i
NEGARA DALAM PROSES “LELANG JABATAN”
TERKAIT SISTEM MERIT BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2014
TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA
I GUSTI MADE AGUS MEGA PUTRA
NIM. 1203005028
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
ii
KEWENANGAN KOMISI APARATUR SIPIL
NEGARA DALAM PROSES “LELANG JABATAN”
TERKAIT SISTEM MERIT BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2014
TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA
Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Udayana
I GUSTI MADE AGUS MEGA PUTRA NIM. 1203005028
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
v
KATA PENGANTAR
Om Swastyastu,
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa,
Tuhan Yang Maha Esa karena berkat Asung Kertha Wara Nugraha-Nya,
penulisan skripsi ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya guna memenuhi
syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Udayana. Adapun judul yang dipilih dalam
penulisan skripsi ini adalah “KEWENANGAN KOMISI APARATUR SIPIL
NEGARA DALAM PROSES “LELANG JABATAN” TERKAIT SISTEM
MERIT BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2014
TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA”.
Keberhasilan penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bimbingan dan
bantuan secara moril maupun materiil dari berbagai pihak. Untuk itu melalui
kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
vi
5. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH, Pembimbing I
yang telah memberikan petunjuk dan bimbingan dengan penuh kesabaran
dalam penulisan skripsi ini.
6. Ibu Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati , SH.,M.Kn.,LLM, Pembimbing II yang
telah memberikan petunjuk dan bimbingan dengan penuh kesabaran dalam
penulisan skripsi ini.
7. Ibu Ni Made Ari Yuliartini Griadhi, SH.,MH, Pembimbing Akademik yang
telah memberikan waktu dan petunjuk selama mengikuti perkuliahan.
8. Bapak I Ketut Suardita,SH.,MH, Ketua Bagian Hukum Administrasi
Negara di Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah menyetujui
skripsi saya ini.
9. Bapak dan Ibu Dosen serta segenap Staf Tata Usaha Fakultas Hukum
Universitas Udayana yang telah memberikan pengetahuan dan
bimbingan yang sangat berharga kepada saya, serta membantu dalam
mengurus segala keperluan administrasi selama saya kuliah.
10. Bapak Kadek Sarna, SH., M.Kn, yang telah memberikan inspirasi dan
pencerahan kepada saya.
11. Orang Tua tercinta, Bapak I Gusti Rai Wirata, dan Ibu I Gusti Ayu Ketut
Rai Kerti , serta kakak saya I Gusti Ayu Putu Yuliari dan Adik saya I Gusti
Nyoman Agus Aprianto Edi Putra atas segala dukungan, perhatian dan
kasih sayangnya.
12. Terima kasih untuk LMFH, para senior, rekan seperjuangan dan junior di
vii
Noving, Indra, Gek Emik, Maria, dan teman-teman Kelas A, KKN
Tenganan, serta teman-teman Penulis di angkatan 2012 yang tidak dapat
Penulis sebutkan satu persatu.
13. Dan tentunya sahabat-sahabat Penulis, Gungde Manik, Tigor, Moje,
Koling, Gung We, Taka, dan Boldes yang telah banyak memberikan
bantuan, dukungan dan hiburan serta warna tersendiri selama penulis kuliah
di Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Semoga atas segala jasa dan budi baik yang telah diberikan dengan tulus
ikhlas mendapat imbalan yang setimpal dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari
sempurna, maka dari itu kritik dan saran sangat diharapkan untuk kesempurnaan
skripsi ini. Penulis berharap kelak terdapat penelitian-penelitian empiris terhadap
topik tulisan ini sehingga tidak hanya kebenaran normatif atau teoritis yang
didapat namun juga kebenaran empiris. Akhirnya saya berharap semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Denpasar, 6 Januari 2016
ix DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DALAM ... i
HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iii
HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ... iv
HALAMAN KATA PENGANTAR ... v
HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... viii
x
1.7.2 Jenis pendekatan ... 22
1.7.3 Sumber bahan hukum ... 23
1.7.4 Teknik pengumpulan bahan hukum ... 26
1.7.5 Teknik analisa bahan hukum ... 26
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEWENANGAN, KOMISI APARATUR SIPIL NEGARA, “LELANG JABATAN”, SISTEM MERIT, APARATUR SIPIL NEGARA 2.1 Tinjauan Umum Tentang Kewenangan ... 28
2.1.1 Asas Legalitas dan Wewenang Pemerintahan ... 28
2.1.2 Sumber dan Cara Memperoleh Wewenang Pemerintahan .. 30
2.2 Tinjauan Umum Tentang Komisi Aparatur Sipil Negera (KASN) ... 32
2.2.1 Latar Belakang Pembentukan KASN ... 32
2.2.2 Kedudukan, Fungsi, dan Kewenangan KASN ... 33
2.3 Tinjauan Umum Tentang “Lelang Jabatan” ... 36
2.3.1 Peristilahan dan Perkembangan Istilah “Lelang Jabatan” ... 36
2.3.2 Konsep dan Kebijakan “Lelang Jabatan” ... 40
2.4 Tinjauan Umum Tentang Sistem Merit ... 42
2.4.1 Pengertian Sistem Merit ... 42
2.4.2 Sistem Merit Dalam Politik Hukum Kepegawaian di Indonesia ... 45
xi
BAB III PENGATURAN “LELANG JABATAN” SERTA KAITANNYA
DENGAN SISTEM MERIT DALAM UNDANG-UNDANG
NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL
NEGARA
3.1 Pengaturan “Lelang Jabatan” Terkait Sistem Merit Sebelum
Berlakunya UU ASN ... 49
3.2 Pengaturan “Lelang Jabatan” Terkait Sistem Merit Setelah
Berlakunya UU ASN ... 63
BAB IV RUANG LINGKUP KEWENANGAN KOMISI APARATUR
SIPIL NEGARA DALAM PELAKSANAAN “LELANG
JABATAN”
4.1 Kewenangan Komisi Aparatur Sipil Negara pada Setiap
Tahapan dalam Proses “Lelang Jabatan” ... 71
4.2 Kewenangan KASN dalam Menerima dan Sekaligus
Menindaklanjuti Pengaduan Terkait Hasil “Lelang Jabatan” ... 83
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ... 93
5.2 Saran ... 94
xii ABSTRAK
Mekanisme pengangkatan PNS dalam jabatan struktural dalam UU Kepegawaian lama belum diatur secara tegas sehingga dalam pelaksanaanya sering terjadi politisasi dalam pengangkatanya yang berimplikasi pada rendahnya kompetensi pejabat terpilih. Hal inilah yang menyebabkan reformasi birokrasi menjadi terhambat. Untuk mengatasi celah hukum ini maka diterapkanlah “lelang jabatan” dalam pengangkatan PNS dalam jabatan struktural. “Lelang jabatan” sebelum berlakunya UU ASN menuai perdebatan karena hanya didasarkan pada surat edaran. Masih hangatnya perdebatan tentang “lelang jabatan” tahun 2014 disahkan UU ASN yang membawa perubahan besar dalam bidang kepegawaian. Poin penting dalam UU ASN yaitu manajemen ASN harus berdasarkan pada Sistem Merit termasuk keberadaan KASN sebagai lembaga pengawas Sistem Merit. Berdasarkan uraian diatas relevan untuk dibahas bagaimanakah pengaturan dari “lelang jabatan” serta kaitanya dengan sistem merit dalam UU ASN dan
bagaimanakah ruang lingkup kewenangan KASN dalam pelaksanaan “lelang
jabatan”. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan pemahaman mengenai
pengaturan “lelang jabatan” serta kewenangan KASN dalam proses “lelang jabatan”.
