• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Sorgum Manis [Sorghum bicolor (L.) Moench]

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Sorgum Manis [Sorghum bicolor (L.) Moench]"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Sorgum Manis [Sorghum bicolor (L.) Moench]

Sorgum manis [Sorghum bicolor (L.) Moench] merupakan tanaman dari famili Gramineae (Poaceae), subfamili Panicoideae dan genus Andropogon (Rukmana dan Oesman 2001). Daerah asal penyebaran tanaman sorgum baik spesies liar maupun spesies budidaya terbesar ditemukan di Afrika (Grubben dan Partohardjomo 1996) untuk selanjutnya tumbuh dan berkembang di berbagai daerah seperti India, Nigeria, Argentina, Meksiko dan Sudan (ICRISAT 1996).

Keunggulan tanaman sorgum adalah sangat efisien dalam penggunaan air. Hal ini disebabkan karena sorgum memiliki sistem perakaran yang halus dan pertumbuhan akar agak dalam sehingga memungkinkan penyerapan air yang cukup intensif (Rismunandar 1989). Sistem perakaran sorgum terdiri dari akar-akar seminal (akar-akar-akar-akar primer) pada dasar buku pertama pangkal batang, akar-akar koronal (akar-akar pada pangkal batang yang tumbuh ke arah atas) serta akar-akar udara. Tanaman sorgum dapat membentuk perakaran sekunder berukuran dua kali lipat dari akar sekunder jagung (Rukmana dan Oesman 2001). Doggett (1970) menyimpulkan bahwa pada endodermis akar sorgum terdapat endapan silika yang berfungsi mencegah kerusakan akar pada kondisi kekeringan.

Batang tanaman sorgum berbentuk silinder, beruas-ruas dan berbuku-buku (ICRISAT 1996). Setiap ruas memiliki alur yang letaknya berselang-seling. Batang sorgum memiliki sel-sel parenkim atau seludang pembuluh yang diselubungi oleh sebuah lapisan keras. Beberapa varietas sorgum dapat membentuk cabang dan memiliki anakan (Rukmana dan Oesman 2001). Menurut Martin (1970) banyaknya anakan yang berkembang tergantung faktor genetik, jarak tanam, kelembaban tanah, fotoperiodisme, vigor tanaman dan waktu tanam. Ukuran diameter batang bervariasi antara 0.5 sampai 5 cm. Begitu juga dengan tinggi tanaman bervariasi dari 0.5 sampai 4 m (Murty et al. 1994). Tinggi tanaman dipengaruhi oleh jumlah buku, panjang ruas batang, panjang tangkai malai, panjang malai dan faktor genetik (Doggett 1970). Perpanjangan buku pada

(2)

tanaman sorgum dikendalikan oleh empat lokus gen Dwarf yaitu Dw1, Dw2, Dw3 dan Dw4(House 1985).

Daun tanamam sorgum terdiri dari helai daun dan pelepah daun dengan panjang helai daun mencapai 30-135 cm dan lebar daun maksimum 13-15 cm. Menurut Rismunandar (1989) daun sorgum dilapisi sejenis lilin yang agak tebal berwarna putih, berfungsi untuk menahan atau mengurangi penguapan air dari dalam tanaman sehingga toleran terhadap kekeringan.

Bunga sorgum tersusun dalam bentuk malai dengan banyak bunga pada setiap malai sekitar 1500-4000 bunga. Bunga sorgum akan mekar teratur dari cabang malai paling atas hingga ujung malai paling bawah. Malai sorgum memiliki tangkai yang tegak atau melengkung, berukuran pendek atau panjang dan bentuk malai dari agak kompak sampai terbuka, oval, kerucut, ramping panjang atau piramida (Murty et al. 1994).

Biji sorgum berbentuk kariopsis atau karnel yaitu buah berbiji tunggal dengan kulit buah (pericarp) yang bersatu dengan kulit biji. Warna, ukuran dan bentuk biji sorgum beragam. Kulit biji dapat berwarna putih, krem, kekuningan, merah atau coklat. Biji sorgum dapat berbentuk bola, bentuk seperti buah pear dan gepeng pada salah satu bagiannya. Bobot 100 biji sorgum berkisar 0.75-7.5 gram (Murty et al. 1994). Waktu yang diperlukan biji sorgum untuk mencapai berat kering maksimal tergantung pada kondisi pertumbuhan, biasanya 25-55 hari setelah antesis dengan kadar air 25-35% (Doggett 1970). Menurut Rismunandar (1989) malai sorgum dapat dipanen rata-rata setelah tanaman berumur 90-120 hari.

Tanaman sorgum mampu tumbuh di daerah tropis maupun subtropis mulai dari dataran rendah hingga dataran tinggi sampai ketinggian 1500 m di atas permukaan laut (Rismunandar 1989). Kondisi yang optimum untuk tanaman sorgum adalah daerah bersuhu 20-30oC, kelembaban rendah dan curah hujan 375-425 mm selama tanaman masih muda hingga mencapai umur 4-5 minggu. Sorgum dapat tumbuh di hampir setiap jenis tanah.

Sorgum merupakan tanaman C4 yaitu spesies tanaman yang menghasilkan empat karbon (asam malat dan aspartat) sebagai produk awal penambatan CO2

(3)

dalam proses metabolisme. Tanaman jenis ini memanfaatkan kedua sel mesofil dan sel seludang berkas untuk menambat CO2 sehingga jenis tanaman C4 menjadi sangat efisien dalam fotosintesis. Produk yang dihasilkan sel mesofil berupa asam malat dan asam aspartat dengan cepat ditransfer ke sel seludang berkas dan asam tersebut mengalami dekarboksilasi dengan melepaskan CO2 yang selanjutnya ditambat oleh Rubisco untuk diubah menjadi 3-PGA (asam fosfogliserat). Tanaman C4 juga memiliki sel seludang berkas yang lebih tebal dibandingkan dengan sel seludang pada tanaman C3 sehingga mengandung lebih banyak kloroplas, mitokondria dan organel penting lainnya dalam proses fotosintesis (Salisbury dan Ross 1992; Taiz dan Zeiger 2002). Tanaman C4 juga mampu berfotosintesis lebih cepat pada penyinaran tinggi dan suhu panas sehingga mampu menghasilkan biomassa yang lebih banyak dibandingkan tanaman C3 (Salisbury dan Ross 1992).

Pada tanaman sorgum, selain memiliki mekanisme fotosintesis yang efisien juga memiliki mekanisme fisiologi lainnya antara lain permukaan daun yang dilapisi lilin sehingga dapat mengurangi laju transpirasi dan mempunyai sistem perakaran yang ekstensif (House 1985). Hal ini membuat produktivitas biomassa sorgum lebih tinggi dibandingkan tanaman C4 sejenis yaitu jagung (Hoeman 2007). Penelitian Borrel et al. (2005) menemukan bahwa tanaman sorgum efisien dalam penggunaan radiasi dan transpirasi karena memiliki gen pengendali stay-green sejak fase pengisian biji yang berhubungan dengan kandungan nitrogen daun spesifik. Fenomena ini mampu memperlambat proses

senescen pada daun sorgum sehingga mampu mempertahankan batang dan daun

tetap hijau meskipun pasokan air sangat terbatas (Seetharama dan Mahalakshmi 2006; Borrel et al. 2006).

