• Tidak ada hasil yang ditemukan

KUALITAS FERMENTASI DAN KANDUNGAN NUTRIEN SILASE BEBERAPA JENIS RUMPUT YANG DIPANEN PADA WAKTU BERBEDA SKRIPSI RUDY YANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KUALITAS FERMENTASI DAN KANDUNGAN NUTRIEN SILASE BEBERAPA JENIS RUMPUT YANG DIPANEN PADA WAKTU BERBEDA SKRIPSI RUDY YANA"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

KUALITAS FERMENTASI DAN KANDUNGAN NUTRIEN SILASE BEBERAPA JENIS RUMPUT YANG DIPANEN

PADA WAKTU BERBEDA

SKRIPSI RUDY YANA

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

(2)

RINGKASAN

RUDY YANA. D24104061. 2011. Kualitas Fermentasi dan Kandungan Nutrien Silase Beberapa Jenis Rumput yang Dipanen pada Waktu Berbeda.

Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan. Fakultas Peternakan.

Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Nahrowi, MSc.

Pembimbing Anggota : Ir. Lidy Herawaty, MS.

Silase dapat dibuat dari berbagai jenis tanaman seperti rumput, legum, sereal dan hasil ikutan tananam lainnya. Syarat rumput yang baik untuk dijadikan silase salah satunya adalah harus mempunyai substrat mudah terfermentasi dalam bentuk Water Soluble Carbohydrate (WSC) yang cukup. Konsentrasi WSC secara umum lebih tinggi pada sore atau malam hari, menurun pada malam hari melalui proses respirasi dalam tanaman dan lebih rendah lagi pada pagi hari.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kualitas fermentasi dan kandungan nutrien silase beberapa jenis rumput yang dipotong pada waktu pagi, siang dan malam hari. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial (5x3) masing-masing dengan 4 ulangan. Faktor A adalah jenis rumput (Pennisetum purpureum, Pennisetum purputhypoides, Brachiaria humidicola, Panicum maximum dan Paspalum notatum) dan Faktor B adalah waktu panen (pagi, siang dan malam hari). Data yang diperoleh dianalisis ragam, dan apabila hasilnya menunjukkan berbeda nyata diuji dengan uji jarak Duncan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis rumput dan waktu panen tidak berpengaruh nyata terhadap kehilangan bahan kering silase. Derajat keasaman (pH) silase nyata (p<0,05) dipengaruhi oleh jenis rumput dan waktu panen.

Terdapat interaksi antara jenis rumput dan waktu panen terhadap pH. Jenis rumput raja (Pennisetum purputhypoides) yang dipanen pada malam hari menghasilkan pH paling rendah yaitu sebesar 4,84. Jumlah koloni bakteri asam laktat yang dihasilkan rumput gajah yang dipanen pada pagi hari (6,91 log 10 cfu/ml) lebih tinggi daripada perlakuan lain. Jumlah bakteri asam laktat yang paling rendah terdapat pada silase rumput Brachiaria humidicola yang dipanen pada pagi hari (5,64 log 10 cfu/ml). Kelarutan silase nyata (p<0,05) dipengaruhi oleh jenis rumput tetapi tidak dipengaruhi waktu panen. Silase rumput raja (Pennisetum purputhypoides) memiliki kelarutan tertinggi dibandingkan jenis rumput yang lainnya (79,08%), sedangkan jenis rumput gajah (Pennisetum purpureum) memiliki pengaruh kelarutan terendah dibandingkan dengan jenis rumput lainnya (69,78%). Total gula silase nyata (p<0,05) dipengaruhi oleh jenis rumput, waktu panen dan interaksi keduanya. Total gula yang tertinggi adalah rumput raja (Pennisetum purputhypoides) yang dipanen pada malam hari (20,54%), sedangkan total gula terendah adalah rumput Paspalum notatum yang dipanen pada pagi hari (1,94%). Dapat disimpulkan bahwa jenis rumput dan waktu panen mempengaruhi nilai pH, total gula, dan kelarutan silase tetapi tidak mempengaruhi kehilangan bahan kering silase dan jumlah bakteri asam laktat.

Kata-kata kunci : rumput, silase, waktu panen, nutrien silase

(3)

ABSTRACT

Fermentation Quality and Nutrient Content of Silage from Several Kinds of Grasses Harvested in Different Time

R.Yana, Nahrowi, L. Herawaty

The aims of the research were to analyze fermentation quality. The research used randomized factorial design (5x3) with factor A was grass sources (Pennisetum purpureum, Pennisetum purputhypoides, Panicum maximum, Brachiaria humidicola, and Paspalum notatum) and factor B was the harvest time (morning, noon, and night). The results showed that grass sources and harvest time significantly (P<0.05) influenced pH, solubility and Water Soluble Carbohydrate (WSC). Solubility, those of pH and WSC from Pennisetum purputhypoides were higher than those of the others, and pH and WSC lost from grass harvested at night were higher than the others silage. There were interaction between grass Pennisetum purputhypoides and time of harvesting. It is concluded that kind and harvesting time of the grass influenced pH, WSC and silage solubility but it did not affect sillage dry matter lost and number of lactic acid bacteria.

Keywords: silage, grasses, harvest time, nutrient content

(4)

KUALITAS FERMENTASI DAN KANDUNGAN NUTRIEN SILASE BEBERAPA JENIS RUMPUT YANG DIPANEN

PADA WAKTU BERBEDA

Oleh RUDY YANA

D24104061

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

(5)

Judul Skripsi : Kualitas Fermentasi dan Kandungan Nutrien Silase Beberapa Jenis Rumput yang Dipanen pada Waktu Berbeda

Nama : Rudy Yana NIM : D24104061

Menyetujui :

Pembimbing Utama

(Prof. Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc.) NIP. 19620425 198603 1 002

Pembimbing Anggota

(Ir. Lidy Herawaty, MS.) NIP. 19620914 198703 2 009

Mengetahui : Ketua Departemen

Ilmu dan Nutrisi Teknologi Pakan

(Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc. Agr) NIP. 19670506 199103 1 001

Tanggal Ujian : 8 Desember 2011 Tanggal Lulus :

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 18 Januari 1986 dari Bapak Dayat Hidayat dan Ibu Rukaimah. Penulis merupakan putra keempat dari enam bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar tahun 1998 di SD Negeri Kebayoran Lama Selatan 11 Pagi dan pendidikan menengah tahun 2001 di SLTP Negeri 161 Jakarta. Tahun 2004 Penulis lulus dari SMA Negeri 47 Jakarta dan pada tahun yang sama penulis diterima di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama menempuh pendidikan di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi

Pakan, Penulis aktif menjadi anggota Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Tingkat

Persiapan Bersama (TPB) periode 2004/2005, kemudian Ketua Umum BEM

Fakultas Peternakan periode 2006/2007, Ketua Departemen Kebijakan Pertanian

BEM KM IPB periode 2006/2007, dan Koordinator Majelis Pekerja Nasional

ISMAPETI (Ikatan Senat Mahasiswa Peternakan Indonesia).

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia dan rahmatNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang berjudul Kualitas Fermentasi dan Kandugan Nutrien Silase Beberapa Jenis Rumput yang Dipanen pada Waktu Berbeda ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai September 2009. Penelitian ini mempelajari pengaruh waktu pemotongan dan jenis rumput terhadap kehilangan bahan kering, derajat keasaman (pH), populasi bakteri asam laktat, kelarutan, dan total gula.

Keberhasilan dalam proses silase salah satunya ditentukan oleh kandungan Water Soluble Carbohydrate (WSC) yang ada pada bahan baku silase. Kandungan WSC pada rumput berkaitan dengan penerimaan cahaya matahari. Tanaman merubah energi dari matahari menjadi gula sehingga konsentrasi gula secara umum lebih tinggi pada sore atau menjelang malam hari. Konsentrasi gula mulai menurun pada malam hari melalui proses respirasi dalam tanaman dan lebih rendah lagi pada pagi hari. Sehingga kajian kualitas silase rumput yang dipanen pada waktu berbeda sangat diperlukan.

Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumber inspirasi untuk menggugah kreativitas pihak-pihak yang terkait khususnya mahasiswa Fakultas Peternakan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh daripada kesempurnaan, namun Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi Penulis khususnya dan pembaca umumnya.

