• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLITIK HUKUM ISLAM DALAM REGULASI JAMINAN PRODUK HALAL DI INDONESIA KAJIAN UU NO.33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "POLITIK HUKUM ISLAM DALAM REGULASI JAMINAN PRODUK HALAL DI INDONESIA KAJIAN UU NO.33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL."

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

POLITIK HUKUM ISLAM DALAM REGULASI JAMINAN PRODUK HALAL DI INDONESIA

(Kajian UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal)

TESIS

Diajukan untuk Memperoleh Gelar Magister (S2) Program Studi Hukum Tata Negara ( Siya>sah)

Oleh

Endah Dwi Rohayati NIM. F0.2.2.130.09

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)

POLITIK HUKUM ISLAM DALAM REGULASI JAMINAN PRODUK HALAL

( Kajian UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal)

Oleh: Endah Dwi Rohayati F 022 13 009

I

Kebutuhan terhadap kehalalan produk pangan, merupakan hal yang niscaya bagi umat

Islam karena mengonsumsi yang halal merupakan hak dasar setiap muslim dan implikasi

kewajiban syariat. Ketersediaan pangan yang cukup, aman, bergizi, bervariasi sesuai dengan

daya beli masyarakat serta tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama, budaya maupun

keyakinan adalah hak warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 ( UUD

1945) dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999. Hal ini juga

merupakan bentuk upaya pemerintah dalam melindungi hak-hak warga negara sebagaimana

telah tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-empat yakni Negara Indonesia

melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Namun ironisnya, permasalahan ketidakjelasan status kehalalan produk pangan masih

menjadi persoalan serius di Indonesia saat ini. Disahkannya UU No. 33 Tahun 2014 tentang

Jaminan Produk Halal (UU JPH) menjadi harapan dan tantangan baru bagi umat Islam

terkait sistem jaminan produk halal di Indonesia. Hadirnya UU JPH diharapkan mampu

menjadi acuan bagi pemerintah dan produsen untuk memberikan jaminan terhadap kehalalan

produk dan menjadi payung hukum yang menjamin konsumen sesuai asas perlindungan,

keadilan, kepastian hukum, akuntabilitas dan transparansi, efektivitas dan efisiensi serta

profesionalitas. Meskipun demikian, perkembangan legislasi jaminan produk halal ini masih

menemui banyak persoalan baik ditingkat yuridis, sosiologis maupun politis.Bagaimana

aspek sosiologis, yuridis, filosofis dibentuknya UU No 33 tahun 2014 tentang Jaminan

Produk Halal, bagaimana politik hukum Islam berperan dalam proses pembentukan regulasi

Jaminan Produk Halal di Indonesia dan bagaimana aspek nilai hukum Islam berperan dalam

esensi UU No 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, serta kaidah hukum Islam yang

dipakai dalam UU tersebut, perlu diuraikan.

Berdasarkan teori politik hukum, produk hukum yang dihasilkan oleh para legislator

merupakan hasil produk politik, karena hukum lah yang terpengaruh oleh politik dalam

(6)

produk hukum pada hakikatnya merupakan adegan konstelasi politik agar kepentingan dan

aspirasi terakomodir dalam bentuk sebuah keputusan politik dan menjadi undang-undang.

Undang–undang tersebut lahir sebagai bentuk keputusan bersama dan dipandang sebagai produk dan adegan konstelasi politik itu.

Awal abad XX yang merupakan masa berakhirnya dominasi kolonialisme, politik

hukum Islam mulai intens diwacanakan dan menjadi polemik, bersamaan dengan proses

pembentukan negara-negara muslim. Mereka mengalami kesulitan mengembangkan

hubungan antara hukum Islam dan negara, tidak terkecuali di Indonesia. Fenomena yang

terjadi di Indonesia, hukum Islam mulai dikenal oleh penduduk nusantara sejak agama Islam

disebarkan di Indonesia dan mulai diikuti dan dilaksanakan oleh pemeluknya.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif-empiris yakni penelitian tentang

identifikasi hukum. Penelitian ini termasuk socio-legal research yakni penelitian dengan

studi empiris untuk menemukan teori mengenai terjadinya hukum di dalam masyarakat dan

bekerjanya hukum tersebut. Obyek dari penelitian ini adalah Undang-Undang No 33 Tahun

2014 tentang Jaminan Produk Halal dan berbagai elemen masyarakat ( masyarakat umum,

komunitas halal, media dan LPPOM MUI) yang menjadi subjek proses politik hukum

diberlakukannya regulasi jaminan halal untuk produk -produk industri di Indonesia. Setelah

data primer dan sekunder diperoleh dan terkumpul, maka data diidentifikasi dan klasifikasi

berdasarkan pokok-pokok masalah yang diteliti. Teknik analisis data yang digunakan adalah

interpretatif understanding.

II

Politik hukum merupakan suatu bagian dalam kajian ilmu hukum yang terdiri atas

dua disiplin ilmu, yaitu ilmu politik dan ilmu hukum. Moh. Mahfud MD, berpendapat bahwa

politik hukum diartikan sebagai legal policy (kebijakan hukum) yang akan atau telah

dilaksanakan oleh pemerintah. Politik hukum ini mencakup pembuatan hukum yang

berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap materi-materi hukum agar dapat

disesuaikan dengan kebutuhan, dan pelaksanaan ketentuan hukum yang sudah ada, termasuk

penegakan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Abdul Hakim Garuda

Nusantara memaknai politik hukum sebagai legal policy dengan lebih mengedepankan

kajian politik hukum pada pembangunan hukum, yaitu tentang perlunya mengikutsertakan

(7)

dibentuk, dikonseptualisasikan, diterapkan dan dilembagakan dalam suatu proses politik yang

sesuai dengan cita-cita awal suatu negara.

Padmo Wahjono berpandangan, politik hukum adalah kebijakan dasar yang

menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk. Menurut Satjipto Rahardjo,

politik hukum merupakan aktivitas memilih dan mekanisme yang digunakan dalam rangka

mencapai tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat. Sedangkan Soedarto

menjelaskan bahwa politik hukum merupakan kebijakan negara melalui badan-badan negara

yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan

dan yang digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan

untuk mencapai tujuan yang menjadi cita-cita. Pada dasarnya politik hukum merupakan

suatu kajian yang tidak hanya berbicara pada tataran proses dari hukum-hukum yang akan

dan sedang diberlakukan tetapi juga mencakup pula hukum-hukum yang telah berlaku.

Politik hukum ini mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif

dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman, tidak hanya kepada pembuat UU,

tetapi juga pengadilan yang menetapkan UU dan juga kepada para penyelenggara pelaksana

putusan pengadilan. Pembentukan kebijakan hukum didasarkan pada cita hukum, cita-cita

dan tujuan negara yang termaktub di dalam konstitusi.

Politik hukum nasional merupakan alat dan sarana yang digunakan oleh pemerintah

untuk membentuk sistem hukum nasional, sebagaimana yang dijelaskan oleh Mahfud MD

bahwa politik hukum merupakan legal policy untuk pemberlakuan hukum sehingga dapat

mencapai tujuan negara. Sistem hukum nasional inilah yang akan dapat mewujudkan cita-cita

bangsa sebagaimana yang tertera di dalam landasan ideologi negara yaitu pancasila dan UUD

1945.

Wilayah telaah politik hukum mencakup proses penggalian aspirasi yang ada dari

masyarakat oleh para penyelenggara negara yang berwenang, kemudian aspirasi tersebut

menjadi bahan dan wacana yang akan diperdebatkan dan dikontestasikan oleh para

penyelenggara negara yang berwenang dalam rumusan rancangan peraturan

perundang-undangan.Dalam penentuan rumusan rancangan perundang-undangan hingga berhasil

ditetapkan menjadi undang-undang atau hukum positif, banyak faktor internal dan eksternal

yang mempengaruhi proses politik hukum baik pada saat akan dirumuskan, maupun setelah

(8)

III

Islam adalah agama yang komprehensif. Hal ini karena ajaran Islam meliputi berbagai

cakupan yakni hukum yang berkaitan dengan akidah, ibadah, hukum sosial kemasyarakatan,

hukum perekonomian, hukum pemerintahan, hukum pendidikan, sistem sanksi dan hukum

akhlaq. Dalam kaitannya dengan politik, Islam tidak memisahkan antara urusan agama dan

politik. Politik Islam merupakan pengaturan dan pemeliharaan urusan umat yang didasarkan

pada hukum Islam. Politik hukum Islam secara khusus bisa diartikan sebagai proses arah

hukum Islam yang akan dipakai negara untuk mewujudkan tujuan negara, baik berupa hukum

baru atau penggantian hukum lama. Prosesnya menjadi spesifik dibandingkan hukum lain

yang tidak berbasis agama, karena sumber kebenaran teks hukum Islam berbeda. Perbedaan

yang terjadi adalah pada interpretasi hukum dari sumber teks yang sama baik dari Al-Quran,

Al-Hadis, Ijmak maupun qiyas.