Mekanisme Toleransi terhadap Aluminium

Lahan kering masam dicirikan dengan pH < 5.0 dan kejenuhan basa < 50% (Hidayat dan Mulyani 2002). Tanah masam juga ditandai oleh tingginya konsentrasi Aluminium (Al), terutama Al3+, yaitu bentuk Al yang dianggap paling beracun bagi tanaman (Marschner 1995). Aluminium dapat mempengaruhi

(4)

morfologi, fisiologi dan ekspresi gen tanaman. Cekaman Al menyebabkan terganggunya penyerapan hara tanaman (Adam et al. 1999). Meningkatnya konsentrasi Al terlarut menyebabkan penyerapan unsur-unsur hara berkurang sehingga pada akhirnya mengakibatkan terjadinya defisiensi hara antara lain Ca, P, K Mg dan hara mikro seperti seng, tembaga dan molybdenum. Terganggunya penyerapan secara langsung disebabkan kerusakan membran sel akar. Akumulasi Al dapat menyebabkan kebocoran membran, mengurangi kandungan K dalam jaringan ujung akar dan merusak viabilitas protoplasma karena Al dan membran plasma akar membentuk ikatan polimer sehingga terjadi kerusakan pada membran dan kebocoran K dari sel akar (Matsumoto et al. 1992).

Kerusakan akar akibat cekaman Al juga disebabkan terjadinya penebalan ujung akar dan akar cabang. Penelitian Caniato et al. (2007) memperlihatkan bahwa aktivitas Al menyebabkan pertumbuhan akar sorgum terhambat hingga 30% untuk tetua toleran dan mencapai 45% pada populasi bersegregasi sorgum yang digunakan. Penelitian Yamamoto (1992) mendapatkan hasil bahwa toksisitas Al pada tembakau menyebabkan tanaman kekurangan hara dan juga mengubah struktur dan fungsi membran plasma serta menghalangi pembelahan sel pada ujung-ujung akar.

Kelarutan Al yang tinggi secara tidak langsung berpengaruh terhadap proses-proses fisiologi dan metabolisme tanaman. Terganggunya penyerapan hara menyebabkan ketersediaan unsur hara menurun sehingga pertumbuhan tajuk tanaman menjadi tertekan (Marschner 1995). Polle dan Konzak (1990) menjelaskan bahwa kerusakan akar oleh Al menyebabkan terganggunya hara dan meningkatkan kepekaan terhadap kekeringan sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan produktivitas tanaman.

Mekanisme toleransi terhadap Al dapat dikelompokkan menjadi mekanisme eksternal dan mekanisme internal (Taylor 1991; Sopandie 2006). Tanaman yang memiliki mekanisme eksternal mampu mencegah Al masuk ke dalam simplas dan bagian metabolik yang sensitif. Mekanisme ini dapat dicapai antara lain dengan imobilisasi Al pada dinding sel dan selektivitas plasma membran terhadap Al, induksi pH di rizosfir atau apoplas akar, sekresi senyawa

(5)

organik pengkelat Al. Penelitian Pineros dan Kochian (2001) pada pewarnaan akar dengan hematoxylin menunjukkan bahwa jagung yang toleran Al mampu melakukan akumulasi Al pada lapisan sel bagian luar tudung akar sebagai upaya penahanan Al masuk ke dalam jaringan.

Peningkatan pH rizosfer pada larutan/media merupakan salah satu indikator toleransi tanaman terhadap cekaman Al. Beberapa penyebab penurunan pH pada zone perakaran: 1) Pelepasan ion H akibat absorpsi kation > anion, 2) Pelepasan dan hidrolisis CO2, 3) Pelepasan ion-ion H dari gugus karboksil asam poligalakturonat dan sisa-sisa asam pektat dan 4) Ekskresi proton-proton dari mikroorganisme-mikroorganisme yang berhubungan dengan akar. Tanaman yang memiliki mekanisme toleransi dengan mengubah pH di daerah perakaran akan meningkat pH larutan hara sehingga tanaman mampu menurunkan kelarutan dan toksisitas Al (Sasaki et al. 1997). Percobaan pada metode kultur hara menunjukkan bahwa genotipe toleran pada tanaman jagung, gandum, barley dan padi mengalami peningkatan pH larutan serta terjadi penurunan kelarutan dan toksisitas Al (Caniato et al. 2007; Furukawa et al. 2007). Menurut Hayes (1990), peningkatan pH rizosfer akan meningkatkan ketersediaan unsur hara seperti P dan menurunkan ketersediaan Zn, Cu, Fe, Mn dan Al. Penelitian Delhaize et al. (1995) pada tanaman kedelai menunjukkan bahwa genotipe toleran mampu meningkatkan pH rizosfer dua kali lipat dibandingkan dengan genotipe peka. Kenaikan pH akan mengurangi kelarutan Al, toksisitas dan melepaskan ikatan dengan P.

Tanaman toleran mampu menghasilkan asam organik yang dapat mengkelat Al dan mencegah pengikatan Al-P dalam akar (Delhaize et al. 1993; Furukawa et al. 2007). Ujung akar tanaman yang toleran Al selain mengeksudasi asam organik juga mampu mengeksudasi fosfat organik. Hal ini merupakan proses alami hara P dan bagian dari keseimbangan hara P dalam tanaman (Pellet

et al. 1996). Detoksifikasi Al oleh fosfat karena terbentuknya ikatan kompleks

Al-P (Delhaize et al. 1993). Tanaman jagung dan gandum toleran mampu mengeksudasi fosfat organik lebih banyak dibandingkan tanaman peka (Pellet et

(6)

al. 1995 dan 1996). Mekanisme eksternal menyebabkan kandungan Al dalam

jaringan menjadi rendah.

Tanaman dengan mekanisme internal memiliki daya toleransi untuk mengakumulasi Al dalam sel sehingga kandungan Al dalam jaringan tinggi. Mekanisme resistesi internal dicapai dengan pengkelatan Al oleh asam organik dalam sitosol, kompartementasi Al di vakuola, memproduksi protein pengikat Al serta produksi dan peningkatan enzim yang tahan Al.

Senyawa organik pada tanaman toleran Al mampu melakukan kompleks atau bahkan kelat (menjepit) Al sehingga dapat mengurangi kelarutan Al (Hayes dan Swift 1990; Tan 1993). Senyawa organik pada tanaman peka Al tidak efektif melakukan kompleks atau mengkelat ion logam, salah satunya disebabkan karena jumlah yang dihasilkan tidak mampu untuk menetralkan atau mengusir Al (Sopandie et al. 2003; Kasim et al. 2001).

