commit to user
HUBUNGAN ANTARA KESTABILAN EMOSI DAN PENERIMAAN DIRI DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL
PADA REMAJA
SKRIPSI
Untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata I Psikologi
Oleh :
Ulva Ulandari G0106094
Pembimbing
1. Dra. Salmah Lilik, M.Si.
2. Rin Widya Agustin, M.Psi.
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011
commit to user
commit to user
commit to user
PERNYATAAN KEASLIAN
Dengan ini saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa dalam skripsi
saya ini, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar
kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengamatan dan
pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau
diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dipergunakan dalam
naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Jika terdapat hal-hal yang tidak
sesuai dengan isi pernyataan ini, maka saya bersedia derajat kesarjanaan saya
dicabut.
Surakarta, Januari 2011
Ulva Ulandari
commit to user
MOTTO-orang mdak enyadari betapa dekatnya (Thomas Alva Edison)
yakinlah besok kita menjadi pemain, dan berusahalah lusa kita
(Penulis)
commit to user
HALAMAN PERSEMBAHAN
Dengan penuh hormat, cinta dan kasih sayang,
karya ini kupersembahkan kepada
Bapak & Ibuku, sumber Kasih Sayang
kakak-kakakku sumber motivasi,
teman-temanku, sumber keindahan hidup dan keceriaan,
dan almamaterku, batu pijakan untuk melompat lebih tinggi.
commit to user
KATA PENGANTAR
Puji syukur batas segala limpahan rahmat, nikmat dan hidayah Allah SWT,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi sebagai syarat mendapatkan gelar
Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi Pendidikan Strata I Psikologi dengan
Kecemasan Komunikasi Interpersonal pada Rema
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari
bimbingan, bantuan, dorongan dan doa dari berbagai pihak oleh karena itu penulis
mengucapkan terimaksih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. AA. Subiyanto, MS., selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Drs. Hardjono, M.Si., selaku Ketua Program Studi Psikologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Bapak Dra. Salmah Lilik, M.Si., selaku pembimbing I atas bimbingan, saran
dan kritik yang sangat bemanfaat bagi penyelesaian skripsi ini.
4. Ibu Rin Widya Agustin, M.Psi., selaku pembimbing II yang telah memberikan
bimbingan, saran dan kritik yang sangat bermanfaat bagi penyelesaian skripsi
ini.
5. Ibu Dra. Suci Murti Karini, M.Si., selaku penguji I yang telah memberikan
waktu dan kritik yang membangun dalam penyelesaian skripsi ini.
commit to user
6. Bapak Nugraha Arif Karyanta, S.Psi., selaku penguji II, yang telah
memberikan waktu dan saran yang sangat bermanfaat bagi penyelesaian skripsi
ini.
7. Bapak Drs. Suranto, M.Pd., selaku Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Boyolali
yang telah memberikan ijin bagi peneliti sehingga dapat melakukan penelitian
di SMA tersebut.
8. Ibu Dra. Sri Maryanti selaku pembimbing lapangan dan seluruh TU SMA N 1
Boyolali, atas waktu dan bantuan yang diberikan kepada peneliti sehingga
penelitan menjadi lancar.
9. Seluruh staff Program Studi Psikologi yang telah membantu peneliti dalam
mengurus administrasi.
10.Semua siswa siswi SMA N 1 Boyolali yang telah memberikan bantuannya.
11.Bapak, ibu, kakak-kakakku dan mas Dirham, yang telah memberikan do a,
dukungan, kasih sayang dan nasihat sehingga peneliti mampu menyelesaikan
skripsi ini, serta ponakan-ponakan kecilku Refa, Farrel dan Zahra terimakasih
atas keceriaan yang diberikan.
12.Terimakasih untuk sahabat-sahabatku (mbak Nuzul, Siti, Putri, Vina, Tanti,
Febi) dan teman-teman Psikologi angkatan 2006 yang telah banyak
memberikan bantuan dan keceriaannya yang tak bisa terlupakan.
Surakarta, 17 Januari 2011
Penulis
commit to user
ABSTRAK
HUBUNGAN ANTARA KESTABILAN EMOSI DAN PENERIMAAN DIRI DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL
PADA REMAJA
Ulva Ulandari G0106094
Kecemasan komunikasi interpersonal merupakan permasalahan yang dapat terjadi dalam kegiatan komunikasi setiap individu, tidak terkecuali pada remaja. Hal ini menyebabkan minimnya partisipasi remaja dalam kegiatan komunikasi dan merupakan kondisi yang tidak kondusif bagi perkembangan sosial pada remaja. Kestabilan emosi dan penerimaan diri merupakan faktor personal yang dimungkinkan dapat mempengaruhi kecemasan komunikasi interpersonal.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kestabilan emosi dan penerimaan diri dengan kecemasan komunikasi interpersonal pada remaja. Subjek penelitian adalah siswa kelas X SMA N 1 Boyolali, diambil dengan teknik cluster random sampling. Data diambil dengan menggunakan Skala Kestabilan Emosi, Skala Penerimaan Diri dan Skala Kecemasan Komunikasi Interpersonal. Data dianalisis dengan menggunakan teknik analisis regresi ganda.
Analisis data menunjukkan nilai F=32,93; p<0,05 dan nilai R=0,667. Ini berarti ada hubungan kuat dan signifikan antara kestabilan emosi dan penerimaan diri dengan kecemasan komunikasi interpersonal. Analisis data juga menunjukkan nilai rx1y=-0,428; p<0,05, artinya ada korelasi negatif yang signifikan antara kestabilan emosi dengan kecemasan komunikasi interpersonal, semakin tinggi kestabilan emosi semakin rendah kecemasan komunikasi interpersonalnya, sebaliknya semakin rendah kestabilan emosi maka semakin tinggi kecemasan komunikasi interpersonalnya. Nilai rx2y=-0,538; p<0,05, artinya ada korelasi negatif yang signifikan antara penerimaan diri dengan kecemasan komunikasi interpersonal, semakin tinggi penerimaan diri semakin rendah kecemasan komunikasi interpersonalnya, sebaliknya semakin rendah penerimaan diri maka semakin tinggi kecemasan komunikasi interpersonalnya.
Dari hasil tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa hipotesis dalam penelitian ini diterima. Sumbangan efektif kestabilan emosi dan penerimaan diri dengan kecemasan komunikasi interpersonal dapat dilihat dari koefisien determinan (R2)sebesar 0,445 atau 44,5%, terdiri dari sumbangan efektif kestabilan emosi sebesar 16,95% dan sumbangan efektif penerimaan diri sebesar 27,55%. Ini berarti masih terdapat 55,5% faktor lain yang mempengaruhi kecemasan komunikasi interpersonal selain kestabilan emosi dan penerimaan diri.
Kata kunci: kestabilan emosi, penerimaan diri dan kecemasan komunikasi interpersonal.
commit to user
ABSTRACT
THE RELATIONSHIP BETWEEN EMOTIONAL STABILITY AND SELF ACCEPTANCE WITH ANXIETY OF INTERPERSONAL
COMMUNICATION IN ADOLESCENTS
Ulva Ulandari G0106094
Anxiety of interpersonal communication is a problem that can be occur in the communication activities of each individual, no exception in adolescents. This is causes the lack of participation in communication activities and a condition that not conducive for social development in adolescents. Emotional stability and self acceptance are the personal factors that possible to influence the anxiety of interpersonal communication.
This study aimed to find out the correlation between emotional stability and self acceptance with anxiety of interpersonal communication in adolescents. The subject of this study were students from Xth grade of SMA N 1 Boyolali taken by cluster random sampling technique. The data were collected using Emotional Stability Scale, Self Acceptance Scale and Anxiety of Interpersonal Communication Scale. The data were analyzed by multiple regression analyzed technique.
Data analize showed that the value of F=32,93; p<0,05 and the value of R=0,667. This means there are strong and significanct correlation between emotional stability and self acceptance with anxiety of interpersonal communication. Data analize also showed the value of rx1y=-0,428; p<0,05, this
means there are negative and significant correlation between emotional stability with anxiety of interpersonal communication, the higher of emotional stability the lower his or her anxiety of communication interpersonal and the other way the lower of emotional stability the higher his or her anxiety of interpersonal communication. The value of rx2y = -0,538; p<0,05, this means there are negative
and significant correlation between self acceptance with anxiety of interpersonal communication, the higher of self acceptance, the lower his or her anxiety of communication interpersonal and the other way the lower of self acceptance, the higher his or her anxiety of interpersonal communication.