Terkait dengan dinamika politik hukum Islam di Indonesia, kita tidak dapat

melepaskannya dari pluralitas masyarakat yang menjadikan hukum senantiasa hidup dan

berkembang sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat, secara sosio-kultural

maupun politik. Munculnya Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang peradilan agama

menjadi pemicu lahirnya produk-produk hukum Islam dalam regulasi di Indonesia. Hingga

saat ini lahirnya UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk halal menjadi bukti terus

bergulirnya perjuangan umat Islam dalam ranah politik hukum di Indonesia.

Hukum Islam dan lembaganya sebagai bagian dari institusi sosial dalam masyarakat

juga tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh lingkungan sosial dan politik yang

melingkupinya. Sehingga dalam konteks transformasi hukum Islam ke dalam hukum

nasional, atau upaya agar hukum Islam dapat menjadi undang-undang negara, tetap harus

melalui kontestasi dan pertarungan sosial politik dan juga melalui proses politik dalam

lembaga legislatif.

Orde reformasi di Indonesia memperlihatkan situasi yang lebih kondusif bagi

eksistensi perjuangan politik hukum Islam. Substansi dari produk hukum dalam UU No. 17

tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU No. 38 Tahun 1999 tentang

Pengelolaan Zakat, UU No. 18 Tahun 2001 tentang OTSUS NAD, UU No. 41 Tahun 2004

tentang Wakaf, UU No. 3 Tahun 2006 tentang Amandemen terhadap UU No. 7 Tahun 1989

(9)

hukum Islam. Sedangkan kebijakan-kebijakan di bidang hukum pidana umum mulai

memasukkan nilai nilai hukum Islam yang bersifat universal dan dapat berlaku bagi semua

kalangan baik muslim maupun non muslim.

IV

Jaminan produk halal ( JPH) dapat dinyatakan sebagai kepastian hukum terhadap

kehalalan produk yang dibuktikan dengan sertifikasi halal. Sertifikat halal adalah surat

keterangan yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia ( MUI) pusat maupun propinsi

tentang halalnya suatu produk makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetika yang

diproduksi oleh perusahaan setelah melalui proses penelitian dan dinyatakan halal. Sistem

Jaminan Halal adalah suatu sistem manajemen terintegrasi yang dibuat dan dilaksanakan

oleh perusahaan pemegang sertifikat halal dalam menjamin kesinambungan proses produksi

halal sesuai persyaratan LPPOM MUI, dengan cara mengatur bahan, proses produksi,

produk, sumber daya manusia dan prosedurnya.

Jaminan Produk halal berangkat dari aspek filosofis yang menjadi landasannya, yaitu

Al-Quran, sunnah, Ijmak dan qiyas yang diijtihadkan oleh Ulama dalam hal ini kita merujuk

kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI adalah sebuah lembaga yang didalamnya

berkumpul para ulama, zu ‘ama dan cendekiawan muslim dari berbagai golongan dan organisasi umat Islam di Indonesia. Dalam menentukan status hukum halal dan haram pada

makanan dan minuman, para fuqaha menggunakan berbagai prinsip penetapan hukum.Selain

prinsip halal dan tayib sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al-Quran dan hadis, dikenal

pula teori istihla>k dan istih{al>a>h, kaidah-kaidah fikih (qawa>id fiqhiyyah) serta konsep

maslahat dan mafsadat. Teori istihla>k dan istiha>lah telah banyak diperbincangkan oleh para

ulama terdahulu. Keduanya merupakan cara penyucian makanan dan minuman dari bahan

asalnya yang bersifat najis menjadi halal dan suci. Teori istihla>k telah dipakai oleh para

ulama dalam menentukan status hukum makanan, namun yang menjadi perselisihan adalah

sejauh mana teori istihla>k ini diaplikasikan dalam berbagai bidang yang berbeda.

Para fuqaha mendefinisikan istih{a>lah sebagai perubahan dan pertukaran suatu bahan

kepada bahan lain yang meliputi perubahan zat dan sifat. Para fuqaha berselisih pendapat

mengenai aspek aplikasi teori istihalah. Ulama madzab Al-Shafi’i tidak meluaskan pengaplikasian istih{a>lah pada persoalan-persoalan baru. Sementara ulama madzab H{anafi,

(10)

penggunaan teori Istih{a>lah. Penentuan hukum halal haram makanan berdasarkan teori

istihla>k dan istih{a>lah sekalipun dapat digunakan namun tidak mudah diaplikasikan hanya

berdasarkan aspek perubahan fisik zat semata namun menyangkut perubahan struktur kimia

maupun fisik bahan tersebut. Maka harus dipastikan terlebih dahulu agar tidak terjerumus

kepada mengonsumsi yang haram secara tidak sengaja. Kebanyakan hukum terkait dengan

makanan dan minuman tidak hadir dalam bentuk yang sudah terperinci.Namun sebaliknya,

justru dituangkan berupa prinsip-prinsip umum dalam bentuk qawai>d fiqhiyyah.

Terkait dengan konsep maslahat dan mafsadat, Imam Al-Gaza>li> menjelaskan konsep

maslah}ah yang menjadi al-maqa>s}id al-shari> ‘ah yaitu: menjaga kesucian dan ketinggian

agama ( hifz} al –di>n); menjaga keselamatan diri ( hifz} al-nafs), menjaga kebaikan dan

kecerdasan akal fikiran ( hifz} al-‘aql), menjaga kebaikan keturuanan ( hifz} al-nasal) dan

menjaga kesucian dan keselamatan harta benda ( hifz} al-ma>l). Penjagaan atas kelima hal di

atas dianggap maslah}ah dan setiap hal yang merusak lima perkara tersebut dianggap

mafsadah dan pencegahan/penolakannya dianggap maslahat.

Landasan yuridis jaminan produk halal terdapat dalam UUD 1945 pasal 29 ayat (2).

UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, UU No. 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan ,PP

No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, Permenkes RI No. 280/ Menkes/Per/ XI/

1976 tentang Ketentuan Peredaran dan Penandaan pada Makanan yang mengandung Bahan

yang berasal babi. Permenkes RI No. 76/Menkes/Per/III/78 tentang label dan Periklanan

Makanan, Keputusan Menkes RI No. 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan

Halal pada label makanan, dan perubahannya berupa keputusan Menteri Kesehatan RI No.

924/Menkes/SK/VII/1996 beserta peraturan pelaksanaanya berupa keputusan Dirjen POM

No. HK.00.06.3.00568 tentang Tata Cara Pencantuman Tulisan Halal pada label makanan,

dan Surat Keputusan Bersama antara Menteri Agama dan Menteri Kesehatan No.

427/Menkes/SKB/VIII/1985 dan No. 68/1985 tentang Pencantuman Tulisan “Halal” pada

label makanan.

V

Proses pembentukan dan implementasi hukum juga dipengaruhi oleh berbagai faktor,

yakni sistem ideologi negara, sistem politik, sistem ekonomi, sistem sosial dan budaya serta

sistem hukum itu sendiri. Demikian pula dalam proses implementasi hukum Islam dalam

(11)

meliputi berbagai aspek. Proses legislasi jaminan produk halal, berhadapan dengan berbagai

perbedaan pendapat di lapang terkait interpretasi fikih halal-haram. Hal ini disebabkan

adanya perbedaan pendapat para fuqaha yang diikuti oleh masyarakat dalam memahami

konsep halal-haram.

Ada empat tahap dalam proses pembentukan undang-undang dalam era reformasi ini,

yaitu Pengajuan dan pembahasan Rancangan Undang-Undang ( RUU), Tahap Persetujuan

Bersama Rancangan Undang-Undang (RUU), Pengesahan RUU JPH menjadi UU JPH, dan

tahap pengundangan. Setelah fase pengundangan UU JPH, Pro dan Kontra di masyarakat

masih terus bergulir hingga taraf implementasinya. Menurut pendapat penulis, Pro dan kontra

terhadap UU JPH disebabkan, pertama perbedaan pendapat di kalangan intern umat Islam

dari aspek interpretasi pemahaman fikih halal-haram, karena memang hukum terkait halal

haram sifatnya global. Terjadi perbedaan penggunaan qawa>id fiqhiyyah dalam menentukan

status halal produk. Kedua, secara sosiologis, pluralitas masyarakat Indonesia baik dari sudut

pandang agama, budaya, ekonomi maupun pendidikan, menjadi tantangan tersendiri dalam

implementasi regulasi JPH ini. Menurut pandangan penulis, disinilah perlunya sosialisasi dan

eduukasi halal yang lebih masif kepada masyarakat. Peran ulama, pemerintah dan para pegiat

halal sangat penting, di samping adanya sikap toleransi yang baik di kalangan umat yang

beragam. Ketiga, dari sisi substansi UU JPH memang masih ditemui adanya materi UU JPH

yang dilematis jika diimplementasikanm sehingga dimungkinkan adanya peluang uji materi (

judicial review) terhadap UU JPH ini.

