PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL
BERBASIS DEEP DIALOGUE/CRITICAL THINKING
UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI
MATEMATIKA SISWA SMP
(Studi Penelitian Kuasi Eksperimen terhadap Siswa Kelas VIII SMPN 29 Bandung)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Matematika
Disusun oleh:
NONI HAFRIANI (0700939)
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
LEMBAR PENGESAHAN
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL
BERBASIS DEEP DIALOGUE/CRITICAL THINKING
UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIKA SISWA SMP
Oleh:
Noni Hafriani 0700939
Menyetujui: Pembimbing I
Dr. Kusnandi, M.Si.
NIP. 196903301993031002
Pembimbing II
Dra. Entit Puspita, M.Si.
NIP. 196704081994032002
Mengetahui:
Ketua Jurusan Pendidikan Matematika
Drs. Turmudi, M.Ed., M.Sc., Ph.D.
ABSTRAK
Noni Hafriani (2013), Penerapan Model Pembelajaran Kontekstual Berbasis Deep Dialogue/Critical Thinking untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematika Siswa SMP.
Pada penelitian ini, dikaji tentang pengaruh penerapan model pembelajaran Kontekstual Berbasis Deep Dialogue/Critical Thinking (DD/CT) terhadap peningkatan kemampuan komunikasi. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Mengetahui apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematika siswa yang memperoleh pembelajaran dengan menerapkan model kontekstual berbasis deep dialogue/critical thinking lebih baik dibandingkan dengan kemampuan komunikasi matematika siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional (2) Mengetahui bagaimana respon siswa terhadap pembelajaran dengan dengan model pembelajaran kontekstual berbasis deep dialogue/critical thinking
(DD/CT). Metode yang digunakan adalah metode kuasi eksperimen dengan desain kelompok kontrol pretest-postest. Sampel pada penelitian ini adalah 38 siswa di kelas yang mendapatkan pembelajaran dengan penerapan model Kontekstual Berbasis Deep Dialogue/Critical Thinking dan 42 siswa di kelas yang mendapatkan pembelajaran dengan penerapan model konvensional, diambil secara acak dari semua kelas VIII di SMP Negeri 29 Bandung. Instrumen penelitian yang digunakan adalah tes tertulis yang mengukur kemampuan komunikasi siswa dan angket respon siswa. Hasil penelitian yang diperoleh adalah peningkatan kemampuan komunikasi matematika siswa dalam kelas yang mendapatkan pembelajaran dengan penerapan model pembelajaran Kontekstual Berbasis Deep Dialogue/Critical Thinking lebih baik dibandingkan peningkatan kemampuan komunikasi matematika siswa dalam kelas yang mendapatkan pembelajaran dengan penerapan model pembelajaran konvensional. Siswa dalam kelas yang mendapatkan penerapan model pembelajaran Kontekstual Berbasis
Deep Dialogue/Critical Thinking juga memberikan respon positif terhadap pembelajaran ini.
ABSTRACT
Noni Hafriani (2013), Application of Model-Based Contextual Learning Deep Dialogue / Critical Thinking to Improve Communication Skills Math Junior
High School Students.
In this study, examined the effect of the application of contextual learning model based Deep Dialogue / Critical Thinking (DD / CT) to increase communication skills. The purpose of this study was (1) Determine whether the increased communication skills students acquire math learning based contextual model by applying a deep dialogue / critical thinking better than the mathematical communication skills of students who received conventional learning (2) Knowing how to respond to students' learning with deep learning model based contextual dialogue / critical thinking (DD / CT). The method used is the method of quasi-experimental design with pretest-posttest control group. The samples in this study were 38 students in the class are getting the learning with the application of the model-based Contextual Deep Dialogue / Critical Thinking and 42 students in the class are getting the learning with the application of conventional models, drawn at random from all classes VIII in SMP Negeri 29 Bandung. The research instrument used was a written test that measures students 'communication skills and students' questionnaire responses. The results obtained are improved communication skills math students in the class to get lessons with the application of contextual learning model based Deep Dialogue / Critical Thinking better than improved communication skills math students in the class to get lessons with the application of the conventional learning. Students in the class are getting the application-based learning model Contextual Deep Dialogue / Critical Thinking also responded positively to learning.
DAFTAR ISI
1. Model Pembelajaran Kontekstual ... 10
2. Deep Dialogue/Critical Thinking ... 14
3. Kemampuan Komunikasi Matematika ... 24
BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 28
1. Desain Eksperimen ... 28
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... . 46
1. Hasil Penelitian ... 47
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... . 67
1. Kesimpulan ... 67
2. Implikasi ... 67
3. Saran ... 68
DAFTAR PUSTAKA ... 69
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Matematika adalah sesuatu yang sangat penting untuk dipelajari, karena
matematika merupakan dasar dari mata pelajaran lain yang saling
berkesinambungan. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa
kualitas hasil belajar siswa SMP dalam mata pelajaran matematika masih
rendah termasuk dalam kemampuan komunikasi, sehingga masih perlu
ditingkatkan.(Solihin:2011).