Bogor, Maret 2011

Penulis

(8)

v DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN . ... i

ABSTRACT . ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Silase. ... 3

Brachiaria humidicola. ... 4

Pennisetum purpureum (Rumput Gajah). ... 4

Panicum maximum ... 5

Paspalum notatum ... 6

Pennisetum purputhypoides (Rumput Raja)... 6

Pengaruh Waktu Pemotongan ... 7

Bakteri Asam Laktat ... 8

METODE PENELITIAN ... 10

Tempat dan Waktu ... 10

Materi ... 10

Metode... 10

Rancangan Percobaan . ... 11

HASIL DAN PEMBAHASAN . ... 14

Kualitas Fermentasi Silase Beberapa Jenis Rumput ... 14

Karakteristik Fisik Silase ... 14

Karakteristik Kimia dan Mikrobial Silase ... 16

Kehilangan Bahan Kering ... 16

Derajat Keasaman (pH) . ... 17

Jumlah Koloni Bakteri Asam Laktat ... 19

Kelarutan ... 20

Total Gula (WSC) ... 21

KESIMPULAN DAN SARAN ... 23

Kesimpulan . ... 23

Saran . ... 23

(9)

vi

Halaman

UCAPAN TERIMAKASIH ... 24

DAFTAR PUSTAKA . ... 25

LAMPIRAN .. ... 28

(10)

7 DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Komposisi Kimia Silase Beberapa Jenis Rumput... 4 2 Komposisi Kimia Rumput Gajah pada Umur Pemanenan

yang Berbeda... 5 3 Komposisi dan Nilai Gizi Panicum maximum (% BK)... 5 4 Kandungan Nutrien Paspalum notatum... 6 5 Karakteristik Fisik Silase Beberapa Jenis Rumput pada

Waktu Pemotongan Berbeda... 14 6 Kehilangan Bahan Kering Silase Beberapa Jenis Rumput

pada Waktu Pemotongan Berbeda... 17 7 Derajat Keasaman (pH) Silase Beerapa Jenis Rumput pada

Waktu Pemotongan Berbeda... 18 8 Jumlah Koloni Bakteri Asam Laktat Silase Beberapa Jenis

Rumput pada Waktu Pemotongan Berbeda (Log 10

cfu/gram)... 19 9 Kelarutan Silase Beberapa Jenis Rumput pada Waktu

Pemotongan Berbeda... 20 10 Total gula Silase (%BK) Beberapa Jenis Rumput pada

Waktu Pemotongan Berbeda... 21

(11)

8 DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Annova Interaksi antara Bahan dan Waktu terhadap

Kehilangan Bahan Kering... 29 2 Annova Interaksi antara Bahan dan Waktu terhadap

pH... 29 3 Uji Lanjut Duncan Interaksi antara Bahan dan Waktu

terhadap pH Silase... 30 4 Annova Interaksi antara Bahan dan Waktu terhadap

Kelarutan... 30 5 Uji Lanjut Duncan Interaksi antara Bahan dan Waktu

terhadap Kelarutan... 31 6 Annova Interaksi antara Bahan dan Waktu terhadap Total

Gula... 31 7 Uji Lanjut Duncan Annova Interaksi antara Bahan dan

Waktu terhadap Total Gula... 32

(12)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pakan merupakan salah satu faktor penentu bagi berkembangnya suatu usaha peternakan. Pada ternak ruminansia, ketersediaan pakan terutama hijauan masih menjadi kendala dan sangat dipengaruhi oleh musim. Pada musim hujan, ketersediaan hijuan berupa rumput atau hijauan lainnya berlimpah, namun sebaliknya pada musim kemarau ketersediaan hijauan sangat terbatas.

Salah satu cara mengatasi kekurangan hijauan pada musim kemarau adalah dengan pengawetan. Ada dua cara pengawetan hijauan yang dapat dilakukan, yaitu dengan pengeringan (hay) dan silase. Pengawetan dengan teknik pengeringan memiliki beberapa kekurangan, yaitu bergantung cuaca dan kurang tahan simpan, sebaliknya pengawetan dengan teknik silase dapat dilakukan setiap saat tanpa dipengaruhi musim dan cuaca.

Silase adalah bahan pakan ternak berupa hijauan (rumput-rumputan atau leguminosa) yang disimpan dalam kondisi anaerob dengan kandungan air yang tinggi. Silase dapat dibuat dari berbagai jenis tanaman seperti rumput, legum, sereal dan hasil ikutan tananam lainnya. Bahan yang baik dijadikan silase harus mempunyai substrat mudah terfermentasi dalam bentuk Water Soluble Carbohydrate (WSC) yang cukup, buffering capacity yang relatif rendah dan kandungan bahan kering diatas 200 g/kg (McDonald et al., 1991). Water Soluble Carbohydrate (WSC) tanaman umumnya dipengaruhi oleh spesies, fase pertumbuhan, budidaya dan iklim.

Waktu panen berkaitan dengan penerimaan cahaya matahari terhadap tumbuhan. Tanaman pada umumnya melakukan proses fotosintesis. Proses fotosintesis ini biasanya terjadi pada siang hari atau ketika ada cahaya matahari.

Tanaman merubah energi dari matahari menjadi gula sehingga konsentrasi gula

secara umum lebih tinggi pada sore atau malam hari. Konsentrasi gula menurun

pada malam hari melalui proses respirasi dalam tanaman dan lebih rendah lagi

pada pagi hari, sehingga dengan adanya gula dari hasil fotosintesis tersebut,

memungkinkan adanya pengaruh waktu pemanenan terhadap kualitas silase.

(13)

2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh jenis hijauan dan waktu

panen terhadap kualitas silase yang dihasilkan termasuk diantaranya sifat

organoleptik, pH, populasi bakteri asam laktat (BAL), kehilangan bahan kering,

kelarutan dan kandungan Water Soluble Carbohydrate (WSC).

(14)

3 TINJAUAN PUSTAKA

Silase

Silase adalah pakan hasil produk fermentasi hijauan, hasil samping pertanian dan agroindustri dengan kadar air tinggi yang diawetkan dalam kondisi anaerob (Moran, 2005; Johnson dan Harrison, 2001; McDonald et al., 1991; Woolford, 1984). Keadaan anaerob ini harus tetap dipertahankan, sebab udara adalah musuh besar silase (Schroeder, 2004; Moran, 2005). Proses kimiawi atau fermentasi yang terjadi selama penyimpanan silase disebut ensilase, sedangkan tempatnya disebut silo (Woolford, 1984; McDonald et al., 1991).

Tujuan utama pembuatan silase adalah untuk mengawetkan dan mengurangi kehilangan zat makanan suatu hijauan untuk dimanfaatkan pada musim kemarau (Sapienza dan Bolsen, 1993; Schroeder 2004; Jones et al., 2004). Memacu terciptanya kondisi anaerob dan asam dalam waktu singkat merupakan prinsip dasar pembuatan silase. Menurut Coblentz (2003) ada tiga hal penting agar diperoleh kondisi anaerob yaitu menghilangkan udara dengan cepat, menghasilkan asam laktat yang membantu menurunkan pH, mencegah masuknya oksigen ke dalam silo dan menghambat pertumbuhan jamur selama penyimpanan.

Pembuatan silase tidak tergantung dengan musim (Sapienza dan Bolsen, 1993;

Schroeder, 2004).

Hijauan yang dibuat silase dengan kandungan air 65% termasuk dalam kategori ini, sedangakan bila kandungan air lebih rendah dari 40–50% proses fermentasi berlangsung sangat lambat. Fermentasi normal dengan kandungan air 55–60% masa fermentasi aktif akan berakhir antara 1–5 minggu. Fermentasi akan terhenti disebabkan kehabisan substrat gula untuk proses fermentasi dan dapat terus bertahan selama beberapa tahun sepanjang silase tidak kontak dengan udara (Bolsen et al., 2000).

Secara umum kualitas silase dipengaruhi oleh tingkat kematangan hijauan,

kadar air, ukuran partikel bahan, penyimpanan pada saat ensilase dan pemakaian

aditif (Schroeder, 2004; Moran, 2005). Komposisi kimia silase beberapa jenis

rumput terdapat pada Tabel 1.

(15)

4 Tabel 1. Komposisi Kimia Silase Beberapa Jenis Rumput

Jenis Rumput BK (%) WSC (%) pH BAL

Brachiaria humidicola

1)

20,85 2,35 5,32 1,26

Penisetum purpureum

1)

15,77 9,88 3,96 2,53

Panicum maximum

2)

19,35 3,03 4,71 1,84

Pennisetum purputhypoides

1)

16,0 7,56 5,90 2,00

Sumber : 1)Aminah (2000) dan 2)Santoso (2009)

Keterangan : WSC (Water Soluble Carbohydrate), BK (Bahan Kering), BAL (Bakteri Asam Laktat)

Brachiaria humidicola

Merupakan tanaman asli dari Afrika Selatan, kemmudian menyebar ke Fiji dan Papua New Guinea, terkenal dengan nama Koronivia Grass. Merupakan tanaman parennial, perkembangan vegetatif dengan stolon begitu cepat sehingga bila ditanam di lapang segera membentuk hamparan (Mannetje dan Jones, 1992).

Batang yang dapat berbunga mencapai tinggi 20-60 cm, helai daun berwarna hijau terang, lebar 5-16 mm dan panjang 12-25 cm. Panjang inflorenscence 7-12 terdiri dari 2-4 spikelet, hal ini sesuai untuk daerah tropika basah dengan toleransi cukup luas di berbagai daerah. Rumput jenis ini mampu menghasilkan 20 ton bahan kering per hektar pada daerah tropika basah, dan dapat ditanam dengan pols dan stolon atau biji (Bogdan, 1977).

