• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Badan Konstituante pada masa pemerintahan demokrasi liberal 1955 - 1959.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran Badan Konstituante pada masa pemerintahan demokrasi liberal 1955 - 1959."

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN BADAN KONSTITUANTE PADA MASA PEMERINTAHAN DEMOKRASI LIBERAL

1955-1959

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Sejarah

Disusun oleh:

Florianus Nelson Marius Sedik 071314014

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2012

(2)

 

i

PERAN BADAN KONSTITUANTE PADA MASA PEMERINTAHAN DEMOKRASI LIBERAL

1955-1959

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Sejarah

Disusun oleh:

Florianus Nelson Marius Sedik 071314014

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2012

(3)

ii  

(4)

iii  

(5)

iv  

MOTTO

“Jika karunia untuk melayani, baiklah kita melayani; jika karuni untuk mengajar, baiklah kita mengajar”

(Roma 12:7)

“Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan”

(Amsal 1:7)

“Sukses seringkali datang pada mereka yang berani bertindak, dan jarang menghampiri penakut yang tidak berani mengambil konsekuensi”

( Jawaharlal Nehru )

(6)

v  

PERSEMBAHAN

Dengan penuh rasa hormat dan kerendahan hati kupersembahkan Skripsi ini Kepada:

™ Tuhan Allah Bapaku, Tuhan Yesus Kristus

™ Kedua orangtuaku bapak Gabino Sedik dan ibu Martina Fatemyang selalu mendoakandan mendukungku sampai perjalanan hidupku saat ini

™ Kakak-kakak dan adik-adikku yang selalu mendukung diriku dalam segala hal.

™ Teman-teman seperjuangan Pendidikan Sejarah angakatan 2007, khusunya kepada mas Damas, mas Suryo, mas Jaka, mas Andri, mas Buditerima kasih atas bantuan dan kerjasama kalian selama ini.

™ Para pendidikku yang tiada pernah bosan selalu mengajar dan membimbingku.

™ Semua sahabat dan orang-orang yang telah Mengisi perjalanan kehidupanku.

Terima kasih kuucapkan atas gegala kebaikan dan kebahagiaan yang telah kalian berikan kepadaku hingga saat ini. Semoga akan selalu menjadi kenangan yang terindah. Thank’s For All

(7)

vi  

(8)

vii  

(9)

viii  

ABSTRAK

PERAN BADAN KONSTITUANTE PADA MASA PEMERINTAHAN DEMOKRASI LIBERAL 1955-1959

Florianus Nelson Marius Sedik Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2012

Penulisan ini bertujuan mendeskripsikan dan menganalisis tiga pokok permasalahan, yaitu: 1) Proses pembentukan Badan Konstituante, 2) Peran Badan Konstituante, 3) Pembubaran Badan Kontituante

Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penulisan sejarah yang mencakup lima tahapan yaitu perumusan judul, pengumpulan sumber, verifikasi (kritik sumber), interpretasi dan historiografi dengan pendekatan sosial politik dan ditulis secara deskriptif analitis.

Hasil penulisan ini menunjukkan bahwa: 1) Proses pembentukan Badan Konstituante melalui pemilihan umum tanggal 15 Desember 1955 masa Pemerintahan Kabinet Burhanuddin Harharap. Pemilihan umum ini menghasilkan 514 Anggota Konstituante yang bertugas menyusun undang-undang dasar baru menggantikan UUD 1945 sesuai dengan Konstitusi 1950. Setelah terpilih 514 maka pada peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November 1956 Anggota Kontituante dilantik langsung oleh Presiden Sukarno. 2) Badan Konstituante mulai bekerja pada bulan November 1956 dan berakhir pada tanggal 5 Juli 1959. Pada masa kerja tersebut, Badan Konstituante berhasil menyepakati hal-hal yang penting tentang dasar negara dan HAM dan demokrasi. 3) Pada awal tahun 1959 Badan Konstituante mengalami masa reses yang disebabkan oleh beberapa hal: kegagalan dalam membentuk undang-undang dasar baru, kekuatan politik Angkatan Darat, dan dominasi Presiden Ir. Sukarno. Dengan macetnya Sidang Konstituante membuat Presiden mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 yang menyatakan tentang pembubaran Badan Konstituante.

(10)

ix  

ABSTRACT

THE ROLE OF CONSTITUENCY COUNCIL IN THE PERIOD OF LIBERAL DEMOCRACY GOVERNMENT 1955-1959

Florianus Nelson Marius Sedik Sanata Dharma University

Yogyakarta 2012  

The purposes of this paper writing were to describe and to analyze three main problems: 1) Establishment process of Constituency Council, 2) the role of Constituency Council, 3) dissolution of Constituency Council.

This paper used historical writing method which compromises five stages namely title formulation, data gathering, verification, interpretation and historiography with social politic approach and written in analytically description.

The paper found result that: 1) Establishment process of Constituency Council was through general election in 15th December 1955 in the period of Burharuddin Harharap cabinet governance. The general election got 514 Constituency members who were in charge in arranging the new constitution to replace 1945 constitution according to 1950 constitution. After the election, all the elected members were inaugurated by President Sukarno in heroes day, 10th November 1956. 2) Constituency Council was active from November 1956 to 5th July 1959. During the time, Constituency Council succeeded in taking the deals for crucial issues that democration and human right. 3) In the beginning of 1959, Constituency Council faced the recess caused by some reasons: the failure in arranging the new constitution, political power of the army, and President Sukarno domination. The stuck of Constituency Session enforced the President to publish Decree in 5th July 1959 about the dissolution of Constituency Council.  

 

(11)

x  

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “PERAN BADAN KONSTITUANTE PADA MASA PEMERINTAHAN DEMOKRASI LIBERAL 1955-1959”. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Pendidikan di Universitas Sanata Dharma, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial, Program Studi Pendidikan Sejarah.

Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidak terlepas dari batuan berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan makalah ini.

3. Drs. A. Kardiyat Wiharyanto, M. M; selaku dosen pembimbing yang telah sabar membimbing, membantu dan memberikan banyak pengarahan, saran serta masukan selama penyusunan makalah ini.

4. Seluruh dosen dan pihak sekretariat Program Studi Pendidikan Sejarah yang telah memberikan dukungan dan bantuan selama penulis menyelesaikan studi di Universitas Sanata Dharma.

5. Seluruh karyawan Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, yang telah memberikan pelayanan dan membantu penulis dalam memperoleh sumber penulisan makalah ini.

6. Kedua orangtua penulis yang telah memberikan dorongan spiritual dan material, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Universitas Sanata Dharma, serta seluruh keluarga besarku terimakasih atas dukungan dan doanya.

(12)

xi  

(13)

xii  

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

BAB II PROSES PEMBENTUKAN BADAN KONSTITUANTE ... 8

A.Lahirnya Badan Konstituante ... 8

B.Struktur Organisasi Badan Konstituante ... 12

BAB III PERAN BADAN KONSTITUANTE... 19

A.Penegasan Komitmen Terhadap Demokrasi ... 20

B. Penegasan Komitmen Terhadap HAM ... 22

C. Pengakuan Atas Masalah Kekuasaan. ... 26

BAB IV PEMBUBARAN BADAN KONSTITUANTE ... 30

A. Kegagalan Badan Konstituante Membentuk Undang-Undang Dasar Baru... ... 30

B. Bangkitnya Angkatan Darat Dalam Politik Negara ... 34

C. Munculnya Demokrasi Terpimpin. ... 38

(14)

xiii  

BAB V KESIMPULAN ... 44 DAFTAR PUSTAKA ... 47 LAMPIRAN ... 49

(15)

xiv  

DAFTAR LAMPIRAN

SILABUS ... 48

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN ... 51

HASIL PEMILU 1955 ... 63

DAFTAR GAMBAR   Partai Peserta Pemilu 1955... 67

Gedung Pertemuan Badan Konstituante ... 67

Isi Dekrit Presiden 1955 ... 68

Suasana Dekrit Presiden 1955 ... 68  

(16)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Konstitusi merupakan suatu hukum dasar, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis ditaati dan dipatuhi sekelompok orang di daerah tertentu. Hukum dasar yang tertulis disebut sebagai undang-undang, sedangkan yang tidak tertulis disebut konvensi yaitu kebiasaan ketatanegaraan atau aturan-aturan penyelenggaraan negara. Menurut Suharizal, secara sederhana mendefinisikan konstitusi sebagai sejumlah ketentuan hukum yang disusun secara sistematis untuk menata dan mengatur pokok-pokok struktur dan fungsi lembaga-lembaga pemerintahan termasuk hal kewenangan dan batas kewenangan lembaga-lembaga itu. Salah satu konstitusi yang dimaksud dalam definisi tersebut adalah UUD 1945.1

Pentingnya UUD 1945 tidak lepas dari funginya sebagai suatu konstitusi, seperti pembatas sekaligus pengawas terhadap keuasaan politik, sebagai control kekuasaan dari penguasa, memberikan batasan-batasan bagi para pengusa dalam menjalankan kekusaannya. Oleh karena itu, UUD 1945 adalah konstitusi modern diidentikkan dengan masalah pembatasan kekuasaan serta perlindungan hak-hak warga negara.

Dalam kesejarahannya, UUD 1945 ini dirancang dalam suasana ketergesa-gesaan. Kabar takluknya balantera Jepang pada Jenderal Dougglas Mac Arthur amat mendadak dan tak terduga. Mau tidak mau, para bapak

1

Saragih, R. Bintan, Ilmu Negara, Jakarta, Gaya Media Pratama , 1988, hal. 133

(17)

2

bangsa (founding father) dipaksa berburu dengan waktu untuk mengisi kekosongan kekuasaan serta mengantisipasi kembalinya kolonial Belanda.2 Karena dikepung oleh situasi politik yang muncul akibat berkobarnya Perang Pasifik, Perdebatan tentang materi UUD 1945 belum menghasilkan kesepakatan final tentang beberapa masalah mendasar ketika harus disahkan. Namun, para pendiri itu menyepakati untuk mensahkan lebih dulu UUD 1945 sebagai UUD sementara untuk kemudian, setelah merdeka kelak segera dibuat UUD yang lebih permanen dan bagus. Dalam rentang waktu yang amat singkat itulah, disusun rancangan UUD 1945. Satu konstitusi darurat yang hanya bertugas mengantarkan gagasan (kemerdekaan) Indonesia masuk ke realitas konkrit bernegara.

