• Tidak ada hasil yang ditemukan

Marital Readiness pada Remaja yang Melakukan Pernikahan Dini.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Marital Readiness pada Remaja yang Melakukan Pernikahan Dini."

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

MARITAL READINESS PADA REMAJA YANG MELAKUKAN

PERNIKAHAN DINI

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata

Satu (S1) Psikologi (S.Psi)

SHOFIANA NUR IVA

B97212131

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika UIN Sunan Ampel Surabaya, yang bertanda tangan di bawah ini, saya:

Nama : SHOFIANA NUR IVA

NIM : B97212131

Fakultas/Jurusan : Psikologi dan Kesehatan

E-mail address : iva17april@gmail.com

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya, Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif atas karya ilmiah :

Sekripsi Tesis Desertasi Lain-lain (………....………) yang berjudul :

"Marital Readiness pada Remaja yang Melakukan Pernikahan Dini’’

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Ekslusif ini Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya berhak menyimpan, mengalih-media/format-kan, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data (database), mendistribusikannya, dan menampilkan/mempublikasikannya di Internet atau media lain secara fulltext untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan atau penerbit yang bersangkutan.

Saya bersedia untuk menanggung secara pribadi, tanpa melibatkan pihak Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya, segala bentuk tuntutan hukum yang timbul atas pelanggaran Hak Cipta dalam karya ilmiah saya ini.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Surabaya, 22 Agustus 2016

Penulis

(SHOFIANA NUR IVA)

KEMENTERIAN AGAMA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

PERPUSTAKAAN

(6)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul Marital Readiness pada remaja yang melakukan pernikahan dini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran marital readiness pada remaja yang melakukan pernikahan dini, serta untuk mengetahui factor yang mempengaruhi marital readiness remaja yang melakukan pernikahan dini. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif, dimana subjek dalam penelitian ini adalah pasangan remaja yang telah menikah di usia muda yaitu sebanyak 3 pasangan, serta 3 orang informan significan other dari masing-masing pasangan. Teknik pengumpulan data dengan studi pustaka, studi lapangan, wawancara mendalam dan observasi. Data yang didapat di lapangan kemudian dianalisis dan disusun dalam draft tanya jawab antara peneliti yang dijelaskan secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan kesimpulan bahwa gambaran marital readiness pada remaja yang melakukan pernikahan dini tersebut masih kurang. Artinya pasangan tersebut kurang mempersiapkan dalam hal mental dan financial serta kurangnya pengetahuan dalam hal yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangga. Berikutnya hasil dari factor yang mempengaruhi marital readiness tersebut adalah rendahnya tingkat pendidikan, ditambah lagi faktor tingkat ekonomi orangtua yang rendah banyak menyebabkan orangtua menikahkan anaknya di usia yang masih muda.

(7)

E. KEASLIAN PENELITIAN...15

BAB II KAJIAN PUSTAKA....19

A. KONSEPTUALISASI TOPIK YANG DITELITI ... 19

1. Marital Readiness ... 19

a. Pengertian Marital Readiness ... 19

b. Faktor yang Mempengaruhi Marital Readiness ... 21

2. Remaja ... 22

a. Pengertian Remaja ... 22

b. Karakteristik Remaja ... 24

c. Tugas Perkembangan Remaja ... 26

3. Pernikahan Dini ... 28

(8)

b. Faktor yang Mempengaruhi Pernikahan Dini ... 31

c. Dampak dari Pernikahan Dini... 33

4. Marital Readiness pada Remaja yang Melakukan Pernikahan Dini ... 34

B. PERSPEKTIF TEORITIS ... 40

1. Teori Marital Readiness ... 40

2. Teori Remaja ... 41

3. Teori Pernikahan Dini ... 43

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 46

A. JENIS PENELITIAN ... 46

B. LOKASI PENELITIAN ... 48

C. SUMBER DATA ... 48

D. CARA PENGUMPULAN DATA ... 49

E. PROSEDUR ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA ... 50

F. KEABSAHAN DATA ... 51

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...53

A. DESKRIPSI SUBJEK...53

B. HASIL PENELITIAN...61

1. DESKRIPSI HASIL TEMUAN ...68

2. ANALISIS HASIL TEMUAN...70

C. PEMBAHASAN...73

BAB V : PENUTUP....84

A. KESIMPULAN...84

B. SARAN...85

C. KETERBATASAN PENELITIAN...86

(9)

DAFTAR TABEL

(10)

DAFTAR BAGAN

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I : Pedoman Wawancara ………...…...xiii Pedoman Wawancara Significan Other………xiv

Lampiran II : Pedoman Observasi………...….….xv Lampiran III : Panduan Membaca Koding dalam Hasil Transkip

Wawancara………...…… ….…... xvi

(12)

INTISARI

Skripsi ini berjudul Marital Readiness pada remaja yang melakukan pernikahan dini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran marital readiness pada remaja yang melakukan pernikahan dini, serta untuk mengetahui factor yang mempengaruhi marital readiness remaja yang melakukan pernikahan dini. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif, dimana subjek dalam penelitian ini adalah pasangan remaja yang telah menikah di usia muda yaitu sebanyak 3 pasangan, serta 3 orang informan significan other dari masing-masing pasangan. Teknik pengumpulan data dengan studi pustaka, studi lapangan, wawancara mendalam dan observasi. Data yang didapat di lapangan kemudian dianalisis dan disusun dalam draft tanya jawab antara peneliti yang dijelaskan secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan kesimpulan bahwa gambaran marital readiness pada remaja yang melakukan pernikahan dini tersebut masih kurang. Artinya pasangan tersebut kurang mempersiapkan dalam hal mental dan financial serta kurangnya pengetahuan dalam hal yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangga. Berikutnya hasil dari factor yang mempengaruhi marital readiness tersebut adalah rendahnya tingkat pendidikan, ditambah lagi faktor tingkat ekonomi orangtua yang rendah banyak menyebabkan orangtua menikahkan anaknya di usia yang masih muda.

Kata Kunci : Marital Readiness, remaja, pernikahan dini

ABSTRACT

This thesis titled Marital Readiness in adolescents who commit early marriage. This study aims to describe marital readiness in adolescents who commit early marriage, and to determine the factors that influence marital readiness teens who had early marriage. This research is a descriptive qualitative study, in which subjects in this study were teenage couples who have been married at a young age is as much as three couples, as well as three informants a significant other of each pair. Data collection techniques to the study of literature, field studies, in-depth interviews and observation. The data obtained in the field was analyzed and compiled in a draft questions and answers between researchers described qualitatively. The results showed the conclusion that the picture of marital readiness in adolescents who commit early marriage is still lacking. This means that the pair less to prepare in terms of mental and financial as well as lack of knowledge in matters relating to domestic life. Next the result of factors that affect the marital readiness is the low level of education, plus factors that lower economic level of parents causing many parents marry off their children at a young age.

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Kesiapan (readiness) dalam psikologi berarti: 1) suatu keadaan siap untuk bertindak atau berespon terhadap suatu stimulus, atau 2) derajat persiapan untuk melakukan suatu tugas spesifik, atau suatu subjek yang dibutuhkan untuk menghasilkan pembelajaran yang bermakna (meaningful learning). (VandenBos, 2007 hlm 365).

Ditinjau dari asal kata, maka kesiapan menikah atau marital readiness bisa diartikan sebagai keadaan siap berespon pada komitmen dan tanggung jawab dalam pernikahan. Beberapa ahli mencoba merumuskan kesiapan menikah sebagai:

1. Persepsi individu mengenai kemampuan diri untuk menjalankan peran-peran yang ada dalam pernikahan dan melihat hal tersebut sebagai aspek dari pemilihan pasangan atau proses perkembangan hubungan. Persepsi indvidu ini merupakan bagian dari sifat individu yang terbentuk dari persepsi mereka mengenai proses interpersonal pasangan, dan faktor sosial, keluarga serta faktor-faktor pribadi (Holman dan Li, 1997).

(14)

2

3. kemampuan individu untuk menyandang peran baru, sebagai suami atau istri dan digambarkan oleh adanya kematangan pribadi, pengalaman dalam menjalin hubungan interpersonal, usia minimal dewasa muda, serta sumber finansial dan studi yang telah selesai (Wiryasti, 2004).