Ini adalah tantangan politik hukum Islam selanjutnya dalam tataran implementasi dan

efektivitas hukum dalam UU JPH. Namun esensi utama UU JPH ialah memberi keamanan

dan kenyamanan, sehingga berbagai kekhawatiran yang ada terkait produk tanpa sertifikasi

halal dan pro-kontranya dapat selesai dengan diberikannya keamanan dalam implementasi

UU ini.

VI

Suatu produk hukum memiliki keterkaitan yang erat dan dipengaruhi oleh aspek

sosiologis, yuridis maupun filosofis tempat hukum tersebut dihasilkan. UU No. 33 Tahun

2014 tentang Jaminan Produk Halal terbentuk karena memiliki akar sosiologis yang kuat

dimana mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Namun pro dan kontra di kalangan

umat Islam sendiri tidak terelakkan dikarenakan dari sumber teks hukum Islam sendiri

(12)

perbedaan tingkat pemahaman masyarakat terhadap halal juga mewarnai pro dan kontra yang

terjadi.

Substansi UU JPH masih memerlukan adanya pembenahan melalui peraturan

pemerintah yang ada di bawahnya agar dapat diimplementasikan secara baik. Peluang adanya

uji materi terhadap UU JPH tetap ada dalam rangka menyesuaikan substansinya. Sistem

Ideologi negara yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan unsur

religiusitas negara yang menjadi pilar sistem hukum nasional sehingga perjuangan politik

hukum Islam dalam regulasi jaminan Produk Halal memiliki payung konstitusional yang

(13)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ... iii

LEMBAR PERSETUJUAN ... iv

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... v

ABSTRAKSI ... vi

KATA PENGANTAR ... viii

PEDOMAN TRANSLITERASI ... x

DAFTAR ISI ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4

1. Tujuan Penelitian ... 4

2. Manfaat Penelitian ... 5

D. Kerangka Teoretik ... 5

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ... 9

F. Metodologi Penelitian ... 13

G. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II POLITIK HUKUM NASIONAL DI INDONESIA A. Definisi dan Ruang Lingkup Politik Hukum ... 19

B. Politik Hukum Nasional ... 23

(14)

iii

BAB III POLITIK HUKUM ISLAM

A. Politik Hukum Islam di Indonesia ... 31

B. Transformasi Hukum Islam ke dalam Hukum Nasional ... 38

BAB IV JAMINAN PRODUK HALAL A. Epistemologi ... 44

1. Jaminan Produk Halal ... 44

2. Sertifikat Halal ... 45

3. Sistem Jaminan Halal ... 47

B. Aspek Filosofis Jaminan Produk Halal ... 49

C. Prinsip Penetapan Hukum Halal Haram ... 59

D. Aspek Yuridis Legislasi Jaminan Produk Halal ... 67

1. Jaminan Produk Halal dalam UUD 1945 ... 68

2. Jaminan Produk Halal dalam Undang-Undang ... 69

3. Jaminan Produk Halal dalam Peraturan Pemerintah ... 71

4. Jaminan Produk Halal dalam Peraturan Menteri Kesehatan ... 73

5. Jaminan Produk Halal dalam Surat Keputusan Menteri ... 74

BAB IV POLITIK HUKUM ISLAM JAMINAN PRODUK HALAL A. Politik Hukum Islam Jaminan Produk Halal ... 76

B. Mekanisme pembentukan Regulasi Jaminan Produk Halal... 82

C. Sikap terhadap Legislasi Jaminan Produk halal ... 90

D. Analisa Politik Hukum Islam Jaminan Produk Halal... 96

(15)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan... 106

B. Saran... 107

(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Kebutuhan terhadap kehalalan produk pangan1, merupakan hal yang

niscaya bagi umat Islam karena mengonsumsi yang halal merupakan hak dasar

setiap muslim dan implikasi kewajiban syariat.2 Ketersediaan pangan yang

cukup, aman, bergizi, bervariasi sesuai dengan daya beli masyarakat serta tidak

bertentangan dengan nilai-nilai agama, budaya maupun keyakinan adalah hak

warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 ( UUD 1945) dan

Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999.3 Hal ini juga

merupakan bentuk upaya pemerintah dalam melindungi hak-hak warga negara

sebagaimana telah tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-empat

yakni Negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

tumpah darah Indonesia.

1 Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan,

kehutanan, perikanan, peternakan, perairan dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman (pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan).

2 Anton Apriyantono, “LPPOM MUI Harus Diperkuat”, Jurnal Halal, No.99, Th. XVI, (Jakarta: LPPOM MUI, 2013), 30.

(17)

2

Namun ironisnya, permasalahan ketidakjelasan status kehalalan produk

pangan masih menjadi persoalan serius di Indonesia saat ini. Kasus bakso daging

babi tahun 19844 , kasus vaksin meningitis jemaah haji yang ditengarai

mengandung unsur enzim babi pada tahun 2009, hingga kasus bakso babi

berlabel halal5 pada tahun 2012, merupakan contoh permasalahan yang

merugikan produsen, konsumen, dan dunia usaha. Tingginya prosentase produk

pangan instan yang belum bersertifikat halal6, dan maraknya kasus pemalsuan

label halal, semuanya menunjukkan masih lemahnya perlindungan terhadap

konsumen muslim di Indonesia.

Disahkannya UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal

(UU JPH) menjadi harapan dan tantangan baru bagi umat Islam terkait sistem

jaminan produk halal di Indonesia. UU JPH ini juga merupakan representasi

tanggung jawab pemerintah untuk melindungi dan memberikan rasa aman bagi

konsumen, khususnya konsumen muslim dalam mengonsumsi produk sesuai

dengan syari’at Islam yaitu halal dan tayib. Hadirnya UU JPH diharapkan mampu menjadi acuan bagi pemerintah dan produsen untuk memberikan jaminan

4Ma’ruf Amin, “Fatwa Halal Melindungi Umat dari Kerugian yang Lebih Besar”, Jurnal Halal, No. 103, Th.XVI, ( Jakarta: LPPOM MUI,2013), 20.

5 “Bakso Babi Berlabel Halal, PAN: MUI Kebobolan”, dalam http://www.jaringnews.com (21 Agustus 2013).

6 “Berdasarkan data dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM), jumlah produk yang beredar di masyarakat sebanyak 194.776. Namun, hanya setengahnya yang telah memiliki sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam masa berlaku tahun 2013 – 2015. Jumlah produk bersertifikat halal tersebut ada sebanyak 98.543 atau memiliki prosentase sebesar 50,6 persen” Hardiat Dani Satria,

(18)

3

terhadap kehalalan produk dan menjadi payung hukum yang menjamin

konsumen sesuai asas perlindungan, keadilan, kepastian hukum, akuntabilitas

dan transparansi, efektivitas dan efisiensi serta profesionalitas.7

Meskipun demikian, perkembangan legislasi jaminan produk halal ini

masih menemui banyak persoalan baik ditingkat yuridis, sosiologis maupun

politis. Asrorun Ni’am Sholeh, Ketua Komite Syariah World Halal Food Council (WHFC), menjelaskan bahwa meski sudah diundangkan, masih saja muncul

upaya pemandulan UU JPH untuk tidak segera direalisasikan.8 Politik hukum

Islam dalam legislasi jaminan produk halal memiliki urgensitas yang bernilai

tinggi baik dalam bentuk undang-undang maupun infrastruktur yang kondusif

agar persoalan umat Islam terkait sistem jaminan halal dapat terselesaikan, dan

selanjutnya Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim dapat

memposisikan diri sebagai pusat halal dunia dalam globalisasi sertifikasi halal.

Dengan demikian berdasarkan alasan-alasan yang telah dikemukakan di

atas, penelitian ini mengambil judul: POLITIK HUKUM ISLAM DALAM

REGULASI JAMINAN PRODUK HALAL DI INDONESIA. Judul ini

menitikberatkan pada urgensitas politik hukum Islam dalam regulasi halal di

Indonesia.

