• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan emosi antara pelanggan dengan perusahaan yang tidak dapat diukur dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan emosi antara pelanggan dengan perusahaan yang tidak dapat diukur dan"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Loyalitas Pelanggan

Rangkuti menyatakan loyalitas merupakan proses yang melibatkan pikiran dan emosi antara pelanggan dengan perusahaan yang tidak dapat diukur dan dikelola, karena pikiran dan emosi pelanggan yang satu dengan yang lain berbeda sehingga akan sulit untuk diukur atau dilambangkan (Aswan, 2013). Menurut Oliver bahwa loyalitas pelanggan merupakan bentuk komitmen yang kuat untuk melakukan pembelian, mengkonsumsi kembali produk atau menggantinya dengan produk lain secara konsisten di masa depan (Srivastava, 2015). Hal tersebut mengungkapkan bahwa loyalitas terjadi karena adanya konsistensi dalam melakukan pembelian pada produk atau jasa di masa depan pada merek yang sama, pembelian yang dilakukan pelanggan tersebut pada merek yang sama menunjukkan adanya komitmen.

Selanjutnya, menurut Zeithaml, dkk. bahwa loyalitas merupakan tujuan akhir dan keberhasilan perusahaan untuk menjalin hubungan relasi dengan pelanggan, sehingga dapat dikatakan bahwa loyalitas merupakan perilaku seseorang untuk tetap terlibat dengan merek, dengan kata lain semakin puas pelanggan dengan perusahaan dan hubungan relasinya berjalan baik, maka loyalitas yang terbentuk akan semakin kuat (Rinanda, 2013). Pernyataan di atas didukung oleh Wijayanto dan Iriani (2013) bahwa pelanggan yang loyal tidak hanya menjadi dasar kuat bagi perusahaan akan tetapi, mencerminkan potensi pertumbuhan perusahaan di masa depan. Oleh karena itu, mempertahankan pelanggan yang loyal jauh lebih sulit dibandingkan memperoleh pelanggan baru.

(2)

Kotler mengatakan loyalitas pelanggan adalah banyaknya pelanggan yang membeli ulang dari merek tertentu, sehingga tolak ukur pelanggan yang loyal dilihat dari intensitas pembelian ulang yang dilakukan bukan dari berapa banyak dia membeli pada satu kali waktu (Japarianto dkk, 2012). Contohnya, seorang pelanggan di kedai kopi X dalam sebulan mengunjungi kedai kopi X sebanyak 4 kali dan membeli produk dalam setiap kunjungannya. Contoh di atas menunjukkan adanya intensitas kunjungan dan pembelian sehingga pelanggan tersebut menggambarkan loyalitas.

Berdasarkan dari beberapa pemaparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa loyalitas pelanggan (customer loyalty) adalah manifestasi karakter psikologis (emosi, perasaan, kognitif) dalam bentuk perilaku dan sikap pelanggan yang dilakukan dilandasi komitmen untuk secara konsisten melakukan pembelian ulang pada produk atau jasa merek tertentu dengan intensitas yang berbeda dibandingkan dengan merek lainnya.

2.1.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi Loyalitas Pelanggan Faktor – faktor yang mempengaruhi loyalitas, sebagai berikut:

1. Keunggulan produk (perceived product superiority)

Dalam menciptakan loyalitas terhadap produk maupun jasa pelanggan harus menerima dengan baik keunggulan produk yang telah ditawarkan perusahaan (Matriadi dkk, 2013). Keunggulan pada produk atau jasa dibuat berbeda dengan produk lain oleh perusahaan agar pelanggan nantinya mudah untuk membedakan produk dan mengenali produk yang ditawarkan oleh perusahaan yang bersangkutan.

(3)

Berdasarkan dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keunggulan produk penting untuk dipertahankan perusahaan dalam menciptakan ataupun menawarkan produk karena bagi perusahaan, produk yang memiliki keunggulan dan mudah dikenali akan memudahkan konsumen membangun citra merek dari produk merek yang bersangkutan, selain itu produk yang baik mampu memupuk kesan positif yang akan mendorong pelanggan untuk melakukan pembelian kembali di masa yang akan datang secara konsisten hingga menjadi pelanggan yang loyal pada produk maupun perusahan dari merek tertentu.

2. Keyakinan terhadap merek (personal fortitude)

Keyakinan yang dimiliki pelanggan terhadap merek akan membantu pelanggan untuk melakukan pembelian terhadap merek dan apabila merek memiliki kesan yang positif dibenak pelanggan, sehingga akan memupuk keyakinan pelanggan bahwa merek tersebut berkualitas (Matriadi dkk, 2013). Hal tersebut akan mendorong pelanggan untuk melakukan pembelian kembali di masa depan pada merek yang sama. Kepercayaan terhadap merek bersumber dari keyakinan pelanggan kepada produk karena produk mampu memenuhi nilai yang dijanjikan dan keyakinan bahwa merek mengutamakan kepentingan pelanggan Delgado (Ferrinnadewi, 2013).

Berdasarkan dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keyakinan terhadap merek merupakan kepercayaan yang ditanamkan pelanggan kepada merek tertentu melalui produk yang dihasilkan yang mampu memenuhi nilai. Nilai dan kesan dari konsumen akan membentuk citra

(4)

merek tersendiri, selain itu sebagai bentuk bahwa merek yang diciptakan mengutamakan kepentingan dari pelanggannya, karena dengan adanya keyakinan terhadap merek yang positif mampu menciptakan kesempatan pelanggan melakukan pembelian kembali secara konsisten pada merek yang sama dan menjadikan pelanggan tersebut loyal.

