KUALITAS FERMENTASI DAN KANDUNGAN NUTRIEN SILASE BEBERAPA JENIS RUMPUT YANG DIPANEN
PADA WAKTU BERBEDA
SKRIPSI RUDY YANA
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
RINGKASAN
RUDY YANA. D24104061. 2011. Kualitas Fermentasi dan Kandungan Nutrien Silase Beberapa Jenis Rumput yang Dipanen pada Waktu Berbeda.
Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan. Fakultas Peternakan.
Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Nahrowi, MSc.
Pembimbing Anggota : Ir. Lidy Herawaty, MS.
Silase dapat dibuat dari berbagai jenis tanaman seperti rumput, legum, sereal dan hasil ikutan tananam lainnya. Syarat rumput yang baik untuk dijadikan silase salah satunya adalah harus mempunyai substrat mudah terfermentasi dalam bentuk Water Soluble Carbohydrate (WSC) yang cukup. Konsentrasi WSC secara umum lebih tinggi pada sore atau malam hari, menurun pada malam hari melalui proses respirasi dalam tanaman dan lebih rendah lagi pada pagi hari.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kualitas fermentasi dan kandungan nutrien silase beberapa jenis rumput yang dipotong pada waktu pagi, siang dan malam hari. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial (5x3) masing-masing dengan 4 ulangan. Faktor A adalah jenis rumput (Pennisetum purpureum, Pennisetum purputhypoides, Brachiaria humidicola, Panicum maximum dan Paspalum notatum) dan Faktor B adalah waktu panen (pagi, siang dan malam hari). Data yang diperoleh dianalisis ragam, dan apabila hasilnya menunjukkan berbeda nyata diuji dengan uji jarak Duncan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis rumput dan waktu panen tidak berpengaruh nyata terhadap kehilangan bahan kering silase. Derajat keasaman (pH) silase nyata (p<0,05) dipengaruhi oleh jenis rumput dan waktu panen.
Terdapat interaksi antara jenis rumput dan waktu panen terhadap pH. Jenis rumput raja (Pennisetum purputhypoides) yang dipanen pada malam hari menghasilkan pH paling rendah yaitu sebesar 4,84. Jumlah koloni bakteri asam laktat yang dihasilkan rumput gajah yang dipanen pada pagi hari (6,91 log 10 cfu/ml) lebih tinggi daripada perlakuan lain. Jumlah bakteri asam laktat yang paling rendah terdapat pada silase rumput Brachiaria humidicola yang dipanen pada pagi hari (5,64 log 10 cfu/ml). Kelarutan silase nyata (p<0,05) dipengaruhi oleh jenis rumput tetapi tidak dipengaruhi waktu panen. Silase rumput raja (Pennisetum purputhypoides) memiliki kelarutan tertinggi dibandingkan jenis rumput yang lainnya (79,08%), sedangkan jenis rumput gajah (Pennisetum purpureum) memiliki pengaruh kelarutan terendah dibandingkan dengan jenis rumput lainnya (69,78%). Total gula silase nyata (p<0,05) dipengaruhi oleh jenis rumput, waktu panen dan interaksi keduanya. Total gula yang tertinggi adalah rumput raja (Pennisetum purputhypoides) yang dipanen pada malam hari (20,54%), sedangkan total gula terendah adalah rumput Paspalum notatum yang dipanen pada pagi hari (1,94%). Dapat disimpulkan bahwa jenis rumput dan waktu panen mempengaruhi nilai pH, total gula, dan kelarutan silase tetapi tidak mempengaruhi kehilangan bahan kering silase dan jumlah bakteri asam laktat.
Kata-kata kunci : rumput, silase, waktu panen, nutrien silase
ABSTRACT
Fermentation Quality and Nutrient Content of Silage from Several Kinds of Grasses Harvested in Different Time
R.Yana, Nahrowi, L. Herawaty
The aims of the research were to analyze fermentation quality. The research used randomized factorial design (5x3) with factor A was grass sources (Pennisetum purpureum, Pennisetum purputhypoides, Panicum maximum, Brachiaria humidicola, and Paspalum notatum) and factor B was the harvest time (morning, noon, and night). The results showed that grass sources and harvest time significantly (P<0.05) influenced pH, solubility and Water Soluble Carbohydrate (WSC). Solubility, those of pH and WSC from Pennisetum purputhypoides were higher than those of the others, and pH and WSC lost from grass harvested at night were higher than the others silage. There were interaction between grass Pennisetum purputhypoides and time of harvesting. It is concluded that kind and harvesting time of the grass influenced pH, WSC and silage solubility but it did not affect sillage dry matter lost and number of lactic acid bacteria.
Keywords: silage, grasses, harvest time, nutrient content
KUALITAS FERMENTASI DAN KANDUNGAN NUTRIEN SILASE BEBERAPA JENIS RUMPUT YANG DIPANEN
PADA WAKTU BERBEDA
Oleh RUDY YANA
D24104061
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
Judul Skripsi : Kualitas Fermentasi dan Kandungan Nutrien Silase Beberapa Jenis Rumput yang Dipanen pada Waktu Berbeda
Nama : Rudy Yana NIM : D24104061
Menyetujui :
Pembimbing Utama
(Prof. Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc.) NIP. 19620425 198603 1 002
Pembimbing Anggota
(Ir. Lidy Herawaty, MS.) NIP. 19620914 198703 2 009
Mengetahui : Ketua Departemen
Ilmu dan Nutrisi Teknologi Pakan
(Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc. Agr) NIP. 19670506 199103 1 001
Tanggal Ujian : 8 Desember 2011 Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 18 Januari 1986 dari Bapak Dayat Hidayat dan Ibu Rukaimah. Penulis merupakan putra keempat dari enam bersaudara.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar tahun 1998 di SD Negeri Kebayoran Lama Selatan 11 Pagi dan pendidikan menengah tahun 2001 di SLTP Negeri 161 Jakarta. Tahun 2004 Penulis lulus dari SMA Negeri 47 Jakarta dan pada tahun yang sama penulis diterima di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Selama menempuh pendidikan di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi
Pakan, Penulis aktif menjadi anggota Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Tingkat
Persiapan Bersama (TPB) periode 2004/2005, kemudian Ketua Umum BEM
Fakultas Peternakan periode 2006/2007, Ketua Departemen Kebijakan Pertanian
BEM KM IPB periode 2006/2007, dan Koordinator Majelis Pekerja Nasional
ISMAPETI (Ikatan Senat Mahasiswa Peternakan Indonesia).
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia dan rahmatNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang berjudul Kualitas Fermentasi dan Kandugan Nutrien Silase Beberapa Jenis Rumput yang Dipanen pada Waktu Berbeda ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai September 2009. Penelitian ini mempelajari pengaruh waktu pemotongan dan jenis rumput terhadap kehilangan bahan kering, derajat keasaman (pH), populasi bakteri asam laktat, kelarutan, dan total gula.