Rumusan UUD 1945 yang ada saat ini merupakan hasil rancangan BPUPKI atau dalam bahasa Jepang dikenal dengan Dokuritsu Junbi Cosakai yang beranggotakan 21 orang dan diketuai oleh Radjiman Widiodiningrat. Naskahnya dikerjakan mulai dari tanggat 29 Mei sampai 16 Juni3 1945. Jadi, hanya memakan waktu selam 40 hari setelah dikurangi hari libur. Kemudian rancangan itu diajukan ke PPKI dan diperiksa ulang. Dalam sidang pembahasasam, terlontar beberapa usulan penyempurnaan. Akhirnya, setelah melalui perdebatan, maka dicapai persetujuan untuk diadakan beberapa perubahan dan tambahan atas rancangan UUD yang diajukan BPUPKI. Perubahan pertama pada kalimat Mukadimah. Rumusan kalimat yang diambil

2 Malian, Sobirin,

Gagasan Perluna Konstitusi Baru Pengganti , Yogyakarta ,UII Press, 2001, hal. 68

3

J.C.T, Simorangkir, Penetapan Undang-Undang Dasar Dilihat Dari Segi Ilmu Hukum Tata Indonesia, Jakarta, Gunung Agung, 1984, hal. 12

(18)

3

dari piagam Jakarta,”dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihilangkan, kemudian pasal 4 yang semula hanya terdiri dari satu ayat, ditambah satu ayat lagi yang berbunyi, Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintah menurut UUD” dan, juga dalam pasal ini semula tertulis,” wakil presiden di tetapkan dua orang” diganti menjadi “satu Wakil Presiden”.Juga pada Pasal 6 ayat 1, kalimat yang semula masyarakat presiden harus orang Islam dicoret.Diganti menjadi,” Presiden adalah orang Indonesia asli”dan kata “mengabdi” dalam pasal 9 diubah menjadi “berbakti”.4

Usulan mengenai materi perubahan UUD baru muncul justru saat menjelang berakhirnya sidang PPKI yang membahas pengesahan UUD 1945. Pada tanggal 18 Agustus 1945 itu, Ketua Ir. Soekarno meningatkan masalah tersebut, kemudian forum sidang menyetujui untuk diatur dalam pasal tersendiri dan materinya disusun oleh Soepomo. Tak kurang dari anggota Dewantara, Ketua Soekarno serta anggota Soebarjo turut memberi tanggapan atas rumusan Soepomo, pada pukul 13.45 waktu setempat, sidang menyetujui teks UUD.

Dalam pidato penutupan, Presiden Ir. Soekarno menegaskan bahwa UUD ini bersifat sementara dan, “Nanti kalau kita bernegara didalam suasana yang lebih tenteran, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat UUD yang lebih lengkap dan

4

Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 jilid 1, Jakarta, Yayasan, Prapanca 1959. hal. 153

(19)

4

lebih sempurna.”5 Dari pidato ini jelas bahwa UUD sejak semula memang dipandang belum baik dan masih harus diperbaiki setelah keadaan memungkinkan. Pandangan Soekarno bahwa UUD 1945 perlu diterima untuk sementara, dan itu tak dapat dibantah sedikit pun oleh angota-anggota PPKI yang lain, tertuang didalam UUD 1945 itu sendiri yakni didalam aturan tambahan. Aturan tambahan jelas memuat sikap PPKI bahwa UUD 1945 adalah UUD interim dan karenanya PPKI memerintahkan agar setelah perang pasifik UUD itu dibicarakan lagi untuk kemuadian ditetapkan oleh MPR.

Pada gerak pelaksanaanya konstitusi (UUD 1945) banyak mengalami perubahan mengikuti perubahan sistem politik negara Indonesia. Perubahan tersebut terjadi pada masa konstitusi RIS yang berlaku dari 27 Desember 1949- 17 Agustus 1950. Pada masa ini sistem pemerintahan yang sebelumnya republik presidensil berubah menjadi republik parlementer (perwakilan). Namun dalam perjalanan selanjutnya terjadi perubahan dalam sistem kontitusi yang menganut pada UUDS 1950. Pada masa inilah dibentuklah badan kontituante yang bertujuan untuk membentuk undang-undang baru. Upaya yang dilakukan sidang Dewan Konstituante hingga tahun 1959 juga belum berhasil menyusun satu undang-undang baru yang lebih lengkap dan sempurna. Solusinya, UUD 1945 diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang isinya antara lain membubarkan Konstituante dan menetapkan kembali berlakunya UUD 1945 menjadi hokum dasar dalam

5

Op cit. hal 410. Lihat juga Bonar Sidjabat., Notulen Rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia 18 Agustus 1945. hal. 12

(20)

5

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kesejarahan konstitusi ini, jelas mengakibatkan banyak dampak politis Indonesi pada masa itu

B. Rumusan Masalah

Untuk dapat memahami penulisan ini, dengan berdasarkan latar belakang masalah dan judul di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana proses pembentukan Badan Konstituante?

2. Bagaimana peran Badan Konstituante pada masa pemerintahan Demokrasi Liberal?

3. Mengapa Badan Konstituante dibubarkan?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penulisan makalh ini bertujuan untuk:

a. Mendeskripsikan pembentukan awal Badan Konstituante

b. Mengalisis peran Badan Konstituante pada masa Demokrasi Liberal c. Mendeskripsikan tentang pembubaran Badan Kontituante

2. Manfaat Penulisan

Manfaat Penulisan Makalah ini adalah: a. Bagi Universitas Sanata Dharma

Selain untuk melaksanakan salah satu Tri Dharma perguruan tinggi khususnya bidang ilmu pengetahuan sosial, makalah ini diharapkan

(21)

6

dapat melengkapi dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan sejarah yang berguna bagi pembaca dan pemerhati sejarah di lingkungan Universitas Sanata Dharma.

b. Bagi Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Penulisan makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan mengenai sejarah Nasional Indonesia, lebih khususnya tentang Peran Badan Konstituante Pada Masa Pemerintahan Demokrasi Liberal 1955-1959, diharapkan dapat menjadi bahan pelengkap dalam pembelajaran sejarah.

c. Bagi Pembaca

Makalah ini diharapkan mampu menarik minat pembaca untuk mempelajari dan mendalami tentang sejarah Indonesia kontemporer, khususnya mengenai Peran Badan Konstituante Pada Masa Pemerintahan Demokrasi Liberal 1955-1959.

d. Bagi Penulis

Sebagai tolak ukur kemampuan penulis untuk meneliti, menganalisa, membaca sumber-sumber sejarah, dan merekonstruksikan menjadi suatu karya sejarah dan menambah wawasan tentang sejarah Indonesia khususnya tentang Peran Badan Konstituante Pada Masa Pemerintahan Demokrasi Liberal 1955-1959.

D. Sistematika Penulisan

Penulisan makalah tentang Peran Badan Konstituante Pada Masa Pemerintahan Demokrasi Liberal 1955-1959. mempunyai sistematika penulisan sebagai berikut:

(22)

7

Bab I Berupa pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, dan sistematika penulisan.

Bab II Bab ini menyajikan tentang proses awal pembentukan Badan Konstituante

Bab III Bab ini menyajikan tentang peran Badan Konstituante yang berhasil meyepakati beberapa hala seperti dasar negara dan HAM

Bab IV Bab ini menyajikan tentang pembubaran Badan Konstituante Bab V Bab ini menyajikan kesimpulan dari pembahasan BAB I, BAB

II, BAB III, dan BAB IV.

(23)

8   

8 BAB II

PROSES PEMBENTUKAN BADAN KONSTITUANTE

A. Lahirnya Badan Kostituante

Badan Konstituante adalah lembaga negara Indonesia yang ditugaskan untuk membentuk undang-undang dasar atau konstitusi baru untuk menggantikan UUDS 1950. Pembentukan UUD baru ini diamanatkan dalam Pasal 134 UUDS 1950 yang menyatakan, bahwa Badan Konstituante bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan UUDS 1950. Dalam Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia tertera pasal-pasal yang berkaitan dengan badan yang disebut Konstituante itu. Berikut dikutip pasal-pasal yang berkaitan dengan kedudukan, susunan, keanggotaan, dan kewenangan badan tersebut antara lain (terlampir).

