• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Alih Fungsi lahan Sawah di Indonesia Alih Fungsi Lahan Sawah Menjadi Pemukiman dan Industri di Pulau Jawa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Alih Fungsi lahan Sawah di Indonesia Alih Fungsi Lahan Sawah Menjadi Pemukiman dan Industri di Pulau Jawa"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Alih Fungsi lahan Sawah di Indonesia

Lahan sawah, selain berfungsi sebagai penghasil padi, juga berperan dalam pemeliharaan lingkungan dan pelestarian sumber daya alam. Namun, laju konversi lahan sawah ke penggunaan lain terus meningkat dari waktu ke waktu, sementara kebijakan pengendaliannya sangat sedikit. Terjadinya alih fungsi lahan sawah menjadi penggunaan lain antara lain disebabkan oleh kurangnya kepedulian banyak pihak atas fungsi-fungsi yang diembannya. Hal ini berakibat kurangnya perhatian bahkan cenderung mengabaikan arti penting nilai sebenarnya dari lahan sawah. Bagi ekonomi rumah tangga masyarakat petani di pedesaan, lahan sawah merupakan aset yang sangat penting. Dengan semakin berkurangnya atau beralih fungsinya lahan sawah akan berdampak luas pada berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sebagian besar petani beranggapan bahwa ketersediaan air akan berkurang, meningkatnya suhu udara dan terganggunya kelembagaan hubungan antar petani (Jamal, 1997).

Alih Fungsi Lahan Sawah Menjadi Pemukiman dan Industri di Pulau Jawa Departemen Pertanian sudah memperkirakan tantangan berat sektor pertanian terkait dengan keterbatasan lahan. Pertumbuhan perekonomian menuntut pembangunan infrastruktur berupa jalan, bangunan, industri dan pemukiman. Dengan demikian, permintaan terhadap lahan untuk penggunaan non pertanian semakin meningkat, akibatnya banyak lahan sawah di pulau jawa mengalami alih fungsi ke pemukiman dan industri. Kurangnya insentif pada usaha tani lahan sawah dapat menyebabkan terjadi alih fungsi lahan pertanian ke fungsi lainnya.

Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas perekonomian di suatu wilayah akan menyebabkan semakin meningkatnya permintaan terhadap sumberdaya lahan. Luas lahan sawah pada tahun 2010 terkonversi menjadi 3,5 juta hektar dari 4,1 juta hektar pada tahun 2007. Dalam periode 2007-2010, konversi lahan mencapai 600.000 ha. Tingginya konversi lahan di Pulau Jawa umumnya digunakan untuk kepentingan di luar pertanian, seperti jalan tol, industri, perumahan, pusat perbelanjaan, dan fasilitas umum lainnya (BPS, 2010).

(2)

Konversi lahan pertanian tidak menguntungkan bagi pertumbuhan sektor pertanian karena dapat menurunkan kapasitas produksi dan daya serap tenaga kerja yang selanjutnya berdampak pada penurunan produksi pangan dan pendapatan per kapita keluarga tani. Konversi lahan pertanian juga mempercepat proses marjinalisasi usaha tani sehingga menggerogoti daya saing produk pertanian domestik.

Konversi lahan pertanian merupakan isu strategis dalam rangka pemantapan ketahanan pangan nasional, peningkatan kesejahteraan petani dan pengentasan kemiskinan, serta pembangunan ekonomi berbasis pertanian. Berbagai peraturan yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan telah diterbitkan pemerintah untuk mengendalikan konversi lahan pertanian namun peraturan-peraturan tersebut kurang efektif. Pada masa pemerintahan otonomi daerah, peraturan-peraturan yang umumnya diterbitkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah propinsi, kurang efektif karena pemerintah kabupaten/kotamadya memiliki kemandirian yang luas dalam merumuskan kebijakan pembangunannya (Simatupang et al 1990).

