14
BAB II
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
2.1 Tinjauan Pustaka
Iktikad baik atau te goeder trouw atau good faith sangat erat kaitanya dengan kepatutan atau keadilan. Ukuran iktikad baik ini harus ada pada para pihak baik itu kreditur maupun debitur. Menurut yurisprudensi (Arres HR 9 pebruari
1923), unsur-unsur iktikad baik dan kepatutan itu ada bila tidak melakukan segala sesuatu secara tidak masuk akal. Dalam melakukan setiap perjanjian hukum membebankan kepada masing-masing pihak kewajiban untuk melaksanakan
perjanjian dengan itkad baik1.
Dalam pendapat di atas iktikad baik merupakan kunci dalam suatu kontrak atau perjanjian. Melaksanakan perjanjian harus dilakukan dengan iktikad baik
merupakan kewajiban dari para pihak maka dari itu asas iktikad baik merupakan kunci dari kontrak atau perjajian. Dengan kata lain jika salah satu pihak tidak
melaksanakan perjanjian dengan iktikad baik maka pihak tersebut dapat di anggap melakukan wanprestasi.
15 Dalam ketentuan Pasal 1338 Ayat (3) berbunyi2 : “perjanjian harus
dilakukan dengan iktikad baik”. Pasal itu mengandung nilai hukum bahwa dalam
perjanjian, iktikad baik merupakan hal yang penting. Karena Pasal 1338 Ayat (3)
sudah jelas dirumuskan bahwa melakukan perjanjian para pihak diwajibkan melakukannya dengan iktikad baik.
Di negara-negara yang menganut civil law sistem, seperti Perancis, Negeri Belanda, dan Jerman, pengadilan memberlakukan asas iktikad baik bukan hanya dalam tahap penandatanganan dan pelaksanaan kontrak. Tetapi, juga dalam tahap
perundingan (the duty of good faith in negotiation). Sehingga, janji-janji pra kontrak mempunyai akibat hukum dan dapat dituntut ganti rugi jika-janji tersebut
diingkari3. Janji-janji seperti ini, menurut Jeferson Kameo, bersisi satu, unilateral dan mengikat, nudum pactum.
Akan tetapi, beberapa putusan pengadilan di Indonesia tidak menerapkan
asas iktikad baik dalam proses negosiasi. Karena menurut teori klasik, jika suatu perjanjian belum memenuhi syarat hal tertentu, maka belum ada perjanjian. Belum lahir suatu perikatan yang mempunyai hukum bagi para pihak. Akibatnya,
pihak yang dirugikan karena percaya pada janji-janji pihak lawanya tidak terlindungi dan tidak dapat menuntut ganti rugi.
Di negara yang menganut sistem common law, seperti di Amerika Serikat, pengadilan menerapkan doktrin promissory estoppel yang berasal dari tradisi civil law yaitu promise seperti dikemukakan Kameo, di atas. memberikan perlindungan
2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUHPer).
16 hukum kepada pihak yang dirugikan karena percaya dan menaruh pengharapan
(reasonably relied) terhadap janji-janji yang diberikan lawanya dalam tahap pra kontrak (preliminary negotiation).
Kontrak merupakan serangkaian kegiatan yang meninbulkan hubungan hukum. Prespektif kontrak sebagai rangkaian kegiatan terdapat beberapa fase dalam kontrak yang meliputi fase pra-kontraktual, fase kontraktual dan fase
pasca-kontraktual. Asas iktikad baik menaungi semua tahap yang ada dalam kontrak.
Iktikad baik (good faith) dalam pelaksanaan kontrak merupakan lembaga hukum (rechtsfiguur) yang dipakai juga dalam hukum Romawi yang kemudian berlaku pula dalam civil law. Asas ini diterima pula hukum kontrak di negara-negara yang menganut common law, seperti Amerika Serikat, Australia, dan Kanada. Bahkan asas ini telah diterima pula oleh hukum internasional seperti Artikel 1.7 UNIDROIT dan Artikel 1.7 Convention Sales of Goods. Asas ini ditempatkan sebagai asas yang paling penting (super eminent principle) dalam kontrak. Asas iktikad baik menjadi suatu ketentuan fundamental dalam hukum
kontrak, dan mengikat para pihak dalam kontrak4.
Walaupun iktikad baik dalam pelaksanaan kontrak telah menjadi asas yang paling penting dalam kontrak, namun masih meninggalkan sejumlah kontroversi
atau permasalahan. Sekurang-kurangnya ada tiga persoalan yang berkaitan dengan iktikad baik tersebut. Pertama, ada pandangan bahwa pengertian iktikad tidak bersifat universal. Kedua, tolok ukur (legal test) yang digunakan hakim untuk menilai ada tidaknya iktikad baik dalam kontrak. Ketiga, pemahaman dan sikap
17 pengadilan di Indonesia berkaitan dengan fungsi iktikad baik dalam pelaksanaan
kontrak.
Iktikad baik tidak hanya mengacu kepada iktikad baik para pihak, tetapi
harus pula mengacu kepada nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Sebab, iktikad baik merupakan bagian dari masyarakat. Iktikad baik ini akhirnya mencerminkan standar keadilan atau kepatutan masyarakat. Dengan makna yang
demikian itu menjadikan standar iktikad baik sebagai universal social force yang mengatur hubungan antar sosial mereka, yakni setiap warganegara harus memiliki
kewajiban untuk bertindak dengan iktikad baik terhadap semua warganegara. Ini merupakan konsepsi objektif, yang secara universal diterapkan dalam semua transaksi. Hal ini sesuai dengan postulat Roscoe Pound yang menyatakan : “men must be assume that those with whom they deal in general intercourse of society will act in good faith and will carry out their undertaking according to the exprectation of the community”5.
Prinsip iktikad baik dalam pelaksanaan kontrak didasarkan pada ide bahwa para pihak dalam suatu hubungan hukum harus memiliki sikap yang dikaitkan
dengan karakter reciprocal trust and consideration sesuai dengan tujuan norma hukum, unsur moral dan postulat masyarakat masuk ke dalam konsep iktikad baik
sebagai basis bagi suatu tindakan yang mensyaratkan adanya penghormatan tujuan hukum6.
5ibid,. hal. 127.
18
Civil Code Perancis merupakan kitab undang-undang pada era modern yang pertama kali mengatur iktikad baik dalam pelaksanaan kontrak. Pasal 1134 ayat (3) Civil Code Perancis menyatakan bahwa kontrak harus dilaksanakan dengan iktikad baik (contract doivent etre executes de bonna foi). Isi pasal ini mengacu kepada konteks iktikad baik (bonna foi) sebagai suatu sikap di mana para pihak diharapkan melaksanakan kontrak. Dengan ketentuan ini, hukum Perancis
menolak pembedaan antara stricti iuris dan negotia bona fides dalam hukum Romawi. Dengan penolakan yang demikian, maka Pasal 1135 Civil Codes Prancis mewajibkan keterikatan para pihak untuk tidaknya hanya terikat pada apa yang secara tegas mereka perjanjikan, tetapi juga kepada kepatutan (equite), kebiasaan, atau hukum yang memberikan suatu kewajiban menurut hakikat (nature) kontrak mereka itu7.
Kedua Pasal itu diadopsi oleh BW (lama) Belanda. Pasal 1374 Ayat (3) BW
(lama) Belanda (Pasal 1338 KUHper) menyatakan bahwa kontrak harus dilaksanakan dengan iktikad baik (zij moten te goeder trouw worden ten uitvoer verklaart). Kewajiban ini kemudian dilanjutkan Pasal 1375 (Pasal 1339 KUHPer) yang menyatakan bahwa kontrak tidak hanya mengikat terhadap apa yang secara tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga kepada segala sesuatu yang menurut
sifat kontrak, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau Undang-Undang. Berkaitan dengan kebiasaan, Pasal 1383 BW (lama) Belanda (Pasal 1374 KUHPer) menyatakan bahwa hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya
diperjanjikan dianggap secara diam-diam dimasukkan ke dalam kontrak meskipun tidak secara tegas diperjanjikan.
19 Dari ketentuan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa urutan kekuatan
mengikatnya kontrak adalah sebagai berikut; isi kontrak itu sendiri; kepatutan atau iktikad baik; kebiasaan; dan Undang-Undang.
Dalam BGB8, permasalahan perilaku kontraktual yang diaharapkan dari para pihak dalam pelaksanaan kontrak terdapat dalam Pasal 242 BGB. Pasal tersebut menenentukan : “debitur terikat oleh kegiatan yang berpengaruh pada
syarat-syarat dari iktikad baik, kebiasaan menjadi kewajiban yang dipertimbangkan”.
Di sini terlihat bahwa untuk menyebut iktikad baik dalam kontrak, BGB menggunakan terminologi lain, yakni Treu und Glauben. Istilah bona fide
digantikan Treu und Glauben, sehingga memberikan ekspresi yang lebih Jermanik. Penggantian istilah tersebut didasarkan pada alasan ketika BGB dirancang dihubungkan dengan great respect for then prevailing nationalistic feeling, which led to the abandonment of expression of Roman origin9.