Rendahnya kualitas proses pembelajaran dipengaruhi oleh berbagai
faktor. Salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah ketepatan
pembelajaran yang digunakan. Pembelajaran dalam penyampaian materi yang
digunakan oleh para guru di lapangan pada umumnya adalah pembelajaran
konvensional yang menekankan penguasaaan dan manipulasi isi dengan
latihan pengerjaan soal-soal atau drill and practice, prosedural, serta
penggunaan rumus. Pada pembelajaran ini guru berfungsi sebagai pusat atau
sumber materi, guru yang aktif dalam pembelajaran, sedangkan siswa hanya
menerima materi. Para siswa menghafalkan fakta, angka, nama, tanggal,
tempat dan kejadian; mempelajari mata pelajaran secara individu; dan berlatih
dengan cara yang sama untuk memperoleh kemampuan dasar menulis dan
berhitung.
Pada kenyataanya proses pembelajaran harus memungkinkan siswa
(Johnson, 2009:37) mengatakan “ Si anak harus menjadikan (ide-ide tersebut)
milik mereka, dan harus mengerti penerapannya dalam situasi kehidupan
nyata mereka pada saat yang sama”. Dengan alasan tersebut, pembelajaran
kontekstual dalam pembelajaran matematika berusaha untuk mengajak para
siswa melakukan hal tersebut, yaitu dengan membuat skenario pembelajaran
yang saling berhubungan, dimulai dari konteks kehidupan nyata siswa (daily
life) agar pembelajaran tersebut menjadi lebih bermakna. Model pembelajaran
kontekstual juga memiliki potensi untuk membuat siswa mampu
mengkomunikasikan ide dan gagasan.
Seorang siswa pernah bertanya kepada gurunya “ Pak, untuk apa kita
belajar matematika?” Wajar jika selama ini siswa bertanya seperti itu, hal ini
disebabkan siswa mencari makna, arti penting dan maksud, serta manfaat dari
apa yang sedang siswa pelajari. Dengan model pembelajaran kontekstual
dapat membantu siswa menemukan makna dan memahami konsep matematika
yang tidak terlepas dari kehidupan sehari-hari dan dengan harapan siswa dapat
mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Guru pun dapat
menghubungkan dan menjawab, “dalam kehidupan sehari-hari matematika
banyak digunakan, sebagai contohnya, bagaimana kamu memilih banyak
pasang pakaian yang akan kamu gunakan apabila kamu memiliki 3 baju dan 2
celana? Dengan kombinasi seseorang dapat menentukan banyak pasangan
pakaian yang dapat digunakan”. Selanjutnya guru memfasilitasi siswa untuk
Disadari bahwa matematika adalah sesuatu yang sangat penting untuk
dipelajari, namun apakah matematika itu sebenarnya? Matematika adalah pola
berfikir, pola mengorganisasikan, pembuktian logis, matematika itu adalah
bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas, dan
akurat, representasinya dengan simbol yang padat, lebih berupa symbol
mengenai ide dari pada bunyi. Johnson dan Rising (Solihin: 2011), dan Kline
(Solihin: 2011) mengatakan bahwa matematika bukanlah pengetahuan
menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi adanya
matematika itu terutama untuk membantu manusia dalam memahami dan
menguasai permasalahan sosial, ekonomi dan alam. Oleh karena itu
matematika tidak pernah terlepas dari pemikiran secara kritis, logis dan
sistematis dan matematika juga tidak terlepas dari ilmu pengetahuan lainnya
seperti fisika, social, ekonomi dan ilmu alam.
Proses belajar-mengajar adalah proses dialog/komunikasi yang saling
berkaitan dengan berpikir kritis. Proses bagaimana mengkomunikasikan apa
yang ada dipikiran siswa, baik ke dalam sebuah bahasa matematika maupun
mengkomunikasikan pemikirannya kepada guru dan teman lainnya. Sebagai
proses komunikasi, praktik pembelajaran memerlukan prasyarat kesiapan fisik
dan mental pelaku penyampai pesan dan penerima pesan pembelajaran.
Pembelajaran berbasis Deep Dialogue/Critical Thinking (DD/CT) mengakses
paham konstruksi dengan menekankan dialog mendalam dan berpikir kritis.
Dengan deep dialogue/critical thinking, seseorang diharapkan mampu
dengan dialog mendalam/berpikir kritis, orang akan belajar mengenal dunia
lain di luar dirinya dan selanjutnya mampu menghargai perbedaan-perbedaan
yang ada di dalam masyarakat. Hal ini membuka kemungkinan-kemungkinan
untuk memahami makna yang fundamental dari kehidupan secara individual
dan kelompok dengan berbagai dimensinya.
Komunikasi secara implisit menurut Effendy (Rohayati:10) merupakan
proses yang menyampaikan suatu pesan seseorang kepada orang lain untuk
memberitahukan atau mengubah sikap, pendapat, perilaku baik langsung
secara lisan maupun tulisan (melalui media).
Menyadari pentingnya matematika sebagai alat komunikasi, pemerintah
melalui Kementerian Pendidikan Nasional menetapkan bahwa salah satu
fungsi mempelajari matematika dalam kurikulum sekolah adalah
mengembangkan kemampuan komunikasi gagasan melalui model matematika
yang dapat berupa kalimat dan persamaan matematika, diagram, grafik atau
tabel. Selain itu, Salah satu tujuan pembelajaran matematika adalah
mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau
mengkomunikasikan gagasan antara lain melalui pembicaraan lisan, grafik,
peta, diagram dalam menjelaskan gagasan (Depdiknas: 2003). Selain itu,
kemampuan komunikasi matematika merupakan salah satu kompetensi yang
harus dilaporkan secara deskriptif dalam proses penilaian pembelajaran di
manasiswa diharapkan memiliki kemampuan komunikasi matematika yaitu
siswa mampu menyatakan dan menafsirkan gagasan matematika secara lisan,
Dengan komunikasi dapat bertukar ide dan memperbaiki hal yang
belum sempurna menjadi lebih sempurna. Dengan komunikasi juga guru bisa
mengetahui psikologi siswa agar dalam pencapaian model dan metode yang
diterapkan dapat dilaksanakan dengan efektif.