Anion organik pada barley mengaktifkan Al-effluks dari akar dan berkorelasi dengan toleransi Al (Furukawa et al. 2007). Caniato et al. (2007) menyatakan bahwa mekanisme fisiologi toleransi Al pada sorgum berdasarkan pengkelatan Al di rizosfer oleh malat yang dilepas dari apikal akar dan mencegah logam mencapai situs sensitif di dalam akar. Tanaman teh merupakan salah satu tanaman yang menghasilkan asam organik/polifenol yang dapat menawarkan racun Al dengan cara mengkelatnya (Matsumoto dan Sasaki 2002). Aluminium berikatan dengan catechin di dalam daun muda dan pucuk, sedangkan pada daun tua ditemukan adanya kompleks aluminium-asam fenolik dan asam alumonium-asam organik.

Pemuliaan bagi Lingkungan Bercekaman

Lingkungan bercekaman adalah lingkungan sub optimum bagi pertumbuhan dan produksi tanaman. Lingkungan sub optimum merupakan lingkungan yang beragam dan tidak sama tingkat cekamannya. Tujuan pemuliaan untuk perbaikan produktivitas tanaman pada lingkungan bercekaman ditentukan oleh tingkat cekaman pada lingkungan target (Sopandie et al. 2004; Sopandie 2006).

(7)

Perbaikan produktivitas tanaman di lahan bercekaman dapat dilakukan melalui perbaikan potensi hasil untuk mendapatkan varietas berdaya hasil tinggi dan perbaikan daya adaptasi tanaman untuk mendapatkan varietas yang toleran (Accevedo dan Fererres 1993). Menurut Baker (1993), produktivitas tanaman pada kondisi bercekaman ditentukan oleh potensi hasil tanaman serta daya

adaptasi tanaman terhadap cekaman. Upaya untuk meningkatkan produktivitas tanaman pada kondisi cekaman

ringan atau sedang dilakukan melalui perbaikan potensi hasil dan pembentukan

idiotype breeding (Romagosa dan Fox 1993). Perbaikan potensi hasil dapat

dilakukan melalui perbaikan kapasitas fotosintesis dan respirasi untuk meningkatkan biomassa tanaman dan perbaikan sink capacity dan partisi fotosintat (Accevedo dan Fererres 1993). Upaya pembentukan idiotype breeding dilakukan dengan mengembangkan kombinasi karakter yang mendukung fotosintesis, pertumbuhan dan produksi tanaman (Sopandie 2006). Melalui pembentukan idiotype breeding, pemulia akan memperoleh gambaran yang jelas dalam menyeleksi karakter tanaman yang mendukung peningkatan potensi hasil (Romagosa dan Fox 1993; Sopandie 2006).

Upaya untuk meningkatkan produktivitas tanaman pada kondisi cekaman berat dilakukan melalui peningkatan adaptasi tanaman (Romagosa dan Fox 1993). Pada lingkungan dengan cekaman berat terdapat interaksi genotipe dengan lingkungan baik interaksi yang bersifat kuantitatif maupun interaksi yang bersifat kualitatif. Interaksi genotipe dengan lingkungan yang bersifat kuantitatif tidak menyebabkan perubahan rangking genotipe. Genotipe yang unggul pada satu lingkungan tetap unggul pada lingkungan yang berbeda. Interaksi genotipe lingkungan yang bersifat kualitatif merupakan kendala dalam pemuliaan bagi lingkungan bercekaman berat karena mengakibatkan perubahan rangking genotipe (Ceccareli 1996). Genotipe berdaya hasil tinggi pada satu lingkungan bisa mengalami penurunan hasil yang cukup tajam pada lingkungan berbeda akibat pengaruh cekaman (Romagosa dan Fox 1993; Roy 2000; Bernardo 2002; Chahal dan Gosal 2003).

(8)

Seleksi pada lingkungan bercekaman harus dilakukan di lingkungan target sehingga dapat memaksimalkan ekspresi gen-gen yang mengendalikan daya hasil maupun daya adaptasi tanaman terhadap cekaman (Ceccareli et al. 2007). Seleksi pada kondisi bercekaman dapat dilakukan berdasarkan fenotipe, marka molekular dan gabungan antara fenotipe dan marka molekuler (Bernardo 2002). Seleksi berdasarkan fenotipe menjadi sulit karena nilai heritabilitas yang rendah dan adanya interaksi antara genotipe dan lingkungan yang bersifat kualitatif. Untuk meningkatkan efisiensi seleksi maka seleksi dapat dilakukan menggunakan marka molekuler. Marka molekuler yang terpaut dengan QTL atau yang mengendalikan daya hasil pada kondisi bercekaman serta QTL yang mengendalikan toleransi terhadap cekaman merupakan salah satu marka yang dapat dijadikan alat bantu seleksi (Forster et al. 2000; Hussain 2006).

Arah Program Pemuliaan Tanaman Sorgum

Tanaman sorgum manis merupakan salah satu jenis tanaman yang sangat potensial dalam pemecahan masalah krisis pangan dan energi. Kebutuhan terhadap tanaman ini terus meningkat (Grassi 2001). Konsekuensinya adalah perbaikan hasil dan kualitas sangat perlu dilakukan. Secara umum, tanaman sorgum manis yang diinginkan adalah tanaman sorgum yang memiliki indeks panen yang tinggi, produktivitas yang tinggi, stabilitas hasil, resisten terhadap penyakit dan memiliki toleransi terhadap cekaman abiotik seperti tidak sensitif terhadap photoperiodisme, kelembaban tinggi, toleran kekeringan dan lahan masam (Baenziger 2006).

Ketersediaan bahan bakar tidak terbarukan (berbasis fosil) saat ini semakin terbatas menyebabkan kebutuhan akan sumber energi yang terbarukan (biofuel) menjadi penting. Penggunaan bioetanol dapat mengurangi emisi gas rumah kaca sampai 12% (Reddy dan Dar 2007). Dari tahun ke tahun kebutuhan terhadap bioetanol semakin meningkat. Sorgum merupakan salah satu tanaman yang dapat menjadi bahan baku industri bioetanol karena batang dan juga bijinya dapat dikonversi menjadi bioetanol melalui proses fermentasi (Yudiarto 2006; Reddy dan Dar 2007). Selain produktivitasnya yang tinggi dan biaya produksi yang

(9)

rendah, tanaman sorgum tidak berkompetisi dengan tanaman pangan. Saat ini produsen bioetanol yang menggunakan sorgum masih didominasi oleh Amerika Serikat, Cina, Afrika Selatan dan India (Dirjen Tanaman Pangan 2007). Sorgum memenuhi persyaratan sebagai bahan baku bioetanol antara lain dapat tumbuh dalam berbagai agroekologi, lebih tahan penyakit dan memerlukan input produksi yang relatif sedikit jika dibandingkan dengan tanaman penghasil bioetanol lainnya.

Rasmusson (1987) menjelaskan bahwa ideotipe merupakan sifat yang diharapkan dapat ditingkatkan potensi genetik hasilnya. Pemuliaan ideotipe didefinisikan sebagai metode yang digunakan dalam pemuliaan untuk meningkatkan potensi genetik karakter yang diinginkan dengan memodifikasi karakter tersebut secara spesifik (Roy 2000). Arah pemuliaan sorgum untuk produksi bioetanol diarahkan pada perbaikan karakter-karakter produksi bioetanol yaitu karakter malai dan batang.