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan analisis konsep hukum, dan pendekatan sejarah.
Hasil dari penelitian ini yaitu pengaturan “lelang jabatan” sebelum berlakunya UU ASN belum memiliki dasar hukum yang kuat karena hanya
berdasarkan surat edaran sedangkan setelah berlakunya UU ASN “lelang jabatan”
telah memiliki dasar hukum yang kuat dan dalam pelaksanaanya juga akan diawasi KASN. Adapun kewenangan KASN yaitu berwenang mengawasi dan memberikan rekomendasi yang mengikat kepada PPK pada setiap tahapan proses
“lelang jabatan”. KASN juga berwenang menerima dan menindaklanjuti
pengaduan masyarakat terkait hasil “lelang jabatan” yang sudah selesai. Dengan pengaturan yang ada sekarang KASN perlu melibatkan partisipasi masyarakat dan membentuk peraturan terkait mekanisme penyampaian pengaduan dan laporan masyarakat.
xiii
ABSTRACT
The mechanism of the appointment of government employees in a structural positions based on the previous Employment Act has not been regulated explicitly, as a result the implementation of the appointment tend to be subjective, which implicate to the low competencies of the elected officials. This causes the reformation of bureaucracy become obstructed. In order to close the gap in that law “lelang jabatan” or open bidding is implemented in the appointment of government employees in structural positions. Before enactment of Civilian State Apparatus Act “lelang jabatan”or Open Bidding was debated because it’s only based on circular letter. In the midst of the debate concerning “lelang jabatan”, in 2014 Civilian State Apparatus Act was authorized which brought about a significant changes in the employment sector. An important point in the Civilian State Apparatus Act is that the management of Civilian State Apparratus must be done based on a Meryt System including the existence of Commission Civil State Apparatus as an institution which monitors the Meryt System. Based on the above explanation, it is relevant to be researched that how the regulatory regime of the Open Bidding associated with the Meryt System and how the scope of authority of Commission Civil State Apparatus in the open bidding process. This research conducted to gain an understanding of Open Bidding process and the scope of authority of the Commission Civilian State Apparatus in the Open Bidding process.
This research uses normative legal research with statute approach, analytical & conceptual approach, and historical approach.
The results of this research are the regulatory regime of Open Bidding before the enactment of Civilian State Apparatus Act does not have a strong legal basis because it is based on circular letter meanwhile after the enactment of Civilian State Apparatus Act the Open Bidding had has a strong legal basis and in it’s process will be overseen by Commission Civil State Apparatus. Commission Civil State Apparatus has the authority to supervise and provide binding recommendations to Staf Development Officer at each stage of the Open Bidding process. Commission Civil State Apparatus also has the authority to receive, inspect and handle public complaints related to completed Open Bidding results. With the current regulatory regime, Commission Civil State Apparatus need to involve public participation and establish regulation about the delivery mechanisms of public complaint.
1
1.1 Latar Belakang
Praktek kesewenang-wenangan dari para penguasa dan penyelenggara negara
yang cenderung melanggar dan merugikan hak-hak warga negara akan senantiasa
terjadi karena kekuasaan itu akan cenderung disalahgunakan oleh orang yang
memegang kekuasaan itu sendiri. Sikap otoriter atau korupsi penguasa ini niscaya
terjadi berdasar hukum besi politik yang didalilkan oleh Lord Acton bahwa
kekuasaan itu akan cenderung korup dan kekuasaan yang absolut kecenderungan
korupnya absolut pula (power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely). 1
Pemikiran tentang negara hukum kemudian menjadi sebuah jawaban untuk dapat
membatasi kekuasaan penguasa dan penyelenggara negara yang cenderung
melahirkan kesewenang-wenangan tersebut.
Konsep negara hukum kesehjateraan (welfare state) muncul sebagai reaksi
atas kegagalan konsep negara hukum formal atau yang dikenal juga dengan negara
penjaga malam nachtwachtersstaat. Ciri utama negara ini adalah munculnya
kewajiban pemerintah untuk mewujudkan kesehjateraan umum bagi warganya.
Dengan kata lain, ajaran welfare state merupakan bentuk konkret dari peralihan
staatsonthouding, yang mambatasi peran negara dan pemerintah untuk mencampuri
kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat, menjadi staatsbemoeienis yang
1
menghendaki negara dan pemerintah terlibat aktif dalam kehidupan ekonomi dan
sosial masyarakat, sebagai langkah untuk mewujudkan kesehjateraan umum,
disamping menjaga ketertiban dan keamanan (rust en orde).2
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) menyatakan bahwa “Negara Indonesia
adalah negara hukum”. Merujuk pada bunyi Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945,
menunjukan bahwa Negara Indonesia telah menyatakan dirinya sebagai sebuah
negara hukum yang berarti bahwa setiap penyelenggaraan kehidupan bernegara harus
berdasarkan atas hukum (everything must be done according to the law). Negara
Indonesia tergolong sebagai negara hukum kesejahteraan sebagaimana termaktub
dalam alinea keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang kemudian ditetapkan
sebagai tujuan nasional bangsa Indonesia, yakni melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dianutnya konsepsi negara hukum kesehjateraan (welfare state) menimbulkan
konsekuensi bahwa suatu negara harus benar-benar memiliki perangkat administrasi
negara yang handal dalam mengemban tugas pelayanan umum dalam rangka
mewujudkan kesehjateraan umum sebagai pelaksanaan welfare state. Terlebih lagi
untuk mewujudkan tujuan nasional Negara Indonesia sebagaimana termaktub dalam
alinea keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, diperlukan sarana-prasarana
2
pendukung, baik berupa sumber daya manusia maupun sarana yang berbentuk benda.
Salah satu sarana-prasarana pendukung yang sangat penting dalam rangka pencapaian
tujuan nasional tersebut adalah sistem administrasi negara yang baik. Hubunganya
dengan sumber daya manusia, sistem administrasi pemerintahan terbagi menjadi dua
yaitu pegawai negeri dan masyarakat yang merupakan dua organisasi aktivitas
manusia yang mempunyai tujuan yang sama, namun di dalamnya terdapat perbedaan
wewenang dalam pemerintahan. 3
Suatu hal yang tidak dapat kita pungkiri adalah adanya dinamika
kemasyarakatan yang terus berkembang serta semakin bertambah kompleksnya
kebutuhan masyarakat sehingga menuntut terjadinya perkembangan dalam tindakan
pemerintah dalam mewadahi kompleksitas kebutuhan masyarakat tersebut dan juga
peningkatan kualitas pegawai negeri dalam menyelenggarakan fungsi pelayanan
umum. Untuk menjawab tuntutan tersebut maka perlu dilakukan
perubahan-perubahan dalam aspek pemerintahan guna mengoptimalkan kinerja pemerintah di
dalam masyarakat. Salah satu perkembangan atau perubahan mendasar, dilakukan
melalui reformasi birokrasi dalam bidang tata kelola pemerintahan di Indonesia.
Pembenahan dalam sistem administrasi negara merupakan salah satu hal
terpenting yang perlu dilakukan dalam pencapaian tujuan negara. Salah satu unsur
penyelenggaraan pemerintahan yang perlu untuk mendapatkan perhatian adalah
penataan aparatur pemerintah yang meliputi penataan kelembagaan birokrasi
3
pemerintahan, sistem, dan penataan manajemen sumber daya pegawai (PNS).4
Berkaitan dengan penataan aparatur pemerintah tersebut, dewasa ini telah terjadi
perubahan dalam tata kepemerintahan menuju tata kepemerintahan yang demokratis
dan baik (democratic and good governance).
