• Tidak ada hasil yang ditemukan

sepanjang dalam rangka menurunkan angka kemiskinan dan jumlah orang miskin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "sepanjang dalam rangka menurunkan angka kemiskinan dan jumlah orang miskin"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

A. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang hingga detik ini masih berusaha melakukan berbagai upaya dalam rangka mengentaskan kemiskinan. Sebagaimana dilaporkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021 (Smeru, 2021), bahwa tingkat kemiskinan Indonesia pada September 2014 sebesar 10,96 persen turun menjadi 9,22 persen pada September 2019, berbanding lurus dengan penurunan jumlah orang miskin dari sebanyak 27,8 juta pada September 2014 menjadi 24,8 juta pada September 2019. Penurunan ini menjadi pertanda membaiknya kondisi perekonomian di Indonesia yang berdampak pada berkurangnya tingkat kemiskinan dan jumlah orang miskin secara nasional.

Sayangnya, ketika pandemi COVID-19 menghantam seluruh dunia, Indonesia ikut terkena dampaknya. Keberhasilan dalam penurunan tingkat kemiskinan dan jumlah orang miskin yang berjalan sejak 2014 hingga 2019, harus menemui titik balik. Pada Maret 2020, terdapat 26,8 juta orang miskin di Indonesia, naik kurang lebih 2 juta orang dari jumlah yang terekam pada September 2019. Tingkat kemiskinan pun naik menjadi 9,78 persen dan terus memburuk hingga Maret 2021 pada titik 10,14 persen. Dapat dilihat bahwa kerja keras yang dilakukan

sepanjang 2014 - 2019 dalam rangka menurunkan angka kemiskinan dan jumlah orang miskin

Gambar 1. Tingkat Kemiskinan Nasional di Indonesia September 2014 - Maret 2021 (% populasi) (Smeru, 2021)

(3)

harus terhempas begitu saja akibat pandemi COVID-19 hanya dalam kurun waktu satu tahun,

yaitu sejak Maret 2020 sampai Maret 2021.

Tentu saja, kondisi ini menuntut Indonesia untuk dapat bekerja lebih efektif lagi dalam upaya menurunkan angka kemiskinan di tengah ketidakpastian kapan pandemi COVID-19 akan berakhir. Sejalan dengan komitmen Indonesia terhadap pelaksanaan Sustainable Development Goals (SDGs) untuk menghapus kemiskinan dalam bentuk apapun dan di manapun; dan sesuai dengan visi Presiden yang tertuang dalam Nawacita, yaitu meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, meningkatkan produktivitas rakyat, dan mewujudkan kemandirian ekonomi, maka Kementerian Sosial RI bersama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan meluncurkan program Pejuang Muda.

Program Pejuang Muda merupakan laboratorium sosial yang dibangun untuk memberi kesempatan kepada mahasiswa Indonesia untuk ikut serta terjun di masyarakat, mengaplikasikan ilmu dan minatnya, serta memberikan dampak nyata dalam masa studi mereka. Dengan begitu, mahasiswa Indonesia akan memiliki first hand experience dalam menghadapi permasalahan sosial faktual yang terjadi di masyarakat, merumuskan solusi untuk permasalahan tersebut, dan mengimplemtasikannya secara langsung bahkan sebelum mereka menyelesaikan jenjang pendidikan yang mereka tempuh. Salah satu agenda yang akan dicapai dalam program ini adalah membangun pahlawan ekonomi (social entrepreneurship) pada setiap individu Pejuang Muda. Dengan begitu diharapkan ketika kembali ke masyarakat, mereka dapat berperan secara efektif dan terarah untuk ikut serta berupaya mengentaskan kemiskinan melalui social entrepreneurship.

B. PENGANTAR SOCIAL ENTREPRENEURSHIP

Gambar 2. Jumlah Orang Miskin Indonesia September 2014 - Maret 2021 (Juta Jiwa) (Smeru, 2021)

(4)

Secara etimologi, social entrepreneurship terdiri dari dua kata, yaitu social dan entrepreneurship. Social berarti kemasyarakatan, dan entrepreneurship adalah kewirausahaan. Secara literal, maka social entrepreneurship berarti kewirausahaan sosial.