Keberhasilan dalam proses silase salah satunya ditentukan oleh kandungan Water Soluble Carbohydrate (WSC) yang ada pada bahan baku silase. Kandungan WSC pada rumput berkaitan dengan penerimaan cahaya matahari. Tanaman merubah energi dari matahari menjadi gula sehingga konsentrasi gula secara umum lebih tinggi pada sore atau menjelang malam hari. Konsentrasi gula mulai menurun pada malam hari melalui proses respirasi dalam tanaman dan lebih rendah lagi pada pagi hari. Sehingga kajian kualitas silase rumput yang dipanen pada waktu berbeda sangat diperlukan.
Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumber inspirasi untuk menggugah kreativitas pihak-pihak yang terkait khususnya mahasiswa Fakultas Peternakan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh daripada kesempurnaan, namun Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi Penulis khususnya dan pembaca umumnya.
Bogor, Maret 2011
Penulis
v DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN . ... i
ABSTRACT . ... ii
RIWAYAT HIDUP ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR LAMPIRAN ... vii
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan ... 2
TINJAUAN PUSTAKA ... 3
Silase. ... 3
Brachiaria humidicola. ... 4
Pennisetum purpureum (Rumput Gajah). ... 4
Panicum maximum ... 5
Paspalum notatum ... 6
Pennisetum purputhypoides (Rumput Raja)... 6
Pengaruh Waktu Pemotongan ... 7
Bakteri Asam Laktat ... 8
METODE PENELITIAN ... 10
Tempat dan Waktu ... 10
Materi ... 10
Metode... 10
Rancangan Percobaan . ... 11
HASIL DAN PEMBAHASAN . ... 14
Kualitas Fermentasi Silase Beberapa Jenis Rumput ... 14
Karakteristik Fisik Silase ... 14
Karakteristik Kimia dan Mikrobial Silase ... 16
Kehilangan Bahan Kering ... 16
Derajat Keasaman (pH) . ... 17
Jumlah Koloni Bakteri Asam Laktat ... 19
Kelarutan ... 20
Total Gula (WSC) ... 21
KESIMPULAN DAN SARAN ... 23
Kesimpulan . ... 23
Saran . ... 23
vi
Halaman
UCAPAN TERIMAKASIH ... 24
DAFTAR PUSTAKA . ... 25
LAMPIRAN .. ... 28
7 DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1 Komposisi Kimia Silase Beberapa Jenis Rumput... 4 2 Komposisi Kimia Rumput Gajah pada Umur Pemanenan
yang Berbeda... 5 3 Komposisi dan Nilai Gizi Panicum maximum (% BK)... 5 4 Kandungan Nutrien Paspalum notatum... 6 5 Karakteristik Fisik Silase Beberapa Jenis Rumput pada
Waktu Pemotongan Berbeda... 14 6 Kehilangan Bahan Kering Silase Beberapa Jenis Rumput
pada Waktu Pemotongan Berbeda... 17 7 Derajat Keasaman (pH) Silase Beerapa Jenis Rumput pada
Waktu Pemotongan Berbeda... 18 8 Jumlah Koloni Bakteri Asam Laktat Silase Beberapa Jenis
Rumput pada Waktu Pemotongan Berbeda (Log 10
cfu/gram)... 19 9 Kelarutan Silase Beberapa Jenis Rumput pada Waktu
Pemotongan Berbeda... 20 10 Total gula Silase (%BK) Beberapa Jenis Rumput pada
Waktu Pemotongan Berbeda... 21
8 DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1 Annova Interaksi antara Bahan dan Waktu terhadap
Kehilangan Bahan Kering... 29 2 Annova Interaksi antara Bahan dan Waktu terhadap
pH... 29 3 Uji Lanjut Duncan Interaksi antara Bahan dan Waktu
terhadap pH Silase... 30 4 Annova Interaksi antara Bahan dan Waktu terhadap
Kelarutan... 30 5 Uji Lanjut Duncan Interaksi antara Bahan dan Waktu
terhadap Kelarutan... 31 6 Annova Interaksi antara Bahan dan Waktu terhadap Total
Gula... 31 7 Uji Lanjut Duncan Annova Interaksi antara Bahan dan
Waktu terhadap Total Gula... 32
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pakan merupakan salah satu faktor penentu bagi berkembangnya suatu usaha peternakan. Pada ternak ruminansia, ketersediaan pakan terutama hijauan masih menjadi kendala dan sangat dipengaruhi oleh musim. Pada musim hujan, ketersediaan hijuan berupa rumput atau hijauan lainnya berlimpah, namun sebaliknya pada musim kemarau ketersediaan hijauan sangat terbatas.
Salah satu cara mengatasi kekurangan hijauan pada musim kemarau adalah dengan pengawetan. Ada dua cara pengawetan hijauan yang dapat dilakukan, yaitu dengan pengeringan (hay) dan silase. Pengawetan dengan teknik pengeringan memiliki beberapa kekurangan, yaitu bergantung cuaca dan kurang tahan simpan, sebaliknya pengawetan dengan teknik silase dapat dilakukan setiap saat tanpa dipengaruhi musim dan cuaca.
Silase adalah bahan pakan ternak berupa hijauan (rumput-rumputan atau leguminosa) yang disimpan dalam kondisi anaerob dengan kandungan air yang tinggi. Silase dapat dibuat dari berbagai jenis tanaman seperti rumput, legum, sereal dan hasil ikutan tananam lainnya. Bahan yang baik dijadikan silase harus mempunyai substrat mudah terfermentasi dalam bentuk Water Soluble Carbohydrate (WSC) yang cukup, buffering capacity yang relatif rendah dan kandungan bahan kering diatas 200 g/kg (McDonald et al., 1991). Water Soluble Carbohydrate (WSC) tanaman umumnya dipengaruhi oleh spesies, fase pertumbuhan, budidaya dan iklim.
Waktu panen berkaitan dengan penerimaan cahaya matahari terhadap tumbuhan. Tanaman pada umumnya melakukan proses fotosintesis. Proses fotosintesis ini biasanya terjadi pada siang hari atau ketika ada cahaya matahari.
Tanaman merubah energi dari matahari menjadi gula sehingga konsentrasi gula
secara umum lebih tinggi pada sore atau malam hari. Konsentrasi gula menurun
pada malam hari melalui proses respirasi dalam tanaman dan lebih rendah lagi
pada pagi hari, sehingga dengan adanya gula dari hasil fotosintesis tersebut,
memungkinkan adanya pengaruh waktu pemanenan terhadap kualitas silase.
2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh jenis hijauan dan waktu
panen terhadap kualitas silase yang dihasilkan termasuk diantaranya sifat
organoleptik, pH, populasi bakteri asam laktat (BAL), kehilangan bahan kering,
kelarutan dan kandungan Water Soluble Carbohydrate (WSC).
3 TINJAUAN PUSTAKA
Silase
Silase adalah pakan hasil produk fermentasi hijauan, hasil samping pertanian dan agroindustri dengan kadar air tinggi yang diawetkan dalam kondisi anaerob (Moran, 2005; Johnson dan Harrison, 2001; McDonald et al., 1991; Woolford, 1984). Keadaan anaerob ini harus tetap dipertahankan, sebab udara adalah musuh besar silase (Schroeder, 2004; Moran, 2005). Proses kimiawi atau fermentasi yang terjadi selama penyimpanan silase disebut ensilase, sedangkan tempatnya disebut silo (Woolford, 1984; McDonald et al., 1991).