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk dapat mewujudkan tata
pemerintahan yang baik dan demokratis tersebut. Lahirnya Undang-Undang Nomor
43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974
tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (selanjutnya disebut UU Kepegawaian) beserta
seluruh peraturan pelaksanaanya dapat dikatakan sebagai suatu upaya yang dilakukan
oleh pemerintah untuk mewujudkan pembenahan dalam tata kepemerintahan
termasuk penataan manajemen kepegawaian yang seragam melalui penetapan norma,
standar, dan prosedur yang jelas dalam pelaksanaan manajemen kepegawaian. Pasca
reformasi upaya yang juga dilakukan oleh pemerintah adalah dengan mendengungkan
sebuah kebijakan reformasi birokrasi. Reformasi Birokrasi adalah langkah-langkah
strategis untuk membangun aparatur negara agar lebih berdayaguna dan berhasil guna
dalam mengemban tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional.
Apa yang menjadi harapan kita dalam mewujudkan good governance (das
sollen) dengan upaya yang sudah dilakukan pemerintah, pada tataran praktek (das
sein) masih belum berjalan sesuai harapan. Masih banyak ditemukan praktek
penyelenggaraan pemerintahan yang menyimpang seperti misalnya praktek korupsi,
4
Miftah Thoha, 2010, Manajemen Kepegawaian Sipil di Indonesia, Cet.4, Kencana, Jakarta,
kolusi, dan nepotisme yang dilakukan oleh para penyelenggara negara dan aparatur
negara lainya, maraknya pungutan liar, praktek suap, penggelembungan anggaran
belanja, dan sebagainya. Salah satu penyebab terjadinya permasalahan diatas yaitu
kurangnya pemahaman dari aparatur pemerintahan terhadap konsep dari good
governance itu sendiri, dalam artian bahwa penerapan konsep good governance itu
sendiri tidak dibarengi dengan kapasitas dan kapabilitas dari aparatur pemerintahan.
Hal ini tentunya akan kembali pada upaya kita untuk melakukan peningkatan kualitas
dan kemampuan dari aparatur pemerintahan itu sendiri. Oleh karena itu, untuk
menyempurnakan reformasi birokrasi yang dikehendaki, perlu dilakukan upaya untuk
menempatkan orang-orang atau aparatur yang tepat dalam mengisi jabatan dalam
struktur pemerintahan tersebut (the right man on the right place). Untuk mencapai
reformasi birokrasi yang tepat, maka diperlukan mekanisme pengisian jabatan-jabatan
secara tepat pula.
Jabatan sebagai sebuah organ yang menentukan dalam suatu pemerintahan
pada dasarnya dibagi kedalam jabatan fungsional dan jabatan struktural. Baik jabatan
fungsional maupun jabatan struktural sudah seharusnya diisi dengan cara-cara yang
baik, jujur dan adil sehingga tidak melanggar hak asasi setiap orang untuk
memperoleh kesempatan yang sama untuk ikut serta dalam pemerintahan. Secara
konstitusional hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan
telah mendapat jaminan yang kuat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 27 ayat (1)
Khusus mengenai pengisian jabatan struktural atau pengangkatan PNS dalam
jabatan struktural, secara normatif telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 13
Tahun 2002 tentang Perubahan Pertama Peraturan Pemerintah No. 100 tahun 2000
Tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural (selanjutnya
disebut PP No. 13 Tahun 2002). Namun peraturan ini tidak mengatur secara jelas
mengenai mekanisme dan prosedur pengangkatan PNS dalam jabatan struktural
melainkan hanya mengatur syarat dan pihak yang berwenang melakukan
pengangkatan. Celah hukum inilah yang kemudian menimbulkan praktek korupsi,
kolusi dan nepotisme dalam pengangkatan PNS dalam jabatan. Untuk mengatasi
masalah dalam pengaturan pengangkatan PNS dalam jabatan struktural ini,
pemerintah kemudian mengeluarkan Surat Edaran Kementerian Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KEMENPAN-RB) No. 16 Tahun 2012
Tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Struktural yang Lowong Secara Terbuka di
Instansi Pemerintah (selanjutnya disebut dengan S.E. KEMENPAN-RB No. 16
Tahun 2012). Dalam S.E. KEMENPAN-RB No. 16 Tahun 2012 terdapat bagian kalimat yang menyebutkan “…., guna lebih menjamin para pejabat struktural
memenuhi kompetensi jabatan yang diperlukan oleh jabatan tersebut, perlu diadakan
promosi PNS atau pengisian lowongan jabatan berdasarkan sistem merit dan
terbuka, dengan mempertimbangkan kesinambungan karier PNS yang
bersangkutan”. Poin penting yang patut dicermati dalam S.E. KEMENPAN-RB No.
16 Tahun 2012 ini disamping memuat himbauan mengenai mekanisme pengangkatan
jabatan struktural dapat dilakukan secara terbuka dengan tetap memenuhi syarat
sebagaimana diatur dalam PP No. 13 Tahun 2002.
Mekanisme dan prosedur pengangkatan PNS dalam jabatan struktural ini
kemudian mulai diterapkan oleh beberapa daerah di Indonesia, salah satunya
Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta pada saat dipimpin oleh Joko Widodo yang
saat ini sedang menjabat Presiden Republik Indonesia. Penerapan mekanisme
pengangkatan PNS dalam jabatan struktural secara terbuka yang dikenal luas dengan istilah “lelang jabatan“ oleh Joko Widodo ini kemudian menimbulkan reaksi yang
beragam di tengah masyarakat. Ada yang mendukung kebijakan ini namun ada juga
yang kontra terhadap penerapan sistem ini.
Pengangkatan PNS dalam jabatan struktural secara terbuka atau “lelang
jabatan” dapat dikatakan sebagai sebuah terobosan dan kebijakan yang bersifat
reformis dalam memutus mata rantai nepotisme dalam bidang kepegawaian.
Pengangkatan jabatan secara terbuka ini dinilai dapat lebih menjamin terwujudnya
penempatan orang pada jabatan yang tepat sesuai dengan kualifikasi dan kompetensi
yang dimiliki. Di sisi lain pengangkatan PNS dalam jabatan struktural secara terbuka
ini juga dinilai akan menghasilkan sebuah kebijakan yang cacat hukum karena “lelang jabatan” dianggap tidak memiliki dasar hukum yang kuat mengingat hanya
didasarkan pada surat edaran yang tidak dapat diklasifikasikan sebagai peraturan
perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 8 Undang-Undang
Dengan kata lain, hal ini berkaitan dengan keabsahan atau legitimasi pengaturan “lelang jabatan” ini.
Masih hangatnya pro kontra mengenai pengangkatan PNS dalam jabatan
struktural secara terbuka atau “lelang jabatan”, pada tahun 2014 pemerintah
membentuk dan mengesahkan sebuah undang-undang baru di bidang kepegawaian
yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
(selanjutnya disebut UU ASN). Pengesahan terhadap UU ASN membawa perubahan
yang cukup besar dalam hal pengaturan kepegawaian di Indonesia. UU Kepegawaian
yang selama ini menjadi landasan hukum dan regulasi utama dalam hal kepegawaian
dirasa telah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan paradigma yang hendak
dibangun dan diwujudkan dalam manajemen sumber daya aparatur sipil negara,
sehingga perlu disusun undang-undang baru yang juga sesuai dengan tuntutan global.