Baroody (Suzana, 2009:6) mengungkapkan bahwa paling tidak ada dua
alasan penting yang menjadikan komunikasi dalam matematika perlu menjadi
focus perhatian. Pertama, Mathematics as language; matematika tidak hanya
sekedar alat bantu berpikir, alat untuk mengemukakan pola-pola atau
menyelesaikan masalah, namun matematika juga merupakan alat yang tidak
terhingga nilainya untuk dikomunikasikan berbagai ide dengan jelas, tepat,
dan cermat dan kedua, mathematics learning as social activity; matematika
sebagai aktivitas social dalam pembelajaran matematika, interaksi antar siswa
seperti juga komunikasi antar guru dan siswa yang merupakan bagian penting
untuk memelihara dan mengembangkan potensi matematika siswa.
Namun, pentingnya kemampuan komunikasi matematika dalam
kompetensi yang harus dimiliki tidak sejalan dengan hasil yang selama ini
dicapai. Berdasarkan pengamatan, siswa sangat sulit dalam
mengkomunikasikan gagasannya dalam menyelesaikan suatu permasalahan.
Hal ini dinyatakan oleh penelitian yang dilakukan Sunata (Solihin: 2011) yang
menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi matematika siswa SMP masih
rendah. Diperkuat oleh hasil penelitian Utari, Rukmana, dan Suhendra
Indonesia saat ini dirasakan masih kurang memberikan kesempatan kepada
siswa untuk mengkomunikasikan gagasan matematika yang dimiliki siswa.
Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk meneliti tentang
“Penerapan Model Pembelajaran Kontekstual Berbasis Deep
Dialogue/Critical Thinking untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi
Matematika Siswa SMP” melalui pembelajaran matematika.
2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini sebagai berikut :
a. Apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematika siswa yang
memperoleh pembelajaran dengan menerapkan model kontekstual berbasis
deep dialogue/critical thinking lebih baik dibandingkan dengan
kemampuan komunikasi matematika siswa yang memperoleh
pembelajaran konvensional?
b. Bagaimana respon siswa terhadap pembelajaran dengan model
pembelajaran Kontekstual berbasis Deep Dialogue/Critical Thinking
(DD/CT)?
3. Pentingnya Masalah
Jika hasil penelitian ini signifikan, maka dapat dijadikan pertimbangan
sebagai alternatif penerapan model pembelajaran yang dapat meningkatkan
kemampuan komunikasi matematika siswa SMP, sehingga dapat
4. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Mengetahui apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematika
siswa yang memperoleh pembelajaran dengan menerapkan model
kontekstual berbasis deep dialogue/critical thinking lebih baik
dibandingkan dengan kemampuan komunikasi matematika siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional.
b. Mengetahui bagaimana respon siswa terhadap pembelajaran dengan model
pembelajaran Kontekstual berbasis Deep Dialogue/Critical Thinking
(DD/CT).
5. Manfaat Penelitian
Jika hasilnya signifikan, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung bagi:
a. Siswa
Deep dialogue/critical thinking dapat digunakan untuk melatih siswa
dalam mengkomunikasikan pemikiran dan idenya baik secara lisan
maupun tulisan kepada siswa dengan siswa maupun siswa dengan guru,
dan siswa dapat menerapkan pembelajaran matematika dalam kehidupan
sehari-hari.
b. Guru
Untuk mengoptimalkan pembelajaran sebagai alternatif yang dapat
c. Sekolah
Meningkatkan kualitas dan hasil belajar pembelajaran matematika.
6. Definisi Istilah
Untuk menghindari penafsiran yang berbeda-beda dari pembaca, maka peneliti
memberikan penjelasan dari beberapa istilah yang digunakan :
a. Pembelajaran kontekstual
Pembelajaran kontekstual adalah model pembelajaran yang
mengaitkan materi dengan kehidupan sehari-hari atau situasi nyata sebagai
media pembelajaran. Guru memberikan permasalahan dalam kehidupan
sehari-hari secara individu ataupun berkelompok dapat menyimpulkan
konsep materi pembelajaran matematika tersebut, kemudian guru
memberikan soal yang berbentuk aplikasi.
b. Deep Dialogue/Critical Thinking (Dialog Mendalam/BerpikirKritis)
Deep dialogue/critical thinking adalah pendekatan yang
mengkonsentrasikan kegiatan pembelajarannya untuk mendapatkan
pengetahuan dan pengalaman, melalui dialog secara mendalam dan
berpikir kritis, serta tidak saja menekankan keaktifan peserta didik pada
aspek fisik, akan tetapi juga aspek intelektual, sosial, mental emosional
dan spiritual. Tahapan deep dialogue/critical thinking, meliputi: kegiatan
c. Komunikasi matematika
Komunikasi dapat diartikan sebagai suatu peristiwa saling
hubungan/dialog yang terjadi dalam suatu lingkungan kelas, dimana
terjadi pengalihan pesan-pesan yang dialihkan berisi tentang materi
matematika yang dipelajari di kelas. Pihak yang terlibat komunikasi
dikelas adalah guru dan siswa. Jadi, kemampuan komunikasi matematika
dalam penelitian ini adalah a) Mengungkap ide secara lisan dan tulisan,
b) Mengungkapkan dan menjelaskan pemikiran mereka tentang ide
matematika dan hubungannya, c) Menggunakan situasi nyata dan
menyatakan solusi masalah menggunakan gambar dan aljabar, d)
Membuat situasi matematika dan menyediakan ide serta keterangan
dalam bentuk tertulis, dan e) Menginterpretasikan ide matematika dalam
bentuk gambar dan aljabar.
