• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 merupakan salah satu wujud reformasi dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan otonomi daerah untuk memberdayakan daerah dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam rangka mengantisipasi perkembangan dan dinamika kegiatan masyarakat sejalan dengan tuntutan era globalisasi dan otonomi daerah, maka kondisi ketentraman dan ketertiban umum daerah yang kondusif merupakan suatu kebutuhan mendasar bagi seluruh masyarakat untuk meningkatkan mutu kehidupannya.

Satuan Polisi Pamong Praja merupakan elemen yang mempunyai tugas membantu kepala daerah untuk menciptakan suatu kondisi daerah yang tentram, tertib, dan teratur sehingga penyelenggaraan pemerintahan dapat berjalan dengan lancar dan masyarakat dapat melakukan kegiatannya dengan aman. Disamping menegakan Peraturan Daerah, Satuan Polisi Pamong Praja dituntut untuk menegakan kebijakan pemerintah daerah lainnya yaitu Peraturan Kepala Daerah.

(2)

Untuk mengoptimalkan kinerja Satuan Polisi Pamong Praja perlu dibangun kelembagaan Satuan Polisi Pamong Praja yang mampu mendukung terwujudnya kondisi daerah yang tentram, tertib dan teratur.

Penataan kelembagaan Satuan Polisi Pamong Praja tidak hanya mempertimbangkan kriteria kepadatan jumlah penduduk di suatu daerah, tetapi juga beban tugas dan tanggung jawab yang diemban, budaya, sosiologi, serta resiko keselamatan anggota Satuan Polisi Pamong Praja.

Sehubungan dengan hal tersebut susunan organisasi, formasi, fungsi, wewenang, hak dan kewajiban Satuan Polisi Pamong Praja ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja dimana di dalam salah satu ketentuannya diatur bahwa dalam menunjang operasional, Polisi Pamong Praja dapat dilengkapi dengan senjata api yang pengaturan mengenai jenis dan ketentuan penggunaannya berdasarkan rekomendasi dari Kepolisian Negara Republik Indonesia.1 Ketentuan inilah yang menjadi salah satu dasar dari dikeluarkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2010 tentang Penggunaan Senjata Api bagi Anggota Satuan Polisi Pamong Praja.

Kepala Satuan, Kepala Bagian, Kepala Seksi, Komandan Pleton, Komandan Regu dan 1/3 (sepertiga) dari jumlah anggota Satuan Polisi Pamong Praja Propinsi, Kabupaten dan Kota di seluruh Indonesia dapat menggunakan senjata api khususnya yang berupa senjata peluru gas atau peluru hampa setelah mendapat izin dari Kepolisian Negara Republik Indonesia. Penggunaan

1 Lihat Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja.

(3)

senjata api dilakukan pada saat pelaksanaan tugas operasional di lapangan dengan berpakaian dinas dan dalam keadaan terdesak dan terpaksa yang didahului dengan menembakkan peluru kosong / hampa dan setelah itu diwajibkan segera melapor secara tertulis kepada pimpinannya dan Kesatuan Kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat dari tempat kejadian.2

Penggunaan senjata api bagi anggota Satuan Polisi Pamong Praja dirasakan oleh sebagian besar masyarakat sebagai salah satu bentuk arogansi yang dilakukan oleh aparat. Hal ini disebabkan karena paradigma yang terlanjur tertanam di dalam pikiran sebagian besar masyarakat terutama masyarakat dengan profesi yang sering berhadapan dengan anggota Satuan Polisi Pamong Praja seperti Pedagang Kaki Lima atau pihak lain yang merupakan obyek dari penegakan Peraturan Daerah.3 Paradigma berpikir inilah yang seharusnya dihilangkan dari pikiran masyarakat umum bahwa pada hakikatnya anggota Satuan Polisi Pamong Praja merupakan aparat penegak hukum bagi pelanggaran Peraturan Daerah yang dikeluarkan oleh pejabat daerah. Satuan Polisi Pamong Praja bergerak atas dasar perintah yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya yang diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010.

Dalam praktiknya ditemukan pelanggaran penggunaan alat bantu senjata api seperti yang dimaksud dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2010. Hal ini menjadi tidak sejalan dengan tujuan dari pembentukan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2010 yang dimaksudkan

2 Lihat Pasal 14 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2010 tentang Penggunaan Sejata Api bagi Anggota Satuan Polisi Pamong Praja.

3 “ Satuan Polisi Pamong Praja “, Regional.Kompas.Com, tanggal 10 Agustus 2012.