3. Keterikatan dengan produk atau perusahaan (bonding with the product or company)

Ketertarikan pelanggan dengan produk atau perusahaan akan membantu membangun konsep hubungan antara perusahaan dengan pelanggan agar menjadi setia atau loyal (Matriadi dkk, 2013). Apabila pelanggan memiliki ketertarikan akan produk maupun perusahaan maka menandakan bahwa ada kemungkinan pelanggan membeli produk dari perusahaan yang bersangkutan di masa yang akan datang dan enggan beralih pada perusahaan atau produk lain karena adanya ketertarikan.

Berdasarkan dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keterikatan terhadap produk ataupun perusahaan akan membantu menciptakan citra merek dari sisi konsumen yang berkaitan dengan bagaimana penilaian individu terhadap produk maupun perusahaan, apabila penilaian produk dan perusahaan baik maka hubungan relasi maupun keterikatan akan berlanjut sehingga berdampak pada citra merek yang baik, sedangkan keterikatan penting dalam mempengaruhi loyalitas karena dengan adanya keterikatan memungkinkan pelanggan untuk lebih mengutamakan memilih produk atau perusahaan yang membuat pelanggan merasa terikat, hal tersebut akan menciptakan pembelian di masa yang akan datang dan membentuk loyalitas

(5)

pelanggan sebagai bentuk konsistensi hubungan dengan perusahaan maupun produk.

4. Kepuasan pelanggan (customer satisfaction)

Perusahaan harus mampu memenuhi harapan pelanggan dan meminimalkan keluhan sehingga akan menghasilkan hubungan maupun citra yang baik (Matriadi dkk, 2013). Apabila harapan dan kebutuhan pelanggan mampu terpenuhi, maka pada masa yang akan datang akan membentuk loyalitas dikarenakan pelanggan merasa bahwa perusahaan mampu memenuhi harapan dan kebutuhan. Hal tersebut diperkuat dengan pendapat dari Lawton, dkk. dampak dari loyalitas sendiri adalah kencenderungan untuk melakukan pembelian ulang, merekomendasikan kepada orang lain dan menunjukkan minat di masa akan datang (Albari, 2012). Dampak tersebut terbentuk karena adanya kepercayaan konsumen, kepercayaan konsumen timbul karena adanya pengalaman berkesan yang positif dari tindakan masa lalu konsumen.

Selanjutnya, menurut Kotler kepuasan adalah perasaan senang maupun kecewa yang muncul setelah membandingkan persepsi kesan dengan hasil kinerja dan harapan (Suryaningtiyas dkk, 2013). Perasaan senang maupun kecewa yang dialami pengunjung berkaitan dengan ekspektasi dan juga kesan yang ada dalam benak konsumen untuk kemudian dibandingkan dengan realitanya, apabila kesan dan ekspektasi konsumen sesuai dengan realita yang diperoleh maka konsumen akan merasakan puas. Tingkat kepuasan pelanggan menurut Lupiyoadi dapat dipengaruhi oleh

(6)

beberapa faktor, diantaranya : Kualitas produk, kualitas layanan, emosional, harga dan biaya (Husodho, 2015).

Berdasarkan dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa kepuasan pelanggan berkaitan dengan perasaan pelanggan baik positif maupun negatif yang diperoleh dari pengalaman masa lalu dalam menggunakan produk dan jasa yang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: kualitas produk, layanan, harga, biaya dan emosi. Kepuasan yang diperoleh pelanggan di masa lalu akan menjadi bahan pertimbangan seseorang untuk melakukan perilaku pembelian aktual pada sebuah produk dan jasa. Apabila pelanggan merasa puas akan memunculkan minat beli ulang, selain itu bagi konsumen kepuasan yang dirasakan akan membentuk citra merek yang positif karena harapan konsumen telah terpenuhi.

5. Kualitas produk

Kualitas adalah kemampuan menghasilkan produk yang sempurna dengan tingkat kesalahan nol (Suchanek dkk, 2014). Tingkat kualitas produk menunjukkan bahwa produk tersebut bagus dan bahan material dari produk tersebut dapat dipercaya. Menurut Haffman, et al. kualitas produk adalah standar antara kinerja aktual layanan dengan harapan pelanggan (Atiyah, 2016).

Berdasarkan pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kualitas produk merupakan bentuk persepsi antara produk dengan harapan konsumen. Apabila produk mampu memenuhi harapan konsumen, maka produk dianggap berkualitas dan menimbulkan kepuasan serta kepercayaan terhadap produk. Kepuasan dan kepercayaan produk kemudian menjadi

(7)

pengalaman baik bagi pelanggan yang akan disimpan di memori, sehingga hal tersebut mendorong adanya pembelian ulang di masa yang akan datang secara konsisten, selain itu kualitas produk yang baik dapat membentuk citra merek yang karena dengan kualitas produk yang baik maka konsumen akan percaya bahwa produk merek tersebut berkualitas dan hal tersebut mempengaruhi citra merek yang baik terhadap merek di setiap produk yang dihasilkan.

6. Harga

Harga memberikan pengaruh besar pada persepsi konsumen akan kulitas dan kepuasan konsumen (Sundari, 2015). Suwarni dan Mayasari menyatakan bahwa terjangkaunya harga dan kualitas produk yang baik dapat memunculkan kepuasan konsumen yang telah mengkonsumsinya dan akan menarik konsumen baru untuk datang sehingga konsumen baru tersebut diharapkan dapat menjadi konsumen yang loyal pada akhirnya (Pupuani & Sulistyawati, 2013).

