• Tidak ada hasil yang ditemukan

KETERKAITAN ANTARA KARAKTERISTIK DENGAN KESEJAHTERAAN RUMAH TANGGA DI WILAYAH PEMBANGUNAN BOGOR TIMUR KABUPATEN BOGOR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KETERKAITAN ANTARA KARAKTERISTIK DENGAN KESEJAHTERAAN RUMAH TANGGA DI WILAYAH PEMBANGUNAN BOGOR TIMUR KABUPATEN BOGOR"

Copied!
136
0
0

Teks penuh

(1)

KABUPATEN BOGOR

Oleh :

PUTRA FAJAR PRATAMA A14304081

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(2)

Kesejahteraan Rumah Tangga di Wilayah Pembangunan Bogor Timur Kabupaten Bogor. Di bawah bimbingan MUHAMMAD FIRDAUS.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2004-2009, dinyatakan bahwa masih rendahnya pertumbuhan ekonomi mengakibatkan rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat dan munculnya masalah sosial yang mendasar. Dalam RJPM tahun 2004-2009 ini, penanggulangan kemiskinan merupakan prioritas kebijakan yang utama yang tertuang dalam arah kebijakan pembangunan pemerintah. Upaya penanggulangan kemiskinan ini terkait dengan sasaran utama pembangunan nasional yaitu menurunnya persentase jumlah penduduk miskin menjadi 8,2 persen pada tahun 2009. Selama ini kesejahteraan masyarakat dinilai memiliki dimensi yang luas dan kompleks sehingga hanya dapat terlihat dari suatu aspek tertentu. Salah satu aspek yang cukup relevan dalam mengukur tingkat kesejahteraan suatu masyarakat ialah kondisi kemiskinan. Selama ini kondisi kemiskinan menggambarkan suatu kondisi kesejahteraan yang rendah. Jika dilihat dari sisi jumlah penduduk miskin di Indonesia, terdapat fluktuasi dalam hal persentase jumlah penduduk miskin di wilayah desa dan kota.

Untuk melihat kondisi kemiskinan rumah tangga yang merupakan salah satu alat ukur kesejahteraan, diperlukan suatu kriteria tertentu. Diperlukan suatu indikator sosial maupun ekonomi untuk menggambarkan keadaan kemiskinan suatu rumah tangga. Selama ini Badan Pusat Statistik mencoba untuk melihat kondisi kemiskinan dengan menggunakan 14 kriteria. Variabel-variabel dalam kriteria tersebut menggambarkan kondisi sosial ekonomi rumah tangga yang dikenal dengan karakteristik rumah tangga. Nilai Indeks Pembangunan Manusia yang rendah di wilayah Bogor Timur ini mengisyaratkan masih rendahnya tingkat kesejahteraan di wilayah Bogor Timur. Rendahnya IPM Bogor Timur juga mengindikasikan suatu ketidakmerataan pendapatan per kapita karena PDRB per kapita yang tinggi di wilayah ini. Permasalahan di segala aspek terkait dengan kesejahteraan tersebut harus ditanggulangi dengan strategi yang sesuai dengan permasalahan yang menjadi prioritas di suatu wilayah.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis karakteristik rumah tangga di wilayah pembangunan Bogor Timur, (2) menganalisis keterkaitan antara karakteristik dan kesejahteraan rumah tangga di wilayah pembangunan Bogor Timur, dan (3) menganalisis strategi prioritas penanggulangan kemiskinan di wilayah pembangunan Bogor Timur.

Analisis deskriptif digunakan untuk menganalisis karakteristik rumah tangga di wilayah pembangunan Bogor Timur. Model persamaan struktural digunakan untuk menganalisis keterkaitan antara karakteristik dan kesejahteraan rumah tangga di wilayah pembangunan Bogor Timur. Dengan model persamaan struktural, dapat dianalisis pengaruh serta hubungan antar variabel laten dan variabel manifesnya. Penentuan strategi prioritas penanggulangan kemiskinan dianalisis dengan menggunakan Proses Hirarkhi Analitik (PHA). Dengan PHA, dapat dianalisis faktor-faktor penyebab kemiskinan yang paling utama di wilayah pembangunan Bogor Timur beserta strategi prioritasnya.