Pandangan baru dalam bidang kepegawaian muncul dalam substansi UU
ASN ini. Beberapa pengertian baru juga muncul seperti Manajemen Aparatur Sipil
Negara (selanjutnya disebut Manajemen ASN) dan adanya penerapan Sistem Merit
dalam kebijakan dan manajemen ASN. Terdapat dua poin penting dalam UU ASN
yang erat kaitanya dengan reformasi birokrasi dalam rangka mewujudkan tata
pemerintahan yang baik dan demokratis yaitu adanya penerapan Sistem Merit dalam
kebijakan dan manajemen ASN dan dibentuknya sebuah Komisi Aparatur Sipil
Negara (selanjutnya disebut KASN) yang merupakan lembaga nonstruktural yang
Pasal 1 angka 5 UU ASN menyatakan bahwa “ Manajemen ASN adalah
pengelolaan ASN untuk menghasilkan Pegawai ASN yang professional, memiliki
nilai dasar, etika profesi, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Adapun yang dimaksud dengan Sistem Merit sebagaimana
diatur dalam Pasal 1 angka 22 UU ASN yaitu kebijakan dan Manajemn ASN yang
berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi dan kinerja secara adil dan wajar dengan
tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis
kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan. Manajemen ASN yang di
dalamnya meliputi juga aspek pengadaan, pangkat dan jabatan serta promosi
sebagaimana diatur dalam Pasal 51 UU ASN harus berdasarkan Sistem Merit.
Persoalan yang kemudian relevan untuk dibahas adalah memahami
keterkaitan antara mekanisme pengangkatan PNS dalam jabatan struktural secara terbuka atau “lelang jabatan” dengan Manajemen ASN yang harus diselenggarakan
berdasarkan Sistem Merit serta ruang lingkup dari kewenangan KASN dalam pelaksanaan “lelang jabatan”. Pembahasan mengenai sistem merit dalam kaitannya
dengan promosi jabatan secara terbuka didalam UU No 5 Tahun 2014 tentang ASN
dan kewenangan dari KASN dalam hal ini merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari agenda reformasi birokrasi dalam rangka mewujudkan tata
pemerintahan yang baik dan demokratis.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk
membuat sebuah tulisan yang berjudul “KEWENANGAN KOMISI APARATUR
SISTEM MERIT BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN
2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA”.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengaturan dari “lelang jabatan” serta kaitanya dengan sistem
merit dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara ?
2. Bagaimanakah ruang lingkup kewenangan Komisi Aparatur Sipil Negara
dalam pelaksanaan “lelang jabatan” ?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Ruang lingkup masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini perlu dibatasi
untuk menghindari terjadinya penyimpangan dalam pembahasan penelitian serta
pembahasannya lebih sistematis, metodelogis dan tidak terlalu luas sehingga
nantinya menjadi terarah dan benar-benar tertuju pada pokok bahasan yang
diinginkan. Adapun ruang lingkup masalah dalam penulisan ini yaitu :
1. Yang pertama akan dibahas mengenai bagaimana pengaturan dari
“lelang jabatan” serta kaitanya dengan sistem merit dalam UU ASN.
2. Yang kedua akan dibahas mengenai kewenangan dari KASN serta
ruang lingkup kewenangan KASN dalam pelaksanaan “lelang jabatan.
1.4 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah sebagai
1.4.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penulisan ini adalah untuk memberikan kontribusi keilmuan
secara ilmiah terkait pengembangan hukum administrasi negara dan juga
terkait penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang baik dalam bidang
kepegawaian termasuk didalamnya manajemen ASN.
1.4.2 Tujuan Khusus
Terdapat beberapa tujuan khusus yang hendak dicapai dari penulisan hukum
ini, yakni :
1. Untuk mengetahui pengaturan dari “lelang jabatan” serta kaitanya
dengan sistem merit dalam UU ASN.
2. Untuk mengetahui kewenangan dari KASN serta ruang lingkup
kewenangan KASN dalam pelaksanaan “lelang jabatan”.
1.5 Manfaat Penulisan
1.5.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan
kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum di bidang hukum
administrasi negara, khususnya pemahaman mengenai tata kelola
pemerintahan yang baik dalam bidang kepegawaian dalam hal ini manajemen
1.5.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, penulisan ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan
dan sumbangan pemikiran serta dapat memberikan kontribusi dan solusi
konkret kepada pihak-pihak terkait yang terlibat dalam bidang kepegawaian.
Terutama dalam hal manajemen ASN yang berkaitan dengan pengangkatan maupun promosi jabatan secara terbuka atau “lelang jabatan” serta
pengawasan terhadap manajemen ASN sehingga dapat mewujudkan tata
kelola pemerintahan yang baik dan demokratis.
1.6 Landasan Teoritis
1.6.1 Konsep Wewenang Pemerintahan
Wewenang menurut S.F. Marbun mengandung arti kemampuan untuk
melakukan suatu tindakan hukum publik, atau secara yuridis adalah kemampuan
bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan
hubungan-hubungan hukum.5 Wewenang (bevoegheid) merupakan bagian yang
sangat penting dan bagian awal dari hukum administrasi, karena pemerintah baru
dapat melaksanakan fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya.
Wewenang menjadi dasar bagi pemerintah untuk melakukan tindak
pemerintahan. Keabsahan tindakan pemerintah didasarkan pada wewenang yang
5.
Sadjijono, 2011, Bab-Bab Pokok Hukum Administrasi, Cet. II, Edisi II, LaksBang,
Yogyakarta, h. 57, dikutip dari S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif
diatur dalam peraturan perundang-undangan atau wewenang yang diperoleh dari
peraturan perundang-undangan (legaliteit beginsel).6
Dalam berbagai kepustakaan terdapat pembagian mengenai sifat wewenang
pemerintahan (bestuurbevoegheid), yakni :
a. Wewenang pemerintahan bersifat terikat, berarti bahwa wewenang
harus sesuai dengan peraturan dasarnya yang menentukan waktu dan dalam keadaan bagaimana wewenang tersebut dapat digunakan, termasuk ketentuan isi dan keputusan yang harus diambil, dengan kata lain, terjadi apabila peraturan dasar yang menentukan isi dari keputusan yang harus diambil secara terinci, maka wewenang wewenang pemerintahan semacam itu merupakan wewenang yang terikat;
b. Wewenang pemerintahan yang bersifat fakultatif, berarti bahwa
wewenang yang dimiliki oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan tidak wajib atau tidak ada keharusan untuk menggunakan wewenang tersebut atau sedikit banyak masih ada pilihan lain walaupun pilihan tersebut hanya dapat dilakukan dalam hal-hal dan keadaan tertentu sebagaimana ditentukan dalam peraturan dasarnya;
c. Wewenang pemerintahan yang bersifat bebas, berarti bahwa
wewenang yang dimiliki oleh badan atau pejabat tata usaha negara dapat menggunakan wewenangnya secara bebas untuk menentukan sendiri mengenai isi dari suatu keputusan yang akan dikeluarkannya karena peraturan dasarnya memberi kebebasan kepada penerima wewenang tersebut atau peraturan dasarnya memberikan ruang lingkup
kebebasan kepada pejabat tata usaha negara yang bersangkutan. 7
Secara teoritik terdapat tiga cara untuk memperoleh wewenang
pemerintahan (bestuurbevoegheid), yakni atribusi, delegasi dan mandat.
Wewenang atribusi adalah wewenang pemerintah yang diperoleh dari peraturan
perundang-undangan. Wewenang ini dapat didelegasikan atau dimandatkan.8
6
Ibid., h. 56.
7.
Wewenang delegasi adalah wewenang yang diperoleh berdasarkan
pelimpahan wewenang dari badan/organ pemerintahan yang lain. Wewenang
delegasi merupakan pelimpahan dari wewenang atribusi yang diberikan oleh
pemberi wewenang (delegans) kepada penerima wewenang (delegataris).