7. Hipotesis
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, hipotesis penelitian ini sebagai
berikut “Peningkatan kemampuan komunikasi matematika siswa yang
memperoleh pembelajaran dengan menerapkan model kontekstual berbasis
deep dialogue/critical thinking lebih baik dibandingkan dengan kemampuan
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
1. Desain Penelitian
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metodekuasi
eksperimen. Penelitian ini melibatkan dua kelas yaitu satu kelas eksperimen
dan satu kelas kontrol. Masing-masing mendapat perlakuan berbeda dalam
proses pembelajaran, tetapi materi yang sama. Pada kelas eksperimen
diberikan pembelajaran menggunakan model pembelajaran kontekstual
berbasis deep dialogue/critical thinking. Sedangkan pada kelas kontrol
diberikan pembelajaran konvensional.
Dengan demikian desain eksperimen dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
O X O
O O (Ruseffendi, 1994)
Keterangan:
O: Pretest/postest berupa tes komunikasi matematika siswa
X:Perlakuan dengan menggunakan model pembelajaran kontekstual berbasis
deep dialog/critical thinking.
2. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII di SMP
betul-betul representative yaitu dengan mengambil sampel dua kelas dari
beberapa kelas sebagai kelas eksperimen dan kelas kontrol.
3. Variabel Penelitian
Variabel bebas pada penelitian ini yaitu penerapan model
pembelajaran kontekstual berbasis deep dialogue/critical thinking dan satu
variabel terikat yaitu kemampuan komunikasi matematika siswa SMP.
4. Instrumen
a. Instrumen Pembelajaran
i. Silabus
Silabus adalah perangkat pembelajaran pendukung kurikulum. Silabus
pada hakikatnya menjelaskan secara singkat mengenai materi yang akan
dibahas dari setiap mata ajar dan tujuan yang hendak dicapai dari suatu
pembelajaran, atau tahap belajar-mengajar atau dengan kata lain
silabusmerupakan penjabaran standar kompetensi/kompetensidasar,
indikator ke dalam materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran
dan pencapaian kompetensi untuk penilaian. Silabus biasanya disusun
oleh guru mata pelajaran yang telah disesuaikan dengan kurikulum
sekolah.
ii. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
RPP adalah perkiraan atau proyeksi mengenai tindakan apa yang akan
biasanya disusun secara sistematis dan dalam jangka pendek yaitu 1 – 4
pertemuan. Perkiraan tindakan yaitu:
1. Rencana yang mengambarkan prosedur dan pengorganisasian
pembelajaran untuk mencapai satu kompetensi dasar yang ditetapkan
dalam standar isi dan telah dijabarkan dalam silabus
2. Pembelajaran adalah proses yang ditata dan diatur menurut
langkah-langkah tertentu agar dalam pelaksanaannya dapat mencapai hasil
yang diharapkan
3. RPP disusun untuk satu Kompetensi Dasar.
Adapun tujuan dan manfaat RPP adalah sebagai berikut:
1. Memberikan landasan pokok bagi guru dan siswa dalam mencapai
kompetensi dasar dan indikator
2. Memberi gambaran mengenai acuan kerja jangka pendek
3. Karena disusun dengan menggunakan pendekatan sistem, memberi
pengaruh terhadap pengembangan individu siswa
4. Karena dirancang secara matang sebelum pembelajaran, berakibat
natural effect.
iii. LKS
LKS adalah alat bantu dalam pembelajaran. Dengan LKS siswa dapat
mengambil kesimpulan mengenai konsep pembelajaran matematika
b. Instrumen Penelitian
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini maka
digunakan instrumen penelitian yang terdiri atas instrumen tes dan
instrumen non tes yang dimaksud untuk mengukur kemampuan
komunikasi matematika siswa.Instrumen penelitian tersebut diukur dengan
menggunakan lembar observasi,angket, danjurnalharian siswa.
i. Instrumen Tes
Instrumen tes ini terdiri atas pretest dan postest berupa soal uraian
yang terdiri dari lima butir soal. Pemilihan bentuk tes berupa soal uraian
bertujuan untuk mengungkapkan kemampuan komunikasi matematika
siswa secara tertulis. Pretest dan postest diberikan pada kelas kontrol
dan kelas eksperimen. Pretest diberikan untuk mengetahui kemampuan
komunikasi matematika awal siswa sebelum diberi pembelajaran.
Sedangkan postest digunakan untuk mengetahui kemampuan
komunikasi matematika setelah pembelajaran dilakukan pada kedua
kelas tersebut. Setelah uji coba pretest dilaksanakan, kemudian
dilakukan analisis mengenai validitas butir soal, reliabilitas tes, daya
pembeda, dan indeks kesukaran butir soal tersebut. Selengkapnya hasil
analisis uji coba soal dipaparkan sebagai berikut:
1. Validitas butir soal
Sebuah tes disebut valid apabila tes tersebut dapat dengan
menguji validitas tiap butir soal digunakan rumus Koefisien Korelasi
Product Moment dari Karl Pearson sebagai berikut :
Keterangan :
rxy = Koefisien korelasi antara X dan Y
N = Jumlah peserta tes
X = Skor tiap butir soal
Y = Skor total setiap peserta tes
Interpretasi yang lebih rinci mengenai nilai rxy tersebut dibagi ke
dalam kategori berikut ini menurut Guilford (dalam Suherman,
2003:113).