(4)

agar dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Satuan Polisi Pamong Praja dapat lebih optimal dan bukan menjadi semakin tidak terkendali dalam arti tidak ada batasan penggunaan senjata api untuk menunjang tugas di lapangan.

Arogansi selama ini telah membuat citra Satuan Polisi Pamong Praja begitu buruk sehingga pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Satuan Polisi Pamong Praja menjadi tidak optimal. Hal ini akan berdampak pada terganggunya stabilitas bangsa karena ketentraman dalam masyarakat dan ketertibannya tidak dapat tercapai, sehingga pembangunan yang berkesinambungan tidak akan tercipta.

Sebagai bangsa yang mempunyai cita-cita untuk mewujudkan tujuan nasional sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yaitu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila, maka diperlukan upaya bertahap, berencana dan berkesinambungan melalui perjuangan dan pembangunan dengan semangat dan kemauan yang kuat serta pantang mundur. Hal ini pula yang harus dicapai di Kota Tarakan dan tentunya sangat membutuhkan peran serta dari aparatur pemerintah daerah. Salah satunya adalah Satuan Polisi Pamong Praja di Kota Tarakan sebagai perangkat daerah dalam menyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, sehingga cita-cita pembangunan nasional dan daerah dapat tercapai dengan optimal.

Tujuan pembangunan di Kota Tarakan perlu didukung oleh suasana yang kondusif, berupa tata kehidupan masyarakat yang tertib dan teratur. Dengan kata lain diperlukan mentalitas dari Sumber Daya Manusia baik nasional

(5)

maupun di daerah, yang arahnya adalah menuju kepada pertumbuhan, perubahan dan kemajuan. Apabila manusia yang menjadi subyek dan obyek pembangunan tersebut tidak memiliki mentalitas pembangunan, maka akan sangat mengganggu jalannya pembangunan.

Kondisi obyektif yang selama ini diamati oleh penulis menunjukkan bahwa sikap mental yang baik belum sepenuhnya tampak nyata dan belum dikembangkan oleh sebagian besar anggota Satuan Polisi Pamong Praja secara mendalam maupun secara konsepsional. Contoh dalam kehidupan sehari-hari dapat dilihat dari adanya pelanggaran aturan dan disiplin dalam bertugas, antara lain tidak mengikuti apel pagi dan apel pergantian piket, penyalahgunaan wewenang, pungutan liar, datang ke kantor terlambat dan pulang sebelum waktunya, mangkir, dan lain-lain. Pelanggaran aturan dan disiplin kerja tersebut merupakan gejala erosi disiplin dari sebagian besar anggota Satuan Polisi Pamong Praja. Oleh karena itu perlu ditumbuhkan sikap mental baru dalam diri anggota Satuan Polisi Pamong Praja dan tentunya harus didukung oleh masyarakat sebagai obyek pembangunan dengan menanamkan dan mengembangkan sikap mental yang disebut disiplin. 4

Setiap masyarakat yang hendak hidup tertib dan teratur memerlukan sikap dan perilaku disiplin. Perkembangan dan pertumbuhan masyarakat yang dinamis disertai dengan peningkatan taraf hidup dan pendidikan masyarakat ditambah dengan berkembangnya kemajuan di bidang teknologi dan informatika menjadikan pemberdayaan (empowering) dalam lingkungan

4“ Analisis Peraturan Daerah Kota Jambi “, www.PustakaKendee.net,. tanggal 10 Agustus 2012.

(6)

masyarakat. Oleh karena itu, aparatur pemerintah khususnya anggota Satuan Polisi Pamong Praja di Kota Tarakan dan wilayah lain di Indonesia diharapkan mengikuti perubahan-perubahan masyarakat yang terjadi secara cepat dan dinamis.

Menghadapi kondisi demikian, profesionalisme sumber daya aparatur Satuan Polisi Pamong Praja merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi agar menjadi contoh serta panutan bagi masyarakat.

Ekspektasi tersebut menuntut peran yang lebih besar dari anggota Satuan Polisi Pamong Praja yang sering dipandang kurang mampu melaksanakan tugas-tugas penegakan Peraturan Daerah dan kurang mampu menyesuaikan diri pada perubahan-perubahan sosial ekonomi yang terjadi pada masyarakat. Dampak logis dari peningkatan kuantitas dan kualitas pelanggaran Peraturan Daerah mengakibatkan terganggunya ketertiban umum seperti menjamurnya pedagang kaki lima di tempat-tempat terlarang, maraknya pengemis, anak jalanan dan pengamen liar maupun pelanggaran-pelanggaran lainnya. Selain itu, ditemukan praktik-praktik pelanggaran hukum semacam pungutan liar, penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dalam penggunaan senjata api, perlakuan yang diskriminasi terhadap pelanggar Peraturan Daerah dan tindakan indisipliner lainnya.