Setelah terjadi pelimpahan maka tanggung jawab beralih kepada delegataris dan
bersifat tidak dapat ditarik kembali oleh delegans. 9
Wewenang mandat adalah pelimpahan wewenang yang pada umumnya
dalam hubungan rutin antara atasan dengan bawahanya. Setelah terjadi
pelimpahan kepada penerima mandat (mandataris), tanggung jawab tetap ada
pada pemberi mandat (mandans)dan sewaktu-waktu dapat ditarik dan digunakan
kembali oleh mandans.10
1.6.2 Konsep Reformasi Birokrasi
Riyadi menjelaskan bahwa birokrasi merupakan salah satu unsur administrasi
negara yang menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan seperti regulasi, perijinan,
pelayanan publik dan pengawasan terhadap pemanfaatan sumber daya yang ada.
Peran, fungsi dan otoritas yang dimiliki inilah yang menjadikan birokrasi sebagai
organisasi yang sangat strategis.11 Keberadaan birokrasi di Indonesia dapat
dikatakan memegang peranan yang penting termasuk dalam proses pembuatan
terhadap kebijakan tersebut. Keberhasilan dari program pembangunan yang
dicanangkan oleh pemerintah sangat ditentukan oleh peranan birokrasi.
Birokrasi secara leksikal berarti alat kelengkapan negara, terutama meliputi
bidang kelembagaan, ketatalaksanaan, dan kepegawaian, yang mempunyai
tanggung jawab melaksanakan roda pemerintahan sehari-hari. Secara umum,
pembangunan birokrasi mencakup berbagai aktivitas terencana yang
berkelanjutan yang ditujukan untuk meningkatkan efektivitas pemerintahan
dalam menjalankan fungsi-fungsinya. 12
Secara terencana pembangunan Birokrasi pun dilakukan melalui sebuah
proses multidimensi yang disebut Reformasi Birokrasi. Secara khusus Presiden
telah menetapkan Perpres No.81/2010 tentang Grand Design Reformasi
Birokrasi 2010 – 2025. Upaya penataan pembangunan birokrasi yang
komprehensif seperti inilah yang secara substansi oleh Sofian Effendi disebut
juga sebagai reformasi birokrasi. 13
Konsep tentang reformasi birokrasi ini seringkali diperhadapkan vis-a-vis
dengan konsep tentang reformasi administrasi. Namun, reformasi birokrasi pada
dasarnya merupakan bagian dari reformasi administrasi negara. Dalam
pengertian yang luas, Wallis mengemukakan bahwa “Administrative reform
means an induced, permanent improvement in administration”.14
1.6.3 Konsep Aparatur Sipil Negara
Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi
pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang
bekerja pada instansi pemerintah. Sedangkan Pegawai ASN adalah pegawai
negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh
pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan
pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
1.6.4 Konsep Sistem Merit
Sistem ini berdasarkan atas jasa kecakapan seseorang pegawai dalam usaha
mengangkat dan mendudukan pada jabatan tertentu. Sistem ini lebih bersifat
objektif, karena dasar pertimbangan kecakapan yang dinilai secara objektif dari
pegawai yang bersangkutan. Karena dasar pertimbangan seperti ini yang
berlandaskan pada jasa kecakapan, maka acapkali sistem ini di Indonesia
dinamakan sistem jasa. Penilaian objektif tersebut, pada umumnya ukuran yang
dipergunakan ialah ijasah pendidikan.15
1.6.5 Konsep Komisi Aparatur Sipil Negara
KASN merupakan sebuah lembaga baru yang dibentuk dalam rangka
penetapan kebijakan Manajemen ASN. KASN adalah lembaga nonstruktural
yang mandiri dan bebas dari intervensi politik. Pembentukan KASN ini untuk
15
Miftah Thoha, 1987, Administrasi Kepegawaian Daerah, Cet. 2, Ghalia Indonesia, Jakarta,
melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan Manajemen
ASN, untuk menjamin penerapan sistem merit serta pengawasan terhadap
penerapan asas, kode etik, dan kode perilaku ASN.
1.6.6 Konsep Jabatan, Pengisian Jabatan, dan “Lelang Jabatan”
Secara teoritis yang dimaksud dengan jabatan ialah suatu lingkungan
pekerjaan tetap (kring van vaste werkzaamheden) yang diadakan dan dilakukan
guna kepentingan negara (kepentingan umum). Tiap jabatan adalah suatu
lingkungan pekerjaan tetap yang dihubungkan dengan organisasi sosial tertinggi,
yang diberi nama negara.16
Lebih lanjut Utrecht menyatakan bahwa jabatan itu merupakan sebuah subjek
hukum. Sebagai subjek hukum, yaitu badan hukum maka jabatan itu dapat
menjamin kontinuitas dari hak dan kewajiban dalam artian jabatan itu bersifat
tetap namun yang berganti adalah pejabat yang menduduki jabatan tersebut. Oleh
karena jabatan itu merupakan pendukung hak dan kewajiban, yaitu suatu subjek
hukum ( person) maka dengan sendirinya jabatan itu dapat melakukan perbuatan
hukum (rechtshandelingen). Perbuatan itu dapat diatur oleh hukum publik
maupun hukum privat.17
Seperti telah disebutkan di muka bahwa jabatan itu bersifat tetap dan yang
berganti adalah pejabatnya. Dengan demikian jabatan itu perlu diisi dengan
Widjaja adalah the right man on the right place (penempatan orang yang tepat
pada tempat yang tepat). Untuk dapat melaksanakan prinsip ini dengan baik, ada
dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
1. Adanya analisis tugas jabatan (job analisys) yang baik, suatu analisis
yang menggambarkan tentang ruang lingkup dan sifat-sifat tugas yang
dilaksanakan sesuatu unit organisasi dan syarat-syarat yang harus dimiliki
oleh pejabat yang akan menduduki jabatan di dalam unit organisasi itu.
2. Adanya Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (kecakapan pegawai) dari
masing-masing pegawai yang terpelihara dengan baik dan terus-menerus.
Dengan adanya penilaian pekerjaan ini dapat diketahui tentang sifat,
kecakapan, disiplin, prestasi kerja, dan lain-lain dari masing-masing
pegawai.18
Terdapat cara-cara atau metode yang dapat digunakan dalam melakukan
pengisian jabatan negara yaitu dengan pemilihan dan/atau pengangkatan pejabat
negara secara perorangan maupun berkelompok yang bertugas baik di lembaga
pemerintah maupun lembaga negara, baik di pusat maupun di daerah.
Kemudian adapun “lelang jabatan” atau sering disebut dengan istilah job
tender sebenarnya bukan hal baru dalam perspektif administrasi publik. Dalam
konsep New Public Management (NPM), lelang jabatan sudah dikenalkan dan
dipraktekkan di negara-negara Barat, dengan istilah yang berbeda-beda.
18
Tujuannya adalah untuk memilih aparatur yang memiliki kapasitas, kompetensi
dan integritas yang memadai untuk mengisi posisi/jabatan tertentu sehingga
dapat menjalankan tugas yang lebih efektif dan efisien. Lelang jabatan
merupakan salah satu cara untuk memperkecil potensi korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN) karena rekrutmen jabatan dilakukan secara transparan,
menggunakan indikator tertentu dan dilakukan oleh pihak yang netral dan
kompeten melakukan seleksi.19
1.6.7 Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik
AAUPB dapat dipahami sebagai asas-asas umum yang dijadikan sebagai
dasar dan tata cara dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik, yang dengan
cara demikian penyelenggaraan pemerintahan itu menjadi baik, sopan, adil, dan
terhormat, bebas dari kezaliman, pelanggaran peraturan,tindakan penyalahgunaan
wewenang, dan tindakan sewenang-wenang.20 Menurut Philipus M Hadjon,
AAUPB harus dipandang sebagai norma-norma hukum tidak tertulis, yang
senantiasa harus ditaati oleh pemerintah, meskipun arti yang tepat dari AAUPB
bagi tiap keadaan tersendiri tidak selalu dapat dijabarkan dengan teliti. Dapat
pula dikatakan, bahwa AAUPB adalah asas-asas hukum tidak tertulis, darimana
19
Mahmun Syarif Nasution, 2013, Lelang Jabatan Dalam Perspektif Kebijakan Publik, h. 2,
URL : http://sumut.kemenag.go.id/file/file/TULISANPENGAJAR/vdyr1370450043.pdf, diakses tanggal 5 November 2015.