Pennisetum purpureum (Rumput Gajah)

Rumput gajah (Pennisetum purpureum) merupakan jenis rumput unggul yang mempunyai produktivitas dan kandungan zat gizi yang cukup tinggi serta disukai oleh ternak ruminansia. Rumput gajah mempunyai produksi bahan kering 40 sampai 63 ton/ha/tahun (Siregar, 1989), dengan rata-rata kandungan zat-zat gizi yaitu : protein kasar 9,66%, BETN 41,34%, serat kasar 30,86%, lemak 2,24%, abu 15,96%, dan TDN 51% (Lubis, 1992)

Nilai gizi rumput gajah sebagai hijauan makanan ternak ditentukan oleh

zat-zat makanan yang terdapat di dalamnya dan kecernaannya. Nilai gizi rumput

gajah dipengaruhi oleh fase pertumbuhan pada saat pemotongan atau

penggembalaan. Rumput gajah sebaiknya dipotong pada fase vegetatif, untuk

menjamin pertumbuhan kembali (regrowth) yang sehat dan kandungan zat-zat gizi

yang optimal. (McIlroy, 1976). Waktu yang terbaik untuk memotong tanaman

(16)

5 yang akan dibuat silase adalah pada fase vegetatif, sebelum pembentukan bunga (Reksohadiprodjo, 1998). Fase pertumbuhan tanaman pada waktu pembuatan silase besar pengaruhnya terhadap kecernaan dan komposisi kimia silase (Harrison et al., 1994). Kandungan protein kasar dan bahan organik rumput gajah yang hilang dalam pembuatan silase dipengaruhi fase pertumbuhan tanaman (Spitaleri et al., 1995). Komposisi kimia dalam rumput gajah pada umur pemanenan yang berbeda-beda terdapat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi Kimia Rumput Gajah pada Umur Pemanenan yang Berbeda

Umur Rumput

Bahan

Kering Protein TDN Serat

Kasar Ca P

---%---

15-28 hari 15,7 11,4 53,1 29,5 0,70 0,40

43-56 hari 17,5 9,3 50,4 32,9 0,52 0,51

57-70 hari 20,6 8,4 52,9 33,3 0,52 0,31

Sumber : Tillman et al. (1991)

Panicum maximum

Nama Indonesia rumput ini adalah rumput benggala. Tanaman ini merupakan tanman tahunan, berumpun-rumpun dan tingginya dapat mencapai tiga meter. Rumput ini berasal dari Afrika tropika dan subtropika, tidak membentuk hamparan, tetapi tetap berumpun-rumpun dan dapat tumbuh baik bersama leguminosa tropika serta tahan kering. Pada umur muda bernilai gizi tinggi dan disukai ternak. Produksi hijauan segar sebanyak 115 ton/ha/tahun. Rumput ini dapat dikembangkan dengan biji atau sobekan rumpun (McIlroy, 1976).

Komposisi dan nilai gizi Panicum maximum dalam bahan kering terdapat dalam Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi dan Nilai Gizi Panicum maximum (% BK) Tinggi PK SK Protein dapat

dicerna Pati Fase tumbuh Sedang (30-46 cm)

Panjang (76-91 cm) Tinggi (Daun 122 cm, batang 183 cm)

9,15 9,31 5,61

31,19 34,46 41,76

5,7 3,83 2,74

42,81 35,42 29,21

Belum berbunga Belum berbunga Mulai berbunga

Sumber: McIlroy (1976)

(17)

6 Paspalum notatum

Paspalum notatum merupakan tanaman tahunan berizhoma dan berakar dalam. Tingginya dapat mencapai 60 cm atau lebih. Berasal dari Amerika Tengah dan Selatan dan beradaptasi di daerah tropis dan subtropis. Tanaman ini termasuk ke dalam rumput penggembalaan yang berguna dan tahan terhadap penggembalaan dan kekeringan, tetapi di Nigeria Utara jenis rumput ini mati pada musim kering dan palatabilitasnya umumnya dianggap rendah. Tanaman ini merupakan rumput yang paling baik untuk pengawetan tanah, dapat ditanamam dengan menggunakan stek atau biji, mudah membentuk hamparan rumput yang rapat dan dapat digembalai tiga bulan sesudah penanaman. (McIlroy, 1976).

Kandungan nutrien Paspalum notataum terdapat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kandungan Nutrien Paspalum notatum

Zat Makanan (%)

Bahan Kering 0,29

Abu 10

Protein Kasar 10

Mg 3

Ca 0,7

Energi Bruto (kkal/g) 17

Sumber: Tillman et al. (1991)

Pennisetum purputhypoides (Rumput Raja)

Rumput raja (Pennisetum purputhypoides) merupakan hasil persilangan antara rumput gajah (Pennisetum purpureum) dengan Pennisetum thypoides (Siregar, 1988). Rumput raja merupakan rumput berumur panjang, tumbuh tegak membentuk rumpun, tinggnya mencapai 4,5 m, perakarannya cukup dalam dan luas, batang tebal dan keras apabila sudah tua, tipe bunga spike/tandan, serta helai dan pelepah daun berbulu agak kasar (Balai Informasi Pertanian Lembang, 1988).

Jayadi (1991) menyatakan bahwa rumput raja dapat tumbuh pada dataran

rendah hingga tinggi dengan curah hujan yang merata sepanjang tahun, sebaiknya

di daerah dengan curah hujan di atas 1000 mm. Toleransinya terhadap berbagai

tanah cukup luas, terutama tanah-tanah yang berstruktur remah, demikian pula

pada tanah latosol, andosol dan tanah basa. Produksinya akan meningkat dengan

meningkatnya kebasaan tanah. Rumput ini mudah mudah ditanam dengan

menggunakan stek batang atau sobekan rumpun. Penggunaan stek batang

sebaiknya batang yang sudah cukup tua yaitu diambil dari rumput yang telah

(18)

7 berumur delapan bulan, panjang setiap stek kurang lebih 25-30 cm dan memiliki dua mata tunas atau lebih (Balai Penelitian Ternak Ciawi, 1988). Kandungan protein kasar rumput ini sekitar 4,2-13,5 %, 31,4 % serat kasar dengan 68,2 % serat kasar tercerna, 0,37 % Ca dan asam oksalat 2,2 %.

Pemotongan pertama rumput raja dapat dilakukan setelah tanaman berumur 2-3 bulan dan interval pemotongan berikutnya 5-6 minggu sekali, apabila musim kemarau maka waktu pemotongan dapat diperpanjang. Dengan pemeliharaan yang baik maka selain dapat panen 8-9 kali/tahun, rumput raja akan terus berproduksi selama 10 tahun.

Pengaruh Waktu Pemotongan

Energi matahari merupakan sumber energi utama bagi makhluk hidup terutama tumbuhan. Jika intensitas cahaya rendah maka pertumbuhan akan terhambat. Penghambatan terjadi melalui berkurangnya aktivitas fotosintesis.

Pertumbuhan tanaman tergantung pada intensitas, kualitas, lamanya penyinaran (perioditas), dan arah cahaya. Energi cahaya bertanggung jawab terhadap kegiatan fotosintesis dan sejumlah pengikatan nitrogen melalui reaksi kimia (Supardi, 2000).

Pertumbuhan yang ditentukan oleh pertambahan dalam berat kering bergantung kepada sejumlah hasil fotosintesis dikurangi bagian yang terpakai dalam proses respirasi, oleh sebab itu, cahaya mempunyai efek yang nyata terhadap pertumbuhan tanaman. Fotosintesis maksimum terjadi pada cahaya penuh, namun selama tengah hari intensitas cahaya yang tinggi menyebabkan meningkatnya suhu daun, hal ini menyebabkan menutupnya stomata dan menurunnya fotosintesis (Soekotjo, 1987)

Waktu panen berkaitan dengan penerimaan cahaya matahari terhadap tumbuhan. Cahaya memiliki efek yang sangat nyata terhadap pertunbuhan dikarenakan pengaruhnya terhadap proses fotosintesis, pembukaan dan penutupan stomata, respirasi, permeabilitas dinding sel, absorbsi air dan unsur hara, aktivitas enzim, koagulasi protein, dan sintesa klorofil (Prawiranata et al., 1999)

Energi matahari merupakan sumber energi utama bagi makhluk hidup

terutama tumbuhan. Jika intensitas cahaya rendah maka pertumbuhan akan

terhambat. Penghambatan terjadi melalui berkurangnya aktivitas fotosintesis.

(19)

8 Pertumbuhan tanaman tergantung pada intensitas, kualitas, lamanya penyinaran (perioditas), dan arah cahaya. Energi cahaya berperan penting terhadap kegiatan fotosintesis dan sejumlah pengikatan nitrogen melalui reaksi kimia (Supardi, 2000).