7 Lihat Undang Undang No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.

(19)

4

B. Rumusan Masalah

Dengan mengacu pada latar belakang penelitian tentang “ Politik Hukum Islam dalam Regulasi Jaminan Produk Halal di Indonesia ” maka dalam

penelitian ini, permasalahan yang akan diteliti adalah:

1. Bagaimana aspek sosiologis, yuridis, filosofis dibentuknya UU No 33

tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal?

2. Bagaimana politik hukum Islam berperan dalam proses pembentukan

regulasi Jaminan Produk Halal di Indonesia?

3. Bagaimana aspek nilai hukum Islam berperan dalam esensi UU No 33

tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, serta kaidah hukum Islam

yang dipakai dalam UU tersebut?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah target yang ingin dicapai dalam

penelitian, baik sebagai solusi atas masalah yang dihadapi (disebut sebagai

tujuan obyektif) maupun sebagai pemenuhan atas sesuatu yang diharapkan

(tujuan subyektif). Oleh karena itu tujuan penelitian ini adalah sebagai

(20)

5

a. Tujuan obyektif dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui faktor-faktor apa yang mempengaruhi dibentuknya

UU No 33 Tahun 2014 baik secara sosiologis, yuridis maupun filosofis.

2. Untuk mengetahui politik hukum Islam dalam proses pembentukan dan

pengesahan UU No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal

3. Untuk mengetahui apa saja aspek nilai hukum Islam yang berperan

dalam esensi UU no 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

b. Sedangkan tujuan subyektif adalah untuk mendapatkan jawaban atas

permasalahan yang diteliti.

2. Manfaat Penelitian

Manfaat yang didapatkan dari suatu penelitian:

a. Manfaat teoritis, penelitian ini diharapkan dapat mendeskripsikan

bagaimana politik hukum Islam dapat menjadi mekanisme penyelesaian

persoalan umat Islam dalam menjalankan kewajibannya sebagai umat

beragama tanpa menimbulkan gesekan diantara kemajemukan masyarakat

yang ada di Indonesia, khususnya dalam masalah jaminan produk halal

sebagaimana tertuang dalam UU No. 33 Tahun 2014.

b. Manfaat praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membuka

(21)

6

menjadikan politik hukum Islam sebagai mekanisme menciptakan

kemaslahatan umum dalam masyarakat Indonesia tanpa meninggalkan

aspek kebhinnekaan serta hukum Islam yang menjadi pedoman hidup Umat

Islam.

D. Kerangka Teoretik

Penelitian tesis ini mengenai politik hukum Islam dalam regulasi

jaminan produk halal di Indonesia dengan objek studi Undang – Undang No.

33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Berdasarkan hal tersebut maka

kerangka teori yang akan digunakan pada penyusunan tesis ini adalah:

Pertama, teori politik hukum, yaitu produk hukum yang dihasilkan oleh

para legislator merupakan hasil produk politik, karena hukum lah yang

terpengaruh oleh politik dalam proses pembentukannya. Dengan

mengasumsikan bahwa hukum adalah produk politik, maka hukum dipandang

sebagai dependent variable (variabel terpengaruh), sedangkan politik dipandang

sebagai independent variable ( variable berpengaruh). Peletakan hukum sebagai

variabel yang tergantung, atas`politik itu mudah dipahami dengan melihat

realitas hukum sebagai peraturan abstrak yang merupakan kristalisasi dari

kehendak politik yang saling bersaing dan berinteraksi. Sidang parlemen dalam

pembentukan undang-undang sebagai produk hukum pada hakikatnya

(22)

7

dalam bentuk sebuah keputusan politik dan menjadi undang-undang. Undang– undang tersebut lahir sebagai bentuk keputusan bersama dan dipandang sebagai

produk dan adegan konstelasi politik itu.9

Kedua, selanjutnya penelitian ini akan membahas aspek politik hukum

Islam. Secara umum di dunia Islam, awal abad XX yang merupakan masa

berakhirnya dominasi kolonialisme, politik hukum Islam mulai intens

diwacanakan dan menjadi polemik, bersamaan dengan proses pembentukan

negara-negara muslim seperti Malaysia, Pakistan, Mesir, Sudan, Turki, Al Jazair

bahkan perdebatan ini merambah hingga ke negara-negara sekuler.10 Mereka

mengalami kesulitan mengembangkan hubungan antara hukum Islam dan

negara, tidak terkecuali di Indonesia.

Fenomena yang terjadi di Indonesia, hukum Islam mulai dikenal oleh

penduduk nusantara sejak agama Islam disebarkan di Indonesia dan mulai

diikuti dan dilaksanakan oleh pemeluknya. Hal ini dapat diketahui dari beberapa

bukti sejarah berupa hasil karya para pujangga yang hidup pada masa itu

misalnya kitab Sabi>l al-Muhtadi>n, Kutaragama, Sajinatu al- Hukum serta

9 M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia ( Jakarta: LP3ES, 1998), 10.

(23)

8

beberapa kitab yang ditulis oleh orang asing seperti Mugharrar karya Al-Rafi’i, Niha>yah karya Al-Ramli dan kitab hukum madzab Al-Sha>fi’i> lainnya.11

Perkembangan Islam mulai dikendalikan setelah penjajah Belanda

masuk ke Indonesia dan setelah tahun 1927, Van Vollenhoven dan Snouck

Hurgronje (penasehat pemerintah Hindia Belanda tentang soal-soal Islam di

negeri jajahan Belanda) dengan teori receptie mendapat landasan peraturan

perundang-undangan Indische Staatsregeling (IS 1925). Menurut pandangan

teori ini, hukum Islam bukanlah hukum, melainkan hukum Islam baru menjadi

hukum apabila telah diresepsi (diterima) terlebih dahulu oleh hukum adat. Teori

ini berpangkal dari keinginan Snouck Hurgronje agar orang-orang pribumi

sebagai rakyat jajahan tidak memegang ajaran Islam dengan kuat, sebab pada

umumnya orang–orang yang kuat memegang ajaran Islam, tidak mudah dipengaruhi oleh peradaban barat. Oleh karena itu eksistensi teori ini

dikukuhkan dalam pasal 134 IS dengan redaksional: “adatsrecht ialah

undang-undang agama, lembaga kebudayaan bangsa dan kebiasaan”, artinya bagi orang

pribumi jika menghendaki penerapan hukum Islam, akan diberlakukan selama

tidak bertentangan dengan hukum adat.12

Ketiga, selanjutnya penelitian ini akan menggunakan teori pembentukan

undang-undang sebagai landasan hukum yang menjadi dasar pelaksana dari

11 Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009),127.

(24)

9

seluruh kebijakan yang akan dibuat pemerintah.13 Dalam pembentukan sebuah

undang yang baik, harus sesuai dengan asas-asas pembentukan

undang-undang dan materi muatan yang tidak bertentangan dengan UUD 1945, sehingga

undang-undang tersebut bisa berlaku secara berkesinambungan.

Keempat, penelitian ini akan mengkaji tentang efektivitas hukum yang

berarti daya kerja hukum dalam mengatur/memaksa warga masyarakat untuk

taat terhadap hukum. Hal ini berarti kaidah hukum yang ditetapkan haruslah

memenuhi syarat yakni berlaku secara yuridis, sosiologis maupun filosofis.

Hukum merupakan suatu sistem yang meliputi tiga komponen, yakni legal

substance atau substansi hukum yang berisi aturan-aturan atau norma-norma;

legal structure, yaitu institusi penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim dan

pengacara dan yang ketiga adalah legal culture yakni budaya hukum termasuk

didalamnya agama dan kepercayaan, sikap, ide, pandangan tentang hukum.14

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Pembahasan dan penelitian tentang regulasi jaminan produk halal sudah

banyak dilakukan orang sebelumnya, namun pembahasan yang dilakukan

kebanyakan terkait sertifikasi halal yang ditekankan pada urgensi regulasi dan

edukasi halal untuk konsumen, kepastian hukum tentang sertifikasi halal dan

13 Yuliandri, AsasAsas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik, gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), 1.

(25)

10

konsep sistem jaminan halal dengan pendekatan studi kasus, aspek hukum

perlindungan konsumen pada sistem jaminan halal, Penelitian yang secara

khusus membahas tentang regulasi jaminan halal dari aspek politik hukum

terkait perspektif konflik dan bagaimana munculnya perbedaan pendapat dalam

tafsir regulasi ini belum ada. Untuk memperoleh rujukan awal tentang

permasalahan di atas, penulis akan menyampaikan sejumlah buku, jurnal dan

disertasi yang relevan, diantaranya:

1. Politik Hukum di Indonesia karya Mahfudz MD, menjelaskan tentang

legal policy yaitu pengaruh politik terhadap hukum yang akan diberlakukan

baik mengenai pembuatan hukum baru maupun penggantian hukum lama

untuk mencapai tujuan negara. Buku ini juga menjelaskan tentang

konfigurasi politik demokrasi dan otoriter.