Alih Fungsi Lahan Sawah Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit Diluar Pulau Jawa Lahan sawah memiliki arti yang sangat penting dalam upaya mempertahankan ketahanan pangan. Namun seiring perkembangan zaman, pertambahan penduduk, dan tuntutan ekonomi, eksistensi lahan pangan mulai terusik. Salah satu permasalahan yang cukup serius saat ini diluar pulau jawa berkaitan dengan lahan pangan adalah makin maraknya alih fungsi lahan pangan ke perkebunan kelapa sawit (Balai Pengkajian Pertanian Bengkulu, 2011).

Terjadinya alih fungsi lahan sawah ke tanaman kelapa sawit menurut Irawan (2005) disebabkan oleh berbagai hal yaitu pendapatan usahatani kelapa sawit lebih tinggi dengan resiko lebih rendah, nilai jual/agunan kebun lebih tinggi, biaya produksi usahatani kelapa sawit lebih rendah, dan terbatasnya ketersediaan air.

Salah satu dampak konversi lahan sawah yang sering menjadi sorotan masyarakat luas adalah terganggunya ketahanan pangan. Masalah yang ditimbulkan bersifat permanen atau tetap akan terasa dalam jangka panjang meskipun konversi lahan sudah tidak terjadi lagi (Irawan, 2005). Untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan secara tidak terkendali, pengambil kebijakan harus memiliki data dan informasi yang memadai terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi petani melakukan alih fungsi lahan.

(3)

Perkebunan kelapa sawit dalam 10 tahun terakhir mengalami booming dengan beberapa alasan terutama kebutuhan investasi untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Faktor pendukung di luar itu adalah tekanan terhadap pengurangan bahan bakar fosil secara global. Dengan paradigma pertumbuhan ekonomi, pemerintah melihat bahwa perkebunan kelapa sawit mampu menyerap tenaga kerja dan menghasilkan devisa negara dari pajak.

Ekspansi perkebunan kelapa sawit pada saat ini telah meluas hampir ke semua kepulauan besar di Indonesia. Selama 19 tahun terakhir, ekspansi perkebunan kelapa sawit mencapai rata-rata 315.000 ha/tahun. Sampai saat ini Indonesia memiliki kurang lebih 7 juta hektar lahan yang telah ditanami kelapa sawit. Di luar itu, sekitar 18 juta hektar hutan telah dibuka atas nama ekspansi perkebunan kelapa sawit (Sawit Watch, 2010).

Perlindungan Lahan Pertanian di Indonesia

Perlindungan terhadap lahan pertanian merupakan hal yang akan terus dibicarakan selama laju konversi lahan pertanian ke non pertanian tinggi. Kebijakan untuk merencanakan kebutuhan lahan pertanian untuk 25-50 tahun yang akan datang harus segera dilakukan walaupun ketersediaan lahan pertanian di waktu sekarang masih mencukupi.

Lahan pertanian itu bukan dalam artian statis pada satu kawasan namun lebih pada pemahaman dinamis yang dilihat dari kebutuhan dan kemampuan dalam menjamin dan mencukupi ketahanan pangan rumah tangga, wilayah dan nasional, serta kesejahteraan petani yang berusaha di atasnya. Dari batasan tersebut, terlihat bahwa suatu hamparan lahan ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan, atau lahan yang tetap dipertahankan untuk kegiatan pertanian, merupakan hasil kesepakatan dari pihak-pihak terkait, terutama menyangkut ketahanan pangan pada berbagai tingkatan dan kesejahteraan petani yang berusaha di atasnya, serta kesepakatan mengenai satuan waktu tertentu lahan tersebut dipertahankan sebagai lahan pertanian.

Pewilayahan komoditas adalah contoh penetapan wilayah perencanaan/ pengelolaan yang berbasis pada unit-unit wilayah homogen. Suatu pewilayahan komoditas pertanian harus didasarkan pada kehomogenan faktor alamiah dan non alamiah. Konsep pewilayahan komoditas pertanian diawali oleh kegiatan evaluasi sumber daya alam seperti evaluasi kesesuaian lahan atau kemampuan lahan,

(4)

pemilihan komoditas yang akan diproduksi selanjutnya didasarkan atas sifat-sifat non-alamiah, seperti jumlah penduduk, pengetahuan, keterampilan, kelembagaan petani, pasar dan lain-lain (Rustiadi et al., 2009).