Sumber utama legislasi yang berkaitan dengan iktikad baik dalam pelaksanaan kontrak dalam hukum kontrak Amerika Serikat ditemukan dalam
UCC10. UCC ini telah diterima atau diadopsi oleh hukum (legislasi) negara-negara bagian, dan diterima pula oleh pengadilan. Selain terdapat dalam UCC,
pengaturan iktikad baik tersebut ditemukan dalam the Restatement of Contract (second). Khusus untuk negara bagian Louisiana, legislasi kewajiban iktikad baik
8 BGB yang dimaksud adalah hukum privat Jerman.
9ibid,. hal. 134.
20 dalam pelaksanaan kontrak yang terdapat dalam the Louisiana Civil Codes. Pengaturan kewajiban iktikad baik dalam pelaksanaan kontrak dalam Louisiana
Civil Codes tersebut mengikuti isi Pasal 1134 Ayat (3) dan Pasal 1135 Civil Codes Perancis11.
Ketentuan-ketentuan di atas mewajibkan adanya iktikad baik sebagai suatu perilaku kontraktual yang diharapkan para pihak dalam pelaksanaan kontrak.
Walaupun ada kewajiban umum iktikad baik, tetapi semua ketentuan tersebut tidak menyebutkan atau menentukan standar atau tes apa yang harus digunakan
untuk menilai iktikad baik tersebut. Sehingga penggunaan standart tersebut lebih banyak didasarkan kepada sikap pengadilan dan doktrin-doktrin yang
dikembangkan para pakar hukum.
Standar atau tes bagi iktikad baik dalam pelaksanaan kontrak tentunya adalah standar objektif. Dalam hukum kontrak, pengertian bertindak sesuai
iktikad baik mengacu kepada ketaatan akan reasonable commercial standard of fair dealing, yang menurut legislator Belanda disebut bertindak sesuai dengan
redelijkheid en billijkheid (reasonableness and equity). Ini benar-benar standar objektif. Jika satu pihak tidak boleh bertindak dengan cara tidak masuk akal dan tidak patut will not be a good defense to say that honestly believed his conduct to be reasonable and inequitable.
Iktikad baik dalam pelaksanaan kontrak mengacu kepada iktikad baik yang objektif. Standar yang digunakan dalam iktikad baik objektif adalah standar
objektif yang mengacu kepada suatu norma yang objektif. Perilaku para pihak
21 dalam kontrak harus diuji atas dasar norma-norma objektif yang tidak tertulis
yang berkembang di dalam masyarakat. Ketentuan iktikad baik menunjuk kepada norma-norma tidak tertulis yang sudah menjadi norma hukum sebagai suatu
sumber hukum tersendiri. Norma tersebut dikatakan objektif karena tingkah laku tidak didasarkan pada anggapan para pihak sendiri, tetapi tingkah laku tersebut
harus sesuai dengan anggapan umum tentang iktikad baik tersebut12.
Dalam perkara NV Jaya Autombiel Import Maatschappij v. Wong See Hwa, Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya dalam putusanya No. 262/1951 Pdt, 31 Juli
1952, menafsirkan iktikad dalam konteks Pasal 1338 Ayat (3) KUHPer sebagai kejujuran. Perkara ini berkaitan dengan kapan terjadinya jual-beli yang berkaitan
dengan terjadinya perubahan harga yang berimplikasi terhadap kemungkinan penilaian kembali (herwaardering) harga barang. Apakah terjadinya pada tanggal 13 Maret 1950 seperti yang dikemukan tergugat-terbanding (Wong See Hwa
sebagai pembeli) pada waktu ia menyetor uang sebesar sebelas ribu rupiah ataukah seperti yang dikatakan penggugat (NV Jaya Autombiel Import Maatschappij sebagai penjual) pada saat mobil itu diserahkan pada 13 Mei 1950. Berkaitan dengan iktikad baik dalam pelaksanaan kontrak, Pengadilan Tinggi Surabaya, dalam pertimbanganya menyatakan;
“kedua belah pihak tersebut adalah tertunduk akan hukum perdata Barat,
sebagai teratur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Sipil (burgerlijk wetboek, yang lazim disingkat BW), sehingga menurut hukum itu lah harus ditetapkan
bilamanakah perjanjian jual-beli itu telah sempurna, yaitu selain benda, juga tentang harga benda tersebut telah ada persetujuan kehendak antara kedua belah
22 pihak, sehingga menurut Pasal 1338 Ayat (1) BW merupakan Undang-Undang
bagi kedua belah pihak itu harus secara jujur (te goeder trouw) dilaksanakan menurut Ayat (3) dari Pasal 1338 BW”.
Dalam perkara ini hakim tinggi, menyamakan iktikad baik dalam konteks Pasal 1338 Ayat (3) KUHPer dengan kejujuran. Dalam KUHPer memang tidak dijumpai ketentuan yang menjelaskan lebih lanjut makna iktikad baik tersebut.
Memang jika dilacak kembali pada makna bona fides dalam hukum Romawi berarti kontrak harus dilaksanakan secara jujur dan para pihak harus memenuhi
janji yang mereka buat13.
Dalam yurispudensi Indonesia ditemukan fakta yang menunjukkan adanya
tarik-menarik antara asas penting dalam kontrak. Tarik menarik antara asas pacta sunt servanda dengan asas iktikad baik. Pada mulanya, pengadilan memegang teguh asas pacta sunt servanda, tetapi dengan berkembangnya hukum kontak asas
pacta sunt servanda mulai tergeser dengan asas kepatutan atau iktikad baik. Iktikad baik kemudian digunakan hakim untuk membatasi atau meniadakan kewajiban kontraktual apabila ternyata isi dan pelakasanaan perjanjian
bertentangan dengan keadilan14.
Subekti berpendapat jika pelaksanaan perjanjian menurut hurufnya, justru
akan menimbulkan ketidakadilan, maka hakim mempunyai wewenang untuk menyimpang dari isi perjanjian menurut hurufnya. Dengan demikina jika perjanjian menimbulkan ketidakseimbangan atau melanggar rasa keadilan, maka
13ibid,. hal. 138.
23 hakim dapat mengadakan penyesuaian terhadap hak dan kewajiban yang
tercantum dalam kontrak tersebut15.
Dari pendapat di atas, penulis berpendapat bahwa dalam penyelesaian
perkara kontrak hakim dapat melakukan campur tangan jika suatu perjanjian atau kontrak tidak sesuai dengan nilai kerpatutan atau iktikad baik. Jadi, tidak salah jika masing-masing hakim mempunyai penilaian tentang kepatutan atau iktikad
baik dikarenakan nilai kepatutan merupakan bentuk keadilan yang hidup di dalam masyarakat.
Oleh karena lembaga kepatutan dan keadilan merupakan ketertiban umum (van openbare orde), maka apabila kepatutan dan keadilan tidak ada di dalam perjanjian yang bersangkutan, maka pengadilan dapat mengubah isi perjanjian itu di luar apa yang secara tegas telah diperjanjikan. Isi perjanjian tidak hanya ditentukan oleh rangkaian kata-kata yang disusun oleh kedua belah pihak, tetapi
ditentukan pula kepatutan dan keadilan16.
Mengingat perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik, berarti perjanjian harus dilaksanakan dengan patut dan adil (naar redelijkheid en billijkheid). Dengan demikian pengadilan harus mempertimbangkan apakah yang dikemukakan kepadanya ada kepatutan ataukah tidak. Hal ini menjadi penting
karena nilai kepatutan atau iktikad baik merupakan inti dari perjanjian atau
15 Suharnoko, Op.Cip,. hal. 4.
24 kontrak17. Bagaimana iktikad baik diterapkan hakim dalam Putusan yang dianailis
dalam penelitian ini, dikemukakan dalam sub bab analisa, pada Bab III.
2.2 Undang-undang Telekomunikasi
Sewa-Menyewa Telekomunikasi konvensional mengandung 4 unsur, yaitu: merupakan suatu perjanjian, terdapat kenikmatan suatu barang, harga sewa, dan
jangka waktu sewa. Nampaknya unsur-unsur perjanjian sewa-menyewa konvensional tersebut memiliki kesamaan dengan unsur-unsur dalam perjanjian
sewa-menyewa jaringan telekomunikasi. Dari hasil penelitian terhadap satuan amatan, ditemukan unsur-unsur dalam hakikat hubungan hukum sewamenyewa jaringan telekomunikasi tersebut, yaitu: merupakan suatu perjanjian, jaringan
telekomunikasi, tarif sewa jaringan, dan jangka waktu sewa jaringan18.
Unsur merupakan suatu perjanjian dalam sewa-menyewa jaringan telekomunikasi dapat diketahui dari rumusan Pasal 9 Ayat (2) UU
Telekomunikasi. Sementara itu pengertian perjanjian menurut Subekti19 merupakan peristiwa/kejadian yang berupa pengikatan diri seseorang pada suatu
kewajiban.
M. Yahya Harahap juga memberikan pengertian perjanjian, yang sama dengan Subekti yakni, peristiwa hukum dalam bidang kekayaan/harta benda,
17Ibid, hal. 139.
18 Skripsi Caesar Fortunus Wauran. S.H., yang berjudul ”Hubungan Hukum antara Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi dan Penyelenggara Jasa Telekomunikasi adalah Sewa-Menyewa”. Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga Tahun 2013. Hal. 48.