20
untuk keadaan-keadaan tertentu dapat ditarik aturan-aturan hukum yang dapat
diterapkan.21
AAUPB merupakan sebuah konsep terbuka dalam bidang hukum administrasi
sehingga jenis dan macam dari AAUPB yang berkembang dan diterapkan di
masing-masing negara bisa saja berbeda. Adapun macam-macam AAUPB ,
khususnya yang dikemukakan oleh Koentjoro Purbopranoto dan SF. Marbun
adalah sebagai berikut. 22
a. Asas kepastian hukum (principle of legal security) ;
b. Asas keseimbangan (principle of proportionality) ;
c. Asas kesamaan dalam mengambil keputusan (principle of equality) ;
d. Asas bertindak cermat (principle of carefulness) ;
e. Asas motivasi untuk setiap keputusan (principle of motivation) ;
f. Asas tidak mencampuradukan kewenangan (principle of nonmisuse of
competence) ;
g. Asas permainan yang layak ( principle of pair play) ;
h. Asas keadilan dan kewajaran (principle of reasonable or prohibition of
arbitrariness) ;
i. Asas kepercayaan dan menanggapi pengharapan yang wajar (principle of
j. Asas meniadakan akibat suatu keputusan yang batal (principle of undoing
the concequences of an annulled decision) ;
k. Asas perlindungan atas pandangan atau cara hidup pribadi (principle of
protecting the personal may of life) ;
l. Asas kebijaksanaan (sapientia) ;
m. Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public service).
1.7 Metode Penelitian
1.7.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian
hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang
meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem hukum mengenai asas-asas,
norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan,
perjanjian serta doktrin (ajaran).23
Perlunya penelitian normatif dilakukan dalam penulisan ini adalah beranjak
dari dikeluarkanya S.E. KEMENPAN-RB No. 16 Tahun 2012 Tentang Tata Cara
Pengisian Jabatan Struktural yang Lowong Secara Terbuka di Instansi
Pemerintah sehingga dijadikan pedoman oleh instansi pemerintah termasuk
instansi pemerintah di daerah dalam melakukan pengangkatan maupun promosi jabatan secara terbuka yang belakangan dikenal luas dengan istilah “lelang
jabatan”. Menjadi relevan kemudian untuk dikaji secara normatif pengaturan
23.
“lelang jabatan” kaitanya dengan sistem merit berdasarkan UU ASN serta
bagaimana kewenangan dari KASN dalam proses “lelang jabatan” ini.
1.7.2 Jenis Pendekatan
Dalam penelitian hukum terdapat beberapa jenis pendekatan, antara lain:
1. Pendekatan kasus (the case approach),
2. Pendekatan perundang-undangan (the statutory approach),
3. Pendekatan Fakta (the fact approach),
4. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (analytical and conceptual
approach),
5. Pendekatan Frasa (word and phrase approach),
6. Pendekatan Sejarah (historical approach),
7. Pendekatan Perbandingan (comparative approach).
Penulisan ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (the statutory
approach), pendekatan analisis konsep hukum (analitical and conseptual
approach) dan pendekatan frasa (word and phrase approach), serta Pendekatan
Sejarah (historical approach).
Pendekatan perundang-undangan (the statutory approach) digunakan untuk
menelaah aturan hukum terkait pengaturan dari “lelang jabatan” dan kewenangan
daripada KASN. Pendekatan analisis konsep hukum (analitical and conseptual
approach) digunakan untuk memahami konsep-konsep yang terkandung dalam
manajemen kepegawaian yang sekarang disebut dengan manajemn ASN
Sedangkan pendekatan frase (word and phrase approach) digunakan untuk
menganalisis makna dari teks rumusan pasal-pasal dalam peraturan
perundang-undangan terkait, dan pendekatan Sejarah (historical approach) digunakan untuk
menganilisis perubahan-perubahan yang ada dalam UU ASN dari UU
Kepegawaian yang lama.
1.7.3 Sumber Bahan Hukum
Bahan hukum merupakan sumber-sumber penelitian hukum normatif.
Bahan hukum yang dipakai dalam penulisan ini yakni:
1) Sumber bahan hukum primer
Sumber bahan hukum primer adalah sumber bahan hukum yang
mengikat yakni berupa norma, kaidah dasar dan peraturan yang
berkaitan, yang bersifat mengikat.24 Adapun bahan hukum primer yang
digunakan dalam penulisan ini adalah :
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3041).
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999
tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
24.
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmmudji, 1988, Penulisan Hukum Normatif, Rajawali Press,
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890).
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 20014 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5494).
- Undang-Undang RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5601).
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 100 Tahun 2000
Tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan
Struktural (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor )
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2002
Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun
2000 Tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan
Struktural (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
- Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan
Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2014
Tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi Secara
Terbuka Di Lingkungan Instansi Pemerintah (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 477)
- Surat Edaran Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi (KEMENPAN-RB) No. 16 Tahun 2012
Tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Struktural yang Lowong
Secara Terbuka di Instansi Pemerintah.
2) Sumber bahan hukum sekunder
Sumber bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Meliputi
buku-buku, literatur, makalah, skripsi, tesis, dan bahan-bahan hukum
tertulis lainnya yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.25
Selain itu, bahan hukum yang diperoleh melalui internet juga termasuk
sebagai bahan hukum sekunder dengan mencantumkan alamat
situsnya.
3) Sumber bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,
seperti kamus besar bahasa Indonesia dan kamus hukum serta
ensiklopedia hukum.26
1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan-bahan hukum yang digunakan dalam penulisan
ini adalah teknik studi dokumen (study document). Penelusuran bahan hukum
dilakukan dengan sistem kartu (card system) yaitu melalui proses membaca,
mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder secara sistematis sesuai dengan
permasalahan penelitian.
1.7.5 Teknik Analisa Bahan Hukum
Setelah bahan-bahan hukum terkumpul kemudian dilakukan analisis
terhadap bahan hukum tersebut. Teknik analisis bahan hukum yang digunakan
dalam penulisan ini, yaitu:
- Teknik Deskripsi, berupa uraian terhadap suatu kondisi hukum
maupun non-hukum.
- Teknik Interpretasi, berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran
dalam ilmu hukum seperti penafsiran gramatikal, historis,
sistematis, teleologis, kontektual, dan lain-lain.
- Teknik Evaluasi, berupa penilaian tepat tidak atau tepat, setuju
atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah terhadap
26.
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penulisan Hukum, Rajagrafindo
suatu pandangan, pernyataan rumusan norma baik yang terdapat
dalam bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder.
- Teknik Argumentasi, berupa penilaian yang bersifat penalaran
hukum.