Tabel 3.1
Nilai Koefisien Korelasi Product Moment
Koefisien Korelasi (rxy) Kriteria
0,00 rxy 0,20 Validitas sangat rendah
0,20 rxy 0,40 Validitas rendah
0,40 rxy 0,70 Validitas sedang
0,70 rxy 0,90 Validitas tinggi
0,90 rxy 1,00 Validitas sangat tinggi
Dari hasil perhitungan validitas pembanding dengan
menggunakan Anates, diperoleh nilai koefisien validitas (rxy)sebesar
seluruh butir soal dari instrumen tes yang telah dibuat termasuk
kategori sedang.
Hasil validitas butir soal dengan software Anates, disajikan pada
Tabel 3.2 berikut.
Tabel 3.2 Validitas Butir Soal
No. Soal Koefisien Validitas Signifikan Korelasi
1 0, 688 Signifikan
2 0,848 Sangat signifikan
3 0,738 Sangat signifikan
4 0,743 Sangat signifikan
5 0,741 Sangat signifikan
2. Reliabilitas butir soal
Reliabilitas sebuah instrument tes berkaitan dengan
masalah konsistensi (keajegan) tes tersebut sebagai alat ukur.
Rumus yang digunakan untuk menguji reliabilitas instrument
dalam penelitian ini adalah koefisien Alfa dari Cronbach, yaitu:
(Soemantri, 2006:48)
Keterangan :
r11 = koefisien reliabilitas
n = banyaknya butir soal
jumlah varians skor setiap butir soal
varians skor total
dengan
X = skor tiap butir
Y = skor total tiap peserta tes
N = jumlah peserta tes
Realibilitas untuk tiap butir soal disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 3.3 Derajat Realibilitas
Derajat Reliabilitas Interpretasi 0,90≤ r11 ≤ 1,00 Sangat tinggi
0,70≤ r11< 0,90 Tinggi
0,40≤ r11< 0,70 Sedang
0,20≤ r11 < 0,40 Rendah
r11 < 0,20 Sangat rendah
Dari hasil perhitungan menggunakan Anates, diperoleh
nilai koefisien reliabilitas sebesar 0,85. Berdasarkan Tabel 3.3
dapat disimpulkan bahwa reliabilitas instrumen yang digunakan
termasuk kategori tinggi. Data perhitungan reliabilitas
selengkapnya dapat dilihat dalam lampiran.
3. Indeks kesukaran
Suatu soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu sukar
tetapi juga tidak terlalu mudah.Soal yang terlalu sukar dapat
menyebabkan siswa merasa kesulitan dan tidak percaya diri dalam
menyelesaikannya.Sebaliknya soal yang terlalu mudah tidak
merangsang untuk meningkatkan usahanya dalam menyelesaikan
masalah yang diberikan. Rumus yang digunakan untuk menguji
Keterangan :
IK = indeks kesukaran tiap butir soal
X = rata-rata skor tiap butir soal
SMI = skor maksimal ideal tiap butir soal
Interpretasi yang lebih rinci untuk indeks kesukaran tersebut
dibagi ke dalam beberapa kategori berikut ini menurut Guilford
(dalam Suherman, 2003: 170).
Tabel 3.4 Indeks Kesukaran
Nilai IK Indeks Kesukaran
0,00 Terlalu Sukar
0,00 IK 0,30 Soal sukar
0,30 IK 0,70 Soal sedang
0,70 IK 1,00 Soal mudah
1,00 Terlalu mudah
Hasil perhitungan indeks kesukaran soal dengan
menggunakan Anates beserta kategorinya disajikan dalam Tabel 3.5
berikut.
Tabel 3.5
Hasil Perhitungan Indeks Kesukaran Soal Tes
No. Soal Koefisien Validitas Signifikan Korelasi
1 0,77 Mudah
2 0,63 Sedang
3 0,66 Sedang
4 0,66 Sedang
Data perhitungan indeks kesukaran selengkapnya dapat
dilihat dalam lampiran.
4. Daya Pembeda Soal
Daya pembeda butir soal adalah kemampuan suatu soal untuk
membedakan antara siswa yang pandai (berkemampuan tinggi)
dengan siswa yang tidak pandai. Daya pembeda butir soal dihitung
X = Rata-rata skor siswa kelompok atas
b
X = Rata-rata skor siswa kelompok bawah
SMI = Skor Maksimum Ideal
Klasifikasi interpretasi untuk daya pembeda yang digunakan
sebagai berikut:
Tabel 3.6 Kriteria Daya Pembeda
Nilai Daya Pembeda Interpretasi
0,70<DP≤ 1,00 Sangat Baik
0,40<DP≤ 0,70 Baik
0,20<DP≤ 0,40 Cukup
0,00<DP≤ 0,20 Jelek
(Erman, 2003:16)
ii. Instrumen Non Tes
1. Lembar Observasi
Penelitian ini menggunakan dua jenis pedoman observasi yaitu
pedoman observasi pelaksanaan pembelajaran yang berfungsi
melihat keefektifan kegiatan guru dalam menerapkan model
pembelajaran di kelas, dan pedoman observasi kegiatan siswa
berfungsi untuk melihat keaktifan siswa dalam pembelajaran di
kelas.Data ini bersifat relatif, karena dapat dipengaruhi oleh keadaan
dan subyektivitas pengamat. Karena itu dibutuhkan instrumen tes
lainnnya untuk melengkapi data yang diperoleh.