25 dimana adanya suatu hubungan hak-kewajiban (prestasi-kontra prestasi) bagi
pihak-pihak yang saling mengikatkan diri antara satu dengan lainnya.
Selanjutnya Wirjono Prodjodikoro perjanjian berarti adanya hak untuk
menuntut dari pelaksanaan suatu perjanjian. Unsur keharusan dimaksud adalah untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang bersifat khusus. Bersifat khusus diartikan sebagai suatu hal yang diperjanjikan (objek perjanjian) dan
hanya mengikat para pihak dalam perjanjian20.
Setelah pengertian-pengertian perjanjian menurut KUH Perdata kaitan
dengan definisi sewa-menyewa seperti di kemukakan para penulis hukum, pada akhirnya Penulis mencoba untuk memberikan definisi sendiri dari perjanjian.
Menurut Penulis perjanjian adalah suatu peristiwa perbuatan hukum dimana pihak-pihak saling mengikatkan diri untuk melakukan suatu keharusan yang
disertai hak untuk menuntut dalam pemenuhannya.
Perjanjian sewa-menyewa konvensional dan perjanjian sewa-menyewa jaringan telekomunikasi merupakan suatu perjanjian, yang dimana keduannya merupakan suatu peristiwa perbuatan hukum dimana pihak-pihak saling
mengikatkan diri untuk melakukan suatu keharusan yang disertai hak untuk menuntut dalam pemenuhannya. Dalam hal perjanjian sewa-menyewa jaringan
telekomunikasi, keharusan disini adalah keharusan untuk memberikan kenikmatan menggunakan jaringan telekomunikasi dan keharusan untuk melakukan suatu pembayaran tarif sewa jaringan. Pasal 9 Ayat (2) UU Telekomunikasi yang telah
memberikan garis merah bahwa pihak-pihak dalam perjanjian sewa-menyewa
26 jaringan telekomunikasi adalah penyelenggara jaringan telekomunikasi sebagai
pihak yang menyewakan, dan penyelenggara jasa telekomunikasi sebagai pihak penyewa. Sehingga dapat diketahui keharusan untuk memberikan kenikmatan
menggunakan jaringan telekomunikasi dipikul oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi, yang sebagaimana merupakan kewajiban utamanya sebagai pihak yang menyewakan. Sementara keharusan untuk melakukan suatu pembayaran tarif
sewa jaringan merupakan kewajiban penyelenggara jasa telekomunikasi, yang dimana merupakan kewajiban utamanya sebagai pihak penyewa. Hal ini telah
membuktikan bahwa perjanjian sewa-menyewa jaringan telekomunikasi adalah perjanjian dengan asas timbal-balik, yang dimaksud kedua belah pihaknya
memberikan prestasi dan mendapatkan kontra prestasi21.
Kenikmatan suatu barang merupakan salah satu unsur pokok dalam perjanjian sewa-menyewa konvensional, yang dimana kenikmatan tersebut telah
menandakan tidak adanya pengalihan hak milik dari suatu barang, jadi dimungkinkan bahwa pihak yang menyewakan bukanlah pemegang hak milik dari obyek sewa. Namun, menurut Subekti hal tersebut hanya dapat dibenarkan apabila
sudah diperjanjikan sebelumnya, karena menurut KUH Perdata Pasal 1559 yang menyatakan bahwa:
Si penyewa, jika kepadanya tidak telah diperijinkan, tidak diperbolehkan mengulang sewakan barang, yang disewanya, maupun melepaskan sewanya kepada orang lain, atas ancaman pembatalan perjanjian sewa dan penggantian
27
biaya, rugi, dan bunga, sedangkan pihak yang menyewakan setelah pembatalan itu, tidak diwajibkan mentaati perjanjiannya ulang sewa22.
Pencantuman kata tidak telah di sini berarti apabila tidak diperjanjikan
sebelumnya, maka si penyewa tidak dijinkan untuk mengulang sewakan barang yang disewanya. Tetapi, apabila sudah diperjanjikan sebelumnya, maka si penyewa berhak untuk mengulang sewakan barang yang berupa kenikmatan hak
miliknya tersebut.
Dalam bidang telekomunikasi, khususnya mengenai hubungan hukum
sewa-menyewa jaringan telekomunikasi, yang dimaksud dengan kenikmatan suatu barang adalah kenikmatan untuk menggunakan jaringan telekomunikasi. Sejalan
dengan hubungan hukum sewa-menyewa konvensional, hubungan hukum sewamenyewa jaringan telekomunikasi juga memperbolehkan pihak yang menyewakan bukanlah pemegang hak milik barang sewaan, hal ini secara tersirat
diungkapkan oleh Pasal 6 Ayat (1) PP No. 52 Tahun 2000, yang mengatakan bahwa: Dalam penyelenggaraan jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf (a), penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib
membangun dan atau menyediakan jaringan telekomunikasi.
Jika dilihat dari rumusan ketentuan Pasal 6 Ayat (1) PP No. 52 tahun 2000
yang memberikan kewajiban kepada penyelenggara jaringan telekomunikasi untuk membangun dan/atau menyediakan jaringan telekomunikasi, dapat ditarik pemahaman bahwa pihak yang menyewakan dalam hubungan hukum
sewamenyewa jaringan telekomunikasi dimungkinkan bukanlah pemegang hak
28 milik dari jaringan telekomunikasi, akan tetapi dimungkinkan hanyalah pemegang
hak untuk menggunakan jaringan telekomunikasi23.
Hal ini diketahui dari penggunaan kata menyediakan dalam rumusan Pasal 6
Ayat (1) PP No. 52 tahun 2000 yang memberikan kebebasan pihak penyelenggara jaringan telekomunikasi dalam menjalankan penyelenggaran jaringan telekomunikasi. Kata menyediakan di sini dapat diartikan menyediakan dengan
membangun dan/atau membuat jaringan telekomunikasi sendiri, atau menyediakan dengan menyewa jaringan telekomunikasi dari penyelenggara
jaringan telekomunikasi lainnya.
Lain halnya dengan unsur tarif sewa jaringan, yang telah ditemukan penulis
dalam rumusan Pasal 27 Ayat (1) UU Telekomunikasi jo Pasal 35 Ayat (1) PP No. 52 tahun 2000 yang sebagaimana secara eksplisit telah menginformasikan bahwa tarif sewa jaringan merupakan suatu bentuk pembayaran suatu harga dalam
perjanjian sewa-menyewa jaringan telekomunikasi24.
Pembayaran harga sewa adalah suatu keharusan yang dilakukan oleh pihak penyewa, dalam perjanjian sewa-menyewa konvensional harga sewa merupakan
hasil kesepakatan antara kedua belah pihak. Harga sewa tersebut merupakan unsur yang wajib ada dalam suatu perjanjian sewa-menyewa konvensional, harga sewa
disini dapat berupa uang ataupun jasa. Sedangkan dalam hubungan hukum sewamenyewa jaringan telekomunikasi adanya unsur harga sewa ditandai dengan adanya tarif sewa jaringan. Tarif sewa jaringan telekomunikasi tersebut bukanlah
23Ibid, hal. 53.
29 hasil kesepakan antara kedua belah pihak, akan tetapi telah ditetapkan secara
khusus oleh Keputusan Menteri. Hal ini diketahui dari Pasal 37 Ayat (3) PP No. 52 tahun 2000, yang mengamanatkan bahwa: “Ketentuan mengenai formula tarif
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.”
Selain harga sewa jaringan telah ditentukan oleh Keputusan Menteri Pasal 2 PP No.7 Tahun 2009 telah mewajibkan tarif sewa jaringan yang harus berupa
uang dalam bentuk satuan rupiah. Sementara cara perhitungannya sendiri diketahui melalui lampiran 1 tentang Panduan Perhitungan Tarif Sewa Jaringan
dalam Peraturan Menteri No. 03/PER/M.KOMINFO/1/2007. Hal ini menegaskan bahwa penentuan harga atau rent dalam hubungan hukum sewa-menyewa
telekomunikasi tidak dibiarkan kepada para pihak, namun ditentukan oleh Pemerintah. Dengan demikian, Penulis dapat memastikan satu keunikan dalam
hubungan hukum sewa-menyewa telekomunikasi, yaitu bersifat publik25.
Dalam hubungan hukum sewa-menyewa konvensional ataupun hubungan hukum sewa-menyewa jaringan telekomunikasi tidak memberikan pengaturan secara khusus mengenai jangka waktu sewa. Jangka waktu sewa tersebut dirasa
penting untuk mencegah hal-hal yang tidak diharapkan timbul dikemudian hari dan mencegah adanya multi tafsir di sebuah hubungan hukum sewa-menyewa.
Nampaknya apabila diperhatikan dengan seksama, maka soal mengenai jangka waktu sewa dalam hubungan hukum sewa-menyewa dimaksud, diserahkan kepada pihak-pihak dalam hubungan hukum dimaksud dalam rangka kepastian
dan kenyamanan dalam transaksi mereka tersebut.