Kelahiran Badan Konstituante juga dilandasi oleh suatu pemikiran bahwa Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang disahkan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 tanggal 15 Agustus 1950 itu berpredikat sementara, hal ini tertera dalam konsiderans “Menimbang” dari undang-undang dimaksud. Oleh karena itu perlu adanya suatu badan yang menggarap dan menyusun undang-undang dasar yang tetap.6

Proses pembentukan badan konstituante dalam kesejarahanya tidak lepas dari pidato Ir. Soekarno dalam membela rancangan UUD 1945 dihadapan BPUPKI pada tahun 1945, ia menyatakan “Undang-undang dasar

      

6

http://isfanl.blogspot.com/2012/02/pembubaran-konstituante-dan-lahirnya.html  

(24)

9  

yang dibuat sekarang ini adalah undang-undang dasar sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan: ini adalah undang-undang dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Perwakilan Rakyat (MPR) yang dapat membuat undang-undang dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurana”. Pidato ini kemudian ditegaskan lagi manifesto politik pemerintah yang dikeluarkan pada tanggal 1 November 1945 sebagai tindak lanjut Maklumat no. X, maka pemilihan umum bagi pemerintah konstitusional secara eksplisit menyatakan “Sedikit hari lagi kita akan mengadakan pemilihan umum sebagai bukti bahwa kita, cita-cita dan dasar kerakyatan itu benar-benar dasar dan pedoman penghidupan masyarakat dan negara kita. Mungkin sebagai akibat dari pemilihan itu pemerintah akan berganti dan undang-undang dasar akan disempurnakan menurut kehendak rakyat kita yang terbanyak”. Sehingga untuk itu, pemilihan umum ditetapkan dengan pengumuman pemerintah tanggal 3 November 1945 dan pada mulanya akan diselenggarakan bulan Januari 1946 oleh Kabinet Sjahrir pertama, tetapi terpaksa ditunda berulang kali karena kekacauan akibat revolusi fisik yang berkepanjangan pada masa mempertahankan kemerdekaan,.7

Dalam periode sesudah Desember 1945, pemilu untuk membentuk Konstituante dan badan perwakilan menjadi bagian penting dari program kerja setiap cabinet. Hal ini kemudian berlanjut pada masa Kabinet Hatta (1949-1950) yang ingin membentuk badan konstituante yang berwenang       

7

Adanan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintah Konstitusional di Indonesia, Jakarta, PT. Intermasa, 1995, hal. 29  

(25)

10  

menentukan bentuk negara, yaitu antara negara federasi dan negara kesatuan. Tetapi, rencana itu didahului oleh perkembangan-perkembangan konkret pada pembentukan negara kesatuan. Selama Kabinet Wilopo (PNI) 1952-1953, rancangan undang-undang pemilu yang diajukan kepada parlemen 25 November 1952. Rancangan undang-undang yang berasal dari pemerintahan ini disahkan pada tanggal 1 April 1953 dengan beberapa perubahan dan berlaku sebagai undang-undang mulanya direncanakan pada tanggal 4 April 1953. Namun terjadi perubahan pada undung-undang terutama ketentuan yang mengatur mekanisme pemilihan dan pemungutan suara dengan teknik pemilihan yang sesuai dengan kondisi nyata yang berlaku di Indonesia. Pendaftaran pemilu dimulai pada bulan Mei 1954 dan selesai pada bulan November 1954, dengan mencetak 43.104. 464 orang yang mempunyai hak pilih.

Pemilihan umum pertama tahun 1955 diselenggarakan masa Kabinet Burhanuddin Harahap. Pemilu ini berlangsung dua periode, untuk periode pertama berlangsung pada tanggal 29 september 1955 bertujuan membentuk badan perwakilan dan untuk periode kedua berlansung pada tanggal 15 Desember 1955 bertujuan membentuk Badan Konstituante. Jumlah kursi dewan perwakilan yang diperebutkan berjumlah 260, sedangkan kursi Konstituante berjumlah 520 (dua kali lipat kursi DPR) ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah.

Pemilu untuk anggota Badan Konstituante dilakukan tanggal 15 Desember 1955. Jumlah kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak 520,

(26)

11  

tetapi di Irian Barat yang memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan, maka kursi yang dipilih hanya 514. Hasil pemilihan anggota Dewan Konstituante menunjukkan bahwa PNI, NU dan PKI meningkat dukungannya, sementara Masyumi, meski tetap menjadi pemenang kedua, perolehan suaranya merosot 114.267 dibanding-kan suara yang diperoleh dalam pemilihan anggota DPR. Hasil pemilihan umum 1955 sebagai berikut: Hasil pemilihan umum 1955 untuk Anggota DPR (enam besar):

1. Partai Nasional Indonesia (PNI) 2. Masyumi

3. Nahdlatul Ulama (NU)

4. Partai Komunis Indonesia (PKI) 5. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) 6. Partai Kristen Indonesia (Parkindo)8

Terpilihnya 520 anggota Konstituante langsung diikuti oleh pelantikannya pada tanggal 10 November 1956 oleh Presiden Ir. Soekarno. Pada saat pelantikan Presiden mengingatkan dengan pesan-pesannya penting yaitu:

1. Saya meminta saudara-saudara sebagai anggota-anggota Konstituante menjadi penyambung lidah yang setia daripada 80-85 juta rakyat Indonesia yang sedang berevolusi dan pahlawan rakyat yang telah berkorban dan mati, yang tiap-tiap tahun pada tanggal 10 November kita peringati

      

8

http://www.syarikat.org/article/pemilu-indonesia-pertama-yang-damai-di-tahun-1955  

(27)

12  

2. Saya meminta supaya anggota Konstituante bersama-sama dengan pemerintah segera menetapakan suatu”Undang-Undang Dasar Republik Indonesia”, yang sesuai dengan jiwa, watak dan kepribadian bangsa Indonesia sendiri…..”

3. Saya minta janganlah Konstituante dijadikan tempat berdebat bertele-tele, suatu medan pertempuran bagi partai-partai atau pemimpin-pemimpin politik”.

Pesan tersebut disampaikan Presiden kepada anggota Konstituante untuk selekas-lekasnya dan segera diganti dengan undang-undang yang baru dasarkan pada ketentuna pasa 134 UUDS.9

B. Struktur Organisasi Badan Konstituante.

Terbentuknya Badan Konstituante UUD 1950 tidak mengatur struktur organisasi Konstituante, tetapi Pasal 136 menetapkan bahwa semua pasal dalam UUD 1950 tentang DPR dapat diterapkan pada Konstituante. Ini menyiratkan makna bahwa Badan Konstituante sendiri dapat memilih ketua dan wakil ketua berdasarkan Pasal 62 UUD 1950 tentang DPR, dan lebih lanjut, badan ini dapat menetapkan Peraturan Tata Tertib berdasarkan Pasal 76 tentang DPR. Ini berarti bahwa sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat, Konstituante sungguh-sungguh bebas dalam ketetapan-ketetapannya yang ada untuk menentukan struktur organisasi, kepemimpinan, aparat serta PTTK (Penjelasan Tata Tertib Konstituante). Untuk maksud itu, Badan Konstitnante       

9

Kahar Hari Sumarni, Manusia Indonesia manusia Pancasila, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1984, hal. 174 

(28)

13  

membicarakan soa-soal tersebut dan sidang plenonya yang pertama pada tahun 1956, termasuk membicarakan prosedur untuk memilih pemimpin, yang kemudian disusul dengan acara pemilihan. Kemudian, Badan Konstituante membahas dan menyusun PTTK, menentukan struktur organisasi pembagian ke hak-hak dan tanggung jawab anggota, penyusunan dan perubahan agenda, serta proses pemungutan suara. Dengan demikian, Konstituante sekaligus juga menggariskan ketidaktergantungannya pada pemerintah dalam penyusunan undang-undang dasar baru.

Dalam menyusun PTTK, Badan Konstituante menentukan organ-organnya sebagai berikut: Sidang pleno, Pemimpin (ketua dan wakil-wakil ketua), Panitia Persiapan Konstitusi, Komisi-komisi konstitusi, Panitia Musyawarah, Panitia Rumah Tangga,) panitia-panitia lain (sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 40 (2) PTT dan Sekretariat.

1. Sidang Pleno Konstituante

Sidang Pleno Konstituante merupakan badan tertinggi Konstituante yang membuat keputusan mengenai rancangan undang-undang dasar dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Aparat-aparat lain hanya merupakan bagian dari sidang pleno dan berada di bawahnya. Sidang ini harus diadakan sekurang-kurangnya dua kali dalam satu tahun dan harus diadakan apabila dianggap peroleh Panitia Persiapan Konstitusi, atau atas permintaan tertulis dari sekurang-kurangnya sepersepuluh dari jumlah anggotanya. Sidang pleno harus dinyatakan terbuka untuk umat kecuali apabila ketua menganggap perlu menutupnya, atau atas permintaan

(29)

14  

sekurang- kurangnya 20 orang anggota. Semua keputusan; kecuali yang dibuat dalam sidang tertutup harus diambil secara terbuka. Agenda sidang pleno ditetapkan oleh Panitia Persiapan Konstitusi tanpa mengurangi hak sidang pleno untuk mengubahnya. Setiap usul untuk mengubah agenda, baik waktu, topik pembicaraan, atau penambahan topik-topik baru, harus diajukan dalam bentuk tertulis dan ditandatangani oleh sekurang-kurangnya 20 oranganggota dan kemudian diserahkan kepada ketua selambat-lambatnya dua hari sebelum, agenda tersebut dinyatakan berlaku.