2. Angket
Angket atau skala sikap berfungsi untuk mengetahui umpan balik
(feedback) siswa berupa sikap (non verbal) atau tanggapan (verbal)
lewat sekumpulan pertanyaan dan pernyataan yang harus dilengkapi
oleh siswa dengan memilih jawaban atau menjawab pertanyaan
melalui jawaban yang telah disediakan mengenai model
pembelajaran kontekstual berbasis deep dialogue/critical thinking
Tabel 3.7
Teknik Pengumpulan Data
5. Prosedur Penelitian
Secara umum prosedur penelitian ini terdiri atas tiga tahap yaitu tahap
persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap pengolahan serta analisis data hasil
penelitian.
a. Tahap Persiapan
Pada tahap ini, dilaksanakan beberapa kegiatan yaitu: pengembangan
perangkat pembelajaran (lembar kerja siswa), penyusunan instrumen dan
uji coba instrumen, mengurus perizinan penelitian, dan memilih siswa
kelas VIII di SMPN 29 Bandung sebanyak dua kelas untuk dijadikan kelas
eksperimen dan kelas kontrol.
b. Tahap Pelaksanaan
Instrumen Sasaran Waktu Tujuan
Tes
Mendapatkan data mengenai kemampuan awal komunikasi siswa
Mendapatkan data mengenai
kemampuan komunikasi
siswasetelah diberi perlakuan dengan menggunakan model pembelajaran kontekstual berbasis
deep dialogue/critical thinking. Lembar
Observasi
Siswa Saat
pembelajaran
Mengetahui aktivitas siswa setiap tahapan pembelajaran
Angket Siswa Setelah
postest
Pada tahap pelaksanaan penelitian dimulai dengan memberikan
pretest pada masing-masing kelas kontrol dan eksperimen untuk
mengetahui kemampuan komunikasi matematika awal siswa. Selanjutnya
diberikan perlakuan sesuai perencanaan desain eksperimen, untuk kelas
kontrol diberikan pembelajaran dengan menggunakan model konvensional
dan kelas eksperimen diberikan pembelajaran dengan menggunakan model
kontekstual berbasis deep dialogue/critical thinking. Observer melakukan
observasi di kelas eksperimen selama pembelajaran berlangsung.
Pada tatap muka terakhir dalam rangkaian pelaksanaan penelitian
diberikan postest pada masing-masing kelas kontrol dan
eksperimendengan tujuan untuk mengetahui kemampuan komunikasi
matematika siswa setelah diberi perlakuan. Khusus untuk kelas
eksperimen selain dilakukan postest juga diberikan angket untuk
mengetahui respons siswa terhadap pembelajaran.
c. Tahap Analisis Data dan Penarikan Kesimpulan
Setelah penelitian di lapangan selesai dilaksanakan, data yang telah
diperoleh diolah untuk kemudian dianalisis dan dijadikan dasar dalam
penarikan kesimpulan.
6. Analisis Data
Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan beberapa cara
lembar observasi. Data yang diperoleh kemudian dikategorikan ke dalam jenis
data kuantitatif dan data kualitatif.
a. Analisis Data Kuantitatif
Data kuantitatif adalah data yang berbentuk bilangan (Sugiyanto,
2009: 30). Data ini diperoleh dari hasil tes kemampuan komunikasi
siswa. Analisis data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan uji
statistik terhadap data pretest dan data peningkatan kemampuan
komunikasi matematika siswa (postest, gain atau skor indeks gain)kedua
kelas. Data dianalisis untuk menguji hipotesis penelitian yang telah
dibuat. Hipotesis diuji dengan melakukan uji perbedaan dua rata-rata. Uji
perbedaan dua rata-rata dilakukan terhadap data postest, gain atau indeks
gain jika rata-rata skor pretest siswa kedua kelas adalah tidak berbeda
secara signifikan, tetapi uji perbedaan dua rata-rata dilakukan terhadap
data indeks gain jika rata-rata skor pretest siswa kedua kelas adalah
berbeda secara signifikan.
Untuk mengetahui apakah rata-rata skor pretest siswa kelas
eksperimen dan kelas kontrol tidak berbeda secara signifikan atau
berbeda secara signifikan, maka dilakukan uji kesamaan dua rata-rata
terhadap data skor pretest siswa kedua kelas.
Sebelum melakukan uji hipotesis dilakukan pengecekan semua
syarat yang harus dipenuhi untuk pengujian tersebut. Syarat-syarat
i. Menguji normalitas data pretest dengan tujuan untuk mengetahui
apakah kedua kelas berasal dari populasi yang berdistribusi normal
atau tidak. Uji normalitas yang sesuai untuk penelitian ini yaitu uji
Shapiro-Wilk. Karena Metode Shapiro-Wilk menggunakan sampel
lebih dari 30 sampel. Jika data yang dianalisis tidak berdistribusi
normal, maka uji perbedaan dua rata-rata dilakukan dengan uji
statistik nonparametris. Uji statistik nonparametris untuk penelitian
ini yaitu uji Mann-Whitney.
ii. Setelah dilakukan uji normalitas dan diketahui sampel berasal dari
populasi yang berdistribusi normal maka dilanjutkan dengan uji
homogenitas. Uji homogenitas bertujuan untuk mengetahui apakah
sampel yang diteliti memiliki varians yang tidak berbeda secara
signifikan atau berbeda secara signifikan. Jika data yang dianalisis
memiliki varians yang berbeda secara signifikan, maka uji
perbedaan dua rata-rata dilakukan dengan statistik nonparametris.