From the result we can conclude that the hipothesis of this study received. Effective contribution of emotional stability and self acceptance to the anxiety of interpersonal communication can be seen from the determinant coefficient (R2)=0,445 or 44,5%, consist of effective contibution of emotional stability=16,95% and the effective contribution of self acceptance=27,55%. This means there are still 55,5% of the other factors that influence the anxiety of interpersonal communication in addition to emotional stability and self acceptance.
Keywords: emotional stability, self acceptance, anxiety of interpersonal communication
commit to user
DAFTAR ISI
HALAMANJUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ... ii
HALAMANPENGESAHAN ... iii
PERNYATAAN KEASLIAN ... iv
MOTTO ... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ... ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
ABSTRAK ... ix
ABSTRACT ... x
DAFTARISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR GAMBAR ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
BAB I PENDAHULUAN .... ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian ... 8
BAB II LANDASAN TEORI ... 10
A. Kecemasan Komunikasi Interpersonal ... 10
1. Pengertian Kecemasan Komunikasi Interpersonal... 10
commit to user
a. Pengertian Kecemasan ... ... 10
b. Pengertian Komunikasi Interpersonal ... 12
c. Kecemasan Komunikasi Interpersonal ... 13
2. Aspek-aspek Kecemasan Komunikasi Interpersonal ... 15
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Komunikasi Interpersonal ... 17
B. Kestabilan Emosi ... 21
1. Pengertian Kestabilan Emosi ... 21
2. Aspek-aspek Kestabilan Emosi ... 23
C. Penerimaan Diri ... 25
1. Pengertian Penerimaan Diri ... 25
2. Aspek-aspek dan Ciri-ciri Penerimaan Diri ... 27
3. Proses Terbentuknya Penerimaan Diri ... 30
4. Manfaat Penerimaan Diri... 31
D. Hubungan antara Kestabilan Emosidan Penerimaan Diri dengan Kecemasan Komunikasi Interpersonal pada Remaja 32
E. Kerangka Pemikiran ... 36
F. Hipotesis ... 37
BAB III METODE PENELITIAN ... 38
A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 38
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 38
C. Populasi, Sampel dan Sampling ... 40
D. Metode Pengumpulan Data ... 41
commit to user
E. Validitas dan Reliabilitas ... 44
F. Metode Analisis Data ... 45
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Persiapan Penelitian ... 46
1. Gambaran Umum Tempat Penelitian ... 46
2. Persiapan Penelitian ... 49
3. Pelaksanaan Uji Coba ... ... 51
4. Uji Validitas dan Reliabilitas ... ... 51
5. Penyusunan Alat Ukur Penelitian ... ... 56
B.Pelaksanaan Penelitian ... 58
1. Penentuan Subjek Penelitian ... 58
2. Pengumpulan Data ... 59
3. Pelaksanaan Skoring ... 59
C.Analisis Data dan Interprestasi ... 60
1. Uji Asumsi Dasar ... 60
2. Uji Asumsi Klasik ... 62
3. Uji Hipotesis ... 66
4. Sumbangan Relatif dan Sumbangan Efektif ... 69
5. Hasil Analisis Deskriptif ... 70
D.Pembahasan ... 73
commit to user
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 80
B. Saran ... 81
DAFTAR PUSTAKA... 83
LAMPIRAN ... 87
commit to user
DAFTAR TABEL
1. Distribusi Skor Skala... .. 41
2. Blue Print Skala Kecemasan Komunikasi Interpersonal ... 42
3. Blue Print Skala Kestabilan Emosi ... 43
4. Blue Print Skala Penerimaan Diri ... 44
5. Jumlah Siswa SMA N 1 Boyolali ... .. 49
6. Distribusi Skala Kecemasan Komunikasi Interpersonal yang Valid dan Gugur.. .. 7. Distribusi Skala Kestabilan Emosi yang Valid dan Gugur ... . 53
8. Distribisi Skala Penerimaan Diri yang Valid dan Gugur... . 54
9. Distribusi Skala Kecemasan Komunikasi Interpersonal untuk Penelitian ... 56
10.Distribusi Skala Kestabilan Emosi untuk Penelitian ... . 57
11.Distribusi Skala Penerimaan Diri untuk Penelitian ... . 58
12.Uji Normalitas ... . 60
13.Uji Linieritas ... 61
14.Uji Multikolineraitas ... 63
15.Uji Autokorelasi ... 65
16.Hasil Uji F ... 66
17.Hasil Analisis Korelasi Ganda ... 67
18.Korelasi antara Kestabilan Emosi dengan Kecemasan Komunikasi Interpersonal ... ... 68
commit to user
19.Korelasi antara Penerimaan Diri dengan Kecemasan Komunikasi
Interpersonal ... 69
20.Deskripsi Data Penelitian 70
21.Kriteria Kategori Skala Kecemasan Komunikasi Interpersonal dan
Distribusi Skor Subjek ... 71
22.Kriteria Kategori Skala Kestabilan Emosi dan Distribusi Skor Subjek... 72
23.Kriteria Kategori Skala Penerimaan Diri dan Distribusi Skor Subjek... . 73
commit to user
DAFTAR GAMBAR
1. Kerangka Pemikiran ... 36
2. Scatterplot ... 64
3. Pengujian Autokorelasi... 65
commit to user
DAFTAR LAMPIRAN
A.Alat Ukur Penelitian ... 87
1. Skala Kecemasan Komunikasi Interpersonal Sebelum Uji Coba ... 90
2. Skala Kestabilan EmosiSebelum Uji Coba ... 93
3. Skala Penerimaan Diri Sebelum Uji Coba ... 96
B.Data Uji Coba Skala Penelitian ... 100
1. Data Uji Coba Skala Kecemasan Komunikasi Interpersonal ... 101
2. Data Uji Coba Skala Kestabilan Emosi ... 109
3. Data Uji Coba Skala Penerimaan Diri ... 117
C.Uji Daya Beda Aitem & Reliabilitas Skala Penelitian ... 125
1. Uji Daya Beda Aitem dan Reliabilitas Skala Kecemasan Komunikasi Interpersonal ... 126
2. Uji Daya Beda Aitem dan Reliabilitas Skala Kestabilan Emosi ... 128
3. Uji Daya Beda Aitem dan Reliabilitas Skala Penerimaan Diri ... 130
D.Alat Ukur Penelitian ... 132
1. Skala Kecemasan Komunikasi Interpersonal penelitian ... 134
2. Skala Kestabilan Emosi ... 137
3. Skala Penerimaan Diri ... 140
E. Data Penelitian ... 143
1. Data Skala Kecemasan Komunikasi Interpersonal ... 144
2. Data Skala Kestabilan Emosi ... 152
3. Data Skala Penerimaan Diri ... 160
commit to user
F. Analisis Data Penelitian ... 165
1. Hasil Analisis Deskriptif ... 166
2. Uji Normalitas ... 166
3. Grafik Normalitas Kecemasan Komunikasi Interpersonal ... 166
4. Grafik Normalitas Kestabilan Emosi ... 167
5. Grafik Normalitas Penerimaan Diri ... 167
6. Uji Linieritas ... 168
7. Uji Multikolinearitas ... 168
8. Uji Heteroskedastisitas ... 169
9. Uji Autokorelasi ... 169
10. Uji Hipotesis... 170
11. Sumbangan Relatif dan Sumbangan Efektif ... 171
G.Surat Ijin Penelitian dan Surat Tanda Bukti Penelitian ... 178
H.Dokumentasi ... 182
commit to user
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak menjadi dewasa. Pada
masa ini remaja bukan lagi seorang anak, namun belum dapat dikatakan dewasa.
Tugas perkembangan pada masa ini dipusatkan pada penanggulangan sikap dan
pola perilaku yang kekanak-kanakan dan mengadakan persiapan untuk
menghadapi masa dewasa. Perkembangan yang dialami remaja ini menimbulkan
perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai dan minat
baru. Seiring perkembangannya tersebut, remaja mengalami perubahan secara
fisik, psikologis, maupun sosial. Dalam hal fisik remaja mengalami perubahan
pada tinggi badan, berat badan, proporsi tubuh, organ seks serta ciri-ciri sekunder,
yang dipengaruhi oleh seks dan usia kematangan yang banyak menimbulkan
keprihatinan bagi remaja laki-laki maupun perempuan karena tidak semua remaja
merasa puas dengan perubahan dan kondisi fisiknya (Hurlock, 1993).