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa harga dapat dijadikan patokaan kualitas dan kepuasan konsumen, bagi konsumen harga dapat menciptakan citra merek tertentu jika harga suatu produk lebih tinggi dari pasaran dengan kualitas produk yang baik dan begitu pula bila kualitas baik dengan harga produk yang affordable, selain itu harga dapat mempengaruhi suatu minat beli ulang konsumen untuk memutuskan bertahan (loyal) atau berpindah pada produk merek lain.

Namun selain beberapa faktor diatas terdapat faktor lain yaitu experiental marketing. Menurut Kertajaya, Experiential Marketing adalah suatu konsep

(8)

pemasaran yang bertujuan membentuk pelanggan yang loyal dengan cara menyentuh emosi pelanggan dengan menciptakan pengalaman-pengalaman positif dan memberikan suatu feeling yang positif terhadap jasa dan produk mereka (Putri & Astuti, 2015). Dalam pendekatan experiential marketing produk dan layanan harus mampu membangkitkan sensasi dan pengalaman yang dapat menjadi basis loyalitas pengunjung.

2.1.2 Indikator Loyalitas Pelanggan

Indikator - indikator loyalitas Pelanggan menurut Zeithaml, et al (2016), sebagai berikut:

1. Berkata positif (say positif things)

Mengatakan hal positif tentang produk ataupun jasa yang telah dikonsumsi. Japarianto dkk (2012) mengatakan hal positif merupakan penyampaian hal – hal positif dalam bentuk kata – kata tentang produk yang telah dikonsumsi kepada orang lain, sehingga dengan menyampaikan hal positif terhadap apa yang telah di konsumsi pada orang lain akan menstimulus pikiran untuk ikut mencoba dan tetap loyal karena hal – hal positif yang kita sampaikan.

2. Merekomendasikan kepada Orang lain atau Teman (recommended to someone or friends)

Merekomendasikan produk yang telah dikonsumsi kepada teman. Japarianto dkk (2012) merekomendasikan kepada teman berarti terdapat proses mengajak pihak lain untuk ikut menikmati produk ataupun jasa akibat dari pengalaman positif yang dirasakan pelanggan ketika membeli

(9)

produk atau jasa tersebut. Merekomendasikan produk maupun jasa kepada orang lain mengindikasikan bahwa kita memperoleh kepuasan terhadap produk maupun jasa dari merek yang bersangkutan, sehingga mengajak orang lain untuk ikut serta mengkonsumsi produk maupun jasa dari merek tersebut dan itu merupakan salah satu tanda bahwa kita loyal.

3. Pembelian ulang secara berkelanjutan (continue purchasing)

Melakukan pembelian berulang atau secara terus menerus pada produk yang telah dikonsumsi. Japarianto dkk (2012) merupakan sikap untuk kembali membeli produk atau jasa yang pernah dikonsumsi yang dilandasi kesetiaan. Membeli produk maupun jasa merek tertentu secara terus menerus mungkin dilakukan apabila kita loyal dan merasa bahwa kita mendapatkan apa yang kita butuh dan inginkan sehingga kita merasa puas. Berdasarkan dari indikator loyalitas di atas, penulis akan menggunakan indikator loyalitas dari Zeithaml, et al. yang terdiri dari tiga indiktor, yaitu : Berkata positif, merekomendasikan kepada orang lain atau teman dan pembelian ulang. Ketiga indikator tersebut diaggap cocok untuk mengungkap loyalitas konsumen pada produk kopi yang akan diteliti oleh peneliti selain itu, indikatornya mudah untuk diterapkan dalam bentuk perilaku serta mudah dipahami oleh peneliti sebagai pedoman dalam membuat dan memodifikasi alat ukur.

2.2 Experiential Marketing

2.2.1 Pengertian Experiential Marketing

Experiential marketing merupakan sebuah pendekatan dalam pemasaran yang dinilai sangat efektif karena sejalan dengan perkembangan jaman dan

(10)

teknologi, para pemasar lebih menekankan diferensiasi produk untuk membedakan produknya dengan produk kompetitor. Dengan adanya experiential marketing, pelanggan akan mampu membedakan produk dan jasa yang satu dengan lainnya karena mereka dapat merasakan dan memperoleh pengalaman secara langsung melalui lima pendekatan (sense, feel, think, act, relate), baik sebelum maupun ketika mereka mengkonsumsi sebuah produk atau jasa Experiential marketing merujuk pada pengalaman nyata pelanggan terhadap brand / product / service untuk meningkatkan penjualan / sales dan brand image / awareness. Experiential marketing adalah lebih dari sekedar memberikan informasi dan peluang pada pelanggan untuk memperoleh pengalaman atas keuntungan yang didapat dari produk atau jasa itu sendiri tetapi juga membangkitkan emosi dan perasaan yang berdampak terhadap pemasaran, khususnya penjualan (Andreani, 2012).

Pengertian experiential marketing menurut Schmitt adalah suatu usaha yang digunakan oleh perusahaan atau pemasar untuk mengemas produk sehingga mampu menawarkan pengalaman emosi hingga menyentuh hati dan perasaan konsumen (Andreani, 2012).