Uji homogenitas dilakukan dengan menggunakan bantuan software
SPSS. Uji yang digunakan adalah uji Levene.
iii. Jika diketahui sampel berasal dari populasi yang berdistribusi
normal dan homogen, maka pengujian dilanjutkan dengan uji
kesamaan rata-rata yang bertujuan untuk mengetahui kelas mana
yang memiliki kemampuan komunikasi matematika yang lebih
bantuan software SPSS. Uji yang digunakan adalah uji
Independent-Sampel T Test.
Apabila telah dilakukan pengujian pretest dan memperoleh
hasil yang tidak berbeda secara signifikan maka untuk mengetahui
peningkatan kemampuan komunikasi matematika siswa akan
dilakukan pengujian postest, gain atau indeks gain. Adapun rumus
indeks gain menurut Meltzer (Solihin, 2010) sebagai berikut:
Indeks gain = postest pretest
maks pretest
Skor
Skor
Skor
Skor
Selanjutnya indeks gain yang diperoleh diinterpretasikan
dengan menggunakan kriteria indeks gain sebagai berikut.
Tabel 3.8
Untuk melihat apakah terdapat perbedaan peningkatan
kemampuan komunikasi matematika siswa kelas
eksperimendengan siswa kelas kontrol dilakukan analisis indeks
gain sebagai berikut.
1. Menguji normalitas data indeks gain dengan tujuan untuk
mengetahui apakah kedua kelas berasal dari populasi yang
untuk penelitian ini yaitu uji Shapiro-Wilk. Karena Metode
Shapiro-Wilk menggunakan sampel lebih dari 30 sampel. Jika
data yang dianalisis berdistribusi tidak normal, maka uji
perbedaan dua rata-rata dilakukan dengan uji statistik
nonparametris. Uji statistik nonparametris untuk penelitian ini
yaitu uji Mann-Whitney.
2. Setelah dilakukan uji normalitas dilakukan dan diketahui
sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal maka
dilanjutkan dengan uji homogenitas. Uji homogenitas
bertujuan untuk mengetahui apakah sampel yang diteliti
memiliki varians yang tidak berbeda secara signifikan atau
berbeda secara signifikan. Jika data yang dianalisis memiliki
varians yang berbeda secara signifikan, maka uji perbedaan
dua rata-rata dilakukan dengan statistik nonparametris. Uji
homogenitas dilakukan dengan menggunakan bantuan
software SPSS. Uji yang digunakan adalah uji Levene.
3. Jika diketahui sampel berasal dari populasi yang berdistribusi
normal dan homogen, maka pengujian dilanjutkan dengan uji
kesamaan rata-rata yang bertujuan untuk mengetahui kelas
mana yang memiliki peningkatan kemampuan komunikasi
matematika yang lebih baik. Uji kesamaan rata-rata dilakukan
dengan menggunakan bantuan software SPSS. Uji yang
b. Analisis Data Kualitatif
Analisis data kualitatif perlu dilakukan untuk mengetahui
peningkatan komunikasi matematika siswa, sikap belajar siswa dalam
pembelajaran matematika menggunakan penerapan model
pembelajaran kontekstual berbasis deep dialogue/critical thinking,
interaksi antara siswa dengan guru, serta interaksi antara siswa dengan
siswa.
i. Analisis Data Observasi
Data hasil observasi merupakan data pendukung penelitian
ini.Agar memudahkan dalam menginterpretasikannya, data
disajikandalam bentuk tabel. Dari data tabel akan dianalisis apakah
tujuan pembelajaran sudah tercapai atau belum.
ii. Analisis Data Angket
Data dalam angket berupa pernyataan berbentuk pernyataan
tertutup, sebagian pernyataan positif dan sebagian lagi negatif,
sehingga responden hanya memilih jawaban yang sesuai yaitu
sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan sangat tidak
setuju (STS). Skor untuk setiap pemilihan jawaban dari setiap
pernyataan berturut-turut 5,4,2,1 untuk pernyataan positif, dan
sebaliknya 1,2,4,5 untuk pernyataan negatif. (Suherman, 2003 :
Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dengan
tujuan untuk mengetahui persentase dan frekuensi masing-masing
alternatif jawaban serta untuk memudahkan dalam membaca data.