Wiryasti (2004) membagi kemampuan individu untuk menyandang peran baru menjadi:

a. Komunikasi b. Keuangan

c. Anak dan Pengasuhan d. Pembagian peran suami istri

e. Latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar f. Agama

g. Minat dan pemanfaatan waktu luang h. Perubahan pada pasangan dan pola hidup

i. Latar belakang suku bangsa

(15)

3

Pernikahan merupakan perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami dan istri dengan resmi. Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 pengertian pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Akhir-akhir ini muncul fenomena banyaknya remaja yang usianya relatif masih muda dan belum mempunyai pekerjaan tetap, memilih untuk menikah. Setiap individu yang telah mencapai usia matang pasti mendambakan sebuah pernikahan. Pernikahan merupakan satu-satunya cara efektif untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis serta berbagi kedekatan secara emosional, fisik, maupun ekonomi.

Menurut teori perkembangan dari Papalia, Olds & Feldman, (2007), masa usia menikah adalah saat usia dewasa awal yaitu 20-40 tahun atau menurut Hurlock, (1999) antara usia 18-40 tahun.

(16)

4

Marital Readiness merupakan hal yang sangat penting agar tugas-tugas perkembangan yang harus dijalani setelah menikah tetap dapat terpenuhi. Kesiapan menikah tidak dipandang dari usia individu yang akan menikah (Duvall & Miller, 1985). Usia individu dalam menikah bervariasi disebabkan oleh banyak hal antara lain (1) Pencapaian pendidikan; (2) Perbedaan individu; (3) Perubahan keadaan sosial ekonomi (Duvall & Miller, 1985).

Persiapan pernikahan merupakan tugas perkembangan yang paling penting dalam tahun-tahun remaja, dikarenakan munculnya kecenderungan menikah dini dikalangan remaja yang tidak sesuai dengan tugas perkembanga mereka. Persiapan mengenai aspek-aspek dalam pernikahan dan bagaimana membina keluarga masih terbatas dan hanya sedikit dipersiapkan baik itu di rumah maupun perguruan tinggi. Persiapan yang kurang inilah yang menimbulkan masalah saat remaja memasuki masa dewasa (Hurlock, 1999).

Boykin & Stith (2007) mengemukakan bahwa kecenderungan pernikahan diusia remaja memunculkan distress dan berakhir pada perpisahan, dimana yang menjadi penyebab utamanya adalah sedikitnya pengalaman dan faktor-faktor kurangnya kesiapan dalam menghadapi pernikahan. Untuk mengatasi masalah pernikahan di usia remaja tersebut, maka pemerintah mengatur dalam hukum bahwa pernikahan hanya bisa dilaksanakan ketika usia kedua pasangan telah menginjak usia dewasa.

(17)

5

Usia Perkawinan Pertama diijinkan apabila pihak pria mencapai umur 25 tahun dan wanita mencapai umur 20 tahun.

Dalam undang - undang pernikahan no 1 (1974), pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seseorang pria dan seorang wanita sebagai seorang suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasar Ketuhanan yang Maha Esa. Dengan batasan usia minimal menikah untuk pria adalah 19 tahun dan wanita 16 tahun. Di dalam perubahan undang – undang pernikahan no 1 (1974), menaikkan batasan umur minimum tersebut menjadi untuk pria 25 tahun dan wanita 20 tahun. Menurut Sampoerna dan Azwar (1987), pernikahan dini adalah hubungan interaksi secara intim yang diakui secara sosial dan terjadi pada masa pertumbuhan anak menjadi dewasa. Masa terjadinya perkembangan seksual atau masa dalam kehidupan yang dimulai dengan timbulnya

Meskipun batasan usia perkawinan telah ditetapkan dalam Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974, namun pada kenyataannya masih banyak dijumpai kasus terjadinya perkawinan pada usia muda atau usia dini

(18)

6

pembatasan usia perkawinan tersebut agar suami-istri dapat mewujudkan tujuan perkawinan dengan baik, yaitu untuk membentuk keluarga yang sakinah, untuk memenuhi kebutuhan biologis, untuk memperoleh keturunan, untuk menjaga kehormatan, dan ibadah kepada Tuhan. Perkawinan yang dilakukan oleh individu dengan usia dibawah batasan usia yang telah ditentukan disebut perkawinan usia dini (Hurlock, Elizabeth, B. 1980).

Perkembangan kepribadian menjadi terbatas oleh kematangan relatif kedua belah pihak yang terbatas atas apa yang dihadapi dalam kehidupan perkawinan itu sendiri. Berbagai aspek kehidupan dunia luar yang berguna, yang dapat diperoleh lewat pengenalan dengan orang lain tidak lagi terjangkau karena mengharapkan pasangan akan memberikan penyelesaiaan terbaik bagi setiap persoalan kebutuhan masing-masing. Dengan demikian terciptalah beban realistik bagi masing-masing pihak. Hal tersebut dapat memicu terjadinya konflik perkawinan. (Santrock, J. W. 2002)

(19)

7

Meskipun Deklarasi Hak Asasi Manusia di tahun 1954 secara eksplisit menentang pernikahan anak, namun ironisnya, praktek pernikahan usia dini masih berlangsung di berbagai belahan dunia dan hal ini merefleksikan perlindungan hak asasi kelompok usia muda yang terabaikan. (IHEU. UN publishes IHEU statement:2005)

Implementasi Undang-Undangpun seringkali tidak efektif dan terpatahkan oleh adat istiadat serta tradisi yang mengatur norma sosial suatu kelompok masyarakat. (UNICEF :2006)

Masa remaja akhir merupakan masa dimana individu perlahan menyelesaikan perkembangannya dan memulai untuk hidup mandiri di lingkungan masyarakat. Masa remaja akhir juga mempunyai berbagai tugas perkembangan dan tanggung jawab pribadi kepada masyarakat. Individu yang memasuki masa remaja akhir diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan tugas perkembangannya yang baru di masa dewasa nanti dan mempunyai kemampuan dalam berbagai ketrampilan, termasuk didalamnya ketrampilan menyelesaikan permasalahan sendiri. (Santrock, J. W. 2003).

Tugas perkembangan masa remaja lainnya adalah mempersiapkan kehidupan perkawinan dan keluarga dengan menemukan pasangan hidup, selanjutnya berkomitmen untuk hidup bersama dalam suatu ikatan perkawinan yang resmi secara hukum. (Santrock, J. W. 2002)

(20)

8

disimpulkan bahwa subjek menikah dini dengan alasan tidak ingin membebankan neneknya dan merasa bahwa usia 16 tahun memang sudah waktunya untuk menikah. Subjek juga beranggapan neneknya setuju dengan keputusannya untuk menikah di usia dini. Subjek mengaku merasa senang sudah menikah dengan pasangannya. Subjek beranggapan bahwa suaminya tidak mau melakukan tugasnya sebagai ayah. Subjek merasa kesulitan mengurus anaknya tanpa bantuan suaminya. Belum lagi subjek mengaku takut dengan mertuanya yang galak.

Wawancara dengan suami subjek pertama bernama A yang menikah pada umur 18 tahun mengatakan bahwa sang istri masih sering ngambek karena hal kecil seperti ingin dibelikan baju, sementara suami subjek mempunyai pendapatan yang pas-pasan. Suami subjek juga mengatakan bahwa istrinya sampai saat ini masih belum bisa memasak dengan baik. (15 Juni 2016)

(21)

9

Wawancara dengan tetangga subjek N pada tanggal 15 Mei 2016, tetangga subjek mengaku sering mendengar subjek dan suaminya bertengkar, bahkan ibu mertuanya sering ikut campur pertengkaran subjek dan anaknya itu. Tetangga subjek juga merasa kasihan dengan subjek yang kesusahan mengurus anaknya sendirian, belum lagi harus ikut berjualan suaminya di pasar.

Subjek kedua yang menikah pada umur 17 tahun yang berhasil diwawancarai bernama D yang dilakukan tanggal 14 Mei 2016. Dari hasil wawancara dengan subjek, dapat disimpulkan bahwa D memutuskan untuk menikah muda di karenakan subjek tidak ingin meneruskan sekolahnya. Subjek merasa jenuh dengan sekolahnya dan memutuskan menikah. Subjek di dukung ibunya untuk menikah. Walaupun ayah dan kakaknya tidak mendukung hal itu, tapi subjek tetap bersikeras untuk menikah. Subjek mengatakan bahwa suaminya jarang mengurus anaknya. Subjek mengurus anaknya dengan dibantu oleh ibunya. Saat ini subjek mempunyai seorang anak yang berusia 10 bulan.