Secara psikologis remaja mengalami perubahan dalam keadaan emosinya
dimana remaja mengalami badai
dan topan dalam kehidupan perasaan dan emosinya (Mappiare, 1982). Pada masa
ini ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar
yang mengakibatkan sebagian besar remaja mengalami perubahan kondisi emosi
dari waktu ke waktu. Berkaitan dengan perubahan sosial, remaja cenderung
bergabung dan berinteraksi dengan kelompok sosialnya dengan melakukan
commit to user
penyesuaian baru terhadap pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam perilaku
sosial, maupun dalam pengelompokkan sosial yang baru (Hurlock, 1993). Dalam
pergaulan remaja baik dengan teman sebaya maupun anggota kelompok yang
lainnya tersebut terjadi suatu komunikasi. Komunikasi merupakan hal penting
bagi remaja, hal itu sejalan dengan salah satu tugas perkembangan yang harus
dipenuhi salah satunya dapat memperluas hubungan antar pribadi dan
berkomunikasi secara lebih dewasa dengan teman sebaya, baik pria maupun
wanita (Soetjiningsih, 2007). Kendati komunikasi telah manjadi bagian dari
kehidupan sehari-hari, akan tetapi masih terdapat permasalahan atau hambatan
yang timbul salah satunya adalah kecemasan ketika melakukukan komunikasi,
tidak terkecuali pada remaja yang berstatus pelajar (Appolo, 2007).
Kecemasan dalam komunikasi dikenal dengan berbagai istilah oleh para
ahli. Burgoon dan Ruffner (1977) menyebut masalah dalam komunikasi tersebut
dengan dengan istilah communication apprehension yaitu istilah yang tepat untuk
menggambarkan reaksi negatif dalam bentuk kecemasan yang dialami seseorang
dalam pengalaman komunikasinya, baik itu kecemasan berbicara di muka umum
maupun kecemasan komunikasi interpersonal.
Daly dan McCroskey (1984) menjelaskan kecemasan komunikasi
interpersonal sebagai suatu ketakutan atau kecemasan dalam komunikasi baik
sedang berlangsung atau akan berlangsung, yang terjadi antar individu atau
beberapa individu. Kecemasan komunikasi interpersonal ini terjadi karena
kekhawatiran individu pada penilaian oranglain terhadap performancenya,
commit to user
Naditch dan Morrisey (dalam Jersild 1978), bahwa kecemasan yang dialami
remaja muncul karena ketakutan atau keragu-raguan terhadap penilaian atau
evaluasi yang diberikan oleh oranglain pada dirinya.
Remaja yang mengalami kecemasan ketika melakukan komunikasi
interpersonal, tidak berani untuk berbicara bahkan ketika tidak setuju dengan
pendapat yang disampaikan orang lain. Keinginan untuk menyatakan
ketidaksetujuannya menjadi terhambat karena adanya ketakutan untuk
menyampaikan pendapat (Jersild, 1978). Remaja tersebut merasakan adanya
perubahan secara psikis dan fisiologis. Perubahan psikis yang dialami remaja
yang cemas antara lain adanya perasaan sangat takut, tidak mampu memusatkan
pikiran serta merasa tidak tenang, sedangkan perubahan fisiologis yang terjadi
antara lain unjung tangan dan kaki terasa dingin, keluar banyak keringat dan
denyut jantung cepat (Daradjat, 1977).
Kecemasan yang timbul pada saat melakukan komunikasi interpersonal
tersebut pada akhirnya juga menyebabkan remaja berusaha sekecil mungkin
dalam berkomunikasi dan hanya berbicara apabila terdesak saja. Apabila
kemudian harus berkomunikasi, sering pembicaraannya tidak relevan, sebab
pembicaraan yang relevan tentu akan mengundang reaksi orang lain dan akan
dituntut untuk berbicara lagi. Remaja akan lebih memilih untuk menghindari
situasi komunikasi dan akibat lebih lanjut adalah remaja akan menarik diri dari
pergaulan sehingga keterlibatan remaja dalam berkomunikasi menjadi minim atau
sedikit (Daly dan McCroskey, 1984). Sebagaimana diketahui, padahal remaja
commit to user
komunikasi untuk meningkatkan kemampuan dalam berhubungan dengan orang
lain. Hal ini untuk mengembangkan ketrampilan sosial yang lebih baik pada
remaja (Soesilowindradini,1988). Mencermati dampak dari kecemasan
komunikasi interpersonal yang dialami remaja, membawa pemikiran bahwa
kecemasan komunikasi interpersonal pada remaja merupakan masalah yang cukup
serius.
Banyak penelitian terdahulu baik di Indonesia maupun di negara lain yang
berkaitan dengan kecemasan komunikasi interpersonal pada remaja, diantaranya
penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa sedikitnya
20% remaja mengalami kecemasan komunikasi yang sangat tinggi, dan 20%
lainnya mengalami kecemasan komunikasi yang cukup tinggi (Burgoon dan
Ruffner, 1977). Hasil penelitian lain juga dilakukan oleh Croskey, dkk (dalam
Rakhmat, 2001) menunjukkan bahwa 10-20% remaja di Amerika Serikat
mengalami kecemasan ketika berkomunikasi dengan individu lain.
Kecemasan komunikasi interpersonal di Indonesia juga telah diteliti oleh
Rilin (dalam Rakhmawati dan Safitri, 2007) menyatakan bahwa 26% dari 86
siswa kelas 2 SMU Muhammadiyah 1 Klaten mengalami kecemasan komunikasi
interpersonal yang tinggi. Data dari sahabat Remaja PKBI DIY juga
menunjukkan bahwa pada tahun 1997, 19% remaja Yogyakarta meminta layanan
karena masalah yang berhubungan dengan komunikasi interpersonal (Rakhmawati
dan Febiyanti, 2007).
Beberapa hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kecemasan
commit to user
kalangan remaja, baik di Indonesia maupun negara lain. Kecemasan komunikasi
pada umumnya terjadi karena individu mengembangkan penilaian negatif
terhadap situasi komunikasi dan memperkirakan hasil yang negatif pula dalam
komunikasinya (De Vito, 1995). Remaja dimungkinkan tidak mudah mengalami
kecemasan komunikasi interpersonal, jika remaja mampu berpikir positif dan
optimis, serta dapat bersikap tenang dalam berbagai situasi, termasuk situasi
komunikasi. Individu yang memiliki kemapuan tersebut, adalah individu yang
memiliki kestabilan emosi.
Pernyataan tersebut didukung oleh pendapat Goleman dkk (dalam Irma,
2003) yang mengungkapkan bahwa individu yang memiliki kestabilan emosi
mempunyai adaptabilitas, dalam arti luwes dalam menangani perubahan dan
tantangan, mampu berfikir positif dalam segala hal, memiliki rasa harga diri yang
tinggi dan optimis. Senada dengan hal tersebut, Darmawan (2008)
mengungkapkan kestabilan emosi sebagai kemampuan individu untuk dapat
mengendalikan dirinya sendiri dari berbagai situasi dan tidak bertindak emosional
karena faktor dari luar dirinya. Costa dan McCrae (dalam MacIntyre, dkk, 1999)
menjelaskan bahwa individu dengan kestabilan emosi yang tinggi akan lebih
tenang dan merasa aman. Dengan demikian remaja dengan yang memiliki
kestabilan emosi akan tidak mudah mengalami kecemasan dalam komunikasi
interpersonal.
Kecemasan komunikasi interpersonal pada remaja juga diduga tidak
terlepas dari penerimaan diri yang dimiliki remaja. Pernyataan tersebut sesuai
commit to user
komunikasi interpersonal terkait dengan beberapa variabel, antara lain harga diri
dan masalah penerimaan diri. Penerimaan diri merupakan suatu tingkatan
kesadaran mengenai karakteristik pribadi dan adanya keinginan untuk hidup
dengan keadaan tersebut (Hurlock, 1974). Menurut Hjelle dan Zeigler (1992)
individu yang memiliki penerimaan diri dapat menerima dirinya dengan
kelemahan dan keterbatasan yang ada, tidak terbebani oleh rasa bersalah, rasa
malu, dan kecemasan. Individu tersebut akan menyadari kelemahan yang
dimilikinya itu dan mengetahui kesalahan yang dilakukan sehingga mampu
memperbaikinya, serta mampu belajar untuk hidup dengan oranglain.