2.2.2 Kategori Experiential Marketing

Kartajaya (2014) mengatakan bahwa di dunia yang lebih emosional dan interaktif produk dan jasa harus memberikan suatu pengalaman (product and service shouled be an experience), seperti:

1. Pengalaman fisikal

Pengalaman yang diperoleh dari interaksi fisik manusia dengan lingkungan sekitar yang dapat merangsang seluruh panca indera manusia.

(11)

Seperti menghabiskan malam panjang di Hard Rock Cafe, seluruh panca indera akan dibuai oleh atmosfer kejayaan musik rock tahun 1970-an, foto-foto dan alat musik bintang rock legendaris.

2. Pengalaman emosional

Pengalaman yang timbul karena adanya interaksi yang membangkitkan emosi, baik emosi yang meningkatkan prestige maupun emosi yang memperlihatkan identitas dan ekspresi manusia. Misalnya para wanita, membaca Cosmopolitan adalah identitas dan ekspresi sebagai wanita modern, independent dan tak tunduk pada determinasi laki laki, Confident dan menjadi diri sendiri, berani dan sebagainya.

3. Pengalaman intelektual

Pengalaman karena adanya kemampuan untuk menggali potensi dan aktualisasi diri. Misalnya mengikuti executive education workshop.

4. Pengalaman spiritual

Pengalaman yang diperoleh manusia melalui sisi religius manusia, seperti mengikuti ceramah dan pengajian sehingga memperoleh kedamaian dunia dan akherat.

Pengalaman konsumen dalam mengkonsumsi barang dan jasa erat kaitanya dengan konsep experiential marketing. Experiential marketing dapat sangat berguna untuk sebuah perusahaan yang ingin meningkatkan merek yang berada pada tahap penurunan, membedakan produk mereka dari produk pesaing, menciptakan sebuah citra dan identitas untuk sebuah perusahaan, meningkatkan inovasi dan membujuk pelanggan untuk mencoba dan membeli produk.

(12)

Hal yang terpenting adalah menciptakan pelanggan yang loyal, pelanggan mencari perusahaan dan merek–merek tertentu untuk dijadikan bagian dari hidup mereka. Pelanggan juga ingin perusahaan-perusahaan dan merek-merek tersebut dapat berhubungan dengan hidup mereka, mengerti mereka, menyesuaikan dengan kebutuhan mereka dan membuat hidup mereka lebih terpenuhi. Dalam era informasi, teknologi, perubahan dan pilihan, setiap perusahaan perlu lebih selaras dengan para pelanggan dan pengalaman yang diberikan produk atau jasa mereka (Rini, 2014). Tahap awal dari sebuah experiential marketing yaitu terfokus pada tiga kunci pokok yaitu:

1. Pengalaman pelanggan

Pengalaman pelanggan melibatkan panca indera, hati, pikiran yang dapat menempatkan pembelian produk atau jasa di antara konteks yang lebih besar dalam kehidupan.

2. Pola konsumsi

Analisis pola konsumsi dapat menimbulkan hubungan untuk menciptakan sinergi yang lebih besar. Produk dan jasa tidak lagi dievaluasi secara terpisah, tetapi dapat dievaluasi sebagai bagian dari keseluruhan pola penggunaan yang sesuai dengan kehidupan konsumen. Hal yang terpenting, pengalaman setelah pembelian diukur melalui kepuasan dan loyalitas. 3. Keputusan rasional dan emosional

Pengalaman dalam hidup sering digunakan untuk memenuhi fantasi, perasaan dan kesenangan. Banyak keputusan dibuat dengan menuruti kata hati dan tidak rasional. experiential marketing bertujuan membuat pelanggan merasa senang dengan keputusan pembelian yang telah dibuat.

(13)

Dari definisi-definisi tersebut dapat dikatakan experiential marketing merujuk pada pengalaman nyata pelanggan terhadap brand/product/service untuk meningkatkan penjualan dan brand image/awareness. Experiential marketing adalah lebih dari sekedar memberikan informasi dan peluang pada pelanggan untuk memperoleh pengalaman atas keuntungan yang didapat dari produk atau jasa itu sendiri tetapi juga membangkitkan emosi dan perasaan yang berdampak terhadap pemasaran, khususnya penjualan. 2.2.3 Indikator Experiential Marketing

Experiential marketing dapat dimanfaatkan secara efektif apabila diterapkan pada beberapa situasi tertentu. Schmitt berpendapat ada beberapa manfaat yang dapat diterima dan dirasakan apabila badan usaha menerapkan experiential marketing (Andreani, 2012). Manfaat tersebut yaitu untuk membangkitkan kembali merek yang sudah merosot, untuk menciptakan dan membuat perbedaan dengan produk pesaing, untuk menciptakan citra dan identitas perusahaan,untuk mempromosikan inovasi, untuk membujuk percobaan, pembelian, dan yang paling penting adalah konsumsi loyal.

Menurut Nigam (2012) experiential marketing meliputi lima dimensi sebagai berikut:

1. Sense

Sense berkaitan dengan gaya (styles) dan simbol-simbol verbal dan visual yang mampu menciptakan keutuhan sebuah kesan (Andreani, 2012). Untuk menciptakan kesan yang kuat, baik melalui iklan, packaging ataupun website, seorang pemasar perlu memilih warna yang tepat sejalan dengan company profile. Pilihan warna ini harus menarik untuk membangkitkan

(14)

perhatian pelanggannya. Sedangkan Rini (2014) berpendapat sense adalah aspek-aspek yang berwujud dan dapat dirasakan dari suatu produk yang dapat ditangkap oleh kelima indera manusia, meliputi pandangan, suara, bau, rasa, dan sentuhan. Sense bagi konsumen, berfungsi untuk mendiferensiasikan suatu produk dari produk yang lain untuk memotivasi pembeli untuk bertindak, dan untuk membentuk value pada produk atau jasa dalam benak pembeli. Indera manusia dapat digunakan selama fase pengalaman (prapembelian, pembelian dan sesudah pembelian) dalam mengkonsumsi sebuah produk atau jasa. Perusahaan biasanya menerapkan unsur sense dengan menarik perhatian pelanggan melalui hal-hal yang mencolok, dinamis, dan meninggalkan kesan yang kuat.