Tujuan utama pembuatan silase adalah untuk mengawetkan dan mengurangi kehilangan zat makanan suatu hijauan untuk dimanfaatkan pada musim kemarau (Sapienza dan Bolsen, 1993; Schroeder 2004; Jones et al., 2004). Memacu terciptanya kondisi anaerob dan asam dalam waktu singkat merupakan prinsip dasar pembuatan silase. Menurut Coblentz (2003) ada tiga hal penting agar diperoleh kondisi anaerob yaitu menghilangkan udara dengan cepat, menghasilkan asam laktat yang membantu menurunkan pH, mencegah masuknya oksigen ke dalam silo dan menghambat pertumbuhan jamur selama penyimpanan.
Pembuatan silase tidak tergantung dengan musim (Sapienza dan Bolsen, 1993;
Schroeder, 2004).
Hijauan yang dibuat silase dengan kandungan air 65% termasuk dalam kategori ini, sedangakan bila kandungan air lebih rendah dari 40–50% proses fermentasi berlangsung sangat lambat. Fermentasi normal dengan kandungan air 55–60% masa fermentasi aktif akan berakhir antara 1–5 minggu. Fermentasi akan terhenti disebabkan kehabisan substrat gula untuk proses fermentasi dan dapat terus bertahan selama beberapa tahun sepanjang silase tidak kontak dengan udara (Bolsen et al., 2000).
Secara umum kualitas silase dipengaruhi oleh tingkat kematangan hijauan,
kadar air, ukuran partikel bahan, penyimpanan pada saat ensilase dan pemakaian
aditif (Schroeder, 2004; Moran, 2005). Komposisi kimia silase beberapa jenis
rumput terdapat pada Tabel 1.
4 Tabel 1. Komposisi Kimia Silase Beberapa Jenis Rumput
Jenis Rumput BK (%) WSC (%) pH BAL
Brachiaria humidicola
1)20,85 2,35 5,32 1,26
Penisetum purpureum
1)15,77 9,88 3,96 2,53
Panicum maximum
2)19,35 3,03 4,71 1,84
Pennisetum purputhypoides
1)16,0 7,56 5,90 2,00
Sumber : 1)Aminah (2000) dan 2)Santoso (2009)Keterangan : WSC (Water Soluble Carbohydrate), BK (Bahan Kering), BAL (Bakteri Asam Laktat)
Brachiaria humidicola
Merupakan tanaman asli dari Afrika Selatan, kemmudian menyebar ke Fiji dan Papua New Guinea, terkenal dengan nama Koronivia Grass. Merupakan tanaman parennial, perkembangan vegetatif dengan stolon begitu cepat sehingga bila ditanam di lapang segera membentuk hamparan (Mannetje dan Jones, 1992).
Batang yang dapat berbunga mencapai tinggi 20-60 cm, helai daun berwarna hijau terang, lebar 5-16 mm dan panjang 12-25 cm. Panjang inflorenscence 7-12 terdiri dari 2-4 spikelet, hal ini sesuai untuk daerah tropika basah dengan toleransi cukup luas di berbagai daerah. Rumput jenis ini mampu menghasilkan 20 ton bahan kering per hektar pada daerah tropika basah, dan dapat ditanam dengan pols dan stolon atau biji (Bogdan, 1977).
Pennisetum purpureum (Rumput Gajah)
Rumput gajah (Pennisetum purpureum) merupakan jenis rumput unggul yang mempunyai produktivitas dan kandungan zat gizi yang cukup tinggi serta disukai oleh ternak ruminansia. Rumput gajah mempunyai produksi bahan kering 40 sampai 63 ton/ha/tahun (Siregar, 1989), dengan rata-rata kandungan zat-zat gizi yaitu : protein kasar 9,66%, BETN 41,34%, serat kasar 30,86%, lemak 2,24%, abu 15,96%, dan TDN 51% (Lubis, 1992)
Nilai gizi rumput gajah sebagai hijauan makanan ternak ditentukan oleh
zat-zat makanan yang terdapat di dalamnya dan kecernaannya. Nilai gizi rumput
gajah dipengaruhi oleh fase pertumbuhan pada saat pemotongan atau
penggembalaan. Rumput gajah sebaiknya dipotong pada fase vegetatif, untuk
menjamin pertumbuhan kembali (regrowth) yang sehat dan kandungan zat-zat gizi
yang optimal. (McIlroy, 1976). Waktu yang terbaik untuk memotong tanaman
5 yang akan dibuat silase adalah pada fase vegetatif, sebelum pembentukan bunga (Reksohadiprodjo, 1998). Fase pertumbuhan tanaman pada waktu pembuatan silase besar pengaruhnya terhadap kecernaan dan komposisi kimia silase (Harrison et al., 1994). Kandungan protein kasar dan bahan organik rumput gajah yang hilang dalam pembuatan silase dipengaruhi fase pertumbuhan tanaman (Spitaleri et al., 1995). Komposisi kimia dalam rumput gajah pada umur pemanenan yang berbeda-beda terdapat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi Kimia Rumput Gajah pada Umur Pemanenan yang Berbeda
Umur Rumput
Bahan
Kering Protein TDN Serat
Kasar Ca P
---%---
15-28 hari 15,7 11,4 53,1 29,5 0,70 0,40
43-56 hari 17,5 9,3 50,4 32,9 0,52 0,51
57-70 hari 20,6 8,4 52,9 33,3 0,52 0,31
Sumber : Tillman et al. (1991)
Panicum maximum
Nama Indonesia rumput ini adalah rumput benggala. Tanaman ini merupakan tanman tahunan, berumpun-rumpun dan tingginya dapat mencapai tiga meter. Rumput ini berasal dari Afrika tropika dan subtropika, tidak membentuk hamparan, tetapi tetap berumpun-rumpun dan dapat tumbuh baik bersama leguminosa tropika serta tahan kering. Pada umur muda bernilai gizi tinggi dan disukai ternak. Produksi hijauan segar sebanyak 115 ton/ha/tahun. Rumput ini dapat dikembangkan dengan biji atau sobekan rumpun (McIlroy, 1976).
Komposisi dan nilai gizi Panicum maximum dalam bahan kering terdapat dalam Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi dan Nilai Gizi Panicum maximum (% BK) Tinggi PK SK Protein dapat
dicerna Pati Fase tumbuh Sedang (30-46 cm)
Panjang (76-91 cm) Tinggi (Daun 122 cm, batang 183 cm)
9,15 9,31 5,61
31,19 34,46 41,76
5,7 3,83 2,74
42,81 35,42 29,21
Belum berbunga Belum berbunga Mulai berbunga
Sumber: McIlroy (1976)
6 Paspalum notatum
Paspalum notatum merupakan tanaman tahunan berizhoma dan berakar dalam. Tingginya dapat mencapai 60 cm atau lebih. Berasal dari Amerika Tengah dan Selatan dan beradaptasi di daerah tropis dan subtropis. Tanaman ini termasuk ke dalam rumput penggembalaan yang berguna dan tahan terhadap penggembalaan dan kekeringan, tetapi di Nigeria Utara jenis rumput ini mati pada musim kering dan palatabilitasnya umumnya dianggap rendah. Tanaman ini merupakan rumput yang paling baik untuk pengawetan tanah, dapat ditanamam dengan menggunakan stek atau biji, mudah membentuk hamparan rumput yang rapat dan dapat digembalai tiga bulan sesudah penanaman. (McIlroy, 1976).