Jika dijabarkan lebih lanjut, social entrepreneurship berarti wirausaha yang dikembangkan untuk bisa memberikan dampak positif terhadap kondisi sosial suatu masyarakat. Sementara, social entrepreneur berarti seseorang yang memiliki pengetahuan akan masalah sosial yang terjadi di masyarakat, dan menggunakan kemampuan entrepreneurshipnya untuk melakukan perubahan sosial (social change), terutama meliputi bidang kesejahteraan (welfare), pendidikan, dan kesehatan (healthcare) (Cukier, et. al.,2011).

Istilah social entrepreneurship sendiri pertama kali didengungkan pada tahun 1972 oleh penemunya, Bill Drayton (Ashoka, 2020). Drayton percaya bahwa social entrepreneurship merupakan solusi dari banyak persoalan ekonomi global yang tidak memerlukan keterlibatan lembaga ekonomi besar, bantuan pemerintah, maupun donor modal. konsep yang diusung Drayton adalah bahwa social entrepreneurship dapat dilaksanakan oleh rakyat akar rumput secara bersama-sama menggunakan pendekatan wirausaha untuk menjawab permasalahan sosial. Prinsip yang menyatakan bahwa social entrepreneurship dapat dilakukan oleh rakyat bawah dan tidak memerlukan keterlibatan lembaga besar dalam pelaksanaannya berarti bahwa bagian masyarakat yang manapun dengan kondisi bagaimanapun sejatinya bisa menjalankan social entrepreneurship.

Akan tetapi, bukanlah hal mudah untuk bisa meyakinkan rakyat akar rumput bahwa mereka bisa memperbaiki permasalahan sosial yang mereka hadapi menggunakan social entrepreneurship. Untuk dapat benar-benar mengejawantahkan social entrepreneurship di tengah masyarakat, khususnya rakyat akar rumput sebagaimana visi Drayton, maka diperlukan adanya (1) individu yang memiliki jiwa wirausaha dan kreatif, dan (2) inovasi di bidang sosial yang dapat menjadi solusi bagi permasalahan yang terjadi di mayarakat.

Jiika diperhatikan dari pengertian secara bahasa dan konsep yang dibangun oleh Drayton, maka social entrepreneurship dibentuk bukan sekedar untuk menghasilkan keuntungan bagi pelakunya, tetapi bagaimana kewirausahaan tersebut berdampak positif dan mampu menjadi solusi bagi permasalahan sosial di masyarakat. Mereka yang menjadi social entrepreneur harus memiliki kemampuan untuk berpikir out of the box dan berani menghadapi tantangan (Santosa, 2007).

Salah satu contoh social entrepreneur yang berhasil memberikan dampak signifikan tidak hanya terhadap masyarakat di sekitarnya, tetapi juga kepada dunia adalah pendiri Grameen Bank, Muhammad Yunus. Melalui Grameen Bank yang diinisiasinya, Yunus memenangkan Nobel Perdamaian pada tahun 2006 karena ia berhasil memberikan kontribusi signifikan terhadap pembangunan sosial ekonomi di Bangladesh, yang kemudian diadopsi oleh banyak negara.

(5)

Prinsip Grameen Bank adalah memberikan pinjaman kecil kepada rakyat miskin dan sangat miskin berdasarkan rasa saling percaya, akuntabilitas, partisipasi, dan kreativitas. Grameen Bank melihat bahwa salah satu cara yang efektif untuk membebaskan rakyat dari jerat kemiskinan adalah dengan pemberian pinjaman modal lunak tanpa agunan. Melalui prorgam ini, Grameen Bank tidak hanya memberikan pinjaman lunak, tetapi juga berusaha menggali potensi individu yang diberi pinjaman sehingga mereka memiliki kesempatan untuk berwirausaha menggunakan keahlian yang mereka miliki. Dengan begitu, pinjaman yang diberikan dapat digunakan untuk berwirausaha, sehingga rakyat dapat terbebas dari jerat kemiskinan dan dapat meningkatkan kualitas hidup mereka menjadi lebih baik.