2. Feel

Feel atau perasaan sangatlah berbeda dengan kesan sensorik karena hal ini berkaitan dengan suasana hati dan emosi jiwa seseorang. Ini bukan sekedar menyangkut keindahan, tetapi suasana hati dan emosi jiwa yang mampu membangkitkan kebahagiaan atau bahkan kesedihan (Andreani, 2012). Rini (2014) menyatakan bahwa perasaan berhubungan dengan perasaan yang paling dalam dan emosi pelanggan. Iklan yang bersifat feel good biasanya digunakan untuk membuat hubungan dengan pelanggan, menghubungkan pengalaman emosional mereka dengan produk atau jasa, dan menantang pelanggan untuk bereaksi terhadap pesan feel campaign sering digunakan untuk membangun emosi pelanggan secara perlahan. Ketika pelanggan merasa senang terhadap produk yang ditawarkan perusahaan, pelanggan akan menyukai produk dan perusahaan. Sebaliknya,

(15)

ketika pelanggan merasa tidak senang terhadap produk yang ditawarkan perusahaan, maka konsumen akan meninggalkan produk tersebut dan beralih kepada produk lain. Jika sebuah strategi pemasaran dapat menciptakan perasaan yang baik secara konsisten bagi pelanggan, maka perusahaan dapat menciptakan loyalitas merek yang kuat dan bertahan lama.

3. Think

Andreani (2012) berpendapat bahwa dengan berpikir (think) dapat merangsang kemampuan intelektual dan kreativitas seseorang. Sedangkan menurut Rini (2014) melalui aspek think perusahaan berusaha untuk menantang konsumen, dengan cara memberikan problem-solving experiences, dan mendorong pelanggan untuk berinteraksi secara kognitif atau secara kreatif dengan perusahaan atau produk. Iklan pikiran biasanya lebih bersifat tradisional, menggunakan lebih banyak informasi tekstual, dan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawabkan.

4. Act

Act atau tindakan yang berhubungan dengan keseluruhan individu (pikiran dan tubuh) untuk meningkatkan hidup dan gaya hidupnya. Pesan-pesan yang memotivasi, menginspirasi dan bersifat spontan dapat menyebabkan pelanggan untuk berbuat hal-hal dengan cara yang berbeda, mencoba dengan cara yang baru merubah hidup mereka lebih baik (Rini, 2014). Hal ini juga disampaikan Andreani (2012) bahwa act berkaitan dengan perilaku yang nyata dan gaya hidup seseorang. Hal ini berhubungan

(16)

dengan bagaimana membuat orang berbuat sesuatu dan mengekspresikan gaya hidupnya. Riset pasar menunjukkan banyak orang membeli Volkswagen Beetle sebagai mobil kedua setelah BMW atau Lexus. Mereka mempunyai gaya hidup tertentu, mereka ingin mengendarai mobil yang lebih enak untuk dikendarai daripada mobil pertama mereka yang lebih profesional. Jadi act di sini meliputi perilaku yang nyata atau gaya hidup yang lebih luas. Ada berbagai cara untuk mengkomunikasikan act. Dalam Web pemasar dapat menggunakan flash animations di TV dengan iklan pendek. Sedangkan di lingkungan sosial dapat dilakukan dengan gambar hidup yang dapat bergerak dengan cepat. Media cetak bukanlah pilihan yang baik untuk ini. Pemilihan sarananya harus hati-hati dan tepat sehingga dapat membangkitkan pengalaman yang diinginkan.

5. Relate

Andreani (2012) berpendapat bahwa relate berkaitan dengan budaya seseorang dan kelompok referensinya yang dapat menciptakan identitas sosial. Seorang pemasar harus mampu menciptakan identitas sosial (generasi, kebangsaan, etnis) bagi pelanggannya dengan produk atau jasa yang ditawarkan. Pemasar dapat menggunakan simbol budaya dalam kampanye iklan dan desain web yang mampu mengidentifikasikan kelompok pelanggan tertentu. Relate menghubungkan pelanggan secara individu dengan masyarakat, atau budaya. Relate menjadi daya tarik keinginan yang paling dalam bagi pelanggan untuk pembentukan self-improvement, status socio-economic, dan image. Relate campaign menunjukkan sekelompok orang yang merupakan target pelanggan dimana

(17)

seorang pelanggan dapat berinteraksi, berhubungan, dan berbagi kesenangan yang sama (Rini, 2014).