Kandungan nutrien Paspalum notataum terdapat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kandungan Nutrien Paspalum notatum
Zat Makanan (%)
Bahan Kering 0,29
Abu 10
Protein Kasar 10
Mg 3
Ca 0,7
Energi Bruto (kkal/g) 17
Sumber: Tillman et al. (1991)
Pennisetum purputhypoides (Rumput Raja)
Rumput raja (Pennisetum purputhypoides) merupakan hasil persilangan antara rumput gajah (Pennisetum purpureum) dengan Pennisetum thypoides (Siregar, 1988). Rumput raja merupakan rumput berumur panjang, tumbuh tegak membentuk rumpun, tinggnya mencapai 4,5 m, perakarannya cukup dalam dan luas, batang tebal dan keras apabila sudah tua, tipe bunga spike/tandan, serta helai dan pelepah daun berbulu agak kasar (Balai Informasi Pertanian Lembang, 1988).
Jayadi (1991) menyatakan bahwa rumput raja dapat tumbuh pada dataran
rendah hingga tinggi dengan curah hujan yang merata sepanjang tahun, sebaiknya
di daerah dengan curah hujan di atas 1000 mm. Toleransinya terhadap berbagai
tanah cukup luas, terutama tanah-tanah yang berstruktur remah, demikian pula
pada tanah latosol, andosol dan tanah basa. Produksinya akan meningkat dengan
meningkatnya kebasaan tanah. Rumput ini mudah mudah ditanam dengan
menggunakan stek batang atau sobekan rumpun. Penggunaan stek batang
sebaiknya batang yang sudah cukup tua yaitu diambil dari rumput yang telah
7 berumur delapan bulan, panjang setiap stek kurang lebih 25-30 cm dan memiliki dua mata tunas atau lebih (Balai Penelitian Ternak Ciawi, 1988). Kandungan protein kasar rumput ini sekitar 4,2-13,5 %, 31,4 % serat kasar dengan 68,2 % serat kasar tercerna, 0,37 % Ca dan asam oksalat 2,2 %.
Pemotongan pertama rumput raja dapat dilakukan setelah tanaman berumur 2-3 bulan dan interval pemotongan berikutnya 5-6 minggu sekali, apabila musim kemarau maka waktu pemotongan dapat diperpanjang. Dengan pemeliharaan yang baik maka selain dapat panen 8-9 kali/tahun, rumput raja akan terus berproduksi selama 10 tahun.
Pengaruh Waktu Pemotongan
Energi matahari merupakan sumber energi utama bagi makhluk hidup terutama tumbuhan. Jika intensitas cahaya rendah maka pertumbuhan akan terhambat. Penghambatan terjadi melalui berkurangnya aktivitas fotosintesis.
Pertumbuhan tanaman tergantung pada intensitas, kualitas, lamanya penyinaran (perioditas), dan arah cahaya. Energi cahaya bertanggung jawab terhadap kegiatan fotosintesis dan sejumlah pengikatan nitrogen melalui reaksi kimia (Supardi, 2000).
Pertumbuhan yang ditentukan oleh pertambahan dalam berat kering bergantung kepada sejumlah hasil fotosintesis dikurangi bagian yang terpakai dalam proses respirasi, oleh sebab itu, cahaya mempunyai efek yang nyata terhadap pertumbuhan tanaman. Fotosintesis maksimum terjadi pada cahaya penuh, namun selama tengah hari intensitas cahaya yang tinggi menyebabkan meningkatnya suhu daun, hal ini menyebabkan menutupnya stomata dan menurunnya fotosintesis (Soekotjo, 1987)
Waktu panen berkaitan dengan penerimaan cahaya matahari terhadap tumbuhan. Cahaya memiliki efek yang sangat nyata terhadap pertunbuhan dikarenakan pengaruhnya terhadap proses fotosintesis, pembukaan dan penutupan stomata, respirasi, permeabilitas dinding sel, absorbsi air dan unsur hara, aktivitas enzim, koagulasi protein, dan sintesa klorofil (Prawiranata et al., 1999)
Energi matahari merupakan sumber energi utama bagi makhluk hidup
terutama tumbuhan. Jika intensitas cahaya rendah maka pertumbuhan akan
terhambat. Penghambatan terjadi melalui berkurangnya aktivitas fotosintesis.
8 Pertumbuhan tanaman tergantung pada intensitas, kualitas, lamanya penyinaran (perioditas), dan arah cahaya. Energi cahaya berperan penting terhadap kegiatan fotosintesis dan sejumlah pengikatan nitrogen melalui reaksi kimia (Supardi, 2000).
Bakteri Asam Laktat
Bakteri asam laktat (BAL) termasuk bakteri fakultatif anaerobik yang dapat tumbuh pada kondisi dengan atau tanpa oksigen. Bakteri ini tidak membutuhkan oksigen untuk pertumbuhannya meskipun mungkin menggunakan oksigen untuk menghasilkan energi (Pelczar dan Chan, 1986). Bakteri asam laktat umumnya tidak membentuk spora dan selnya berbentuk bulat atau batang. Bakteri asam laktat terdiri dari beberapa genus antara lain Streptococcus, Lactobacillus dan Levconostoc (Pelczar dan Chan, 1986). Gilliland (1993) menyatakan bahwa Lactobacillus mampu mendegradasi gula, protein dan peptida menjadi asam amino. Pendegradasian protein oleh bakteri tersebut terjadi pada pH 5,2-5,8 dan suhu 45-50°C.
Menurut Gilliland (1993), bakteri asam laktat berdasarkan sifat
fermentasinya dibagi menjadi dua golongan yaitu heterofermentatif dan
homofermentatif. Perbedaan dari kedua golongan tersebut adalah terletak pada
produk akhir yang dihasilkan dan efisiensi fermentasi. Bakteri homofermentatif
lebih efisien dalam memproduksi asam-asam organik bila dibandingkan dengan
tipe heterofermentatif. Menurut McDonald et al. (1991), bakteri tipe
homofermentatif akan menghasilkan dua mol asam laktat untuk setiap mol
glukosa, sedangkan bakteri tipe heterofermentatif selain menghasilkan asam
laktat, juga menghasilkan etanol dan CO
2masing-masing satu mol untuk setiap
mol glukosa. Menurut Rahayu dan Cristiani (1992), bakteri asam laktat
homofermentatif dapat mengubah 95% glukosa atau heksosa lainnya menjadi
asam laktat dengan jumlah kecil karbondioksida dan asam-asam volatil (asam
butirat). Termasuk kelompok bakteri homofermentatif antara lain Lactobacillus
bulgaricus, L. lactis, L. acidophilus, L. thermophilus dan L. delbruechii,
sedangkan bakteri asam laktat yang bersifat heterofermentatif menurut Pelczar
dan Chan (1986) dan McDonald et al. (1991) antara lain Streptococcus sp.,
Leuconostoc sp., Leuconostoc fermentum dan Leuconostoc brevis. Beberapa
9
faktor yang ikut berperan untuk menghambat mikroba oleh bakteri asam laktat
antara lain pH yang rendah, asam organik, bakteriosin, hidrogen peroksida,
ethanol dan potensial redoks yang rendah (Adam dan Moss, 1995).
