MODEL PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
TENAGA RELAWAN PADA ORGANISASI
PELAYANAN SOSIAL
Santoso T. Raharjo
MANAJEMEN
MANAJEMEN RELAWAN
MODEL PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
TENAGA RELAWAN PADA ORGANISASI
PELAYANAN SOSIAL
SANTOSO T. RAHARJO
ISBN: 978-602-0810-37-9
Judul Buku:
MANAJEMEN RELAWAN
MODEL PENDIDIKAN DAN PELTIHAN TENAGA RELAWAN
PADA ORGANISASI PELAYANAN SOSIAL
@
Santoso T Raharjo
Jl. Raya Bandung – Sumedang km 21 Sumedang
Tlp. (022) 843 88812
Website: lppm.unpad.ac.id
Email: lppm.unpad.ac.id
Bandung 45363
1 Jilid, A5: 14,8 x 21 cm; 243 hlm,
ISBN:
ISBN: 978-602-0810-37-9
9 7 8 - 6 0 2 - 0 8 1 0
PENGANTAR
Buku ini merupakan hasil karya Tesis penulis yang berjudul “Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Relawan dalam Organisasi Sosial, Studi Kasus pada Mitra Citra Remaja (MCR)-Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Jawa Barat, saat menyelesaikan pendidikan Magister Ilmu Kesejahteraan Sosial, Program Pasca Sarjana FISIP Universitas Indonesia. Penulis memandang bahwa persoalan kerelawanan masih sangat relevan saat ini, ditengah situasi mulai memudarnya nilai-nilai kesetiakawanan sosial yang merupakan landasan dari kerelawanan.
Perkembangan organisasi pelayanan sosial dalam masyarakat Indonesia, tidak terlepas dari sifat kesukarelaan anggota masyarakat untuk membantu sesama. Sifat ‘gotong royong’, ‘gugur gunung’, ‘rawe-rawe rantas’ dan nama-nama lain yang berbeda-beda di setiap daerah merupakan wujud dari kepedulian dari sebagian warga masyarakat untuk membantu warga masyarakat lainnya yang mengalami kesusahan. Merekalah yang kemudian dikenal sebagai volunteers (relawan) yang secara sukarela menyumbangkan tenaga, pemikiran dan materinya tanpa mempertimbangkan imbalan. Dalam perkembangan selanjutnya, permasalahan sosial makin beragam, sehingga membutuhkan keahlian dan mekanisme penanganan yang lebih terorganisir.
v
Pendidikan dan pelatihan relawan merupakan salah satu upaya pengembangan sumber daya relawan sebagai bagian dari manajemen sumber daya manusia perlu dikaji dan dikembangkan dalam upaya efektivitas pelayanan sosial. Hal yang mendasari secara akademis perlunya kajian ini adalah untuk memperkaya telaah mengenai kerelawanan dan khususnya memperoleh pemahaman secara mendalam mengenai proses pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengembangan sumber daya relawan melalui pendidikan dan pelatihan relawan di Mitra Citra Remaja (MCR) PKBI Jawa Barat. Kemudian secara khusus pula ingin mengetahui mengenai Informasi dan motivasi relawan masuk ke MCR-PKBI, jenis pelatihan, tujuan, fasilitator, metode, waktu, sarana dan prasarana pendidikan dan pelatihan, dan manfaat pendidikan dan pelatihan relawan dalam kegiatan pelayanan di Mitra Citra Remaja Bandung.
Penelitian ini menggunakan tipe penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif dengan mewawancarai 9 (sembilan) orang tenaga relawan dan 6 (enam) orang staf MCR-PKBI Jawa Barat yang diperoleh secara purpossive. Hasil penelitian menunjukkan bahwa informasi teman merupakan informasi pertama sekaligus menjadi daya tarik utama mereka aktif di MCR-PKBI Jawa Barat. Berbagai motivasi lain yang mendorong mereka aktif di lembaga ini adalah mengisi waktu luang, mencari pengalaman, memperoleh keterampilan dan pengetahuan baru, serta teman-teman baru.
Pendidikan dan pelatihan relawan di MCR-PKBI Jawa Barat dilaksanakan berdasarkan pola-pola tertentu yang sudah ada dan dilaksanakan secara berkala. Namun dalam pelaksanaan di lapangan telah dilakukan beberapa modifikasi sesuai dengan kebutuhan dan potensi di lembaga MCR-PKBI Jawa Barat itu sendiri. Jenis pelatihan di MCR dilakukan secara berjenjang, yaitu pelatihan dasar, pelatihan lanjutan, pengayaan di masing-masing divisi dan pelatihan khusus. Tujuan utama dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan adalah meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan peserta untuk dapat berperan sebagai peer educator dan konselor dalam kesehatan reproduksi remaja.
penyampaian materinya dan bisa humor. Failitator yang mampu melihat suasana dan mampu menghangatkan suasana pelatihan sehingga peserta tidak bosan. Para fasilitator pelatihan berasal dari dalam yaitu dari MCR PKBI yang kompeten dalam penyampaian materi tertentu. Sedangkan fasilitator yang berasal dari luar adalah mereka yang dikenal dan diketahui ahli dalam bidangnya, baik dari perguruan tinggi atau LSM lain.
Metode dan teknik yang dipergunakan dalam pendidikan dan pelatihan di MCR-PKBI Jawa Barat, antara lain ceramah, diskusi dan tanya jawab (CTJ), juga memanfaatkan permainan peran (role play) dan permainan-permainan (games), simulasi, bahas kasus serta teknik-teknik
ice breaking untuk mencairkan suasana. Ketepatan dalam menggunakan
berbagai teknik dalam pelatihan juga terkait dengan kamampuan fasilitator dalam menyampaikan materinya.
Waktu penyelenggaraan pelatihan relawan paling tidak satu tahun sekali untuk pelatihan dasar, sedangkan pelatihan lainnya disesuaikan dengan kebutuhan. Sarana dan prasarana pelatihan sebagian besar telah disediakan oleh pihak MCR PKBI sendiri. Untuk mengetahui respon peserta terhadap pelatihan dipergunakan pre-tes dan pos-tes; sedangkan evaluasi menyeluruh mengenai penyelenggaraan pelatihan itu sendiri belum dilakukan.
Rekemondasi berkaitan dengan penyelenggaraan pelatihan di MCR-PKBI Jawa Barat antara lain pencatatan proses penyelenggaraan pelatihan perlu dikembangkan sehingga dapat terlihat efektivitas pelatihan. Perlu kiranya mengadakan pelatihan untuk pelatih (training for trainer) untuk meningkatkan kualitas pelatihan dan serta tersedianya sejumlah pelatih yang berasal MCR-PKBI itu sendiri.
Relawan MCR-PKBI Jawa Barat, walaupun telah memperoleh pendidikan dan pelatihan, kemudian diikat dengan kontrak dan peluang jenjang karier untuk menjadi staf, namun tetap saja tingkat ‘turn-over’-nya tinggi. Sehingga diperlukan perhatian khusus berkaitan dengan upaya pmeliharaan dan pengembangan relawan yang sudah terlatih dengan cara yang lain, misalkan dengan mengembangkan kegiatan kegiatan yang bersifat penguatan keeratan hubungan antar staf dan relawan.
vii
yang dengan kesabaran dan ketulusan hati ‘mengiringi’ penyusunan karya ini. Sudah sepatutnya rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis haturkan kepada Bapak/Ibu :
1. Yth. Dra. Fitriyah, M.Si., selaku pembimbing yang dengan penerimaan, kesabaran, keterbukaan dan kecermatannya selalu mendorong serta membimbing penulis hingga terselesaikannya Tesis ini.
2. Yth. Isbandi Rukminto Adi, Phd. Ketua Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyusun dan menyelesaikan Tesis ini.
3. Yth. Bapak / Ibu Staf Pengajar di lingkungan Program Pasca Sarjana Sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, khususnya di Jurusan Ilmu kesejahteraan Sosial.
4. Rekan-rekan mahasiswa Program Pasca Sarjana Jurusan ilmu kesejahteraan sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, terima kasih atas kebersamaan dan persabatan yang terjalin.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga untuk kolega-kolega di Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP Universitas Padjadjaran; atas dukungan, ‘sindiran’, dan bantuannya untuk terus selalu mengingatkan penulis agar segera menyelesaikan karya tulis ini.
Penulis menyadari sepenuhnya akan keterbatasan melekat pada diri sehingga melahirkan setumpuk kekurangan pada karya kecil ini. Oleh karena itu saran dan kritik untuk perbaikan dan penyempurnaan karya ini akan penulis terima dengan tangan terbuka.