30 Dapat dipastikan baik hakikat hubungan hukum sewa-menyewa pada
umumnya (konvensional), ataupun hakikat hubungan hukum sewa-menyewa jaringan telekomunikasi adalah suatu kontrak (a contract), yang dimana adanya pihak-pihak yang melahirkan suatu hubungan hukum untuk melakukan suatu unsur “keharusan”, dan disertai dengan hak untuk menuntut dilaksanakannya
unsur keharusan tersebut. Hubungan hukum tersebut adalah sebuah perjanjian, hal
ini diketahui dari pengertian sewa-menyewa menurut Pasal 1548 KUH Perdata yang telah menyebutkan secara eksplisit bahwa sewa-menyewa merupakan suatu
perjanjian, dimana struktur perjanjian tersebut meliputi pihak-pihak, bentuk hubungan hukum, lahirnya hubungan hukum, hak dan kewajiban para pihak,
berakhirnya hubungan hukum, dan penyelesaian sengketa. Sehingga dapat diketahui bahwa struktur hubungan hukum sewa-menyewa menurut KUH Perdata dan struktur hubungan hukum sewa-menyewa jaringan telekomunikasi sesuai
dengan struktur suatu kontrak (a contract).
Pihak-pihak dalam perjanjian sewa-menyewa menurut KUH Perdata adalah pihak yang menyewakan dan pihak penyewa. Hal ini juga dianut dalam pihak
sewa-menyewa jaringan telekomunikasi, dimana pihak yang menyewakan adalah penyelenggara jaringan telekomunikasi, sedangkan pihak penyewa adalah
penyelenggara jasa telekomunikasi. Hal ini secara tersirat telah diungkapkan oleh UU Telekomunikasi dalam Pasal 9 ayat (2). Namun, yang membedakan pihak dalam sewa-menyewa menurut KUH Perdata dapat berupa natural person ataupun
31 berbentuk badan usaha yang bergerak dalam bidang penyelenggaraan
telekomunikasi, yang dapat berupa BUMN, BUMD, BUMS, atau koperasi26.
Mengingat tunduknya perjanjian sewa-menyewa menurut KUH Perdata
pada asas konsensualitas, sehingga dapat disimpulkan bahwa hubungan hukum sewa-menyewa mulai berlaku mengikat sejak detik tercapainya kesepakatan mengenai unsur-unsur pokoknya, yaitu kenikmatan dari suatu barang, harga sewa,
dan jangka waktu sewa. Sama halnya dengan hubungan hukum sewa-menyewa jaringan telekomunikasi yang juga tunduk pada asas konsensualitas, akan tetapi
perjanjian yang terjadi antara penyelenggara jaringan telekomunikasi dan penyelenggara jasa telekomunikasi sejatinya dilahirkan oleh kehendak UU
Telekomunikasi. Pada dasarnya kesepakatan dalam hubungan hukum sewamenyewa jaringan tersebut merupakan kesepakatan semu. Kesepakatan tersebut hanyalah sebuah kesepakatan yang berkaitan dengan asas kebebasan
berkontrak (freedom of contract), bukan mengenai unsur-unsur pokok dalam sewa-menyewa jaringan telekomunikasi27.
Hal itu dapat dibuktikan dari: dalam hubungan hukum sewa-menyewa jaringan telekomunikasi pihak yang menyewakan pasti merupakan penyelenggara jaringan telekomunikasi, dan pihak penyewa pasti merupakan penyelenggara jasa
telekomunikasi, hal ini secara tersurat telah diungkapkan oleh Pasal 9 Ayat (2) UU Telekomunikasi. Obyek dalam hubungan hukum yang terjadi antara penyelenggara jaringan telekomunikasi dan penyelenggara jasa telekomunikasi,
juga sudah dipastikan oleh Pasal 9 Ayat (2) UU Telekomunikasi, yaitu jaringan
26Ibid, hal. 56.
32 telekomunikasi. Sementara mengenai harga sewa jaringan telekomunikasi sendiri
ditentukan oleh Keputusan Menteri, yang sebagaimana diamanatkan oleh PP No. 52 tahun 2000.
Dalam perjanjian sewa-menyewa menurut KUH Perdata ataupun perjanjian sewa-menyewa jaringan dapat berbentuk tertulis ataupun lisan, dan dapat berupa akta otentik ataupun akta dibawah tangan. Namun, menurut pandangan Penulis
sebaiknya hubungan hukum sewa-menyewa jaringan tersebut dibuat secara tertulis dan dengan akta otentik. Hal ini dikarenakan mengingat penyelenggaraan
telekomunikasi merupakan bisnis yang modalnya sangat besar, dan mencangkup hajat orang banyak, sehingga apabila dibuat secara tertulis dan dengan akta
otentik akan lebih menjamin kepastian hukum bagi para pihak yang mengikatkan diri, dan dapat digunakan sebagai alat bukti yang kuat apabila terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan kemudian hari28.
Terdapat dualisme pendapat mengenai obyek dalam hubungan sewamenyewa konvensional. Pendapat yang pertama datang dari Hoffman, De purger, dan Christina T. Budhayati S.H., M.H. yang berpendapat obyek dalam
perjanjian sewa-menyewa menurut KUH Perdata haruslah barang berwujud. Berbanding terbalik dengan pendapat Asser, Van Brakel, dan Vollmar yang
menyatakan bahwa barang tidak berwujud juga bisa menjadi obyek dalam suatu perjanjian sewa-menyewa menurut KUH Perdata.
Dalam perjanjian sewa-menyewa jaringan telekomunikasi obyeknya adalah jaringan telekomunikasi, yang diartikan sebagai rangkaian perangkat
33 telekomunikasi dan kelengkapannya yang digunakan dalam bertelekomunikasi.
Sejatinya jaringan telekomunikasi tersebut merupakan benda tidak berwujud, hal ini jelas membuktikan bahwa UU Telekomunikasi sejalan dengan pendapat Asser,
Van Brakel, dan Vollmar29.
Memberikan kenikmatan suatu barang adalah kewajiban utama pihak yang menyewakan dalam hubungan hukum sewa-menyewa menurut KUH Perdata dan
hubungan hukum sewa-menyewa jaringan telekomunikasi. Kewajiban lainnya dalam hubungan hukum sewa-menyewa menurut KUH Perdata antara lain untuk
memelihara barang yang disewakan dan menjaga ketentraman pihak penyewa dalam menggunakan barang yang disewakan. Sedangkan kewajiban lainnya
dalam hubungan hukum sewa-menyewa jaringan telekomunikasi juga mencakup mengenai kewajiban penyelenggara jaringan telekomunikasi kepada masyarakat, kewajiban lainnya tersebut, yaitu: wajib membangun dan/ atau menyediakan
jaringan telekomunikasi, wajib menjamin terselenggaranya telekomunikasi melalui jaringan yang diselenggarakannya, wajib memenuhi setiap permohonan dari calon pelanggan jaringan telekomunikasi yang telah memenuhi syarat-syarat
berlangganan jaringan telekomunikasi sepanjang jaringan telekomunikasi masih ada, wajib memberikan kontribusi dalam pelayanan universal, wajib menyediakan
pelayanan tekomunikasi berdasarkan prinsip perlakukan yang sama dan pelayanan yang sebaik-baiknya, peningkatan efisiensi dalam penyelenggaraan telekomunikasi, dan pemenuhan standart pelayanan serta standart penyediaan
34 sarana dan prasarana, dan wajib menjamin kebebasan penggunanya memilih
jaringan telekomunikasi lain untuk pemenuhan kebutuhan telekomunikasi30.
Hak utama yang diterima oleh pihak yang menyewakan dalam hubungan
hukum sewa-menyewa menurut KUH Perdata dan dalam hubungan hukum sewamenyewa jaringan telekomunikasi adalah hak untuk menerima pembayaran harga sewa. Dalam hubungan hukum sewa-menyewa jaringan telekomunikasi
pihak penyelenggara jaringan telekomunikasi diberikan hak khusus dalam penyelenggaraan jaringan telekomunikasi, yaitu dapat memanfaatkan atau
melintasi sungai, danau, atau laut baik permukaan maupun dasar, dan tanah dan/atau bangunan milik perseorangan dan/atau milik Negara.
Pihak penyewa, baik dalam hubungan hukum sewa-menyewa menurut KUH Perdata ataupun hubungan hukum sewa-menyewa jaringan telekomunikasi diberikan kewajiban utama untuk melakukan suatu pembayaran31. Kewajiban
lainnya yang diberikan kepada pihak penyewa dalam hubungan hukum sewamenyewa menurut KUH Perdata, yaitu: memakai barang yang disewa sebagai bapak rumah yang baik, sesuai dengan tujuan yang diberikan pada barang
itu menurut perjanjian sewanya, atau jika tidak ada perjanjian mengenai itu, menurut tujuan yang dipersangkakan berhubungan dengan keadaan, menanggung
segala kerusakan yang terjadi selama sewa-menyewa, kecuali jika penyewa dapat membuktikan bahwa kerusakan tersebut terjadi bukan karena kesalahan si penyewa, dan mengadakan perbaikan-perbaikan kecil dan sehari-hari sesuai
dengan isi perjanjian sewa-menyewa dan adat kebiasaan setempat (khusus untuk
30Ibid, hal. 60.