Individu yang memiliki penerimaan diri merasa sebagai seseorang yang
bisa diharapkan, namun tidak merasa dirinya sempurna, sebaliknya individu yang
kurang memiliki penerimaan diri akan meragukan nilai atau harga dirinya dan
cenderung menghindari perhatian yang akan mengungkap kelemahannya.
Individu tersebut cenderung menghindar dari perkumpulan, merasa inferior, tidak
pernah belajar hidup dengan keadaan dirinya dan merasa kekurangan, kurang
tekun, terlalu banyak terjadi konflik dan kecemasan (Cronbach 1954).
Berdasarkan uraian diatas dapat dipaparkan bahwa dimungkinkan terdapat
keterkaitan antara kestabilan emosi dan penerimaan diri dengan kecemasan
komunikasi interpersonal pada remaja. Remaja dengan kestabilan emosi akan
mampu mengendalikan emosi dengan tepat dan bersikap tenang dalam berbagai
situasi. Selanjutnya, dengan penerimaan diri remaja dapat menyadari kelemahan
dan kelebihan yang dimiliki, tidak terbebani oleh rasa bersalah, rasa malu, dan
commit to user
bersikap tenang, serta tidak terbebani rasa malu dan kecemasan, dimungkinkan
tidak akan mudah mengalami kecemasan komunikasi interpersonal.
Untuk mengkaji lebih lanjut permasalahan tersebut, maka penulis tertarik
untuk mengadakan penelitian dengan mengambil judul
Kestabilan Emosi dan Penerimaan Diri dengan Kecemasan Komunikasi
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka didapatkan perumusan masalah:
1. Apakah ada hubungan antara kestabilan emosi dan penerimaan diri
dengan kecemasan komunikasi interpersonal pada remaja?
2. Apakah ada hubungan antara kestabilan emosi dengan kecemasan
komunikasi interpersonal pada remaja?
3. Apakah ada hubungan antara penerimaan diri dengan kecemasan
komunikasi interpersonal pada remaja?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dalam penulisan ini adalah untuk mengetahui:
1. Hubungan antara kestabilan emosi dan penerimaan diri dengan
kecemasan komunikasi interpersonal pada remaja.
2. Hubungan antara kestabilan emosi dengan kecemasan komunikasi
interpersonal pada remaja.
3. Hubungan antara penerimaan diri dengan kecemasan komunikasi
commit to user
D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian:
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
informasi mengenai kestabilan emosi, penerimaan diri dan kecemasan
komunikasi interpersonal dalam pengembangan ilmu psikologi,
khususnya psikologi sosial, maupun studi lainnya.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Remaja
Memberikan informasi dan masukan mengenai hubungan
antara kestabilan emosi dan penerimaan diri dengan kecemasan
komunikasi interpersonal pada remaja, sehingga remaja diharapkan
dapat meningkatkan kestabilan emosi dan penerimaan diri sehingga
tidak mudah mengalami kecemasan komunikasi interpersonal.
b. Bagi Orang Tua dan Sekolah
Memberikan informasi dan masukan mengenai hubungan
antara kestabilan emosi dan penerimaan diri dengan kecemasan
komunikasi interpersonal, sehingga orang tua dapat memberi
pengetahuan dan pengarahan yang positif pada anak dalam
meningkatkan kestabilan emosi dan penerimaan diri, yang
diharapkan nantinya anak tidak mudah mengalami kecemasan
komunikasi interpersonal. Serta bagi pihak sekolah, nantinya
commit to user
emosi dan penerimaan diri sehingga para siswa tidak mudah
mengalami kecemasan komunikasi interpersonal.
c. Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini diharapkan dapat sebagai masukan dan
referensi bagi peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut
khususnya berkaitan dengan hubungan antara kestabilan emosi dan
commit to user
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kecemasan Komunikasi Interpersonal
1. Pengertian Kecemasan Komunikasi Interpersonal
a. Pengertian Kecemasan
Kecemasan merupakan reaksi individu terhadap hal-hal yang
dihadapinya, yang merupakan suatu perasaan yang menyakitkan seperti
kegelisahan dan kebingungan. Kecemasan merupakan suatu perasaan
khawatir yang dialami seseorang menghadapi suatu situasi yang tidak
pasti, dimana situasi tersebut bisa membahayakan diri seseorang atau dapat
memberikan perubahan besar dalam hidup seseorang, kecemasan
dirasakan sebagai suatu pengalaman yang tidak menyenangkan dan
cenderung dihindari (Lazarus, 1969).
Menurut Daradjat (1977) kecemasan adalah keadaan yang umum,
timbul ketika terjadinya pertentangan antara dorongan-dorongan dan usaha
individu untuk menyesuaikan diri. Selanjutnya Semiun (2006)
menjelaskan bahwa kecemasan merupakan suatu keadaan tegang yang
berhubungan dengan ketakutan, kekhawatiran, perasaan-perasaan bersalah,
perasaan tidak aman, dan kebutuhan akan kepastian. Kecemasan pada
dasarnya merupakan respon terhadap apa yang akan terjadi (antisipatif)
dan faktor dinamik yang mempercepat kecemasan tidak disadari. Tanpa
ada sedikit kecemasan sesuai dengan kenyataan, individu mungkin tidak
commit to user
akan memperhatikan peristiwa-peristiwa akan datang yang sangat penting
bagi perlindungan dirinya, tetapi kecemasan yang tidak wajar (tidak sehat)
akan memberatkan individu dan menyebabkan ketidakmampuan dalam
memberikan keputusan dan melakukan tindakan. Secara khas terdapat
simptom-simptom psikofisiologis seperti misalnya keluar keringat terlalu
banyak, kesulitan bernafas, gangguan pada perut, dan denyut jantung
sangat cepat. Kecemasan diungkapkan sebagai kondisi tidak memiliki
harapan, ketidakpastian, antisipasi, atau variasi lainnya (Zuckerman dan
Spielberger, 1976)
Pendapat lain disampaikan oleh Chaplin (1999), yang
mengemukakan kecemasan adalah perasaan campuran berisikan ketakutan
dan keprihatinan mengenai masa-masa mendatang tanpa sebab khusus
untuk ketakutan tersebut. Menurut Brenneck & Amick (dalam Sudardjo,
1999), kecemasan mempunyai tingkat, taraf atau derajat sehingga tidak
semua dikatakan buruk. Tinggi atau rendahnya kecemasan tergantung pada
masing-masing individu.
Beberapa pengertian para ahli diatas, dapat diketahui bahwa
kecemasan merupakan suatu keadaan yang timbul ketika terjadinya
pertentangan antara dorongan-dorongan dan usaha individu untuk
menyesuaikan diri, berupa perasaan gelisah, kebingungan, kekhawatiran,
commit to user
b. Pengertian Komunikasi Interpersonal
Menurut De Vito (1997) komunikasi interpersonal merupakan
penyampaian pesan oleh satu orang dan penerimaan pesan oleh
sekelompok kecil orang, dengan berbagai dampaknya dengan peluang
untuk memberikan umpan balik segera. Littlejohn dan Foss (2005)
menyatakan bahwa komunikasi interpersonal merupakan komunikasi antar
manusia, biasanya saling berhadapan dan dalam situasi pribadi.
Komunikasi interpersonal merupakan interaksi tatap muka antara
dua atau beberapa orang, dimana pengirim dapat menyampaikan secara
langsung dan penerima pesan dapat menerima dan menanggapi secara
langsung pula. Kebanyakan komunikasi interpersonal berbentuk verbal
disertai ungkapan-ungkapan non verbal dan dilakukan secara lisan
(Hardjana, 2003).
Dalam komunikasi interpersonal, sejumlah orang terlibat
didalamnya dan berpotensi untuk saling memberikan umpan balik dan
berlangsung dalam situasi bertatap muka. Sesuai dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Rogers (dalam Liliweri, 1997) komunikasi
interpersonal merupakan komunikasi dari mulut ke mulut yang terjadi
dalam interaksi tatap muka antara beberapa orang.
Dari beberapa pendapat ahli di atas, dapat diperoleh pengertian
komunikasi interpersonal merupakan suatu bentuk pengiriman dan
penerimaan pesan antara dua orang atau lebih, yang memberikan dampak
commit to user
c. Kecemasan Komunikasi Interpersonal
Komunikasi merupakan bagian yang fundamental dalam
kehidupan sehari-hari, termasuk komunikasi interpersonal. Kendati
demikian, dalam komunikasi interpersonal adakalanya terdapat masalah
yang berupa kecemasan ketika melakukan komunikasi. Kecemasan
komunikasi interpersonal merupakan kecemasan yang terjadi pada
individu yang menyampaikan pesan ataupun individu sebagai penerima
pesan, dalam situasi interpersonal. Individu yang mengalami kecemasan
komunikasi interpersonal biasanya kurang membuka diri terhadap
informasi (Hamilton dalam Snavely, dkk, 1976).