Penulis mempersembahkan karya kecil ini kepada lembaga tempat penulis berkiprah dan mendasari pijakan melangkah di Departemen Kesejahteraan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, serta untuk para pembaca yang menekuni bidang ilmu Kesejahteraan Sosial --- semoga bermanfaat.
Jatinangor, Agustus 2015
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……… iii
ABSTRAK ..……… v
DAFTAR ISI ……… viii
DAFTAR TABEL ……… x
DAFTAR BAGAN ………... xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Pokok Permasaahan ... 11
C. Tujuan ... 12
D. Manfaat... 12
E. Metode Penelitian... 14
F. Sistematika Penulisan... 24
BAB II PROSES PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TENAGA RELAWAN PADA ORGANISASI SOSIAL A. Organisasi Sosial ……… 27
A.1. Pengertian Organisasi Sosial ……… 27
A.2. Relawan ……… 40
B. Pengertian Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan Relawan … 48 C. Tahap-Tahap Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Manusia 58 D. Metode dan Teknik Pelatihan dan Pengembangan Sumber Daya Mnusia ……… 76
D.1. Pengertian Metode dan Teknik ……… 76
D.2. Jenis Metode dan Teknik ………... 78
D.3. Penentuan Jenis-jenis Metode dan Teknik ……… 90
D.4. Penggunaan Teknik Pembelajaran ……… 94
BAB III GAMBARAN UMUM MITRA CITRA REMAJA (MCR)- PERKUMPULAN KELUARGA BERENCANA INDONESIA (PKBI) PROPINSI JAWA BARAT A. Latar Belakang Lembaga ……… 104
B. Visi dan Misi MCR-PKBI Jabar ……… 107
C. Strategi dan Tujuan MCR-PKBI Jabar ……… 109
D. Program Utama dan Bidang Pelayanan Remaja MCR-PKBI Jabar 112 E. Pembagian Kerja di MCR-PKBI Jabar ……… 117
ix
BAB IV PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TENAGA RELAWAN DI MITRA CITRA REMAJA (MCR) PERKUMPULAN KELUARGA BERENCANA
INDONESIA (PKBI) PROPINSI JAWA BARAT 132
A. Proses Pendidikan dan Pelatihan Tenaga relawan di Mitra Citra Remaja (MCR) Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI)
Propinsi Jawa Barat………. 132
A.1. Informasi Pertama Mengenai MCR-PKBI ……… 132
A.2. Jenis Pendidikan dan Pelatihan yang diselenggarakan MCR-PKBI Jawa Barat ……….. 136
A.3. Tujuan Pendidikan dan Pelatihan Relawan ……… 144
A.4. Fasilitator Pendidikan dan Pelatihan ……… 147
A.5. Metode Pendidikan dan Pelatihan Relawan……… 151
A.6. Waktu Pendidikan dan Pelatihan Relawan ……… 157
A.7. Sarana-Prasarana Pendidikan dan Pelatihan ……… 163
A.8. Evaluasi Pendidikan dan Pelatihan Relawan ……… 166
B. Manfaat Pendidikan dan Pelatihan ……….. 170
BAB V PROSES PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TENAGA RELAWAN ... 187
A. Proses Pendidikan dan Pelatihan Tenaga relawan di Mitra Citra Remaja (MCR) Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Propinsi Jawa Barat………. 189
B. Manfaat Pendidikan dan Pelatihan ……… 201
BAB Vi KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan ……… 210
B. Rekomendasi ……… 221
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Jumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Jawa Barat … 2 Tabel 1.2 Jumlah Tenaga Relawan Berdasarkan angka ‘turn over’ 10 Tabel 1.3 Informan Penelitian dan Data yang Dibutuhkan ………. 21 Tabel 2.1 Matrik Tipologi Organisasi Pelayanan Manusia ……… 34 Tabel 2.2 Model-model Pelatihan ……… 80 Tabel 2.3 Keunggulan dan Kelemahan Program Latihan Menurut Lokasi 88 Tabel 2.4 Matrik Proses Pendidikan dan Pelatihan ……….. 101 Tabel 5.1 Ringkasan Hasil Penelitian dan Pembahasan Pendidikan
Dan Pelatihan Tenaga Relawan MCR-PKBI Propinsi Jabar 205
xi
DAFTAR BAGAN
Bagan 1.1 Model Analisis Interaktif ……… 23
Bagan 2.1. Langkah Pendahuluan dalam Persiapan Program Latihan Dan Pengembangan ……… 59
Bagan 2.2. Langkah Kegiatan Model Pelatihan Partisipatif ……….. 65
Bagan 2.3. Modul Program Latihan ……… 70
Bagan 2.4. Teknik-teknik Latihan dan Pengembangan ……….. 87
Bagan 3.1. Struktur Organisasi MCR-PKBI Jawa Barat sebelum Juni 2001 ……. 115
Bagan 3.2. Struktur Organisasi MCR-PKBI Jawa Barat sejak Juni 2001 ……. 116
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fenomena munculnya berbagai jenis pelayanan sosial yang
diselenggarakan oleh berbagai lembaga pelayanan sosial
menunjukkan kecenderungan bergesernya sejumlah aktifitas
pelayanan sosial yang secara tradisional diselenggarakan oleh
keluarga besar (extended family) ke masyarakat (mekanisme pasar).
Kondisi ini nampak pada meningkatnya pendirian organisasi-organisasi
sosial yang menyelenggarakan berbagai pelayanan sosial kepada
masyarakat. Pergeseran tersebut menimbulkan efek ganda (multiflying
effect) terhadap tuntutan profesionalitas penyelenggaraan pelayanan
oleh badan-badan sosial (human services organizations).
Perkembangan organisasi pelayanan sosial dalam masyarakat
Indonesia, tidak terlepas dari sifat kesukarelaan anggota masyarakat
untuk membantu sesama. Sifat ‘gotong royong’, ‘gugur gunung’,
‘rawe-rawe rantas’ dan nama-nama lain yang berbeda-beda di setiap daerah
merupakan wujud dari kepedulian dari sebagian warga masyarakat
untuk membantu warga masyarakat lainnya yang mengalami
kesusahan. Merekalah yang kemudian dikenal sebagai volunteers yang
secara sukarela menyumbangkan tenaga, pemikiran dan materinya
2
permasalahan sosial makin beragam, sehingga membutuhkan keahlian
dan mekanisme penanganan yang lebih terorganisir.
Peningkatan jumlah organisasi sosial yang menyediakan
berbagai pelayanan sosial tersebut cukup menggembirakan. Hal ini
menunjukkan tingginya tingkat kepedulian masyarakat dalam
mengupayakan pelayanan sosial bagi warga masyarakat yang
mengalami masalah dan memerlukan bantuan. Jumlah dan
perkembangan organisasi swadaya masyarakat dapat dilihat pada
tabel 1 berikut:
Tabel 1.1 Jumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Jawa Barat
Tahun Jumlah Perubahan
1995 742 ----
1996 840 98
1997 1517 677
1998 1061 456
1999 1174 113
2000 1256 82
Sumber: Dinas Sosial Propinsi Jawa Barat
Namun situasi kondusif terhadap pertumbuhan dan perkembangan
organisasi-organisasi sosial yang bergerak dalam usaha kesejahteraan
sosial tersebut pada sisi lain memunculkan persoalan lain yaitu masih
minimnya kemampuan keorganisasian dan manajerial yang merupakan
keahlian dan keterampilan yang dibutuhkan dalam menyelenggarakan
kegiatan pelayanan sosial. Kemampuan/keterampilan manajerial dan
masalah penting yang dihadapi oleh sejumlah organisasi sosial
tersebut. Sebagaimana dikemukakan oleh Hasanah dan Herawati
(1997: 119) bahwa:
Data yang ada menunjukkan peningkatan jumlah organisasi sosial yang cukup berarti, yakni dari 4.083 buah (1993/1994) menjadi 5.874 buah (SIOS Ditjen Bina Bantuan Sosial). Namun demikian pertambahan ini belum tentu diimbangi dengan peningkatan kualitas, khususnya yang menyangkut pengelolaan organisasi.
Sebagian besar dari organisasi sosial tersebut dikelola secara
tradisional, dalam arti bahwa secara struktur serta
penyelenggaraannya masih bercirikan tradisional yang didominasi dan
dikelola secara ‘kekeluargaan’ dengan dorongan ‘altruistik’. Kondisi
budaya tradisional yang nampak tidak hanya pada struktur dan
pengelolaannya saja, namun juga masih tertanam secara mentalitet
yang kemudian muncul ke dalam perilaku kesehariannya.