Tanaman sorgum memiliki efisiensi fotosintesis yang tinggi yaitu 2.5% dengan efisiensi fotosintesis maksimum pada beberapa jam tertentu dalam siklus harian mencapai 27% (Grassi 2005). Perbaikan efisiensi fotosintesis diharapkan dapat meningkatkan produksi biomassa sorgum sehingga produktivitas bioetanol juga akan meningkat. Alkohol diperoleh dari nira bagian batang sorgum. Kualitas nira sorgum manis setara dengan nira tebu, kecuali kandungan amilum dan asam akonitat yang relatif tinggi (Sirappa 2003). Kandungan amilum yang tinggi tersebut merupakan salah satu masalah dalam proses kristalisasi nira sorgum sehingga gula yang dihasilkan berbentuk cair. Untuk mengatasi masalah tersebut, pengembang ideotipe dapat diarahkan pada penurunan kandungan amilum dari kadar awal.

Bioetanol juga diperoleh dari bagian malai. Sirappa (2003) menjelaskan bahwa biji sorgum mengandung 65-71% pati yang dapat dihidrolisis menjadi gula sederhana. Gula sederhana yang diperoleh dari biji sorgum selanjutnya dapat difermentasi untuk menghasilkan alkohol. Menurut Somani dan Pandrangi (1993)

(10)

384 liter bioalkohol. Seleksi berdasarkan bobot biji per tanaman diharapkan akan diperoleh perbaikan produksi malai surgum.

Kelebihan lain adalah manfaat ganda tanaman sorgum yang dapat digunakan dalam memenuhi kebutuhan pangan dan pakan. Sorgum manis merupakan salah satu tanaman pangan dunia dengan luas areal tanam, produksi dan kegunaan tanaman ini di dunia yang menempati peringkat ke-lima setelah gandum, padi, jagung dan barley (Murty et al. 1994). Tanaman sorgum merupakan sumber pangan utama di Afrika yang dikonsumsi lebih dari 300 juta penduduknya (Rajvanshi dan Nimbkar 2001). Pemanfaatan sorgum lainnya adalah produk olahannya berupa roti, bubur, bahan minuman (bir dan sirup) serta gula atau jiggery (ICRISAT 1996).

Berkaitan dengan program diversifikasi pangan di Indonesia, tanaman sorgum sangat potensial untuk dijadikan sebagai bahan pangan utama sumber karbohidrat karena memiliki kandungan nutrisi yang tinggi (Yudiarto 2006) Beberapa kandungan nutrisi yang dimiliki sorgum melebihi kandungan yang dimiliki penghasil karbohidrat utama (beras) yaitu protein, lemak, kalsium, besi, fosfor dan vitamin B-1 (Sirappa 2003).

Kandungan tannin pada beberapa jenis sorgum cukup tinggi (0,40−3,60%), sehingga hasil olahannya kurang enak. Sumarno dan Karsono (1996) menyarankan untuk mengatasi masalah ini melalui teknologi pengolahan kulit dan lapisan testa dengan pengikisan (penyosohan). Pendekatan melalui program pemuliaan dapat dilakukan melalui perakitan sorgum dengan kandungan tannin rendah. Keberadaan tannin pada sorgum sulit terdeteksi dan tidak tergantung pada warna biji (House 1985).

Sorgum memenuhi syarat gizi dan faktor biofisik untuk dijadikan jalan keluar dalam krisis pangan dan dalam rangka perbaikan gizi masyarakat, sehingga pengembangan varietas sorgum dengan level vitamin, mineral dan protein tinggi harus dilakukan. Sorgum memiliki kandungan glutin sorgum sangat rendah (Graybosch 1992) sehingga sorgum dikembangkan sebagai bahan pangan premium untuk keperluan diet pada penderita diabetes dan diet pada penderita alergi glutin (Hoeman 2008).

(11)

Pemanfaatan sorgum sebagai pakan ternak yaitu biji sorgum untuk bahan campuran ransum pakan ternak unggas, sedangkan batang dan daun sorgum (stover) untuk ternak ruminansia (Hoeman 2007). Kandungan lemak sorgum yang relatif tinggi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan bobot ternak. Dengan demikian, pemilihan ideotipe dapat diarahkan pada perakitan genotipe yang memiliki kandungan lemak tinggi. Penggunaan biji sorgum dalam ransum pakan ternak bersifat suplemen (substitusi) terhadap jagung karena nilai nutrisinya tidak berbeda dengan jagung, namun karena kandungan tannin yang cukup tinggi membuat rasa pakan biji sorgum menjadi pahit (Sirappa 2003). Menurut Koentjoko (1996), kandungan tanin dalam ransum di atas 0,50% dapat menekan pertumbuhan ayam, dan apabila mencapai 2% akan menyebabkan kematian (Rayudu et al. 1970) sehingga salah satu ideotipe yang dapat dikembangkan dalam program pemuliaan sorgum untuk keperluan pakan adalah menurunkan kadar tannin pada lapisan aleuron biji.

Potensi daun sorgum manis sekitar 14−16% dari bobot segar batang atau sekitar 3 ton daun segar/ ha dari total produksi 20 ton/ha. Soebarinoto dan Hermanto (1996) melaporkan bahwa setiap hektar tanaman sorgum dapat menghasilkan jerami 2,62 + 0,53 ton bahan kering. Konsumsi rata-rata setiap ekor sapi adalah 15 kg daun segar/hari (Direktorat Jenderal Perkebunan 1996). Dengan demikian pengembangan sorgum sebagai tanaman pakan ternak (forage sorghum) dapat dilakukan dengan meningkatkan potensi hijauan sorgum. Borrel et al. (2006) menjelaskan kondisi stay green pada tanaman sorgum dipengaruhi oleh efisiensi penggunaan radiasi dan transpirasi yang tinggi.

Penelitian sorgum selain mengarah pada perbaikan sifat agronomi dan kualitas sebagai sumber pangan, pakan dan bahan baku bioetanol, juga diarahkan pada peningkatan produktivitas antara lain dengan perakitan sorgum yang memiliki daya adaptasi luas dengan produktivitas tinggi namun memerlukan input relatif rendah, peningkatan ketahanan terhadap hama dan penyakit tanaman serta toleransi terhadap kondisi marjinal (kekeringan, salinitas dan lahan masam). Arah pemuliaan sorgum dalam peningkatan komponen hasil dan produktivitas dapat dilakukan dengan memanfaatkan galur-galur murni dan hibrida (Institute of

(12)

Agricultural Sciences at Xinxian-Shanxi 1972). Hasil panen pada hibrida sorgum berkorelasi dengan berat malai. Poelman dan Sleper (1996) menerangkan bahwa program pemuliaan sorgum untuk daya hasil tinggi memerlukan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman seperti umur tanam, sensitifitas terhadap fotoperiode, resistensi terhadap kerebahan dan resistensi terhadap cekaman (biotik maupun abiotik).