C. TEKNIK DAN MODEL PENGEMBANGAN PROGRAM BERBASIS SOCIAL ENTREPRENENURSHIP

Pada dunia bisnis, atau entrepreneurship, terdapat dua model keterlibatan perusahaan dengan dunia sosial, yaitu Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab perusahaan terhadap sosial masyarakat, dan Creating Shared Value (CSV) atau keterlibatan perusahaan dalam meningkatkan nilai masyarakat yang dapat menyelesaikan permasalahan sosial di masyarakat tersebut. CSR berbentuk pemberian bantuan atau donor bagi kebutuhan masyarakat, seperti pembangunan taman kota, kampanye sosial, penggunaan bahan ramah lingkungan, penyediaan fasilitas kesehatan, dan sebagainya. Sementara CSV adalah pemberian bantuan bagi usaha masyarakat dalam rangka meningkatkan nilai usaha masyarakat tersebut yang kemudian berdampak positif pada perusahaan pemberi CSV itu sendiri.

Jika dilihat dari segi biaya yang dikeluarkan, maka CSR lebih cenderung berbentuk amal (charity), sementara CSV adalah bentuk penanaman modal kepada usaha masyarakat kecil dan menengah yang pada siklusnya akan memberikan keuntungan bagi perusahaan pemberi

(6)

CSV itu sendiri. Pelaksanaan CSV sejatinya ikut berkontribusi terhadap implementasi SDGs di mana perusahaan tidak hanya berusaha memperoleh untung tetapi juga berkontribusi pada perbaikan kondisi masyarakat (Hoek, 2020).

Jika CSV dilakukan oleh perusahaan - perusahaan besar dalam rangka memperoleh keuntungan melalui pemberdayaan usaha masyarakat dan sekaligus mampu menyelesaikan permasalahan sosial, maka usaha masyarakat yang diberdayakan tersebut adalah social entrepreneurship. Menurut Grassl (2012), terdapat 9 (sembilan) model social entrepreneurship, yaitu the entrepreneur support model, the market intermediary model, the employment model, the fee-for-service model, the low-income client model, the cooperative model, the market linkage model, the service subsidization model, dan the organizational support model.

1. The Entrepreneur Support Model

Model ini bertujuan untuk memberikan dukungan terhadap pelaku usaha kecil dan menengah dalam bentuk pelatihan, pinjaman kredit kecil, konsultasi, maupun dukungan teknis. Model ini sebagaimana yang dilakukan oleh Muhammad Yunus melalui Grameen Bank sebagaimana dijelaskan sebelumnya.

2. The Market Intermediary Model

Model ini berkonsentrasi pada upaya dukungan kepada pelaku usaha di bidang pemasaran (marketing), baik dalam bentuk konsultasi strategi pemasaran atau membantu menjual produk yang dihasilkan pelaku usaha. TOPLA merupakan social entrepreneurship yang

Gambar 3. Perbandingan Prinsip CSR dan CSV (Porter & Kramer, 2011)

(7)

didirikan oleh Save the Children bersama dengan lembaga non profit di Haiti lainnya untuk membantu perempuan produsen makanan menjual produknya. Tidak hanya membantu dalam penjualan produk, TOPLA juga membantu memberikan nilai tambah bagi produksi perempuan-perempuan Haiti tersebut dengan memberikan pelatihan terkait peningkatan kualitas produk, produktivitas dan standar produk, dan peralatan produksi (4lenses.org, 2021).

3. The Employment Model

Melalui model ini, pengusaha memberikan anggota masyarakat pelatihan dan kesempatan untuk bekerja di perusahaannya. Keuntungan yang diperoleh dari mempekerjakan anggota masyarakat yang telah dilatih tersebut digunakan untuk membiayai pelatihan berikutnya.

salah satu perusahaan yang mengadopsi model ini adalah Microsoft ketika Paul G. Allen, co- founder Microsoft, pada tahun 2017 memberikan uang sebesar lima puluh juta dollar kepada University of Washington untuk mendirikan Paul G. Allen School of Computer Science &

Engineering. Upaya ini dilakukan bukan semata-mata agar lebih banyak anggota masyarakat yang memiliki kesempatan untuk bisa mempelajari ilmu komputer di universitas, tetapi juga agar di masa depan Microsoft bisa mendapatkan sumber daya manusia yang handal dari kampus-kampus yang mereka dirikan.