2.3 Penelitian Terdahulu

Peneliti menggunakan beberapa penelitian terdahulu sebagai dasar dan sumber teori penelitian. Berdasarkan penelitian Sasongko (2011) berjudul Pengaruh Experiential Marketing dan Promosi Terhadap Loyalitas Pelanggan Pada Objek Wisata Umbul Sidomukti Kabupaten Semarang. Sampel ditentukan dengan teknik accidental sampling, ukuran sampel ditentukan berdasarkan rumus iterasi dan diperoleh 115 responden pengunjung Objek Wisata Umbul Sidomukti Kabupaten Semarang. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner dan dokumentasi. Metode analisis yang digunakan adalah uji instrumen (uji validitas dan uji reliabilitas), analisis deskriptif presentase, uji asumsi klasik, analisis regresi berganda, koefisien determinasi, dan pengujian hipotesis menggunakan SPSS 16 for Windows. Hasil menyatakan terdapat pengaruh antara experiential marketing dan promosi terhadap loyalitas pelanggan pada Objek Wisata Umbul Sidomukti Kabupaten Semarang baik secara parsial maupun secara simultan.

Wibowo & Purnama (2017) berjudul Pengaruh Experiential Marketing Terhadap Loyalitas Wisatawan Pada Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor. Penelitian ini bertujuan menganalisis experiental marketing, loyalitas wisatawan, serta pengaruh experiental marketing terhadap loyalitas wisatawan. Metode penelitian yang digunakan ialah survei penjelasan pada 100 wisatawan yang berkunjung di objek wisata Kebun Raya Bogor dengan analisis regresi. Hasil

(18)

penelitian menunjukkan bahwa secara umum experiental marketing termasuk dalam kategori sangat baik. Hal tersebut dapat dilihat dari aspek sense (pancaindera), feel (perasaan), think (pikiran), act (tindakan), relate (hubungan sosial), dan people sehingga dengan mengunjungi objek wisata,konsumen mendapat pengalaman dari segi perasaan, pikiran, tindakan, dan hubungan sosial. Loyalitas wisatawan objek wisata Kebun Raya Bogor termasuk dalam kategori cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari aspek repeat purchase, retention, dan referalls yang secara jelas menunjukkan bahwa konsumen dapat berkunjung kembali dan melakukan pembelian ulang pada objek wisata tersebut. Experiental marketing memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap loyalitas wisatawan, yaitu sebesar 53,3%.

Widiyanti & Retnowulan (2018) berjudul Pengaruh Experiental Marketing Terhadap Loyalitas Pengunjung Taman Wisata Edukasi D’Kandang Depok. Pada penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan kuisioner yang disebar di Taman Wisata Edukasi D’kandang sebagai alat pengambilan data dan pengolahan data yang digunakan adalah SPSS 17. Hasil penelitian membuktikan bahwa faktor-faktor dalam experiental marketing yaitu sense, feel,think, act dan relate secara simultan berpengaruh positif dan signifikan terhadap loyalitas pengunjung Taman Wisata Edukasi D’Kandang dan juga yang berpengaruh signifikan terhadap loyalitas secara parsial adalah faktor sensedan feel.

Purwatiningrum (2021) Pengaruh Experiential Marketing Terhadap Loyalitas Melalui Kepuasan Pelanggan (Studi pada pelanggan Jatim Park 3 Kota Wisata Batu). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar pengaruh experiential marketing, loyalitas pelanggan, dan kepuasan pelanggan.

(19)

Penelitian ini menggunakan metode non probability sampling dengan teknik pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa secara parsial experiential marketing berpengaruh signifikan terhadap loyalitas pelanggan. Dan experiential marketing berpengaruh secara signifikan terhadap kepuasan pelanggan, dan kepuasan pelanggan berpengaruh secara signifikan terhadap loyalitas pelanggan dan terdapat pengaruh secara tidak langsung antara experiential marketing terhadap loyalitas pelanggan melalui kepuasan pelanggan.

Karuniatama, dkk (2020) berjudul Pengaruh Experiential Marketing Terhadap Loyalitas Pelanggan Ritel Di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa pengaruh experiential marketing terhadap loyalitas pelanggan melalui kepuasan pelanggan sebagai variabel intervening pada IKEA Alam Sutera. Data penelitian yang digunakan pada penelitian ini berjumlah 236 responden yang diambil dengan menggunakan purposive sampling. Data yang diperoleh selanjutnya diolah menggunakan metode analisis Structural Equation Modelling (SEM) dengan software IBM SPSS AMOS 23. Hasil penelitian menunjukkan bahwa experiential marketing memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan pelanggan, kepuasan pelanggan memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap loyalitas pelanggan, experiential marketing memiliki pengaruh positif dan tidak signifikan terhadap loyalitas pelanggan, dan kepuasan pelanggan berperan sebagai variabel intervening antara experiential marketing dan loyalitas pelanggan.

2.4 Kerangka Berpikir

(20)

berkelanjutan bagi stakeholder (pelanggan, karyawan, pemegang saham). Sebagai ilmu, marketing merupakan ilmu pengetahuan yang objektif, yang diperoleh dengan penggunaan instrument instrument tertentu untuk mengukur kinerja dari aktivitas bisnis dalam membentuk, mengembangkan, mengarahkan pertukaran, yang saling mengutungkan, dalam jangka panjang antara produsen dan konsumen atau pemakai. Sebagai strategi bisnis, marketing merupakan tindakan penyesuaian suatu organisasi yang berorientasi pasar dalam menghadapi kenyataan bisnis, baik dalam lingkungan mikro maupun lingkungan makro yang terus bertambah. Pada saat ini, konsumen tidak hanya menginginkan keunggulan dan kelebihan kualitas produk dan sebuah brand yang baik namun mereka membutuhkan juga sebuah produk, komunikasi, dan pesan pemasaran yang dapat memberikan pesona bagi perasaaan mereka, menyentuh hati mereka, menterjemahkan apa yang ada dihati mereka, berhubungan dengan gaya hidup mereka, dan dapat memberikan sebuah pengalaman.