2. Kepemimpinan Konstituante

Konstituante dipimpin oleh ketua dengan lima orang wakil ketua. Mereka dipilih dari anggota Konstituante dalam rapat terbuka yang harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua, pertiga dari jumlah anggota Konstituante dan disahkan oleh Presiden. Sebelum pemilihan dan pengesahan ketua, sidang akan diketuai oleh anggota yang tertua. Ketua menjalankan tugas- tugas berikut: (1) merencanakan, mengatur, dan memimpin pekerjaan Konstituante, (2) menjalankan Anggaran Dasar, (3) memimpin sidang-sidang dan menjaga ketertibannya, (4) memberi izin kepada anggota untuk berbicara, (5) menyimpulkan soal-soal yang diajukan oleh anggota dan menyimpulkan keputusan-keputusan yang diambil oleh siding, (6) memberi kesempatan yang layak bagi anggota untuk berbicara tanpa gangguan, (7) mengumumkan hasil-hasil siding, dan (8) menjalankan keputusan sidang. Wilopo (PNI) dipilih sebagai ketua;

(30)

15  

Prawoto Mangkusasmito (Masyumi), Fatchurahman, Kafrawi (NU), Leimena (Parkindo), Sakirman (PKI), dan Hidajat, Ratu Aminah (IPKI) dipilih sebagai wakil-wakil ketua oleh sidang pleno yang berlangsung dari tanggal 19 hingga 22 November 1956.10

3. Panitia Persiapan Konstitusi

Salah satu,organ penting dalam Konstituante adalah Panitia Persiapan Konstitusi (PPK) yang mewakili semua golongan dan aliran pemikiran yang terdapat di dalam Konstituante. Panitia tersebut dibentuk menurut peraturan-peraturan berikut. Setiap golongan atau aliran, yang mempunyai satu hingga tiga orang anggota berhak menunjuk seorang wakil, setiap golongan yang mempunyai empat hingga enam anggota berhak menunjuk dua orang wakil; dan seterusnya: Panitia Persiapan Konstitusi: dibentuk pada tanggal 14 Februari 1957, anggotanya terdiri dari 184 wakil dari berbagai fraksi yang mencerminkan berbagai; golongan atau aliran dalam Konstituante. Ketua dan wakil-wakil ketua juga menjadi anggota- anggota panitia ini. Tugas panitia persiapan ini ialah: (1) mempersiapkan rancangan undang- undang dasar dengan cara mengumpulkan bahan yang diperoleh dari pembahasan dalam sidang-sidang panitia dan dalam sidang-sidang-sidang-sidang pleno dan menyusunnya kembali serta mengajukannya,kembali ke sidang pleno untuk keputusan lebih lanjut, (2) mengajukan semua pendapat yang berkaitan dengan undang-      

10

Muhammad Yamin, Kostituante Indonesia Dalam Gelanggang Demokrasi, Jakarta, Djambatan 1956, hal. 23-24  

(31)

16  

undang dasar kepada sidang pleno dan (3) menyiapkan agenda untuk sidang pleno yang dapat diubah oleh sidang tersebut.

Posisi strategisnya sebagai "dapur" Konstituante diperkuat pada tahun 4,958 dengan, diubahnya Pasal 51 Anggaran Dasar yang memungkinkan Panitia Persiapan Konstituante mengambil keputusan berdasarkan mayoritas dua-pertiga dari jumlah anggotanya. Dengan demikian, panitia tersebut berfungsi sebagai penyaring untuk soal-soal yang akan didiskusikan oleh sidang pleno dan bahkan berfungsi sebagai perancang pasal-pasal konstitusi daripada sebelumnya yang hanya terbatas pada mendaftarkan dan meneruskan pendapat. Sejak ituhanya usul-usul yang disetujui oleh sekurang-kurangnya setengah dari jumlah anggotanya yang dapat diteruskan, kepada sidang pleno. Sidang panitia ini ditutup untuk umum tetapi terbuka bagi anggota Konstituante yang bukan anggota panitia itu sendiri Pekerjaan Panitia Persiapan Konstitusi dilaporkan kepada sidang pleno.

4. Komisi-Komisi Konstitusi

Dalam menjalankan tugasnya, Panitia Persiapan Konstitusi diberi wewenang untuk membentuk komisi-komisi konstitusi dari. para anggotanya dengan tugas-tugas, tertentu menurut peraturan yang ditentukan oleh panitia dan disahkan sidang pleno Konstuante. Jumlah komisi seperti ini tidak ditentukan; komisi-komisi tersebut dibentuk sesuai dengan kebutuhan. Setiap komisi konstitusi terdiri atas sekurang-kurangnya tujuh orang anggota yang mewakili berbagai aliran pemikiran

(32)

17  

atau golongan dan dari mereka dipilih seorang ketua serta seorang rappoteur (juru bicara).

5. Panitia Musyawarah

Panitia Musyawarah terdiri atas ketua Konstituante sebagai anggota sekaligus ketua panitia wakil-wakil ketua Konstituante dan antara 13 hingga 17, anggota Konstituani lainnya-yang mewakili berbagai golongan dan aliran serta diangkat oleh Panitia Persiapa Konstitusi. Badan penting ini antara lain bertugas merencanakan jadwal dan agenda sidang-sidang pleno Konstituante untuk diserahkan kepada dan disetujui oleh Panitia Persiapan Konstitusi mempersiapkan agenda untuk Panitia Persiapan Konstitusi yang dapat mengubah agenda, tersebut dan mengajukan usul kepada ketua Konstituante apabila dianggap perlu atau diminta oleh, ketua Panitia Musyawarah tidak memerlukan kuorum untuk memulai sidang tetapi hanya dapat mengambil keputusan berdasarkan mayoritas dua pertiga apabila lebih, dari setengah jumlah anggotanya hadir Panitia Musyawarah Konstitusi ini penting karena tugasnya miliputi koordinasi kegiatan dan usul serta penyelesaian masalah yang timbul dalam sidang-sidang pleno dalam Panitia Persiapan Konstitusi dan dalam komisi-komisi konstitusi.

6. Panitia-Panitia Lain

Sekurang-kurangnya tiga panitia tambahan terbentuk: 1 Panitia perumus, 2 Panitia Redaksi dan 3 Panitia Istilah. Selama sidang-sidang pleno Konstituante beberapa panitia dibentuk untuk membuat kesimpulan

(33)

18  

dari pembahasan tentang masalah tertentu, untuk menyusun konsep bagi keptuusan yang akan diambil oleh sidang pleno, dan untuk merumuskan pembagian fungsi badan-badan Konstituante. Berbeda dengan Panitia Perumusan dan Panitia Redaksi yang hanya bersifat sementara. Panitia Istilah merupakan panitia tetap, panitia ini terdiri atas seorang ketua, wakil ketua, seorang sekretaris dan enam anggota yang diangkat atau dipilih dari anggota-anggota panitia persiapan konstitusi.

(34)

   

19 BAB III

PERAN BADAN KOSNTITUANTE PADA MASA DEMOKRASI LIBERAL

Setelah dilantik Presiden Soekarno, Badan Konstituante yang beranggotakan 514 orang itu langsung bersidang. Pada masa persidangan pertama, bulan November hingga Desember 1956 ini, Wilopo dari Partai Nasional Indonesia (PNI) ditetapkan sebagai Ketua, didampingi lima Wakil Ketua, masing-masing Prawoto Mangkusasmito dari Masyumi, Fatchurrahman Kafrawi dari Nahdlatul Ulama (NU), Johannes Leimena dari Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Sakirman dari Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Hidajat Ratu Aminah dari Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI).

Selanjutnya, dimulailah diskusi mengenai Peraturan Tata-tertib yang mencakup organisasi Konstituante dan cara-cara kerjanya. Peraturan Tata-tertib ini kemudian ditetapkan dalam sidang di semester pertama tahun 1957. Pada masa persidangan ke dua tahun 1957, ada dua masalah yang diperdebatkan di Konstituante, yakni pokok-pokok permasalahan yang akan dimasukkan ke dalam Undang-undang baru (20 Mei-7 Juni) dan sistematika undang-undang dasar tersebut (11-13 Juni). Dalam kedua perdebatan ini, terdapat dua pokok pembahasan yang dianggap paling penting, yakni soal Dasar Negara dan hak azasi manusia.11

Selama dua setengah tahun masa kerjanya, Konstituante telah peran penting mencapai keputusan mengenai hal-hal penting yang berkaitan dengan cita-cita

      

11

http://konsepnegaraideal.blogspot.com/2009/05/aspirasi-pemerintahan-konstitusional.html

(35)

20  

pembentukan negara konstitusional. Peran Badan Konstituante tersebut akan di bawah ini:

A. Penegasan Komitmen Terhadap Demokrasi

Seluruh usaha Konstituante mulai dari perumusan prosedur dan pemilihan kepemimpinannya, penyusunan peraturan tata-tertib, penyusunan agenda, perdebatan dan keputusan, hingga pemungutan suara terakhir terhadap usul Pemerintah untuk kembali ke UUD 1945 merupakan perwujudan demokrasi yang sesungguhnya, kebebasan berbicara yang utuh, serta tekad yang mendasar untuk membentuk pemerintahan konstitusional yang menjiwai sebagian besar anggotanya. Perkembangan menuju pemerin-tahan yang lebih konstitusional telah dimulai dengan Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945. Sesudah maklumat itu, telah diambil langkah-langkah penuh kesadaran menuju pelaksanaan cita-cita kebebasan ke dalam yang menghasilkan pembentukan pemerintah yang konstitusional, termasuk pertanggungjawaban kepada rakyat dan pembatasan kekuasaan pemerintah. Pemerintahan konstitusional ini bertahan hingga penyerahan kedaulatan kepada Indonesia pada akhir tahun 1949, pada saat-saat yang sangat sulit, ketika Angkatan Bersenjata Belanda berusaha menghancurkan Republik. Sesudah itu, diselenggarakan pemilihan umum untuk membentuk Parlemen dan Konstituante. Konstituante itu sendiri sebagai badan yang beranggotakan lebih dari 500 wakil rakyat Indonesia yang dipilih dalam pemilihan umum yang bebas membuktikan bahwa demo-krasi sesuai dengan kepribadian nasional Indonesia.12

       12

 Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusiona di Indonesia, Jakarta: PT. Intermasa , 1995, hal 409 

(36)