4. The Fee-for-Service Model

Model yang meminta bayaran atas layanan sosial yang diberikan, misalnya rumah sakit, sekolah, museum, dan sebagainya. Bagaimana mungkin seseorang yang berada di dalam jerat kemiskinan dapat membebaskan diri dengan membayar untuk layanan yang ia butuhkan untuk keluar dari jeratan tersebut? Sejumlah negara di dunia yang menyadari bahwa pendidikan tinggi adalah salah satu kunci untuk dapat membebaskan seseorang dari kemiskinnan memberikan program yang dapat diakses oleh mahasiswa miskin untuk tetap bisa melanjutkan pendidikan tinggi, dalam bentuk pinjaman pendidikan.

Seperti yang dilakukan The Marashi Institute di Afrika Selatan (changecreator.com, 2021).

Marashi Institute menyadari bahwa mengandalkan donor bagi pendidikan tidak akan baik untuk jangka panjang, maka mereka meminta mahasiswa miskin untuk tetap membayar biaya kuliah dengan jumlah yang lebih terjangkau dan dapat dijadikan pinjaman yang bisa dibayarkan nantinya setelah mereka berpenghasilan. Tetapi tentu pendidikan saja tidaklah cukup. Dunia kerja membutuhkan pengalaman atas ilmu yang telah dipelajari di kampus- kampus, maka Marashi membangun usaha kecil yang dapat dikelola oleh mahasiswa- mahasiswa tersebut. Ribuan mahasiswa yang dibantu Marashi tidak hanya memperoleh pengalaman dari usaha yang mereka jalani tetapi juga pemasukan tambahan.

5. The Low-Income Client Model

Model ini juga berupa layanan langsung berbayar yang disediakan bagi anggota masyarakat yang memiliki pendapatan rendah, misalnya rumah sakit atau layanan kesehatan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dari segi kesehatan, pendidikan, dan kesempatan. Pada model ini mungkin saja dilakukan program subsidi silang sehingga

(8)

masyarakat dengan ekonomi rendah tetap dapat mengakses layanan dengan biaya yang dapat mereka jangkau. Seperti yang dilakukan Scojo Foundation di India (4lenses.org, 2021) yang memberikan pelayanan di bidang kesehatan mata. Awalnya Scojo memberikan donasi kaca mata baca gratis kepada warga miskin di India, hingga kemudian mereka menyadari bahwa cara tersebut tidak dapat dilakukan secara jangka panjang. Akhirnya mereka berinovasi dengan membuat dua target layanan yaitu masyarakat dengan sosial ekonomi menengah ke atas dan masyarakat dengan sosial ekonomi rendah dan miskin.

6. The Cooperative Model

Model ini merupakan model yang paling dikenal dan paling sering digunakan di dunia.

Biasanya berbentuk organisasi dengan anggota yang membayar iuran rutin untuk kegiatan atau hal yang mereka sepakati bersama, contohnya koperasi simpan pinjam dan koperasi karyawan. Pada banyak wilayah di Indonesia, ada juga yang berbentuk koperasi yang berfungsi untuk mempermudah pekerjaan warga, misalnya Koperasi Unit Desa (KUD). KUD biasanya bertugas membantu petani/nelayan untuk membeli bahan baku dalam jumlah besar dan/atau menjual hasil panen, sehingga petani/nelayan tidak lagi bergantung pada tengkulak dan bisa terbebas dari pinjaman dengan bunga besar.

7. The Market Linkage Model

Model ini menghubungkan pelaku usaha dengan pasar usahanya, tetapi tidak melalui pemasaran langsung melainkan menjadi mitra penghubung. Biasanya model ini menyediakan layanan riset data dan informasi pasar serta produk kepada pelaku usaha. banyak pelaku usaha kecil dan menengah yang tidak memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi pasar yang mereka tuju dan produk apa yang cocok untuk pasar tersebut, model ini membantu pelaku usaha kecil menengah untuk menentukan hal-hal tersebut, sekaligus menghubungkan pelaku usaha dengan pembeli. Dalam skala kecil, proses yang dilakukan aplikasi ojek online (seperti Gojek) sedikit banyaknya mengadopsi model ini (Utami, et. al., 2020).

8. The Service Subsidization Model

Model ini biasanya mendanai program sosialnya dengan menjual produk atau layanan kepada masyarakat umum. Di dalam usaha yang mereka jalani, terdapat program sosial yang mereka lakukan, dan pembiayaannya dibebankan kepada keuntunggan dari perusahaan mereka.