Bakteri Asam Laktat

Bakteri asam laktat (BAL) termasuk bakteri fakultatif anaerobik yang dapat tumbuh pada kondisi dengan atau tanpa oksigen. Bakteri ini tidak membutuhkan oksigen untuk pertumbuhannya meskipun mungkin menggunakan oksigen untuk menghasilkan energi (Pelczar dan Chan, 1986). Bakteri asam laktat umumnya tidak membentuk spora dan selnya berbentuk bulat atau batang. Bakteri asam laktat terdiri dari beberapa genus antara lain Streptococcus, Lactobacillus dan Levconostoc (Pelczar dan Chan, 1986). Gilliland (1993) menyatakan bahwa Lactobacillus mampu mendegradasi gula, protein dan peptida menjadi asam amino. Pendegradasian protein oleh bakteri tersebut terjadi pada pH 5,2-5,8 dan suhu 45-50°C.

Menurut Gilliland (1993), bakteri asam laktat berdasarkan sifat

fermentasinya dibagi menjadi dua golongan yaitu heterofermentatif dan

homofermentatif. Perbedaan dari kedua golongan tersebut adalah terletak pada

produk akhir yang dihasilkan dan efisiensi fermentasi. Bakteri homofermentatif

lebih efisien dalam memproduksi asam-asam organik bila dibandingkan dengan

tipe heterofermentatif. Menurut McDonald et al. (1991), bakteri tipe

homofermentatif akan menghasilkan dua mol asam laktat untuk setiap mol

glukosa, sedangkan bakteri tipe heterofermentatif selain menghasilkan asam

laktat, juga menghasilkan etanol dan CO

2

masing-masing satu mol untuk setiap

mol glukosa. Menurut Rahayu dan Cristiani (1992), bakteri asam laktat

homofermentatif dapat mengubah 95% glukosa atau heksosa lainnya menjadi

asam laktat dengan jumlah kecil karbondioksida dan asam-asam volatil (asam

butirat). Termasuk kelompok bakteri homofermentatif antara lain Lactobacillus

bulgaricus, L. lactis, L. acidophilus, L. thermophilus dan L. delbruechii,

sedangkan bakteri asam laktat yang bersifat heterofermentatif menurut Pelczar

dan Chan (1986) dan McDonald et al. (1991) antara lain Streptococcus sp.,

Leuconostoc sp., Leuconostoc fermentum dan Leuconostoc brevis. Beberapa

(20)

9

faktor yang ikut berperan untuk menghambat mikroba oleh bakteri asam laktat

antara lain pH yang rendah, asam organik, bakteriosin, hidrogen peroksida,

ethanol dan potensial redoks yang rendah (Adam dan Moss, 1995).

(21)

10 METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai September 2009, di Laboratorium Agrostologi dan Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB.

Materi Bahan

Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah: 1) Pennisetum purpureum (rumput gajah), 2) Pennisetum purputhypoides (rumput raja), 3) Panicum maximum, 4) Brachiaria humidicola dan 5) Paspalum notatum masing- masing rumput berumur 25-40 hari dan dipanen pada waktu pemotongan yang berbeda yaitu pagi, siang dan malam hari. Bahan tambahan lain adalah aquades, inokulan Bakteri Asam Laktat (BAL) yang berasal dari silase jagung, Mann Rogose shape (MRS) Agar dan NaCl 0,85%, MRS Broth, alkohol 70%, dan NaCl 0,85%.

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian adalah plastik, cawan petri, laminar plo, tabung reaksi, mikro pipet, vortex, autoclaff, bunsen, kompor listrik, dan penyerap oksigen (vacum) .

Metode Pembuatan Silase

Rumput yang telah dipanen, dicacah menggunakan alat pemotong dengan ukuran panjang 3-5 cm, kemudian ditimbang, masing-masing sebanyak 500 gram.

Rumput cacahan diinokulasi menggunakan bakteri asam laktat (BAL) sebanyak

10

5

cfu/ml dengan cara disemprot. Rumput yang telah diberikan BAL kemudian

dimasukkan ke dalam plastik ukuran dua kilogram, dipadatkan lalu dihisap

menggunakan mesin vacum agar tidak terdapat udara di dalam plastik sebelum

diikat dengan tali. Plastik berisi rumput yang telah diikat, ditimbang kemudian

disimpan selama 21 hari. Setiap minggu rumput ditimbang untuk mengetahui

kehilangan bahan kering, dan pada minggu terakhir (21 hari) plastik dibuka,

kemudian dievaluasi warna, bau, tekstur dan adanya jamur serta analisis kualitas

silase.

(22)

11 Rancangan Percobaan

Perlakuan

Perlakuan yang diberikan adalah jenis rumput dan waktu pemotongan rumput tersebut (pagi, siang dan malam hari). Jenis rumput yang digunakan yaitu rumput gajah, rumput raja, Brachiaria humidicola, Panicum maximum, dan Paspalum notatum.

Model

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap berpola faktorial 5 x 3 masing-masing dengan 4 ulangan, yang terdiri :

Faktor Jenis Rumput : PP : Pennisetum purpureum PPt : Pennisetum purputhypoides BH : Brachiaria humidicola PM : Panicum maximum PN : Paspalum notatum Faktor Waktu pemotongan :

Pagi

: Waktu pemotongan pagi hari (pukul 05.00-06.00 WIB) Siang : Waktu pemotongan siang hari (pukul 12.00-13.00 WIB) Malam : Waktu pemotongan malam hari (pukul 18.00-19.00 WIB)

Model matematika yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Yijn = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijn

Keterangan :

Yijn = Nilai pengamatan uji fisik pada faktor X taraf ke-i faktor Y taraf ke-j dan ulangan ke-n

µ = Rataan umum jenis rumput terhadap waktu pemotongan

αi = Pengaruh jenis rumput (rumput gajah, rumput raja, Panicum maximum, Brachiaria humidicola dan Paspalum notatum) ke-i

βj = Pengaruh waktu pemotongan (pagi, siang, malam) ke-j αβij = Pengaruh interaksi jenis tanaman dengan waktu pemotongan.

εijn = Galat akibat pengaruh jenis tanaman dengan waktu pemotongan.

(23)

12 i : Perlakuan jenis tanaman (rumput gajah, rumput raja, rumput Panicum maximum, rumput Brachiaria humidicola dan rumput Paspalum notatum)

j : waktu pemotongan (pagi, siamg, malam) n : Ulangan; n = 1, 2, 3, dan 4

Data yang diperoleh dianalisa menggunakan sidik ragam mengikuti prosedur Steel dan Torrie (1991), dan apabila hasilnya menunjukkan sangat berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji jarak Duncan.

Pengukuran Parameter Warna, Bau dan Tekstur Silase

Warna, bau, tekstur silase dilakukan melalui pengamatan secara organoleptik produk silase setelah tiga minggu ensilase. Sampling dilakukan dengan mengambil bagian tengah silo. Penilaian organoleptik silase dilakukan dengan metode skoring yang diisi oleh 10 orang panelis.

Kehilangan Bahan Kering

Penentuan kehilangan bahan kering melalui analisa proksimat (AOAC 1999). Bahan kering diukur sebelum dan setelah ensilase. Sebanyak 3 gr sampel kering dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui bobotnya. Setelah itu dipanaskan di dalam oven dengan suhu 105

o

C selama 6 jam. Selanjutnya didinginkan di dalam eksikator selama 15 menit. Penghitungan kehilangan bahan kering merupakan selisih pengalian bobot sebelum ensilase dan bahan kering sebelum ensilase dengan pengalian bobot setelah ensilase. Selanjutnya dibandingkan dengan pengalian bobot sebelum ensilase dan bahan kering sebelum ensilase dan bahan kering setelah ensilase dikali seratus persen. Perhitungan kehilangan bahan kering adalah sebagai berikut:

awal awal akhir akhir

awal awal

(Bobot BK ) - (Bobot BK )

% Kehilangan BK = 100%

(Bobot BK )

Derajat Keasaman (pH)

Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan metode Naumann dan

Bassler (1997). Sebanyak 20 gram sampel silase ditambahkan dengan 40 ml

aquades (1:2), kemudian didiamkan selama 15 menit. Setelah itu disaring airnya

(24)

13 dan simpan dalam tabung film. Selanjutnya pH diukur dengan menggunakan pH meter.

Jumlah Koloni Bakteri Asam Laktat

Jumlah koloni bakteri asam laktat dihitung dengan menggunakan Metode Total Plate Count (TPC) menurut Fardiaz (1992). Sampel silase ditambah aquades dengan perbandingan 1 : 9. Sebanyak 0,5 ml cairan silase dimasukkan ke dalam 4,5 ml aquades, lalu diencerkan dengan mengambil 0,5 ml dimasukkan ke 4,5 ml aquades sampai pengenceran lima kali. Lalu sebanyak 0,5 ml dari pengenceran 3, 4 dan 5 kali ditanam pada cawan petri berisi media MRS agar.