- Teknik Sistematisasi, berupa upaya mencari kaitan rumusan
suatu konsep hukum antara perundang-undangan yang sederajat
1
SIPIL NEGARA, “LELANG JABATAN”, SISTEM MERIT, APARATUR
SIPIL NEGARA
2.1 Tinjauan Umum Tentang Kewenangan
2.1.1 Asas Legalitas dan Wewenang Pemerintahan
Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai
dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara
hukum terutama bagi negara-negara hukum dalam sistem Kontinental.1 Asas
legalitas ini juga terdapat dalam hukum pidana yang terkenal dengan ungkapan
nullum delictum sine praevia lege poenali. Kemudian asas legalitas ini digunakan dalam bidang Hukum Administrasi Negara yang memiliki makna, “Dat het
bestuur aan de wet is onder worpen” (bahwa pemerintah tunduk kepada
undang-undang). Asas legalitas ini merupakan prinsip negara hukum yang sering dirumuskan dengan ungkapan “Het beginsel van wetmatigheid van bestuur” yakni
prinsip keabsahan pemerintahan.2
Kaitanya dengan kewenangan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya
bahwa asas legalitas merupakan dasar dalam setiap penyelenggaraan
pemerintahan. Dengan kata lain, setiap penyelenggaraan kenegaraan dan
1
Ridwan H.R., op. cit, h. 90.
2
pemerintahan harus memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh
undang-undang. Dengan demikian substansi dari asas legalitas adalah wewenang, yakni “Het vermogen tot het verrichten van bepaalde rechtshandelingen”, yaitu
kemampuan untuk melakukan tindakan- tindakan hukum tertentu.3
Kita perlu membedakan antara kewenangan (authority, gezag) dan wewenang
(competence, bevoegheid), walaupun dalam praktek pembedaanya tidak selalu
dirasa perlu. Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan
yang berasal dari Kekuasaan Legislatif (diberi oleh undang-undang) atau
Kekuasaan Ekskutif Administratif.4
Pengertian mengenai wewenang dan kewenangan secara yuridis juga telah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan (selanjutnya disebut UU AP). Berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU AP
yang dimaksud dengan wewenang adalah hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainya untuk mengambil
keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kemudian
yang dimaksud dengan kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 6
UU AP adalah kekuasaan badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau
penyelenggara negara lainya untuk bertindak dalam ranah hukum publik.
3
Ibid., h. 97-98. 4
Prajudi Atmosudirdjo, 1994, Hukum Administrasi Negara, Cet. 10, Ghalia Indonesia,
2.1.2 Sumber dan Cara Memperoleh Wewenang Pemerintahan
Seiring dengan pilar utama negara hukum, yaitu asas legalitas
(legaliteitsbeginsel atau het beginselen van wetmatigheid van bestuur), maka
berdasarkan prinsip ini tersirat bahwa wewenang pemerintahan berasal dari
peraturan perundang-undangan, artinya sumber wewenang bagi pemerintah adalah
peraturan perundang-undangan.5 Telah disebutkan dan dijelaskan di muka bahwa
kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-perundangan itu secara
teoritik, dapat diperoleh melalui tiga cara yaitu dengan cara atribusi, delegasi, dan
mandat.
Pengertian mengenai atribusi, delegasi, dan mandat secara normatif dapat kita
temukan dalam UU AP. Atribusi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 22 UU
AP yaitu pemberian kewenangan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
oleh Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau
Undang-Undang. Adapun yang dimaksud dengan delegasi sebagaimana diatur dalam Pasal
1 angka 23 UU AP adalah pelimpahan kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang
lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih sepenuhnya
kepada penerima delegasi. Sedangkan yang dimaksud dengan mandat
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 24 UU AP yaitu pelimpahan kewenangan
dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan
5
dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan
tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat.
Philipus M. Hadjon membuat perbedaan delegasi dan mandat yang dapat
dijelaskan ke dalam tabel berikut ini.6
Mandat Delegasi
a. Prosedur Pelimpahan Dalam hubungan rutin
2.2 Tinjauan Umum Tentang Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN)
2.2.1 Latar Belakang Pembentukan KASN
KASN merupakan sebuah lembaga baru dalam sistem kepegawaian di
Indonesia yang diamanatkan pembentukanya oleh UU ASN. KASN sebagaimana
diatur dalam Pasal 1 angka 19 UU ASN adalah sebuah lembaga nonstruktural yang
mandiri dan bebas dari intervensi politik. Lebih lanjut dalam Pasal 27 UU ASN
menyebutkan bahwa “KASN merupakan lembaga nonstruktural yang mandiri dan
bebas dari intervensi politik untuk menciptakan Pegawai ASN yang profesional
dan berkinerja, memberikan pelayanan secara adil dan netral, serta menjadi
perekat dan pemersatu bangsa”.
Keberadaan dari lembaga KASN ini dirasa sangat diperlukan ditengah-tengah
ketidakpercayaan masyarakat terhadap profesionalisme dari aparatur pemerintahan
serta kinerja birokrasi pemerintah baik di instansi pusat maupun daerah. Salah satu
persoalan mendasar dalam sistem kepegawaian di Indonesia saat ini adalah
pekerjaan tempat PNS mengabdi saat ini belum dipandang sebagai sebuah profesi
yang mulia, harus dihormati, dijaga, dan dijadikan dasar dalam berbagai kebijakan
dan manajemen Sumber Daya Manusia (SDM). Keadaan inilah yang
melatarbelakangi pembentuk undang-undang untuk mengamanatkan pembentukan
KASN dalam UU ASN. Kehadiran KASN dalam sistem kepegawaian di Indonesia
juga dapat memberikan perlindungan kepada PNS yang selama ini kerapkali
menjadi korban dari kesewenang-wenangan pejabat atasan. Terutama pada instansi
struktural yang menduduki jabatan tanpa kompetensi serta kemampuan yang
mumpuni melainkan hanya mengandalkan kedekatan dengan kepala daerah selaku
Pejabat Pembina Kepegawaian (selanjutnya disebut PPK). Sehingga prinsip the
right man on the right place tidak pernah terwujud. Selain itu proses
pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS dengan alasan yang tidak
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum juga sering menimpa PNS. Disinilah
kemudian KASN memiliki peran yang sangat strategis dalam rangka menghadang
kesewenang-wenangan dari pejabat atasan sehingga agenda reformasi birokrasi
diharapkan dapat terwujud.
Hal ini sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dibentuknya KASN. Adapun
tujuan dibentuknya KASN yaitu untuk menjamin terwujudnya Sistem Merit dalam
kebijakan dan Manajemen ASN; mewujudkan ASN yang profesional, berkinerja
tinggi, sejahtera, dam berfungsi sebagai sebagai perekat Negara Kesatuan
Republik Indonesia; mendukung penyelenggaraan pemerintahan negara yag
efektif, efisien, dan terbuka, serta bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan
nepotisme; mewujudkan Pegawai ASN yang netral dan tidak membedakan
masyarakat yang dilayani berdasarkan suku, agama, ras, dan golongan; menjamin
terbentuknya profesi ASN yang dihormati pegawainya dan masyarakat; dan
mewujudkan ASN yang dinamis dan berbudaya pencapaian kinerja.
2.2.2 Kedudukan, Fungsi, dan Kewenangan KASN
KASN berkedudukan di ibukota negara. KASN berfungsi untuk mengawasi
Sistem Merit dalam kebijakan dan Manajeman ASN pada Instansi Pemerintah.
Untuk menjalankan semua fungsi dan tugasnya tersebut maka KASN diberikan
kewenangan. Berdasarkan Pasal 32 ayat (1) UU ASN menyatakan bahwa KASN
berwenang :
a. mengawasi setiap tahapan proses pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi mulai dari pembentukan panitia seleksi instansi, pengumuman lowongan, pelaksanaan seleksi, pengusulan nama calon, penetapan, dan pelantikan Pejabat Pimpinan Tinggi ;
b. mengawasi dan mengevaluasi penerapan asas, nilai dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN ;
c. meminta informasi dari pegawai ASN dan masyarakat mengenai laporan pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN;
d. memeriksa dokumen terkait pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN; dan
e. meminta klarifikasi dan/atau dokumen yang diperlukan dari Instansi Pemerintah untuk pemeriksaan laporan atas pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN.