Pelayanan sosial yang sebagian orang menyebutnya dengan
usaha-usaha kesejahteraan sosial merupakan perwujudan
konsep-konsep kesejahteraan sosial dalam memberikan bantuan kepada
masyarakat. Kahn, dalam Soetarso (1981:23) dan Wibhawa (1997:67),
mendefinisikan pelayanan sosial sebagai berikut:
4
perorangan untuk melaksanakan fungsi-fungsinya, guna memperlancar kemampuan menjangkau dan menggunakan pelayanan-pelayanan serta lembaga-lembaga masyarakat yang mengalami kesulitan dan keterlantaran.
Para pengurus organisasi penyelenggara pelayanan sosial
umumnya adalah orang-orang yang dalam mengabdikan dirinya atas
dorongan kesukarelaan saja dan belum ditunjang kemampuan
manajerial. Sementara itu organisasi pelayanan sosial dihadapkan
pada berbagai perubahan sosial disekitarnya yang makin kompleks
dan beragam masalah sosial yang harus tidak ditangani dengan hanya
berbekal ‘kesukarelaan’ semata, walaupun sampai pada tingkat
tertentu kesukarelaan tersebut amat penting.
Kemampuan dan keahlian manajemen organisasi pelayanan
tersebut akan menunjang efektifitas pelayanan sosial yang diberikan
kepada para ‘pelanggannya’. Sebagaimana dinyatakan oleh Jones dan
May (1992:20), sebagai berikut:
The final set of reasons for social workers and welfare workers to develops skills in organizational analysis and practice concern their personal needs as workers. If workers are to be effective in organization, they need to understand and be able to deal with personal stress frequently experienced in organizational life.
pekerja dapat efektif di organisasi, mereka perlu memahami dan mampu berhadapan dengan tekanan personal yang seringkali dialaminya dalam kehidupan berorganisasi.
Dari definisi di atas nampaknya akan sulit bagi seorang
pengelola organisasi pelayanan sosial dan termasuk organisasinya
untuk mengembangkan karier tenaga relawan dalam organisasi
pelayanan sosial jika mereka sendiri tidak dapat mengembangkan
keterampilan, baik dalam kemampuan analisis maupun keterampilan
praktek sesuai dengan bentuk dan jenis pelayanan sosial yang
diberikan kepada kliennya.
Berbicara mengenai sumber daya manusia dalam organisasi
pelayanan manusia akan terkait dengan tiga komponen yaitu terdiri dari
dewan direksi (board management), staf pelaksana dan para relawan
(volunteers). Ketiga komponen sumber daya manusia tersebut bekerja
bersama dengan memanfaatkan sumber-sumber yang ada dalam
menyelenggarakan pelayanan sosial.
Salah satu dari keberhasilan yang diperoleh dewan dan stafnya
yaitu adanya komitmen terhadap suatu proses untuk mengevaluasi
permasalahan dan mengembangkan pemecahan masalah secara
sistematis untuk berbuat yang lebih baik lagi; serta dengan melibatkan
para relawan dalam kegiatan pelayanan.
Relawan sosial sebagai salah salah satu ujung tombak kegiatan
pelayanan sosial menjadi penting untuk diperhatikan, khususnya
6
kegiatan pelayanan. Mengenai definisi kerelawanan, IPPF
(International Planned Parenthood Federation), suatu organisasi
internasional yang bergerak di bidang keluarga berencana
mendefinisikan relawan (volunteer) sebagai orang yang rela
memberikan waktu dan kemampuannya untuk kesejahteraan kelompok
atau masyarakat tanpa imbalan materi (Munajat, 1996:3)
Upaya pengembangan sumberdaya relawan melalui pendidikan
dan pelatihan dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas dan efektifitas
pelayanan. Sebagaimana dinyatakan oleh, Weinbach (1994:111)
bahwa para relawan biasanya tidak profesional dan mungkin juga
secara nilai-nilai dan etik tidak seperti tenaga profesional. Oleh karena
itu dalam mengelola tenaga relawan diperlukan perhatian cukup dalam
menyeleksi, melatih dan memelihara keberadaan dari para relawan
tersebut; yang kesemuanya terkait dengan manajemen relawan.
Apabila dikaitkan dengan keberadaan relawan dalam organisasi
sosial, Dunn dalam ‘Encyclopedia of Social Work, Volunteer
Management’ (1995: 2483-2490) melihat bahwa para relawan harus
dilatih; disupervisi; dicatat; dievaluasi; dan dibimbing, ketika
kegiatannya tidak efektif. Berjalannya orientasi dan pelatihan
merupakan landasan untuk mempertahankan para relawan secara
efektif. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan bagian dari
pengembangan sumber daya relawan dalam rangka meningkatkan
Jika diperhatikan, pada akhirnya berbagai kegiatan pelayanan
sosial, peranan para relawan dalam kegiatan-kegiatan tertentu begitu
penting. Beberapa alasan yang dapat dikemukakan berkenaan dengan
posisi peran para relawan dalam organisasi pelayan sosial antara lain,
bahwa para relawanlah yang merupakan ujung tombak kegiatan dan
yang paling sering melakukan interaksi sosial dengan memberikan
pelayanan kepada klien atau para pengguna manfaat jasa pelayanan
sosial tersebut. Selain itu para relawanlah yang menjadi pelaksana
operasional kegiatan-kegiatan di lapangan; merekalah sebenarnya
pemberi pelayanan yang berada di garis depan dari suatu organisasi
pelayanan sosial.
Skidmore (1995: 223) menyatakan bahwa para administrator
pekerjaan sosial yang berkompeten mengakui bahwa para relawan
merupakan sumber penting. Pergerakan para relawan telah menjadi
momentum, dan tersedianya pelayanan kesejahteraan sosial dan
pelayanan-pelayanan dalam berbagai seting kegiatan.
Di samping banyaknya manfaat yang diperoleh dari kehadiran
relawan pada suatu organisasi pelayanan manusia, terdapat pula
beberapa hal yang semestinya diwaspadai oleh para manajer atau staf
yang membawahi para relawan. Beberapa hal tersebut, bahwa pada
umumnya para relawan sulit dikendalikan daripada staf tetap (yang
dibayar), dan terkadang mereka tidak memiliki kebutuhan secara
ekonomis atas pekerjaan yang dia lakukan dalam suatu organisasi,
sehingga ketika ia merasa tidak nyaman atau tidak betah dia akan
8
Selanjutnya besarnya jumlah relawan yang terlibat dalam
hampir seluruh kegiatan yang diselenggarakan oleh badan pelayanan
sosial tidak dapat dibiarkan tanpa dikelola dan kembangkan dengan
nyata. Pihak orgnisasi perlu membangun pola atau sistem
pengembangan sumber daya relawan yang dapat menunjang efisiensi
dan efektifitas pelayanan yang dilakukan.
Kajian mengenai relawan (volunteers) dalam bidang
manajemen pelayanan sosial masih sangat minim khususnya di
Indonesia. Manajemen relawan sebagai bagian dari manajemen
pengembangan sumber daya manusia dalam upaya efektifitas
pelayanan sosial merupakan salah satu pengetahuan yang perlu
dikuasai oleh para pekerja sosial secara akademis, dengan melihat
berbagai sudut pandang teori dan asumsi tertentu mengenai
kerelawanan ini. Dengan demikian kajian terhadap bidang ini begitu
mendesak untuk dilakukan khususnya dalam ilmu kesejahteraan sosial.
Hal yang mendasari secara akademis perlunya kajian ini adalah untuk
memperkaya telaah mengenai kerelawanan dan khususnya
memperoleh pemahaman secara mendalam mengenai sistem
pengembangan sumber daya relawan melalui pendidikan dan pelatihan
yang diselenggarakan badan pelayanan sosial tersebut.
Mitra Citra Remaja (MCR) merupakan salah satu badan
pelayanan sosial yang didirikan oleh Perkumpulan Keluarga Berencana
Indonesia (PKBI) yang bergerak dalam bidang kesehatan reproduksi
pelayanan kesehatan reproduksi remaja dengan kegiatan sebagai
berikut:
1. Menyediakan informasi yang lengkap kepada remaja mengenai
bagaimana mereka dapat mengenal diri mereka sendiri dan
mencegah kehamilan yang tidak diinginkan (KTD), HIV dan
AIDS.