Misalnya firma hukum yang menjual jasa kepada masyarakat mungkin saja memiliki program sosial untuk memberikan layanan hukum gratis kepada masyarakat miskin dengan pembiayaan yang berasal dari keuntungan mereka memberikan layanan hukum kepada masyarakat mampu. Atau seperti yang dilakukan oleh Blake Mycoskie, founder dari TOMS, merek sepatu asal Amerika, yang mendonasikan satu pasang sepatu kepada orang miskin untuk setiap pasang yang terjual (changecreator.com, 2021).

9. The Organizational Support Model

Seperti halnya service subsidization model, model ini juga menjual produk atau layanan yang keuntungannya digunakan untuk membiayai program sosial. Biasanya program sosial

(9)

tersebut berada di bawah organisasi non-profit yang didirikan pengusaha tersebut dan terpisah dari usaha utama yang mereka jalani.

Dari sembilan model yang telah dijabarkan di atas, salah satunya bisa jadi akan sesuai dengan proyek yang akan dibangun dan dikembangkan oleh Pejuang Muda. Tetapi tidak menutup kemungkinan adanya model-model lain yang dikemukakan oleh berbagai sumber yang mungkin untuk diterapkan. Penting untuk terlebih dahulu mengenali kondisi sosial ekonomi masyarakat yang akan terlibat, termasuk apa kebutuhan dan potensi mereka. Dengan begitu, Pejuang Muda akan lebih mudah untuk menentukan model apa yang akan digunakan, stakeholder yang akan dilibatkan sesuai dengan pendekatan Pentahelix (yang akan dijelaskan pada bagian berikutnya), serta proyek apa yang akan dilakukan.

D. SUSTAINABILITY PROGRAM: PENDEKATAN PENTAHELIX

Pentahelix yang terdiri dari unsur Akademisi, Bisnis, Pemerintah, Komunitas, dan Media (Academicians, Business, Government, Community, and Medias (ABGCM)) berawal dari teori Triple Helix yang mendorong inovasi di bidang ekonomi dan ilmu pengetahuan (Etzkowitz &

Leydesdorff, 1997). Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan riset, peneliti menyarankan penggunaan teori PentaHelix dalam inovasi untuk menghasilkan akhir yang lebih baik. Dalam konteks pelaksanaan social entrepreneurship pada program Pejuang Muda akan digunakan pendekatan pentahelix yang akan melibatkan akademisi, bisnis, pemerintah, komunitas, dan media dalam memastikan keberlanjutan program.

Menurut Halibas, et. al. (2017), akademisi pada implementasi inovasi di bidang social entrepreneurship akan menjadi pendorong dan penyemangat yang memastikan perumusan gagasan dan pelaksanaannya berjalan secara baik. Dalam konteks ini, akademisi akan melakukan pendampingan tidak hanya kepada Pejuang Muda, tetapi juga kepada masyarakat yang akan menerima program untuk memastikan program dapat terlaksana sesuai dengan petunjuk yang telah disusun. Berbagai konsep, teori, serta hasil penelitian akan disuguhkan oleh para akademisi untuk dijadikan acuan bagi para Pejuang Muda. Selain itu, bersama pejuang muda, akademisi akan mempersiapkan kisi-kisi terkait rencana yang akan disusun untuk membangun social entrepreneurship di tengah masyarakat, termasuk melakukan evaluasi dan penelitian lebih lanjut terkait keberhasilan program dan kegagalan yang perlu diperbaiki.

Bisnis akan menjadi bagian besar yang dilibatkan dalam program ini. Setelah pejuang muda menentukan model social entrepreneurship yang akan digunakan, maka mereka baru akan bisa menentukan pengusaha atau sektor swasta mana yang akan dilibatkan. Keterlibatan bisnis dalam program ini bukan hanya sebagai pihak yang akan menjadi salah satu subjek dalam social entrepreneurship, tetapi juga akan memberikan pendampingan terkait pelaksanaan usaha dan berbagai hal yang terkait di dalamnya secara praktis sesuai dengan masing-masing model. Untuk menjaga program ini berkelanjutan, maka pejuang muda harus

(10)

dapat memastikan bahwa program social entrepreneurship ini dapat memberikan keuntungan bagi bisnis yang digandeng, sehingga mereka juga tidak merasa dirugikan atas keterlibatannya dalam program ini.