Karakter agronomi seperti tinggi tanaman, jumlah daun dan produksi biji dapat digunakan sebagai indikator tahan kekeringan. Grassi et al. 2004 menjelaskan bahwa daya adaptasi sorgum terhadap kekeringan berhubungan dengan mekanisme efisiensi penggunaan air. Penelitian yang dilakukan Di Fonzo

et al. (1999) diketahui bahwa luas area hijau daun pada fase generatif

meningkatkan produksi biji. Genotipe dengan kemampuan stay-green pada tanaman pangan seperti jagung, sorgum dan gandum, lebih aktif berfotosintesis selama masa pengisian biji. Hal serupa juga dijelaskan oleh van Oosterom et al. (1996), bahwa karakter stay-green merupakan komponen toleransi terhadap kekeringan pada fase akhir pembungaan sorgum. Sorgum dengan fenotipe

stay-green mengakumulasi lebih banyak gula pada batang baik selama maupun setelah

fase pengisian biji. Karakter stay-green merupakan karakter penting dalam perakitan varietas sorgum manis toleran kekeringan dan juga dapat digunakan dalam aplikasi pemuliaan lainnya.

Penurunan produktivitas tanaman pada tanah masam terutama dialami oleh jenis tanaman semusim (annual plant) dengan sistem perakaran yang dangkal (Kochian et al. 2004). Pada kondisi tercekam kemasaman, pertumbuhan tajuk akan terhambat yang ditunjukkan oleh pertumbuhan yang kerdil (Marschner 1995). Hal ini disebabkan oleh terhambatnya akses air dan nutrisi karena pertumbuhan akar yang terhambat. Sistem perakaran merupakan salah satu karakter yang dapat digunakan tanaman untuk mengurangi toksisitas Al dan meningkatkan kemampuan tanaman dalam memanfaatkan unsur hara.

Strategi untuk meningkatkan produktivitas tanaman di lingkungan bercekaman adalah melalui program pemuliaan tanaman yang didukung oleh pemahaman tentang aspek fisiologi adaptasi tanaman (Sopandie 2006).

(13)

Pengembangan sorgum yang memiliki toleransi terhadap Al diperlukan upaya mengembangkan varietas-varietas sorgum yang beradaptasi pada kondisi agroekologi lahan bercekaman Al. Varietas sorgum toleran Al telah dikembangkan di beberapa negara (Kochian et al. 2004), tetapi di Indonesia saat ini belum dikembangkan, karenanya pengembangan varietas sorgum toleran tanah masam sangat diperlukan. Pemahaman tentang mekanisme adaptasi dan kendali genetiknya dapat membantu meningkatkan efektivitas seleksi galur-galur sorgum toleran Al.

Indonesia bukan merupakan daerah origin sorgum, namun tanaman sorgum di Indonesia sebenarnya sudah sejak lama dikenal. Perkembangan sorgum di Indonesia tidak sebaik padi dan jagung karena masih sedikit daerah yang memanfaatkan tanaman sorgum sebagai bahan pangan. Budidaya, penelitian dan pengembangan tanaman sorgum di Indonesia masih sangat terbatas (Hoeman 2007). Salah satu penyebab keterbatasan tersebut adalah tidak tersedianya benih varietas unggul sorgum. Hal inilah yang menyebabkan keragaman genetik yang tersedia masih sangat terbatas. Peningkatan keragaman genetik sorgum dapat dilakukan melalui introduksi, hibridisasi, mutasi dan bioteknologi maupun kombinasi antara metode-metode tersebut.

Varietas sorgum yang terdapat di Indonesia sebagian besar merupakan introduksi dari International Crop Research Institut for Semi-Arid Tropics (ICRISAT) dan dari beberapa negara seperti India, Thailand dan Cina. Setelah melalui proses pengujian adaptasi dan daya hasil selama beberapa generasi, beberapa varietas introduksi tersebut telah dilepas oleh Departemen Pertanian Republik Indonesia sebagai varietas sorgum unggul nasional antara lain UPCA, Keris, Mandau, Higari, Numbu, Kawali, Badik, Gadam dan Sangkur (Dirjen Bina Produksi Tanaman Pangan 2003).

Teknik hibridisasi atau persilangan buatan dapat menimbulkan keragaman baru melalui rekombinasi yang terbentuk dari alela-alela yang berasal dari tetua-tetua persilangan. Persilangan dapat menghasilkan keragaman baru yang tidak ditemukan pada genotipe kedua tetuanya karena adanya rekombinasi (Baenziger 2006). Setelah melalui segregasi akan terbentuk populasi yang mempunyai

(14)

keragaman genetik lebih tinggi. Dengan hibridisasi, keragaman yang dibentuk dapat diarahkan sesuai dengan sasaran program pemuliaan, berupa gabungan karakter-karakter unggul yang ada di tetua-tetua persilangan.

Persilangan buatan dapat melibatkan semua bentuk genotipe, varietas dari suatu spesies yang sama atau antar spesies yang berbeda. Berdasarkan pengelompokan genotipe ini persilangan buatan dapat dikelompokkan menjadi (1)

Intervarietal yaitu persilangan yang melibatkan tetua-tetua berupa kultivar dari

spesies yang sama (Harlan dan de Wet 1971), (2) Interspesifik yaitu persilangan yang melibatkan tetua yang berasal dari dua spesies yang berbeda dari genus yang sama (Harlan dan de Wet 1971), (3) Intergenerik yaitu persilangan yang melibatkan tetua-tetua yang berasal dari spesies dari genus yang berbeda (Greene dan Morris 2001) dan (4) Introgressi yaitu persilangan yang melibatkan tetua-tetua yang berasal dari spesies yang berbeda dengan tujuan untuk memindahkan satu atau beberapa gen saja dari tetua spesies liar ke spesies budidaya (Gepts 2002). Tipe persilangan yang paling umum dilakukan adalah tipe persilangan intervarietal, karena rekombinasi gen dapat terjadi lebih mudah dan tanpa hambatan reproduksi. Persilangan yang melibatkan spesies tanaman yang berbeda mempunyai kendala pada hambatan reproduksi sehingga memerlukan teknik khusus.

Pemilihan tetua sangat penting diperhatikan dalam hibridisasi karena menentukan keberhasilan dari tujuan persilangan yang diinginkan. Tetua yang digunakan dalam persilangan harus membawa karakter unggul yang diinginkan (Sutjahjo et al. 2005). Selain itu, salah satu atau kedua tetua memiliki adaptasi dan penampilan agronomis yang baik dan juga antara tetua mempunyai jarak kekerabatan yang jauh sehingga dapat menghasilkan keragaman genetik yang tinggi pada turunannya.