2. Membangun Teori Politik Hukum di Indonesia karya Abdul Halim yang

menjelaskan tentang transformasi hukum Islam ke dalam hukum nasional

tidak memiliki hubungan dengan perjuangan menuju negara Islam atau

Islam sebagai dasar negara. Legislasi hukum Islam menjadi

perundang-undangan memiliki kontribusi positif terhadap penguatan komitmen umat

Islam dalam kehidupan berbangsa. Studi ini membantah pendapat yang

menyatakan bahwa akomodasi hukum Islam oleh peraturan

perundang-undangan merupakan agenda menuju negara Islam karena proses

(26)

11

hukum Islam berada pada tataran sumber hukum sehingga akomodasinya

ke dalam perundang-undangan diawali dengan pengujian agar selalu sesuai

dengan pancasila dan UUD 1945.15

3. Urgensi Regulasi dan Edukasi Produk Halal bagi Konsumen, karya

Rahmah Maulidia, menjelaskan urgensi regulasi produk halal bagi umat

Islam di Indonesia. Kurangnya edukasi dan sosialisasi produk halal

memberikan dampak yang signifikan terhadap pengabaian masyarakat

akan produk halal. Namun demikian, masyarakat juga menyadari bahwa

pemerintah seharusnya memberikan jaminan keamanan pangan meskipun

dalam studi kasusnya dijelaskan perbedaan pendapat dalam strategi

sertifikasi halal di Indonesia.16

4. Kepastian Hukum Sertifikasi dan Labelisasi Halal Produk Pangan, karya

KN. Sofyan Hasan. Tulisan ini menjelaskan bahwa sertifikat halal

bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi konsumen, namun

regulasi yang ada masih terkesan sektoral, parsial dan inkonsistensi serta

tidak sistemik. Selain itu penulis juga menjelaskan bahwa sertifikat halal

yang masih bersifat sukarela (voluntary) tidak dapat menciptakan jaminan

kepastian hukum kehalalan produk pangan. Untuk itu agar tercapai

(27)

12

kepastian hukum, RUU JPH segera diubah menjadi UU JPH dengan

memberikan otoritas kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk

melakukan sertifikasi halal melalui Lembaga Pengkajian Pangan

Obat-Obatan dan Kosmetika MUI (LPPOM MUI) dan komisi fatwa. Pemerintah

berfungsi sebagai regulator dan pengawas dalam implementasi ketentuan

Undang-Undang yang ditetapkan tersebut.17

5. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Pemberian Label Halal pada

Produk Makanan dan Minuman Perspektif Hukum Perlindungan

Konsumen, karya Kurniawan, Budi Sutrisno dan Dwi Martini. Penelitian

ini mengupas tentang masalah labelisasi halal produk makanan, yang harus

mengikuti prosedur dan tahapan tertentu, sanksi –sanksi pidana, perdata maupun administratif bagi pelaku usaha yang melakukan pemalsuan label

halal tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Perlindungan

Konsumen, dan Undang-Undang Pangan dan peraturan pemerintah tentang

label dan iklan pangan.18

17 KN. Sofyan Hasan, “Kepastian Hukum sertifikasi dan Labelisasi Halal Produk Pangan” Jurnal

Dinamika Hukum, Vol. 14, No. 2, ( Mei, 2014), 227.

18Kurniawan, Budi Sutrisno dan Dwi Martini, “ Tanggung Jawab Pelaku Usaha terhadap Pemberian

(28)

13

F. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian tentang Politik Hukum Islam dalam Regulasi

Jaminan Produk Halal di Indonesia ini digunakan jenis penelitian hukum

kualitatif-empiris yakni penelitian tentang identifikasi hukum. Penelitian ini

termasuk socio-legal research yakni penelitian dengan studi empiris untuk

menemukan teori mengenai terjadinya hukum di dalam masyarakat dan

bekerjanya hukum tersebut.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif.

Metode kualitatif merupakan jenis studi yang temuan-temuannya tidak

diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya.19 Metode ini

juga bisa digunakan untuk mendapatkan wawasan tentang sesuatu yang baru

sedikit diketahui serta dapat memberikan rincian yang kompleks tentang

fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode kuantitatif.20 Metode kualitatif

juga sering tidak berfikir dalam hal seperti variabel bebas dan mandiri , tetapi

permasalahan dinyatakan dalam bentuk dan cara yang lengkap dan

problematik. Penelitian ini dilakukan melalui penggalian informasi

sebanyak-banyaknya dari subjek penelitian.

19 Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif: Tata Langkah dan Teknik-teknik Teoritisasi Data, Terj. Muhammad Sodiq dan Imam Muttaqin ( Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 4.

(29)

14

2. Obyek Penelitian

Obyek dari penelitian ini adalah Undang-Undang No 33 Tahun 2014

tentang Jaminan Produk Halal dan berbagai elemen masyarakat ( masyarakat

umum, komunitas halal, media dan LPPOM MUI) yang menjadi subjek proses

politik hukum diberlakukannya regulasi jaminan halal untuk produk -produk

industri di Indonesia.

3. Sumber data

a. Data primer.

Penelitian ini adalah penelitian hukum kualitatif-empiris dengan

metode penelusuran lapang (field research) yang menggunakan

instrumen dokumen, wawancara dan observasi. Observasi di arahkan

ke berbagai elemen ormas/tokoh dan badan LPPOM MUI sebagai

penyelenggara sertifikasi jaminan halal, pressure group dan media

sebagai infrastruktur politik tercapainya jaminan produk halal di

Indonesia.

b. Data sekunder

Data sekunder diambil dari library research ( studi kepustakaan)

terhadap literatur-literatur hukum maupun perundang-undangan yang

(30)

15

dan Biken dalam Nawawi, secara ringkas bahwa analisis data dalam

studi kualitatif terdapat beberapa model diantaranya model studi yang

bersifat bibliografis ( library research) dan model studi lapangan ( field

research).21

Bahan Hukum Primer adalah bahan pustaka berisi pengetahuan

ilmiah yang baru/mutakhir ataupun pengertian baru tentang politik baru

tentang fakta yang diketahui maupun mengenai suatu gagasan atau ide.

Bahan Hukum Primer mencakup (a) buku; (b) kertas kerja konferensi,

lokakarya, seminar, simposium dan seterusnya; (c) laporan penelitian;

(d) laporan teknis; (e) majalah; (f) disertasi atau tesis; dan (g) paten.22

Bahan Hukum Primer yang digunakan dalam penelitian ini berupa

peraturan perundang-undangan yakni UU No 33 tahun 2014 tentang

Jaminan Produk Halal.

Bahan hukum sekunder adalah bahan pustaka berisikan

informasi tentang bahan primer yang antara lain mencakup : (a) abstrak;

(b) indeks; (c) bibliografi; (d) penerbitan pemerintah; dan (e) bahan

acuan lainnya.23 Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam

penelitian ini adalah buku-buku, jurnal, rancangan peraturan

21 Ismail Nawawi, Penelitian Kualitatif ( Jakarta: Refka Cita media, 2012)

(31)

16

perundang-undangan, hasil penelitian, makalah, yang terkait dengan

regulasi halal.

Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang pada

dasarnya mencakup: (a) bahan – bahan yang memberikan petunjuk

terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang telah

dikenal dengan nama bahan acuan bidang hukum atau bahan rujukan

bidang hukum, contohnya abstrak perundang-undangan, bibliografi

hukum, direktori pengadilan, ensiklopedia hukum, indeks majalah

hukum, kamus hukum dan seterusnya; dan (b) bahan-bahan primer,

sekunder dan tersier di luar bidang hukum, misalnya yang berasal dari

bidang sosiologi, ekonomi, ilmu politik,filsafat dan sebagainya, yang

oleh para peneliti hukum dipergunakan untuk melengkapi atau

menunjang data penelitiannya.24

4. Analisis Data

Setelah data primer dan sekunder diperoleh dan terkumpul, maka data

diidentifikasi dan klasifikasi berdasarkan pokok-pokok masalah yang diteliti.