(22)

10

Wawancara dengan significan other subjek kedua (14 Mei 2016) yaitu ibunya, dapat disimpulkan bahwa ibunya cenderung santai menanggapi anaknya yang ingin menikah muda. Ibu subjek beranggapan bahwa seharusnya perempuan tidak perlu bersekolah tinggi-tinggi karena kodrat perempuan adalah menikah, mengurus anak dan suami. Ibu subjek juga beranggapan bahwa tugas perempuan hanyalah memasak dan mengurus rumah tangga. Pendidikan tidak lagi penting. Yang terpenting dapat lulus SMP karena ibu subjek meyakini bahwa pemerintah mewajibkan wajib belajar 9 tahun. Dan itu yang sering dikatakan ibu subjek ketika banyak keluarga lain yang menentang keputusan anaknya untuk menikah muda.

Wawancara dengan teman subjek D sekaligus tetangga subjek, bahwa D sebelum memutuskan menikah, sudah merasa malas untuk melanjutkan sekolah. Subjek juga sering menceritakan masalah rumah tangganya itu. (15 Mei 2016)

Dari hasil wawancara kedua subjek dan significan others, dapat disimpulkan bahwa rata-rata significan other keduanya mendukung walaupun subjek berusia sangat muda. Subjek yang melakukan pernikahan dini tersebut,

marital readiness subjek belum siap secara finansial dan emosional. Kecenderungan memutuskan pernikahan dini agar tidak membebankan orang tua karena faktor ekonomi.

(23)

11

maupun finansial. Sehingga masih perlu nasehat dari orang tua pada anaknya yang melakukan pernikahan dini.

Subjek yang diteliti keduanya berasal dari Kabupaten Tuban. Tepatnya di Tuban barat perbatasan Rembang Jawa Tengah. Sholihin Wakil Panitera PA Tuban mengatakan, budaya ngebrok (tinggal serumah) pasangan yang belum menikah kemudian berakhir kepada pernikahan di bawah umur.(seputartuban.com)

(seputartuban.com)Zaman boleh jungkir balik dan kecanggihan teknologi bisa mengubah segalanya. Tapi, di antara dua fakta masa ini budaya kawin muda seolah masih menjadi fenomena cukup populer di Kabupaten Tuban, yang dalam dua tahun terakhir gencar mengkampanyekan tagline bumi Wali.

Potret budaya kawin dini tersebut tampak jelas berdasar data yang diperoleh seputartuban.com dari Pengadilan Agama (PA) Tuban, Rabu (04/06/2014).

(24)

12

Wakil Panitera PA Tuban, Sholihin Jami’, mengatakan perkawinan yang

diatur dalam pasal 7 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan adalah jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun, dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.

Menurut Sholihin, bila tidak sesuai amanat pasal 7 tersebut dapat meminta dispensasi kawin kepada Pengadilan Agama. “Hanya saja pemohon diska ini

rata–rata pasangan yang sudah hamil duluan,” ucap Sholihin kepada

seputartuban.com, Rabu (04/06/2014). [Di akses tanggal 15 Juni 2016]

Kenyataannya kasus pernikahan usia muda banyak terjadi. Pernikahan ini terjadi tanpa persiapan yang matang. Oleh karena itu, marital readiness sangat diperlukan, serta bagaimana pasangan suami-istri remaja tersebut mengelola konflik pernikahan agar terbentuk keluarga yang harmonis seperti pada pasangan suami-istri pada umumnya. Tingginya angka pernikahan muda disebabkan kasus kehamilan di luar nikah dengan usia yang masih sangat muda. Selain itu, budaya masyarakat yang masih menganggap perkawinan muda adalah hal yang wajar, menjadikan perkawinan dengan diska masih banyak terjadi di beberapa tempat di Kabupaten Tuban.

(25)

13

seseorang sangat rentan terhadap perilaku seksual. Sanderowitz dan Paxman (dalam Sarwono, 1994) mengatakan bahwa pernikahan dini juga sering terjadi karena seseorang berfikir secara emosional untuk melakukan pernikahan, mereka berfikir telah saling mencintai dan siap untuk menikah.

Selain itu faktor penyebab terjadinya menikah muda adalah perjodohan orangtua, perjodohan ini sering terjadi akibat putus sekolah dan akibat permasalahan ekonomi.

B. FOKUS PENELITIAN

Penelitian ini difokuskan pada remaja yang menikah usia 16-18 tahun, tentang bagaimana mengetahui marital readiness remaja tersebut.

1. Bagaimana gambaran marital readiness remaja yang melakukan pernikahan dini?

2. Apa faktor yang mempengaruhi marital readiness remaja yang melakukan pernikahan dini?

C. TUJUAN PENELITIAN

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi dan data empirik mengenai marital readiness remaja putri yang melakukan pernikahan dini. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini yaitu:

1. Untuk mengetahui gambaran marital readiness remaja yang melakukan pernikahan dini

(26)

14

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat teoritis :

a. Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat memberkan masukan yang bermanfaat untuk ilmu psikologi, dengan memberi gambaran tentang

marital readiness pada remaja.

b. Diharapkan mampu memberikan solusi yang bermanfaat untuk remaja yang akan melakukan pernikahan di usia dini.

c. Penelitian ini mampu memberikan pelajaran baru dan dapat mengetahui bagaimana mejalin hubungan yang sehat dalam berumah tangga.

2. Manfaat Praktis :

a. Penelitian ini diharapkan menjadi kajian dalam bentuk persiapan pasangan ketika menjalani sebuah pernikahan.

b. Diharapkan dapat meningkatkan pemahaman para perempuan yang akan pengambilan keputusan dalam menikah, memperhatikan dan membimbing remaja untuk lebih matang dalam mengambil strategi untuk menikah.

(27)

15

E. KEASLIAN PENELITIAN

Dalam konteks ini penulis telah membaca dan mencari dari penelitian yang telah dilakukan meneliti lain terutama dengan tema Kesiapan menikah dan difokuskan pada pernikahan dini. Terdapat beberapa penelitian yang dianggap relevan untuk mendukung dalam penelitian ini.

Penelitian pertama, berdasarkan penelitian yang pernah diteliti oleh Fitri Sari, Euis Sunarti* Jur. Ilm. Kel. & Kons., September 2013, p : 143-153 Vol. 6, No. 3 ISSN : 1907 - 6037 yang berjudul “Kesiapan Menikah Pada Dewasa Muda Dan Pengaruhnya Terhadap Usia Menikah” ditemukan hasil

(28)

16

Penelitian yang kedua, Jur. Ilm. Kel. & Kons., Januari 2010, p : 30-36 Vol. 4, No. 1 ISSN : 1907 berjudul “Persepsi Dan Kesiapan Menikah Pada

Mahasiswa” karya Diah Krisnatuti, Vivi Oktaviani* Hasil penelitian

menunjukkan bahwa pengetahuan tentang pernikahan berhubungan signifikan dengan usia, jenis kelamin, dan IPK. Persepsi tentang pernikahan berhubungan signifikan dengan jumlah saudara dan kebiasaan berdiskusi. Persepsi tentang pernikahan dipengaruhi oleh jumlah saudara, diskusi pernikahan dengan teman, dan pacar. Kesiapan menikah berhubungan signifikan dengan frekuensi memperoleh informasi tentang pernikahan. Kesiapan menikah dipengaruhi oleh usia, jumlah penyakit yang diderita, dan cara untuk mengelola rumah tangga. Penelitian lanjutan disarankan juga mengkaji variabel lain, seperti motivasi menikah, kematangan emosi, dan kepribadian. Hasil uji regresi menunjukkan bahwa usia berpengaruh terhadap kesiapan. Hal ini sejalan dengan Puspitasari (1997) yang menyatakan bahwa usia menikah, motivasi untuk menikah, karakteristik kepribadian yang matang, dan penyesuaian diri yang baik berpengaruh terhadap kesiapan menikah. Selain usia, kesiapan menikah dipengaruhi oleh cara mengelola rumah tangga. Kesiapan menikah akan meningkat dengan semakin diajarkannya cara mengelola rumah tangga.