Media agar yang ditanam dengan sampel silase diinkubasi pada suhu ruang selama dua hari. Koloni yang tumbuh berbentuk bulat miring bewarna agak kekuningan. Jumlah koloni yang diperoleh ditranformasi dalam log untuk memudahkan penghitungan.

Populasi BAL (cfu/g) = Jumah Koloni Pengenceran Kelarutan

Analisa kelarutan dilakukan dengan menggunakan pendekatan metode Muchtadi (1998). Silase dikeringkan pada suhu 60

0

C, lalu dibuat tepung.

kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 105

0

C. Setelah kering, bahan diambil sebanyak x gram, bahan tersebut dilarutkan dengan 100 ml aquadest kemudian dihomogenkan dengan menggunakan vortex selama 15 menit.

Kemudian disentrifugasi hingga endapan dan supernatan terpisah. Endapan tersebut kemudian dioven kembali pada suhu 105

0

C dan ditimbang beratnya (y gram). Perhitungan analisa kelarutan adalah sebagai berikut :

x gram - y gram

% Kelarutan = 100%

x gram

Kandungan Total Gula

Kandungan total gula diukur menggunakan supernatan yang dihasilkan dari

proses sentrifugasi lalu ditambahkan dengan asam sulfat pekat (H

2

SO

4

) dan fenol

5% kemudian diukur dengan menggunakan alat spektrofotometer (Shimadzu UV

VIS 1201) pada panjang gelombang 490 nm dengan D-glukosa sebagai standar

seperti yang dijelaskan oleh Dubois et al. (1956).

(25)

1 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kualitas Fermentasi Silase Beberapa Jenis Rumput Karakteristik Fisik Silase

Karakter fisik merupakan karakter yang dapat diamati secara langsung, karakter fisik yang diamati pada penelitian ini adalah warna, bau dan tekstur berbagi jenis rumput setelah enam minggu ensilase pada waktu pemotongan pagi, siang dan malam hari. Karakter fisik beberapa jenis rumput pada waktu pemotongan berbeda terdapat pada Tabel 5.

Tabel 5. Karakteristik Fisik Silase Beberapa Jenis Rumput pada Waktu Pemotongan Berbeda

Silase Peubah Waktu panen

Pagi Siang Malam

BH

Warna Coklat Hijau kekuningan Hijau kekuningan

Bau Busuk Agak masam Agak masam

Tekstur Remah Remah Lembut

PP

Warna Hijau kecoklatan Hijau kecoklatan Hijau kecoklatan

Bau Busuk Agak masam Agak masam

Tekstur Lembut Kasar Remah

PM

Warna Hijau kecoklatan Hijau kecoklatan Hijau kecoklatan

Bau Busuk Busuk Busuk

Tekstur Remah Kasar Remah

PPt Warna Hijau kecoklatan Hijau kecoklatan Hijau kekuningan

Bau Tengik Busuk Agak masam

Tekstur Kasar Remah Remah

PN Warna Hijau kecoklatan Hijau kecoklatan Coklat

Bau Masam Agak masam Agak masam

Tekstur Lembut Lembut Lembut

Keterangan:BH=Brachiaria humidicola, PP=Pennisetum purpureum, PM=Panicum maximum, PPt=Pennisetum purputhypoides, PN=Paspalum notatum.

Warna silase dapat mengindikasikan permasalahan yang mungkin terjadi selama fermentasi. Silase yang terlalu banyak mengandung asam asetat akan berwarna kekuningan, sementara jika kelebihan asam butirat akan berlendir dan berwarna hijau kebiruan. Silase yang baik akan berwarna normal, artinya tidak terjadi perubahan dari warna sebelum ensilase (Saun dan Heinrich, 2008).

Hasil pengamatan silase beberapa jenis rumput setelah tiga minggu ensilase

menunjukkan warna hijau kekuningan sampai coklat. Secara umum silase

Pennisetum purpureum, Panicum maximum, Pennisetum purputhypoides, dan

(26)

2 Paspalum notatum memperlihatkan warna yang hampir sama yaitu hijau kecoklatan, sementara silase rumput Brachiaria humidicola memperlihatkan warna yang lebih cerah yaitu hijau kekuningan. Namun secara umum kelima jenis rumput mempunyai kualitas yang baik. Hal ini sesuai dengan yang direkomendasikan oleh Macaulay (2004) bahwa silase yang berkualitas baik akan berwarna hijau terang sampai kuning atau hijau kecoklatan tergantung materi silase.

Hasil pengamatan bau pada silase beberapa jenis rumput setelah tiga minggu ensilase memiliki tingkat bau yang berbeda. Perlakuan silase Brachiaria humidicola dan Pennisetum purpureum yang dipotong pada siang dan malam hari mempunyai bau agak masam, sedangkan yang dipotong pada pagi hari memiliki bau busuk, berbeda dengan silase Panicum maximum yang memiliki bau busuk pada ketiga waktu pemotongan (pagi, siang dan malam). Kualitas silase yang baik adalah pada pemotongan malam hari yakni memiliki bau agak masam, dan pada Paspalum notatum secara umum memiliki kualitas yang lebih baik daripada perlakuan lainnya. Diduga fermentasi yang terjadi pada semua perlakuan bersifat heterofermentatif, sehingga tidak hanya memproduksi asam laktat sebagai produk akhir fermentasi, tetapi juga menghasilkan asam asetat, propionat, butirat dan alkohol. Perlakuan Panicum maximum dan Pennisetum purputhypoides diduga menghasilkan asam propionat yang tinggi sehingga menghasilkan bau yang lebih menyengat. Hasil ini didukung oleh Saun dan Heinrichs (2008) yang menyatakan bahwa silase yang baik akan mempunyai bau seperti susu fermentasi karena mengandung asam laktat, bukan bau yang menyengat. Lebih lanjut dijelaskan jika produksi asam asetat tinggi, maka akan berbau cuka. Kandungan etanol tinggi yang berasal dari fermentasi jamur akan menimbulkan bau alkohol, sementara fermentasi asam propionat akan menimbulkan bau wangi yang tajam. Sedangkan fermentasi Clostridia akan menghasilkan bau seperti mentega tengik, dan silase yang mengalami kerusakan panas akan berbau karamel dan tembakau.

Hasil pengamatan tekstur silase beberapa jenis rumput setelah tiga minggu

ensilase, menunjukkan tekstur yang lembut sampai kasar. Secara umum semua

perlakuan menunjukkan silase dengan kualitas yang baik, hal ini sesuai dengan

yang direkomendasikan Macaulay (2004), bahwa silase dengan kualitas baik akan

(27)

3 memperlihatkan tekstur yang kompak, materi yang lembut dan komponen seratnya tidak mudah dipisahkan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tekstur silase dipengaruhi oleh kadar air bahan pada awal ensilase, silase dengan kadar air yang tinggi (>80%) akan memperlihatkan tekstur yang berlendir, lunak dan berjamur, sedangkan silase berkadar air rendah (<30%) akan mempunyai tekstur yang kering, mudah disobek dan ditumbuhi jamur.

Tingkat kerusakan pada permukaan silase merupakan salah satu masalah yang sering terjadi pada proses silase. Idealnya silase yang baik akan mempunyai permukaan yang lembut dan tidak berjamur. Hasil pengamatan pada permukaan silo setelah tiga minggu ensilase, jamur ditemukan pada perlakuan Brachiaria humidicola yang dipotong malam hari, Panicum maximum yang dipotong siang dan malam hari, Pennisetum purputhypoides yang dipotong malam hari, dan Paspalum notatum yang dipotong pagi dan siang hari.

Karakteristik Kimia dan Mikrobial Silase Beberapa Jenis Rumput pada Waktu Pemotongan Berbeda

Penelitian ini mengamati karakteristik kimia dan mikrobial silase beberapa jenis rumput pada waktu pemotongan pagi, siang dan malam hari. Karakteristik yang diamati adalah kehilangan bahan kering, derajat keasaman (pH), jumlah koloni bakteri asam laktat, kelarutan silase, dan Water Soluble Carbohydrate (WSC).

Kehilangan Bahan Kering

Kehilangan bahan kering pada produk silase disebabkan oleh proses pendegradasian Water Soluble Carbohydrate (WSC) atau gula-gula mudah tercerna menjadi poduk akhir yang lebih sederhana (asam asetat, asam laktat dan asam butirat). Produk akhir paling menguntungkan adalah asam asetat dan asam laktat (Lendrawati, 2009). Davies (2007) menyatakan bahwa kehilangan bahan kering silase terjadi pada saat pengisian (5%), menjadi cairan silase (3%), selama proses fermentasi (5%), kerusakan karena udara (10%), dan kehilangan di lapangan (4%).