KASN terdiri dari 7 (tujuh) orang komisioner yang diseleksi secara kompetitif
baik dari unsur pemerintah dan/atau unsur non pemerintah. Setiap warga negara
dapat menjadi anggota KASN apapun latar belakangnya, apakah dari LSM,
akademisi, profesional, birokrat, atau aktifis sepanjang memenuhi persyaratan
dapat mencalonkan diri sebagai anggota KASN.
Untuk menjamin independensi dan netralitas KASN, anggota KASN harus
memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (2) UU ASN. Pasal
38 ayat (2) UU ASN menyatakan bahwa “Anggota KASN harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
b. setia dan taat kepada Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun pada saat mendaftarkan diri sebagai calon anggota KASN;
d. tidak sedang menjadi anggota partai politik dan/atau tidak sedang menduduki jabatan politik;
e. mampu secara jasmani dan rohani untuk melaksanakan tugas;
f. memiliki kemampuan, pengalaman, dan/atau pengetahuan di bidang manajemen sumber daya manusia;
g. berpendidikan paling rendah strata dua (S2) di bidang administrasi negara, manajemen sumber daya manusia, kebijakan publik, ilmu hukum, ilmu pemerintahan, dan/atau strata dua (S2) di bidang lain yang memiliki pengalaman di bidang manajemen sumber daya manusia;
h. tidak merangkap jabatan pemerintahan dan/atau badan hukum lainnya; dan
i. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap”.
KASN dalam melaksanakan tugas dan kewenanganya juga dibantu oleh
asisten dan Pejabat Fungsional keahlian. Disamping itu KASN juga dibantu oleh
sekretariat yang dipimpin oleh seorang kepala sekretariat. Untuk percepatan
operasionalisasi KASN, telah diterbitkan Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 118 Tahun 2014 Tentang Sekretariat, Sistem Dan Manajemen Sumber
Daya Manusia, Tata Kerja, Serta Tanggung Jawab Dan Pengelolaan Keuangan
Komisi Aparatur Sipil Negara (selanjutnya disebut Perpres No. 118). Perpres ini
telah ditindaklanjuti dengan Peraturan Ketua KASN Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Organisasi Dan Tata Kerja Sekretariat KASN.
Eksistensi lembaga seperti KASN sebenarnya sudah ada dalam UU
Kepegawaian, yaitu disebut dengan Komisi Kepegawaian Negara. Sebagaimana
diatur dalam Pasal 13 ayat (3) UU Kepegawaian bahwa untuk membantu Presiden
memberikan pertimbangan tertentu, dibentuk Komisi Kepegawaian Negara yang
ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Dalam penjelasan dari Pasal 13 ayat (3)
UU Kepegawaian ini menyebutkan bahwa Komisi Kepegawaian Negara untuk
dapat melaksanakan tugas pokoknya secara objektif, maka kedudukanya bersifat
independen. Kalau kemudian kita bandingkan dengan KASN yang ada sekarang
maka KASN juga dibentuk sebagai sebuah lembaga yang independen. Namun
karena berbagai faktor, sejak diberlakukannya UU Kepegawaian sampai dengan
dicabutnya Undang- Undang tersebut, Komisi Kepegawaian Negara sebagaimana
dimaksud tidak pernah terbentuk. Hal ini harus menjadi catatan bagi pemerintah
dan seluruh stakeholders untuk bersama-sama mengawal jangan sampai KASN
bernasib sama dengan Komisi Kepegawaian Negara.
2.3 Tinjauan Umum Tentang “Lelang Jabatan”
2.3.1 Peristilahan dan Perkembangan Istilah “Lelang Jabatan”
Penting bagi penulis untuk terlebih dahulu memberikan penjelasan yang gamblang terhadap istilah “lelang jabatan” dalam tinjauan umum ini sekadar untuk
menghindari kesalahan persepsi di kemudian hari. Peristilahan dalam dunia hukum
merupakan suatu hal yang harus benar-benar diperhatikan, terlebih ketika kita
membahasakan ke dalam konteks peraturan perundang-undangan.
Pada dasarnya istilah “lelang jabatan” bukan merupakan bahasa hukum.
Istilah “lelang jabatan” tidak akan kita temukan secara eksplisit (letterlijk) dalam
peraturan undangan yang berlaku khususnya peraturan
kalangan masyarakat, terutama sejak Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo
mewacanakan lelang jabatan camat dan lurah di wilayahnya.7 Kalau kita mencoba
untuk mencarikan padananya dalam perspektif administrasi publik maka istilah “lelang jabatan” yang dipopulerkan oleh Joko Widodo pada saat menjabat sebagai
Gubernur DKI Jakarta, memiliki pengertian yang sama dengan open recruitment
atau open bidding. Baik open recruitment maupun open bidding atau ada yang
menyebut dengan lelang jabatan sebenarnya bukan hal baru dalam perspekif
administrasi publik. Dalam konsep New Public Management (NPM), metode ini
sudah dikenalkan dan dipraktekkan di negara-negara barat, seperti Singapura dan
New Zealand, namun dengan penyebutan istilah dan nama yang berbeda-beda di
masing-masing negara.8
Seperti yang telah disebutkan di muka bahwa istilah “lelang jabatan”
bukanlah bahasa hukum. “Lelang jabatan” merupakan sebuah cara atau
mekanisme yang digunakan dalam melakukan pengangkatan dan penempatan PNS
dalam jabatan struktural atau jabatan yang lebih tinggi melalui seleksi yang
sifatnya terbuka. Penempatan PNS tidak selalu berarti penempatan pegawai baru
tetapi bisa pula berarti sebagai promosi, mutasi, dan demosi. Promosi adalah
7
Samiaji, 2014, Open Recruitment Pengisian Jabatan Struktural : Pengalaman Dki Jakarta
Dan Kota Samarinda, h. 51, URL : http://inovasi.lan.go.id/uploads/download/1424446500_Bunga-Rampai_6.samiaji.4.pdf, diakses tanggal 5 November 2015.
8
penempatan pegawai pada jabatan yang lebih tinggi dengan wewenang dan
tanggung jawab yang lebih tinggi dan penghasilan yang lebih tinggi pula.9
Dalam konteks hukum kepegawaian yang di dalamnya mencakup
manajemen kepegawaian sebagaimana diatur dalam UU Kepegawaian yang telah
dicabut maupun Manajemen ASN sebagaimana diatur dalam UU ASN maka istilah “lelang jabatan” ini sebenarnya memiliki pengertian yang sama dengan
promosi jabatan yaitu promosi jabatan secara terbuka. Jadi istilah “lelang jabatan”
dalam konteks hukum sebenarnya lebih tepat disebut dengan istilah promosi
jabatan secara terbuka. Walaupun demikian, dalam perkembangannya, promosi
jabatan secara terbuka ini mengalami serangkaian perubahan istilah namun tetap
memiliki pengertian yang sama. Sejauh pengamatan penulis setidaknya terdapat
beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut promosi jabatan secara terbuka
yang tersebar ke dalam beberapa instrumen hukum dan peraturan
perundang-undangan.
Promosi jabatan secara terbuka dalam PP No. 13 Tahun 2002 digunakan
istilah Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural, pada
Kementrian Keuangan pernah juga melakukan promosi jabatan secara terbuka
yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.01/2008 tentang
Pengangkatan Dalam Jabatan Struktural melalui Pencalonan Terbuka di
Lingkungan Departemen Keuangan. Adapun di Kementerian Pemberdayaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) serta Lembaga
9