(29)

17

beberapa implikasi penting terkait meningkatkan kesiapan menikah di kalangan remaja yang bersiap menuju jenjang pernikahan dan manfaatnya tidak hanya bagi stabilitas perkawinan namun juga untuk tumbuh kembang anak yang optimal. Pertama, hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kesiapan menikah istri masih relatif rendah khususnya kesiapan finansial dan kesiapan intelektual. Sebagian besar istri belum mempersiapkan diri dalam hal finansial seperti menabung, memiliki perhiasan atau investasi lainnya hingga mencari ilmu terkait pengelolaan uang sebelum menikah. Padahal, kesiapan financial indikator penting kesuksesan pernikahan.

Melihat penelitian diatas, yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya sehingga penelitian ini dirasa penting untuk diteliti. Yang pertama, dari ketiga penelitian diatas, peneliti menggunakan metode penelitian kuantitatif. Sementara pada penelitian ini, peneliti menggunakan penelitian kualitatif, yaitu observasi dengan menggunakan teknik wawancara secara mendalam untuk mengetahui kecenderungan remaja memutuskan menikah dini serta gambaran remaja dalam marital readiness

remaja tersebut. Wawancara tidak hanya pada subjek yang bersangkutan tetapi juga dengan significan other subjek seperti keluarga, teman, ataupun tetangga.

(30)

18

(31)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. KONSEPTUALISASI TOPIK YANG DITELITI

1. Marital Readiness

a. Pengertian

Marital readiness menurut Duvall dan Miller (1985) adalah keadaan siap atau bersedia dalam berhubungan dengan pasangan, siap menerima tanggung jawab sebagai suami atau istri, siap terlibat dalam hubungan seksual, siap mengatur keluarga, dan siap mengasuh anak. Menurut Blood (1978), kesiapan menikah terdiri atas kesiapan emosi, kesiapan sosial, kesiapan peran, kesiapan usia, dan kesiapan finansial. Perubahan zaman membuat kesiapan menikah menurut pandangan ahli belum tentu sesuai dengan kesiapan menikah yang dibutuhkan calon pasangan pada saat sekarang ini. Kesiapan menikah diasumsikan akan lebih dipikirkan oleh dewasa muda, karena menikah adalah salah satu tugas perkembangan masa dewasa muda. Erickson (1963) menambahkan bahwa masa dewasa muda merupakan masa keintiman melawan isolasi (intimacy vs isolation)

(32)

20

Marital readiness merupakan tugas perkembangan yang paling penting dalam tahun-tahun remaja, dikarenakan munculnya kecenderungan kawin muda dikalangan remaja yang tidak sesuai dengan tugas perkembangan mereka. Persiapan mengenai aspek-aspek dalam pernikahan dan bagaimana membina keluarga masih terbatas dan hanya sedikit dipersiapkan baik itu di rumah maupun perguruan tinggi. Persiapan yang kurang inilah yang menimbulkan masalah saat remaja memasuki masa dewasa (Hurlock, 1999).

Boykin & Stith (2004) mengemukakan bahwa kecenderungan pernikahan diusia remaja memunculkan distress dan berakhir pada perpisahan, dimana yang menjadi penyebab utamanya adalah sedikitnya pengalaman dan faktor-faktor kurangnya kesiapan dalam menghadapi pernikahan. Roesgiyanto (1999) menyatakan kesiapan untuk menikah adalah keadaan seseorang yang sudah bersedia untuk menikah. Faktor yang mendukung kesiapan seseorang untuk menikah adalah faktor mental dan psikologisnya (Ustaimin, 1996).

(33)

21

b. Faktor yang mempengaruhi marital readiness

Blood (1969) menyatakan bahwa marital readiness dapat dibagi kedalam dua bagian, yakni kesiapan personal dan kesiapan kondisional. Kesiapan personal terdiri dari kematangan emosional yang dipengaruhi oleh usia, kematangan social, yang dipengaruhi oleh pengalaman pacaran yang cukup, kesehatan emosional, dan persiapan peran. Sedangkan kesiapan kondisional, terdiri dari sumber daya keuangan dan sumber daya waktu.

Kesiapan pernikahan erat kaitannya dengan penyesuaian yang harus dilakukan oleh individu setelah menikah nantinya. Menurut Hurlock (1991), beberapa penyesuaian yang harus dilakukan yakni penyesuaian dengan pasangan, penyesuaian seksual, penyesuaian keuangan, penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan, dan penyesuaian diri terhadap masa ketika menjadi orang tua.

Dalam penelitian Holman& Li (1997) ditemukan bahwa faktor latar belakang, kepribadian dan sikap individu, dan orang terdekat, secara langsung dan/atau tidak langsung mempengaruhi individu mempersepsikan kesiapan dirinya sendiri untuk menikah.

Dari beberapa teori mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi

(34)

22

belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar, agama, minat dan pemanfaatan waktu luang, serta perubahan pada pasangan dan pola hidup.

Adapun dalil yang memuat tentang kesiapan menikah adalah :

انـنْيـب ْعمـْجا َم َللا ،َيف ْم ل ْكراب ،ىلْها يف يل ْكراب َم َللا

رْيخ ىلإ تْقَرف اذإ انـنْيـب ْقِرف رْيخـب تْعمـج ام

Ya Allah, berkahilah istriku untukku, dan berkahilah diriku untuk istriku.

Ya Allah kumpulkanlah kami, selama kumpul itu dalam kebaikan. Dan

pisahkanlah kami jika perpisahan itu untuk kebaikan. (HR. Abdurrazaq dalam Mushannaf 10460 dan dishahihkan al-Albani)

“Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yangtelah mampu untuk

kawin, maka hendaklah dia menikah.Karena dengan menikah itu lebih

dapat menundukkanpandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barang

siapayang belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena

sesungguhnya puasa itu bisa menjadi perisai baginya” (HR. Bukhori-Muslim) (Al-Albani, 2008)

2. Remaja

a. Pengertian Remaja

(35)

23

kematangan secara fisik, akal, kejiwaan dan sosial serta emosional. Hal ini mengisyaratkan kepada hakikat umum, yaitu bahwa pertumbuhan tidak berpindah dari satu fase ke fase lainya secara tiba-tiba, tetapi pertumbuhan itu berlangsung setahap demi setahap (Al-Mighwar, 2006).Remaja juga berasal dari kata latin "adolesence" yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik (Hurlock, 1980: 206). Pandangan ini didukung oleh Piaget (Hurlock, 1986: 206) yang menyatakan bahwa: secara psikologis, remaja adalah suatu usia di mana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak.

Remaja memiliki tempat di antara anak-anak dan orang tua karena sudah tidak termasuk golongan anak tetapi belum juga berada dalam golongan dewasa atau tua. Seperti yang dikemukakan oleh Calon (Monks, 2006: 260) bahwa masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat transisi atau peralihan karena remaja belum memperoleh status dewasa dan tidak lagi memiliki status anak.

(36)

24

sosial-emosional. Batasan usia remaja yang umum digunakan oleh para ahli adalah antara 12 hingga 21 tahun.

Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa masa remaja akhir merupakan masa seorang individu meninggalkan masa kanak-kanaknya menuju masa dewasa yang ditandai dengan perkembangan biologis, kognitif, kemasakan seksual serta mencapai perkembangan mental penuh yang terjadi dalam usia 18 sampai dengan 21 tahun.

b. Karakteristik remaja

Pertumbuhan dan perkembangan remaja yang mencakup perubahan transisi biologis, transisi kognitif, dan transisi sosial akan dipaparkan di bawah ini:

(1) Transisi Biologis

Menurut Santrock (2003: 91) perubahan fisik yang terjadi pada remaja terlihat nampak pada saat masa pubertas yaitu meningkatnya tinggi dan berat badan serta kematangan sosial. Diantara perubahan fisik itu, yang terbesar pengaruhnya pada perkembangan jiwa remaja adalah pertumbuhan tubuh (badan menjadi semakin panjang dan tinggi). Selanjutnya, mulai berfungsinya alat-alat reproduksi (ditandai dengan haid pada wanita dan mimpi basah pada laki-laki) dan tanda-tanda seksual sekunder yang tumbuh (Sarlito Wirawan Sarwono, 2006: 52). (2) Transisi Kognitif

(37)