Sumber keragaman untuk seleksi tetua persilangan dapat diperoleh dari koleksi plasma nutfah yang ada atau jika tidak ada dapat diintroduksikan dari wilayah lain. Sutjahjo et al. (2005) menjelaskan bahwa plasma nutfah yang menjadi sumber keragaman bagi seleksi tetua dapat terdiri dari varietas komersial, galur-galur elit hasil pemuliaan (breeding lines), varietas lokal atau landrace dan

(15)

spesies liar. Varietas komersial adalah varietas yang telah ditanam luas dan diterima baik oleh petani. Galur-galur elit hasil pemuliaan (breeding lines) adalah yaitu galur-galur terpilih dengan sifat-sifat unggul tetapi belum dilepas sebagai varietas. Varietas lokal atau landrace yaitu kultivar hasil seleksi petani yang mempunyai keunggulan dalam adaptasi terhadap cekaman lingkungan tertentu seperti kekeringan, tanah masam, salinitas atau tanah gambut sulfat masam, sedangkan spesies liar adalah spesies bukan budidaya namun mempunyai sifat-sifat yang diinginkan dan akan digunakan dalam persilangan dengan spesies budidaya.

Jika keragaman dari karakter yang dikehendaki tidak dapat ditemukan dalam koleksi plasma nutfah, maka keragaman dapat diperoleh melalui mutasi induksi (Ahloowalia et al. 2004). Aisyah (2006) menjelaskan bahwa mutasi adalah perubahan materi genetik yang terjadi secara mendadak dan bersifat permanen akibat perlakuan radiasi atau bahan kimia (mutagen fisik atau kimia). Keragaman yang ditimbulkan oleh mutasi tidak dapat diduga arahnya (van Harten 1998). Peningkatan keragaman lainnya dapat dilakukan dengan melalui pendekatan bioteknologi antara lain embryo rescue (Comeau et al. 1992), manipulasi kromosom sitoplasma (Fedak 1999; Jauhar dan Chibbar 1999) atau manipulasi kromosom molekular dengan transformasi genetik (Zhong 2001).

Kegiatan selanjutnya adalah proses seleksi dan pengujian selama beberapa generasi hingga diperoleh galur-galur harapan dengan karakter yang diinginkan. Sorgum termasuk kelompok tanaman yang melakukan penyerbukan sendiri dengan persentase menyerbuk silang sebesar 6% (Poehlman dan Sleper 1996). Sasaran yang hendak dicapai pada program pemuliaan tanaman menyerbuk sendiri adalah sifat unggul dan tanaman homozigot (Poespodarsono 1988). Metode seleksi yang digunakan untuk tanaman menyerbuk sendiri seperti sorgum dapat dilakukan pada populasi yang heterogen dan pada populasi bersegregasi (Trikoesoemaningtyas, bahan kuliah 2007). Seleksi pada populasi heterogen dilakukan dengan metode seleksi massa dan seleksi galur murni, sedangkan pada populasi bersegregasi, seleksi dapat dilakukan dengan metode adalah pedigree,

(16)

Metode pedigree banyak digunakan untuk seleksi pada karakter kualitatif atau karakter kuantitatif yang mempunyai nilai heritabilitas yang tergolong tinggi sehingga seleksi dapat dilakukan pada generasi awal (Moreno-Gonzales dan Cubero 1993; Roy 2000; Chahal dan Gosal, 2003). Metode pedigree merupakan metode yang paling sering digunakan dalam pemuliaan sorgum (House 1985). Kelebihan metode pedigree antara lain hanya keturunan dari tanaman unggul saja yang dilanjutkan, menghemat lahan karena jumlah tanaman tiap generasi semakin sedikit dan silsilah dari galur diketahui (Sutjahjo et al. 2006). Namun pada metode ini banyak genotipe akan terbuang pada saat masih bersegregasi, sedangkan genotipe tersebut mungkin akan mempunyai fenotipe yang baik pada generasi lanjut setelah seluruh gen-gen aditif terfiksasi dan juga pencatatan yang dilakukan setiap generasi memerlukan banyak tenaga dan ketelitian yang tinggi dalam mencatat dan menyimpan data silsilah.

Metode silang balik (back cross) diterapkan dengan tujuan memasukkan satu atau dua karakter pada varietas atau genotipe yang sudah mempunyai daya adaptasi atau karakter agronomi yang sudah baik (Stoskopf et al. 1993; Roy 2000; Chahal and Gosal 2003; Sutjahjo et al. 2006). Metode silang balik bertujuan untuk memperbaiki kultivar yang sudah mempunyai karakter agronomi dan adaptasi yang baik, tetapi kekurangan satu atau beberapa karakter saja, misalnya pemuliaan untuk memperbaiki resistensi terhadap penyakit dari varietas unggul komersial yang diadopsi luas. Tujuan dari silang balik berulang dengan tetua

recurrent adalah untuk meningkatkan proporsi gen tetua recurrent. Metode silang

balik dilaksanakan dengan menyilangkan kembali F1 dengan tetua yang mempunyai sifat agronomi baik sebagai tetua berulang (recurrent parent) untuk beberapa generasi. Untuk itu metode silang balik memerlukan tetua recurrent dengan sifat agronomi baik. Umumnya tetua recurrent merupakan varietas unggul komersial yang diadopsi secara luas oleh petani. Metode silang balik hanya memperbaiki satu sifat tetapi tidak dapat meningkatkan potensial hasil dari varietas yang ada.

Metode bulk dan single seed descent umum digunakan untuk seleksi pada karakter kuantitatif atau karakter yang mempunyai nilai heritabilitas yang

(17)

tergolong rendah atau sedang sehingga seleksi dilakukan pada generasi lanjut yaitu F5 atau F6. Prinsip kedua metode ini adalah upaya menangani populasi bersegregasi selama beberapa generasi secara bersama-sama sampai mencapai tingkat homozigositas yang diinginkan sebelum melakukan seleksi terhadap individu tanaman. Generasi F1 sampai F4 pekerjaan tidak terlalu berat, karena pada generasi tersebut tidak dilakukan seleksi. Dalam metode single seed descent hanya satu benih yang diambil secara acak dari setiap tanaman untuk ditanam pada generasi berikutnya (Stoskopf et al. 1993; Roy 2000; Chahal dan Gosal 2003; Sutjahjo et al. 2006).

Metode untuk Mempelajari Pola Pewarisan Sifat

Karakter-karakter yang diekspresikan tanaman dibedakan atas karakter kualitatif dan karakter kuantitatif. Karakter kualitatif seperti warna dan bentuk bunga, bentuk dan warna biji, penampilannya sangat sedikit dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Karakter-karakter ini akan mempunyai penampilan yang tetap pada berbagai lingkungan yang berbeda (Stoskopf 1993). Hal ini dapat terjadi karena karakter-karakter ini dikendalikan oleh gen-gen yang mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap penampilan/fenotipe (gen mayor), sehingga pengaruh lingkungan terhadap karakter tersebut kecil. Karakter kualitatif memiliki keragaman yang dapat dengan mudah dikelaskan dan pewarisan karakternya mengikuti hukum pewarisan sifat Mendel (Roy 2000) yaitu menurut Hukum Segregasi, di mana alel-alel dari pasangan gen bersegregasi (berpisah) satu dengan lainnya ke dalam gamet dan Hukum Perpaduan Bebas yaitu pada waktu pembentukan gamet, salah satu pasangan gen berpadu secara bebas dengan pasangan gen lainnya. Fenotipe dari karakter kualitatif dapat dikelaskan dengan jelas.

