• Tidak ada hasil yang ditemukan

Saya sedang membaca sesuatu dari Google Search, membaca sebuah artikel dengan judul, How to be a smooth talker?

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Saya sedang membaca sesuatu dari Google Search, membaca sebuah artikel dengan judul, How to be a smooth talker?"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Unerotic

Saya sedang membaca sesuatu dari Google Search, membaca sebuah artikel dengan judul, “How to be a smooth talker?”

Ini konyol, memang.

Menghabiskan waktu dengan membaca artikel self-help di internet tak kusangka terasa semenyedihkan ini.

Sebenarnya saya tak sudi membaca ini. Motivasi, aktualisasi diri, everyday wisdom, dan segala macam self-help bisnis yang diringkas untuk mengkonfirmasi pembacanya hingga merasa selalu ada yang harus diperbaiki dalam dirinya. Yang tak berbahagia, yang kurang positif, yang kurang cantik, dan yang tak segemilang manusia-manusia yang sering muncul di acara talkshow televisi, haruslah mulai untuk mencintai diri sendiri, percaya diri, dan gapailah cara hidup yang katanya ideal.

Bullshit.

Sialnya saya tetap membaca artikel-artikel itu sampai tuntas.

Orang-orang terdekat saya, mereka semua bilang saya butuh bantuan. Saya butuh untuk membaca artikel-artikel sampah itu. Mereka bilang saya butuh untuk menjadi manusia yang percaya diri dan pandai berbicara. Seakan-akan mulut yang selalu bersuara dianggap sebagai kualitas intelegensi nomor satu bagi kebanyakan orang.

Terkadang saya bilang persetan.

Terkadang dengan berat hati saya memang merasa sedikit butuh. Orang yang mulutnya pandai membual ternyata lebih sering mendapatkan hidup yang mudah.

Saya bukan orang yang pandai berucap dan bercuap. Saya tidak tau caranya. Atau mungkin saya tau, tapi tidak benar-benar bisa mengingatnya ketika bertemu banyak manusia. Otak saya selalu membiarkan diri saya berkata-kata seperlunya. Terlalu banyak manusia membuat lidah saya kelu, bukan karena malu, hanya saja seringkali terlalu banyak stimulasi sosial yang terasa tidak perlu.

Seperti saat ini misalnya. Saya terjebak di antara kerumunan banyak orang yang sedang merayakan sesuatu, merayakan pernikahan teman dekat saya. Sejenis teman yang bisa membunuh saya jika saya tak hadir di pernikahannya.

Hei, kenapa kau meragukan bahwa saya mempunyai teman, tentu saja saya mempunyai teman. Sedikit memang jumlahnya, tapi sedikit teman

(2)

itu sempurna. Hanya teman-teman yang saya perlukan dan memerlukan saya. Itu sempurna. Menurutku.

Tapi bukan berarti saya dengan otomatis merasa berbahagia hadir di pernikahannya. Ini adalah salah satu momen yang tidak benar-benar saya pahami apa maksudnya. Merayakan pasangan yang senggama-nya dilegalisasi. Bukan jenis perayaan yang saya senang hadiri. Tapi sudahlah, saya sudah terlanjur ada di sini.

Saya bisa melihat begitu banyak manusia-manusia berpakaian rapi dan mahal di dalam gedung ini, masing-masing membentuk kelompok dan membicarakan banyak hal. Membicarakan berat badan misalnya, “kamu gemukan ya sekarang”. Jumlah anak, “anak sudah berapa?”. Pekerjaan terakhir, “lagi ngerjain apa sekarang?”. Entah mereka benar-benar peduli terhadap satu sama lain atau hanya pura-pura peduli. Yang saya tahu semuanya harus serba bersuara. Tersenyum dan terbahak, baik artificial maupun tidak, yang terpenting adalah semuanya harus saling berdengung agar tidak menjadi canggung.

Saya tidak merasa nyaman. Benar-benar tidak nyaman. Orang-orang seringkali bilang bahwa saya ini introvert. Sebutan halus bagi kepribadian kelas dua. Kelas dua karena dunia yang saya huni seperti sekarang ini tampak lebih menyayangi orang-orang yang berkepribadan serba bising. Yang bisa membicarakan hampir segala hal. Yang bisa mengadu seberapa lama bisa saling membicarakan omong kosong. Tak heran bukan jika saat ini semakin banyak orang yang bercuap tanpa menggunakan otak.

Saya seringkali merasa sesak jika harus menghirup udara yang dipenuhi oleh percakapan yang tak saya butuhkan. Jadi saya lebih senang bersembunyi seperti ini, bermain-main dengan Google Search. Lalu saya akan membiarkan orang-orang di dekat saya menganggap saya aneh. Menuduh saya tak bahagia. Mengira saya tak punya teman (saya punya teman, percayalah). Juga memandang saya rendah karena saya tidak melakukan effort untuk berpura-pura peduli pada dunia.