Proses ensilase menyebabkan terjadinya penurunan kadar bahan kering

silase, hal ini disebabkan terjadinya proses fermentasi yang merupakan aktivitas

biologis bakteri asam laktat mengkonversi gula-gula sederhana menjadi asam

(28)

4 laktat. Bakteri asam laktat akan memanfaatkan gula-gula sederhana terlebih dahulu untuk pertumbuhan dan perkembangannya sebelum dikonversi menjadi asam laktat. Kehilangan bahan kering ini tidak hanya disebabkan oleh aktivitas bakteri asam laktat saja, tetapi juga dapat disebabkan adanya reaksi respirasi dan proteolisis yang terjadi pada awal fase ensilase, serta adanya kehilangan melalui cairan (effluent), akibatnya kadar air akan meningkat dan bahan kering akan turun (Lendrawati, 2008). Kehilangan bahan kering silase beberapa jenis rumput pada waktu pemotongan berbeda terdapat pada Tabel 6.

Tabel 6. Kehilangan Bahan Kering Silase Beberapa Jenis Rumput pada Waktu Pemotongan Berbeda

Jenis Rumput Waktu pemotongan

Pagi Siang Malam Rataan

BH 23,88±1,66 7,30±0,75 10,55±9.02 13,91± 8.78 PP 20,13±8,94 15,38±7,51 16,05±6,87 17,18± 2,57 PM 4,03±0,67 10,70±1,49 18,25±1,45 10,99± 7,11 PPt 22,33±3,25 30,23±4,19 32,50±3,96 28,35± 5,34 PN 9,88±2,33 19,53±3,06 10,80±3,84 13,40±5,32 Rataan 16,05±8,66 16,63±8,90 17,63± 8,96

Keterangan:BH=Brachiaria humidicola, PP=Pennisetum purpureum, PM=Panicum maximum, PPt=Pennisetum purputhypoides, PN=Paspalum notatum.

Kehilangan bahan kering terbesar adalah pada Pennisetum purputhypoides yang dipotong pada malam hari yaitu sebesar 32,50±3,96%, sedangkan kehilangan bahan kering terkecil adalah pada Panicum maximum yang dipotong pada pagi hari yaitu sebesar 4,03±0,67%. Rata-rata kehilangan bahan kering terbesar adalah pada Pennisetum purputhypoides yaitu sebesar 28,35±5,34%.

Hasil analisis ragam menunujukkan jenis rumput, waktu panen dan interaksi antara jenis rumput dengan waktu panen tidak berpengaruh nyata terhadap kehilangan bahan kering silase. Kehilangan bahan kering pada penelitian ini berkisar antara 7,30-30,23%. Hasil ini sesuai dengan rekomendasi McDonald et al. (1991) yaitu berkisar 7-40%.

Derajat Keasaman (pH)

Silase yang baik salah satu cirinya adalah mempunyai pH rendah (Kung

dan Nylon, 2001). pH merupakan indikator utama untuk mengetahui keberhasilan

ensilase, sementara Kung dan Shaver (2001) menyatakan bahwa pH silase

(29)

5 berhubungan dengan produksi asam pada proses ensilase, pH yang rendah mencerminkan produksi asam laktat yang tinggi. pH silase beberapa jenis rumput yang berbeda waktu pemotongan terdapat pada Tabel 7.

Tabel 7. Derajat Keasaman (pH) Silase Beberapa Jenis Rumput pada Waktu Pemotongan Berbeda

Jenis Rumput Waktu Pemotongan

Pagi Siang Malam

BH 5,08±0,09

ab

5,17±0,09

abc

5,06±0,01

ab

PP 6,21±0,87

d

5,43±0,91

bc

5,22±0,79

abc

PM 5,15±0,02

abc

5,30±0,07

abc

5,28±0,07

abc

PPt 5,07±0,04

ab

5,61±0,49

c

4,84±0,47

a

PN 5,18±0,07

abc

5,42±0,15

bc

5,14±0,12

abc

Keterangan:BH=Brachiaria humidicola, PP=Pennisetum purpureum, PM=Panicum maximum, PPt=Pennisetum purputhypoides, PN=Paspalum notatum; Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05).

Hasil analisis ragam menunjukkan jenis rumput, waktu panen, dan interaksi anatra jenis rumput dengan waktu panen nyata (p<0,05) mempengaruhi nilai pH silase. Jenis rumput mempengaruhi nilai pH silase kemungkinan disebabkan berbedanya kandungan Water Soluble Carbohydrate (WSC) dan populasi bakteri asam laktat pada rumput tersebut.

Waktu panen mempengaruhi nilai pH silase, hal ini diduga karena kandungan Water Soluble Carbohydrate (WSC) dari rumput pada malam hari merupakan hasil fotosintesis pada siang harinya. Lakitan (2008) menyatakan proses fotosintesis terjadi pada siang hari atau ketika ada cahaya matahari.

Tanaman merubah energi dari matahari menjadi gula sehingga konsentrasi gula secara umum lebih tinggi pada sore hari atau malam hari dan lebih rendah lagi pada pagi hari melalui proses respirasi (pelepasan CO

2

). Interaksi yang terjadi pada penelitian ini adalah dengan memilih bahan baku silase yang memiliki kandungan WSC yang tinggi dan memilih waktu panen yang tepat, maka dapat menurunkan pH silase dengan optimal.

Perlakuan yang menghasilkan pH yang paling besar (6,21) adalah bahan

rumput gajah (Pennisetum purpureum) pada waktu pagi hari, sedangkan yang

menghasilkan pH paling kecil (4,84) adalah bahan rumput raja (Pennisetum

purputhypoides) di malam hari. pH yang dihasilkan berbeda berdasarkan bahan

yang digunakan untuk membuat silase, hal ini sejalan dengan Kizilsimsek et al.

(30)

6 (2005) yang menyatakan bahwa bahan baku dan tipe silo akan mempengaruhi kualitas silase secara fisik dan kimia. Silase yang berkualitas baik sekali adalah silase dengan pH 3,2-4,2 (McCullough, 1978).

Jumlah Koloni Bakteri Asam Laktat

Jumlah bakteri asam laktat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses silase selain kadar air dan kandungan gula bahan silase. Bakteri asam laktat yang terdapat pada penelitian ini merupakan bakteri alami yang terdapat pada hijauan tanpa inokulasi dari luar. Penghitungan jumlah koloni bakteri asam laktat dilakukan pada awal dan akhir ensilase. Jumlah koloni bakteri asam laktat silase beberapa jenis rumput pada waktu pemotongan berbeda terdapat pada Tabel 8.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah koloni bakteri asam laktat pada Pennisetum purputhypoides yang dipanen pada pagi hari menunjukkan jumlah koloni paling banyak, yaitu 6,91 dan koloni bakteri asam laktat yang paling sedikit jumlahnya adalah rumput Brachiaria humidicola yang dipanen pada pagi hari.

Tabel 8. Jumlah Koloni Bakteri Asam Laktat Silase Beberapa Jenis Rumput pada Waktu Pemotongan Berbeda (Log 10 cfu/gram)

Jenis Rumput Waktu Pemotongan

Rataan

Pagi Siang Malam

BH 5,64 6,45 6,56 6,22

PP 6,91 6,51 6,39 6,60

PM 6,24 6,24 6,69 6,39

PPt 5,76 5,70 6,01 5,82

PN 6,66 5,96 6,43 6,35

Rataan 6,24 6,17 6,41

Keterangan:BH=Brachiaria humidicola, PP=Pennisetum purpureum, PM=Panicum maximum, PPt=Pennisetum purputhypoides, PN=Paspalum notatum.

Populasi BAL yang diperoleh pada penelitian ini sesuai dengan pernyataan

Bolsen et al. (2000) yang menemukan populasi BAL pada silase sekitar 10

6

cfu/ml. Selain itu McDonald et al. (1991) menyatakan bahwa bakteri asam laktat

dapat bertahan hidup mulai dari pH 4,0 sampai 6,8, bahkan Pediococcus

damnasus (cerevisae) dapat bertahan pada pH 3,5, sementara Streptococcus

umumnya bertahan pada pH sekitar 4,5 sampai 5,0, sedangkan spesies

Lactobacillus akan tumbuh subur pada pH 4,5 sampai 6,4.

(31)

7 Kelarutan

Kelarutan silase berhubungan erat dengan nutrient yang digunakan dalam ensilase tersebut. Nutrien akan dimanfaatkan untuk produksi asam-asam organik (Schroeder, 2004). Kelarutan merupakan salah satu indikator kualitas kimia dari silase.

Hasil analisis ragam menunjukkan jenis rumput nyata (p<0,05) mempengaruhi kelarutan silase, sedangkan waktu panen dan interaksi antara jenis rumput dan waktu panen tidak nyata mempengaruhi tingkat kecernaan, karena kelarutan dan kecernaan memiliki korelasi yang positif. Schroeder (2004) menyatakan bahwa kelarutan akan berkorelasi positif dengan kecernaan, jika kelarutan tinggi maka kecernaan bahan pakan tinggi. Kelarutan silase beberapa jenis rumput pada waktu pemotongan berbeda terdapat pada Tabel 9.