Teknik analisis data yang digunakan adalah interpretatif understanding, yaitu

penafsiran atau pemaknaan data dengan masalah yang ada atau terhadap data

yang saling berhubungan untuk mendapatkan kesimpulan sementara yang

(32)

17

dipakai sebagai landasan mengumpulkan data selanjutnya.25 Interpretasi

terhadap bahan hukum dilakukan secara otentik, historis, tekstual dan

kontekstual ( historis).

Hasil analisis data tersebut kemudian dideskripsikan secara kualitatif

dan disusun secara sistematis dalam bab-bab, dan sub-sub bab dalam bentuk

laporan penelitian.

G. Sistematika Penulisan

Dalam menyajikan penulisan ini, penulis menyusun sistematika

pembahasan sebagai berikut:

Pada bab pertama adalah pendahuluan. Pada bab ini diuraikan tentang

latar belakang, identifikasi permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian,

kerangka teoritis, metodeologi penelitian dan sistematika penulisan.

Adapun bab kedua adalah diskursus tentang politik hukum nasional di

Indonesia. Pada bab ini diuraikan secara singkat tentang definisi dn ruang

lingkup politik hukum, politik hukum nasional, dan konfigurasi politik.

Pada bab ketiga penulis membahas mengenai politik hukum Islam Pada

bab ini diuraikan tentang politik hukum Islam di Indonesia, dan proses

transformasi hukum Islam dalam hukum nasional.

(33)

18

Pada bab keempat, penulis akan membahas tentang sistem jaminan

halal. Bagaimana halal dalam perspektif Islam, aspek filosofis atau sumber

hukum penetapan halal haram dan aspek yuridis ( dasar hukum) legislasi

jaminan produk halal.

Pada bab kelima, akan dibahas mengenai politik hukum Islam jaminan

produk halal. Bab ini menguraikan tentang aspek politik hukum Islam dalam

regulasi jaminan produk halal, mekanisme pembentukan regulasi jaminan

produk halal , perspektif hukum Islam dan analisa.

Sedangkan bab keenam adalah penutup. Pada bab ini diuraikan

mengenai kesimpulan penulis dan rekomendasi penulis berbasis pada hasil

(34)

19

BAB II

POLITIK HUKUM NASIONAL DI INDONESIA

A. Definisi dan Ruang Lingkup Politik Hukum

Politik hukum merupakan suatu bagian dalam kajian ilmu hukum yang

terdiri atas dua disiplin ilmu, yaitu ilmu politik dan ilmu hukum. Moh. Mahfud MD,

menganggap politik hukum masuk dalam disiplin ilmu hukum. Beliau berpendapat

bahwa politik hukum diartikan sebagai legal policy (kebijakan hukum) yang akan

atau telah dilaksanakan oleh pemerintah. Politik hukum ini mencakup pembuatan

hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap materi-materi

hukum agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan, dan pelaksanaan ketentuan

hukum yang sudah ada, termasuk penegakan fungsi lembaga dan pembinaan para

penegak hukum.1

Pengertian politik hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh Mahfud

MD tersebut sejalan dengan pengertian yang dikemukakan oleh Abdul Hakim

Garuda Nusantara yang juga bermakna legal policy.2 Perbedaannya, Abdul Hakim

lebih mengedepankan kajian politik hukum pada pembangunan hukum, yaitu

tentang perlunya mengikutsertakan peran kelompok-kelompok sosial dalam

masyarakat dalam hal bagaimana hukum itu dibentuk, dikonseptualisasikan,

1 M. Mahfud MD , Politik Hukum di Indonesia, ( Jakarta: LP3ES,1998), 8.

(35)

20

diterapkan dan dilembagakan dalam suatu proses politik yang sesuai dengan

cita-cita awal suatu negara.3

Padmo Wahjono berpandangan, politik hukum adalah kebijakan dasar

yang menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk.4 Menurut

Satjipto Rahardjo, politik hukum merupakan aktivitas memilih dan mekanisme

yang digunakan dalam rangka mencapai tujuan sosial dan hukum tertentu dalam

masyarakat.5 Sedangkan Soedarto menjelaskan bahwa politik hukum merupakan

kebijakan negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan

peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan dan yang digunakan

untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk

mencapai tujuan yang menjadi cita-cita.6

Sunaryati Hartono menjelaskan bahwa politik hukum tidak terlepas dari

realitas sosial dan tradisional yang ada dalam negara kita, di sisi lain sebagai

anggota masyarakat internasional, politik hukum Indonesia juga terkait dengan

realita dan politik hukum internasional.7 Faktor-faktor yang menentukan politik

hukum bukan hanya ditentukan oleh apa yang dicita-citakan atau tergantung pada

kehendak pembentuk hukum, para teoretisi maupun praktisi hukum saja, namun

juga tergantung pada kenyataan dan perkembangan hukum internasional. Menurut

3 Ibid., 27.

4 Padmo Wahjono, dalam Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia ( Jakarta: Rajawali,2010),1. 5 Abdul Hakim Garuda Nusantara, dalam Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, menegakkan Konstitusi, ( Jakarta: Rajawali Press,2011),15.

6 Soedarto dalam Mahfud MD, Ibid., 14.

(36)

21

perspektif F. Sugeng Istanto, politik hukum merupakan bagian dari ilmu hukum

dan dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu politik hukum sebagai terjemahan

dari Rechts Politik, politik hukum bukan terjemahan dari Rechts politik dan politik

hukum yang membahas tentang public policy.8

Politik hukum memerlukan sebuah mekanisme yang melibatkan banyak

faktor. Kita mengenal mekanisme ini sebagai sebuah proses politik hukum. Dari

pengertian ini, politik hukum mempunyai dua ruang lingkup yang saling terkait,

yaitu dimensi filosofis-teoritis dan dimensi normatif-operasional. Sebagai dimensi

filosofis-teoritis, politik hukum merupakan parameter nilai bagi implementasi

pembangunan dan pembinaan hukum di lapangan. Sebagai dimensi

normatif-operasional, politik hukum lebih terfokus pada pencerminan kehendak penguasa

terhadap tatanan masyarakat yang diinginkan.9

Pada tataran empiris, Mahfud MD berusaha menjelaskan hakekat politik

hukum dengan langsung menggunakan pendekatan politik hukum dalam

penelitiannya. Mahfud melihat hukum dari sisi yuridis-sosio-politis, yaitu

menghadirkan sistem politik sebagai variabel yang mempengaruhi rumusan dan

pelaksanaan hukum. Menurut Mahfud, hukum tidak bisa dijelaskan melalui

pendekatan hukum semata, tetapi juga harus memakai pendekatan politis.10

8 F. Sugeng Istanto dalam Abdul Latif dan Hasbi Ali , Politik Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010),6. 9 Marzuki Wahid, “konfigurasi Politik Hukum Islam di Indonesia; studi tentang pengaruh Politik Hukum Orde baru terhadap Kompilasi Hukum Islam,”Mimbar Studi, No. 2 Tahun XXII 9 Januari-April 1999), 104-105.

(37)

22

Indonesia merupakan negara yang menganut faham Rechtstaat ( negara

berdasarkan hukum), mempunyai agenda utama dalam mengarahkan kebijakan

hukum, yaitu untuk mewujudkan keadilan sosial dan menegakkan negara yang

berkedaulatan rakyat sebagaimana tertera dalam pembukaan UUD 1945. Namun

demikian, menurut Abdul Hakim, dalam proses pembangunan di Indonesia yakni

pada masa orde baru, teryata banyak birokrat dan militer yang mendominasi,

sedangkan organisasi-organisasi sosial di luar itu terpinggirkan dan kebijakan

hukum terkesan hanya mewakili kelompok-kelompok yang berkuasa. Oleh karena

itu keadilan sosial dan demokrasi yang dicita-citakan tidak terwujud. Maka perlu

adanya pembangunan hukum yang menyertakan kelompok-kelompok sosial dalam

masyarakat agar kepentingan mereka dapat terakomodasi.11

Dari pengertian politik hukum di atas, dapat disimpulkan bahwa pada

dasarnya politik hukum merupakan suatu kajian yang tidak hanya berbicara pada

tataran proses dari hukum-hukum yang akan dan sedang diberlakukan tetapi juga

mencakup pula hukum-hukum yang telah berlaku. Politik hukum ini mempunyai

tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara

lebih baik dan untuk memberi pedoman, tidak hanya kepada pembuat UU, tetapi

juga pengadilan yang menetapkan UU dan juga kepada para penyelenggara

pelaksana putusan pengadilan. Pembentukan kebijakan hukum didasarkan pada cita

hukum, cita-cita dan tujuan negara yang termaktub di dalam konstitusi.