35 sewa rumah dan perabot rumah). Sedangkan dalam hubungan hukum
sewamenyewa jaringan telekomunikasi kewajiban-kewajiban lainnya yang diberikan juga mencakup kewajiban kepada masyarakat. Kewajiban lainnya
tersebut, yaitu: wajib menyediakan fasilitas telekomunikasi untuk menjamin kualitas pelayanan telekomunikasi yang baik, wajib memberikan pelayanan yang sama kepada pengguna jasa telekomunikasi, wajib mencatat/merekam secara rinci
pemakaian jasa telekomunikasi dan apabila pengguna memerlukannya wajib diberikan, wajib memenuhi setiap permohonan dari calon pelanggan
telekomunikasi yang telah memenuhi syarat-syarat berlangganan sepanjang akses jasa telekomunikasi masih tersedia, wajib memberikan kontribusi dalam
pelayanan universal, dan wajib menyediakan pelayanan tekomunikasi berdasarkan prinsip perlakukan yang sama dan pelayanan yang sebaik-baiknya, peningkatan efisiensi dalam penyelenggaraan telekomunikasi, dan pemenuhan standart
pelayanan serta standart penyediaan sarana dan prasarana32.
Memperoleh kenikmatan dari suatu barang adalah hak utama pihak penyewa dalam hubungan hukum sewa-menyewa konvensional ataupun dalam hubungan
hukum sewa-menyewa jaringan telekomunikasi. Selain hak utama tersebut, dalam hubungan hukum sewa-menyewa konvensional, pihak penyewa juga diberikan
hak-hak tambahan, yaitu memperoleh ketentraman dalam menggunakan barang yang disewanya selama waktu sewa dan menuntut pembetulan-pembetulan atas barang yang disewa, apabila pembetulan-pembetulan tersebut merupakan
kewajiban pihak yang menyewakan. Sementara hak tambahan yang diperoleh dalam hubungan hukum sewa-menyewa jaringan telekomunikasi adalah hak yang
36 timbul dengan hubungannya dalam masyarakat, yaitu hak untuk memungut biaya
atas permintaan catatan/rekaman pemakaian jasa telekomunikasi33.
Satu hal yang menarik dan perlu dicermati dari sub-bab ini terletak pada
kewajiban penyelenggara jaringan telekomunikasi, yang tertuang dalam Pasal 12 PP No.52 tahun 2000, yaitu: “wajib memenuhi setiap permohonan dari calon
pelanggan jaringan telekomunikasi yang telah memenuhi syarat-syarat
berlangganan jaringan telekomunikasi sepanjang jaringan telekomunikasi masih ada”. Hal ini dirasa telah melanggar asas kebebasan berkontrak yang dipunyai
oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi, karena dengan diberikan kewajiban tersebut, maka pihak penyelenggara jaringan telekomunikasi tidak dapat
menentukan apakah ia mau mengikatkan diri pada suatu perikatan atau tidak.
Dalam perjanjian sewa-menyewa menurut KUH Perdata ataupun sewamenyewa jaringan telekomunikasi, berakhirnya perjanjian sewa-menyewa
dapat dibedakan menjadi 3, yaitu: berakhirnya dengan jangka waktu yang ditentukan dalam kesepakatan (perjanjian tertulis dan perjanjian lisan), berakhirnya hubungan hukum sewa-menyewa yang tidak ada batas waktunya, dan
berakhirnya dengan ketentuan khusus (persetujuan para pihak, putusan pengadilan, dan obyek sewa musnah). Mengingat yang dapat menjadi pihak dalam
sewa-menyewa jaringan telekomunikasi hanyalah penyelenggara jaringan telekomunikasi dan penyelenggara jasa telekomunikasi, maka sewa-menyewa jaringan telekomunikasi otomatis akan berakhir apabila adanya pencabutan izin
37 usaha yang dimiliki oleh salah satu pihak dalam perjanjian sewa-menyewa
jaringan telekomunikasi34.
2.3 Putusan Mahkamah Agung Nomor 2995K/pdt/2012.
Mahkamah Agung dalam Putusan No. 2995 K/Pdt/201235, setelah memeriksa perkara perdata dalam tingkat kasasi telah memutuskan perkara prof.
dr. Farouk Muhammad, bertempat tinggal di Jl. H. Mursid No. 33, RT.007/RW.004, Kelurahan Kebagusan, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta
Selatan, dalam hal ini memberi kuasa kepada Muhammad Jusril, SH, dan kawan-kawan, Para Advokat dan Para Kandidat Advokat, berkantor di Satori Cakra Optima, Jalan Ciparahiang No.1, Cidangiang, Kelurahan Tegal Lega, Kecamatan
Tengah, Kota Bogor 16124, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 10 Juli 2012, Pemohon Kasasi dahulu Penggugat/Pembanding.
Melawan PT. Telekomunikasi sellular (telkomsel), berkedudukan di Gedung
Wisma Mulia Lantai G, Jl. Gatot Subroto No. 42 Jakarta 12710, dalam hal ini memberi kuasa kepada Marselinus Kurnia Rajasa, S.H., LL.M., dan kawan-kawan, Para Advokat pada Kantor Hukum “Rajasa Supriyadi & Hartanto”,
berkantor di Atrium Setiabudi Lantai 2, Suite 206 B, Jl. H.R. Rasuna Said Kav.
62, Jakarta 12920. Termohon Kasasi dahulu Tergugat/Terbanding;
Mahkamah Agung membaca surat-surat yang bersangkutan dalam pertimbangannya menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata bahwa
34Ibid, hal. 64.
38 sekarang Pemohon Kasasi prof. dr. Farouk Muhammad dahulu sebagai Penggugat
telah menggugat sekarang Termohon Kasasi PT. Telekomunikasi sellular (telkomsel) dahulu sebagai Tergugat di muka persidangan Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan pada pokoknya atas dalil-dalil. Bahwa Penggugat prof. dr. Farouk Muhammad adalah pelanggan Kartu Halo Pasca Bayar dengan Nomor 0811969697 (disebut Kartu Halo) terhitung sejak kurang lebih sepuluh tahun yang
lalu dan Tergugat adalah pengelola operator selular terbesar di Indonesia yang mengeluarkan produk Kartu Halo tersebut. Sejak Penggugat menggunakan Kartu
Halo tersebut, Penggugat tidak pernah mempunyai masalah yang berarti mengenai pembayaran dan selalu membayar tagihan tepat waktu. Artinya menurut
Penggugat, dia adalah pelanggan yang bertanggungjawab akan kewajiban-kewajibannya terhadap Tergugat. Hal ini dapat dilihat sebagai indikator iktikad baik, versi penggugat.
Kemudian Penggugat dikejutkan dengan tagihan bulan September 2009 sebesar tujuh juta tujuh ratus lima puluh ribu tujuh ratus enam puluh empat rupiah. Sedangkan biasanya, penggugat hanya membayar sebesar satu juta lima
ratus ribu rupiah. Pembengkakan biaya tersebut ternyata kemudian diketahui oleh Penggugat dikarenakan biaya roaming internasional di luar negeri, yaitu selama seminggu ketika Penggugat menjalankan ibadah umrah di Mekkah. Terhadap tagihan tersebut, Penggugat telah menugaskan dua orang staf dari kantor Penggugat yaitu Hendri dan Katim untuk menyampaikan keberatan Penggugat
dan meminta keringanan pembayaran kepada Tergugat di Kantor Grapari Telkomsel, Jalan Gatot Subroto. Dalam hal ini, Penggugat tidak memperoleh
39 roaming internasional di luar negeri, tetapi Tergugat melalui petugasnya hanya
menyatakan bahwa pencarian informasi dimaksud menjadi kewajiban pelanggan (dalam hal ini menjadi kewajiban Penggugat)36.
Pada akhirnya pada tanggal 21 Oktober 2009 Penggugat dengan penuh kesadaran dan iktikad baik kata iktikad baik dinyatakan secara tegas bersedia untuk membayar tagihan tersebut di atas, yaitu berupa pembayaran penuh sebesar
tujuh juta tujuh ratus lima puluh ribu tujuh ratus enam puluh empat rupiah. Akan tetapi, berdasarkan aturan pada Costumer Service pihak Tergugat, kemudian disepakati antara Penggugat dan Tergugat, pembayaran tagihan Penggugat dimaksud dapat dilakukan dengan cicilan maksimal sebanyak tiga kali
pembayaran, dalam waktu tiga bulan. Atas hal tersebut di atas, maka pada tanggal 21 Oktober 2009, Penggugat dengan kesadaran dan iktikad baik melakukan pembayaran cicilan pertama sebesar lima juta rupiah. Sisa tagihan dari
pembayaran Penggugat menjadi sisa sebesar dua juta tujuh ratus lima puluh ribu tujuh ratus enam puluh empat rupiah.