Peran pemerintah selain sebagai fasilitator pelaksanaan program social entrepreneurship ini, juga sebagai pengendali. Dalam artian, pemerintah yang memiliki tanggung jawab untuk membuat aturan, tata laksana, tata kerja, garis besar pelaksanaan program, serta hal-hal teknis seperti pembiayaan, preizinan, inovasi publik, dan sebagainya. Tetapi juga, pemerintah berperan sebagai penghubung antara empat komponen lainnya, yaitu akademisi, bisnis, komunitas, dan media sehingga keberlangsungan program dapat terjaga.

Sebuah program yang akan dilaksanakan untuk menjawab permasalahan sosial tidak mungkin berjalan tanpa keterlibatan komunitas. Selain mereka sebagai orang-orang yang berpengelaman di bidang yang akan dijalani, komunitas juga akan menjadi partner kerja yang dapat mempercepat proses pelaksanaan program. Komunitas memiliki kapasitas di bidang yang mereka geluti, dan sudah banyak memahami persoalan yang terjadi serta bisa jadi telah berkali-kali mencoba berbagai solusi. Pengalaman berharga yang mereka miliki dapat menjadi acuan bagi pejuang muda berdampingan dengan teori dan konsep yang diberikan oleh akademisi. Selain itu, komunitas yang sudah banyak terjun di masyarakat akan dapat membantu pendekatan dengan masyarakat yang akan melaksanakan program ini.

Unsur terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah unsur media. Media akan menjadi corong bagi pelaksanaan program ini. Mereka akan membantu dalam hal promosi dan publikasi tidak hanya bagi program social entrepreneurship, tetapi juga bagi hasil produksi masyarakat yang terlibat. Media dapat membantu menyiarkan keberhasilan program sekaligus membentuk brand image dari program pejuang muda maupun social entrepreneurship yang dilaksanakan.

Masyarakat luas dapat mengikuti secara langsung perkembangan program ini melalui media.

Dan tentu saja membuka kesempatan bagi mereka yang ingin terlibat, baik yang ingin menjadi pejuang muda sebagai pelaksana, maupun dari komunitas dan bisnis sehingga keberlanjutan program dapat tercapai.

Kelima unsur di atas masing-masing memiliki peranan penting yang saling berkaitan.

Kesempatan untuk terjun ke masyarakat dan mengembangkan proyek dengan pendekatan Pentahelix akan memberikan peluang bagi Pejuang Muda untuk memiliki pengalaman langsung menjalin jejaring dan kerja sama dengan berbagai pihak. Pejuang Muda akan dituntut untuk mampu berkomunikasi secara tepat dan sesuai dengan audiens yang dihadapi.

Oleh karena proyek ini adalah proyek kelompok, maka Pejuang Muda juga akan bersama- sama berbagi peran dan menyelaraskan diri, dan bersikap profesional dan bertanggung jawab.

E. PENUTUP

(11)

Social Entrepreneurship merupakan salah satu materi yang akan diberikan kepada para Pejuang Muda yang berhasil lolos seleksi administratif dan kualitatif. Materi ini diberikan agar para Pejuang Muda dapat terjun ke masyarakat salah satunya sebagai pahlawan ekonomi maupun pendorong terbentuknya pahlawan ekonomi lainnya di masyarakat.

Pejuang Muda sebagai gugus tugas yang dibentuk oleh Kementerian Sosial bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan memperoleh pengalaman langsung di lapangan dalam rangka menjadi solusi bagi permasalahan sosial di masyarakat. Dan materi ini akan menjadi salah satu acuan yang akan mereka gunakan.

Bertambahnya tingkat kemiskinan sebagai dampak dari pandemi COVID-19 menuntut Indonesia untuk bisa mencari solusi yang efektif dan efisien untuk menanggulanginya. Maka diluncurkannya program Pejuang Muda diharapkan tidak hanya menjadi opsi solusi, tetapi juga membentuk Pejuang Muda yang tahan banting dalam menghadapi permasalahan sosial masyarakat sekaligus memiliki kesadaran sosial yang tinggi. Diharapkan ketika Pejuang Muda menyelesaikan proyek ini dan kembali ke masyarakat, mereka akan mampu melihat permasalahan sosial yang ada dan merumuskan solusi yang mungkin dilakukan, sebagaimana pengalaman yang mereka peroleh selama mengikuti program Pejuang Muda ini.