Burgoon dan Ruffner (1977) menyebut kecemasan komunikasi
dengan dengan istilah communication apprehension yaitu istilah yang
tepat untuk menggambarkan reaksi negatif dalam bentuk kecemasan yang
dialami seseorang dalam pengalaman komunikasinya, baik itu kecemasan
berbicara di muka umum maupun kecemasan komunikasi interpersonal.
Daly dan McCroskey (1984) menjelaskan communication
apprehension sebagai suatu ketakutan atau kecemasan individu dalam
berkomunikasi dengan individu lain, baik yang akan berlangsung atau
sedang berlangsung. Kecemasan yang timbul pada saat melakukan
komunikasi interpersonal tersebut pada akhirnya menyebabkan remaja
menarik diri dari pergaulan sehingga keterlibatan remaja dalam
commit to user
De Vito (1995) menjelaskan bahwa kecemasan komunikasi
interpersonal merupakan keadaan cemas dalam interaksi komunikasi,
disebabkan karena individu mengembangkan perasaan negatif dan
memperkirakan hasil yang negatif pula dalam komunikasinya. Individu
merasa bahwa apapun keuntungan yang dihasilkan dari komunikasi tidak
lebih penting dari ketakutan yang dialami.
Hardjana (2003) mengemukakan kecemasan komunikasi
interpersonal sebagai rasa takut, bingung, kacau pikiran, tubuh gemetar,
dan rasa demam panggung yang muncul saat berkomunikasi dengan
individu lain. Philips (dalam Apollo, 2007) menyebut permasalahan dalam
komunikasi dengan istilah reticence, yaitu ketidakmampuan dalam
mengikuti diskusi secara aktif, mengembangkan percakapan, menjawab
pertanyaan yang diajukan atau pekerjaan yang bukan disebabkan karena
kurangnya pengetahuan akan tetapi karena kesulitan dalam menyusun
kata-kata dan ketidakmampuan menyampaikan pesan secara sempurna.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli diatas, dapat disimpulkan
bahwa kecemasan komunikasi interpersonal merupakan suatu keadaan
cemas, bingung, atau ketakutan yang dialami individu ketika melakukan
interaksi komunikasi dengan individu lain, baik yang sedang berlangsung
atau akan berlangsung dikarenakan individu mengembangkan perasaan
commit to user
2. Aspek-aspek Kecemasan Komunikasi Interpersonal
Burgoon dan Ruffner (1977) menerangkan beberapa aspek kecemasan
komunikasi interpersonal. Aspek-aspek tersebut adalah:
a. Unwillingness
Individu yang mengalami kecemasan komunikasi interpersonal
menunjukkan ketidaksediaan untuk berkomunikasi yang ditandai
dengan kecemasan, introversi, dan rendahnya frekuensi partisipasi
dalam berbagai situasi komunikasi.
b. Avoiding
Menghindarkan diri untuk berpartisipasi dalam komunikasi karena
kecemasan dan pengalaman komunikasi yang tidak menyenangkan.
Ditandai dengan tidak adanya penghargaan yang baik terhadap situasi
komunikasi dan kurangnya pengenalan situasi komunikasi yang
mempengaruhi intimasi dan empati.
c. Control
Rendahnya kontrol atau pengendalian terhadap situasi komunikasi
yang terjadi, meliputi kurangya pengendalian terhadap lingkungan
komunikasi yang berbeda dan kurangnya pengendalian terhadap reaksi
lawan bicara.
Richmond dan McCroskey (dalam Weitten, dkk, 2009) juga
mengungkapkan bahwa individu yang mengalami kecemasan komunikasi
commit to user
a. Avoidance
Individu yang mengalami kecemasan komunikasi interpersonal akan
memilih untuk tidak berpartisipasi dalam kesempatan komunikasi. Jika
komunikasi terasa tidak nyaman bagi individu tersebut, maka individu
cenderung menghindari situasi komunikasi.
b. Withdrawal
Individu akan menarik diri ketika secara tidak sengaja terlibat dalam
situasi komunikasi, dimana individu tersebut tidak dapat keluar dari
situasi komunikasi itu, individu lebih memilih untuk diam dan hanya
berbicara sesedikit mungkin.
c. Disruption
Individu yang mengalami kecemasan komunikasi interpersonal,
menunjukkan ketidakmampuan ketika berbicara secara verbal dengan
lancar, atau ketidakmampuan dalam berperilaku verbal atau non verbal
dengan tepat dalam komunikasi.
d. Overcommunication
Hal ini sangat jarang dan tidak biasa terjadi pada individu yang
mengalami kecemasan komunikasi interpersonal. Namun pernah
terjadi bahwa individu yang mengalami kecemasan komunikasi
interpersonal terlihat ingin mendominasi komunikasi dengan bicara
yang tidak ada hentinya (non stop).
Peneliti menggunakan ketiga aspek kecemasan komunikasi
commit to user
penelitian yang terdiri dari unwillingness yaitu ketidaksediaan untuk
berkomunikasi, avoiding yaitu menghindarkan diri dari situasi komunikasi,
dan control yaitu rendahnya kontrol terhadap situasi komunikasi.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Komunikasi
Interpersonal
Kecemasan komunikasi interpersonal yang dialami individu dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Daly dan McCroskey (1984)
mengemukakan timbulnya kecemasan komunikasi interpersonal yang terjadi
pada individu dapat terjadi karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara
lain:
a. Faktor personal (traitlike)
Terdiri dari faktor herediti (keturunan) dimana individu sejak
lahir sesudah memiliki tendensi dan predisposisi kepribadian tertentu.
Menurut Crawford,dkk (2006) faktor personal yang dapat
mempengaruhi kecemasan komunikasi interpersonal antara lain self
esteem, kontrol diri dan asertivitas. Selain herediti, faktor lingkungan
juga berpengaruh, karena manusia hidup di dalam lingkungan
masyarakat yang didalamnya terdapat faktor penting yang
mempengaruhi kecemasan komunikasi interpersonal yang dialami
individu yaitu reinforcement dan modelling.
Individu yang sejak anak-anak mendapat reinforcement untuk
commit to user
komunikasi, sebaliknya, jika anak tidak mendapat penguatan untuk
berkomunikasi, anak akan tumbuh dengan sedikit melakukan aktivitas
komunikasi. Modelling merupakan faktor kedua setelah reinforcement.
Teori modelling menunjukkan bahwa anak menyaksikan perilaku
komunikasi orang lain dilingkungan mereka dan mencoba
menyamainya.
b. Faktor situasional
Faktor situasional ini terdiri dari (1) novelty (kebaruan), situasi
baru akan meningkatkan ketidakpastian akan apa yang harus
dilakukan oleh seseorang. Jika individu belum pernah diwawancarai,
dan kemudian individu tersebut harus diwawancarai, maka situasi
baru tersebut menjadikannya tidak yakin pada apa yang dia lakukan
dan menjadi cemas. (2) formality (situasi formal), kecemasan
komunikasi dapat meningkat jika dalam situasi formal karena
pemikirannya mengenai tingkahlaku yang dapat diterima (3)
subordinate status, dalam situasi ini tingkahlaku yang tepat
didefinisikan menurut individu yang berada pada posisi yang lebih
tinggi. (4) conspicuousness, menjadi individu yang baru dalam situasi
situasi sosial akan menjadikan individu merasa bingung, individu
yang merasa bingung biasanya lebih tinggi kecemasan
komunikasinya. (5) unfamiliarity, biasanya dalam situasi yang sudah
familiar, tingkat kecemasan komunikasinya menurun(6) dissimiliarity
commit to user
komunikasi dengan orang-orang yang memiliki kesamaan daripada
dengan orang-orang yang banyak perbedaan. Individu juga akan lebih
nyaman ketika tingkat perhatian yang diberikan oleh oranglain dalam
tingkat yang sedang-sedang saja.