2. Mendampingi ibu remaja yang menghadapi resiko tinggi (diatas
rata-rata) terhadap kematian ibu.
3. Mempertimbangkan bahwa tingginya angka kehamilan remaja,
menjadi ibu muda atau aborsi merefleksikan rendahnya
kesempatan mendapatkan pendidikan dan tingkat ekonomi.
4. Memberikan pendidikan kepada remaja laki-laki untuk berbagi
tanggung jawab dalam hal seksualitas dan reproduksi
Sebagian besar kegiatan pelayanan di MCR tersebut dilakukan
oleh para relawan yang rata-rata berjumlah 40 orang, sedangkan staf
MCR hanya berjumlah 9 orang. Dengan demikian mayoritas sumber
daya manusia di MCR adalah para relawan. Oleh karena itu sumber
daya relawan yang berkualitas diperlukan dalam rangka mewujudkan
kegiatan-kegiatan tersebut. Namun begitu tingkat turn over (keluar
masuk) tenaga relawan di MCR-PKBI cukup tinggi. Sehingga setiap
tahunnya jumlah tenaga relawan di lembaga tersebut selalu mengalami
10
Tabel 1.2 Jumlah Tenaga Relawan berdasarkan Angka ‘turn over’
(keluar-masuk)
Keterangan Jumlah Relawan Per-Tahun
1999 2000 2001 2002
Masuk 25 21 18 16
Keluar 16 12 9 18
Tahun
sebelumnya 15 24 33 42
Jumlah 24 33 42 40
Sumber: MCR-PKBI Propinsi Jawa Barat
Dengan beragamnya latar belakang pendidikan para relawan,
yang umumnya para mahasiswa, dan sebagian lagi lulusan SLTA dan
telah lulus dari perguruan tinggi; maka tuntutan dilakukannya kegiatan
pendidikan dan pelatihan bagi para relawan menjadi penting. Selain itu
melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan diharapkan akan
meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan relawan untuk
dapat berperan sebagai peer educator dan konselor dalam kesehatan
reproduksi remaja.
Selanjutnya suatu rancangan pelatihan dan pengembangan
relawan organisasi sosial perlu diterapkan pada setiap tahap proses
perencanaan keorganisasian. Pelatihan relawan ini diperlukan dalam
rangka menjembatani atau menghilangkan perbedaan-perbedaan
antara apa yang relawan pahami mengenai suatu tugas, harapannya
sendiri terhadap bagaimana mereka melakukan tugas tersebut, dan
yang efektif bagi relawan dikembangkan ketika kebutuhan akan tugas
dan pekerjaan telah teridentifikasi dengan jelas, serta kebutuhan
organisasi dan relawan telah diketahui dan dibawa ke dalam
pengembangan program pelatihan.
B. Pokok Permasalahan:
Dalam latar belakang telah diungkapkan bahwa yang
mendasari perlunya kegiatan pendidikan dan pelatihan di MCR-PKBI
Propinsi Jawa Barat, antara lain adalah beragamnya latar belakang
relawan, baik jenis pendidikan maupun tingkat pendidikan mereka atau
pun pengalaman aktifitas organisasi para relawan; yang kedua adalah
tingginya tingkat ‘turn over’ (keluar-masuk) relawan setiap tahunnya;
dan yang ketiga adalah agar tercapai pemahaman dan persepsi yang
sama dari para relawan terhadap tugas dan tanggung jawab mereka di
MCR-PKBI Jawa Barat.
Masalah utama yang menjadi fokus dalam kajian ini adalah
bagaimana proses pendidikan dan pelatihan relawan di Mitra Citra
Remaja (MCR) PKBI Jawa Barat, serta manfaat yang diperoleh dari
kegiatan tersebut. Dari pokok persoalan tersebut kemudian diuraikan
dalam identifikasi pertanyaan sebagai berikut:
B.1. Bagaimana proses pendidikan dan pelatihan tenaga relawan di
Mitra Citra Remaja (MCR)-PKBI Propinsi Jawa Barat?
B.2. Apa manfaat yang diperoleh dari pendidikan dan pelatihan tenaga
12
C. Tujuan
1) Mengetahui dan mempelajari proses pendidikan dan pelatihan relawan yang dilaksanakan di Mitra Citra Remaja (MCR) PKBI Jawa Barat.
2) Mengetahui dan mempelajari manfaat yang diperoleh dari
pendidikan dan pelatihan dalam kegiatan pelayanan di Mitra
Citra Remaja Bandung.
D. Manfaat
D.1. Manfaat Teoritis
1) Pengembangan keilmuan, yaitu pada bidang ilmu
kesejahteraan sosial, khususnya berkenaan dengan
pelayanan sosial yang diselenggarakan oleh badan-badan
pelayanan sosial.
2) Pengembangan keilmuan manajemen, khususnya berkaitan
dengan manajemen sumber daya manusia yang ada pada
organisasi pelayanan sosial, yang secara khusus lagi
ditujukan pada pengembangan sumber daya relawan
melalui pendidikan dan pelatihan tenaga relawan sebagai
salah satu komponen sumber daya manusia yang terdapat
3) Merangsang penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan
bidang kesejahteraan sosial dan manajemen relawan, agar
diperoleh pemahaman terhadap persoalan manajemen
relawan secara menyeluruh dan saling menyempurnakan.
D.2. Manfaat Praktis
1) Bagi para penyelenggara pelayanan sosial, khusus
badan-badan pelayanan sosial yang membutuhkan tenaga relawan
dalam penyelenggaraan kegiatan pelayanannya; kiranya
kajian mengenai kerelawanan akan membantu dan
membuka wawasan para pengurus untuk memberdayakan
sumber daya yang amat potensial ini dengan baik untuk
kelancaran pelayanannya. Dengan mengetahui dan
mempelajari proses perekrutan tenaga relawan dalam suatu
organisasi pelayanan sosial, maka para praktisi akan
merencanakan dengan baik kebutuhan relawan dan jenis
kegiatan yang akan melibatkan para tenaga relawan
dengan baik.
2) Bagi pelayanan sosial itu sendiri diharapkan dengan
berkualitasnya tenaga akan makin memperlancar proses
pelayanan sehingga akan memuaskan para penerima
bantuan atau pengguna manfaat pelayanan (beneficiaries)
14
3) Para anggota dewan direksi atau dewan penyantun dan
pengurus badan pelayanan sosial, setelah melihat dan
memahami bahwa peran relawan begitu penting dalam
penyelenggaraan pelayanan sosial, kiranya akan makin
menambah penghargaan dan pengakuan mereka terhadap
para relawan.
4) Para pengurus organisasi pelayanan sosial dan para
pemerhati badan pelayanan sosial dapat mengembangkan
berbagai bentuk pendidikan dan pelatihan yang diperlukan
bagi para relawan, berkaitan dengan efektifitas dan efisiensi
pelayanan yang dilakukan oleh para relawan kepada para
pengguna jasa pelayanan organisasi tersebut.
E. Metode Penelitian
E.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
a. Lokasi kegiatan penelitian adalah di Kantor Mitra Citra Remaja
(MCR) Jl. Haruman No. 17 dan Jl. Sekelimus no 40 Bandung,
serta Kantor Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia
(PKBI) Daerah Jawa Barat. Mitra Citra Remaja (MCR)
merupakan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang
bergerak dalam kegiatan pelayanan sosial remaja yang berada
dibawah koordinasi Perkumpulan Keluarga Berencana
b. Penelitian ini dilaksanakan selama 6 (enam) bulan yaitu dari
Januari 2000 – Juni 2000.
E.2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif, karena
penelitian ini memfokuskan pada penggambaran jalannya proses
pendidikan dan pelatihan tenaga relawan yang dilakukan oleh Mitra
Citra Remaja (MCR). Menurut Irawan (2000;60), penelitian deskriptif
adalah penelitian yang bertujuan mendeskripsikan atau menjelaskan
sesuatu hal seperti apa adanya. Dalam penelitian digambarkan
bagaimana pelaksanaan pendidikan dan pelatihan tenaga relawan
yang dilakukan oleh MCR.
Menurut Babbie ( 1995; 85-86 ) penelitian deskriptif bertujuan
untuk menggambarkan gejala atau situasi sosial agar memperoleh
gambaran yang lebih akurat dari pengamatan yang dilakukan. Secara
lengkap Babbie menguraikan sebagai berikut:
“A major purpose of many social scientific studies is to describe situation and events. The researcher observes and then describes what was observed. Because scientific observation is careful and deliberate, however, scientific description are typically more accurate and precise than casual descriptives.”