10 METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai September 2009, di Laboratorium Agrostologi dan Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB.
Materi Bahan
Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah: 1) Pennisetum purpureum (rumput gajah), 2) Pennisetum purputhypoides (rumput raja), 3) Panicum maximum, 4) Brachiaria humidicola dan 5) Paspalum notatum masing- masing rumput berumur 25-40 hari dan dipanen pada waktu pemotongan yang berbeda yaitu pagi, siang dan malam hari. Bahan tambahan lain adalah aquades, inokulan Bakteri Asam Laktat (BAL) yang berasal dari silase jagung, Mann Rogose shape (MRS) Agar dan NaCl 0,85%, MRS Broth, alkohol 70%, dan NaCl 0,85%.
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian adalah plastik, cawan petri, laminar plo, tabung reaksi, mikro pipet, vortex, autoclaff, bunsen, kompor listrik, dan penyerap oksigen (vacum) .
Metode Pembuatan Silase
Rumput yang telah dipanen, dicacah menggunakan alat pemotong dengan ukuran panjang 3-5 cm, kemudian ditimbang, masing-masing sebanyak 500 gram.
Rumput cacahan diinokulasi menggunakan bakteri asam laktat (BAL) sebanyak
10
5cfu/ml dengan cara disemprot. Rumput yang telah diberikan BAL kemudian
dimasukkan ke dalam plastik ukuran dua kilogram, dipadatkan lalu dihisap
menggunakan mesin vacum agar tidak terdapat udara di dalam plastik sebelum
diikat dengan tali. Plastik berisi rumput yang telah diikat, ditimbang kemudian
disimpan selama 21 hari. Setiap minggu rumput ditimbang untuk mengetahui
kehilangan bahan kering, dan pada minggu terakhir (21 hari) plastik dibuka,
kemudian dievaluasi warna, bau, tekstur dan adanya jamur serta analisis kualitas
silase.
11 Rancangan Percobaan
Perlakuan
Perlakuan yang diberikan adalah jenis rumput dan waktu pemotongan rumput tersebut (pagi, siang dan malam hari). Jenis rumput yang digunakan yaitu rumput gajah, rumput raja, Brachiaria humidicola, Panicum maximum, dan Paspalum notatum.
Model
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap berpola faktorial 5 x 3 masing-masing dengan 4 ulangan, yang terdiri :
Faktor Jenis Rumput : PP : Pennisetum purpureum PPt : Pennisetum purputhypoides BH : Brachiaria humidicola PM : Panicum maximum PN : Paspalum notatum Faktor Waktu pemotongan :
Pagi
: Waktu pemotongan pagi hari (pukul 05.00-06.00 WIB) Siang : Waktu pemotongan siang hari (pukul 12.00-13.00 WIB) Malam : Waktu pemotongan malam hari (pukul 18.00-19.00 WIB)
Model matematika yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Yijn = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijn
Keterangan :
Yijn = Nilai pengamatan uji fisik pada faktor X taraf ke-i faktor Y taraf ke-j dan ulangan ke-n
µ = Rataan umum jenis rumput terhadap waktu pemotongan
αi = Pengaruh jenis rumput (rumput gajah, rumput raja, Panicum maximum, Brachiaria humidicola dan Paspalum notatum) ke-i
βj = Pengaruh waktu pemotongan (pagi, siang, malam) ke-j αβij = Pengaruh interaksi jenis tanaman dengan waktu pemotongan.
εijn = Galat akibat pengaruh jenis tanaman dengan waktu pemotongan.
12 i : Perlakuan jenis tanaman (rumput gajah, rumput raja, rumput Panicum maximum, rumput Brachiaria humidicola dan rumput Paspalum notatum)
j : waktu pemotongan (pagi, siamg, malam) n : Ulangan; n = 1, 2, 3, dan 4
Data yang diperoleh dianalisa menggunakan sidik ragam mengikuti prosedur Steel dan Torrie (1991), dan apabila hasilnya menunjukkan sangat berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji jarak Duncan.
Pengukuran Parameter Warna, Bau dan Tekstur Silase
Warna, bau, tekstur silase dilakukan melalui pengamatan secara organoleptik produk silase setelah tiga minggu ensilase. Sampling dilakukan dengan mengambil bagian tengah silo. Penilaian organoleptik silase dilakukan dengan metode skoring yang diisi oleh 10 orang panelis.
Kehilangan Bahan Kering
Penentuan kehilangan bahan kering melalui analisa proksimat (AOAC 1999). Bahan kering diukur sebelum dan setelah ensilase. Sebanyak 3 gr sampel kering dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui bobotnya. Setelah itu dipanaskan di dalam oven dengan suhu 105
oC selama 6 jam. Selanjutnya didinginkan di dalam eksikator selama 15 menit. Penghitungan kehilangan bahan kering merupakan selisih pengalian bobot sebelum ensilase dan bahan kering sebelum ensilase dengan pengalian bobot setelah ensilase. Selanjutnya dibandingkan dengan pengalian bobot sebelum ensilase dan bahan kering sebelum ensilase dan bahan kering setelah ensilase dikali seratus persen. Perhitungan kehilangan bahan kering adalah sebagai berikut:
awal awal akhir akhir
awal awal
(Bobot BK ) - (Bobot BK )
% Kehilangan BK = 100%
(Bobot BK )
Derajat Keasaman (pH)
Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan metode Naumann dan
Bassler (1997). Sebanyak 20 gram sampel silase ditambahkan dengan 40 ml
aquades (1:2), kemudian didiamkan selama 15 menit. Setelah itu disaring airnya
13 dan simpan dalam tabung film. Selanjutnya pH diukur dengan menggunakan pH meter.
Jumlah Koloni Bakteri Asam Laktat
Jumlah koloni bakteri asam laktat dihitung dengan menggunakan Metode Total Plate Count (TPC) menurut Fardiaz (1992). Sampel silase ditambah aquades dengan perbandingan 1 : 9. Sebanyak 0,5 ml cairan silase dimasukkan ke dalam 4,5 ml aquades, lalu diencerkan dengan mengambil 0,5 ml dimasukkan ke 4,5 ml aquades sampai pengenceran lima kali. Lalu sebanyak 0,5 ml dari pengenceran 3, 4 dan 5 kali ditanam pada cawan petri berisi media MRS agar.
Media agar yang ditanam dengan sampel silase diinkubasi pada suhu ruang selama dua hari. Koloni yang tumbuh berbentuk bulat miring bewarna agak kekuningan. Jumlah koloni yang diperoleh ditranformasi dalam log untuk memudahkan penghitungan.