(3)

Gunungputri dan Cileungsi. Sebanyak 3.210 rumah tangga di Bogor Timur merupakan rumah tangga miskin dari 20.817 rumah tangga sampel. Rumah tangga yang kepala rumah tangganya bekerja di sektor non-pertanian untuk rumah tangga tidak miskin relatif lebih baik dibandingkan rumah tangga yang tergolong miskin. Rumah tangga pertanian yang tidak miskin tidak lebih baik dibandingkan dengan rumah tangga yang tergolong miskin.

Berdasarkan analisis model pengukuran, seluruh variabel manifes berpengaruh nyata dan berhubungan positif terhadap variabel laten yang ada. Variabel karakteristik pendidikan memiliki nilai pengaruh yang positif terhadap variabel karakteristik pendapatan. Artinya kepala rumah tangga yang tamat sekolah dasar (SD) cenderung memiliki pendapatan dari sektor pekerjaan utama yang lebih dari 600 ribu rupiah. Variabel karakteristik pekerjaan memiliki nilai pengaruh yang positif terhadap variabel karakteristik pendapatan. Artinya apabila kepala rumah tangga bekerja di sektor non-pertanian maka kepala rumah tangga tersebut cenderung memiliki pendapatan dari sektor pekerjaan utama yang lebih dari 600 ribu rupiah. Nilai pengaruh karakteristik pendapatan terhadap kesejahteraan rumah tangga bernilai positif. Artinya jika kepala rumah tangga berpendapatan lebih besar dari 600 ribu rupiah maka peluang suatu rumah tangga untuk dikategorikan tidak miskin akan semakin meningkat.

Berdasarkan hasil PHA, terlihat bahwa faktor yang utama dalam menyebabkan kemiskinan di wilayah pembangunan Bogor Timur ialah rendahnya kualitas sumberdaya manusia di Bogor Timur. Strategi prioritas dalam menanggulangi kemiskinan di Bogor Timur ialah dengan meningkatkan pemberdayaan ekonomi masyarakat dengan kursus dan pelatihan.

Untuk wilayah Bogor Timur, program penanggulangan kemiskinan hendaknya difokuskan pada wilayah yang persentase rumah tangga miskinnya tinggi. Wilayah tersebut mencakup kecamatan-kecamatan yang sebagian besar kepala rumah tangganya bekerja di sektor pertanian seperti Kecamatan Tanjungsari, Cariu, Jonggol, dan Sukamakmur. Selain itu, aspek kursus dan pelatihan hendaknya menjadi prioritas utama dalam program penanggulangan kemiskinan. Hal ini bertujuan agar masyarakat lebih mandiri dan tidak bergantung pada subsidi langsung dari pemerintah. Sebaiknya dilakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakmerataan pendapatan di wilayah pembangunan Bogor Timur.

(4)

Oleh:

PUTRA FAJAR PRATAMA A14304081

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(5)

Nama : Putra Fajar Pratama NRP : A14304081 Menyetujui, Dosen Pembimbing Muhammad Firdaus, Ph.D NIP. 132 158 758 Mengetahui,

Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr NIP. 131 124 019

(6)

BERJUDUL “KETERKAITAN ANTARA KARAKTERISTIK DENGAN KESEJAHTERAAN RUMAH TANGGA DI WILAYAH PEMBANGUNAN BOGOR TIMUR” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, Juni 2008

Putra Fajar Pratama A14304081

(7)

Penulis bernama lengkap Putra Fajar Pratama, dilahirkan pada 19 Juli 1986 di Bogor sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Winarto Budiyo Pratomo, B.Sc dan Ir. Endang Dwi Hastuti, MM. Pada tahun 1998 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Polisi V Bogor. Pada tahun 2001 penulis menyelesaikan pendidikan menengah pertama di SLTPN 5 Bogor dan menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMUN 2 Bogor pada tahun 2004. Selama menempuh pendidikan menengah pertama dan menengah atas, penulis aktif pada berbagai organisasi, seperti Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS).

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) tahun 2004, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) pada program studi Ekonomi Pertanian Sumberdaya (EPS), jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian. Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis aktif diberbagai kegiatan kepanitiaan. Selain itu penulis juga aktif dalam UKM Bola Basket Institut Pertanian Bogor.