(38)

23

B. Politik Hukum Nasional

Setiap negara memiliki corak politik hukum yang berbeda dengan politik

hukum yang diterapkan oleh negara lain. Hal ini disebabkan adanya perbedaan latar

belakang historis, sosio-kultural maupun political will pemerintah masing-masing

negara. Namun demikian, realitas politik hukum internasional juga mewarnai corak

politik hukum satu negara. Perbedaan politik hukum masing-masing negara ini

menghasilkan politik hukum nasional. Tak terkecuali Indonesia, yang juga

menganut politik hukum nasional, yakni ruang lingkup penerapannya terbatas pada

wilayah teritorial negara Indonesia. Politik hukum nasional di Indonesia

merupakan suatu kebijakan yang telah ditetapkan oleh para pemimpin bangsa sejak

sebelum kemerdekaan Indonesia.

Politik hukum nasional pertama kali resmi dibuat oleh para pendiri bangsa

Indonesia yaitu pancasila yang merupakan cermin keanekaragaman budaya dan

adat istiadat bangsa dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia. Pancasila

merupakan asas yang menjadi pedoman dan pemandu dalam pembentukan

UUD1945, undang-undang dan peraturan lainnya. Pancasila merupakan norma

fundamental yang membangun norma-norma hukum dibawahnya secara

(39)

24

dengan norma hukum yang lebih tinggi. Pancasila juga menjadi cita hukum

(rechtsidee) dalam kehidupan bangsa Indonesia.12

Politik hukum nasional merupakan alat dan sarana yang digunakan oleh

pemerintah untuk membentuk sistem hukum nasional, sebagaimana yang

dijelaskan oleh Mahfud MD bahwa politik hukum merupakan legal policy untuk

pemberlakuan hukum sehingga dapat mencapai tujuan negara.13 Sistem hukum

nasional inilah yang akan dapat mewujudkan cita-cita bangsa sebagaimana yang

tertera di dalam landasan ideologi negara yaitu pancasila dan UUD 1945.

Ada beberapa komponen yang menjadi ruang lingkup politik hukum

nasional diantaranya lembaga negara yang menjadi penyusun politik hukum, letak

politik hukum dan faktor internal maupun eksternal yang mempengaruhi

pembentukan sistem hukum. Dalam ranah aplikasi, politik hukum akan mencakup

lembaga peradilan yang menetapkan dan menjadi pelaksana putusan hukum di

pengadilan.14 Politik Hukum juga mencakup aspek evaluasi yang dapat mengkritisi

setiap produk hukum yang dibuat dan diundangkan oleh pemerintah.

Dengan demikian dapat penulis simpulkan bahwa wilayah telaah politik

hukum mencakup proses penggalian aspirasi yang ada dari masyarakat oleh para

penyelenggara negara yang berwenang, kemudian aspirasi tersebut menjadi bahan

12 “Cita hukum adat, cita hukum Islam, dan cita hukum eks barat berlaku di Indonesia sebelum Indonesia merdeka. Namun demikian, sesudah Indonesia merdeka, ketiga cita hukum tersebut, akan menjadi bahan baku dalam pembentukan cita hukum nasional di Indonesia yang biasa disebut cita hukum pancasila.” Zainuddin Ali mengasumsikan secara yuridis normatif. A. Hamid At-Tamimi, Pancasila: Cita Hukum dalam Kehidupan Bangsa Indonesia, Makalah disampaikan pada BP7 Pusat, Jakarta, 1993,77.

13 M Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, 2

(40)

25

dan wacana yang akan diperdebatkan dan dikontestasikan oleh para penyelenggara

negara yang berwenang dalam rumusan rancangan peraturan

perundang-undangan.Dalam penentuan rumusan rancangan perundang-undangan hingga

berhasil ditetapkan menjadi undang-undang atau hukum positif, banyak faktor

internal dan eksternal yang mempengaruhi proses politik hukum baik pada saat

akan dirumuskan, maupun setelah ditetapkan dan dilaksanakan.

Proses penggalian aspirasi masyarakat seringkali bersifat dinamis artinya

dipengaruhi oleh jenis/corak masyarakat. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat

majemuk yakni disusun oleh perbedaan-perbedaan identitas sosial seperti identitas

keagamaan, identitas etnis, identitas profesi, dan berbagai kelompok sosial yang

unik dan berbeda dari kelompok lain. Hal penting yang muncul sebagai

kon-sekuensi adanya keragaman ini adalah persoalan stabilitas, harmoni sosial maupun

persaingan identitas dalam arena-arena sosial.15

Dalam konteks ini kita perlu mengkaji politik hukum dari sisi apakah

aspirasi yang tergali dari masyarakat tersebut sudah terakomodasi dalam

perumusan hukum oleh penyelenggara negara atau sebaliknya. Karena suatu aturan

perundang-undangan dapat dikatakan baik dan diakui eksistensinya oleh

masyarakat apabila mempunyai keabsahan secara sosiologis, filosofis dan yuridis.

Keabsahan sosiologis (seziologisce geltung) diartikan sebagai penerimaan hukum

oleh masyarakat artinya bukan hanya ditentukan oleh paksaan negara. Keabsahan

(41)

26

filosofis (filosofische geltung) adalah apabila kaidah hukum tersebut

mencerminkan nilai yang hidup dalam masyarakat dan menjadi rechtsidee.

Sedangkan keabsahan secara yuridis (juritische geltung) dijelaskan sebagai

kesesuaian bentuk peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur oleh

peraturan yang lebih tinggi. 16

Apabila hukum yang dihasilkan tidak memenuhi syarat tersebut, maka

dapat dipastikan resistensi masyarakat terhadap produk hukum tersebut menjadi

sangat kuat. Disinilah salah satu letak pentingnya kajian politik hukum. Namun

tidak dapat dipungkiri bahwa lembaga yang berwenang untuk menggali dan

merumuskan suatu produk hukum pun tidak bersih dari berbagai kepentingan.

Sehingga perlu dikaji pula tarik menarik antara aspirasi kelompok kepentingan

dengan kepentingan masyarakat. Maka bisa disimpulkan bahwa, masalah

kontestasi dan perdebatan dalam politik hukum merupakan konsekuensi logis

masyarakat majemuk Indonesia dalam merumuskan kebijakan publik dalam wadah

regulasi. Jika konsep tersebut sah dilegalkan oleh pemangku kebijakan maka ia

menjadi hukum yang akan merealisasikan tujuan negara.

Keabsahan yuridis dalam suatu produk hukum dapat dijelaskan sebagai

kesesuaian materi hukum dengan hukum yang ada di atasnya. Urgensi memahami

hierarki hukum sangat besar agar tidak terjadi pertentangan antar peraturan

perundang-undangan. Oleh karena itu perlu dikaji pula hierarki peraturan

(42)

27

perundang-undangan di Indonesia. Hans Kelsen menyebutkan bahwa hukum yang

lebih rendah haruslah berdasar, bersumber dan tidak bertentangan dengan hukum

yang lebih tinggi. Sifat bertentangan pada hukum yang lebih rendah ini

mengakibatkan batalnya daya laku hukum tersebut.17

Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan

perundang-undangan, menjelaskan tentang hierarki hukum di Indonesia, yaitu (1)

UUD 1945; (2) Undang-Undang ( UU); (3) Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang -Undang (Perpu); (4) Peraturan Pemerintah ( PP); (5) Peraturan Presiden (

Perpres); (6) Peraturan Daerah (Perda).18 Peraturan yang berada pada urutan

pertama merupakan peraturan dengan hierarki tertinggi sehingga peraturan yang

ada di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan peraturan tersebut. Dengan

adanya UU No. 10 Tahun 2004 ini maka Ketetapan Majelis Permusyawaratan

Rakyat (TAP MPR) tidak berlaku lagi. Dengan demikian pasca amandemen UUD

1945, kekuasaan MPR dalam bidang perundang-undangan terbatas pada mengubah

dan menetapkan Undang-Undang Dasar 1945.

Posisi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah bersama presiden sebagai

pemegang kekuasaan tertinggi di lembaga eksekutif menjadi lembaga pembentuk

undang-undang. Sebagaimana termaktub dalam pasal 20 UUD 1945 presiden dan

DPR bekerja sama dalam mengesahkan rancangan undang-undang (RUU) menjadi

17 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum sebagai Suatu Sistem, ( Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), 81-82

(43)

28

undang-undang.19 UU No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal telah

disetujui dan disahkan oleh presiden bersama DPR menjadi undang-undang.

C. Konfigurasi Politik Hukum

Hukum merupakan hasil tarik-menarik pelbagai kekuatan politik yang

terealisasi dalam suatu produk hukum. Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa

hukum merupakan instrumentasi dari putusan atau keinginan politik sehingga

pembentukan peraturan perundang-undangan disarati oleh berbagai kepentingan.

