. Namun
demikian, menurut Abdul Hakim, dalam proses pembangunan di Indonesia yakni
pada masa orde baru, teryata banyak birokrat dan militer yang mendominasi,
sedangkan organisasi-organisasi sosial di luar itu terpinggirkan dan kebijakan
hukum terkesan hanya mewakili kelompok-kelompok yang berkuasa. Oleh karena
itu keadilan sosial dan demokrasi yang dicita-citakan tidak terwujud. Maka perlu
adanya pembangunan hukum yang menyertakan kelompok-kelompok sosial dalam
masyarakat agar kepentingan mereka dapat terakomodasi.11
Dari pengertian politik hukum di atas, dapat disimpulkan bahwa pada
dasarnya politik hukum merupakan suatu kajian yang tidak hanya berbicara pada
tataran proses dari hukum-hukum yang akan dan sedang diberlakukan tetapi juga
mencakup pula hukum-hukum yang telah berlaku. Politik hukum ini mempunyai
tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara
lebih baik dan untuk memberi pedoman, tidak hanya kepada pembuat UU, tetapi
juga pengadilan yang menetapkan UU dan juga kepada para penyelenggara
pelaksana putusan pengadilan. Pembentukan kebijakan hukum didasarkan pada cita
hukum, cita-cita dan tujuan negara yang termaktub di dalam konstitusi.
23
B. Politik Hukum Nasional
Setiap negara memiliki corak politik hukum yang berbeda dengan politik
hukum yang diterapkan oleh negara lain. Hal ini disebabkan adanya perbedaan latar
belakang historis, sosio-kultural maupun political will pemerintah masing-masing
negara. Namun demikian, realitas politik hukum internasional juga mewarnai corak
politik hukum satu negara. Perbedaan politik hukum masing-masing negara ini
menghasilkan politik hukum nasional. Tak terkecuali Indonesia, yang juga
menganut politik hukum nasional, yakni ruang lingkup penerapannya terbatas pada
wilayah teritorial negara Indonesia. Politik hukum nasional di Indonesia
merupakan suatu kebijakan yang telah ditetapkan oleh para pemimpin bangsa sejak
sebelum kemerdekaan Indonesia.
Politik hukum nasional pertama kali resmi dibuat oleh para pendiri bangsa
Indonesia yaitu pancasila yang merupakan cermin keanekaragaman budaya dan
adat istiadat bangsa dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia. Pancasila
merupakan asas yang menjadi pedoman dan pemandu dalam pembentukan
UUD1945, undang-undang dan peraturan lainnya. Pancasila merupakan norma
fundamental yang membangun norma-norma hukum dibawahnya secara
24
dengan norma hukum yang lebih tinggi. Pancasila juga menjadi cita hukum
(rechtsidee) dalam kehidupan bangsa Indonesia.12
Politik hukum nasional merupakan alat dan sarana yang digunakan oleh
pemerintah untuk membentuk sistem hukum nasional, sebagaimana yang
dijelaskan oleh Mahfud MD bahwa politik hukum merupakan legal policy untuk
pemberlakuan hukum sehingga dapat mencapai tujuan negara.13 Sistem hukum
nasional inilah yang akan dapat mewujudkan cita-cita bangsa sebagaimana yang
tertera di dalam landasan ideologi negara yaitu pancasila dan UUD 1945.
Ada beberapa komponen yang menjadi ruang lingkup politik hukum
nasional diantaranya lembaga negara yang menjadi penyusun politik hukum, letak
politik hukum dan faktor internal maupun eksternal yang mempengaruhi
pembentukan sistem hukum. Dalam ranah aplikasi, politik hukum akan mencakup
lembaga peradilan yang menetapkan dan menjadi pelaksana putusan hukum di
pengadilan.14 Politik Hukum juga mencakup aspek evaluasi yang dapat mengkritisi
setiap produk hukum yang dibuat dan diundangkan oleh pemerintah.
Dengan demikian dapat penulis simpulkan bahwa wilayah telaah politik
hukum mencakup proses penggalian aspirasi yang ada dari masyarakat oleh para
penyelenggara negara yang berwenang, kemudian aspirasi tersebut menjadi bahan
12 “Cita hukum adat, cita hukum Islam, dan cita hukum eks barat berlaku di Indonesia sebelum Indonesia merdeka. Namun demikian, sesudah Indonesia merdeka, ketiga cita hukum tersebut, akan menjadi bahan baku dalam pembentukan cita hukum nasional di Indonesia yang biasa disebut cita hukum pancasila.” Zainuddin Ali mengasumsikan secara yuridis normatif. A. Hamid At-Tamimi, Pancasila: Cita Hukum dalam Kehidupan Bangsa Indonesia, Makalah disampaikan pada BP7 Pusat, Jakarta, 1993,77.