21  

Sukarno sering disebut sebagai sumber otoritatif dari tuduhan bahwa demokrasi seperti yang dijalankan di negara-negara Barat tidak sesuai untuk Indonesia. Tetapi sebenarnya antara 1945 dan 1956 Sukarno mendukung pemerintahan berdasarkan sistem multipartai yang bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat (Komite Nasional Indonesia Pusat). Pada tahun 1952 Presiden bertahan melawan tekanan dari pimpinan militer untuk membubarkan Parlemen. Memang benar bahwa pada tahun 1956 ia mulai mengucapkan keraguan terhadap pemerintahan parlementer, sesudah pemilihan umum gagal membentuk pemerintahan yang stabil. Akan tetapi, dalam pidatonya pada pelantikan Konstituante tanggal 10 November 1956, ia memuji Konstituante sebagai lembaga yang dipilih oleh rakyat untuk merumuskan undang-undang dasar yang definitif, dengan menyatakan bahwa semua undang-undang dasar yang selama itu dimiliki Indonesia bukan hasil pertimbangan antara anggota-anggota Konstituante yang dipilih rakyat, karena prasyarat bagi negara yang demokratis dan berdasarkan hukum ialah undang-undang dasar yang dibentuk oleh rakyat sendiri. Tetapi, sesudah mengakui wewenang Konstituante dan nilai demokrasi yang amat tinggi, ia berkata: “pada waktu-waktu sepuluh tahun atau dua puluh yang akan datang, maka tentu dapat mengoper demokrasi-liberal dari dunia Barat”…Untuk saat ini pemakaian demokrasi oleh golongan yang kuat harus dibatas. Ini berarti bahwa demokrasi kita untuk sementara haruslah demokrasi yang menjaga jangan ada eksploitasi oleh golongan terhadap golongan lain. Ini berarti bahwa demokrasi kita untuk sementara haruslah demokrasi terbimbing,demokrasi terpimpin”

(37)

22  

Di sini Sukarno tidak berpegang pada pendapat bahwa demokrasi seperti yang terdapat di negara-negara Barat secara hakiki tidak cocok bagi kepribadian Indonesia. Tetapi, dalam tahun 1950-an ia melihat bahwa di bawah demokrasi seperti itu ada kemungkinan bahwa golongan yang kuat akan mengambil keuntungan dari kelemahan golongan lain dengan memerasnya. Karena itu, ia mendesak supaya golongan yang lebih kuat diberi batasan-batasan sementara dan emansipasi golongan yang lemah diberi prioritas utama. Pada tahun 1956 ia memperkirakan bahwa pada tahun 1966 atau 1976 golongan lemah ini akan cukup terbebaskan sehingga mampu mencegah terjadinya pemerasan terhadap diri mereka; dengan demikian, pada tahapan itu, demokrasi seperti yang berlaku di negaranegara modern di seluruh dunia akan cocok-bagi rakyat Indonesia Namun, pelaksanaan pemikiran Sukarno mengenai pola negara integralistik menghalangi emansipasi golongan yang lemah, dan hanya memperkuat golongan yang berkuasa, bertentangan dengan slogan-slogan mengenai keadilan sosial dan konstitusionalisme.

B. Penegasan Komitmen Terhadap HAM

Konstituante melakukan pembahasan mengenai mengenai HAM empat kali. Diskusi pertama berlangsung dalam sidang pleno tanggal 20 Mei hingga 13 Juni 1958 bersama dengan diskusi mengenai materi yang akan dimasukan ke dalam UUD. Diskusi kedua berlangsung di dalam Panitia Persiapan Konstusi dan Subkomisi HAM yang dibentuk oleh Panitia persiapan Kostitusi. Subkomisi yang terdiri dari 43 anggota ini dibentuk pada tanggal

(38)

23  

21 Agustus 1957 dengan tugas menyelengggarakan diskusi awal tentang HAM. Subkomisi ini mengadakan beberapa rapat antara tanggal 21 Agustus dan 2 September 1957.

Pada tanggal 4 November 1957 mendiskusikan dibentuk Panitia Perumus untuk menyimpulkan hasil perdebatan tentang HAM dan merumuskan rancangan keputusan tentaug HAM yang akan diambil oleh sidang pleno. Laporan Panitia Perumus disampaikan pada tanggal 19 Agustus 1958. Laporan ini berisi 88 perumusan yang menyangkut 24 hak asasi yang berasal dari daftar I; 18 hak warga negara; 13 hak tambahan yang belum diputuskan apakah akan dimasukkan sebagai hak asasi manusia atau hak warga negara; hak yang masih diperdebatkan; hak yang dihilangkan atau digabung dengan hak lainnya. Untuk tiap kategori ini juga diusulkan prosedur terbaik supaya dapat diambil keputusan.

Pada laporan tersebut akhirnya terdaftar 14 desideratum (hal yang diperlukan namun belum ada) dan persoalan HAM tambahan yang muncul dalam sidang pleno dan belum disebutkan di dalam keempat daftar hak yang semula disusun Panitia Persiapan Konstitusi untuk dipertimbangkan di dalam Konstituante. Desiderata tersebut adalah sebagai berikut:

1. Hak jaminan kesehatan.

2. Hak untuk menikah menurut agama masing-masing. 3. Jaminan atas berlakunya hak dasar.

4. Jaminan terhadap anak-anak dan orang tua. 5. Hak-hak wanita, termasuk hak dalam perkawinan.

(39)

24  

6. Hak atas Pasal 16 dan 25 Deklarasi Universal HAM 149

7. Jiwa Undang-Undang Dasar 1950 Pasal 28 (3) (hak buruh mendapat upah yang layak).

8. Hak dasar yang muncul sebagai konsekuensi dari pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dan ekonomi terpimpin.

9. Hak dan kewajiban bagi orang asing yang ingin menjadi warga negara. 10.Peninjauan asas domain yang menjadi altibat dari politik penjajahan untuk

dijadikan sumber pemberian erfpacht cultures.

11.Hak-hak pemeliharaan bagi fakir miskin dan anak-anak terlantar.

12.Persoalan pembatasan pelaksanaan hak asasi dalam keadaan perang dan darurat perang.

13.Hak memilih dan dipilih. 14. Kebebasan pers. 13

Sayangnya, hak-hak tersebut tidak dibahas lebih lanjut, juga tidak diajukan untuk diputuskan dengan pemungutan suara atau dikembalikan kepada Panitia Persiapan Konstitusi untuk dibuat perumusan akhirnya. Oleh karena itu, hak-hak tersebut harus diinterpretasikan sebagai pernyataan dari pandangan umum yang kuat yang muncul dalam Badan Konstituante bahwa semua hak itu harus diakui.

Dalam pembahasan mengenai laporan ini partai-partai umumnya menyatakan penghargaan mereka dan menerimanya sebagai laporan pendaftaran. Tetapi, ada beberapa anggota yang menyesal karena usul mereka

       13

 Ibid, hal. 243 

(40)

25  

tidak dimasukkan. Sjafiuddin (Penyaluran) mengusulkan hak untuk tidak kehilangan kewarganegaraan dan meminta supaya "hak warga negara untuk dapat menuntut pelanggaran seseorang pejabat atau petugas terhadap hak-hak kewarganegaraannya" ditambahkan pada hak untuk menerima ganti rugi karena penangkapan yang melanggar hukum (butir 23 pada Daftar I). Ia juga menginginkan tambahan , mengenai sanksi yang manusiawi dan hak warga negara untuk menarik wakil-wakil mereka14 .

Yahya Yacub (PKI) menyarankan supaya Panitia Perumus menyusun daftar hak yang diusulkan untuk dicabut selama perdebatan. Fraksinya mengusulkan supaya usul-usul berikut ini dicoret dari kelompok hak-hak yang dipersoalkan: larangan bagi perempuan untuk bersuami lebih dari seorang; larangan propaganda antiagama; hak milik sebagai anugerah dari Tuhan; milik umum sebagai hal yang suci dan tak dapat diganggu gugat: pemikiran Islam bahwa hak milik merupakan anugerah dari Tuhan yang mempunyai fungsi sosial demi keselamatan manusia dan masyarakat: nilai yang amat tinggi yang diberikan oleh agama Islam pada upaya dan pengorbanan kaum buruh: hak pengusaha untuk menutup perusahaan dan memecat buruh. Da Costa (Partai Katolik) mengulangi pandangan fraksinya supaya ketentuan Islam menjadi agama resmi negara dan ketentuan mengenai "hak untuk menaati hukum Islam" dihapuskan dari kelompok hak yang masih dipersoalkan. Ia juga menegaskan tuntutan fraksinya supaya hak berdemonstrasi dan mogok dipindahkan dari kategori hak yang masih

      

14

Ibid, hal. 244

(41)

26  

dipersoalkan ke kategori hak-hak dasar warga negara. Asmara Hadi (GPPS) juga menunjuk pada dua hal yang tidak ada dalam laporan, yakni hak atas hidup dan hak untuk tidak dijatuhi hukuman mati.

C. Pengakuan Atas Masalah Kekuasaan

Pada tahun 1945, selama perdebatan sekitar undang-undang:dasar di dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan, para pemimpin Indonesia cenderung mengidealisasikan negara Indonesia yang baru terbentuk itu dan terlalu meremehkan masalah kekuasaan. Mereka tidak membayangkan perlunya membatasi kekuasaan pemerintah atau menjamin HAM untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, meskipun baik Hatta telah mengingatkan. Namun, sesudah pengalaman 14 tahun di dalam negara sendiri; sebagian besar anggota Konstituante - terutama dalam perdebatan pada tahun 1958 mengenai HAM dan pada 1959 tentang kembali ke UUD 1945 - menunjukkan bahwa mereka sudah memahami sepenuhnya bahwa kekuasaan pemerintahan perlu dibatasi. Mayoritas anggota Konstituante menyadari bahwa kekuasaan negara harus dibatasi oleh HAM dan oleh the rule of law. dan bahma pemerintah harus mempertanggungjawabkan penggunaan kekuasaannya. Pada tahun 1959, Pemerintah menyetujui tuntutan Konstituante supaya amandemen pada UUD 1945 yang membatasi kekuasaan pemerintah dimasukkan ke dalam Piagam Bandung dan supaya-piagam ini diakui mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan ketentuan-ketentuan di dalam UUD itu sendiri.

(42)

27  

Segala pembatasan, segala peinyataan hak, segala perincian tugas negara di dalam Undang-Undang Dasar tidak lain daripada kata-kata kosong jikalau ... tidak didukung oleh kekuatan-kekuatan masyarakat sendiri, tidak menipakan pemyataan serta penjelmaan daripada apa yang hidup di dalam masyarakat sendiri15.