Penggugat dengan kesadaran dan iktikad baik memenuhi kesepakatan antara Penggugat dan Tergugat dalam hal cicilan sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Pembayaran oleh Penggugat ditindaklanjuti kembali pada tanggal 20
November 2009 sebagai pembayaran cicilan kedua, sebesar satu juta lima ratus ribu rupiah. Sisa pembayaran Penggugat sebesar satu juta dua ratus lima puluh ribu tujuh ratus enam puluh empat rupiah. Setelah pembayaran cicilan kedua
tersebut, Tergugat baru memberikan formulir layanan pelanggan atas nama Penggugat yang diterima pada tanggal 20 November 2009 (saat pembayaran
40 cicilan kedua sebagaimana di atas). Intinya, secara tertulis baik Penggugat
maupun Tergugat menyatakan bahwa Penggugat diberikan waktu untuk mencicil kewajibannya tersebut dalam waktu tiga kali cicilan pembayaran selama tiga
bulan tagihan terhitung sejak pembayaran pertama tanggal 21 Oktober 2009. Dari formulir layanan pelanggan dimaksud maka dapat diketahui bahwa batas terakhir cicilan yang harus dibayarkan Penggugat kepada Tergugat adalah
selambat-lambatnya pada tanggal 21 Desember 2009 (tiga bulan terhitung sejak 21 Oktober 2009).
Ternyata formulir layanan pelanggan tertanggal 20 November 2009 yang menjadi Perjanjian dalam hal cicilan pembayaran antara Penggugat dan Tergugat
tersebut disimpangi oleh Tergugat, karena pada tanggal 14 Desember 2009 (sebelum jatuh tempo pembayaran cicilan ketiga), Kartu Halo milik Penggugat diblokir tanpa ada penjelasan dan pemberitahuan terlebih dahulu dari pihak
Tergugat. Hal ini dapat dilihat sebagai indikator iktikad buruk dari tergugat. Padahal, menurut ketentuan Tergugat, bahwa batas akhir pembayaran untuk Kartu Halo Penggugat jatuh tempo pada setiap tanggal 20 bulan berjalan. Bahkan, jika
sesuai dengan kesepakatan yang tertuang dalam formulir layanan pelanggan di atas, batas waktu cicilan pembayaran selama tiga bulan tagihan terhitung sejak
pembayaran pertama tanggal 21 Oktober 2009, maka Penggugat masih mempunyai waktu sampai dengan tanggal 21 Desember 2009.
41 usahanya, tidak memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur, atau informasi
yang cukup khususnya tentang biaya roaming internasional. Selanjutnya jelas Tergugat tidak beriktikad baik, tidak konsekuen dan konsisten untuk mematuhi
janjinya kepada Penggugat sebagaimana yang dimaksud di atas, sehingga atas hal tersebut tindakan Tergugat sangat nyata-nyata telah merugikan Penggugat. Selanjutnya atas kejadian tersebut, pada tanggal 16 Desember 2009, Penggugat
telah mengirimkan faksimile kepada Tergugat, atas saran petugas Costumer Service dari Tergugat (melalui layanan 116 milik Tergugat), untuk membuka blokir tersebut sesuai dengan apa yang dianjurkan oleh petugas Costumer Service
yang tertuang dalam formulir layanan pelanggan tertanggal 20 November 2009.
Kemudian permintaan Penggugat agar Tergugat membuka blokir Kartu Halo milik Penggugat tersebut tidak ditanggapi sesuai dengan komitmen antara Tergugat dan Penggugat, terlebih-lebih Tergugat memaksa Penggugat untuk
membayar sisa cicilan terakhir terlebih dahulu kalau blokir Kartu Halo milik Penggugat hendak dibuka. Uraian di atas jelas, menurut penggugat, perbuatan Tergugat dapat dikualifikasi telah melakukan perbuatan yang melanggar hak-hak
Penggugat selaku konsumen sebagaimana yang diatur secara tegas dalam Undang-Undang R.I. No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
khususnya Pasal 4 huruf (a), (c), (d), dan (g). Karena Penggugat: kehilangan hak atas kenyamanan, keamanan dalam mengkonsumsi jasa yang diperdagangkan oleh para Tergugat; tidak mendapat hak informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi jasa yang telah diperjanjikan oleh Tergugat kepada Penggugat; kehilangan hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas jasa yang digunakan;
42 Atas perbuatan Tergugat yang tidak memegang komitmen dengan
kesepakatan tersebut di atas, jelas telah menginjak-injak hak Penggugat selaku konsumen yang telah beriktikad baik dalam penyelesaian pembayaran tagihan
Kartu Halo Penggugat. Dengan dibuktikannya pembayaran Tergugat sebagaimana telah diuraikan di atas, akibat perbuatan semena-mena Tergugat kepada Penggugat, dengan pemblokiran sepihak Kartu Halo tersebut, sangat
menimbulkan rasa yang tidak nyaman kepada Penggugat. Terlebih-lebih, Penggugat adalah termasuk pelanggan corporate dari Kartu Halo dalam jajaran Perwira Tinggi pada Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia. Selanjutnya, nomor Kartu Halo Penggugat sudah lama dikenal di kalangan kolega
Penggugat sejak saat Penggugat menjadi Guru Besar sekaligus Gubernur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian/Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian, dan terlebih lagi nomor Kartu Halo Penggugat pun telah dikenal oleh khalayak ramai
karena kedudukan Penggugat yang pernah menjadi staff pada Dewan Pertimbangan Presiden.
Saat ini nomor Kartu Halo Penggugat dikenal lebih luas lagi oleh para kolega, konstituen, serta khalayak umum karena Penggugat saat ini adalah Anggota dari Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia. Karena kedudukan
Penggugat sebagaimana terurai di atas, maka telah tergambar jelas betapa besar dan betapa penting nomor Kartu Halo milik Penggugat dengan nomor 0811969697 terhadap kelancaran pengabdian Penggugat kepada bangsa dan
negara ini. Pemnblokiran sepihak terhadap nomor Kartu Halo milik Penggugat yang telah dilakukan oleh Tergugat, semakin nyata menimbulkan kerugian citra
43 diemban oleh Penggugat sebagai akibat terputusnya saluran komunikasi terhadap
Penggugat karena pemblokiran nomor Kartu Halo milik Penggugat secara sepihak yang dilakukan oleh Tergugat, yang juga mengakibatkan kerugian selain terhadap
Penggugat juga kerugian negara sebagai terhambatnya aktivitas Penggugat karena perbuatan sepihak Tergugat secara nyata.
Perbuatan semena-mena Tergugat kepada Penggugat, dengan pemblokiran
sepihak Kartu Halo tersebut, Penggugat sebagai public figure yang mempunyai citra baik pada jaringan–jaringan perkenalannya telah kehilangan peluang untuk mendapatkan penguatan dukungan-dukungan moril sebagai public figure yang kredibel. Hal ini terjadi karena Penggugat yang sudah memang sering kali
menjadi nara sumber bagi media baik cetak maupun elektronik, akibat perbuatan Tergugat seperti yang dimaksud dalam gugatan ini, sejak pemblokiran nomor Kartu Halo sepihak oleh Tergugat, hingga saat ini banyak media baik cetak
maupun elektronik yang tidak dapat menghubungi Penggugat untuk dimintai pendapatnya akan kasus-kasus atau isu-isu yang sedang hangat dalam pemberitaan Pers. Sehingga Penggugat kehilangan peluang untuk memperkuat
dukungan publik yang telah menimbulkan potensi dampak politik akan menurunnya popularitas dan kredibilitas citra Penggugat dihadapan umum.
Sejalan dengan itu juga, Penggugat telah kehilangan peluang popularitas di mata para orang-orang penting. Pejabat yang menjabat pada lembaga eksekutif, lembaga legislatif, maupun lembaga yudikatif yang selama ini telah mempunyai
44 Penggugat. Pada hal, justru Penggugat tengah membangun penguatan citra akan
kredibilitas dan popularitasnya juga di hadapan orang-orang penting.
Sebagai akibat pemblokiran sepihak Kartu Halo oleh Tergugat, sangat susah
menghubungi kolega sejawatnya baik yang berada dan menjabat pada lembaga eksekutif, lembaga legislatif maupun lembaga yudikatif, yang sebelumnya tidak pernah terjadi pada Penggugat. Hal ini terjadi karena Penggugat sudah tidak dapat
lagi menghubungi koleganya dimaksud melalui nomor Kartu Halo yang diblokir oleh Tergugat. Padahal hanya nomor Kartu Halo Penggugat lah, yang dikenal oleh
kolega-koleganya dimaksud. Walaupun Penggugat sudah memberitahukan koleganya melalui SMS, akan nomor barunya, akan tetapi karena Penggugat tetap
mengalami kesulitan bahwa koleganya mau membaca atau menerima pesan dari nomor baru Penggugat karena merupakan nomor yang tidak dikenal ataupun yang bukan terdaftar pada koleganya seperti nomor Kartu Halo Penggugat. Begitu juga
sebaliknya, keluhan datang dari kolega Penggugat yang tidak dapat menghubungi Penggugat ke nomor Kartu Halo Penggugat.