Keragaman karakter kualitatif dapat dibedakan berdasarkan aksi gen yang mengendalikan karakter tersebut (Stoskopf 1993; Chahal dan Gosal 2002). Karakter kualitatif dapat dikendalikan oleh satu gen yang mempunyai aksi dominan, over dominan atau kodominan, yang merupakan bentuk interaksi alela dalam lokus/gen yang sama. Dominansi adalah bentuk interaksi antar alel yang

(18)

menyebabkan alela pasangannya dalam lokus yang sama tertekan ekspresinya. Alela yang terekspresi disebut alela dominan sedangkan alela yang tertekan ekspresinya disebut alela resesif. Jika dominansi bersifat penuh, maka ekspresi aksi gen dominan akan menyebabkan genotipe dengan alela heterozigot mempunyai fenotipe yang sama dengan bentuk homozigot dominannya. Jika dominansi tidak bersifat penuh, maka genotipe heterozigot akan mempunyai fenotipe yang berada di antara fenotipe genotipe homozigot dominan dengan homozigot resesif. Aksi gen dominan dapat terjadi dalam bentuk overdominansi, di mana genotipe heterozigot akan mempunyai fenotipe yang melebihi genotipe homozigot dominan. Fenomena ini umumnya terlihat pada karakter yang berhubungan dengan ukuran dan viabilitas. Epistasis terjadi jika dua gen berinteraksi mengatur karakter yang sama dan interaksi tersebut melibatkan alela dari lokus yang berbeda. Epistasis dapat menyebabkan timbulnya fenotipe yang berbeda dari fenotipe yang disebabkan oleh interaksi antar alela dalam lokus yang sama, sehingga menyebabkan terjadinya perubahan dalam nisbah fenotipe di generasi F2.

Karakter-karakter kuantitatif seperti karakter yang berhubungan dengan pertumbuhan tanaman atau hasil panen, umumnya merupakan karakter-karakter yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan (Roy 2000). Karakter kuantitatif dikendalikan oleh banyak gen di mana pengaruh masing-masing gen terhadap penampilan karakter (fenotipe) lebih kecil dan bersifat aditif. Gen-gen tersebut secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang lebih besar dari pengaruh lingkungan (Roy 2000). Gen-gen yang demikian disebut gen minor. Aksi gen minor ditentukan oleh bentuk interaksi yang terjadi baik interaksi antar alel pada lokus yang sama. Untuk karakter kuantitatif maka interaksi antar alela dapat terjadi dalam bentuk interaksi aditif dan dominan maupun interaksi antar alel pada lokus yang berbeda (epistasis).

Jumlah gen yang banyak menyebabkan keragaman fenotipe dari karakter kuantitatif tidak dapat dikelaskan dengan jelas dan cenderung membentuk sebaran yang kontinyu. Seleksi terhadap karakter kuantitatif tidak didasarkan pada visual tetapi pada hasil analisis stastistik.

(19)

Pemulia harus memilih metode yang paling efektif dan efisien dalam pelaksanaan seleksi untuk menghemat waktu, tenaga dan biaya. Pemilihan metode dilakukan melalui analisis pewarisan dengan menghitung potensialitas dari persilangan yang dilakukan (Roy 2000). Analisis harus dilakukan sejak generasi awal menggunakan data tetua dan data dari generasi awal. Roy (2000) menjelaskan terdapat beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalam memprediksi tingkat kepotensialitas persilangan yaitu dengan melihat penampilan tetua, analisa rata-rata generasi atau dengan analisa diallel.

Metode analisa penampilan tetua merupakan metode analisis yang paling sederhana karena tidak menggunakan analisis genetik namun pendugaan pewarisan hanya didasarkan pada penampilan kedua tetua dan progeni F1 dengan hipotesis semua karakter dikendalikan oleh aksi gen aditif. Hubungan antara nilai tengah kedua tetua dan F1 tidak hanya tergantung pada tipe penyerbukan tanaman saja, namun juga tergantung pada sejarah materi genetik yang digunakan (Chahal dan Gosal 2002). Beberapa karakter penampilan tetua dapat digunakan sebagai prediktor hasil persilangan. Keberadaan epistasis akan dihilangkan dengan cara menggunakan komponen karakter yang kompleks, sedangkan efek dominansi akan dikurangi melalui selfing (Roy 2000). Keberadaan pautan tidak akan berpengaruh pada rata-rata populasi jika epistasis telah ditiadakan. Kelemahan dari metode ini adalah asumsi aksi gen aditif pada karakter yang kompleks tidak selalu dapat terpenuhi karena adanya faktor interaksi lingkungan dan atau genetik. Selain itu potensialitas hasil persilangan yang tinggi hanya dapat diperoleh dari tetua dengan nilai yang tinggi juga, sehingga pemilihan tetua menjadi sangat penting.

Analisa rata-rata generasi merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk menduga peran aksi gen aditif, dominan atau interaksi terhadap ekspresi suatu karakter (Roy 2000). Analisa rata-rata generasi juga dapat digunakan untuk menentukan metode seleksi varietas yang akan dihasilkan. Jika aksi gen aditif yang paling besar perannya maka seleksi dalam populasi akan efektif mengakumulasi gen-gen aditif yang diinginkan. Varietas yang dihasilkan berupa galur murni. Jika aksi gen dominan yang paling besar perannya, seleksi antar

(20)

populasi. Dalam melakukan pendugaan aksi gen suatu populasi dengan analisis rata-rata generasi, populasi yang digunakan harus mengikuti asumsi kedua tetua homozigot, pola pewarisan diploid, tidak ada keterpautan gen, tidak ada pengaruh tetua betina, tidak ada interaksi antara genotipe dengan lingkungan, interaksi hanya terjadi antara dua gen dengan dua alela (Allard 1960).

Analisa rata-rata generasi menggunakan populasi P1, P2, F1/F1R, BC1 dan BC2, untuk itu digunakan dua macam metode pendugaan, yaitu (1) Scaling

Test (Uji Skala), yang menduga aksi gen dan model genetik dengan menguji

sejumlah generasi secara terpisah dan (2) Joint Scaling Test (Uji Skala Gabungan), menduga aksi gen dan model genetik dengan menguji sejumlah generasi secara bersama-sama, dan memungkinkan dilakukannya uji kesesuaian model genetik. Pada uji skala, pendugaan model genetik dan komponen dari rata-rata generasi dapat dilakukan dengan menggunakan skala yaitu A, B, C dan D. Sedangkan pada uji skala gabungan, model diuji dengan uji kebaikan sesuai terboboti dan dapat digunakan untuk menduga parameter m (rata-rata), d (pengaruh aksi gen aditif), h (pengaruh aksi gen dominan) dan interaksinya.