Mungkin Konstituante seharusnya lebih memperhitungkan pusat-pusat kekuasaan yang ada dalam masyarakat Indonesia. Tetapi, Konstituante selalu mengadakan komunikasi yang terbuka dengan Pemerintah. Menteri-menteri sering mengikuti sidang pleno. Setelah setiap kali sidang pleno, Ketua Badan Konstituantesscara berkala memberi laporan kepada dan berkonsultasi dengan Presiden. Pada tanggal 30 Juli 1958, Ketua Wilopo menyatakan dalam sidang pleno bahwa para pemimpin Konstituante bersama dengan Pemerintah bersepakat bahwa Badan Konstituante harus menyelesaikan rancangan undang-undang dasar baru selambatlambatnya pada 26 Maret 1960, yakni sebelum pembentukan Parlemen baru hasil pemilihan umum yang akan segera dilaksanakan. Pada hari itu juga, Perdana Menteri Djuanda menyampaikan usul untuk mempercepat kerja Konstituante. Karena itu Badan Konstituante memang mempercepat pekerjaannya dengan memperluas wewenang Panitia Persiapan untuk mengambil keputusan mengenai hal-hal yang akan dibahas dalam sidang pleno.

Pada awal sidang pleno pertama tahnn 1959, Badan Konstituante mengubah acaranya untuk mendengar usul Pemerintah yang disampaikan

      

15

Ibid, hal. 412

(43)

28  

oleh Presiden Sukarno pada tanggal 22 April 1959. Usul tersebut kemudian dibahas dan dipertimbangkan dengan panjang lebar. Perlu dicatat, banyak anggota Konstituante yang memperhitungkan hubungan kekuasaan yang berlaku dan karena itu bersedia menerima usul kembali ke UUD 1945, termasuk pengangkatan wakil-wakil Angkatan Bersenjata yang akan duduk di MPR dan badan-badan perwakilan lainnya. Tetapi kesediaan Bdan Konstituante unrak menerima usul Pemerintah masih ada baratnya; Badan Konstituante tidak dapat mencabut mandat yang telah diberikan kepadanya atau pun sumpah yang telah diangkat oleh para anggotanya untuk mengusahakan pemerintahan konstitusional dan membuat undang-undang dasar secara bebas. Demikianlah Badan Konstituante menggariskan persyaratan untuk menyesuaikan diri dengan kekuasaan yang ada16.

Ditinjau dari perkembangan-perkembangan kemudian, mungkin lebih bijaksana jika Konstituante, tanpa melepaskan mandatnya, menggunakan kedua panitia yang dibentuk oleh Pemerintah yang pertama terdiri dari menteri-menteri, lalu yang kedua terdiri dari para ahli hukum konstitusional dan menyetuiui pembentukan panitia gabungan yang mencakup kedua panitia pemerintah itu untuk merancang undang-undang dasar yang kemudian dapat dibahas dan diputuskan di dalam sidang pleno. Badan Konstituante juga dapat menerima wakil Angkatan Darat dalam panitia perancang. Dengan demikian, Angkatan Darat akan terlibat dalam usaha menyusun rancangan undang-undang dasar dan mungkin akan lebih merasa terikat pada rumusan mengenai

      

16

Ibid, hal. 144

(44)

29  

bentuk pemerintahan konstitusional. Akan tetapi, perlu juga diperhitungkan kecenderungan Angkatan Darat untnk membentuk pemerintahan otoriter. Karena adanya kecenderungan tersebut, maka sekalipun terlibat dalam proses pembuatan undang-undang dasar, kemungkinan akan membangkitkan rasa keterikatan Angkatan Darat pada bentuk pemerintahan konstitusional kecil sekali.

(45)

 

 

30 BAB IV

PEMBUBARAN BADAN KONSTITUANTE

A. Kegagalan Badan Konstituante Membentuk Undang-Undang Dasar Baru

Sejak pelantikan anggota pada tanggal 10 November 1956 hingga sidang Konstituante yang terakhir tanggal 2 Juni 1959, berlangsung tujuh kali Sidang Pleno, satu kali pada tahun 1956, tiga kali pada tahun 1957, dua kali pada tahun 1958, dan satu kali pada tahun 1959. Panitia Persiapan Konstitusi mengadakan rapat di antara dua Sidang Pleno. Pada tahun 1958 jumlah sidang pleno lebih sedikit dibandingkan padatahun 1957 karena sidang pleno berhasil mengambil keputusan tentang beberapa masalah dan bahkan berhasil mencapai keputusan tentang pasal - pasal yang akan dimasukkan dalam UUD. Karena itu, Panitia Persiapan Konstitusi, yang ditugaskan mambahas lebih lanjut masalah - masalah yang telah diputuskan, bersidang lebih sering daripada tahun sebelumnya. Karena itu juga sidang - sidang pleno pada tahun 1958 lebih singkat yang terakhir selesai pada awal September dibandingkan dengan sidang-sidang tahun 1957 yang berlangsung hingga bulan Desember.

Pada sidang-sidang tahun 1956, ketua dan wakil-wakil ketua dipilih menurut prosedur yang disetujui sesudah perdebatan yang panjang lebar. Sesudah itu, dimulai diskusi mengenai Peraturan Tata Tertib yang mencaknp organisasi Konstituante dan cara - cara kerja. Peraturan Tata Tertib ditetapkan dalam sidang pada semester pertama tahun 1957. Selama perdebatan tentang Peraturan Tata Tertib, partai - partai nasionalis radikal mengajukan pendapat yang secara prinsipil bertentangan dengan pendapat mayoritas perihal dasar

(46)

31  

konstitusi yang dapat dilihat dari perkembangan kemudian, dapat dianggap sebagai indikasi campur tangan pemerintah yang dilakukan pada tahun 1959. Pendapat yang bertentangan ini pada akhir perdebatan tentang Peraturan Tata Tertib dinyatakan dalam nota yang ditandatangani oleh 17 orang anggota yang beranggapan bahwa wewenang Badan Konstituante untuk merancang konstitusi seharusnya tidak bersumber pada UUD 1950, melainkan pada UUD 1945. Lebih lanjut ditekankan bahwa pemerintah identik dengan badan tertinggi di dalam republik, yang sejak tahun 1945 tidak berubah dan tidak dapat diganti oleh DPR. Badan tertinggi ini adalah Presiden Sukarno yang berdasarkan sejarah proklamasi berhak dan wajib menolak rancangan UUD jika dianggap bertentangan dengan makna dan isi Proklamasi 17 Agustus 1945.

Pada sidang kedua tahun 1957, dua pokok yang penting diperdebatkan: (1) dari tanggal 20 Mei hingga 7 Juni, pokok - pokok yang akan dimasukkan ke dalam undang - undang dasar baru dan (2) dari tanggal 11 Juni hingga 13 Juni, sistematika undang - undang dasar baru tersebut. Dalam kedua perdebatan ini, terdapat dua pokok yang dianggap sebagai pokok yang paling penting, yakni soal Dasar Negara dan hak-hak asasi manusia. Yang pertama umumnya dilihat sebagai pokok yang menentukan seluruh isi undang-undang dasar, sedangkan soal hak - hak asasi manusia dianggap oleh banyak orang sebagai hal yang menentukan maksud dan substansi undang - undang dasar. Selama bulan-bulan terakhir tahun 1957, tiga usul yang berkaitan dengan Dasar Negara Pancasila, Islam dan Sosial Ekonomi diajukan dan

(47)

32  

diperjuangkan dengan gigih oleh pendukung - pendukung sejak tanggal 11 November hingga 6 Desember. Perdebahan tersebut bersifat ideologis, mutlak-mutlakkan dan antagonis sehingga partai-partai yang terlibat di dalamnya bukan saling mendekati melainkan sebaliknya, semakin menjauh. Akibatnya pada tanggal 6 Desember sidang pleno memutuskan bahwa perdebahan tentang Dasar Negara perlu ditangguhkan dan Panitia Persiapan Konstitusi ditugaskan untuk mempersiapkan rumusan yang akan memungkinkan tercapainya kompromi.

Pada sidang-sidang tahun 1958, Pokok-Pokok Pembicaraan yang paling Penting hak - hak asasi manusia, penyempurnaan prosedur, dan asas - asas dasar kebijakan negara. Berbeda dengan sifat perdebatan mengenai Dasar Negara yang cenderung mengarah pada perpecahan, perdebatan tentang hak - hak asasi manusia malah lebih mempersatukan terlihat dari adanya konsensus yang menonjol mengenai arti penting hak- hak manusia, termasuk kebebasan beragama. Beberapa perbedaan pendapat yang ada berkembang pada kebebasan berpindah agama yang tidak dapat diterima oleh partai - partai Islam, masalah-masalah yang berkaitan dengan hak milik modal asing yang dapat disalahartikan untuk memeras rakyat, serta persamaan hak bagi semua warga negara Indonesia tanpa memandang keturunan (terutama bagi keturunan Cina).17

Di samping hak - hak asasi manusia, percepatan kerja Konstituante merupakan pokok pembicaraan yang penting pada tahun 1958. Pada tanggal 8       

17

Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Kostitusional di Indonesia, Studi Sosio-Legal atas Konstituante, Jakarta: PT. Intermasa, hal. 41

(48)

33  

September Sidang Pleno memutuskan untuk memperluas wewenang Panitia Persiapan Konstitusi untuk memberi hak dalam mengambil keputusan berdasarkan mayoritas dua pertiga termasuk mengambil keputusan mengenai rancangan pasal-pasal untuk mempercepat penyusunan- rancangan undang-undang dasar baru .