25

operasional formal lebih abstrak, idealis, dan logis daripada pemikiran operasional konkret. Piaget menekankan bahwa bahwa remaja terdorong untuk memahami dunianya karena tindakan yang dilakukannya penyesuaian diri biologis. Secara lebih lebih nyata mereka mengaitkan suatu gagasan dengan gagasan lain. Mereka bukan hanya mengorganisasikan pengamatan dan pengalaman akan tetapi juga menyesuaikan cara berfikir mereka untuk menyertakan gagasan baru karena informasi tambahan membuat pemahaman lebih mendalam. Menurut Piaget (dalam Santrock, 2003: 110) secara lebih nyata pemikiran opersional formal bersifat lebih abstrak, idealistis dan logis. Remaja berpikir lebih abstrak dibandingkan dengan anak-anak misalnya dapat menyelesaikan persamaan aljabar abstrak. Remaja juga lebih idealistis dalam berpikir seperti memikirkan karakteristik ideal dari diri sendiri, orang lain dan dunia. Remaja berfikir secara logis yang mulai berpikir seperti ilmuwan, menyusun berbagai rencana untuk memecahkan masalah dan secara sistematis menguji cara pemecahan yang terpikirkan. Dalam perkembangan kognitif, remaja tidak terlepas dari lingkungan sosial. Hal ini menekankan pentingnya interaksi sosial dan budaya dalam perkembangan kognitif remaja (3) Transisi Sosial

(38)

26

sosial dalam perkembangan. Membantah orang tua, serangan agresif terhadap teman sebaya, perkembangan sikap asertif, kebahagiaan remaja dalam peristiwa tertentu serta peran gender dalam masyarakat merefleksikan peran proses sosial-emosional dalam perkembangan remaja. John Flavell (dalam Santrock, 2003: 125) juga menyebutkan bahwa kemampuan remaja untuk memantau kognisi sosial mereka secara efektif merupakan petunjuk penting mengenai adanya kematangan dan kompetensi sosial mereka.

c. Tugas perkembangan remaja

Tugas perkembangan pada masa remaja difokuskan pada upaya meninggalkan sikap dan prilaku kekanak-kanakan serta berusaha untuk mencapai kemampuan bersikap dan berprilaku secara dewasa. Adapun tugas-tugas perkembangan masa remaja menurut Hurlock (1991) adalah berusaha:

(1) Mampu menerima keadaan fisiknya.

(2) Mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang berlawanan jenis.

(3) Mencapai kemandirian emosional (4) Mencapai kemandirian ekonomi

(5) Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang sangat diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat. (6) Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang-orang

(39)

27

(7) Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan untuk memasuki dunia dewasa.

(8) Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan

Tugas-tugas perkembangan pada fase remaja ini amat berkaitan dengan perkembangan kognitifnya, yaitu fase operasional formal. Kematangan pencapaian fase kognitif akan sangat membantu kemampuan dalam melaksanakan tugas-tugas perkembangan itu dengan baik.

Pengertian Pertumbuhan dan Perkembangan. Pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai proses perubahan fisiologis yang bersifat progresif dan kontinu serta berlangsung dalam periode tertentu. Oleh karena itu dari hasil pertumbuhan adalah bertambahnya berat, panjang atau tinggi badan, tulang dan otot-otot menjadi lebih kuat, lingkar tubuh menjadi lebih besar, dan organ tubuh menjadi lebih sempurna. Pada akhirnya pertumbuhan ini mencapai titik akhir, yang berarti bahwa pertumbuhan selesai. Bahkan pada usia tertentu, misalnya usia lanjut, justru ada bagian-bagian fisik tertentu yang mengalami penurunan dan pengurangan.

(40)

28

biologis, meskipun tidak semua perubahan kemampuan dan sifat psikis dipengaruhi oleh perubahan struktur biologis.Yaitu diantaranya ialah fitrah kebutuhan biologis, saling membutuhkan terhadap lawan jenis yaitu menikah. Fitrah pemberian Allah yang telah lekat pada kehidupan manusia, dan jika manusia melanggar fitrah pemberian Allah, hanyalah kehancuran yang didapatkannya.

3. Pernikahan Dini

a. Pengertian pernikahan dini

Pernikahan dini (early mariage) merupakan suatu pernikahan formal atau tidak formal yang dilakukan dibawah usia 18 tahun (UNICEF, 2014). Suatu ikatan yang dilakukan oleh seseorang yang masih dalam usia muda atau pubertas disebut pula pernikahan dini (Sarwono, 2007). Sedangkan (Al Ghifari , 2008) berpendapat bahwa pernikahan muda adalah pernikahan yang dilaksanakan diusia remaja. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan remaja adalah antara usia 10 – 19 tahun dan belum kawin.

(41)

29

membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan batas minimal usia untuk melakukan pernikahan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Perkawinan. Secara Hukum, disebutkan dalam Undang-Undang perkawinan No.1 Pasal 1 Tahun 1974 bahwa perkawinan adalah suatu ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita untuk membentuk rumah tangga atau keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kemudian dijelaskan lebih lanjut pada pasal 7 ayat 1 bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Sejalan dengan definisi undang-undang perkawinan, Landung dkk (2009) menjelaskan bahwa pernikahan yang dilaksanakan pada usia yang melanggar aturan undang-undang perkawinan disebut dengan istilah pernikahan dini.

(42)

30

kesimpulan maka definisi pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh gadis remaja pada usia yang belum matang yakni di bawah 16 tahun. Dari segi psikologi, sosiologi maupun hukum Islam pernikahan dini terbagi menjadi dua kategori: pertama, pernikahan dini asli yaitu pernikahan di bawah umur yang benar murni dilaksanakan oleh kedua belah pihak untuk menghindarkan diri dari dosa tanpa adanya maksud semata-mata hanya untuk menutupi perbuatan zina yang telah dilakukan oleh kedua mempelai. Kedua, pernikahan dini palsu yaitu pernikahan di bawah umur yang pada hakekatnya dilakukan sebagai kamuflase dari moralitas yang kurang etis dari kedua mempelai. Pernikahan ini dilakukan hanya untuk menutupi perzinaan yang pernah dilakukan oleh kedua mempelai dan berakibat adanya kehamilan. Ketika terjadi fenomena pernikahan seperti ini, tampaknya antara anak dan kedua orang tua bersama-sama melakukan semacam “manipulasi” dengan cara melangsungkan pernikahan yang mulia dengan maksud untuk menutupi aib yang telah dilakukan oleh anaknya (Jannah, 2012).

(43)

31

pengambilan keputusan. Tingkat pendidikan diduga memiliki pengaruh terhadap tingkat keputusan remaja untuk menikah dini. Dugaan dalam penelitian ini, semakin tinggi tingkat pendidikan yang ditempuh oleh remaja maka akan semakin tinggi pula tingkat pengetahuannya sehingga berkorelasi dengan pola pikir remaja dalam pengambilan keputusan. Tingkat kemandirian merujuk pada keinginan remaja untuk hidup secara mandiri dan terlepas dari aturan orangtua yang dirasa mengekang hidupnya, sehingga memutuskan untuk menikah dini.

b. Faktor yang mempengaruhi pernikahan dini

Salah satu faktor terjadinya pernikahan dini lainnya adalah pendidikan remaja dan pendidikan orang tua. Dalam kehidupan seseorang, dalam menyikapi masalah dan membuat keputusan termasuk hal yang lebih kompleks ataupun kematangan psikososialnya sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan seseorang (Sarwono, 2007).

(44)

32

Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang dalam menyikapi masalah dan membuat keputusan ataupun kematangan psikososialnya. Pendidikan orang tua juga memiliki peranan dalam keputusan buat anaknya, karena di dalam lingkungan keluarga ini, pendidikan anak yang pertama dan utama (Nandang, 2009). Juspin (2012) mengemukakan bahwa peran orang tua terhadap kelangsungan pernikahan dini pada dasarnya tidak terlepas dari tingkat pengetahuan orang tua yang dihubungkan pula dengan tingkat pendidikan orang tua.

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keputusan pihak orang tua terhadap anaknya salah satunya yang menonjol adalah faktor pendidikan keluarga. Peran orang tua juga menentukan remaja untuk menjalani pernikahan di usia muda. Orang tua juga memiliki peran yang besar untuk penundaan usia perkawinan anak (Algifari, 2002). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurhajati, dkk (2013) yang mengungkapkan bahwa keputusan menikah di usia muda sangat ditentukan oleh peran oang tua. Peran orang tua sangat penting dalam membuat keputusan menikah di usia muda dimana keputusan untuk menikah di usia muda merupakan keputusan yang terkait dengan latar belakang relasi yang terbangun antara orang tua dan anak dengan lingkungan pertemanannya.