De Vito (1995) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi
timbulnya kecemasan komunikasi interpersonal pada individu, antara lain
sebagai berikut:
a. Kurangnya keterampilan dan pengalaman komunikasi masa lalu
Kurangnya keterampilan dan pengalaman masa lalu dapat
menyebabkan individu mengalami kesulitan dan kecemasan dalam
berkomunikasi. Individu menjadi sulit berkomunikasi dengan efektif
jika individu kurang memiliki ketrampilan dan kurangnya pengalaman
dalam menjalin komunikasi interpersonal akan menyebabkan individu
lebih mudah cemas apabila mnenghadapi situasi komunikasi.
b. Tingkat evaluasi
Jika individu menghadapi situasi komunikasi yang lebih evaluatif,
individu akan lebih mudah mengalami kecemasan. Semakin besar
perasaan dievaluasi, maka kecemasan juga akan meningkat.
c. Status yang lebih rendah
Adanya perasaan bahwa oranglain merupakan komunikator yang lebih
baik dan lebih banyak pengetahuan daripada individu yang
commit to user
Berfikir positif tentang diri sendiri dan meningkatkan ketrampilan
dapat membantu mengatasi perasaan ini.
d. Tingkat kejelasan
Lebih jelas satu keadaan, lebih rendah pula kecemasan yang dialami
dalam komunikasi. Hal ini yang menyebabkan berbicara di depan
orang banyak lebih menyebabkan kecemasan daripada berbicara
didepan orang-orang yang jumlahnya lebih sedikit. Hal tersebut
disebabkan oleh adanya perasaan yang membebani bahwa lebih
banyak orang yang memperhatikan dirinya.
e. Tingkat ketidakpastian
Semakin tidak terramalkan suatu situasi, semakin besar kecemasan
yang akan terjadi. Situasi ambigu atau situasi baru yang tidak pasti apa
tujuan dan apa yang diinginkan dari situasi komunikasi akan
menyebabkan individu lebih merasa cemas. Misalnya ketika
berkomunikasi dengan orang yang baru dikenal.
f. Tingkat kesamaan
Jika individu merasa hanya ada sedikit kesamaan dengan lawan
bicara, individu akan lebih merasa cemas. Dengan memberi perhatian
pada kesamaan yang dimiliki maka tingkat kecemasan akan menurun.
g. Pengalaman kegagalan dan kesuksesan masa lalu
Pengalaman masa lalu akan mempengaruhi respon individu apabila
menghadapi situasi yang sama. Pengalaman keberhasilan seseorang
commit to user
berhasil dalam komunikasi selanjutnya, sedangkan pengalaman
kegagalan individu akan membuatnya merasa kegagalan komunikasi
yang terjadi akan terulang lagi.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat diketahui bebarapa
faktor yang mempengaruhi kecemasan komunikasi interpersonal, antara lain
faktor personal yang terdiri dari herediti dan faktor lingkungan yang terdiri
dari reinforcement dan modelling, dan faktor situasional yang terdiri dari
kurangnya ketrampilan dan pengalaman komunikasi, tingkat evaluasi, status
yang lebih rendah (subordinate status), tingkat kejelasan (conspicuousness),
tingkat ketidakpastian, tingkat kesamaan (dissimiliarity), pengalaman
kegagalan dan atau kesuksesan masa lalu, novelty (kebaruan), formality
(situasi formal), unfamiliarity, serta degree of attention.
B. Kestabilan Emosi
1. Pengertian KestabilanEmosi
Kestabilan emosi merupakan kematangan emosional yang berdasarkan
kesadaran yang mendalam terhadap kebutuhan-kebutuhan,
keinginan-keinginan, cita-cita dan alam perasaannya serta pengintegrasian semuanya itu
kedalam suatu kepribadian yang bulat dan harmonis (Gerungan, 1978).
Hurlock (1993) mengemukakan bahwa kestabilan emosi adalah keadaan yang
tidak berubah-ubah dari satu emosi atau suasana hati kesuasana hati lain
seperti dalam periode sebelumnya. Kestabilan emosi bukan hanya
commit to user
membantu mengontrol pertumbuhan dan perkembangan individu. Kestabilan
emosi sebagai suatu proses kepribadian yang terus-menerus bekerja dengan
perasaan yang lebih baik dalam kesehatan emosi, baik intrapsikis ataupun
intrapersonal. Hal tersebut menjelaskan bahwa kestabilan emosi dapat dilihat
dari kemampuan individu untuk menahan atau menunda pemuasan
kebutuhan, kemampuan toleransi terhadap frustrasi, kepercayaan pada
rencana jangka panjang serta kemampuan menunda atau memperbaiki
harapan atau dugaan dalam suatu situasi (Smitson, dalam Aleem, 2005).
Scheneider (1964) mengungkapkan bahwa kestabilan emosi didukung oleh
penyesuaian dan kesehatan emosi yang terdiri dari adekuasi emosi, kontrol
emosi dan kematangan emosi.
Menurut Darmawan (2008) kestabilan emosi merupakan kemampuan
individu untuk dapat mengendalikan dirinya sendiri dari berbagai situasi.
Individu yang memiliki kestabilan emosi tidak bertindak emosional karena
faktor dari luar dirinya, sehingga tidak akan mudah terpengaruh pada hal-hal
yang negatif. Kestabilan emosi merupakan keberhasilan pencapaian
keyakinan dalam diri individu, yaitu keyakinan dalam pencapaian cita-cita
yang diharapkan. Individu yang memiliki kestabilan emosi memiliki rasa
aman yang tercermin dalam kekuatan kepercayaan spiritual dan membantu
individu untuk bersikap secara seimbang dan stabil tanpa memperhatikan
masalah-masalah yang dihadapi. Kestabilan emosi menanggulangi
ketakutan-ketakutan pada kesalahan masa lalu dan menahan diri dari segala sesuatu
commit to user
Chaplin (1995) mengemukakan individu yang memiliki kestabilan
emosi akan terbebas dari sejumlah besar variasi atau perselang-selingan
dalam suasana hati dan memiliki kontrol yang baik. Wiggins (dalam Cable
dan Judge, 2003) mengemukakan bahwa individu dengan kestabilan emosi
tinggi akan bersikap tenang, merasa aman, dan tidak nervous. Sebaliknya
individu yang memiliki kestabilan emosi yang rendah akan cenderung merasa
cemas, emosional, mudah malu, dan murung.
Berbagai pengertian kestabilan emosi oleh beberapa ahli diatas, dapat
disimpulkan bahwa kestabilan emosi merupakan kemampuan individu untuk
dapat mengendalikan dirinya sendiri dari berbagai situasi dan tidak mudah
berubah-ubah dari satu emosi atau suasana hati kesuasana hati lain serta
adanya kontrol yang baik dalam emosinya.
2. Aspek-aspek Kestabilan Emosi
Sharma (2006) mengemukakan aspek-aspek kestabilan emosi sebagai
berikut:
a. Firmly Established
Individu dengan kestabilan emosi memiliki kondisi emosi yang kuat
atau mantap. Kemantapan atau kekuatan emosi dapat dilihat kondisi
emosi yang tidak mudah tergoyahkan dan terganggu dan tidak mudah
commit to user
b. Well Balanced
Yaitu kemampuan untuk mengalami atau menghadapi emosi yang
terjadi secara seimbang. Individu tidak menghindari emosi negatif,
tetapi akan menghadapi, mengatasi dan menjaganya untuk lebih
tenang, mampu untuk merespon emosi positif dan emosi negatif
dengan seimbang, tidak mudah mengalami emosi yang ekstrem
(Johnston, 2002).
c. Capable Remain in same Status
Individu yang memiliki kestabilan emosi, mampu untuk berada dalam
kondisi emosi yang sama atau tetap dalam suatu situasi. Individu tidak
cepat mengalami mengalami perubahan emosi serta tidak mengalami
perubahan emosi yang disebabkan oleh sesuatu yang tidak terprediksi.
Smitson (dalam Aleem, 2005) menegaskan bahwa individu yang
memiliki kestabilan emosi adalah individu yang memiliki kemampuan untuk
menghadapi perbedaan, kemampuan untuk menunda respon khususnya pada
emosi yang negatif, bebas dari ketakutan yang tidak beralasan, serta memiliki
kemampuan untuk memaafkan kesalahan tanpa merasa malu.
Peneliti merujuk pada aspek-aspek kestabilan emosi yang
diungkapkan oleh Sharma (2006) meliputi firmly established, well balanced
commit to user
C. Penerimaan Diri
1. Pengertian Penerimaan Diri
Cronbach (1962) mengemukakan penerimaan diri sebagai
karakteristik mendalam yang menerangkan secara luas mengapa seseorang
melakukan sesuatu. Individu yang memilki penerimaan diri mengetahui
kelemahan yang ada pada dirinya, tahu kesalahan yang diperbuat dan mampu
memperbaikinya dan belajar untuk bergaul dengan individu lain.