Pembangunan Pertanian Pangan Berkelanjutan Lahan Pertanian Pangan

Menurut Sitorus (2004), sumberdaya lahan (land resources) adalah lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada diatasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan. Dalam hal ini lahan juga mengandung pengertian ruang atau tempat. Sumberdaya lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia karena sumber daya lahan diperlukan dalam setiap kegiatan manusia. Penggunaan sumberdaya lahan khususnya untuk aktifitas pertanian pada umumnya ditentukan oleh kemampuan lahan atau kesesuaian lahan.

Sumberdaya lahan akan semakin menurun kontribusinya terhadap pangan yang diakibatkan terjadinya tekanan jumlah penduduk yang memperkecil kepemilikan lahan perkapita serta akibat adanya kompetisi penggunaan lahan. Hal ini menurut teori Thomas Malthus (Neo-Malthusian) diacu dalam Baliwati (2008) bahwa penduduk cenderung bertambah menurut deret ukur dan berlipat ganda setiap 30-40 tahun (kecuali jika terjadi kelaparan). Adanya ketentuan pertambahan hasil yang semakin berkurang dari faktor produksi lahan yang jumlahnya tetap, maka kebutuhan persediaan pangan yang meningkat menurut deret hitung, membutuhkan daya dukung sumberdaya alam dan lingkungan.

Menurut Riyadi (2002) salah satu isu penting yang terintegrasi dengan pengembangan kebijakan ketahanan pangan yaitu penataan ruang wilayah terutama melalui proses pembangunan wilayah pertanian yang didasarkan atas competitive

forces dengan mengelola hegemonic forces melalui pengembangan kebijakan yang

sejalan dengan system nilai pengembangan pangan.

Untuk dapat menjamin ketersediaan pangan nasional, maka pemerintah telah menargetkan 30 juta ha lahan abadi untuk pertanian, yang tidak boleh beralih fungsi, namun dapat berubah kepemilikan. Lahan ini terbagi dalam 15 juta hektar merupakan sawah beririgasi dan 15 juta ha merupakan lahan kering (Syahyuti, 2006).

(5)

[[

Ketahanan Pangan dan Pembangunan Berkelanjutan

Sadar akan dampak samping Pertanian Konvensional masyarakat lingkungan global sudah lama menyepakati penerapan dan pengembangan konsep Pertanian Berkelanjutan atau Sustainable Development sebagai realisasi Pembangunan Berkelanjutan pada sektor Pertanian dan Pangan.

Agenda 21 merupakan agenda berbagai program aksi pembangunan berkelanjutan disepakati oleh para pemimpin dunia di KTT Bumi Rio de Janeiro tahun 1992. Chapter 14 Agenda 21 berjudul Promoting Sustainable Agriculture and

Rural Development (SARD) merinci berbagai konsep dan program aksi Pertanian

Berkelanjutan yang perlu dilaksanakan oleh semua negara.

Menurut Agenda 21 konsep keberlanjutan merupakan konsep yang multidimensional termasuk didalamnya pencapaian tujuan ekologi, sosial dan ekonomi. Antara 3 (tiga) dimensi ini terdapat kaitan dan ketergantungan yang sangat erat. Penguatan kelayakan dan kehidupan ekonomi di pedesaan merupakan dasar untuk penyediaan cara-cara untuk mempertahankan fungsi sosial dan lingkungan mereka. Menjaga kualitas lingkungan juga merupakan prasyarat atau prakondisi yang diperlukan bagi pengembangan potensi ekonomi jangka panjang di pedesaan. Integritas ekologi dan nilai landscape pedesaan dapat merupakan daerah pedesaan sebagai kawasan wisata dan tempat hidup yang tenang dan menyenangkan sehingga dapat menarik investor untuk menanamkan modal.

Pertanian Berkelanjutan mengutamakan pengelolaan ekosistem pertanian yang mempunyai diversitas atau keanekaragaman hayati tinggi. Menurut FAO

Agricultural Biodiversity meliputi variasi dan variabilitas tanaman, binatang dan jasad

renik yang diperlukan untuk mendukung fungsi-fungsi kunci ekosistem pertanian. Sistem pertanian berkelanjutan juga berisi suatu ajakan moral untuk berbuat kebajikan pada lingkungan sumber daya alam dengan mempertimbangkan tiga aspek sebagai berikut:

1. Kesadaran lingkungan (Ecologically Sound), sistem budidaya pertanian tidak boleh menyimpang dari sistem ekologis yang ada.