(45)

33

status sosial ekonomi serta masalah kesehatan dan kondisi tempat seseorang bekerja (Guttmacher dalam Yunita, 2014). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Zai (2010) yang mengungkapkan bahwa terdapat hubungan antara pekerjaan responden dengan kejadian pernikahan dini.

c. Dampak Dari Pernikahan Dini

Dampak dari pernikahan dini bukan hanya dari dampak kesehatan, Tetapi punya dampak juga terhadap kelangsungan perkawinan. Sebab perkawinan yang tidak disadari,Mempunyai dampak pada terjadinya perceraian(Lily Ahmad, 2008).

Pernikahan Dini atau menikah usia muda, memiliki dampak negative dan dampak positif pada remaja tersebut. Adapun dampak paernikahan dini adalah sebagai berikut:

(1) Dari Segi Psikologis

(46)

34

(2) Dari Segi Sosial

Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor social budaya dalam masyarakat yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya diangggap pelengkap seks laki-laki saja (Deputi, 2008).

(3) Dari Segi Fisik

Perempuan terlalu mudah untuk menikah di bawah umur 20 tahun beresiko terkena kangker rahim. Sebab pada usia remaja, sel-sel leher rahim belum matang (Dian Lutyfiyati, 2008).

4. Marital Readiness pada Remaja yang Melakukan Pernikahan Dini

Salah satu tugas perkembangan pada masa remaja adalah mempersiapkan pernikahan dan keluarga. Persiapan pernikahan merupakan tugas perkembangan yang paling penting dalam tahun-tahun remaja. Hal ini dikarenakan munculnya kecenderungan kawin muda dikalangan remaja yang tidak sesuai dengan tugas perkembangan mereka (Hurlock, 1999).

Remaja Putri yang melakukan pernikahan dini akan mengalami masa remaja yang diperpendek sehingga tugas dan ciri perkembangan mereka juga mengalami penyesuaian (Monks, 2001).

(47)

35

mengalami masa remaja yang diperpendek, sehingga ciri dan tugas perkembangan mereka juga ikut diperpendek dan masuk pada masa dewasa (Monks, 2001).

a. Remaja yang telah menikah akan mengalami suatu periode peralihan yang cukup signifikan. Peralihan yang terjadi adalah beralih dari masa anak-anak menuju masa dewasa, dimana remaja harus meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan dan harus mempelajari pola dan sikap baru terutama dalam pernikahan. b. Remaja yang telah menikah akan mengalami periode perubahan,

yaitu meliputi perubahan fisik, emosional, perubahan pola dan minat, perubahan nilai-nilai yang berlaku, dan sikap ambivalen terhadap setiap perubahan.

c. Remaja yang telah menikah, mereka diharuskan masuk pada masa dewasa, tidak lagi pada ambang masa dewasa. Masa remaja mereka menjadi diperpendek dan mereka harus meninggalkan stereotip belasan tahun dan menjadi dewasa.

Menghadapi jenjang pernikahan dipermukan beberapa kesiapan dalam menikah. Aspek kesiapan yang dikemukan oleh Blood (1978) membagi kesiapan menikah menjadi dua bagian yaitu kesiapan pribadi (personal) dan kesiapan situasi (ciscumstantial). Aspek-aspek tersebut adalah :

(48)

36

Kematangan emosi yang berarti kemampuan seseorang untuk dapat siaga terhadap diri dan kemampuan mengidentifikasikan perasaan sendiri. Kematangan emosi yaitu konsep normatif dalam perkembangan psikologis yang berarti bahwa seorang individu telah menjadi seorang yang dewasa. kematangan emosi berasal dari pengalaman yang cukup terhadap suatu perubahan dan terhadap suatu permasalahan. Kehidupan pernikahan memerlukan harapan yang realistik. Seperti yang terdapat pada Ayat Al qur an berikut :

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (Q.S At-tahrim 6)

2. Kesiapan Usia

Kesiapan usia berarti melihat usia yang cukup untuk menikah. Menjadi pribadi yang dewasa secara emosi membutuhkan waktu, sehingga usia merupakanhal yang berkaitan dengan kedewasaan. 3. Kematangan Sosial

(49)

37

4. Kesehatan emosional

Permasalahan emosional yang dimiliki oleh manusia, diantaranya adalah kecemasan, merasa tidak aman, curiga dan lain-lain. Setiap individu memiliki perasaan seperti itu, namun jika hal itu berada tetap pada diri seseorang maka ia akan sulit menjalin hubungan dengan orang lain.

5. Kesiapan Model Peran

Banyak orang belajar bagaimana menjadi suami dan istri yang baik dalam proses perkembangan mereka kelak. Mereka belajar apa artinya menjadi suami mapun istri yang baik dengan melihat figur ayah dan ibu mereka. orang tua yang memiliki figur suami dan istri yang baik akan dapat memepengaruhi kesiapan menikahkan anak-anak mereka yang nantinya akan mempengaruhi pola penyesuaian pernikahan mereka.

b. Kesiapan Situasi

1. Kesiapan Sumber finansial

(50)

38

2. Kesiapan Sumber Waktu

Masing-masing pasangan perlu mempersiapkan rencana-rencana untuk pernikahan, bulan madu, dan tahun-tahun pertama pernikahan. Persiapan rencana yang tergesa-tergesa akan mengarah pada persiapan pernikahan yang buruk dan memberi dampak yang buruk pada awal-awal pernikahan.

(51)

39

pertimbangan demi efisiensi waktu sehingga bukan menyelesaikan masalah tetapi menumpuk masalah dengan masalah lainnya. Oleh karena itu, marital readiness sangat diperlukan sebelum terjadinya pernikahan.

Bagan 2.1

Usia subur atau reproduksi bagi seorang wanita dapat di bagi menjadi tiga bagian yaitu :

1. Reproduksi muda adalah bila seorang wanita hamil dan melahirkan pada usia15-20 tahun.

2. Reproduksi sehat adalah bila seorang wanita hamil dan melahirkan pada usia 20-30 tahun.

(52)

40

B. PERSPEKTIF TEORITIS

1. Marital Readiness

Menurut Walgito (2004: 31-32), dalam hal umur dikaitkan dengan perkawinan tidak ada ukuran pasti. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan perkawinan adalah :

a. Kematangan fisiologis dan kejasmanian

Bahwa untuk melakukan tugas sebagai akibat dari perkawinan dibutuhkan keadaan jasmani yang cukup matang dan cukup sehat. Pada umur 16 tahun kematangan emosi seorang wanita dan umur 19 tahun kematangan jasmani seorang pria diperoleh.

b. Kematangan Psikologis

Dalam sebuah perkawinan selalu diketahui akan terjadi berbagai macam hal dimana diperlukan keadaan psikologis untuk mengatasinya. Kematangan psikologis akan diperoleh ketika seseorang telah mampu mempertanggung jawabkan segala perbuatan dan perkataannya dimana akan diperoleh pada umur dewasa, yaitu umur 21 tahun.

c. Kematangan sosial terutama sosial ekonomi

(53)

41

berdiri sendiri tidak menggantungkan kepada pihak lain termasuk orang tua.

d. Kematangan spiritual

Menikah adalah ketetapan Allah untuk manusia yang seharusnya kita jalani, bukan semata-mata khayalan. Menikah termasuk salah satu pintu mendatangkan kebaikan bagi siapa yang benar niatnya. Dan dengan segera menikah kita akan semakin mudah mendapatkan kebaikan dan keberkahan. Jadi, kematangan spiritual atau religiusitas sangat penting untuk terciptanya pernikahan yang harmonis.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita untuk mewujudkan tujuanperkawinan yang sebenarnya dan disahkan secara hukum yang berlaku di Indonesia.

2. Teori Remaja

No Teori para ahli Analisis Teori

1 Teori Psikososial

Erickson

Menurut teori ini, perkembangan manusia dibedakan

berdasarkan kualitas ego dalam delapan tahap

perkembangan. Empat tahap pertama pada masa bayi

dan remaja-remaja, tahap kelima pada masa adolesen

dan tiga tahap terakhir pada dewasa dan masa tua.