Penerimaan diri merupakan sikap yang pada dasarnya merasa puas
dengan diri sendiri, kualitas-kualitas dan bakat-bakat sendiri, dan pengakuan
akan keterbatasan diri sendiri (Chaplin, 1995). Penerimaan diri adalah
sejauhmana seseorang dapat menyadari dan mengakui karakteristik pribadi
dan menggunakannya dalam menjalani kelangsungan hidupnya. Sikap
penerimaan diri ditunjukkan oleh sikap pengakuan seseorang terhadap
kelebihan-kelebihannya sekaligus menerima kelemahan-kelemahannya tanpa
menyalahkan oranglain dan memiliki keinginan untuk terus mengembangkan
diri. (Handayani,dkk, 1998).
Selanjutnya, menurut Johnson (1993) penerimaan diri adalah
penghargaan yang tinggi terhadap diri sendiri serta tidak bersikap sinis
terhadap diri sendiri. Individu yang memiliki penerimaan diri lebih membuka
diri dan menerima oranglain. Branden (dalam Trimulyaningsih dan
Rachmahana, 2008) mengemukakan bahwa penerimaan diri adalah sebuah
penolakan untuk menganggap setiap bagian dari individu sebagai asing atau
commit to user
individu menganggap atau mengakui karakteristik pribadi, kemampuan serta
bersedia untuk hidup dengan keadaan individu tersebut.
Schultz (1991) mengemukakan individu yang menerima diri tidak
berusaha mengubah atau memalsukan diri, tidak defensif dan tidak tidak
bersembunyi dibelakang peranan-peranan sosial. Calhoun dan Acocella (1990)
mengemukakan penerimaan diri sebagai sikap menerima diri sendiri apa
adanya. Penerimaan diri bukan berarti bahwa individu tidak pernah kecewa
dengan dirinya, atau merasa bahwa individu tersebut gagal mengenali
kesalahannya sebagai suatu kesalahan serta adanya perasaan tidak perlu
meminta maaf atas keberadaannya.
Dengan menerima diri individu akan dapat menerima orang lain
dengan baik. Sartain (dalam Andromeda dan Rachmahana, 2006)
mengemukakan penerimaan diri sebagai kesadaran seseorang untuk menerima
dirinya sebagaimana adanya dan memahami dirinya seperti apa adanya.
Individu yang telah menerima diri berarti telah menjalani proses yang
menghantarkan dirinya pada pengetahuan dan pemehaman dirinya sehingga
dapat menerima dirinya secara utuh dan bahagia.
Berdasarkan uraian beberapa ahli di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
penerimaan ini merupakan sikap individu yang pada dasarnya merasa puas
dengan kualitas dan kemampuan diri sendiri, dan bersedia untuk hidup dengan
commit to user
2. Aspek dan Ciri-ciri Penerimaan Diri
Supratiknya (1995) mengemukakan aspek-aspek penerimaan diri
sebagai berikut:
a. Pembukaan diri
Penerimaan diri individu terlihat dari pembukaan dirinya terhadap
orang lain. Individu yang memiliki pembukaan diri membiarkan
oranglain mengetahui tentang dirinya, termasuk apa yang dirasa dan
dipikirkannya. Pembukaan diri ditandai dengan kemampuan
mengungkapkan pikiran, perasaan dan reaksi kepada oranglain dan
merasa tertarik dalam kegiatan yang bersifat pengungkapan diri.
b. Penerimaan terhadap oranglain
Individu yang menerima diri memiliki penerimaan terhadap orang lain.
Penerimaan terhadap oranglain ditandai dengan kepekaan terhadap
kebutuhan oranglain dan bersedia menerima bantuan atau peran
oranglain.
c. Kesehatan psikologis
Kesehatan psikologis merupakan kualitas perasaan yang dimiliki
individu. Individu yang sehat secara psikologis memandang dirinya
sebagai individu yang disenangi, memiliki kemampuan, yakin bahwa
dirinya merupakan individu yang berguna atau pantas serta adanya
commit to user
Sheerer (dalam Cronbach,1962) menjelaskan ciri-ciri individu yang
memiliki penerimaan diri, sebagai berikut:
a. Keyakinan akan kemampuan untuk menghadapi persoalan.
b. Menganggap diri berharga sebagai seorang manusia dan sederajat
dengan orang lain.
c. Tidak menganggap dirinya aneh atau abnormal dan tidak ada harapan
ditolak orang lain.
d. Tidak malu dan sadar diri.
e. Memikul tanggung jawab terhadap perilakunya sendiri.
f. Mempunyai standar tersendiri dan termasuk pada saat menyesuaikan
dengan tekanan eksternal.
g. Menerima pujian atau celaan secara objektif.
h. Tidak menyalahkan diri atas keterbatasan yang dimilikinya ataupun
mengingkari kelebihannya.
i. Tidak mengingkari dan menolak perasaan yang ada di dalam dirinya
ataupun merasa bersalah atasnya.
Matthews (1993) menjelaskan beberapa karakteristik dan perilaku
yang tampak pada orang yang memiliki penerimaan diri antara lain:
a. Percaya secara penuh akan nilai dan prinsip dan adanya keinginan
untuk mempertahankannya di depan opini kelompok.
b. Dapat bertindak dalam keputusannya yang terbaik tanpa merasa
commit to user
c. Tidak menghabiskan waktu untuk menghawatirkan masa depan, masa
kini ataupun masa lalunya.
d. Memiliki kepercayaan diri akan kemampuannya untuk mengatasi
permasalahan bahkan saat menghadapi kegagalan dan kemunduran.
e. Merasa sejajar dengan orang lain sebagai individu, tidak superior
maupun inferior, tidak memandang perbedaan dalam kemampuan
khusus, latar belakang keluarga, ataupun sikap orang tersebut terhadap
diri.
f. Mempercayai bahwa diri adalah individu yang memiliki interest dan
berharga bagi orang lain sedikitnya bagi orang-orang yang dipilih
untuk berhubungan
g. Dapat menerima pujian tanpa merasa adanya kepalsuan ataupun
dengan rasa bersalah.
h. Tidak melawan usaha oranglain untuk menguasai atau mendominasi
dirinya.
i. Mampu menerima ide dan mengaku kepada oranglain akan apa yang
menjadi dorongan dan keinginannya, dimulai dari kemarahan sampai
rasa cinta, kesedian dan kebahagiaan, kearahan yang mendalam sampai
penerimaan yang mendalam.
j. Secara alami menikmati dirinya dalam berbagai aktivitas termasuk
pekerjaan, permainan, ekspresi kreatif diri persahabatan atau
commit to user
k. Sensitif akan kebutuhan oranglain, menerima kebebasan sosial, dan
secara khusus tidak bersenang-senang di atas pengorbanan oranglain.
Peneliti merujuk pada aspek-aspek penerimaan diri yang dikemukakan
oleh Supratiknya (1995) yang meliputi pembukaan diri, penerimaan terhadap
oranglain dan kesehatan psikologis.
3. Proses Terbentuknya Penerimaan Diri
Menurut Supratiknya (1995) penerimaan diri terbentuk melalui lima
tahap, yaitu Reflected Self Acceptance, Basic Self Acceptance, Conditional
Self Acceptance, Self Evaluation, Real Ideal Comparison seperti yang
dijelaskan dibawah ini :
a. Reflected Self Acceptance
Membuat kesimpulan tentang diri berdasarkan penangkapan individu
tentang bagaimana oranglain memandang diri kita. Jika orang lain
menyukai diri kita maka kita akan cenderung untuk menyukai diri kita
juga.
b. Basic Self Acceptance
Perasaan yakin bahwa dirinya tetap dicintai dan diakui oleh orang lain
walaupun dia tidak mencapai patokan yang diciptakannya oleh orang
lain terhadap dirinya.
c. Conditional Self Acceptance
Penerimaan diri yang berdasarkan pada seberapa baik seseorang
commit to user
d. Self Evaluation
Penilaian individu tentang seberapa positifnya berbagai atribut yang
dimilikinya dibandingkan dengan berbagai atribut yang dimiliki orang
lain yang sebaya dengan seseorang membandingkan keadaan dirinya
dengan keadaan orang lain yang sebaya dengannya.
e. Real Ideal Comparison
Derajat kesesuaian antara pandangan seseorang mengenai diri yang
sebenarnya dan diri yang diciptakan yang membentuk rasa berharga
terhadap dirinya sendiri.