2. Bernilai ekonomis (Economic Valueable), sistem budidaya pertanian harus mengacu pada pertimbangan untung rugi, baik bagi diri sendiri dan orang lain, untuk jangka pandek dan jangka panjang.

(6)

3. Berwatak sosial atau kemasyarakatan (Socially Just), sistem pertanian harus selaras dengan norma-noma sosial dan budaya yang dianut dan di junjung tinggi oleh masyarakat disekitarnya.

Kebijakan Ketahanan Pangan Berkelanjutan

Tata kelola pangan didasari oleh kerangka berfikir bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan pembangunan nasional (Baliwati, 2010).

Bentuk pertama dari kebijakan publik dalam pembangunan ketahanan pangan adalah peraturan yang terkodifikasi secara formal dan legal. Bentuk kebijakan ini digolongkan menjadi : 1) Kebijakan yang bersifat makro atau umum, 2) Kebijakan yang bersifat meso atau menengah, 3) Kebijakan publik yang bersifat mikro

Orientasi atas berbagai bentuk kebijakan pembangunan ketahanan pangan sangat penting sebagai acuan untuk merumuskan perencanaan pembangunan provinsi/kabupaten/kota dalam kerangka sistem perencanaan pembangunan nasional. Ketahanan pangan bersifat multidimensional yang mencakup lintas wilayah, bidang, serta sektor, maka diperlukan pemahaman berbagai peraturan perundang-undangan, yang dikelompokkan menjadi tiga aspek, yaitu 1) pangan, 2) terkait pangan, dan 3) tata kelola ketahanan pangan (Baliwati, 2010).

Menurut Nelson (1992), pembangunan dan pertanian dapat berjalan berdampingan hanya jika kebijakan perencanaan penggunaan lahan diberlakukan dengan ketat. Kebijakan pelestarian lahan pertanian akan efektif, jika dapat mempengaruhi dan meningkatkan nilai land rent dalam empat cara, yaitu: (1) Dapat meningkatkan nilai produktif lahan pertanian, (2) Dapat menstabilkan, mengurangi, atau menghilangkan nilai konsumtif atas lahan pertanian, (3) Dapat menghilangkan nilai spekulatif lahan pertanian yang tidak efisien, yang bisa terjadi hanya jika nilai spekulatif dihubungkan dengan dampak situasi perkotaan, tidak efisiennya subsidi pembangunan perkotaan, dan kurang menghargai penyediaan barang publik sumberdaya lahan dan (4) Dapat menghilangkan sindrom kefanaan, yaitu ketidakpercayaan di kalangan petani pada sektor pertanian.

(7)

Sejarah Strategi dan Kebijakan Pemerintah untuk menciptakan Ketahanan Pangan Berkelanjutan

Masalah pangan sebenarnya telah diantisipasi oleh pemerintah melalui berbagai macam kebijakan. Sejarah telah menyebutkan pada awal kemerdekaan Indonesia, Pemerintahan Soekarno pernah mengeluarkan Program Kesejahteraan Kasimo untuk mencapai swasembada beras. Pemerintahan Soekarno juga pernah mengeluarkan Program Sentra Padi untuk mencapai swasembada pangan. Namun akibat turbulensi politik dan disertai dengan pemberontakan maka pada masa itu terjadi krisis pangan yang cukup parah.

Pada zaman Soeharto kondisi pangan cukup terpuruk akibat beban masalah masa lalu. Melihat hal tersebut maka Pemerintahan Soeharto mengeluarkan Repelita (Rencana Pembangunan Lima tahun) dengan senjata utama trilogi pembangunan. Pada 1969 pemerintah menambah peran dan fungsi Badan Urusan Logistik (Bulog) yaitu sebagai manajemen stok penyangga pangan nasional dan penggunaan neraca pangan nasional sebegai standar ketahanan pangan nasional. Tahun 1973 Pemerintah Soeharto juga mempelopori berdirinya Serikat Petani Indonesia. Tahun 1974 pemerintah menerapkan revolusi hijau untuk mencapai swasembada beras.