Populasi BAL (cfu/g) = Jumah Koloni Pengenceran Kelarutan
Analisa kelarutan dilakukan dengan menggunakan pendekatan metode Muchtadi (1998). Silase dikeringkan pada suhu 60
0C, lalu dibuat tepung.
kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 105
0C. Setelah kering, bahan diambil sebanyak x gram, bahan tersebut dilarutkan dengan 100 ml aquadest kemudian dihomogenkan dengan menggunakan vortex selama 15 menit.
Kemudian disentrifugasi hingga endapan dan supernatan terpisah. Endapan tersebut kemudian dioven kembali pada suhu 105
0C dan ditimbang beratnya (y gram). Perhitungan analisa kelarutan adalah sebagai berikut :
x gram - y gram
% Kelarutan = 100%
x gram
Kandungan Total Gula
Kandungan total gula diukur menggunakan supernatan yang dihasilkan dari
proses sentrifugasi lalu ditambahkan dengan asam sulfat pekat (H
2SO
4) dan fenol
5% kemudian diukur dengan menggunakan alat spektrofotometer (Shimadzu UV
VIS 1201) pada panjang gelombang 490 nm dengan D-glukosa sebagai standar
seperti yang dijelaskan oleh Dubois et al. (1956).
1 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kualitas Fermentasi Silase Beberapa Jenis Rumput Karakteristik Fisik Silase
Karakter fisik merupakan karakter yang dapat diamati secara langsung, karakter fisik yang diamati pada penelitian ini adalah warna, bau dan tekstur berbagi jenis rumput setelah enam minggu ensilase pada waktu pemotongan pagi, siang dan malam hari. Karakter fisik beberapa jenis rumput pada waktu pemotongan berbeda terdapat pada Tabel 5.
Tabel 5. Karakteristik Fisik Silase Beberapa Jenis Rumput pada Waktu Pemotongan Berbeda
Silase Peubah Waktu panen
Pagi Siang Malam
BH
Warna Coklat Hijau kekuningan Hijau kekuningan
Bau Busuk Agak masam Agak masam
Tekstur Remah Remah Lembut
PP
Warna Hijau kecoklatan Hijau kecoklatan Hijau kecoklatan
Bau Busuk Agak masam Agak masam
Tekstur Lembut Kasar Remah
PM
Warna Hijau kecoklatan Hijau kecoklatan Hijau kecoklatan
Bau Busuk Busuk Busuk
Tekstur Remah Kasar Remah
PPt Warna Hijau kecoklatan Hijau kecoklatan Hijau kekuningan
Bau Tengik Busuk Agak masam
Tekstur Kasar Remah Remah
PN Warna Hijau kecoklatan Hijau kecoklatan Coklat
Bau Masam Agak masam Agak masam
Tekstur Lembut Lembut Lembut
Keterangan:BH=Brachiaria humidicola, PP=Pennisetum purpureum, PM=Panicum maximum, PPt=Pennisetum purputhypoides, PN=Paspalum notatum.
Warna silase dapat mengindikasikan permasalahan yang mungkin terjadi selama fermentasi. Silase yang terlalu banyak mengandung asam asetat akan berwarna kekuningan, sementara jika kelebihan asam butirat akan berlendir dan berwarna hijau kebiruan. Silase yang baik akan berwarna normal, artinya tidak terjadi perubahan dari warna sebelum ensilase (Saun dan Heinrich, 2008).
Hasil pengamatan silase beberapa jenis rumput setelah tiga minggu ensilase
menunjukkan warna hijau kekuningan sampai coklat. Secara umum silase
Pennisetum purpureum, Panicum maximum, Pennisetum purputhypoides, dan
2 Paspalum notatum memperlihatkan warna yang hampir sama yaitu hijau kecoklatan, sementara silase rumput Brachiaria humidicola memperlihatkan warna yang lebih cerah yaitu hijau kekuningan. Namun secara umum kelima jenis rumput mempunyai kualitas yang baik. Hal ini sesuai dengan yang direkomendasikan oleh Macaulay (2004) bahwa silase yang berkualitas baik akan berwarna hijau terang sampai kuning atau hijau kecoklatan tergantung materi silase.
Hasil pengamatan bau pada silase beberapa jenis rumput setelah tiga minggu ensilase memiliki tingkat bau yang berbeda. Perlakuan silase Brachiaria humidicola dan Pennisetum purpureum yang dipotong pada siang dan malam hari mempunyai bau agak masam, sedangkan yang dipotong pada pagi hari memiliki bau busuk, berbeda dengan silase Panicum maximum yang memiliki bau busuk pada ketiga waktu pemotongan (pagi, siang dan malam). Kualitas silase yang baik adalah pada pemotongan malam hari yakni memiliki bau agak masam, dan pada Paspalum notatum secara umum memiliki kualitas yang lebih baik daripada perlakuan lainnya. Diduga fermentasi yang terjadi pada semua perlakuan bersifat heterofermentatif, sehingga tidak hanya memproduksi asam laktat sebagai produk akhir fermentasi, tetapi juga menghasilkan asam asetat, propionat, butirat dan alkohol. Perlakuan Panicum maximum dan Pennisetum purputhypoides diduga menghasilkan asam propionat yang tinggi sehingga menghasilkan bau yang lebih menyengat. Hasil ini didukung oleh Saun dan Heinrichs (2008) yang menyatakan bahwa silase yang baik akan mempunyai bau seperti susu fermentasi karena mengandung asam laktat, bukan bau yang menyengat. Lebih lanjut dijelaskan jika produksi asam asetat tinggi, maka akan berbau cuka. Kandungan etanol tinggi yang berasal dari fermentasi jamur akan menimbulkan bau alkohol, sementara fermentasi asam propionat akan menimbulkan bau wangi yang tajam. Sedangkan fermentasi Clostridia akan menghasilkan bau seperti mentega tengik, dan silase yang mengalami kerusakan panas akan berbau karamel dan tembakau.
Hasil pengamatan tekstur silase beberapa jenis rumput setelah tiga minggu
ensilase, menunjukkan tekstur yang lembut sampai kasar. Secara umum semua
perlakuan menunjukkan silase dengan kualitas yang baik, hal ini sesuai dengan
yang direkomendasikan Macaulay (2004), bahwa silase dengan kualitas baik akan
3 memperlihatkan tekstur yang kompak, materi yang lembut dan komponen seratnya tidak mudah dipisahkan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tekstur silase dipengaruhi oleh kadar air bahan pada awal ensilase, silase dengan kadar air yang tinggi (>80%) akan memperlihatkan tekstur yang berlendir, lunak dan berjamur, sedangkan silase berkadar air rendah (<30%) akan mempunyai tekstur yang kering, mudah disobek dan ditumbuhi jamur.