Berdasarkan uraian di atas, semakin jelas akibat perbuatan semena-mena Tergugat kepada Penggugat, dengan pemblokiran sepihak Kartu Halo tersebut, maka Penggugat telah mengalami kerugian immaterial yang sangat besar, bahkan
kehilangan potensi/peluang mempertahankan citra bahkan memperkuat citranya sebagai seorang public figure yang akan didapatnya jika nomor Kartu Halo Penggugat tidak diblokir sepihak oleh Tergugat, sehingga perbuatan Tergugat pun
45 hal-hal tersebut di atas, perbuatan Tergugat yang telah memblokir secara sepihak
Kartu Halo milik Penggugat tanpa ada alasan yang jelas, tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada Penggugat, serta tanpa dasar hukum yang kuat, maka
Perbuatan Tergugat merupakan wanprestasi atau cedera janji terhadap Penggugat selaku Konsumen sebagaimana yang diisyaratkan oleh Undang Undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Tergugat selaku penyelenggara telekomunikasi di Indonesia juga telah melanggar ketentuan seperti yang diisyaratkan Pasal 7 huruf (a), (b), dan (c) jo. Pasal 26 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen jo
Pasal 17 huruf a. Undang-undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi
Pasal 7 huruf a Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya. Pasal 7 huruf b Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan Pasal 7 huruf (c) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. Pasal 26 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan Pasal 17 huruf (a) Undang-undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi,
46 prinsip perlakuan yang sama dan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi semua
pengguna.
Akibat perbuatan semena-mena dari Tergugat, maka Penggugat pada
tanggal 8 Maret 2010 telah mengadukan dan menempuh upaya konsiliasi dalam penyelesaian permasalahan Penggugat dengan Tergugat di Badan Perlindungan Sengketa Konsumen (BPSK) DKI Jakarta dengan Nomor Register
012/REG/BPSKDKI/III/2010 tertanggal 12 Maret 2010. Akan tetapi upaya rekonsialisasi antara Penggugat dan Tergugat yang difasilitasi oleh BPSK DKI
Jakarta, sebelum masuk ke dalam pokok materi pembahasan perkara, proses penyelesaian melalui konsiliasi tersebut telah dinyatakan tidak berhasil, sebelum
masuk kepada pokok perkara, karena BPSK DKI Jakarta menyatakan ganti rugi immaterial seperti yang utamanya dimohonkan oleh Penggugat adalah bukan kompetensi dari BPSK DKI Jakarta. Ganti rugi immaterial yang merupakan
tuntutan utama ganti rugi yang diminta oleh Penggugat terhadap Tergugat pada proses rekonsiliasi di BPSK DKI Jakarta adalah berupa permohonan maaf dari Tergugat kepada Penggugat yang diumumkan melalui beberapa harian media
nasional. Tujuan Penggugat akan permohonan maaf dimaksud adalah sebagai pembelajaran dan pendidikan bagi para Pelaku Usaha umumnya dan Tergugat
khususnya dalam menghormati hak-hak Konsumen, sehingga dikemudian hari Penggugat berharap tidak ada lagi korban timbul seperti yang dialami oleh Penggugat, karena para Pelaku Usaha umumnya dan Tergugat khususnya lebih
47 Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) DKI Jakarta juga
menyarankan bahwa permohonan ganti rugi immaterial dapat dimintakan jika penyelesaian perkaranya melalui Pengadilan Negeri, maka karena dan untuk itu
berdasarkan Pasal 45 ayat (4) Undang-undang Perlindungan Konsumen Gugatan, gugatan Wanprestasi dalam Perlindungan Konsumen ini diajukan oleh Penggugat. Sementara itu, kewajiban Penggugat terhadap Tergugat atas sisa pembayaran
tagihan Kartu Halo telah terselesaikan dibayar oleh Penggugat pada tanggal 14 Mei 2010 sebesar tiga juta tiga ratus empat belas ribu empat ratus enam puluh dua
rupiah, sebelum diajukan dan ditandatanganinya gugatan ini. Hal mana pembayaran ini merupakan pelunasan sisa pembayaran biaya tagihan Kartu Halo
Penggugat. Jumlah pembayaran seperti dimaksud dalam posita ini sebesar tiga juta tiga ratus empat belas ribu empat ratus enam puluh dua rupiah telah membuktikan terjadinya peningkatan jumlah tagihan dari sisa tagihan terakhir
yaitu dari sebesar satu juta dua ratus lima puluh ribu tujuh ratus enam puluh empat rupiah menjadi tiga juta tiga ratus empat belas ribu empat ratus enam puluh dua rupiah, alasan Penggugat untuk menyelesaikan kewajiban Penggugat terhadap
Tergugat atas sisa pembayaran tagihan Kartu Halo telah terselesaikan dibayar oleh Penggugat pada tanggal 14 Mei 2010 sebesar tiga juta tiga ratus empat belas ribu
empat ratus enam puluh dua rupiah, sebelum diajukan dan ditandatanganinya gugatan ini dikarenakan Penggugat merasa hak-haknya sebagai konsumen yang
sedang mengajukan keluhan Tergugat tidak terlindungi.
Terbukti dengan adanya peningkatan jumlah tagihan dari sisa kewajiban Penggugat yang diantaranya berupa denda dan/ atau bunga dan/atau tambahan
48 kepada Penggugat jika pemblokiran sepihak oleh Tergugat tidak dilakukan
dan/atau Tergugat segera menyelesaikan kelalaian dalam pelayanan jasanya tersebut kepada Penggugat.
Bahwa berdasarkan uraian di atas jelas-jelas Tergugat tidak mempunyai iktikad baik, maka dalam konteks itu jelas Tergugat mengingkari relevan spirit
lahirnya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
yang menjadi payung hukum bagi terciptanya perlindungan terhadap Konsumen, terbukti secara hukum berdasarkan uraian di atas, formulir layanan pelanggan atas
nama Penggugat yang diterima pada tanggal 20 November 2009 adalah bentuk Perjanjian antara Penggugat dan Tergugat yang sah dan mengikat secara hukum.
Fakta hukum dan uraian yang dikemukakan di atas, jelas sikap dan perbuatan Tergugat dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan wanprestasi yang menimbulkan kerugian pada Penggugat baik secara materiil maupun secara
immaterial atas wanprestasi/cedera janji yang dilakukan Tergugat tersebut di atas, jelas telah menimbulkan kerugian-kerugian moril (immateril) dan/atau materiil
terhadap diri Penggugat.
Adapun kerugian-kerugian moril (immateril) dan/atau materiil yang harus diderita Penggugat adalah: Akses telekomunikasi Penggugat dengan Nomor
0811969697 tidak dapat digunakan karena diblokir yang dilakukan oleh Tergugat, sehingga Penggugat harus mengeluarkan sejumlah uang untuk pembelian Kartu GSM nomor perdana baru beserta pulsanya, Penggugat harus kecewa dan lelah
49 gugatan terhadap Tergugat guna mempertahankan dan menuntut hak-hak
Penggugat dalam perkara ini sesuai dengan undang-undang yang berlaku, Tergugat telah menjanjikan kepada Penggugat mau membayar kewajibannya
terhadap tergugat dengan cara mencicil, yang pembayar cicilan pertama dilakukan oleh Penggugat kepada Tergugat pada tanggal 21 Oktober 2009.
Kemudian untuk meyakinkan Penggugat akan keleluasaan Penggugat dalam
menyelesaikan kewajiban terhadap Tergugat, maka Tergugat telah membuat janji-janjinya akan cicilan dimaksud ke dalam sebuah tulisan sebagaimana yang
tercantum dalam formulir layanan pelanggan yang pada akhirnya pada tanggal 21 Oktober 2009 ditandatangani oleh Penggugat dan Tergugat. Akan tetapi ternyata
Tergugat hanya memberikan janji-janji palsu sehingga Penggugat sebelum jatuh tempo pelunasan cicilan kewajiban sebagaimana yang dijanjikan oleh Tergugat pada tanggal 21 Oktober 2009 jo. tanggal 20 November 2009 tidak dapat lagi
menggunakan nomor kartu halonya. Bahwa jelas-jelas Penggugat sebagai korban atas rangkaian janji-janji palsu atau kata-kata bohong yang diperbuat oleh
Tergugat, sehingga Penggugat mencari keadilan melalui gugatan ini.
Penggugat merasa harkat martabatnya tercoreng, karena pemblokiran dimaksud menimbulkan image yang negatif bagi Penggugat. Dalam hal ini harga
diri Penggugat telah jatuh karena perlakuan Tergugat. Semula Penggugat yang seharusnya mendapat perlakuan khusus (privillage) sebagai pelanggan korporat yang berasal dari kelompok Perwira Tinggi Mabes Polri, akan tetapi faktanya,
50 Tergugat, Penggugat tetap harus mengurusnya kesana kemari, harus menelepon
nomor tertentu milik Penggugat, dan bahkan harus membayar dulu, agar blokir nomor milik Penggugat yang dilakukan sepihak oleh Tergugat dapat dibuka,
Bahwa pemblokiran sepihak oleh Tergugat, telah menimbulkan dampak negatif lainnya terhadap Penggugat, berupa pandangan khalayak ramai yang menilai dengan diblokirnya nomor Penggugat, Penggugat dianggap bersalah dan/atau
melakukan pelanggaran dan telah dihukum dan/atau dikenai sanksi oleh Tergugat dengan cara pemblokiran nomor Penggugat. Pandangan khalayak ramai telah
menganggap Penggugat, bahwa Penggugat dianggap telah lalai dan/ atau tidak mampu melunasi kewajibannya kepada PT. Telkomsel (Tergugat atau
Penyelenggara jaringan telekomunikasi).