13 M Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, 2
25
dan wacana yang akan diperdebatkan dan dikontestasikan oleh para penyelenggara
negara yang berwenang dalam rumusan rancangan peraturan
perundang-undangan.Dalam penentuan rumusan rancangan perundang-undangan hingga
berhasil ditetapkan menjadi undang-undang atau hukum positif, banyak faktor
internal dan eksternal yang mempengaruhi proses politik hukum baik pada saat
akan dirumuskan, maupun setelah ditetapkan dan dilaksanakan.
Proses penggalian aspirasi masyarakat seringkali bersifat dinamis artinya
dipengaruhi oleh jenis/corak masyarakat. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat
majemuk yakni disusun oleh perbedaan-perbedaan identitas sosial seperti identitas
keagamaan, identitas etnis, identitas profesi, dan berbagai kelompok sosial yang
unik dan berbeda dari kelompok lain. Hal penting yang muncul sebagai
kon-sekuensi adanya keragaman ini adalah persoalan stabilitas, harmoni sosial maupun
persaingan identitas dalam arena-arena sosial.15
Dalam konteks ini kita perlu mengkaji politik hukum dari sisi apakah
aspirasi yang tergali dari masyarakat tersebut sudah terakomodasi dalam
perumusan hukum oleh penyelenggara negara atau sebaliknya. Karena suatu aturan
perundang-undangan dapat dikatakan baik dan diakui eksistensinya oleh
masyarakat apabila mempunyai keabsahan secara sosiologis, filosofis dan yuridis.
Keabsahan sosiologis (seziologisce geltung) diartikan sebagai penerimaan hukum
oleh masyarakat artinya bukan hanya ditentukan oleh paksaan negara. Keabsahan
26
filosofis (filosofische geltung) adalah apabila kaidah hukum tersebut
mencerminkan nilai yang hidup dalam masyarakat dan menjadi rechtsidee.
Sedangkan keabsahan secara yuridis (juritische geltung) dijelaskan sebagai
kesesuaian bentuk peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur oleh
peraturan yang lebih tinggi. 16
Apabila hukum yang dihasilkan tidak memenuhi syarat tersebut, maka
dapat dipastikan resistensi masyarakat terhadap produk hukum tersebut menjadi
sangat kuat. Disinilah salah satu letak pentingnya kajian politik hukum. Namun
tidak dapat dipungkiri bahwa lembaga yang berwenang untuk menggali dan
merumuskan suatu produk hukum pun tidak bersih dari berbagai kepentingan.
Sehingga perlu dikaji pula tarik menarik antara aspirasi kelompok kepentingan
dengan kepentingan masyarakat. Maka bisa disimpulkan bahwa, masalah
kontestasi dan perdebatan dalam politik hukum merupakan konsekuensi logis
masyarakat majemuk Indonesia dalam merumuskan kebijakan publik dalam wadah
regulasi. Jika konsep tersebut sah dilegalkan oleh pemangku kebijakan maka ia
menjadi hukum yang akan merealisasikan tujuan negara.
Keabsahan yuridis dalam suatu produk hukum dapat dijelaskan sebagai
kesesuaian materi hukum dengan hukum yang ada di atasnya. Urgensi memahami
hierarki hukum sangat besar agar tidak terjadi pertentangan antar peraturan
perundang-undangan. Oleh karena itu perlu dikaji pula hierarki peraturan
27
perundang-undangan di Indonesia. Hans Kelsen menyebutkan bahwa hukum yang
lebih rendah haruslah berdasar, bersumber dan tidak bertentangan dengan hukum
yang lebih tinggi. Sifat bertentangan pada hukum yang lebih rendah ini
mengakibatkan batalnya daya laku hukum tersebut.17
Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan
perundang-undangan, menjelaskan tentang hierarki hukum di Indonesia, yaitu (1)
UUD 1945; (2) Undang-Undang ( UU); (3) Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang -Undang (Perpu); (4) Peraturan Pemerintah ( PP); (5) Peraturan Presiden (
Perpres); (6) Peraturan Daerah (Perda).18 Peraturan yang berada pada urutan
pertama merupakan peraturan dengan hierarki tertinggi sehingga peraturan yang
ada di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan peraturan tersebut. Dengan
adanya UU No. 10 Tahun 2004 ini maka Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat (TAP MPR) tidak berlaku lagi. Dengan demikian pasca amandemen UUD
1945, kekuasaan MPR dalam bidang perundang-undangan terbatas pada mengubah
dan menetapkan Undang-Undang Dasar 1945.