16
bagaimanapun juga penguraian yang ilmiah akan lebih tepat dan akurat daripada penguraian yang dilakukan secara sepintas dan tidak sengaja)
Sedangkan Neuman (1997;19-20),mengatakan
“Descriptive research presents a picture of the scientific details a situation, social setting, or relationship. Much of sound research found in scholarly journals or used for making policy decisions is descriptive”
(Penelitian deskriptif menyajikan suatu gambaran ilmiah dari suatu keadaan, latar belakang sosial ataupun hubungan antar sesuatu secara terperinsi. Penelitian sosial yang banyak ditemukan pada jurnal-jurnal pendidikan atau digunakan untuk menyusun suatu kebijakan adalah menggunakan metode deskriptif)
E.3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif, karena pendekatan ini dipandang lebih relevan digunakan dalam mengamati gejala-gejala sosial dalam suatu organisasi sosial.
Kirk dan Miller (1986;9) dalam Moleong (2001;3) menegaskan bahwa
penelitian kualitatif sebagai tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan
sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan
terhadap manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan
dengan orang-orang tersebut dalam bahasa dan peristilahannya.
Dalam penelitian kualitatif, fokus penelitian sangat erat
dijadikan sebagai acuan dalam menentukan fokus penelitian. Sehingga
fokus penelitian dapat berkembang sesuai dengan perkembangan
masalah penelitian di lapangan. Hal ini sesuai dengan sifat pendekatan
penelitian kualitatif yang lentur, dalam penelitian ini segalanya
ditentukan dari hasil akhir pengumpulan data yang mencerminkan
keadaan sebenarnya di lapangan dan penelitian ini dituntut lebih
banyak turun ke lapangan. Wawancara dengan sejumlah informan di
MCR-PKBI diperlukan dan dilakukan berkali-kali untuk memperoleh
gambaran seutuhnya mengenai pendidikan dan pelatihan. Dengan sifat
dan tujuan yang dicapai dalam penelitian ini, maka tepatlah kiranya
pendekatan penelitian kualitatif dipergunakan dalam proses
pengumpulan dan pengolahan data.
E.4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam penelitian ini,
maka dipergunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
a. Studi Kepustakaan
Suatu proses mengumpulkan data melalui telaah kepustakaan
atau dokumentasi (library research). Studi kepustakaan ini
bertujuan untuk mempelajari atau memahami dasar pemikiran,
pendapat, pandangan pakar dan teori-teori yang relevan dengan
18
b. Studi Lapangan
Merupakan upaya pngumpulkan data yang berasal dari informasi
baik secara lisan maupun tulisan dari sumber-sumber di
lapangan. Teknik pengumpulan data ini dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Wawancara mendalam (in-depth interview); wawancara
mendalam dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
bertanya langsung kepada informan dengan tujuan untuk
memperoleh respon dan pendapat mengenai masalah yang
diteliti. Kemudian jawaban-jawaban dari informan tersebut
dikembangkan lebih lanjut selama dan setelah wawancara
berlangsung. Sehingga proses wawancara kepada informan
dapat dilakukan berkali-kali. Alat yang digunakan dalam
wawancara mendalam adalah pedoman wawancara.
2. Pengamatan-Langsung (observasi), yaitu mengamati secara
langsung kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Mitra Citra
Remaja dan para relawan dalam melaksanakan kegiatan
pendidikan dan pelatihan. Alat yang digunakan dalam
pedoman observasi.
3. Dokumentasi, kajian dokumentasi dilakukan untuk
memperoleh data yang berhubungan dengan pendidikan dan
pelatihan tenaga relawan. Kajian ini dilakukan dengan
mempelajari sumber-sumber tertulis seperti buku-buku,
dengan materi penelitian. Alat penelitian yang digunakan
dalam dokumentasi ini adalah tape recorder (alat rekam).
E.5. Teknik Pemilihan Informan
Teknik pemilihan informan dalam penelitian ini adalah secara
purpossive sampling, yakni secara sengaja dipilih peneliti berdasarkan
pemikiran yang logis dan sesuai dengan informasi yang dicari dalam
tujuan penelitian ini. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh
Alston dan Bowles (1998;92) sebagai berikut:
“This sampling technique allows us to select the sample for
our study for purpose. We may have prior knowledge that
indicate that a particular group is important to our study or
we select those subjects whom fell are ‘typical’ examples of
the issue we wish to study”
(Teknik sampling ini akan menuntun kita untuk memilih
sampel sesuai dengan tujuan penelitian. Kita sebelumnya
mungkin memiliki pengetahuan untuk mengidentifikasikan
kelompok mana yang penting untuk penelitian atau kita
memilih subjek-subjek yang kita anggap lebih tepat
digunakan untuk penelitian).
Setiap informan yang dipilih akan memiliki unsur-unsur yang
20
pendidikan dan pelatihan bagi tenaga relawan. Informan terdiri dari
para pengurus MCR dan relawan MCR. Adapun informasi-informasi
yang akan diperoleh dari beberapa informan dalam penelitian ini
adalah informasi yang berkaitan dengan permasalahan. Adapun
informan penelitian ini dibagi menjadi dua kelompok yaitu:
- Staf MCR yang menjadi informan dan yang dimaksud dalam penelitian ini Senior Coordinator seorang, dan para koordinator dari
tiga divisi yang ada yaitu 4 orang. Dengan demikian jumlah
seluruhnya adalah 6 (enam) orang dengan nama samaran/alias
masing-masing, secara rinci sebagai berikut :
1) 1 orang senior coordinator MCR-PKBI, : Winda
2) 1 orang staf finance and secretary : Sinta
3) 1 orang staf/koordinator divisi IEC : Rita
4) 2 orang staf/koordinator divisi Youth clinic : Nindi , Afi
5) 1 orang staf/koordinator divisi Pengembangan : Fandi
- Relawan yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah para relawan yang telah mengikuti pelatihan dasar menjadi relawan di
MCR dari setiap divisi yang memiliki relawan yaitu divisi IEC dan
divisi youth clinic yang berjumlah 9 (sembilan) orang dengan rincian
sebagai berikut (nama samaran):
1) 5 orang dari divisi IEC : Rizwan, Eky, Lani, Rais,
Dian
2) 4 orang dari divisi youth clinic : Tania, Alya, Koko, Luki
Keseluruhan informan yang diwawancarai dalam penelitian ini
berhubungan dengan kegiatan pendidikan dan pelatihan tenaga
relawan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1.3 Informan Penelitian dan Data yang Dibutuhkan
Jenis Data yang Dikumpulkan Informan Jumlah
Latar belakang diadakan pelatihan Jenis pelatihan
Proses penyelenggaraan pelatihan
Pengurus /
staf MCR
6 orang
Proses penyelenggaraan pelatihan Manfaat pelatihan
Respon pendidikan dan pelatihan
Relawan 9 orang
E.6. Pengolahan dan Analisa Data
Dalam analisa data dikaitkan dengan pendekatan kualitatif
menggunakan model interaktif seperti yang dikemukakan oleh Miles
dan Huberman (1992; 15-21), menyatakan bahwa model analisa ini
terdiri dari tiga komponen analisis , yaitu:
a. reduksi data
b. sajian data, dan
c. penarikan kesimpulan
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan
perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data
kasar yang muncul dari catatan tertulis lapangan. Informasi yang
diperoleh dari lapangan baik berupa hasil wawancara dan pengamatan
22
perlu dan kemudian diorganisasi sedemikian rupa sehingga akhirnya
dapat ditarik kesimpulan dan diverifikasi secara sederhana dan dapat
dijelaskan. Reduksi data dilakukan untuk menyederhanakan data
kualitatif dan mentransformasikannya dengan berbagai cara seperti
seleksi yang ketat melalui penulisan skrip wawancara lengkap,
penggolongan dan kategorisasi hasil wawancara sesuai kategori dan
jenis informasi, kemudian meringkas wawancara dalam tabel ringkasan
wawancara.
Penyajian data merupakan alur penting yang kedua dari
kegiatan analisis. Dalam penelitian ini pembatasan “penyajian data”
dilakukan pada kumpulan informasi temuan yang memberi
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan atau pengambilan
tindakan. Kegiatan analisis ketiga adalah menarik kesimpulan/
verifikasi, yaitu menarik simpul-simpul penting temuan lapangan.