Startegi pemasaran berkembang dengan cepat, mulai dari strategi pemasaran jasa hingga pemasaran experiental . dalam kondisi sekarang, pemasar dituntut menjalani strategi pemasaran experiental. Dalam pemasaran berdasarkan pengalaman, pemasar tidak lagi hanya melakukan permintaan akan barang dan jasa yang berkualitas, tetapi juga manfaat emosional berupa pengalaman tak terlupakan (memorable experience) yang mempererat hubungan konsumen dengan prdusen memalui produk atau jasa yang ditawarkan.

Salah satu strategi pemasaran yang dapat dilakukan oleh suatu perusahaan adalah dengan menggunakan pendekatan experiental marketing. Menurut Schmitt (1999) Experiental marketing dalah konsep pemasaran yang menekankan kinerja

(21)

produk atau jasa dalam memberikan pengalaman emosi hingga menyentuh hati dan perasaan pelanggan. Pemasar experiental mengatakan bahwa para pelanggan bersifat emosional dan rasional dalam mengkonsumsi suatu produk. Meskipun pelanggan sering menggunakan rasio dalam mengkonsumsi suatu produk atau jasa, tetapi mereka sering terdorong oleh emosi karena pengalaman konsumsi mereka untuk mencari hiburan dan kesenangan. Hal yang penting adalah bahwa pelanggan tidak menggunakan rasio saja dalam melakukan suatu pembelian atau konsumsi . pelanggan menginginkan hiburan, stimulasi, dan sentuhan emosional dan kreatifitas.

Jika konsumen mengalami pengalaman yang berkesan (pengalaman positif) dan tak terlupakan, dan konsumen merasa puas akan pelayanan atau produk kita maka hal itu akan menciptakan keinginan konsumen untuk kembali lagi dan mengkonsumsi produk atau jasa perusahaan tersebut atau sebaliknya, jika konsumen mengalami pengalaman yang buruk (pengalaman Negatif) dan mengecewekan, dan tidak merasa puas akan produk dan pelayanan kita maka mereka tidak akan kembali lagi mengkonsumsi produk atau jasa perusahaan tersebut dan tidak akan menimbulkan loyalitas yang akhirnya akan merugikan perusahaan itu sendiri. Oleh karena itu perusahaan sebaiknya memberi pengalaman yang memberikan kesan positif dan tak terlupakan kepada konsumennya, sehingga dari pengalaman tersebut akan meningkatkan emosi pelanggan. Pada saat ini perusahaan tidak cukup hanya menawarkan produk atau jasa dengan merek yang terkenal, karena terdapat elemen yang lebih penting yaitu nilai emosi. Jika perusahaan biasa membangkitkan emosi pelanggan, maka mereka cenderu ng akan

(22)

kembali lagi untuk bertransaksi dengan perusahaan dan akhirnya konsumen tersebut menjadi loyal terhadap perusahaan.

Meninjau uraian diatas maka perusahaan memerlukan sebuah persepsi baru mengenai orientasi pemasaran yang terfokus pada produk menjadi orientasi pemasaran terfokus pada konsumen. Faktor emosi dapat mempengaruhi perilaku mengkonsumsi sebuah produk pada seseorang konsumen baik itu emosi negative maupun positif terhadap pengalaman yang mereka alami. Pola komunikasi pemasaran yang melibatkan emosi konsumen terkenal dengan Experiential marketing. Setiap konsumen akan dengan mudah mengingat pengalaman yang mereka alami sendiri. Ingatan tersebut dapat bertahan untuk waktu yang lama, semakin membengkas pengalaman tersebut semakin sulit untuk dilupakan. Para pemasar perlu membuat sebuah produk yang dapat menyentuh perasaan, emosi, dan pikiran mereka dengan menawarkan produk yang dapat memberikan pengalaman positif, unik, dan mengesankan sehingga konsumen akan loyal terhadap produk yang ditawarkan oleh perusahaan. Schmitt (1999) juga mengatakan “Experiential marketing terdiri dari lima unsure penting , yaitu :sense (panca indra), feel (perasaan), think (pikiran), lalu act(tindakan), serta relate (kaitan).” Dari unsur unsur tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Sense (panca indra) lebih menekan kan pada penggunaan panca indra. 2. Feel (perasaan) menekankan pada perasaan dan emosi konsumen, dengan

tujuan menciptakan kesenangan dan kebanggaan.

3. Think (pikiran) merupakan alat intelek yang digunakan dengan tujuan untuk menciptakan pikiran kongnitif atau usaha untuk mengenali sesuatu melalui pengalaman sendiri.

(23)

4. Act (tindakan) bertujuan untuk memberikan pengalaman jasmani, gaya hidup, dan interaksi

5. Relate (kaitan) terdiri dari aspek sense, feel, think, dan act marketing. Relate marketing melebihi perasaan pribadi konsumen, karena memberikan pengalaman pribadi.

Kelima unsur tersebut menitik beratkan pada penciptaan persepsi tertentu dimata konsumen. Pengalaman mengesankan tersebut bias dihadirkan memalui Experiential provaiders, yaitu komponen yang memungkinkan terbentuknaya memorable experience, antara lain: komunikasi (iklan atau aktivitas below the line), produk (kemasan dan isinya), identitas produk memalui co branding, lingkungan, website, dan juga orang orang yang bertugas menawarkan produk tersebut kepada konsumen.