Tahun 1978 pemerintah mengeluarkan Kepres 39/1978 yang mengembalikan tugas Bulog sebagai pengontrol harga gabah, beras, tepung, gandum, gula pasir dan lain-lain. Tugas Bulog semakin dipersempit pada tahun 1997 yaitu hanya sebagai kontrol harga beras dan gula pasir saja.

Pasca reformasi Pemerintahan Megawati menambah peran Bulog sebagai manajemen logistik beras yang termasuk penyediaan, distribusi, dan kontrol harga beras. Pada masa ini juga, pemerintah memprivatisasi Bulog dan berusaha untuk mencapai swasembada beras. Orientasi produksi sebagaian besar ditujukan pada produksi beras sebanyak-banyaknya. Hasilnya Pemerintah Megawati berhasil mencapai swasembada beras.

Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono, pemerintah mengeluarkan program perencanaan revitalisasi pertanian yang mencoba menempatkan kembali sektor pertanian secara proporsional dan kontekstual dengan meningkatkan pendapatan pertanian, pembangunan agribisnis yang mampu meyerap tenaga kerja dan swasembada beras, jagung dan palawija. Sampai saat ini baru satu target yang telah dicapai oleh pemerintah yaitu swasembada beras pada tahun 2008 yang lalu.

(8)

Undang-undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009, yang dimaksud dengan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLPPB) adalah sistem dan proses dalam merencanakan dan menetapkan, mengembangkan, memanfaatkan dan membina, mengendalikan, dan mengawasi lahan pertanian pangan dan kawasannya secara berkelanjutan. Undang-undang ini digunakan sebagai acuan bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk melindungi lahan pertanian pangan dalam rangka ketahanan dan kedaulatan pangan nasional (Rustiadi et al, 2010).

Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang PLPPB merupakan salah satu kebijakan pemerintah dalam mengendalikan laju alih fungsi lahan pertanian khususnya sawah di Indonesia. Pada UU ini disebutkan bahwa Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional.

Perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dilakukan berdasarkan perencanaan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang meliputi : (1) Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B), (2) Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), (3) Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LCP2B).

Lahan pertanian dan lahan cadangan yang berada di dalam dan/atau diluar KP2B ditentukan dengan menggunakan beberapa kriteria, yaitu:

• Kesesuaian lahan

KP2B ditetapkan pada lahan yang secara biofisik terutama dari aspek kelerengan, iklim, sifat fisik, kimia, dan biologi cocok untuk dikembangkan pertanian pangan dengan memperhatikan daya dukung lingkungan.

• Ketersediaan Infrastruktur

KP2B ditetapkan dengan memperhatikan ketersediaan infrastruktur pendukung pertanian pangan antara lain sistem irigasi, jalan usaha tani, dan jembatan. • Penggunaan Lahan Aktual (Kondisi existing)

Kriteria lain yang digunakan dalam menetapkan KP2B adalah dengan bentuk penutupan permukaan lahan atau pemanfaatan lahan baik yang merupakan bentukan alami maupun buatan manusia.

(9)

• Potensi Teknis Lahan

Lahan yang secara biofisik, terutama dari aspek topografi/lereng, iklim, sifat fisika, kimia, dan biologi tanah sesuai atau cocok dikembangkan untuk pertanian. • Luasan Satuan Hamparan Lahan

Perencanaan LP2B dan LCP2B yang dilakukan dengan mempertimbangkan sebaran dan luasan hamparan lahan yang menjadi satu kesatuan sistem produksi pertanian yang terkait sehingga tercapai skala ekonomi dan sosial budaya yang mendukung produktivitas dan efisiensi produk.