Tingkat kerusakan pada permukaan silase merupakan salah satu masalah yang sering terjadi pada proses silase. Idealnya silase yang baik akan mempunyai permukaan yang lembut dan tidak berjamur. Hasil pengamatan pada permukaan silo setelah tiga minggu ensilase, jamur ditemukan pada perlakuan Brachiaria humidicola yang dipotong malam hari, Panicum maximum yang dipotong siang dan malam hari, Pennisetum purputhypoides yang dipotong malam hari, dan Paspalum notatum yang dipotong pagi dan siang hari.
Karakteristik Kimia dan Mikrobial Silase Beberapa Jenis Rumput pada Waktu Pemotongan Berbeda
Penelitian ini mengamati karakteristik kimia dan mikrobial silase beberapa jenis rumput pada waktu pemotongan pagi, siang dan malam hari. Karakteristik yang diamati adalah kehilangan bahan kering, derajat keasaman (pH), jumlah koloni bakteri asam laktat, kelarutan silase, dan Water Soluble Carbohydrate (WSC).
Kehilangan Bahan Kering
Kehilangan bahan kering pada produk silase disebabkan oleh proses pendegradasian Water Soluble Carbohydrate (WSC) atau gula-gula mudah tercerna menjadi poduk akhir yang lebih sederhana (asam asetat, asam laktat dan asam butirat). Produk akhir paling menguntungkan adalah asam asetat dan asam laktat (Lendrawati, 2009). Davies (2007) menyatakan bahwa kehilangan bahan kering silase terjadi pada saat pengisian (5%), menjadi cairan silase (3%), selama proses fermentasi (5%), kerusakan karena udara (10%), dan kehilangan di lapangan (4%).
Proses ensilase menyebabkan terjadinya penurunan kadar bahan kering
silase, hal ini disebabkan terjadinya proses fermentasi yang merupakan aktivitas
biologis bakteri asam laktat mengkonversi gula-gula sederhana menjadi asam
4 laktat. Bakteri asam laktat akan memanfaatkan gula-gula sederhana terlebih dahulu untuk pertumbuhan dan perkembangannya sebelum dikonversi menjadi asam laktat. Kehilangan bahan kering ini tidak hanya disebabkan oleh aktivitas bakteri asam laktat saja, tetapi juga dapat disebabkan adanya reaksi respirasi dan proteolisis yang terjadi pada awal fase ensilase, serta adanya kehilangan melalui cairan (effluent), akibatnya kadar air akan meningkat dan bahan kering akan turun (Lendrawati, 2008). Kehilangan bahan kering silase beberapa jenis rumput pada waktu pemotongan berbeda terdapat pada Tabel 6.
Tabel 6. Kehilangan Bahan Kering Silase Beberapa Jenis Rumput pada Waktu Pemotongan Berbeda
Jenis Rumput Waktu pemotongan
Pagi Siang Malam Rataan
BH 23,88±1,66 7,30±0,75 10,55±9.02 13,91± 8.78 PP 20,13±8,94 15,38±7,51 16,05±6,87 17,18± 2,57 PM 4,03±0,67 10,70±1,49 18,25±1,45 10,99± 7,11 PPt 22,33±3,25 30,23±4,19 32,50±3,96 28,35± 5,34 PN 9,88±2,33 19,53±3,06 10,80±3,84 13,40±5,32 Rataan 16,05±8,66 16,63±8,90 17,63± 8,96
Keterangan:BH=Brachiaria humidicola, PP=Pennisetum purpureum, PM=Panicum maximum, PPt=Pennisetum purputhypoides, PN=Paspalum notatum.
Kehilangan bahan kering terbesar adalah pada Pennisetum purputhypoides yang dipotong pada malam hari yaitu sebesar 32,50±3,96%, sedangkan kehilangan bahan kering terkecil adalah pada Panicum maximum yang dipotong pada pagi hari yaitu sebesar 4,03±0,67%. Rata-rata kehilangan bahan kering terbesar adalah pada Pennisetum purputhypoides yaitu sebesar 28,35±5,34%.
Hasil analisis ragam menunujukkan jenis rumput, waktu panen dan interaksi antara jenis rumput dengan waktu panen tidak berpengaruh nyata terhadap kehilangan bahan kering silase. Kehilangan bahan kering pada penelitian ini berkisar antara 7,30-30,23%. Hasil ini sesuai dengan rekomendasi McDonald et al. (1991) yaitu berkisar 7-40%.
Derajat Keasaman (pH)
Silase yang baik salah satu cirinya adalah mempunyai pH rendah (Kung
dan Nylon, 2001). pH merupakan indikator utama untuk mengetahui keberhasilan
ensilase, sementara Kung dan Shaver (2001) menyatakan bahwa pH silase
5 berhubungan dengan produksi asam pada proses ensilase, pH yang rendah mencerminkan produksi asam laktat yang tinggi. pH silase beberapa jenis rumput yang berbeda waktu pemotongan terdapat pada Tabel 7.
Tabel 7. Derajat Keasaman (pH) Silase Beberapa Jenis Rumput pada Waktu Pemotongan Berbeda
Jenis Rumput Waktu Pemotongan
Pagi Siang Malam
BH 5,08±0,09
ab5,17±0,09
abc5,06±0,01
abPP 6,21±0,87
d5,43±0,91
bc5,22±0,79
abcPM 5,15±0,02
abc5,30±0,07
abc5,28±0,07
abcPPt 5,07±0,04
ab5,61±0,49
c4,84±0,47
aPN 5,18±0,07
abc5,42±0,15
bc5,14±0,12
abcKeterangan:BH=Brachiaria humidicola, PP=Pennisetum purpureum, PM=Panicum maximum, PPt=Pennisetum purputhypoides, PN=Paspalum notatum; Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05).
Hasil analisis ragam menunjukkan jenis rumput, waktu panen, dan interaksi anatra jenis rumput dengan waktu panen nyata (p<0,05) mempengaruhi nilai pH silase. Jenis rumput mempengaruhi nilai pH silase kemungkinan disebabkan berbedanya kandungan Water Soluble Carbohydrate (WSC) dan populasi bakteri asam laktat pada rumput tersebut.
Waktu panen mempengaruhi nilai pH silase, hal ini diduga karena kandungan Water Soluble Carbohydrate (WSC) dari rumput pada malam hari merupakan hasil fotosintesis pada siang harinya. Lakitan (2008) menyatakan proses fotosintesis terjadi pada siang hari atau ketika ada cahaya matahari.
Tanaman merubah energi dari matahari menjadi gula sehingga konsentrasi gula secara umum lebih tinggi pada sore hari atau malam hari dan lebih rendah lagi pada pagi hari melalui proses respirasi (pelepasan CO
2). Interaksi yang terjadi pada penelitian ini adalah dengan memilih bahan baku silase yang memiliki kandungan WSC yang tinggi dan memilih waktu panen yang tepat, maka dapat menurunkan pH silase dengan optimal.
Perlakuan yang menghasilkan pH yang paling besar (6,21) adalah bahan
rumput gajah (Pennisetum purpureum) pada waktu pagi hari, sedangkan yang
menghasilkan pH paling kecil (4,84) adalah bahan rumput raja (Pennisetum
purputhypoides) di malam hari. pH yang dihasilkan berbeda berdasarkan bahan
yang digunakan untuk membuat silase, hal ini sejalan dengan Kizilsimsek et al.