F. EVALUASI FORMATIF

Kembangkan proyek social entrepreneneurship sesuai dengan bidang program yang dipilih.

G. REFERENSI

4lenses. (2021). Fundamental Models. https://www.4lenses.org.

Ashoka. (2020, Agustus 3). Bill Drayton: Visionary Social Impact Leader, Social Entrepreneur.

https://www.ashoka.org.

Cukier, W., Susan, T., Carl, D., Gekas, G. (2011). Social Entrepreneurship: A Content Analysis.

Journal of Strategic Innovation and Sustainability, 7 (1).

Etzkowitz, H., & Leydesdorff, L. (1997). A Triple Helix of University – Industry – Government Relations. Universities and the Global Knowledge Economy.

Force, A.G. (2021). 9 Business Model Examples For Social Enterprises.

https://www.changecreator.com

Grassl, W. (2012). SBusiness Models of Social Enterprise: A Design Approach to Hybridity.

ACRN Journal of Entrepreneurship Perspectives, 1 (1), 37-60.

Surabaya, H.K. (n.d.). PAHLAWAN EKONOMI & PEJUANG MUDA. Retrieved June 23, 2020, from https://organisasi.surabaya.go.id/home/file/pelayanan publik/ masuk web/pahlawan ekonomi & pejuang muda.pdf

Halibas, A. S., Sibayan, R. O., Lyn, R., & Maata, R. (2017). The Penta Helix Model of Innovation in Oman: An HEI Perspective, (May). Interdisciplinary Journal of Information, Knowledge, and Management, 12, 159–174.

(12)

Hoek, M. (2020). CSR v CSV: The Difference and Why It Matters.

https://www.sustainablebrands.com.

Porter, M. E., Kramer, M. R. (2011). Creating Shared Value: How to Reinvent Capitalism and Unleash A Wave of Innovation and Growth. Harvard Business Review.

The Smeru Research Institute. (2021, July 26). Situasi Kemiskinan Selama Pandemi.

https://smeru.or.id.

B. Utami, R. T., Saleh, S. F., Anisah, H. U., Izzah, N., Putri, S. M. S. S., Situmorang, S. C. D.

U., Andriyani, W., Rusnali, A. N. A., Tumimomor, A. D. M., Nugrowardhani, R. L. K. R., Wicaksono, G. (2021). New Normal Era: Dalam Berbagai Aspek Kehidupan (1st ed.). Zahir Publishing.

Gambar

Gambar 1. Tingkat Kemiskinan Nasional di Indonesia September 2014 - Maret 2021 (% populasi) (Smeru, 2021)
Gambar 2. Jumlah Orang Miskin Indonesia September 2014 - Maret 2021 (Juta Jiwa) (Smeru, 2021)
Gambar 3. Perbandingan Prinsip CSR dan CSV (Porter & Kramer, 2011)

Referensi

Dokumen terkait

Program Peningkatan Pemahaman, Penghayatan, Pengamalan, dan Pengembangan Nilai-nilai Keagamaan Kegiatan-kegiatan pokok RKP 2006: Dalam rangka pelaksanaan program ini

Dari hasil perhitungan dengan program geoslope/w didapatkan bentuk bidang longsor pada lereng dengan kemiringan 68 o , yang kemudian titik koordinat dari..

Menurut Kristanto (2010) prinsip dasar dari soaking surfaktan ini adalah menginjeksikan sejumlah tertentu chemical ke dalam reservoir dengan anggapan minyak yang

Kostrada, dan Kostratani dengan instansi teknis pertanian lingkup pemerintahan kabupaten atau kota dan unsur Penyuluh Pertanian pendamping dari BPTP dalam

mempunyai ide untuk menjalin kerja sama dengan Travel Agent untuk lebih menigkatkan kunjungan tamu ke Café mereka. d) Serta dari pihak desa Kedonganan juga sangat

PENERAPAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING (PBL) DALAM PEMBELAJARAN MENULIS PUISI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu..

[r]

Secara singkat, faktor yang dapat menjadi daya tarik pusat kota bagi masyarakat untuk memilih tinggal di pusat kota tersebut yang dapat menyebabkan permukiman tumbuh