Implementasi UU No. 41 tahun 2009 dan 4 Peraturan Pemerintah Turunannya

Dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, Pemerintah telah melakukan pengaturan tentang alih fungsi lahan, yaitu perubahan fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan menjadi bukan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan baik secara tetap maupun sementara akan dikenakan hukuman pidana dan denda sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun hal tersebut belum dapat diimplementasikan dengan baik di lapangan. Sebaran Kabupaten/Kota yang telah berkomitmen dalam perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dalam RTRW-nya, disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Kabupaten/Kota yang telah menetapkan LP2B dalam RTRW-nya

No Provinsi Jumlah Kabupaten/Kota Yang

menetapkan LP2B Luas LP2B yang ditetapkan (ha) 1 NTT 1 9.936 2 Lampung 2 264.580 3 Jawa Tengah 30 843.795 4 Jawa Barat 6 181.744 5 Jawa Timur 27 611.087 Jumlah 66 1.911.142

Sumber: Departemen Pertanian Republik Indonesia (2012)

Ada 4 peraturan pemerintah sebagai turunan dari UU No 41 Tahun 2009, yaitu:

1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Insentif Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2012 tentang Sistem Informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

(10)

4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2012 tentang Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Penginderaan Jauh dan Manfaatnya di bidang Pertanian Pangan

Dalam usaha memelihara konsistensi penggunaan lahan sebagai areal pertanian maka diperlukan suatu sistem monitoring yang mampu mengamati, menganalisa, menyajikan serta membuat model-model keputusan sehingga aktifitas pertanian yang berkelanjutan tetap terjaga. Teknologi penginderaan jauh merupakan salah satu teknologi pendekatan terintegrasi yang dapat memodelkan masalah-masalah pertanian kaitannya dengan usaha menjaga konsistensi penggunaan lahan (monitoring), proteksi stabilitas lingkungan (analisis degradasi lahan dan identifikasi sumber air) dan analisa keruangan (basis data spasial). Salah satu keuntungan dari penginderaan jauh ini yaitu data yang dihasilkan mencakup wilayah yang luas yaitu sekitar 60–180 km2 (360.000–3.240.000 ha). Dengan mengamati daerah yang sangat luas beserta keadaan lahan yang mencakup topografi/relief, pertumbuhan tanaman/vegetasi dan fenomena alam yang terekam dalam citra memberi peluang untuk mengamati, mempelajari pengaruh iklim, vegetasi, litologi dan topografi terhadap penyebaran sumberdaya lahan dan lahan pertanian (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah, 2000).

Teknologi Inderaja memungkinkan untuk digunakan dalam deteksi penyebaran lahan pertanian, dan hasilnya merupakan sumber informasi utama dalam pemutakhiran dan pembaharuan (updating) data sumberdaya pertanian. Aplikasi teknologi penginderaan jauh/citra satelit untuk deteksi lahan sawah dan penyebarannya dan berbagai tipe penggunaan/penutupan lahan mempunyai tingkat ketelitian yang cukup tinggi. Data/informasi hasil analisis tersebut sangat bermanfaat dan merupakan sumber informasi penggunaan lahan saat ini (existing landuse) untuk; (a) pemutakhiran dan pembaharuan data luas dan penyebaran lahan sawah serta penggunaan/penutupan lahan lainnya, (b) digunakan sebagai acuan dalam pengadaan stok pangan nasional dan mencari lahan tersedia dalam usaha pengembangan komoditas pertanian (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah, 2000).

(11)

Sistem Informasi Geografis (SIG) dan Manfaatnya di bidang Pertanian Pangan GIS (Geographic Information System) atau Sistem Informasi Berbasis Pemetaan dan Geografi adalah sebuah alat bantu manajemen berupa informasi berbantuan komputer yang berkait erat dengan sistem pemetaan dan analisis terhadap segala sesuatu serta peristiwa-peristiwa yang terjadi di muka bumi. Teknologi GIS mengintegrasikan operasi pengolahan data berbasis database yang biasa digunakan saat ini, seperti pengambilan data berdasarkan kebutuhan, serta analisis statistik dengan menggunakan visualisasi yang khas serta berbagai keuntungan yang mampu ditawarkan melalui analisis geografis melalui gambar-gambar petanya. Dengan kemampuan SIG yang bisa memetakan apa yang ada di luar dan di dalam suatu area, kriteria-kriteria ini nanti digabungkan sehingga memunculkan irisan daerah yang tidak sesuai, agak sesuai, dan sangat sesuai dengan seluruh kriteria. Daerah pedesaan (rural) manajemen tata guna lahan lebih banyak mengarah ke sektor pertanian. Terpetakannya curah hujan, iklim, kondisi tanah, ketinggian, dan keadaan alam, akan membantu penentuan lokasi tanaman, pupuk yang dipakai, dan bagaimana proses pengolahan lahannya (Abdurachman et

al. 2004).