Oleh karena itu pembuatan undang-undang menjadi medan pertarungan dan

perbenturan berbagai kepentingan badan pembuat undang-undang yang

menerminkan suatu konfigurasi kekuatan dan kepentingan yang terdapat dalam

masyarakat.20

Konfigurasi bermakna bentuk wujud ( untuk menggambarkan orang atau

benda),21 sedangkan Moh. Mahfud MD memberikan pengertian terhadap

konfigurasi dengan susunan konstelasi politik.22 Kata konstelasi politik, terdiri dari

dua kata, yaitu konstelasi dan politik. Kata konstelasi bermakna gambaran atau

keadaan yang dibayangkan. Dalam negara demokratis, pemerintah sedapat

mungkin merupakan cerminan dari kekuatan yang ada di dalam masyarakat. Oleh

19 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 , ( Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI, 2008),67

20 Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Perkembangan, Metode dan Pilihan Masalah, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002),126.

21 Kamus Besar Hukum Indonesia Edisi ke-empat Departeman Pendidikan Nasional, ( Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), 723

(44)

29

karena itu, konstelasi politik adalah rangkuman dari kehendak-kehendak politik

masyarakat. Menurut Mahfud MD politik hukum juga berkaitan dengan pengertian

tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi

kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum.23 Konfigurasi

politik suatu negara akan melahirkan karakter produk hukum yang sesuai dengan

konfigurasi yang digunakan.

Konfigurasi kekuatan dan kepentingan pemerintah sebagai badan pembuat

undang-undang menjadi penting karena proses pembuatan undang-undang modern

bukan sekedar perumusan materi hukum secara baku sesuai rambu-rambu yuridis

saja, melainkan pembuatan suatu keputusan politik. Intervensi-intervensi dari

eksternal maupun internal pemerintah, bahkan kepentingan politik global secara

tidak langsung turut mewarnai proses pembentukan undang-undang. Intervensi

tersebut terutama dilakukan oleh kelompok yang mempunyai kekuatan dan

kekuasaan baik secara politik, sosial maupun ekonomi.24

Mahfud MD menggambarkan dua konsep politik hukum yaitu konfigurasi

politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter. Konfigurasi politik demokratis

adalah susunan sistem politik yang membuka kesempatan bagi berperannya potensi

rakyat secara penuh untuk ikut aktif menentukan kebijakan umum. Partisipasi ini

ditentukan atas asas mayoritas oleh wakil-wakil rakyat dalam pemilihan-pemilihan

berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam

23 Ibid., 1-2.

(45)

30

suasana terjadinya kebebasan politik di negara demokrasi. Konfigurasi politik

demokratis melahirkan produk hukum responsif.

Konfigurasi politik otoriter adalah susunan sistem politik yang lebih

memungkinkan negara berperan sangat aktif serta mengambil seluruh inisiatif

dalam pembuatan kebijakan negara. Konfigurasi ini dicirikan oleh dorongan elit

kekuasaan untuk memaksakan persatuan, penghapusan oposisi terbuka, dominasi

pimpinan negara untuk menentukan kebijakan negara dan dominasi kekuasaan

politik oleh elit politik yang kekal. Konfigurasi politik otoriter menghasilkan

produk hukum yang berkarakter ortodoks.25

Bintan Ragen Saragih26 mendefinisikan konfigurasi politik hukum sebagai

suatu kekuatan-kekuatan politik yang riel dan eksis dalam suatu sistem politik.

Konfigurasi ini biasanya muncul dalam wujud partai-partai politik. Jika partai

politik ini berperan secara nyata dalam sistem politik yang berlaku dalam

pengambilan kebijakan hukum maupun kebijakan lainnya, maka konfigurasi

politik itu adalah konfigurasi politik yang demokratis. Sedangkan apabila berlaku

sebaliknya maka konfigurasi politik itu adalah konfigurasi politik otoriter.

Kekuatan politik juga nampak dalam organisasi-organisasi kepentingan, tokoh

berpengaruh dan sebagainya.

25 Satya arinanto, Kumpulan Materi Presentasi Hukum ( dikumpulkan dari berbagai referensi), (Jakarta: Pascasarjana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010), 77.

(46)

106

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan yang telah penulis paparkan dalam bab-bab

sebelumnya, ada dua kesimpulan yang dapat penting sebagai berikut:

a. Suatu produk hukum memiliki keterkaitan yang erat dan dipengaruhi

oleh aspek sosiologis, yuridis maupun filosofis tempat hukum tersebut

dihasilkan. UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal

terbentuk karena memiliki akar sosiologis yang kuat dimana mayoritas

penduduk Indonesia beragama Islam. Namun pro dan kontra di

kalangan umat Islam sendiri tidak terelakkan dikarenakan dari sumber

teks hukum Islam sendiri memungkinkan adanya perbedaan interpretasi

terhadap hukum halal haram ini. Selain itu perbedaan tingkat

pemahaman masyarakat terhadap halal juga mewarnai pro dan kontra

yang terjadi.

b. Disamping itu politik hukum Islam bergulir sejalan dengan tuntutan

dan aspirasi masyarakat untuk menerapkan syariah Islam dalam ranah

positivisasi hukum yang tercermin dalam aspek yuridis terbentuknya

(47)

107

substansi UU JPH masih memerlukan adanya pembenahan melalui

peraturan pemerintah yang ada di bawahnya agar dapat

diimplementasikan secara baik. Peluang adanya uji materi terhadap UU

JPH tetap ada dalam rangka menyesuaikan substansinya. Sistem

Ideologi negara yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa

menunjukkan unsur religiusitas negara yang menjadi pilar sistem

hukum nasional sehingga perjuangan politik hukum Islam dalam

regulasi jaminan Produk Halal memiliki payung konstitusional yang

mantap.

c. Nilai –nilai hukum Islam sangat berperan dalam menentukan esensi UU JPH dengan mengedepankan prinsip al-Maqaashid as-Syariah.

B. Saran

1. Nilai-nilai Islam yang digali dari Al-Qur’an dan As-Sunnah diturunkan Allah SWT untuk kemaslahatan umat manusia seluruhnya.Hal ini menuntut umat islam

untuk dapat memaknai ajaran Islam secara lebih komprehensif dan

memperjuangkannya sebagai Islam rahmatan lil’alamiin.

2. Politik hukum Islam dalam regulasi jaminan produk halal hendaknya dapat

dijadikan model dalam upaya membumikan syariat Islam dalam bingkai negara

(48)

108

menciptakan iklim yang kondusif bagi terlaksananya ajaran Islam sebagai

(49)

109

DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran al-Kari>m

Abdurrahman, Hafidz Islam: Politik dan Spiritual, Singapore: Lisan Ul-Haq, 1998

Afdol, Kewenangan Pengadilan Agama Berdasarkan UU No 3 tahun 2006 dan

Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Surabaya: Airlangga University Press, 2006

Afroniyati, Lies “Analisis Ekonomi Politik Sertifikasi Jaminan Produk Halal oleh Majelis Ulama Indonesia, Tesis--Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2011

Ali, Achmad MenguakTabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Jakarta: Gunung Agung, 2002.

Ali, H.Muhammad Daud, Asas-Asas Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata

Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1991

Ali, Zainuddin, Filsafat Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Amin, Ma’ruf, Pro

Referensi

Dokumen terkait

Due to no regulation that require halal labeling caused the businessmen not register their product, so we need additional regulation that require the businessmen to

Undang-undang Jaminan Produk Halal (UUJPH) yang RUU nya terdiri dari 12 Bab, 44 pasal dan 75 ayat telah menunjukkan upaya pemerintah menjadikan Hukum Islam

Berdasarkan adanya peralihan pelaksana sertifikasi halal dari yang sebelumnya dilaksanakan oleh LPPOM MUI yang statusnya sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat LSM, kemudian

 Produk segar asal hewan yang wajib bersertifikat halal sebagaimana telah diatur pada peraturan sebelumnya, maka sifat pengaturan sertifikasi halalnya adalah

Jika dikembalikan kepada peraturn pemerintah berdasarkan Undang-Undang No.33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal didalam Pasal 4 dan Pasal 67 bahwa semua produk yang

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.. Untuk mengetahui tanggung jawab pelaku usaha atas kehalalan produk yang. telah disertifikasi. Untuk

Adapun kesimpulan dalam penelitian ini berdasarkan Pasal 4 dan Pasal 67 ayat 1 menjelaskan tentang kewajiban untuk sertifikasi halal terhadap produk yang diperdagangkan di Indonesia