Percepatan prosedur ini sebagian dimaksudkan sebagai jawaban terhadap pesan pemerintah yang disampaikan oleh Perdana Menteri Djuanda tanggal 30 Juli di depan sidang pleno. Pidato Perdana Menteri ini harus dilihat dalam konteks ketegangan yang semakin tajam antara presiden, kabinet dan Angkatan Bersenjata di satu pihak, dengan partai -partai dan Konstituante di pihak lain. Konflik memang sangat mungkin terjadi karena pertama menginginkan bentuk pemerintahan yang lebih otoriter untuk lebih menjaga stabilitas daripada bentuk kabinet parlementer yang berlaku. Bentuk pemerintah yang otoriter dianggap perlu untuk menangani kemerosotan ekonomi dan perpecahan nasional yang semakin mengancam. Tetapi, Konstituante tetap memperjuangkan pemerintahan yang sesuai dengan undang-undang.18

Pada 30 Mei 1959 Konstituante melaksanakan pemungutan suara. Hasilnya 269 suara menyetujui UUD 1945 dan 199 suara tidak setuju. Meskipun yang menyatakan setuju lebih banyak tetapi pemungutan suara ini harus diulang, karena jumlah suara tidak memenuhi kuorum. Pemungutan suara kembali dilakukan pada tanggal 1 menghasikan 264 suara setuju dan

      

18

Ibid, hal. 43

(49)

34  

204 tidak setuju. Hal ini berarti tetap belum mencapai 2/3 suara yang ditentukan untuk dapat mengambil keputusan bersama. Pada tanggal 2 Juni 1959 anggota konstituante mengadakan pemungutan suara ujang lagi. Hasilnya tetap tidak mencapai tidak mencapai ketentuan yaitu: 263 setuju dan 203 tidak setuju. Dari pemungutan suara ini Konstituante juga gagal mencapai kuorum. Untuk meredam kemacetan, Konstituante memutuskan reses yang ternyata merupkan akhir dari upaya penyusunan UUD.

Pemungutan suara sampai diulang - ulang dan tetap mengalami kegagalan, jelas membawa tidak yang membahayakan keselamatan negara dan bangsa. Membahayakan karena suasana di dalam gedung konstituante merembes ke luar gedung yang akan berakibat sesuatu yang tidak diharapkan kalau tidak segera dicegah. Untuk mencegah hak tersebut, maka Jenderal Nasution Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KASAD) atas nama Pengysa Perang Pusat (PEPERPU), mengeluarkan keputusan pada tanggal 3 Junni 1959, yang berisi melarang kegitan Politik. Keputusan PEPERPU itu memang membawa dampak adanya ketenangan di berbagai daerah, namun belum menyelesaikan persoalan dan perselisihan yang terjadi di konstituante.

B. Bangkitnya Angkatan Darat Sebagai Kekuatan Politik Utama Dalam Negara

Munculnya Angkatan Darat sebagai kekuatan politik berawal dari diangakatnya kembali Kolonel Nasution sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KASAD). Program pertama yang dilakukan adalah pemantapan dan konsolidasi intern terutama terhadap komadan - komandan militer regional.

(50)

35  

Tantangan yang muncul adalah timbulnya pembangkan beberapa militer daerah pada pertengahan tahun 1956 yang kemudian berlanjut pada pemberontakan - pemberontakan daerah. Pergolakan-pergolakan daerah ini dapat diatasi. Usaha Angkatan Darat yang demikian berhasil dalam mengatasi permasalahan daerah ini tidak saja memperkuat posisi Angkatan Darat dengan politik, melainkan mendekatkan diri dalam hubungan dengan Presiden Soekarno.19

Hubungan Soekarno dengan Angkatan Darat dalam hal ini Nasutio, ditandai oleh adanya kepentingan yang sama. Terdapat kesamaan pandangan antara Nasution dan Soekarno dalam masalah stabilitas pemerintahan, peranan partai politik dan pemberlakukan keadaan darurat perang. Hubungan ini dimulai pada tanggal 21 Februari 1957, dihadapan para pemimpin partai politik dan tokoh masyarkat di Jakarta, Presiden Soekarno mengemukakan gagasan mengenai pembentukan Dewan Nasional. Pembentukan badan ini ditujukan untuk memberikan nasihat mengenai soal - soal pokok kenegaraan dan kemasyarakatan kepada pemerintah. Dewan ini terdiri dari beberapa golongan masyarkat, menteri menteri yang dianggap perlu, pejabat - pejabat militer dan sipil. Dewan ini langsung dipimpin oleh Presiden, Presiden berhak mengangkat dan memberhentikannya.

Dengan dimasukannya para Staf Angkatan dan Kepala Kepolisian negara dalam Dewan Nasional maka sesungguhnya militer telah memperoleh legitimasi dan fungsi sosial - politik bersama golongan lainnya. Masuknya       

19

Yahya A. Muhaimiun, Perkembangan Militer Dalam Politik di Indonesia 1945-1966. Yogyakarta, Gajah Mada University Pers, hal. 85

(51)

36  

perwakilan militer dalam dunia politik menimbulakan perdebatan bagi partai - partai politik (Masyumi, Partai Katolitk, PSI) pemerintah dan Badan Konstitunate. Mereka berpendapatan bahwa merubah struktur ketatanegaraan bukanlah wewenang presiden melainkan Badan Konstituante. Sehingga keputusan Presiden Soekarno untuk membentuk Dewan Nasional dianggap tidak konstitusional. Reakasi terkuat berasal daerah, terutama Wilayah Indonesia Timur yang berada dibawah komando Letnan Kolonel Sumual. Ia menuntut supaya Dewan Nasional diganti menjadi senat yang anggota terdiri dari 70% anggotanya diambil dari daerah - daerah, ia juga menuntut supaya Kabinet Gotong Royong dan Dewan Nasional dipimpin oleh Soekarno - Hatta. Semua tuntutan ini di tolak oleh Presiden sehingga membuat Letnan Kolonel Sumual memproklamasikan PRRI.

Pergolakan politik militer dengan pemerintah khususnya Badan Konstituante berlanjut pada pembahasan pembentukan undang - undang baru. Pada tahun 1957, Nasution mengusulkan di depan Dewan Nasional supaya Indonesia kembali ke UUD 1945, tetapi usulan tersebut belum mendapat dukungan yang diharapkan. Akan tetapi ketika keadaan politik dan ekonomi Indonesia memburuk (antara lain karena pemberontakan - pemberontakan di daerah dan karena aksi - aksi untuk merebut kembali Irian Barat). Militer mulai melancarkan kampanye kembali ke UUD 1945 dengan menggunakan potensi mobilisasi masyarakat melawan Belanda dalam rangka merebut kembali Irian Barat. Adanya mobilisasi masa ini menarik partai-partai politik untuk terserap dalam perjuangan militer melawan Belanda. Hal ini berarti

(52)

37  

partai-partai politik secara tidak langsung telah mendukung militer dalam politiknya. Pada bulan Agustus 1958, Nasution sekali lagi mengusulkan pemberlakuan kembali UUD 1945 di depan Dewan Nasional. Usulan ini kemudian diterima oleh Dewan Nasional dan diteruskan kepada kabinet sebagai kekuatan yang mengikat pada tanggal 19 Februari 1958.

Pada 30 Mei 1959 Konstituante melaksanakan pemungutan suara. Hasilnya 269 suara menyetujui UUD 1945 dan 199 suara tidak setuju. Meskipun yang menyatakan setuju lebih banyak tetapi pemungutan suara ini harus diulang, karena jumlah suara tidak memenuhi kuorum. Pemungutan suara kembali dilakukan pada tanggal 1 menghasikan 264 suara setuju dan 204 tidak setuju. Hal ini berarti tetap belum mencapai 2/3 suara yang ditentukan untuk dapat mengambil keputusan bersama. Pada tanggal 2 Juni 1959 anggota Konstituante mengadakan pemungutan suara ulang. Hasilnya tetap tidak mencapai tidak mencapai ketentuan yaitu: 263 setuju dan 203 tidak setuju. Dari pemungutan suara ini Konstituante juga gagal mencapai kuorum. Untuk meredam kemacetan, Konstituante memutuskan reses yang ternyata merupkan akhir dari upaya penyusunan UUD.

Pemungutan suara sampai diulang-ulang tetap mengalami kegagalan, jelas membahayakan keselamatan negara dan bangsa. Membahayakan karena suasana di dalam gedung konstituante merembet ke luar gedung yang akan berakibat sesuatu yang tidak diharapkan. Untuk mencegah hal tersebut, maka Jenderal Nasution Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KASAD) atas nama Penguasa Perang Pusat (PEPERPU), mengeluarkan keputusan pada tanggal 3

(53)

38  

Juni 1959, yang berisi melarang kegitan Politik. Keputusan Peperpu itu memang membawa dampak adanya ketenangan di berbagai daerah, namun belum menyelesaikan persoalan dan perselisihan yang terjadi di konstituante. Untuk itu diperlukan langkah guna menyelesaikan persoalan sercara mantap.

Pada 5 Juli 1959 pukul 17.00 Presiden Ir. Sukarno mengeluarkan dekrit yang diumumkan dalam upacara resmi di Istana Merdeka. Hal ini diikuti oleh Jenderal Nasution, kepala staf Angkatan Darat, mengeluarkan maklumat mendukung Dekrit Presidan 5 Juli 1959, sekalipun mengeluarkan Perintah Harian yang di tujukan kepada seluruh anggota TNI untuk melaksanakan dan mengamankan dekrit tersebut. Dalam perkembangannya Mahkamah Agung mengeluarkan pernyataan yang membenarkan dekrit tersebut dengan membubarkan Badan Konstituante hasil Pemilu 1955.

C. Munculnya Demokrasi Terpimpin 1. Posisi Presiden Soekarno

Pada akhir tahun 1956 situasi sosial politik dan keamanan menunjukkan yang jelas akan membawa negara pada perpecahan nasional. Keadaan tersebut membuktikan tidak cocoknya sistem politik Demokrasi Liberal dengan jiwa bangsa Indonesia, yang ditandai pula dengan gejala bahwa sidang Konstituante yang mulai bersidang tanggal 10 November 1956 akan mengalami kemacetan.