Dalam analisis silang diallel, pendugaan parameter genetik sudah dapat dilakukan pada F1, tanpa harus membentuk populasi F2, BCP1 ataupun BCP2, seperti pada teknik pendugaan parameter genetik menggunakan pendekatan enam populasi. Sebaran gen pengendali sifat di dalam tetua-tetua dan pendugaan batas tertinggi fenotipe jika semua gen mengumpul dalam suatu individu bisa dipelajari. Analisis silang diallel juga harus memenuhi beberapa asumsi seperti yang di kemukakan oleh Allard (1960) yaitu terjadi segregasi diploid, tidak ada perbedaan antara persilangan resiprokal, tidak ada interaksi antara gen–gen yang tidak satu alel, tidak ada multialelisme, tetua homozigot dan gen–gen menyebar secara bebas di antara tetua. Analisa dengan menggunakan metode diallel dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu pendekatan Hayman dengan melakukan studi pewarisan dan pendekatan Griffing dengan menghitung daya gabung umum (DGU) dan daya gabung khusus (DGK).

Daya gabung umum yang lebih besar daripada daya gabung khusus menunjukkan bahwa aksi gen aditif lebih berperan dalam mengendalikan sifat

(21)

tersebut dibandingkan aksi gen non-aditif. Sebaliknya daya gabung khusus yang lebih besar dibandingkan daya gabung umum menunjukkan bahwa aksi gen non aditif lebih berperan dalam mengendalikan suatu sifat daripada aksi gen aditif. Menurut Roy (2000) daya gabung umum merupakan penduga terhadap ragam aditif. Sementara daya gabung khusus merupakan penduga ragam non aditif (dominan dan epistasis). Umumnya pendekatan Griffing diarahkan untuk mempelajari kemampuan daya gabung umum (general combining ability/GCA) dan kemampuan daya gabung khusus (specific combining ability/SCA). Namun demikian, pendekatan Griffing dapat juga untuk mempelajari aksi gen, ragam aditif, ragam dominan, heritabilitas arti luas dan heritabilitas arti sempit.

Pewarisan Toleransi terhadap Aluminium

Setiap tanaman mempunyai ketahanan yang berbeda terhadap keracunan Al (Wirnas et al. 2002). Sifat toleransi terhadap cekaman Al dketahui dikendalikan secara genetik. Menurut Tisdale dan Nelson (1975) sifat toleransi tanaman terhadap lingkungan sub optimum dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Hal ini didukung oleh Chaubey dan Senadhira (1994) yang menyatakan bahwa keragaman yang diamati dalam adaptasi tanaman terhadap tanah masam dikendalikan secara genetik walaupun ekspresinya dipengaruhi oleh lingkungan. Kedua faktor ini mempengaruhi penampilan fenotipe (Falconer and Mackay 1996). Keadaan lingkungan yang berubah-ubah dan seleksi alam akan memaksakan dan menyebabkan menonjolnya sifat yang memungkinkan tanaman tersebut mampu menyesuaikan diri dalam keadaan yang sangat kompetitif (Jain 1982). Salasar et al. (1995) mengatakan bahwa toleransi pada lahan masam pada jagung dikendalikan oleh gen inti.

Sifat ketenggangan terhadap Al tidak diturunkan secara sederhana dengan model satu atau dua gen, tetapi atas pengaruh gen poligenik (Zhang et al. 1999). Berbagai studi menunjukkan bahwa gen yang mengendalikan sifat ketenggangan Al sangat kompleks sehingga dapat memberikan pengaruh pada pewarisan sifat yang berbeda pula. Hal ini diperkuat oleh Jagau (2000) yang menyimpulkan bahwa terdapat interaksi antar gen sehingga sifat ketenggangan aluminium ini

(22)

dikendalikan secara poligenik. Menurut Zhang et al. (1999), toleransi terhadap Al pada triticale disebabkan oleh efek aditif dan dominan. Karakter toleransi Al pada

triticale dikendalikan oleh sepasang sampai tiga pasang gen (poligenik). Begitu

juga hasil penelitian Bianchi-Hall (1998) pada tanaman kedelai toleransi terhadap Al juga dikendalikan oleh poligen.

Kajian pewarisan sifat yang menggunakan kriteria pertumbuhan akar ditemukan bahwa sifat ketenggangan Al dikendalikan oleh sekelompok gen dan diwariskan secara kuantitatif. Penelitian Khatiwada et al. (1996) menunjukkan bahwa panjang akar relatif (PAR) yang tinggi pada tanaman padi dikendalikan oleh gen aditif dominan, tetapi lebih banyak karena pengaruh gen aditif sehingga karakter PAR menunjukkan dominansi parsial dan dikendalikan oleh sekelompok gen. Dengan demikian gen-gen aditif diketahui cukup berperan dibandingkan pengaruh gen-gen non-aditif yang diketahui melalui nilai heritabilitas arti sempit yang tinggi (Khatiwada et al. 1996).

Penelitian pewarisan toleransi Al pada triticale menunjukan bahwa ekspresi toleransi Al dikendalikan oleh aksi gen aditif dan dominan, serta terdapat juga interaksi non alelik (epistasis) dalam hasil persilangan tetua toleran dan peka (Zhang et al. 1999). Sifat kemampuan tumbuh kembali dari akar yang tercekam Al tidak diwariskan mengikuti model aditif-dominan karena adanya pengaruh interaksi gen yang cukup besar (Zhang et al. 1999). Ninamango-C´ardenas (2003) menyatakan bahwa toleransi Al pada jagung dikendalikan oleh efek dominan dan aditif. Hasil penelitian Magalhaes et al. 2004 menunjukkan bahwa toleransi Al pada sorgum dikendalikan oleh sebuah lokus mayor tunggal, AltSB. Kendali toleransi terhadap cekaman Al oleh lokus mayor tunggal serupa pada tanaman barley (Tang et al. 2000; Raman et al. 2002; Raman et al. 2003), gandum (Raman

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai upaya untuk menuju kondisi ideal yang diharapkan, maka perlu dilakukan upaya terobosan yang melibatkan semua pihak terkait dalam pendayagunaan aparatur

Demikian daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya.. Kediri, 17 November 2015 Saya

Swap transaction adalah transaksi sejumlah mata uang negara yang berbeda dengan cara kedua pihak melakukan kombinasi terhadap dua mata uang yang bersangkutan secara tunai

Berdasarkan hasil analisis regresi dan pengujian statistic maka untuk perusahaan yang terdaftar di Jakarta Islamic Index selama tahun 2003-2007 menunjukkan bahwa

Dari beberapa penelitian yang ada, penulis membuat pengembangan penelitian perancangan lampu penerangan otomatis, yang mana dari penelitian tersebut diharapkan dapat

22 Hal ini berarti penegakan hukum yang dapat dikenakan bagi penambang batu breksi di Kabupaten Bantul adalah penegakan hukum pidana, sebab pertambangan yang

Ungkapan informan WPS sejalan dengan informasi yang diperoleh dan petugas KKBS terkait dengan hasil kegiatan pendamping sebaya atau relawan di lokalisasi. Subjek dan NGO

Budi dan solichin (2001) melakukan penelitian untuk menge-tahui efisiensi dan laju perpindahan panas secara eksperimen pada penukar panas jenis pipa dan kawat dengan