Berdasarkan pendapat ahli di atas, dapat diketahui proses
terbentuknya penerimaan diri pada individu meliputi reflected self
acceptance, basic self acceptance, conditional self acceptance, self
evaluation dan real ideal comparison.
4. Manfaat Penerimaan Diri
Hurlock (1974) menjelaskan bahwa semakin baik seseorang dapat
menerima dirinya, maka akan semakin baik pula penyesuian diri dan
sosialnya. Kemudian Hurlock membagi manfaat penerimaan diri dalam dua
kategori yaitu :
a. Dalam penyesuaian diri
Individu yang memiliki penerimaan diri tidak berfikir sebagai
individu yang sempurna, tetapi mampu mengenali kelebihan dan
commit to user
menerima kritik, dibandingkan dengan orang yang kurang dapat
menerima dirinya. Dengan demikian orang yang memiliki
penerimaan diri dapat mengevaluasi dirinya secara realistik,
sehingga dapat menggunakan semua potensinya secara efektif hal
tersebut dikarenakan memiliki anggapan yang realistik terhadap
dirinya maka akan bersikap jujur dan tidak berpura-pura.
b. Dalam penyesuaian sosial
Penerimaan diri biasanya disertai dengan adanya penerimaan dari
orang lain. Individu yang memiliki penerimaan diri akan merasa
aman untuk memberikan perhatiannya pada orang lain, seperti
menunjukkan rasa empati. Dengan demikian individu yang memiliki
penerimaan diri dapat mengadakan penyesuaian sosial yang lebih
baik dibandingkan dengan orang yang merasa rendah diri atau
merasa tidak adekuat sehingga mereka itu cenderung untuk bersikap
berorientasi pada dirinya sendiri (self oriented).
D. Hubungan antara Kestabilan Emosi dan Penerimaan Diri dengan Kecemasan Komunikasi Interpersonal pada Remaja
Setiap masa perkembangan akan terjadi suatu perubahan, salah
satunya perubahan dalam kehidupan dan peran sosial, pada remaja. Remaja
lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah dan berkumpul dengan
teman sebaya ataupun anggota kelompok sosial yang lain dan mulai banyak
commit to user
partisipasi sosial pada masa remaja menyebabkan meningkatnya kebutuhan
komunikasi interpersonal pada remaja. Kendati komunikasi interpersonal
telah menjadi bagian yang hampir terjadi disetiap kehidupan manusia, masih
ada permasalahan atau hambatan dalam komunikasi interpersonal berupa
kecemasan komunikasi interpersonal.
Patterson dan Ritts (dalam Littlejohn dan Foss, 2005) menjelaskan
bahwa individu yang mengalami kecemasan komunikasi interpersonal
menunjukkan beberapa perubahan, secara fisiologis individu yang mengalami
kecemasan akan meningkat denyut jantungnya, muka memerah, dan lain-lain.
Perubahan dalam perilaku, antara lain memproteksi diri serta perubahan
dalam kognitif antara lain fokus pada diri sendiri dan gagasan yang negatif.
Menurut Littlejohn dan Foss (2005) kecemasan komunikasi
interpersonal yang tinggi dan tidak wajar akan menjadikan individu
merasakan ketidaknyamanan sehingga berupaya untuk selalu menghindari
situasi komunikasi yang akhirnya akan menghalangi individu untuk dapat
produktif dalam partisipasi dan kehidupan sosial.
Kecemasan komunikasi interpersonal pada remaja dimungkinkan
terkait dengan kestabilan emosi dan penerimaan diri yang dimiliki oleh
remaja. Remaja yang memiliki kestabilan emosi serta didukung dengan
penerimaan diri, cenderung tidak mudah mengalami kecemasan komunikasi
interpersonal. Menurut Goleman (dalam Irma, 2003) individu yang memiliki
commit to user
emosi dan impuls yang merusak dengan efektif, memiliki adaptabilitas,
dalam arti luwes dalam menangani perubahan dan tantangan, dan optimis.
Dengan kestabilan emosi individu akan bersikap tenang, sabar dan
tidak mudah mengalami nervous. Lebih lanjut dijelaskan oleh Locke (2003)
bahwa individu dengan kestabilan emosi yang tinggi akan merasa tenang, dan
lebih percaya diri untuk mencapai kesuksesan. Sebaliknya, individu yang
memiliki kestabilan emosi yang rendah dimungkinkan cenderung mudah
mengalami kecemasan komunikasi interpersonal.
Pernyataan tersebut didukung oleh pendapat Wiggins (dalam Cable
dan Judge, 2003) bahwa individu yang memiliki kestabilan emosi rendah
akan mudah merasa cemas, emosional, mudah malu, dan murung. Locke
(2003) juga menambahkan individu dengan kestabilan emosi yang rendah
individu akan mudah cemas, moody, lebih banyak ekspresi negatif dalam
afeksinya, atau bahkan malu dalam kerjasama.
Kecemasan komunikasi interpersonal pada umumnya juga terjadi
karena kekhawatiran individu pada penilaian oranglain terhadap
performancenya, termasuk ketika berkomunikasi interpersonal. Sesuai
dengan yang dikemukakan Naditch dan Morrisey (dalam Jersild 1978),
bahwa kecemasan yang dialami remaja muncul karena ketakutan atau
keragu-raguan terhadap penilaian atau evaluasi yang diberikan oleh oranglain pada
commit to user
Individu yang memiliki penerimaan diri akan percaya dan yakin pada
kemampuannya, sehingga terbebas dari rasa malu dan cemas terhadap
penilaian oranglain terhadap dirinya, sehingga tidak mudah mengalami
kecemasan komunikasi interpersonal. Pernyataan tersebut didukung oleh
pendapat Hjelle dan Zeigler (1992) yang menyatakan bahwa individu yang
memiliki penerimaan diri akan dapat menerima dirinya dengan kelemahan
dan keterbatasan yang ada, tidak terbebani oleh rasa bersalah, rasa malu, dan
kecemasan.
Johnson (1993) juga mengemukakan bahwa menerima diri sendiri
merupakan salah satu cara untuk dapat menanggulangi ketakutan dan
kecemasan pada individu. Dengan demikian remaja yang memiliki
penerimaan diri akan mampu menghargai diri sendiri, bersikap positif
terhadap diri sendiri, tidak menanggap kemampuannya jauh lebih rendah
dibanding oranglain serta terbebas dari perasaan bersalah dan kecemasan,
sehingga cenderung tidak mudah mengalami kecemasan komunikasi
interpersonal.
Sebaliknya remaja yang penerimaan dirinya rendah cenderung mudah
mengalami kecemasan yang ketika melakukan komunikasi interpersonal. Hal
ini sesuai dengan pendapat Crawford, dkk (2006) bahwa kecemasan
komunikasi berkaitan beberapa variabel, antara lain harga diri dan masalah
commit to user
Berdasarkan uraian diatas dapat diterangkan bahwa kecemasan
komunikasi interpersonal yang terjadi pada remaja dimungkinkan sangat
terkait dengan kestabilan emosi dan penerimaan diri. Remaja yang memiliki
kestabilan emosi yang tinggi didukung dengan penerimaan diri yang dimiliki,
akan lebih tenang dan tidak mudah mengalami kecemasan dalam
mengahadapi situasi seperti apapun termasuk situasi komunikasi
interpersonal karena remaja yang memiliki kestabilan emosi dan penerimaan
diri akan lebih merasa tenang, lebih percaya diri, mampu menerima
keterbatasan dan kelebihan yang dimiliki, dan dan tidak terbebani rasa malu
dan kecemasan. Dengan demikian remaja cenderung tidak mudah mengalami
kecemasan komunikasi interpersonal.
E. Kerangka Pemikiran
(-)
(-)
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Kestabilan Emosi
Remaja Kecemasan Komunikasi Interpersonal
[image:55.595.138.503.237.589.2]commit to user
F. Hipotesis
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, hipotesis yang
diajukan adalah:
1. Terdapat hubungan antara kestabilan emosi dan penerimaan diri dengan
kecemasan komunikasi interpersonal pada remaja.
2. Terdapat hubungan negatif antara kestabilan emosi dengan kecemasan
komunikasi interpersonal pada remaja.
3. Terdapat hubungan negatif antara penerimaan diri dengan kecemasan