Posisi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah bersama presiden sebagai
pemegang kekuasaan tertinggi di lembaga eksekutif menjadi lembaga pembentuk
undang-undang. Sebagaimana termaktub dalam pasal 20 UUD 1945 presiden dan
DPR bekerja sama dalam mengesahkan rancangan undang-undang (RUU) menjadi
17 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum sebagai Suatu Sistem, ( Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), 81-82
28
undang-undang.19 UU No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal telah
disetujui dan disahkan oleh presiden bersama DPR menjadi undang-undang.
C. Konfigurasi Politik Hukum
Hukum merupakan hasil tarik-menarik pelbagai kekuatan politik yang
terealisasi dalam suatu produk hukum. Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa
hukum merupakan instrumentasi dari putusan atau keinginan politik sehingga
pembentukan peraturan perundang-undangan disarati oleh berbagai kepentingan.
Oleh karena itu pembuatan undang-undang menjadi medan pertarungan dan
perbenturan berbagai kepentingan badan pembuat undang-undang yang
menerminkan suatu konfigurasi kekuatan dan kepentingan yang terdapat dalam
masyarakat.20
Konfigurasi bermakna bentuk wujud ( untuk menggambarkan orang atau
benda),21 sedangkan Moh. Mahfud MD memberikan pengertian terhadap
konfigurasi dengan susunan konstelasi politik.22 Kata konstelasi politik, terdiri dari
dua kata, yaitu konstelasi dan politik. Kata konstelasi bermakna gambaran atau
keadaan yang dibayangkan. Dalam negara demokratis, pemerintah sedapat
mungkin merupakan cerminan dari kekuatan yang ada di dalam masyarakat. Oleh
19 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 , ( Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI, 2008),67
20 Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Perkembangan, Metode dan Pilihan Masalah, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002),126.
21 Kamus Besar Hukum Indonesia Edisi ke-empat Departeman Pendidikan Nasional, ( Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), 723
29
karena itu, konstelasi politik adalah rangkuman dari kehendak-kehendak politik
masyarakat. Menurut Mahfud MD politik hukum juga berkaitan dengan pengertian
tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi
kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum.23 Konfigurasi
politik suatu negara akan melahirkan karakter produk hukum yang sesuai dengan
konfigurasi yang digunakan.
Konfigurasi kekuatan dan kepentingan pemerintah sebagai badan pembuat
undang-undang menjadi penting karena proses pembuatan undang-undang modern
bukan sekedar perumusan materi hukum secara baku sesuai rambu-rambu yuridis
saja, melainkan pembuatan suatu keputusan politik. Intervensi-intervensi dari
eksternal maupun internal pemerintah, bahkan kepentingan politik global secara
tidak langsung turut mewarnai proses pembentukan undang-undang. Intervensi
tersebut terutama dilakukan oleh kelompok yang mempunyai kekuatan dan
kekuasaan baik secara politik, sosial maupun ekonomi.24
Mahfud MD menggambarkan dua konsep politik hukum yaitu konfigurasi
politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter. Konfigurasi politik demokratis
adalah susunan sistem politik yang membuka kesempatan bagi berperannya potensi
rakyat secara penuh untuk ikut aktif menentukan kebijakan umum. Partisipasi ini
ditentukan atas asas mayoritas oleh wakil-wakil rakyat dalam pemilihan-pemilihan
berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam
23 Ibid., 1-2.
30
suasana terjadinya kebebasan politik di negara demokrasi. Konfigurasi politik
demokratis melahirkan produk hukum responsif.