Berkaitan dengan pelanggaran penggunaan senjata api yang dilakukan oleh anggota Satuan Polisi Pamong Praja yang sebenarnya merupakan Pegawai Negeri Sipil, tampaknya tidak mendapatkan sanksi yang tegas dari atasan, baik pelanggaran penggunaan senjata api itu masuk dalam perbuatan pidana

(7)

maupun hanya berupa pelanggaran administrasi kepegawaian. Selama ini pelanggaran dalam menggunakan senjata api tersebut seolah-olah dipandang suatu hal yang wajar. Hal ini dapat dimengerti karena senjata api bagi anggota Satuan Polisi Pamong Praja bukan lah senjata api seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 1 ayat (1) sampai dengan (3) Undang-undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 19515 mengubah "Ordonnantie Tijdelijke Byzondere Strafbepalingen " (Stbl. 1948 Nomor 17) dan Undang-undang Republik Indonesia dahulu Nomor 8 tahun 1948, Pasal 1 ayat (1) Barang siapa, yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun, ayat (2) yang dimaksudkan dengan pengertian senjata api dan amunisi termasuk juga segala barang sebagaimana diterangkan dalam Pasal 1 ayat (1) dari Peraturan Senjata Api dalam pengertian itu senjata-senjata yang nyata-nyata mempunyai tujuan sebagai barang kuno atau barang yang ajaib (merkwaardigheid), dan bukan pula sesuatu senjata yang tetap tidak dapat terpakai atau dibikin sedemikian rupa sehingga tidak dapat dipergunakan. Menurut ayat (3), yang dimaksudkan dengan pengertian bahan-bahan peledak termasuk semua barang

5 Lihat Pasal 1 ayat (1) sampai dengan (3) Undang-undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api.

(8)

yang dapat meledak, yang dimaksudkan dalam Ordonnantie tanggal 18 September 1893 (Stbl. 234), yang telah diubah dengan Ordonnantie tanggal 9 Mei 1931 (Stbl. No. 168), semua jenis mesin, bom-bom, bom-bom pembakar, ranjau-ranjau (mijnen), granat-granat tangan dan pada umumnya semua bahan peledak baik yang merupakan luluhan kimia tunggal (enkelvoudige chemischeverbindingen) maupun yang merupakan adukan.

Sedangkan jenis senjata api bagi anggota Satuan Polisi Pamong Praja merupakan senjata api yang merupakan senjata non organik TNI / Polri yang diperuntukan bagi Anggota Satuan Polisi Pamong Praja (peluru karet, semprotan gas, alat kejut listrik dan pentungan) dengan pengawasan yang tidak terlalu ketat dan sistem birokrasi yang lemah, sehingga terjadi pelanggaran atau penyalahgunaan senjata api tersebut. Bertolak dari latar belakang pemikiran tersebut di atas maka menjadi sangat penting untuk mengangkat penelitian mengenai “ Penggunaan Senjata Api bagi Anggota Satuan Polisi Pamong Praja di Kota Tarakan ”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana diuraikan di atas, maka ditemukan permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana pelaksanaan penggunaan senjata api bagi anggota Satuan Polisi Pamong Praja di Kota Tarakan ?

2. Bagaimana penegakan hukum terhadap pelanggaran penggunaan senjata api bagi anggota Satuan Polisi Pamong Praja di Kota Tarakan ?

(9)

C. Tujuan Penelitian

Selaras dengan permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan diatas, maka penelitian ini bertujuan sebagai berikut:6

1. Tujuan Diskriptif

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan penggunaan senjata api bagi anggota Satuan Polisi Pamong Praja di Kota Tarakan dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya

2. Tujuan Kreatif

Untuk mengetahui pelanggaran dalam penggunaan senjata api bagi anggota Satuan Polisi Pamong Praja di Kota Tarakan dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya

3. Tujuan Inovatif

Untuk memberikan kontribusi kepada Pemerintah Kota Tarakan baik dalam bentuk pemikiran maupun dalam bentuk praktik upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Satuan Polisi Pamong Praja di Kota Tarakan yang melakukan pelanggaran dalam penggunaan senjata api.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya hukum pidana yang berkaitan

6 Soerjono Soekanto, 2010, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hlm. 99.

(10)

dengan penggunaan senjata api bagi anggota Satuan Polisi Pamong Praja di Kota Tarakan.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi kepada Pemerintah Kota Tarakan dalam penegakan hukum terhadap pelanggaran penggunaan senjata api oleh anggota Satuan Polisi Pamong Praja di Kota Tarakan sehingga kebijakan dan peraturan Kepala Daerah dapat terlaksana dengan hasil yang memuaskan demi tercapainya pembangunan Bangsa dan Sumber Daya Manusia dalam kondisi masyarakat yang tentram, tertib dan sangat menjunjung norma yang berlaku.