Tabel 9. Kelarutan Silase Beberapa Jenis Rumput pada Waktu Pemotongan Berbeda

Jenis Rumput Waktu Pemotongan

Rataan

Pagi Siang Malam

BH 78,71± 1,02 79,07± 1,03 76,59± 1,54 78,12±1,34

c

PP 73,59± 1,89 66,68± 3,70 69,08± 4,45 69,78±3,51

a

PM 73,12± 2,11 72,03± 2,27 72,31±2,29 72,49± 0,57

ab

PPt 73,31± 16,93 81,32± 14,81 82,62±15,28 79,09± 5,04

c

PN 74,88± 2,52 74,48±15,28 77,05±1,94 75,47±1,38

bc

Rataan 74,72± 2,33 74,71± 5,79 75,53± 5,14

Keterangan:BH=Brachiaria humidicola, PP=Pennisetum purpureum, PM=Panicum maximum, PPt=Pennisetum purputhypoides, PN=Paspalum notatum; Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05).

Rumput raja (Pennisetum purputhypoides) memiliki kelarutan tertinggi

dibandingkan bahan yang lainnya (79,09%), sedangkan bahan rumput gajah

(Pennisetum purpureum) kelarutannya terendah dibandingkan dengan bahan

lainnya (69,78%). Hal ini terjadi karena banyak nutrien yang digunakan untuk

produksi asam-asam organik sesuai pernyataan Schroeder (2004), bahwa

kelarutan akan berkorelasi positif dengan kecernaan, jika kelarutan tinggi maka

kecernaan bahan pakan tinggi.

(32)

8 Total Gula atau Water Soluble Carbohydrate (WSC)

Water Soluble Carbohydrate (WSC) merupakan substrat primer bakteri penghasil asam laktat untuk menurunkan pH pada silase.WSC tanaman umumnya dipengaruhi oleh spesies, fase pertumbuhan, budidaya, iklim, umur dan waktu panen tanaman (Downing et al.,2008)

Gula merupakan substrat yang sangat diperlukan dalam proses ensilase untuk menghasilkan asam organik yang dapat menurunkan pH sebagai awal dari pengawetan silase. Jika kandungan WSC yang rendah pada bahan, maka ensilase tidak akan berjalan baik karena produksi asam laktat atau asam organik akan terganggu (Jones et al.,2004).

Hasil analisis ragam menunjukkan jenis rumput, waktu panen dan interaksi antara jenis rumput dan waktu panen nyata (p<0,05) mempengaruhi total gula silase (Tabel 10). Hasil analisis menunujukkan bahwa total gula yang tertinggi adalah pada rumput raja (Pennisetum purputhypoides) yang dipanen pada malam hari (20,54%), sedangkan total gula terendah adalah pada Panicum maximum yang dipanen pada pagi hari (1,95%). Total gula beberapa jenis rumput pada waktu pemotongan berbeda terdapat pada Tabel 10.

Tabel 10. Total Gula Silase (%BK) Beberapa Jenis Rumput pada Waktu Pemotongan Berbeda

Jenis Rumput Waktu Pemotongan

Pagi Siang Malam

BH 7,11±0,84

abc

9,29±0,6

bcd

13,86±2,74

de

PP 9,01±4,10

bcd

17,06±3,97

ef

13,35±0,55

cde

PM 1,95±0,49

a

4,54±1,38

ab

4,76±2,81

ab

PPt 6,56±3,77

ab

14,28± 0,68

de

20,54±8,91

f

PN 8,72±1,71

ab

15,10± 0,36

def

9,29±3,01

bcd

Keterangan:BH=Brachiaria humidicola, PP=Pennisetum purpureum, PM=Panicum maximum, PPt=Pennisetum purputhypoides, PN=Paspalum notatum; Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05).

Tingginya kandungan WSC dari bahan rumput raja (Pennisetum

Purputhypoides) yang dipanen pada malam hari membuat proses fermentasi

berjalan optimal. Selama proses fermentasi, WSC ini akan dirombak oleh

mikroorganisme menjadi asam laktat. Jones et al. (2004) menyatakan bahwa

proses fermentasi merupakan aktivitas biologis bakteri asam laktat mengkonversi

gula-gula sederhana menjadi asam organik terutama asam laktat. Terbentuknya

(33)

9 asam laktat pada proses silase ini mempercepat penurunan pH, hal ini didukung oleh rendahnya nilai pH pada silase dengan bahan rumput raja (Pennisetum purputhypoides) yang dipanen pada malam hari.

Waktu panen mempengaruhi total gula silase, hal ini kemungkinan disebabkan karena penerimaan cahaya matahari yang berbeda oleh rumput tersebut. Cahaya matahari akan digunakan oleh hijauan untuk melakukan proses fotosintesis. Hasil dari fotosisntesis ini adalah karbohidrat yang sangat diperlukan dalam proses silase. Karbohidrat yang dihasilkan tergantung dari penerimaan cahaya matahari oleh hijauan, semakin tinggi cahaya yang dihasilkan maka karbohidrat (WSC) yang dihasilkan akan tinggi. Lakitan (2008) menyatakan konsentrasi WSC secara umum lebih tinggi pada sore hari. Konsentrasi WSC mulai menurun pada malam hari melalui proses respirasi (pelepasan CO

2

) dalam tanaman dan lebih rendah lagi pada pagi hari.

Tabel 10 menunjukkan kandungan WSC pada kelima bahan tertinggi pada

malam hari dan terendah pada pagi hari. Tingginya WSC pada malam hari

disebabkan masih terkumpulnya WSC pada rumput hasil dari fotositesis pada

siang sampai sore hari, sedangkan rendahnya WSC pada pagi hari disebabkan

rumput melakukan proses respirasi pada malam hari. Tingginya WSC pada

rumput yang dipanen malam hari jika dibandingkan dengan pagi dan siang hari

membuat proses fermentasi berjalan optimal pada malam hari.

(34)

1 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Jenis rumput dan waktu panen mepengaruhi nilai pH, jumlah bakteri asam laktat, total gula, dan kelarutan silase tetapi tidak mempengaruhi bahan kering silase. Silase rumput raja (Pennisetum purputhypoides) yang dipanen pada malam hari memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan silase rumput yang lainnya.

Saran

Berdasarkan penelitian disarankan untuk melakukan pemotongan rumput

pada sore atau malam hari karena akan mendapatkan kualitas silase yang lebih

baik, selain itu perlu diakukan penelitian lebih lanjut seperti aplikasi pada ternak

khususnya ruminansia untuk mengetahui palatabilitas, konsumsi maupun

kecernaan in vivo pada ternak.

(35)

24 UCAPAN TERIMAKASIH

Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan karunia dan rahmat Nya kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik. Selama penelitian dan menyelesaikan tugas akhir ini Penulis banyak dukungan dari berbagai pihak.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Nahrowi, MSc selaku pembimbing utama dan Ir. Lidy Herawati, MS selaku pembimbing anggota dan pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan kepada Penulis selama melaksanakan penelitian dan tugas akhir, serta Ir. Sri Harini selaku penguji seminar, juga kepada Prof. Dr. Ir. Pollung H Siagian, M.S dan Nurokhmah Kumala Sari, S.Pt, M.Si selaku penguji sidang atas saran dan masukannya, Ir. Dwi Margi Suci, M.S, Ir. Widya Hermana, M.Si, Ir. Lilis Khotijah, M.Si atas sarannya kepada Penulis, seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya.

Ucapan terima kasih kepada orangtua tercinta, Ayahanda Dayat Hidayat dan Ibunda Rukaimah, Kakak-kakak : Wahyu, Sofyan, Rahyadi, adik tersayang Hari dan Erna atas doa, dukungan, cinta dan kasih sayang yang telah diberikan.

Istri tercinta, Tika yang telah mendukung dan membantu Penulis dalam menyelesaikan tugas akhir.

Terima kasih juga Penulis ucapkan kepada teman sepenelitian Dede Husban Rijali atas kerjasama dan bantuannya, teman seperjuangan dan keluarga besar Lab ITP atas bantuan, nasehat dan ilmu yang diberikan kepada Penulis.

Teman-teman INTP’41, Pondok Al Ihsan, BEM KM IPB Kabinet Totalitas Perjuangan atas persahabatan, doa dan dukungan selama ini. Keluarga besar Pesantren Pertanian Darul Fallah atas doa dan dukungannya.

Terakhir terima kasih Penulis ucapkan kepada seluruh civitas akademika Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya.

Bogor, Maret 2011

Penulis

(36)

25 DAFTAR PUSTAKA

[AOAC] Assosiation of Official Analytical Chemist. 1984. Official Methods of Analysis. Ed ke-14. Washington: AOAC International.

Adam, M. R. & Moss. 1995. Food Microbiology. The Royal Society of Chemistry, Cambridge, London.