Dalam proses pengumpulan data, reduksi data sudah dilakukan dan sajian data sampai penyusunan kesimpulan. Artinya berdasarkan data yang ada pada field note (catatan lapangan) maka
disusun pemahaman arti dan segala peristiwa melalui reduksi data,
diikuti penyusunan data dalam bentuk cerita sistematis sesuai dengan
informasi mengenai proses pendidikan dan pelatihan di Mitra Citra
Remaja (MCR)-PKBI Jawa Barat. Reduksi data dan penyusunan sajian data setelah diperoleh unit data berakhir, kemudian ditarik kesimpulan dengan berusaha melakukan verifikasi berdasarkan field
maka harus mencari kelengkapan data tersebut di lapangan secara
khusus.
Pada bagan 1.1. digambarkan secara interaktif pada tiga
komponen utama analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini. Hal
sesuai dengan gambaran dari Miles dan Huberman (1992; 26)
Bagan 1.1
Model Analisis Interaktif
Pengumpulan data: Observasi, Wawancara, studi
dikumentasi
Reduksi data: Pembuatan skrip
wawancara, penyederhanaan, penggolongan, dan
kategorisasi Penarikan
Kesimpulan / verifikasi berdasarkan data
temuan Penyajian data:
temuan-temuan hasil penyeder-hanaan, penggo-longan dan kate-gorisasi dan
ringkasan.
24
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan tesis ini terdiri dari enam bab, yaitu:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini merupakan gambaran tentang latar belakang
permasalahan, perumusan masalah penelitian, tujuan penelitian
dan manfaat penelitian, metode penelitian yang meliputi: jenis
penelitian, pendekatan penelitian, teknik pengumpulan data, teknik
pemilihan informan, pengolahan data dan analisis data serta
sistematika penulisan.
BAB II PROSES PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TENAGA RELAWAN
Bab ini menguraikan mengenai pendidikan dan pelatihan pada
relawan yang diselenggarakan oleh organisasi sosial dalam
beberapa kajian, pertama: organisasi sosial dan relawan; kedua:
pengertian pengembangan, pendidikan dan pelatihan sumber
daya manusia; dan ketiga: metode dan teknik pelatihan dan
pengembangan sumber daya manusia yang dibagi menjadi lima,
yaitu pengertian metode dan teknik, jenis-jenis metode dan teknik,
penentuan jenis-jenis metode dan teknik, tahap-tahap pendidikan
BAB III GAMBARAM UMUM MITRA CITRA REMAJA (MCR) –
PERKUMPULAN KELUARGA BERENCANA
INDONESIA (PKBI) PROPINSI JAWA BARAT
Bab ini berisi gambaran umum mengenai Mitra Citra Remaja
(MCR). Pada bagian ini dipaparkan mengenai secara menyeluruh
tentang MCR, yaitu gambaran umum lembaga, visi, misi, strategi,
tujuan, program utama, bidang pelayanan, pembagian kerja, dan
jenis pendidikan dan pelatihan di MCR-PKBI Jawa Barat.
BAB IV PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TENAGA RELAWAN DI MITRA CITRA REMAJA (MCR) – PERKUMPULAN KELUARGA BERENCANA INDONESIA (PKBI) PROPINSI JAWA BARAT
Bab ini berisikan deskripsi hasil temuan penelitian berupa data
dan informasi yang dikumpulkan dan proses observasi,
wawancara dan studi dokumentasi serta literatur. Data dan
informasi tersebut telah direduksi dan diorganisasi berdasarkan
tujuan dan permasalahan yang ingin dianalisis dalam penelitian,
serta beberapa informasi baru yang merupakan hasil
26
BAB V PEMBAHASAN
Bagian ini membahas secara teoritis tentang temuan hasil
penelitian, yaitu pertama, mengenai latar belakang relawan yang
dibagi lagi tentang informasi dan motivasi relawan; kedua tentang
pendidikan dan pelatihan relawan yang dibagi lagi, yakni jenis
pendidikan dan pelatihan, tujuan pendidikan dan pelatihan,
fasilitator pendidikan dan pelatihan, metode pendidikan dan
pelatihan, waktu pendidikan dan pelatihan, sarana dan prasarana
pendidikan dan pelatihan, dan evaluasi pendidikan dan pelatihan.
Ketiga: manfaat pendidikan dan pelatihan terhadap kegiatan
pelayanan.
BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Bab ini berisi kesimpulan dan rekomendasi, yaitu berupa
simpulan-simpulan yang diangkat dari hasil penelitian dan
pembahasannya, dan saran-saran yang dapat direkomendasikan
berdasarkan temuan-temuan lapangan.
BAB II
PROSES PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TENAGA RELAWAN PADA ORGANISASI SOSIAL
A. Organisasi Sosial
A.1. Pengertian Organisasi Sosial
Organisasi (baca organisasi sosial) menurut Parsons adalah
unit sosial (atau pengelompokkan manusia) yang sengaja dibentuk dan
dibentuk kembali dengan penuh pertimbangan dalam rangka mencapai
tujuan (Etzioni; 1985:3). Tentunya batasan ini masih umum untuk
menjelaskan organisasi sosial atau organisasi pelayanan manusia.
Sedangkan Donovan dan Jackson (1991:8) secara lebih rinci
mengemukakan batas organsasi yang nampaknya lebih interdisipliner,
bahwa:
‘…that organisations are composed of individuals and groups (Who) come together in order to achieve certain goals and objective (Why). They do this by means of differentiated functions that are intended to be rationally co-ordinated and directed (How) through time on a continuous basis (When). For them, the What of an organisation is implied by the ‘who’, ‘why’, ‘how’, and ‘when’.
28
organisasi lakukan dengan ‘siapa’, ‘mengapa’, ‘bagaimana’, dan ‘kapan’.
Berdasarkan kedua definisi diatas, maka organisasi merupakan unit
sosial yang dibangun untuk melakukan sesuatu dengan fungsi dan
posisi berbeda, dan disengaja, sadar, rasional, upaya terencana untuk
mengkoordinasikan dan mengarahkan aktivitas sehingga melalui
seperangkat kegiatan dan hubungan yang teratur menghasilkan
sesuatu.
Selanjutnya Donovan dan Jackson (1991:7) mengemukakan
definisi mengenai organisasi pelayanan manusia, yaitu “A human
service organisation is defined as one in which the prime product is a
service that is designed to optimise the welfare of the client”. Artinya
organisasi pelayanan manusia didefinisikan sebagai sesuatu yang
produk utamanya adalah pelayanan yang dirancang untuk mencapai
kesejahteraan klien. Batasan organisasi pelayanan manusia tersebut
berkaitan dengan penentuan pengetahuan apa mengenai manajemen
efektif dari organisasi lain yang dapat diterapkan dengan tipe
organisasi pelayanan sosial ini.
Brown dan Korten (1991:49-50) mengkategorikan organisasi
pelayanan manusia dalam sektor ketiga. Ciri khas dari organisasi ini
adalah sifat kerelawanannya yang kental, dimana istilah “voluntary”
menunjuk pada tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pelaku dengan
bebas atau secara sukarela, tanpa paksaan. Nilai-nilai inilah yang
mendorong mereka untuk memobilisasi kontribusi secara sukarela
nilai-nilainya tersebut. Mereka juga menyatakan bahwa “dari seluruh energi
pembangunan yang hampir terabaikan adalah energi kerelawanan
dalam suatu organisasi”. Terdapat karakteristik khusus yang dimiliki
oleh energi kerelawanan tersebut sebagimana yang mereka
kemukakan, yaitu: pertama, bahwa energi kerelawanan adalah murah,
paling tidak secara keuangan dan politik, dan ada dengan kuantitas
potensi yang luas. Kedua, energi kerelawanan tersebut tidak mudah
dikendalikan oleh mekanisme yang digunakan untuk mengontrol
bentuk energi sosial lainnya. Lebih jauh lagi, sulit jika dikatakan tidak
mungkin untuk membelinya dan menyimpannya. Dan yang ketiga
bahwa energi kerelawanan adalah sesuatu energi yang mungkin dapat
meningkatkan kekuatan energinya sendiri (self-reinforcing). Kekuatan
energi inilah yang diantaranya tersalurkan melalui mekanisme tertentu
dalam organisasi sosial atau organisasi pelayanan manusia. Dari
pendapat tersebut dapat dilihat bahwa energi kerelawanan merupakan
potensi yang besar dan murah, sehingga amat potensial untuk
dikembangkan dan diberdayakan. Namun begitu, jumlah relawan yang
besar dan murah, mereka sulit dikendalikan. Energi kerelawanan ini
biasanya ada dan tersalurkan melalui organisasi sosial atau organisasi
pelayanan sosial.