Untuk mengatasi instabilitas yang sangat membahayakan keselamatan negara, pada tanggal 21 Februari 1956 di Istana Merdeka, di hadapan para

(54)

39  

pemimpin partai dan tokoh masyarakat Presiden Soekarno mengemukakan suatu konsepsi yang kemudian ternyata melahirkan perubahan sistem ketatanegaraan secara fundamental, yang selanjutnya dikenal dengan sebutan "Konsepsi Presiden". Konsepsi Presiden Soekarno yang dikemu-kakan dalam pidatonya itu, mengandung tiga pokok isi untuk mengadakan pembaruan dalam struktur sosial, struktur politik dan kehidupan poltik. Diperlukannya pembaruan kehidupan politik setelah hampir sebelas tahun merdeka, adalah karena ternyata sistem Demokrasi Parlementer barat tidak dapat jalan dan akhirnya mengalami kemacetan. Sebaliknya sistem yang menurut Presiden Soekarno cocok adalah sistem Demokrasi Terpimpin.20

Untuk mengadakan pembaruan struktur politik, dikemukakan bahwa pelaksanaan Demokrasi Terpimpin harus didukung oleh kekuatan-kekuatan yang mencerminkan aspirasi masyarakat secara berimbang. Oleh karena itu perlu dibentuk Kabinet Gotong Royong berdasarkan perimbangan kekuatan yang ada dalam masyarakat, yang anggotanya terdiri dari partai politik dan golongan. Dalam pembentukan Kabinet Gotong Royong ini, Presiden Soekarno mengetengahkan gagasan kegotongroyongan nasional berporoskan Nasakom. Oleh karena itu PKI harus diikutsertakan dalam Kabinet Gotong-Royong. Dalam rangka pembaruan struktur sosial, akan dibentuk Dewan Nasional yang akan dipimpinnya sendiri.

Dengan terbentuknya Dewan Nasional, terjadilah perubahan dalam sistem pemerintahan Indonesia yang jatuh pada sistem kekuasaan otoriter

      

20

http://penasoekarno.wordpress.com/2010/09/13/lahirnya-demokrasi-terpimpin/ 2 Februari 2012

(55)

40  

yaitu berada dalam satu tangan yaitu Presiden Soekarno. Meskipun terdapat lembaga-lembaga seperti DPR, MPRS, tetapi dengan dibentuknta Dewan Nasional praktis kekuasaan berada di tangan Soekarno. Semenjak itu pula semua lembaga politik seperti DPR, MPRA, Dewan Nasional dan Dewan Perwakilan Agung bekerja dibawah komando Soekarno.

Persoalan negara yang berlarut dalam kekacauan politik, membuat Presiden Soekarno mengambil keputusan dengan cepat dalam menyelematkan negara. Ia membentuk badan-badan yang langsung berada di bawah komandonya seperti, DPA( Dewan Pertimbangan Agung), DPN(Dewan Perancang Perang Nasional), MPN( Majelis Pimpinan Negara). Presiden membentuk pula badan-badan yang membentunya pada waktu negara dalam keadaan darurat yaitu badan yang mencerminkan mesyarakat seperti, Front Nasional, BPPK (Badan Pengerahan Potensi Kerja) KOTI( Komandan Operasi Tertinggi), KOTOE( Komando Operasi Tertinggi Ekonomi, dan PARAN(Penertiban Aparatur Negara) dan Soekarno pimpinan hampir semua badan-badan tersebut.21

Posisi Presiden Soekarno sebagai pemimpin negara yang sentral, mulai memuncak pada tanggal 5 Juli 1959. Dengan jaminan dan dukungan Angkatan Bersenjata, Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden dalam suatu upacara resmi di Istana Negara. Salah satu isi dari dekri ini adalah pembubaran Konstituante karena kegagalan badan ini dalam membentuk

       21

 Nazaruddin Sjamsuddin, Soekarno Pemikiran Politik dan Kenyataan Praktek, Jakarta, Rajawali Pers. hal 188-190

(56)

41  

undang-undang baru. Pembubaran Konstituante ini menandai berlakukanya UUD 1945 dalam kerangka Demokrasi Terpimpin.

2. Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Dengan dibentuknya Dewan Nasional, maka dimulailah babak baru dalam permasalahn politik Indonesia. Sementara itu perdebatan-perdebatan Konstituante semakin berlarut-larut, tidak membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan oleh rakyat dan membuat krisis nasional semakin parah. Melihat gelagat kegagalan Konstituante ini berbagai pihak mencari jalan keluar dari jalan-buntu politik yang sedang dihadapi. Pimpinan TNI Angkatan Darat, mengajukan gagasan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. Pada 17 Maret 19 , Dewan Nasional mengadakan sidang dan se-lanjutnya menyarankan pemerintah segera kembali kepada UUD 1945.

Dalam pidato 22 April 1959 di depan Konstituante , Presiden Soekarno atas nama pemerintah menganjurkan, supaya Konstituante dalam rangka pelaksanaan Demokrasi Terpimpin menetapkan saja UUD 1945 menjadi UUD Negara Republik Indonesia yang tetap. Sementara itu kalangan rakyat luas pun menuntut kembali ke UUD 1945, yang dinyatakan dalam beberapa rapat umum.

Sebelum Konstituante menerima atau menolak usul pemerintah itu, timbul amandemen dari golongan Islam yang mengusulkan supaya di-tambahkan kata-kata "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" ke dalam Pembukaan UUD 1945 sebagaimana

(57)

42  

dapat dalam Piagam Jakarta. Usul amandemen ini ditolak Konstituante dalam sidang tanggal 29 Mei 1959, dengan perbandingan suara 201 setuju dan 265 menolak. Pada 30 Mei 1959 dilakukan pemungutan suara terhadap usul pemerintah, hasilnya ialah 269 lawan 199 dari jumlah 474 orang anggota yang hadir. Dengan demikian, meskipun mencapai kelebihan jumlah suara namun masih belum mencapai kuorum dua pertiga seperti disyaratkan UUDS 1950, pasal 37.22

Sesuai dengan tata tertib Konstituante dapat diadakan pemungutan suara dua kali lagi, tetapi pada pemungutan suara terakhir yang dilakukan pada tanggal 2 Juni 1959, tetap tidak tercapai kuorum. Pada keesokan harinya tanggal 3 Juni 1959 Konstituante mengadakan reses, yang kemudian ternyata tidak pernah lagi mengadakan sidang untuk selama-lamanya.

Dalam suasana sangat gawat karena memuncaknya krisis nasional, serta untuk menjaga kemungkinan timbulnya permasalahan politik yang meng-ancam keselamatan negara sebagai akibat ditolaknya usul pemerintah oleh Konstituante, maka KSAD Letnan Jenderal A.H. Nasution atas nama Pemerintah/Penguasa Perang Pusat (Peperpu), pada tanggal 3 Juni 1959 mengeluarkan peraturan No. Prt/Peperpu/040/1959 tentang larangan mengadakan kegiatan-kegiatan politik.

Kedaan darurat nasional dan kegagalan Konstituante dalam melaksanakan tugasnya akan mengancam perpecahan politk nasional. Dengan mendapat jaminan dan dukungan Angkatan Bersenjata, Presiden

      

22

Nugroho Notosusanto, Pejuang dan Prajurit, Jakarta, Sinar Harapa, hal 99-100

(58)

43  

Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 dalam suatu upacara resmi di Istana Merdeka mengumumkan Dekrit Presiden. Adapun isi pokok Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tersebut, yaitu :

1. Pembubaran Konstituante 2. Berlakunya kembali UUD 1945 3. Tidak berlakunya UUD 1950 (UUDS).

Di samping itu, ditetapkan pula bahwa akan segera dibentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS). Demi mengamankan Dekrit Presiden, Nasution sebagai pimpinanan Angkatan Darat mengeluarkan perintah harian yang bertujuan mengamankannya.23

       23

 http://boetarboetarzz.blogspot.com/2012/06/dekrit-presiden-5-juli-1959.html

Gambar

Gambar 1. Partai Peserta Pemilu 1955
Gambar 3. Isi Dekrit Presiden 1955
Gambar 4. Pembacaan Dekrit Presiden 1955

Referensi

Dokumen terkait

1, 1, 2, 3, 5, 8, 13, 21, 34, .... Ibu Tini memiliki 2 buah deposito. Deposito pertama sebesar Rp. Dan deposito kedua sebesar Rp. Hitunglah tingkat bunga yang diperoleh Ibu

Semakin besar free cash flow yang tersedia dalam suatu perusahaan, maka semakin sehat perusahaan tersebut, karena memiliki kas yang tersedia untuk pertumbuhan, pembayaran hutang

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Allah Ta’ala untuk limpahan karunianya, sehingga laporan Pengujian Laboratorium Efikasi Insektisida Tamilto 25 WP (b.a.: Metomil

penambahan tertinggi kasus harian berasal dari propinsi yang memilik jumlah penduduk yang besar dan tingkat kepadatan yang tinggi, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Pengaturan desa tentang pembangunan jalan rabat beton di Desa Gumpang Lempuh Kecamatan Putri Betung Kabupaten Gayo Lues Provinsi Aceh sesuai dengan Pasal 1

Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah dilakukan ada pengaruh secara simultan antara tingkat suku bunga deposito, kurs valas,

dinyatakan bahwa varaibel gaya.. kepemimpinan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kinerja guru di SMA Negeri 7 Palu. Dengan demikian maka hipotesis ketiga

Disini dapat disimpulkan bahwa, mereka warga Gampoeng Batu Raja yaitu suku Aceh dan Jawa dapat menjalani proses komunikasi antarbudaya yang baik, seperti adaptasi