Kerugian-kerugian moril (immateril) yang dialami Penggugat sangat sulit dinilai dengan sejumlah uang, namun dikarenakan Tergugat adalah para pelaku
usaha yang melayani kepentingan umum, agar para pelanggannya (konsumen atau pengguna jaringan telekominikasi) termasuk Penggugat tidak selalu dikecewakan di kemudian hari oleh sikap dan tindakan yang tidak profesional serta
sewenang-wenang dari Tergugat, dan agar Tergugat lebih memiliki rasa bertanggungjawab serta lebih-lebih berhati-hati di kemudian hari dalam melayani para pelanggannya,
kiranya cukup beralasan hukum bagi Penggugat untuk menuntut agar para Tergugat membuat dan memuat suatu pengumuman pernyataan minta maaf kepada Penggugat selaku pelanggan dan konsumen dari Tergugat di tiga Harian
51 berturut-turut dengan redaksi dan isi pengumuman sebagaimana tersebut dalam
gugatan.
Apabila Tergugat tidak berkenan melaksanakan isi keputusan hukum
tentang pengumuman pernyataan minta maaf sebagaimana yang diuraikan di atas, setelah tiga puluh hari sejak keputusan hukum ini dapat dilaksanakan, kiranya sangat beralasan hukum bagi Penggugat memohon kepada Majelis Hakim yang
memeriksa dan mengadili perkara ini agar berkenan menghukum para Tergugat untuk membayar kepada Penggugat uang kompensasi secara tunai sebanyak dua
milyar rupiah dengan memberi hak kepada Penggugat untuk memakai dan menyalurkan uang tersebut kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), atau
Lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan lainnya. Selain itu, dengan kerugian-kerugian sebagaimana dimaksud dalam gugatan ini, yakni adanya perbuatan Tergugat yang merugikan Penggugat, antara lain Penggugat telah kehilangan
opportunity/peluang/ kesempatan untuk menjaga citra bahkan meningkatkan citra akan popularitas dan kredibilitasnya. Perbuatan Tergugat juga telah menimbulkan image negatif terhadap Penggugat yang sedang menjaga dan membangun citra
dan reputasinya seperti dimaksud dalam gugatan ini, sehingga menimbulkan kerugian immateril dimaksud, termasuk dan tidak terbatas juga terhadap perasaan
yang tidak nyaman dalam diri Penggugat, maka Penggugat menuntut ganti rugi terhadap Tergugat atas kerugian immateril tersebut sebesar satu milyar rupiah.
52 mengurus aktifasi: Kartu Halo pada Grapari sebesar lima ratus ribu rupiah, biaya
Penggugat untuk membeli Kartu Perdana Baru sebesar satu juta rupiah, Pembelian Voucher Pulsa sebesar satu juta rupiah, biaya Transportasi ke BPSK sebesar tiga
juta rupiah oleh karena itu, Penggugat berhak menuntut agar Tergugat membayar kembali kepada Penggugat seluruh uang yang telah dikeluarkan oleh Penggugat dalam mempertahankan hak-hak dan kepentingan hukum Penggugat yang
seluruhnya berjumlah lima juta lima ratus ribu rupiah ditambah dengan bunga satu persen per bulan sejak gugatan ini didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan sampai Tergugat secara sempurna melaksanakan isi keputusan hukum dalam perkara ini serta ditambah seluruh biaya yang timbul di tingkat banding, di
tingkat kasasi serta di tingkat peninjauan kembali.
Berdasarkan ketentuan Pasal 4 huruf h, Pasal 7 huruf f dan g, Pasal 19 ayat (1), (2), (3), dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen jo Pasal 15 ayat (1) Undang-undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi jo Pasal 68 dan 69 Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi No. 52 tahun 2000, Penggugat berhak menuntut
Tergugat membayar ganti kerugian, dan Tergugat wajib membayar kerugian kepada Penggugat, sebagaimana yang dimaksud dalam gugatan ini untuk
menjamin gugatan ini, Penggugat mohon agar diletakkan sita jaminan (conservatoir beslag) atas harta benda kepunyaan para Tergugat, baik yang bergerak dan atau tidak bergerak secukupnya.
53 beralasan hukum bagi Penggugat memohon agar berkenan menjatuhkan
keputusan hukum yang dapat dijalankan serta merta walaupun ada perlawanan, banding, kasasi dan atau peninjauan kembali (uitvoerbaar bij voorraad) berdasarkan hal-hal tersebut di atas Penggugat mohon kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan agar memberikan putusan yang dapat dijalankan lebih dahulu sebagai berikut: Mengabulkan seluruh gugatan Penggugat dalam perkara ini,
Menyatakan sah dan berharga sita penjagaan dan sita jaminan (conservatoir beslag) yang dijalankan dalam perkara ini. Menyatakan syah dan mengikat secara hukum formulir layanan pelanggan atas nama Penggugat yang diterima pada tanggal 20 November 2009, adalah sebagai bentuk Perjanjian antara Penggugat
dan Tergugat. Menyatakan bahwa Tergugat telah cedera janji atau wanprestasi atas formulir layanan pelanggan tertanggal 20 November 2009, Menyatakan Tergugat selaku pelaku usaha telah melakukan perbuatan yang bertentangan dan
melanggar Undang-undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Menghukum Tergugat mengembalikan kepada Penggugat, atas seluruh uang yang telah dikeluarkan oleh Penggugat sebesar lima juta lima ratus ribu rupiah
ditambah dengan bunga satu persen per bulan sejak gugatan ini didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sampai Tergugat secara sempurna
melaksanakan isi keputusan hukum dalam perkara ini, dan ditambah seluruh biaya yang timbul di tingkat banding, di tingkat kasasi serta di tingkat peninjauan kembali Menghukum Tergugat agar membuat dan memuat pengumuman
pernyataan minta maaf kepada Penggugat di tiga harian nasional, yakni Harian Kompas, Harian Tempo dan Media Indonesia dengan ukuran setengah halaman
54 isi pengumuman sebagai berikut: PENGUMUMAN PERNYATAAN MINTA
MAAF
Kami yang bertandatangan di bawah ini : PT. Telekomunikasi Sellular
(TELKOMSEL) badan hukum yang berkedudukan di Indonesia, yang beralamat di Gedung Wisma Mulia Lantai G, Jl. Gatot Subroto No.42 Jakarta 12710.
Dengan ini secara tegas menyatakan/menyampaikan permintaan maaf yang
sebesar-besarnya kepada: prof. dr. Farouk Muhammad, Dosen dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI, sehubungan dengan sikap dan perbuatan kami
selaku pelaku usaha yang tidak professional, telah melakukan hal-hal yang merugikan terhadap prof. dr. Farouk Muhammad, selaku pelanggan dan
konsumen, karena kami melakukan kegiatan usaha dengan cara yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Pemerintah. Untuk itu kami berjanji tidak akan mengulangi hal-hal
tersebut di kemudian hari yang dapat merugikan konsumen. Demikian pengumuman pernyataan minta maaf kami sampaikan, agar diketahui oleh
masyarakat luas.
2.3.1. Pertimbangan Mahkamah Agung Mengenai Hubungan
landlord-tenant
Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh pihak tenant tidak dibenarkan. Tidak dibenarkannya alasan-alasan yang
55 putusan yang menyebabkan MA berkesimpulan bahwa judex facti tidak salah menerapkan hukum37.
Mahkamah Agung yang sidangnya untuk kasus tersebut waktu itu dipimpin
oleh Dr. H. Ahamad kamil, SH., M.Hum pada tanggal 29 Maret 2013 mempertimbangkan pula alasan bahwa apa yang dikemukakan oleh pihak tenant tidak dapat membuktikan dalil gugatanya. Alasan yuridis yang dikemukakan
Mahkamah Agung bahwa gugatan penggugat tidak memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata. Pihak tenant, menurut MA, tidak dapat mendasarkan dalilnya
bahwa menurut pendapat si tenant, si pihak landlord tersebut telah wanprestasi.
Dalam pandangan MA dalil wanprestasi yang dilakukan oleh si pihak
landlord itu bahwa formulir layanan pelanggan tidaklah cukup. Menurut Mahkamah Agung, dalil si pihak tenant yang mengatakan bahwa adanya wanprestasi: (1) karena bukti yang ada adalah merupakan perjanjian yang sudah
disepakati oleh dirinya dengan si pihak landlord; (2) dengan adanya kelalaian pihak landlord; dan (3) kenyataanya bahwa lalainya si pihak tenant membayar tagihan telah memberikan hak kepada pihak landlord untuk memblokir kartu halo
milik penggugat tidak benar. Menurut MA alasan si pihak Tenant seharusnya adalah alasan mengenai adanya kesalahan penerapan hukum, adanya pelanggaran
hukum yang berlaku, adanya kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan atau bila pengadilan tidak berwenang
atau melampaui batas wewenangnya sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal
37 Skripsi Susana Tewernussa. S.H., yang berjudul ”Tanggungjawab Operator Seluler Sebagai