Dengan melekatkan energi kerelawanan pada organisasi sosial
maka adalah penting untuk memahami organisasi sosial bagi
pekerjaan sosial dan upaya kesejahteraan sebagaimana proposisi dari
Jones dan May (1992:10), bahwa hampir semua pakerja sosial
30
bahwa para pekerja sosial dan organsisasi sama-sama saling
membutuhkan; sifat upaya pekerjaan sosial dan kesejahteraan akan
ditentukan secara signifikan oleh organisasi; para pekerja sosial dan
kesejahteraan memiliki kapasitas untuk menentukan dan
mempengaruhi organisasi; para pekerja dipahami sebagai anggota
organisasi oleh lainnya dalam organisasi, termasuk pengguna jasa;
dan organisasi merupakan lokasi strategis untuk berpartisipasi dalam
proses pembaruan dan perubahan.
Mengenai sifat pekerjaan Jones dan May (1992:10)
menyatakan bahwa pekerjaan sosial dan kesejahteraan adalah
berorganisasi sebagaimana juga sebagai pekerjaan profesional.
Dengan demikian lahan pekerjaan maka organisasi sosial juga
merupakan lahan tersendiri yang perlu dipelajari dan dilatihkan secara
khusus pula.
Selanjutnya kedua penulis menyatakan tujuan bahwa pekerjaan
sosial dan kesejahteraan berupaya memecahkan masalah dan
meningkatkan kapasitas individual, keluarga dan masyarakat, serta
menghubungkan sumber-sumber, pelayanan dan peluang-peluang. Hal
ini akan berimplikasi pada tiga hal (Jones & May; 1992:10), yaitu:
1. The nature of direct practice is shaped by the organizational
context (sifat praktik langsung ditentukan dalam konteks keorganisasian)
2. Direct consumer work involves extensive dealing with
organizations. (upaya penanganan langsung pengguna
3. The complexities of care and control roles have to be negitiated in organizational settings. (kompleksitas peran pemeliharaan dan kendali harus dinegosiasikan dalam setting organisasi)
Lain halnya dengan tujuan pekerjaan sosial dan kesejahteraan untuk
mendukung efektifitas pelaksanaan sistem pelayanan,
mengembangkan dan memperbaiki kebijakan sosial, serta mendukung
perubahan dan pembangunan sosial. Hal tersebut akan berimplikasi
pada; 1) Pemahaman organisasi dibutuhkan bagi para pekerja sosial
yang berperan dalam kebijakan, perencanaan, administrasi dan aksi
sosial, dan 2) Para pekerja sosial garis depan (front-line workers)
membutuhkan keterampilan-keterampilan untuk terlibat dalam proses
politik dalam organisasi. (Jones & May; 1992:10).
Organisasi akan ditentukan oleh kehidupan masyarakatnya,
dan secara khusus memiliki kelebihan dalam kehidupan orang-orang
yang tidak beruntung atau yang memerlukan bantuan. Implikasinya
menurut Jones dan May (1992:10-11) adalah 1) Suatu tugas khusus
bagi para pekerja untuk mendukung tanggungjawab organisasi
terhadap kebutuhan konsumen, dan 2) para pekerja seharusnya
memandang perannya untuk bekerja di organisasi didasarkan pada
prinsip-prinsip cakupan keadilan sosial, persamaan, hak-hak azasi, dan
partisipasi.
Jenis organisasi pelayanan manusia itu sendiri dapat
dikategorikan berdasarkan kegiatan (bidang lingkup garapan), jenis
32
teknologi yang dipergunakan dalam mengolah “raw material” oleh
badan pelayanan sosial. Jika berdasarkan wilayah tentunya ada
organisasi pelayanan manusia tingkat daerah, organisasi pelayanan
manusia tingkat nasional dan organisasi tingkat internasional.
Selanjutnya berdasarkan jenis lingkup dan bidang garapan pelayanan
dari organisasi sosial, Friedlander (1980:5-10) mengemukakan
beberapa jenis pelayanan sosial yang diusahakan melalui organisasi
sosial yaitu:
1. Bantuan sosial (public assistance);
2. Asuransi sosial (social insurance);
3. Pelayanan kesejahteraan keluarga (family welfare services);
4. Pelayanan kesejahteraan anak (Child welfare services);
5. Pelayanan kesehatan dan pengobatan (Health and medical
services);
6. Pelayanan kesejahteraan jiwa (Mental hygiene services);
7. Pelayanan koreksional (Correctional services);
8. Pelayanan kesejahteraan pemuda pengisian waktu luang (youth
leissure-time services);
9. Pelayanan kesejahteraan bagi veteran (veteran services);
10. Pelayanan ketenagakerjaan (employment services);
11. Pelayanan bidang perumahan (housing services);
12. Pelayanan sosial internasional (international social services)
13. Pelayanan kesejahteraan sosial masyarakat (community social
Sebagaimana dikemukakan oleh Hasenfeld (1983:4-7) bahwa
organisasi pelayanan manusia dapat dilihat berdasarkan ‘materi atau
bahan dasar’-nya dan penggunaan teknologi transformasi yang
digunakan. Berdasarkan jenis bahan dasarnya yang dilayani yaitu
manusia, terdiri dari dua dimensi yaitu manusia yang berfungsi secara
normal (normal functioning) dan yang tidak berfungsi secara normal
(malfunctioning). Ketidaknormalan atau penyimpangan tersebut dapat
dilihat berdasarkan fisik, psikologis dan sosial. Bahan dasar (raw
material) manusia dengan kategori yang berfungsi secara normal
(normal functioning) dan yang tidak berfungsi secara normal
(malfunction) maka dibutuhkan cara-cara, metode dan teknik-teknik
yang berbeda dalam memprosesnya.
Berdasarkan hal tersebut Hasenfeld mengemukakan bahwa
terdapat tiga jenis teknologi pelayanan yang digunakan oleh organisasi
pelayanan, yaitu:
a. Pemrosesan-manusia (people-processing technologies);
tujuannya memberikan status atau label sosial tertentu
terhadap klien sehingga dapat ditentukan jenis pelayanan apa
yang diperlukan selanjutnya.
b. Pemeliharaan-manusia (people-sustaining technologies). Pada
jenis ini berupaya untuk mencegah, memelihara dan
mempertahankan kesejahteraan klien, tetapi tidak berupaya
34
c. Perubahan-manusia (people-changing technologies); teknologi
ini adalah untuk merubah atribut atau sikap serta perilaku klien
agar dapat meningkatkan kesejahteraannya.
Apabila digambarkan dalam suatu matrik antara kedua dimensi
yaitu bahan dasar manusia atau tipe kliennya yang berfungsi normal
dan tidak normal, dan penggunaan teknologi dalam pelayanan
manusia, maka didapat enam jenis tipologi organisasi pelayanan
manusia, sebagai terlihat dalam gambar berikut:
Tabel 2.1.: Matrik Tipologi Organisasi Pelayanan Manusia
Jenis Klien Pemrosesan Manusia
Pemeliharaan Manusia
Perubahan Manusia
Jenis I Jenis III Jenis V Fungsional BPS
Badan Akreditasi Jaminan Sosial Rumah Peristirahan Sekolah Umum Pramuka PKBI
Jenis II Jenis IV Jenis VI
Malfunctioning Klinik diagnostik Pengadilan anak Rumah Perawatan Panti asuhan Rumah sakit Pusat rehabilitasi korban Narkotik Sumber: Hasenfeld, 1983. Human service Organization, hal. 4-7.
Dalam tipologi tersebut maka MCR-PKBI dengan ‘raw material’
-nya manusia fungsional dan dengan teknologi perubahan manusia
untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman akan kesehatan
Banyaknya jenis pelayanan sosial yang ada dimasyarakat akan
sangat tergantung pada ragam permasalahan dan struktur masyarakat
itu sendiri dalam menanggapi berbagai masalah yang berkembang.
Demikian pula dengan berbagai perspektif mengenai jenis pelayanan
sosial akan memperjelas pemahaman proses kegiatan atau
penyelenggaraan pelayanan sosial oleh organisasi tersebut. Hal ini
sesuai dengan pendapat Hasenfeld (1983:9-10) bahwa “Human
services, as a class of organizations, share a unique set of
characteristics because they all work with and on people”. Artinya
pelayanan manusia, sebagai suatu jenis organisasi terdiri dari
seperangkat karakteristik unik karena bekerja bersama dan dengan
orang-orang. Selanjutnya dia mengemukakan karakteristik dari
organisasi pelayanan sosial atau manusia, sebagai berikut:
1. Fakta bahwa material dasarnya (raw material) adalah terdiri
dari orang-orang dengan sejumlah nilai-nilai moral yang
mempengaruhi aktifitas organisasi sosial.