Aminah. 2000. Fish silage. http://www./lisproc.ucclavis.

edu/archives/seafood/0076.html.[20/02/1009]

Balai Informasi Pertanian Lembang. 1988. King Grass. Departemen Pertanian.

Bandung.

Balai Penelitian Ternak Ciawi. 1988. Apa Itu King Grass. Departemen Pertanian.

Bogor.

Bogdan. 1977. Tropical Pasture and Fodder Plants (Grasses and Legume).

Longman Ltd. London and New York.

Bolsen KK, Asbell G, & JM Wilkinson. 2000. Silage additives. Dalam: R.J.

Wallace, A. Chesson, editor. Biotechnology in animal feeds and animal feeding. Weinheim. New York. hlm 33–54.

Coblenzt W. 2003. Principles of silage making. http://www. uaex.edu [Juli 2008].

Davies D. 2007. Improving silage quality and reducing CO2 emissions.

http://improving silage quality and reducing CO2 emission.[Juli 2009]

Downing. T.W., A. Buyserie., Gamroth., & P. French. 2008. Effect of water soluble carbohydrates on fermentation characteristics of ensiled perenial ryegrass. The Profesional Animal Scientist 24: 35-39 [19 Oktober 2009]

Dubois M, Gilles KA, Hamilton JK, Rebers PA, & Smith F. 1956. Colorimetric method for determination of sugars and related substances. J Analytical Chemistry 28(3): 350–356.

Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Gilliland, S.E. 1993. Bacterial Starter Cultures for Food. CRS press. Baoca Raton, Florida.

Hadioetomo. Penerbit Universitas Indonesia Press Jakarta.

Harrison, J. H., R. Blauwiekel and M. R. Stokes. 1994. Fermentation and Utilization of Grass Silage (Review). Journal of Dairy Science, 77(10), 3209 – 3235.

Jayadi, S. 1991. Tanaman Makanan Ternak Tropika. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan. IPB. Bogor.

Johnson LM & JH Harrison. 2001. Scientific aspects of silage making. Dalam:

Proceedings, 31

st

California Alfalfa and Forage Symposium; Modesto,

12−13 December 2001. California State: University of California

(37)

26 Jones CM, Heinrichs AJ, Roth GW & VA Issler. 2004. From Harvest to Feed:

Understanding silage management. Pensylvania: Pensylvania State University.

Kizilsimsek M, A Erol & S Calislar. 2005. Effect of raw material and silo size on silage quality. J Livestock Rasearch for Rural Development 17(3) : 10-15 Kung L & J Nylon. 2001. Management guidelines during harvest and storage of

Silage. Dalam: Proceedings of Tri State Dairy Conf; Fort Wayne, 17─18 April 2001. Fort Wayne. hlm 1−10.

Kung L & R Shaver. 2001. Interpretation and use of silage fermentation analysis reports. J Focus on Forage 13(3) : 18-21

Lakitan. 2008. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Lendrawati, 2008. Kualitas fermentasi dan nutrisi silase ransum komplit berbasis hasil samping jagung, sawit, dan ubi kayu. Tesis. Sekolah pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Lubis, D. A. 1992. Ilmu Makanan Ternak. Cetakan ke-2. PT. Pembangunan, Jakarta.

Macaulay,A. 2004. Evaluating silage quality.

www.agric.gov.ab.ca/$department/deptdocs.nsf/all/for4909.html [10 Oktober2009]

Mannetje, L.T. & R.M. Jones. 1992. Tropical Grass Food and Agricultural of the United Nations. Rome.

McCollough ME. 1978. Ruminant Nutrient. Food and Agricultural Organization of Limited Nation. Rome

McDonald P, Henderson AR & SJE Heron. 1991. The Biochemistry of Silage. Ed ke-2. Marlow: Chalcombe.

McIlroy, R. J. 1976. Pengantar Budidaya Padang Rumput Tropika. Pradnya Paramita. Jakarta.

Moran J. 2005. Tropical Dairy Farming: Feeding manajement for smallholder dairy farmers in the humid tropics. Australia: Landlinks Press.

Muchtadi, D. 1998. Kajian Gizi Produk Olahan Kedelai. Dalam Nuraida, L., & S.

Yasni (Eds). Prosiding Seminar Pengembangan Pengolahan dan Penggunaan Kedelai sebagai Tempe. Kerjasama Pusat Studi Pangan dan Gizi – IPB dengan American Soybean Association, Bogor.

Naumann, C. & Basler, R. 1997. VDLUFA-Methodenbuch Band III, Die chemische Untersuchung von Futtermitteln. 3rd ed. VDLUFA-Verlag.

Darmstadt, Germany.

Pelczar, M.J., & Chan, E.C.S. 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Terjemah:

Prawiranata W., S. Harran & P. Tjondronegoro.1999. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. Jilid II. Laboratorium Fisiologi Tumbuhan. Jurusan Biologi.

Fakultas Matematika dan IPA. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

(38)

27 Rahayu, W.P. & W. Cristiani. 1992. Pembuatan yoghurt berflavour buah dan

mutunya selama penyimpanan. Bul. Pen. Ilmu. Tek. Pangan III (1): 59-73.

Reksohadiprodjo, S. 1998. Produksi Biji Rumput dan Legum Makanan Ternak Tropik. Bagian Penerbitan Fakultas Ekonomi. Universitas Gadjah Mada.

Yogyakarta

Santoso. 2009. Pemanfaatan hasil ikutan pertanian untuk pakan ternak http://www.BBP2TP Publikasi.htm.[Agustus 2008].

Sapienza DA & KK Bolsen. 1993. Teknologi Silase. Martoyoedo RBS, penerjemah. Pioner-Hi-Bred International, Inc. Kansas State University.

Saun, R.J.V, & A.J. Henrich. 2008. Trouble shooting silage problem: How to identify potential problem. In: Proceedings of the Mid-Atlantic Conference: Pensylvania, 26 May 2008. Penn State’s Collage. Hlm 2-10.

Schroeder JW. 2004. Silage fermentation and preservation. Extension Dairy Speciaslist. AS-1254. http://www.ext.nodak.edu/extpubs/ansci/dairy/as 1254w. htm. [Feb 2008].

Siregar, M. E. 1989. Produksi dan Nilai Nutrisi Tiga Jenis Rumput Pennisetum dengan Sistem Potong Angkut. Prosiding Pertemuan Ilmiah Ruminansia.

Jilid. I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor.

Soekotjo. 1987. Silvikultural hutan tanaman industri. Diktat Kuliah Jurusan Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sofyan LA, L. Aboenawan , E.B. Laconi, A. Djamil, N. Ramli, M. Ridla & A.D.

Lubis. 2000. Pengetahuan Bahan Makanan Ternak. Lab. Ilmu dan Teknologi Pakan. Fakultas Peternakan IPB. Bogor

Spitaleri, R. F., L. E. Sollenberger, C. R. Staples and S.C. Schank. 1995. Harvest Management Effect on Ensiling Characteristic and Nutritive Value of Seeded Pennisetum Hexaploid Hybrids. Postharvest Biology and Technology (5) 335 – 362.

Steel RGD & JH Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika, Ed ke-2, B Sumantri, penerjemah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: The Principle and Prosedure of Statistics.

Supardi, D. 2000. Pengaruh pemberian cendawan mikoriza arbuskula (cma) dan pupuk terhadap pertumbuhan dan produksi rumput Brachiaria mutica.

Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Tillman AD, H Hartadi, S Reksohadiprojo, S Prawirokusumi & S Kebdosoekojo.

1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan ke-4. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Woolford MK. 1984. The Silage Fermentation. New York: Marcel Dekker Inc.

(39)

28

LAMPIRAN

Referensi

Dokumen terkait

Beberapa keuntungan dari pemupukan melalui daun diantaranya dapat memberikan hara sesuai kebutuhan tanaman, penyerapan hara pupuk yang diberikan berjalan lebih

Penelitian yang telah dilakukan Idharmahadi Adha, (2011) dengan memanfaatkan abu sekam padi sebagai pengganti semen pada metoda stabilisasi tanah di Lampung

Hasil penelitian yang dilakukan dapat menjelaskan secara teknis dalam hal pelaksanaan pekerjaan perbaikan jalan di atas tanah lunak dengan perkuatan

Kami telah mereviu Laporan Keuangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk Tahun Anggaran 2011 berupa Neraca, Laporan Realisasi Anggaran dan Catatan atas Laporan

Data yang dikumpulkan dianalisis oleh peneliti; dan dalam proses tersebut kesalahan gramatika, koherensi paragraph dan pelaksanaan tugas komunikasi bercerita dan

TABEL MATRIK RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN SKPD PROVINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2016.. 3 4

Pada penulisan ini penulis mengangkat permasalahan tentang pengolahan biaya administrasi dengan menggunakan sistem komputerisasi, dimana komputer digunakan sebagai alat bantu

Aplikasi berbasis web ini bekerja secara klien-server terdiri dari dua form utama yang menggunakan bahasa pemrograman web PHP4 dan MySQL