Delapan tahap ini, yang paling berpengaruh menurut

Erickson adalah pada masa adolesen, karena pada masa

tersebut merupakan masa peralihan dari masa remaja

(54)

42

2 Teori Piaget Dan

Kognisi Remaja

Piaget menekankan bahwa remaja terdorong untuk

memahami dunianya karena tindakannya itu

merupakan penyesuaian diri biologis. Dalam

pandangan piaget, remaja membangun dunia

kognitifnya sendiri; informasi tidak hanya tercurah

dalam benak mereka dari lingkungan. Untuk

memahami dunianya, remaja mengorganisasikan

pengalaman mereka. Mereka memisahkan gagasan

yang penting dari yang kurang penting. piaget (1954)

percaya bahwa remaja menyesuaikan diri dengan dua

cara : asimilasi dan akomodasi. Asimilasi (asimilation)

terjadi ketika seseorang menggabungkan informasi

baru kedalam pengetahuan yang sudah dimilikinya.

Akomodasi (acomodation) terjadi ketika seseorang

menyesuaikan dirinya terhadap informasi baru.

(Ahmadi :2015)

kepribadian seseorang. Penekanan Freud pada alam

bawah sadar berasal dari hasil pelacakannya terhadap

pengalaman-pengalaman pribadi para pasiennya, di

mana ditemukan bahwa peristiwa-peristiwa yang

terjadi pada masa remaja-remaja sangat mempengaruhi

kehidupan pasien di masa-masa selanjutnya.

(55)

43

kehidupan manusia, yang informasinya kemudian

tertanam dalam alam bawah sadar itu sangat penting,

karena dari situlah muncul berbagai gangguan emosi.

(Ahmadi :2015)

3. Teori Pernikahan Dini

(56)

44

Fenomena pernikahan dini bisa dikaji dengan teori Interaksionisme simbolik Max Weber. Dilihat dari pandangan Weber, pernikahan dini terjadi karena individu–individu melakukan tindakan–tindakan yang berarti. Sesuai dengan tipe–tipe tindakan sosial Max Weber, yaitu rasionalitas instrumental, rasionalitas yang berorientasi nilai, tindakan tradisional, dan afektif.

Titik tolak baginya adalah mengenai individu yang bertidak yang tindakan-tindakannya itu hanya dapat dimengerti menurut arti subyektifnya. Kenyataan sosial baginya pada dasarnya terdiri dari tindakan-tindakan sosial individu. Titik tolak Weber pada tingkat individual mengingatkan kita bahwa struktur sosial atau sistem budaya tidak dapat dipikirkan sebagai sesuatu yang berada secara terlepas dari individu yang terlibat di dalamnya. Pemahaman terhadap tindakan sosial dilakukan dengan meneliti makna subyektif yang diberikan individu terhadap tindakannya, karena manusia bertindak atas dasar makna yang diberikannya pada tindakan tersebut.

(57)

45

statis, (3) dan arti penting yang menghubungkan kepada kemampuan aktor untuk menafsirkan kehidupan sosial.

(58)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN

Metodologi adalah proses, prinsip dan prosedur yang kita gunakan untuk mendekati problem dan mencari jawaban. Dengan ungkapan lain, metodologi adalah suatu pendekatan umum untuk mengkaji topik penelitian. (Bandung : Remaja Rosda Karya,2002)

Metodologi penelitian adalah serangkaian hukum, aturan, dan tata cara tertentu yang diatur dan ditentukan berdasarkan kaidah ilmiah dalam menyelenggarakan suatu penelitian dalam koridor keilmuan tertentu yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (Haris : 2010, hlm 3) Menurut Soerjono Soekanto yang dikutip oleh Mardalis dalam buku Metodologi Penelitian suatu pendekatan proposal, penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisis dan kontruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten. (Mardalis: 1995,hlm 24)

(59)

47

kualititif adalah pengumpulan data pada suatu latar alamiah dengan mengunakan metode alamiah dan dilakukan oleh orang yang tertarik secara alamiah.

Metode kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data yang sedalam-sedalam-dalamnya yang lebih ditekankan adalah persoalan kedalaman atau kualitas data bukan banyaknya kuantitas data.

Jadi, metode penelitian adalah suatu cara kerja yang sistematis dan bertujuan untuk mendalami fenomena yang menjadi objek penelitian.

(60)

48

B. LOKASI PENELITIAN

Lokasi Penelitian ini adalah berada di tempat tinggal subjek di daerah Kabupaten Tuban bagian barat, tepatnya di perbatasan dengan Kabupaten Rembang Jawa Tengah

C. SUMBER DATA

1. Sumber data primer

Data primer merupakan data yang dikumpulkan langsung dari sumber pertama, yaitu informasi-informasi yang diperoleh dari subjek yang melakukan pernikahan dini. Subjek penelitian adalah tiga orang pasangan remaja yang usia pernikahannya rata-rata 16-18 tahun. Tiga orang pasangan tersebut bernama N usia 16 tahun dan A yang menikah usia 18 tahun. Pasangan kedua D yang berusia 17 tahun dan J berusia 18 tahun ketika menikah. Pasangan ketiga B berusia 16 tahun dan H berusia 19 tahun. Tujuannya untuk mengetahui gambaran marital readiness remaja yang melakukan pernikahan dini tersebut.

2. Sumber data sekunder

(61)

49

D. CARA PENGGUMPULAN DATA

1. Wawancara yang mendalam

Wawancara yang mendalam adalah suatu cara menggumpulkan data atau informasi dengan cara langsung bertatap muka dengan informan agar mendapatkan data yang lengkap dan mendalam. Wawancara ini dilakukan dengan frekuensi tinggi berulang-ulang secara intensif.

2. Observasi partisipan

Bungin (2007: 115) mengemukakan beberapa bentuk observasi yang dapat digunakan dalam penelitian kualitatif, yaitu observasi partisipasi, observasi tidak terstruktur, dan observasi kelompok tidak terstruktur.

Observasi partisipan ini merupakan metode penggumpulan data yang digunakan pada riset komunikasi. Metode ini memungkinkan periset terjun langsung dan menjadi bagian dari riset.

3. Dokumentasi

(62)

50

E. PROSEDUR ANALISIS DATA

Analisis data yang dilakakukan dalam penelitian ini adalah Analsis data dengan menggunakan pendekatan induktif umum. Analisis induktif merupakan suatu penarikan kesimpulan yang umum (berlaku untuk semua/banyak) atas dasar pengetahuan tentang hal-hal yang khusus (beberapa/sedikit). Poespoprodjo (1989 hlm 17). Analisis ini digunakan atas dasar pertimbangan: (1) proses induktif lebih dapat mengemukakan kenyataan-kenyataan ganda yang.terdapat dalam data, (2) analisis tersebut lebih dapat menguraikan latar belakang secara penuh dan dapat membuat keputusan-keputusan tentang dapat tidaknya pengalihan kepada masalah yang lain; dan (3) lebih dapat menemukan pengaruh bersama, menghitung nilai secara eksplisi. Moleong, (1994, hlm: 5).

Secara umum alur analisis data pada setiap penelitian kualitatif hampir sama, karena bersumber dari satu paradigma utuh, lebih jelas dapat dilihat dari langkah-langkah analisis dan interpretasi data kualitatif penelitian fenomenologi menurut Creswell (2010, hlm: 276-277).

1. Mengolah dan menginterpretasi data untuk dianalisis. Langkah ini melibatkan transkip wawancara, menscaning materi, mengetik data lapangan, atau memilah-milah dan menyusun data tersebut ke dalam jenis-jenis yang berbeda tergantung sumber informasi

(63)

51

3. Menganalisis lebih detail dengan menkoding data. Coding merupakan proses mengolah materi atau informasi menjadi segmen-segmen tulisan sebelum memaknainya.

4. Menerapkan proses koding untuk mendiskripsikan setting, orang-orang, kategori, dan tema-tema yang akan dianalisis

5. Menunjukkan bagaimana diskripsi dan tema-tema ini akan disajikan kembali dalam narasi atau laporan kualitatif

6. Menginterpretasi atau memaknai data

Beberapa langkah dalam analisis data kualitatif di atas, akan diterapkan dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini data yang didapat ditulis dalam transkip wawancara, lalu di koding, dipilah tema-tema sebagai hasil temuan, dan selanjutnya dilakukan interpretasi data.

F. KEABSAHAN DATA

Penelitian yang baik haruslah mampu memenuhi prinsip-prinsip standar yang direfleksikan melalui pertanyaan pertanyaan yang umumnya telah ditentukan, ada beberapa cara untuk mengecek keabsahan data hasil penelitian kualitatif salah satu caranya adalah dengan metode triangulasi.