2. Tujuan dari organisasi pelayanan manusia adalah
samar-samar (vague), berarti-dua (ambiguous), dan bermasalah
(problematic).
3. Moral ambigu yang mengitari pelayanan manusia juga
menunjukkan organisasi pelayanan sosial bergerak dalam
lingkungan bergolak, artinya lingkungan tersebut terdiri dari
banyak kepentingan kelompok yang berbeda-beda.
4. Organisasi pelayanan manusia harus beroperasi dengan
36
menyediakan pengetahuan yang lengkap mengenai
bagaimana mencapai hasil yang diharapkan.
5. Aktivitas utama dalam organisasi pelayanan manusia terdiri
dari hubungan antara staf dan klien. Tidak menutup
kemungkinan para staf dalam organisasi sosial lebih banyak
terdiri dari para relawan yang harus berhubungan dengan
kliennya.
6. Karena keutamaan hubungan staf dan klien, maka posisi
dan peran staf lini (staf profesional) secara khusus adalah
penting dalam organisasi pelayanan manusia.
7. Organisasi pelayanan manusia miskin pengukuran
mengenai efektifitas yang reliabel dan valid, dan mungkin,
lebih mampu bertahan terhadap perubahan dan inovasi.
Apabila melihat karakteristik kelima dari ciri organisasi sosial, yaitu
aktivitas utama dalam kegiatan pelayanan adalah hubungan antara staf
dan klien, maka kepuasan klien dalam berhubungan dengan staf
merupakan salah satu indikasi dari kemampuan staf dalam
memberikan pelayanan. Ketidakjelasan tujuan, inefektifnya teknologi
yang digunakan, dan lemahnya pengukuran yang reliabel dan valid dari
organisasi pelayanan sosial juga merupakan kelemahan yang dimiliki
oleh organisasi pelayanan manusia.
Pendapat lainnya mengenai karakteristik organisasi pelayanan
1. The purpose of human service organisations is to meet
the socially recognised needs of people. (Tujuan
organisasi pelayanan manusia adalah memenuhi kebutuhan orang yang diakui secara sosial)
2. Human service organisations are based on values
accepted by all or a subtantial part of the society in
which they operate. (Organisasi pelayanan manusia
didasarkan pada nilai-nilai yang diterima oleh semua atau sebagian penting anggota masyarakat dimana mereka beroperasi)
3. Human service organisations are committed to
protecting and promoting the wellbeing both of the direct consumers of their services and of society generally.
(Organisasi pelayanan manusia memiliki tanggung jawab untuk melindungi dan mendukung kesejahteraan baik kepada pengguna jasa langsung dan masyarakat pada umumnya)
4. Human service organisations are mandated and
resourced by all or a substantial part of the public, through statutory resources or donations, and operate without a profit-making purpose. (Organisasi pelayanan manusia memperoleh kewenangan dan sumber oleh semua atau sebagian penting masyarakat umum, yaitu sumber-sumber dan donasi menurut undang-undang dan bergerak tanpa tujuan mencari keuntungan)
5. Human service organisations are therefore accountable to all or a substantial part of the public as well as to their
consumers. (Organisasi pelayanan manusia dengan
demikian dapat dipertanggung-jawabkan kepada semua atau sebagian penting masyarakat umum demikian pula kepada para pengguna jasanya)
6. Access to and usage of human services are wholly or predominantly controlled by the providers rather than
consumers of services. (Akses dan penggunaan
38
dikendalikan oleh penyedia pelayanan daripada penggunanya)
7. Human service organisations provide services that may
operate with imprecise methodes. (Organisasi
pelayanan manusia menyediakan pelayanan yang mungkin menggunakan metode yang tidak tepat).
8. The outcomes of human services may be uncertain and
unpredictable. (Hasil dari pelayanan manusia mungkin
tidak pasti atau sulit diprediksi).
9. Human services are generally provided through
professional relationship between staff and client within a formal organisational structure. (Pelayanan manusia umumnya disediakan melalui hubungan profesional antara staf dan klien dalam suatu struktur organisasi formal).
Karakteristik yang dikemukakan oleh Martin melengkapi
karakteristik organisasi pelayanan manusia yang telah dikemukan oleh
Hasenfeld sebelumnya. Terdapat beberapa kesamaan pandangan
antara Martin dan Hasenfeld mengenai karakteristik tersebut, misalnya
mengenai ketidaktepatan metode atau teknologi yang dipergunakan,
hasil dari pelayanan manusia yang sulit ditentukan juga berkaitan
dengan lemahnya pengukuran hasil yang reliabel dan valid, dan
keduanya memandang penting hubungan antara staf dan klien atau
penerima pelayanan.
Selanjutnya dalam penyelenggaraan pelayanan sosial maka
kebijakan-kebijakan yang dibuat dalam organisasi pelayanan manusia
Berkaitan dengan manajemen pelayanan, Ginsberg (1995: 2)
menyatakan, bahwa:
“Without management, it is doubtful that services could be provided. In many cases, the nature and quality of the services would be even more heavily influenced by the nature and quality management than by the laws (in public program) or board decisions (in voluntary program) that create the services”.
(Tanpa manajemen, maka diragukan sebuah pelayanan sosial dapat tersedia dengan baik, bahkan sifat dan kualitas pelayanan sosial akan sangat dipengaruhi oleh sifat dan kualitas manajemen daripada aturan yang dibuat atau oleh keputusan para anggota dewan.)
Dengan demikian suatu organisasi pelayanan sosial sudah seharusnya
dikelola secara profesional. Artinya berbagai aspek manajemen
merupakan syarat tercapainya tujuan dan sasaran yang telah
ditetapkan oleh suatu organisasi pelayanan.
Salah satu persoalan manajemen yang perlu memperoleh
perhatian tersendiri dalam organisasi pelayanan sosial adalah
berkaitan dengan manajemen sumber daya manusia. Terdapat tiga
komponen sumber daya manusia dalam organisasi pelayanan sosial
yang perlu diperhatikan yaitu: dewan, staf, dan tenaga relawan.
Mengenai tenaga relawan, seringkali sejumlah organisasi sosial amat
tergantung dengan kehadiran dan partisipasi mereka. Sebagaimana
40
keberadaan para relawan dalam pelaksanaan organisasi pelayanan
manusia, bahwa;
There are obvious benefit to social work manager in the use of volunteer. The Most obvious of these is that volunteers can perform many jobs at minimal cost. While they are not “free” in the sense that they require supervisory time and are usually reimbursed for some of their expenses (travel, meals, etc), volunteers provide many services, thereby freeing up paid staff to other work.
Jelas banyak sekali manfaat yang diperoleh dan dapat dilakukan
oleh manajer pekerjaan sosial dengan memanfaatkan relawan.
Banyak pekerjaan yang dapat dilakukan oleh para relawan
dengan biaya yang murah. Sementara itu mereka (relawan) tidak
memperoleh ‘bayaran” dalam arti mereka membutuhkan masa
supervisi dan biasanya memperoleh sejumlah biaya penggantian
(perjalanan, makan dst.), para relawan memerlukan sejumlah
pelayanan, oleh karenanya tidak dibayar seperti staf tetap.)
A.2. Relawan
Relawan menurut DuBois dan Miley (1992:90) yaitu “volunteer
or person who provide services without salary, play a significant role in
the delivery of social sevices”. Walaupun relawan merupakan
orang-orang yang tidak memperoleh bayaran dalam pekerjaannya, namun
mereka memiliki peranan yang penting dalam penyediaan pelayanan
sosial. Relawan juga dapat melakukan sesuatu yang tidak dapat
Lebih jauh Weinbach (1994:110-111) mengemukakan, bahwa
relawan umumnya lebih sulit dikendalikan daripada staf tetap yang
dibayar. Mereka bekerja di organisasi dengan tidak didasari kebutuhan
ekonomi; lainnya mungkin bersedia memberikan pelayanan jika
mereka suka namun jika sudah tidak senang mereka pergi. Para
relawan umumnya bukan profesional dan tidak memiliki nilai-nilai dan
etika yang sama dengan profesional dan juga staf non proferional.
Sedangkan Brammer (1999:14) membedakan berdasarkan struktur
pertolongan yaitu profesional, para profesional dan relawan (volunteer),
yang diilust