Pembangunan saluran irigasi agar dapat merata dan minimal biayanya dapat dibantu dengan peta sawah ladang, peta pemukiman penduduk, ketinggian masing-masing tempat dan peta kondisi tanah. Penentuan lokasi gudang dan pemasaran hasil pertanian dapat terbantu dengan memanfaatkan peta produksi pangan, penyebaran konsumen, dan peta jaringan transportasi. Ketersediaan peta sangat terbatas, khususnya peta tanah, terlebih bila untuk perencanaan yang sifatnya rinci. Koleksi nasional untuk peta provinsi skala 1: 250.000, peta kabupaten/kota skala 1: 50.000 dan 1: 25.000, belum mencakup wilayah semua provinsi dan kabupaten/kota. Sementara ini, peta pendukung lainnya masih terbatas cakupan wilayah, tingkat kerincian dan jumlahnya, misalnya : peta potensi lahan, peta iklim, peta liputan lahan. Dari aspek ketersediaan data dasar untuk inventarisasi yang mencakup data citra satelit masih terbatas karena kendala cuaca di wilayah tropis maupun tingkat kerincian datanya, disamping belum lengkapnya data kontur serta terbatasnya sebaran data curah hujan sehingga mengurangi tingkat akurasi data potensi lahan yang dihasilkan (Abdurachman et al. 2004).

(12)

Untuk lahan sawah, tersedianya informasi spasial berupa peta lapangan sangat penting agar lahan sawah yang akan diatur dan dikendalikan konversinya dapat dikenali dengan mudah. Penyusunan peta arahan lahan sawah abadi (utama) dilakukan secara desk study (pengumpulan data, análisis dan pengolahan data, penyusunan draft peta, diskusi, pembahasan) dan pengecekan di lapangan secara terbatas (Abdurachman et al. 2004).

Skala peta yang dibuat bergantung pada data (peta) lapangan yang tersedia. Untuk Jawa telah terbit (dalam jumlah terbatas) Peta Arahan Lahan Sawah Utama dan Sekunder Nasional: Jawa, Bali, dan Lombok skala 1:1.500.000 dalam bentuk tercetak dengan ukuran A3. Pengolahan dan penyajian data spasial didasarkan atas ketersediaan peta kerja dengan skala 1:250.000 dan dilaksanakan dengan memanfaatkan Sistem Informasi Geografi (SIG).

Peta Arahan Pengendalian Konversi Lahan Sawah (Abdurachman et al. 2004) sudah dapat mengidentifikasi pengkelasan lahan sawah per kecamatan. Namun, untuk kepentingan penetapan lahan sawah abadi tingkat kabupaten (kota), perlu dibuat peta arahan yang lebih detail, yaitu skala 1:25.000 atau lebih besar lagi. Hal ini penting karena pada umumnya pemerintah daerah belum mempunyai data lahan yang akurat. Bunyamin (2004), menyatakan bahwa salah satu kendala pengendalian konversi lahan adalah rendahnya tingkat akurasi penetapan lahan produksi (sawah teknis) dalam proses penyusunan rencana tata ruang. Oleh karena itu sangat diperlukan pemutakhiran data penggunaan lahan, khususnya lahan sawah irigasi teknis.

Dalam peta arahan lahan sawah utama dan sekunder yang juga merupakan peta arahan pengendalian konversi dapat dikenali penyebaran dan luas masing-masing kelas lahan sawah. Pengkelasan ini digunakan untuk membedakan persyaratan konversi lahan sawah, karena dalam kondisi sosial ekonomi pedesaan yang relatif lemah dan belum stabil, sulit ditetapkan lahan sawah abadi yang dapat berlaku sepanjang masa (Badan Pertanahan Nasional, 1999).