Perusahaan yang menerapkan experiential marketing berusaha memberikan sebuah pengalaman yang sulit dilupakan oleh konsumen dan mebuat produk tersebut melekat dibenak konsumen. Harapan dari penerapan komunikasi pemasaran semacam ini yaitu konsumen menjadi loyal, fanatic, dan dapat mempromosikan produk pada konsumen lain.

Seperti yang dikemukakan Handi (2008) Experiential marketing adalah strategi pemasaran yang dibungkus dalam bentuk kegiatan sehingga memberi pengalaman yang dapat membekas dihati konsumen. Experiential marketing diyakini oleh banyak pemasaran sebagai salah satu strategi pemasaran yang bagus untuk menumbuhkan loyalitas pelanggan dengan cepat.

Menurut Kertajaya (2006) berpendapat bahwa bumi memasuki era Experiential economy dimana anda tak cukup lagi kalau hanya punya produk dan

(24)

layanan yang oke. Lebih dari itu, produk anda harus mampu membangkitkan sensasi dan pengalaman yang akan menjadi basis loyalitas pelanggan. Menurut Endang (2009) bahwa Experiential Marketing dapat sangat berguna untuk sebuah perusahaan yang ingin meningkatkan merek yang berada pada tahap penurunan, membedakan produk mereka dari produk pesaing, menciptakan sebuah citra dan identitas untuk sebuah perusahaan, meningkatkan inovasi dan membujuk pelanggan untuk mencoba dan membeli produk. Hal yang terpenting adalah menciptakan pelanggan yang loyal.

Menurut Jill Griffin (2005) yang diterjemahkan oleh Dwi Kartini Yahya mengemukakan bahwa: “ loyalitas pelanggan adalah perilaku pembelian yang didefinisikan pembelian nonrandom yang diungkapkan dari waktu ke waktu oleh beberapa unit pengambil keputusan .” Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa konsep loyalitas lebih mengarah pada perilaku (behavior) dibandingkan dengan sikap (attitude) dan seorang konsumen yang loyal akan memperlihatkan perilaku pembelian yang didefinisikan sebagai pembeli yang teratur dan diperlihatkan sepanjang waktu oleh beberapa unit pengambil keputusan.

Loyalitas dapat didefinisikan berdasarkan perilaku pembelian. Indikator - indikator loyalitas Pelanggan menurut Zeithaml, et al (2016), sebagai berikut:

1. Berkata positif (say positif things)

2. Merekomendasikan kepada Orang lain atau Teman (recommended to someone or friends)

(25)

Oleh karena itu suatu perusahaan perlu menciptakan ikatan yang kuat dengan para pelanggan dengan cara menciptakan sebuah pengalaman yang tak terlupakan dan menyentuh emosi pelanggan pada produk atau jasa yang ditawarkan.

Bagan 2.1 Kerangka Berpikir

2.5 Perumusan Hipotesis

Hipotesis dapat diartikan sebagai suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada teori pada fakta-fakta empiris yang

Experiental Marketing Loyalitas Pelanggan

Indikator: 1. Sense 2. Feel 3. Think 4. Act 5. Relate (Nigam, 2012) Indikator: 1. Berkata positif 2. Kesediaan merekomendasikan 3. pembelian ulang (Zeithaml dkk, 1996) Keterangan: Diteliti Tidak diteliti Pengaruh

(26)

diperoleh melalui pengumpulan data, berdasarkan kerangka pemikiran tersebut maka dapat diketahui hipotesis penelitian.

Penelitian terdahulu yang pernah dilakukan oleh Wibowo & Purnama (2017) menyatakan bahwa experiental marketing memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap loyalitas wisatawan. Berdasarkan penelitian tersebut maka berikut hipotesis penelitian yang dilakukan pada penelitian ini : Ha : Experiental Marketing berpengaruh positif dan signifikan terhadap loyalitas Pelanggan pada wisata Kampung Coklat Blitar.

Referensi

Dokumen terkait

diibaratkan seperti teknologi penginderaan jarak jauh menggunakan citra satelit yang digunakan untuk mendeteksi potensi sumber daya alam di suatu titik lokasi,

Kebijakan puritanisme oleh sultan Aurangzeb dan pengislaman orang-orang Hindu secara paksa demi menjadikan tanah India sebagai negara Islam, dengan menyerang berbagai praktek

Keempat risk level tersebut diakibatkan oleh beberapa faktor seperti jenis kegiatan yang dilakukan untuk memproduksi sebuah link berbeda-beda, menggunakan mesin atau alat yang

Fitri Hartanto,Hen driani Selina 3 Tahun: 2009 ( Paediatrica Indonesiana, vol.51,no.4 (suppl),Juli 2011) Siswa SMP di Kota Semarang Prevalensi Masalah Mental Emosional

Tingkat pendapatan rumahtangga (household income) merupakan indikator yang tidak bisa diandalkan untuk mengukur tinggi atau rendahnya kesejahteraan seseorang karena

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) masyarakat Baduy yang selalu melakukan tebang-bakar hutan untuk membuat ladang (huma), tidak terjadi bencana kebakaran hutan atau tanah longsor

Kecenderungan skala usaha dalam jumlah yang terbatas pada kedua model usaha seperti ini hanya untuk mendapatkan keuntungan seadanya, disesuaikan dengan modal (uang) yang

Berdasarkan latar belakang yang penulis paparkan tersebut, maka penulis memutuskan untuk menggunakan judul Dinamika Kepribadian dan Nilai Pendidikan Dalam Naskah Ketoprak