Konfigurasi politik otoriter adalah susunan sistem politik yang lebih
memungkinkan negara berperan sangat aktif serta mengambil seluruh inisiatif
dalam pembuatan kebijakan negara. Konfigurasi ini dicirikan oleh dorongan elit
kekuasaan untuk memaksakan persatuan, penghapusan oposisi terbuka, dominasi
pimpinan negara untuk menentukan kebijakan negara dan dominasi kekuasaan
politik oleh elit politik yang kekal. Konfigurasi politik otoriter menghasilkan
produk hukum yang berkarakter ortodoks.25
Bintan Ragen Saragih26 mendefinisikan konfigurasi politik hukum sebagai
suatu kekuatan-kekuatan politik yang riel dan eksis dalam suatu sistem politik.
Konfigurasi ini biasanya muncul dalam wujud partai-partai politik. Jika partai
politik ini berperan secara nyata dalam sistem politik yang berlaku dalam
pengambilan kebijakan hukum maupun kebijakan lainnya, maka konfigurasi
politik itu adalah konfigurasi politik yang demokratis. Sedangkan apabila berlaku
sebaliknya maka konfigurasi politik itu adalah konfigurasi politik otoriter.
Kekuatan politik juga nampak dalam organisasi-organisasi kepentingan, tokoh
berpengaruh dan sebagainya.
25 Satya arinanto, Kumpulan Materi Presentasi Hukum ( dikumpulkan dari berbagai referensi), (Jakarta: Pascasarjana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010), 77.
106
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan yang telah penulis paparkan dalam bab-bab
sebelumnya, ada dua kesimpulan yang dapat penting sebagai berikut:
a. Suatu produk hukum memiliki keterkaitan yang erat dan dipengaruhi
oleh aspek sosiologis, yuridis maupun filosofis tempat hukum tersebut
dihasilkan. UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
terbentuk karena memiliki akar sosiologis yang kuat dimana mayoritas
penduduk Indonesia beragama Islam. Namun pro dan kontra di
kalangan umat Islam sendiri tidak terelakkan dikarenakan dari sumber
teks hukum Islam sendiri memungkinkan adanya perbedaan interpretasi
terhadap hukum halal haram ini. Selain itu perbedaan tingkat
pemahaman masyarakat terhadap halal juga mewarnai pro dan kontra
yang terjadi.
b. Disamping itu politik hukum Islam bergulir sejalan dengan tuntutan
dan aspirasi masyarakat untuk menerapkan syariah Islam dalam ranah
positivisasi hukum yang tercermin dalam aspek yuridis terbentuknya
107
substansi UU JPH masih memerlukan adanya pembenahan melalui
peraturan pemerintah yang ada di bawahnya agar dapat
diimplementasikan secara baik. Peluang adanya uji materi terhadap UU
JPH tetap ada dalam rangka menyesuaikan substansinya. Sistem
Ideologi negara yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa
menunjukkan unsur religiusitas negara yang menjadi pilar sistem
hukum nasional sehingga perjuangan politik hukum Islam dalam
regulasi jaminan Produk Halal memiliki payung konstitusional yang
mantap.
c. Nilai –nilai hukum Islam sangat berperan dalam menentukan esensi UU JPH dengan mengedepankan prinsip al-Maqaashid as-Syariah.
B. Saran
1. Nilai-nilai Islam yang digali dari Al-Qur’an dan As-Sunnah diturunkan Allah SWT untuk kemaslahatan umat manusia seluruhnya.Hal ini menuntut umat islam
untuk dapat memaknai ajaran Islam secara lebih komprehensif dan
memperjuangkannya sebagai Islam rahmatan lil’alamiin.
2. Politik hukum Islam dalam regulasi jaminan produk halal hendaknya dapat
dijadikan model dalam upaya membumikan syariat Islam dalam bingkai negara
108
menciptakan iklim yang kondusif bagi terlaksananya ajaran Islam sebagai
109
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran al-Kari>m
Abdurrahman, Hafidz Islam: Politik dan Spiritual, Singapore: Lisan Ul-Haq, 1998
Afdol, Kewenangan Pengadilan Agama Berdasarkan UU No 3 tahun 2006 dan
Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Surabaya: Airlangga University Press, 2006
Afroniyati, Lies “Analisis Ekonomi Politik Sertifikasi Jaminan Produk Halal oleh Majelis Ulama Indonesia, Tesis--Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2011
Ali, Achmad MenguakTabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Jakarta: Gunung Agung, 2002.
Ali, H.Muhammad Daud, Asas-Asas Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1991
Ali, Zainuddin, Filsafat Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Amin, Ma’ruf, Pro