(13)

Analisis Hirarki Proses (AHP)

Analisis Hirarki Proses (AHP) pada dasarnya didisain untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan permasalahan tertentu melalui prosedur yang didesain untuk sampai pada suatu skala preferensi diantara berbagai set alternatif. Analisis ini ditujukan untuk membuat suatu model permasalahan yang tidak mempunyai struktur, biasanya ditetapkan untuk memecahkan masalah yang terukur (kuantitatif), masalah yang memerlukan pendapat maupun pada situasi yang kompleks atau tidak terkerangka, pada situasi dimana data, informasi statistik sangat minim atau tidak ada sama sekali dan hanya bersifat kualitatif yang didasari oleh persepsi, pengalaman ataupun intuisi. AHP banyak digunakan pada keputusan untuk banyak kriteria, perencanaan, alokasi sumberdaya dan penentuan prioritas dari strategi-strategi yang dimiliki dalam situasi konflik.

AHP menggunakan struktur hirarkis kriteria dan kedua fungsi transformasi aditif dan perbandingan berpasangan kriteria untuk menetapkan bobot kriteria (Jankowski, 1995). AHP merupakan analisis yang digunakan dalam pengambilan keputusan dengan pendekatan sistem, dimana pengambil keputusan berusaha memahami suatu kondisi sistem dan membantu melakukan prediksi dalam mengambil keputusan.

Beberapa keuntungan dari penggunaan metode AHP antara lain adalah : 1. Dapat mempresentasikan suatu sistem yang dapat menjelaskan bagaimana

perubahan pada level yang lebih tinggi mempunyai pengaruh terhadap unsur-unsur pada level yang lebih rendah.

2. Membantu memudahkan analisis guna memecahkan persoalan yang kompleks dan tidak terstruktur.

3. Mampu mendapatkan pertimbangan yang logis dalam menentukan prioritas. 4. Mengukur secara komprehensif pengaruh unsur-unsur yang mempunyai

korelasi dengan masalah dan tujuan.

Tiga prinsip dasar dalam AHP yaitu: 1) penyusunan hierarki, menggambarkan dan menguraikan secara hierarki persoalan yang akan diselesaikan menjadi unsur-unsur yang terpisah-pisah; 2) penetapan prioritas, pembedaan prioritas dan sintesis; dan (3) konsistensi logis (Saaty, 1991 dalam Marimin, 2004).

Gambar

Tabel 1. Kabupaten/Kota yang telah menetapkan LP2B dalam RTRW-nya

Referensi

Dokumen terkait

Kako se mehanička svojstva vlaknima ojačanih kompozita mijenjaju ovisno o vrsti i svojstvima gradbenih komponenti, o usmjerenosti vlakana, načinu ojačanja matrice te

Dari uraian singkat di atas, dapat dilihat bahwa dasar utama proses pelaksanaan likuidasi bank adalah PP Nomor 25 Tahun 1999 dan SK Direksi BI Nomor

Oleh itu, kajian ini bertujuan untuk menyelidiki sejauhmanakah Undang-undang mengenai Pemerdagangan Wanita dan Kanak-Kanak yang ada sudah mencukupi untuk menghalang

Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (IAI, 1996) (dalam Febryani dan Zulfadin, 2003) Kinerja perusahaan dapat diukur dengan menganalisa dan mengevaluasi laporan

As shown in following screenshot, the node displays all the available passes, render layers and scenes present in the current rendered file.. Multiple Render Layers nodes can

Hasil penelitian menujukan bahwa tidak semua dalam pemanfaatan sistem informasi manajemen memiliki peran terhadap pengambilan keputusan.Alasanya pertama penggunaan SIM

Pada saat pelaksanaan tindakan Siklus I, penelitian diobservasikan oleh guru kelas VIII 1 .Observasi dilakukan untuk melihat aktivitas siswa diperoses belajar

tidak langsung memiliki hubungan dengan persoalan-persoalan penting lainnya yang tidak bisa dipisahkan dari tindakan penerimaan di atas, yaitu menyangkut tata