6 (2005) yang menyatakan bahwa bahan baku dan tipe silo akan mempengaruhi kualitas silase secara fisik dan kimia. Silase yang berkualitas baik sekali adalah silase dengan pH 3,2-4,2 (McCullough, 1978).
Jumlah Koloni Bakteri Asam Laktat
Jumlah bakteri asam laktat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses silase selain kadar air dan kandungan gula bahan silase. Bakteri asam laktat yang terdapat pada penelitian ini merupakan bakteri alami yang terdapat pada hijauan tanpa inokulasi dari luar. Penghitungan jumlah koloni bakteri asam laktat dilakukan pada awal dan akhir ensilase. Jumlah koloni bakteri asam laktat silase beberapa jenis rumput pada waktu pemotongan berbeda terdapat pada Tabel 8.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah koloni bakteri asam laktat pada Pennisetum purputhypoides yang dipanen pada pagi hari menunjukkan jumlah koloni paling banyak, yaitu 6,91 dan koloni bakteri asam laktat yang paling sedikit jumlahnya adalah rumput Brachiaria humidicola yang dipanen pada pagi hari.
Tabel 8. Jumlah Koloni Bakteri Asam Laktat Silase Beberapa Jenis Rumput pada Waktu Pemotongan Berbeda (Log 10 cfu/gram)
Jenis Rumput Waktu Pemotongan
Rataan
Pagi Siang Malam
BH 5,64 6,45 6,56 6,22
PP 6,91 6,51 6,39 6,60
PM 6,24 6,24 6,69 6,39
PPt 5,76 5,70 6,01 5,82
PN 6,66 5,96 6,43 6,35
Rataan 6,24 6,17 6,41
Keterangan:BH=Brachiaria humidicola, PP=Pennisetum purpureum, PM=Panicum maximum, PPt=Pennisetum purputhypoides, PN=Paspalum notatum.
Populasi BAL yang diperoleh pada penelitian ini sesuai dengan pernyataan
Bolsen et al. (2000) yang menemukan populasi BAL pada silase sekitar 10
6cfu/ml. Selain itu McDonald et al. (1991) menyatakan bahwa bakteri asam laktat
dapat bertahan hidup mulai dari pH 4,0 sampai 6,8, bahkan Pediococcus
damnasus (cerevisae) dapat bertahan pada pH 3,5, sementara Streptococcus
umumnya bertahan pada pH sekitar 4,5 sampai 5,0, sedangkan spesies
Lactobacillus akan tumbuh subur pada pH 4,5 sampai 6,4.
7 Kelarutan
Kelarutan silase berhubungan erat dengan nutrient yang digunakan dalam ensilase tersebut. Nutrien akan dimanfaatkan untuk produksi asam-asam organik (Schroeder, 2004). Kelarutan merupakan salah satu indikator kualitas kimia dari silase.
Hasil analisis ragam menunjukkan jenis rumput nyata (p<0,05) mempengaruhi kelarutan silase, sedangkan waktu panen dan interaksi antara jenis rumput dan waktu panen tidak nyata mempengaruhi tingkat kecernaan, karena kelarutan dan kecernaan memiliki korelasi yang positif. Schroeder (2004) menyatakan bahwa kelarutan akan berkorelasi positif dengan kecernaan, jika kelarutan tinggi maka kecernaan bahan pakan tinggi. Kelarutan silase beberapa jenis rumput pada waktu pemotongan berbeda terdapat pada Tabel 9.
Tabel 9. Kelarutan Silase Beberapa Jenis Rumput pada Waktu Pemotongan Berbeda
Jenis Rumput Waktu Pemotongan
Rataan
Pagi Siang Malam
BH 78,71± 1,02 79,07± 1,03 76,59± 1,54 78,12±1,34
cPP 73,59± 1,89 66,68± 3,70 69,08± 4,45 69,78±3,51
aPM 73,12± 2,11 72,03± 2,27 72,31±2,29 72,49± 0,57
abPPt 73,31± 16,93 81,32± 14,81 82,62±15,28 79,09± 5,04
cPN 74,88± 2,52 74,48±15,28 77,05±1,94 75,47±1,38
bcRataan 74,72± 2,33 74,71± 5,79 75,53± 5,14
Keterangan:BH=Brachiaria humidicola, PP=Pennisetum purpureum, PM=Panicum maximum, PPt=Pennisetum purputhypoides, PN=Paspalum notatum; Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05).
Rumput raja (Pennisetum purputhypoides) memiliki kelarutan tertinggi
dibandingkan bahan yang lainnya (79,09%), sedangkan bahan rumput gajah
(Pennisetum purpureum) kelarutannya terendah dibandingkan dengan bahan
lainnya (69,78%). Hal ini terjadi karena banyak nutrien yang digunakan untuk
produksi asam-asam organik sesuai pernyataan Schroeder (2004), bahwa
kelarutan akan berkorelasi positif dengan kecernaan, jika kelarutan tinggi maka
kecernaan bahan pakan tinggi.
8 Total Gula atau Water Soluble Carbohydrate (WSC)
Water Soluble Carbohydrate (WSC) merupakan substrat primer bakteri penghasil asam laktat untuk menurunkan pH pada silase.WSC tanaman umumnya dipengaruhi oleh spesies, fase pertumbuhan, budidaya, iklim, umur dan waktu panen tanaman (Downing et al.,2008)
Gula merupakan substrat yang sangat diperlukan dalam proses ensilase untuk menghasilkan asam organik yang dapat menurunkan pH sebagai awal dari pengawetan silase. Jika kandungan WSC yang rendah pada bahan, maka ensilase tidak akan berjalan baik karena produksi asam laktat atau asam organik akan terganggu (Jones et al.,2004).
Hasil analisis ragam menunjukkan jenis rumput, waktu panen dan interaksi antara jenis rumput dan waktu panen nyata (p<0,05) mempengaruhi total gula silase (Tabel 10). Hasil analisis menunujukkan bahwa total gula yang tertinggi adalah pada rumput raja (Pennisetum purputhypoides) yang dipanen pada malam hari (20,54%), sedangkan total gula terendah adalah pada Panicum maximum yang dipanen pada pagi hari (1,95%). Total gula beberapa jenis rumput pada waktu pemotongan berbeda terdapat pada Tabel 10.
Tabel 10. Total Gula Silase (%BK) Beberapa Jenis Rumput pada Waktu Pemotongan Berbeda
Jenis Rumput Waktu Pemotongan
Pagi Siang Malam
BH 7,11±0,84
abc9,29±0,6
bcd13,86±2,74
dePP 9,01±4,10
bcd17,06±3,97
ef13,35±0,55
cdePM 1,95±0,49
a4,54±1,38
ab4,76±2,81
abPPt 6,56±3,77
ab14,28± 0,68
de20,54±8,91
fPN 8,72±1,71
ab15,10± 0,36
def9,29±3,01
bcdKeterangan:BH=Brachiaria humidicola, PP=Pennisetum purpureum, PM=Panicum maximum, PPt=Pennisetum purputhypoides, PN=Paspalum notatum; Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05).