Peneliti menggunakan metode Triangulasi sumber. Triangulasi yaitu menganalisis jawaban subyek dengan meneliti kebenarannya dengan data empiris (sumber data lainnya) yang tersedia. Disini jawaban subyek di cross-check

(64)

52

membandingkan atau mengecek ulang derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh dari sumber yang berbeda. (Sarwono, hal 59) Misalnya, membandingkan hasil pengamatan dengan wawancara, membandingkan apa yang dikatakan umum dengan yang diakatakan pribadi. Ghony & Fauzan (2012, hlm: 318). Triangulasi adalah teknik keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.

Teknik triangulasi yang paling peneliti gunakan ialah pemeriksaan melalui sumber. Triangulasi dengan sumber berarti mencocokan atau membandingkan atau mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif. Hal yang demikian dapat dicapai dengan jalan (1) membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara, (2) membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan. (3) membandingkan data antara wawancara dan subjek. Ghony & Fauzan (2012, hlm: 322).

(65)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. DESKRIPSI SUBJEK

1. Subjek Pertama

Informan yang menikah muda pertama bernama N, berusia 16 tahun pendidikan terakhir SMP, Menikah tanggal 1 Mei 2015 dan mempunyai seorang anak laki-laki berusia 4 bulan. Pekerjaan sebagai ibu rumah tangga, serta membantu suami berjualan dipasar. Subjek tinggal di lingkungan Desa terpencil di daerah Tuban Selatan.

Subjek pertama merupakan anak pertama dari dua bersaudara yang dilahirkan dari pasangan St dan Kr. Ayah subjek bekerja sebagai supir truk dan ibu subjek adalah ibu rumah tangga. Orang tua subjek sudah meninggal satu tahun sebelum pernikahannya dengan A. Orang tua subjek meninggal di tahun yang bersamaan karena menderita sakit yang sudah cukup lama.

(66)

54

2. Suami Subjek Pertama

Suami informan pertama bernama A berumur 18 tahun ketika menikah. Pendidikan terakhir SMA, bekerja di toko menjual sembako milik orang tua. Saat ini pasangan N dan A tinggal bersama orang tua A.

Subjek merupakan anak satu-satunya. Subjek saat ini bekerja berjualan sembako dipasar. Modal berjualan sembako tersebut dari ayah A. Pekerjaan ayah subjek adalah bekerja dipolangan sapi. A di bukakan usaha oleh ayahnya setelah menikah dengan N.

Pertama kali A bertemu dengan N ketika A membeli obat di apotek tempat N bekerja. Semakin sering A berada di apotek tersebut. Lalu N dan A semakin saling bertemu, lalu mereka berkenalan. Satu bulan setelah berkenalan, A langsung datang kerumah N dengan orang tua A untuk melamar N. Dan akhirnya mereka menikah.

Gambaran marital readiness menurut A adalah, dia siap secara finansial karena merasa telah bekerja. A merasa dapat mencukupi kebutuhan N dan anaknya serta sesekali membantu meringankan beban keluarga N seperti nenek dan adeknya. Karena diketahui bahwa adek N disekolahkan oleh orang tua A karena merasa kasihan dengan adek N yang adalah anak yatim piatu tersebut.

(67)

55

3. Subjek Kedua

Informan yang menikah muda kedua bernama D. Berumur 17 tahun ketika menikah. Pendidikan terakhir adalah SMP. Mempunyai anak perempuan berumur 1 tahun. Pekerjaan sebagai ibu rumah tangga dan tinggal bersama orang tuanya bersama anak dan suaminya.

Subjek kedua merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. D masih memiliki orang tua yang utuh. Ayahnya bekerja sebagai karyawan pabrik dan ibunya adalah ibu rumah tangga. Hari-hari D selalu bersama ibunya. D masih ketergantungan terhadap ibunya. Oleh sebab itu D dan pasangannya memutuskan untuk tinggal bersama orang tua D.

Gambaran marital readiness menurut D adalah ketika suaminya sudah siap dalam hal finansial. D cenderung kurang tahu tentang apa-apa saja kesiapan seseorang sebelum menikah. D hanya berfikiran bahwa rumah tangga bisa dilalui dengan mudah asalkan mempunyai kehidupan yang serba kecukupan.

(68)

56

4. Suami Subjek Kedua

Suami subjek kedua bernama J. Usia 18 tahun. Menikah tanggal 13 oktober 2014. Pendidikan terakhir SMA, bekerja menjaga warnet (warung internet) di dekat tempat tinggalnya.

Subjek keempat adalah suami D yang mempunyai tinggi badan 150 dan berat badan 50 diusia 18 tahun. Subjek berperawakan sederhana dan berkumis. Subjek adalah anak pertama. Ayahnya bekerja sebagai karyawan pabrik dan ibunya berjualan di pasar.

Gambaran marital readiness menurut J adalah subjek beranggapan bahwa kesiapan sebelum pernikahan itu memang penting. Tapi disini J memang merasa dia sudah siap secara mental dan financial untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Selain itu J sangat bergantung dengan orang tua jadi siap secara financial tidak terlalu dia pikirkan. Yang terpanting adalah J dapat menjalani pernikahan dengan baik.

Faktor yang mempengaruhi marital readiness pada remaja yang melakukan pernikahan dini menurut J adalah karena faktor cinta. J beranggapan bahwa dia melakukan pernikahan dini atas dasar sama-sama ingin memulai kehidupan rumah tangga.

“Awalnya itu mbak, si D yang minta untuk cepat-cepat dinikahi. Dulu malah saya diancam. Kalau gak dinikahi sekarang dia mau pergi dari rumah, katanya. Terus, katanya lagi dia itu beban kalau harus meneruskan sekolahnya. Ya saya kasihan. Dia kan sering cerita kalau nilainya disekolah itu kurang bagus. Akhirnya saya ngomong sama orang tua terus dibolehkan, ya menikah lah saya

(69)

57

5. Subjek Ketiga

Informan menikah dini ketiga bernama B yang menikah umur 16 tahun . Mempunyai 1 orang anak laki-laki bernama R. Subjek adalah ibu rumah tangga. Pendidikan terakhir subjek adalah SD. Saat ini tinggal di rumah mertua bersama suami dan anaknya.

Subjek tersebut merupakan anak yang lahir dari keluarga yang kurang mampu. Subjek terpaksa berhenti sekolah karena orang tuanya tidak sanggup membiayainya. Ayah subjek bekerja sebagai petani yang menggarap sawah orang lain, sementara ibunya adalah ibu rumah tangga biasa, dan harus menghidupi anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Sehingga sebagai anak pertama B harus mengalah.

Gambaran tentang marital readiness menurut B, menjadi suatu masalah yang dia anggap sebagai kekurangannya. Subjek B menyadari bahwa dia tidak bisa memasak, dan itulah yang membuat B dan mertuanya sering terlibat dalam sebuah masalah. Akan tetapi, B mengeklaim bahwa dia bisa mengurus anaknya sendiri walaupun terkadang merasa kesusahan. Dan itu akan menjadi pembelajaran untuknya.

Gambar

Tabel 4.1 Jadwal Wawancara dan Observasi …………………………...
Tabel 4.1 Jadwal Kegiatan Observasi dan Wawancara

Referensi

Dokumen terkait

public class tampilmateri3 extends AppCompatActivity { String mtrJson = "";.

Surveilans reduksi campak merupakan salah satu kegiatan surveilans khusus dan global, sehingga semua pihak harus dapat berperan untuk mensukseskan komitmen global yang telah

Pemikiran politik tentang hubungan agama dan negara telah menjadi persoalan yang paling banyak diminati oleh masyarakat muslim, hubungan antara Islam dan negara di

Semua kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan arah kebijakan yang telah ditetapkan oleh Kepala BATAN bersama dengan para Deputi/Sestama untuk membangun kinerja dan

Penggunaan Homepage itu sendiri sangatlah fleksibel karena jika terdapat penambahan atau pengurangan halaman web, maka Homepage dapat ditulis kembali, ditambah, dikurangi atau

Kartu Seminar PKL, PraSeminar (Biru) yang telah ditandatangani oleh Ketua Program Studi6. Tanda Terima Pengumpulan Laporan PKL dan

Mengulas bagaimana pemanfaatan driver dan mode grafis pada bahasa C di sebuah game, dan penerapannya ke dalam logika pemrograman. Game My Igo ini memiliki beberapa kelebihan

Dari hasi penelitian ini, kajian tentang program fasilitasi biaya hidup bagi lanjut usia dalam kategori jompo di Kecamatan Kuantan Singingi dapat dianalisa