Ah…, ini dia, ada sebuah artikel lagi, judulnya “How to convert from introvert to extrovert 7 steps (with pictures)?”

Semakin konyol.

Semua informasi tentang merubah kepribadian disulap menjadi hanya 7 langkah lalu berharap bisa merubah kepribadian secara instan (dan “with pictures”). Semua hanya dalam satu halaman sehingga tampak mudah, padahal kenyataannya berpindah kepribadian itu bisa jadi lebih sulit dari berpindah agama.

Meski dibombardir dengan tuntutan untuk berubah menjadi sesuatu yang ideal, khususnya di mata sosial, orang-orang tetap hampir selalu berkata “Jadilah diri sendiri!” Harus berubah sekaligus harus jadi diri sendiri. Tak pernah konsisten.

(3)

Jadi diri sendiri pun sebenarnya tidak benar-benar menolong orang seperti saya untuk bertahan hidup. Berpura-pura seringkali lebih berguna. Lagipula saya tidak benar-benar mengerti apa maksudnya jadi diri sendiri. Kita tidak pernah bisa benar-benar original. Kau merasa original? Manusia tak pernah menjadi sesuatu yang original. Jadi diri sendiri, diri sendiri yang mana? Sepertinya kita punya topeng yang berbeda-beda untuk setiap orang dan situasi yang kita hadapi.

Oh tidak…, tiba-tiba seorang wanita melangkah menghampiriku. Kulit sawo matang dan rambut ikal itu…, sepertinya saya pernah melihatnya. tapi saya tak ingat namanya siapa. Dia terlihat akan menyapa saya. Taruhan, dia pasti akan menanyakan kabar saya.

“Hei, apa kabar?” tanya wanita itu riang. Sangat riang. Riang yang berlebihan.

Benar bukan, dia menanyakan kabar saya. “Oh… hai… saya… baik”

Baik? Mengapa saya bilang bahwa saya baik? Tentu saya tidak sedang merasa baik di tempat ini. Mengapa semua orang hampir selalu memiliki jawaban seperti itu dalam kondisi bagaimanapun. Mengapa saya hampir selalu memiliki jawaban seperti itu dalam kondisi bagaimanapun. Sebenarnya saya lebih ingin menjawab, “Saya tidak ingat pernah berteman dengan anda” atau “fuck you and leave me alone” tapi saya lebih memilih untuk berpura-pura baik karena sudah saya bilang berpura-pura seringkali lebih berguna.

“Jarang keliatan ya, kemana aja?” dia bertanya kembali, tetap dengan senyumnya yang riang.

Ok, darimana saya harus mulai merunut kemana saja saya pergi. Rumah. Kantor. Coffeeshop. Rumah. Kantor. Grocery Store. Damn, hidup saya membosankan.

“Kerja” ucap saya ditambah usaha untuk menarik bibir saya agar saya tampak tersenyum lebar. Wajah bahagia.

Dengan wajah antusias wanita itu kembali bertanya, “Oya, kerja apa sekarang?”

Kenapa wanita ini tiba-tiba tertarik untuk tau tentang hidup saya, memangnya kalau saya beritahu dimana saya bekerja lalu dia akan membantu saya menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan saya? Tidak kan. Mengapa dia menanyakan sesuatu yang tidak perlu, mengapa dia mengira saya senang diberi pertanyaan-pertanyaan, mengapa… oh ya… ya… ya… saya harus mengaplikasikan apa yang sudah saya baca tentang… “How To Be Talkative”

(4)

1. don’t be shy

2. step out of your comfort zone 3. throw out something random “Saya dokter.” jawab saya

Saya bukan dokter tentu saja. Saya tidak merasa malu mengucapkannya, saya keluar dari comfort zone saya, dan saya mengucapkan sesuatu yang random, dengan berbohong. Saya berhasil menjadi talkative.

“Wow, dokter apa?” ucapnya semakin antusias “Dokter bedah” ucapku dengan cepat

Ah ini menyenangkan. “Serius?”

“Ya”

“Wow” Dia mengangguk. Saya mengangguk, lebih banyak anggukan, dan lebih cepat.

Mengapa wanita itu hanya mengucapkan “wow”, apakah dia tau saya berbohong? apakah dia tak tertarik lagi pada saya? Saya harus bagaimana? Apakah… oh…, kembali ke langkah-langkah “How to be talkative”

4. Tell Anecdotes

“Saya bisa bedah hidungmu, agar tidak terlihat aneh.” Saya tertawa. Canggung. Wanita itu tidak.

“Apa maksudmu aneh?” “Hidungmu”

5. Don’t forget to smile. Saya tersenyum. Lebar.

Dia pergi meninggalkan saya dengan pandangan yang tak menyenangkan. I’m screwed.

Jangan-jangan saya bukan introvert. Mungkin saya ini ternyata orang jahat, mungkin saya hanya tidak terlalu peduli pada manusia, mungkin saya tidak terlalu butuh manusia, mungkin saya hanya lebih merasa megah tanpa adanya orang lain, or maybe because I am. I am, myself, is enough.