E. Keaslian Penelitian

Setelah melakukan penelusuran kepustakaan khususnya di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, tidak dapat ditemukan penelitian mengenai Satuan Polisi Pamong Praja, terutama yang berkaitan dengan penggunanaan senjata api bagi anggota Satuan Polisi Pamong Praja. Meskipun demikian dapat dijumpai dalam bentuk jurnal di media internet tulisan tentang penggunaan senjata api : Pertama, tulisan mengenai “ Penggunaan Senjata Api Dalam Tugas Kepolisian, Suatu Tinjauan Etika dan Profesi Kepolisian ”.7 Dalam tulisan ini dipaparkan secara lugas mengenai penggunaan senjata api di lingkungan Kepolisian Republik Indonesia, baik mekanisme penggunaannya, prosedur tetap pelaksanaannya dan pelanggaran yang terjadi dalam pelaksanaan di lapangan serta upaya hukum yang dilakukan terhadap anggota

7 Rudi, “Penggunaan Senjata Api dalam Tugas Kepolisian, Suatu Tinjauan Etika dan Profesi Kepolisian”, srigunting.com, tanggal 10 Agustus 2013.

(11)

Kepolisian Republik Indonesia yang melakukan pelanggaran dalam penegakan etika dan profesi kepolisian. Kedua, tulisan tentang “ Tugas, Fungsi dan Kewajiban Satuan Polisi Pamong Praja ”.8 Dalam tulisan ini diulas secara transparan mengenai tugas, fungsi serta kewajiban dari Satuan Polisi Pamong Praja dengan tujuan agar dalam setiap pelaksanaan tugasnya anggota Satuan Polisi Pamong Praja memiliki dasar yang kuat sehingga dapat diawasi cara kerja di lapangan untuk menghindari terjadinya pelanggaran terhadap masyarakat.

Berdasarkan penelusuran pada bagian referensi dan hasil penelitian serta dalam media baik cetak maupun elektronik belum ada yang meneliti tentang penggunaan senjata api pada anggota Satuan Polisi Pamong Praja. Dengan demikian, penelitian tentang “ Penggunaan Senjata Api Bagi Anggota Satuan Polisi Pamong Praja di Kota Tarakan ” adalah asli. Apabila kemudian ada kemungkinan ditemukan penelitian yang sama, maka penelitian ini dianggap sebagai salah satu bagian untuk melengkapi penelitian tersebut.

8 Ikhsan, “Tugas, Fungsi dan Kewajiban Satuan Polsi Pamong Praja”, wordpress.com, tanggal 12 Agustus 2012.

Referensi

Dokumen terkait

Jika dilihat dari kelompok pangan, untuk kelompok pangan sayur, jenis sayur yang memiliki ketersediaan protein paling besar ialah cabe, hal ini tidak mengalami

Begitu juga dengan sifat-sifat yang telah disepakati atau kesesuaian produk untuk aplikasi tertentu tidak dapat disimpulkan dari data yang ada dalam Lembaran Data Keselamatan

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Kasubag Hukum Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Ahmad Provinsi Riau mengenai upaya yang perlu dilakukan dalam

Hasil perhitungan uji normalitas data penelitian yang dilakukan dengan bantuan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 16.0 disajikan dalam

Ayu Silvani Putri. Peran Guru Agama dalam membina Pemahaman Relationship Siswa di MTs. Darul Ulum Waru Sidoarjo. Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas

Berdasarkan fenomena tersebut dirasa penting untuk melakukan penelitian mengenai “ Hubungan antara sumber informasi pada pasangan usia subur (PUS) dengan pemakaian kontrasepsi

Berdasarkan Pasal 2 Perkaban Nomor 1 Tahun 2006 yang merupakan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 dan tindak lanjut dari ketentuan yang diatur dalam

Berdasarkan fokus penelitian diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: (1) untuk mengetahui agihan perubahan penggunaan lahan di Kecamatan