Hasil angket dianalisis dengan cara mencari persentase
masing-masing pernyataan untuk tiap pilihan jawaban, yaitu dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
P = f 100%
n
Keterangan:
P = persentase jawaban
f = frekuensi jawaban
n = banyaknya responden
Data yang telah dipersentasekan kemudian ditentukan
persentase angket keseluruhan untuk menganalisis komunikasi
matematika siswa terhadap pembelajaran matematika yang
menggunakan penerapan model pembelajaran kontekstual berbasis
deep dialogue/critical thinking dengan cara mengelompokkan data
berdasarkan pernyataan yang diberikan, selanjutnya hasilnya
diinterpretasikan dengan menggunakan persentase (Suherman,
2003) yaitu:
Tabel 3.9
Interpretasi Jawaban Angket Sikap Siswa
Persentase jawaban Interpretasi
0 <P < 25 Sebagian Kecil
25 ≤ P < 50 Hampir Setengahnya
P = 50 Setengahnya
50 <P < 75 Sebagian Besar
75 ≤ P < 100 Hampir Seluruhnya
BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil temuan-temuan dari penelitian, disimpulkan
bahwa :
a. Peningkatan komunikasi matematika siswa kelas VIII SMP Negeri 29
Bandung yang mendapatkan pembelajaran dengan menggunakan model
pembelajaran kontekstual berbasis Deep Dialogue/Critical Tinking
(DD/CT) lebih baik dibandingkan peningkatan kemampuan komunikasi
siswa yang mendapatkan pembelajaran secara konvensional.
b. Hampir seluruh siswa memberikan respon yang positif terhadap
pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran
kontekstual berbasis Deep Dialogue/Critical Tinking (DD/CT).
2. Implikasi
Model Pembelajaran Kontekstual berbasis Deep Dialogue/Critical
Tinking (DD/CT) pada pokok bahasan Sistem Persamaan Linear Dua Variabel
dapat melatih siswa untuk mampu berpikir kritis dan imajinatif, menggunakan
logika, menganalisis fakta-fakta, membagi rasa, dan saling mengasihi
sehingga perbedaan pendapat dan pandangan yang ada dapat dipecahkan dan
dicerahkan dengan dialog terbuka.
Pembelajaran ini juga dapat menjadikan siswa belajar melalui “mengalami,
3. Saran-Saran
Dari hasil penelitian ini beberapa saran yang dapat menjadi masukan
yaitu :
a. Model pembelajaran kontekstual berbasis Deep Dialogue/Critical
Tinking (DD/CT) dapat menjadi alternatif model pembelajaran untuk
meningkatkan komunikasi matematika siswa SMP.
b. Bagi para guru matematika hendaknya selalu mengadakan perubahan
dalam metode mengajarnya agar siswa tidak merasa jenuh dan bosan
di dalam kelas.
c. Bagi calon guru (Mahasiswa) agar lebih giat lagi dalam belajar
sehingga bisa meningkatkan ilmu pengetahuannya bahkan
menumbuhkan ilmu-ilmu pengetahuan baru seiring dengan
perkembangan zaman.
d. Bagi peneliti lain, hendaknya bisa menggunakan materi lain untuk
mengetahui apakah model pembelajaran ini juga efektif untuk
DAFTAR PUSTAKA
Arthana, Ketut. (2007). Pembelajaran Inovatif Berbasis Deep Dialogue/Critical
Thinking. [Online]. Tersedia :
http://fip.unesa.ac.id/bank/jurnal/tp-101-3-Pembelajaran_Inovatif_Berbasis_Deep_DialogueCritical_Thinking.pdf
Joko. (2010). Pembelajaran Inovatif Berbasis Deep Dialogue/Critical Thinking.
[Online]. Tersedia:
http://joko1234.wordpress.com/2010/08/12/pembelajaran-inovatif-berbasis-deep-dialoguecritical-thinking/
Puspita, Redda. (2007). Pengaruh Pendekatan Contextual Teaching and Learning
(CTL) dalam Pembelajaran Matematika Terhadap Hasil Belajar. Skripsi
Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.
Rohayati, Ade. (2010). CTL dalam Pembelajaran Matematika untuk
Meningkatkan Berpikir Kritis. [Online]. Tersedia:
http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._MATEMATIKA/1960050
11985032_ADE_ROHAYATI/CTL_dalam__Pembelajaran_Mat_untuk_Menin
gkatkan_Berpikir_Krit.pdf
Rudiansyah, Sandi. (2009). Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematik
Siswa SMA melalui Model Pembelajaran Connected Mathematics Project
(CMP). Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI. Bandung: Tidak
diterbitkan.
Ruseffendi. (2005). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta
Sadono, Kana Hidayah. (2006). implementasi kurikulum berbasis kompetensi
dengan pendekatan contextual teaching and learning (ctl) pada mata pelajaran
matematika pokok bahasan statistik dan statistika di sma muhammadiyah i
yogyakarta. Yogyakarta: Bappeda Kota Yogyakarta.
Solihin, Ahmad. (2010). Pengaruh Pendekatan Problem Solving terhadap
Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa SMP. Skripsi Jurusan Pendidikan
Matematika FPMIPA UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.
Sugiyanto. (2009). Pengaruh Model Pembelajaran Deep Dialogue/Critical
Thinking dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika pada Materi
Himpunan Siswa Kelas I MMI Pondok Pesantren Mathlabul Ulum Jambu
Lenteng Sumenep. Skripsi Universitas Nusantara PGRI Kediri. Kediri: Tidak
diterbitkan.
Suherman, E. (2003). Evaluasi Pembelajaran Matematika. Bandung: Universitas
Pendidikan Indonesia.
Suherman, Erman, dkk. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.
Bandung : JICA - Universitas Pendidikan Indonesia.
Suherman, Erman. (2007). Pendekatan kontekstual dalam Pembelajaran
Matematika. [Online]. Tersedia:
http://educare.e-fkipunla.net/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=38
Untari, Sri. (2007). Pembelajaran Inovatif Berbasis Deep Dialogue/Critical
Thinking. [Online]. Tersedia :