(5)

Atau mungkin saya hanya butuh membaca kembali artikel-artikel di google, seperti

“How to be a warm person” “How to be compassionate” “How to give a fuck” Hmmh…

Bosan.

Sebaiknya saya pulang lebih awal.

Ah…tidak-tidak, jangan lagi, kumohon…, ada yang mendekatiku lagi. Dia pasti akan menanyakan tentang kabar saya lagi dan saya akan mengulangi kebodohan-kebodohan saya lagi.

“Hei” ucapnya. Seorang wanita berkulit sawo matang kedua, namun matanya lebih besar. Saya suka wanita bermata besar. Namun saya tak lantas memutuskan untuk berbincang-bincang dengannya.

Dia memandangku, mengharapkan saya membalas sapaannya. Sial.

Baiklah, saya akan menjawab sapaannya. Siapa yang tahan berdiam diri dengan tatapan mata seindah itu.

“Hei, selamat siang, saya harap anda tidak akan membuka percakapan dengan saya karena anda tidak akan senang berbicara dengan saya. Saya bukan orang baik dan saya memiliki low self-esteem, low confidence, anxiety, anger, envy, depressed mood, neurotic.” jawab saya

Saya membaca gejala-gejalanya di internet. Self diagnose - self medication. Damn, I could have every disorder symptom every time I read about psychology article on the internet.

Wanita itu tampak terhenyak sejenak, namun pandangannya tak lepas dari mataku.

Dia kemudian membuka mulutnya dan berkata, “Let’s get married.” “Maaf?” ucapku dengan spontan seakan-akan hampir tersedak. “Menikah?” dia menawarkan.

“Tidak, terimakasih.” “Kenapa?”

(6)

Saya tak tau harus berkata apa. Mungkin saya harus mengulangi saja perkataan saya sebelumnya.

“Saya bukan orang baik, dan saya memiliki low self-esteem, low confidence, anxiety, anger, envy, depressed mood, neurotic.”

“It’s ok.” ucap wanita di depanku itu.

Hening. Benar-benar hening. Saya melihat orang-orang di dalam gedung masih saling berbincang satu sama lain namun saya tak mendengar apapun selain detak jantung saya sendiri.

“Really?” “Ya…, perfect.” “Baiklah.” “Menikah?” “Menikah.”

Dan suasana di gedung itu kembali ramai. Saya kembali mendengarkan suara orang-orang di sekitar saya yang masih berbincang berbasa-basi.

“We’re gonna make a big family.” ucap wanita yang saya tak tau namanya itu

“Not too big, I hope.” balas saya Dia tersenyum .

Dan saya mulai merasa hidup tak lagi terlalu buruk untuk dijalani.

Dan tiba-tiba saya tersadar bahwa ternyata saya sedang berada di depan cermin. Sendirian dengan rambut yang berantakan dan sedikit berminyak.

Ah…, saya belum berangkat kemanapun. Pernikahan teman saya baru akan dimulai nanti di malam hari. Semoga temanku itu tak punya waktu untuk memikirkan pembunuhan terhadap sahabatnya yang tak hadir di hari istimewanya karena…

sepertinya saya kembali memutuskan untuk tidak berangkat kemanapun hari ini.

Anju 12-02-14

(7)

Referensi

Dokumen terkait

Kebutuhan transportasi merupakan kebutuhan turunan (derived demand) akibat aktivitas ekonomi, sosial, dan sebagainya. Transportasi merupakan tulang punggung perekonomian

Siswa adalah aset utama dari sekolah, dikatakan demikian karena peran siswa sangat menentukan berhasil tidaknya sekolah. Siswa merupakan obyek dalam proses transformasi ilmu

Gagasan utama yang direpresentasikan melalui Batu dan Täbä adalah pemeliharaan Allah dalam sejarah masyarakat setempat.. Menghidupkan kembali makna inilah yang

Pada Gambar 7, nilai pada perlakuan kombinasi eceng gondok dan pelepah pisang menunjukan semakin banyak penambahan bahan serat maka akan semakin besar pula daya serap dan

Kepala Bagian Iklan: Ali Usodo Kepala Bagian Pemasaran: Monang Sitorus Wakil Kepala Bagian Iklan: Nenny Indriasari.. Telepon Pengaduan

Dari tabel 2 dapat diambil kesimpulan bahwa variabel purchasing intention memiliki nilai rata-rata yang paling tinggi yaitu 3,89, consumer perception dengan 3,81, brand image

menggunakan sistem musyawarah 5 atau dengan cara yang berbeda dari sampel sebelumnya, yaitu tidak dikumpulkannya mauhub di rumahnya.. pelaksanaan yang dilakukan

Bahwa berdasarkan Keppres Nomor 83/P Tahun 2009, Kabinet Indonesia Bersatu yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 telah dibubarkan karena berakhirnya