(8)

anugerah, berkat dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitiannya. Penelitian ini berjudul “Keterkaitan antara Karakteristik dengan Kesejahteraan Rumah Tangga di Wilayah Pembangunan Bogor Timur Kabupaten Bogor”. Skripsi ini ditulis untuk memenuhi persyaratan penyelesaian Program Sarjana pada Fakultas Pertanian, Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan menganalisis keterkaitan antara karakteristik dan kesejahteraan rumah tangga serta strategi prioritas penanggulangan kemiskinan di wilayah pembangunan Bogor Timur. Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan dan kelemahan, oleh karena itu penulis senantiasa menerima setiap saran dan kritik yang membangun guna menyempurnakan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini berguna dalam memberikan rekomendasi kepada pemerintah bagi penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Kegunaan Penelitian... 8

1.5 Ruang Lingkup Peneltian... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu Mengenai Kesejahteraan Rumah Tangga ... 10

2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu Mengenai Kemiskinan... 12

2.3 Tinjauan Penelitian Terdahulu dengan Model Persamaan Struktural. 18 2.4 Tinjauan Penelitian Terdahulu dengan Proses Hirarkhi Analitik ... 19

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 21

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ... 21

3.1.1 Konsep Kesejahteraan... 21

3.1.2 Konsep Kemiskinan ... 25

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ... 33

IV. METODE PENELITIAN ... 37

4.1 Waktu dan Wilayah Penelitian... 37

4.2 Jenis dan Sumber Data ... 37

4.3 Metode Analisis dan Pengolahan Data ... 40

4.4 Definisi Operasional... 60

V. KARAKTERISTIK RUMAH TANGGA DI WILAYAH PEMBANGUNAN BOGOR TIMUR ... 61

5.1 Karakteristik Rumah Tangga berdasarkan Pendidikan Kepala Rumah Tangga... 63

5.2 Karakteristik Rumah Tangga berdasarkan Pendapatan Kepala Rumah Tangga... 64

5.3 Karakteristik Perumahan... 65

5.3.1 Karakteristik Rumah Tangga berdasarkan Jenis Lantai Rumah ... 65

5.3.2 Karakteristik Rumah Tangga berdasarkan Jenis Dinding Rumah ... 66

5.3.3 Karakteristik Rumah Tangga berdasarkan Sumber Air Minum ... 67

5.3.4 Karakteristik Rumah Tangga berdasarkan Sarana Buang Air Besar ... 68

(10)

5.3.5 Karakteristik Rumah Tangga berdasarkan

Jenis Bahan Bakar untuk Memasak ... 69

5.3.6 Karakteristik Rumah Tangga berdasarkan Sumber Penerangan... 70

5.3.7 Karakteristik Rumah Tangga berdasarkan Luas Lantai Rumah ... 71

5.4 Karakteristik Ekonomi ... 73

5.4.1 Karakteristik Rumah Tangga berdasarkan Frekuensi Pembelian Pakaian dalam Setahun... 73

5.4.2 Karakteristik Rumah Tangga berdasarkan Frekuensi Makan dalam Sehari... 74

5.4.3 Karakteristik Rumah Tangga berdasarkan Frekuensi Pembelian Daging/Ayam/Susu dalam Seminggu... 75

5.5 Karakteristik Rumah Tangga berdasarkan Kepemilikan Aset... 76

5.6 Karakteristik Rumah Tangga berdasarkan Kemampuan Berobat... 79

VI. KETERKAITAN KARAKTERISTIK DENGAN KESEJAHTERAAN RUMAH TANGGA DI WILAYAH PEMBANGUNAN BOGOR TIMUR ... 80

6.1 Analisis Model Struktural ... 80

6.2 Dekomposisi Pengaruh ... 84

6.2.1 Hubungan antara Karakteristik Pendidikan dan Pendapatan .... 86

6.2.2 Hubungan antara Karakteristik Pekerjaan dan Pendapatan ... 88

6.2.3 Hubungan antara Karakteristik Pendapatan dan Kesejahteraan Rumah Tangga ... 89

VII. STRATEGI PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI WILAYAH PEMBANGUNAN BOGOR TIMUR... 91

7.1 Faktor Utama Penyebab Kemiskinan... 91

7.2 Strategi Prioritas Penanggulangan Kemiskinan di Bogor Timur... 92

7.2.1 Strategi Prioritas Penanggulangan Kemiskinan berdasarkan Ketimpangan Pembangunan di Bogor Timur ... 92

7.2.2 Strategi Prioritas Penanggulangan Kemiskinan berdasarkan Kurangnya Akses Masyarakat terhadap Pelayanan Umum ... 93

7.2.3 Strategi Prioritas Penanggulangan Kemiskinan berdasarkan Rendahnya Kualitas Sumberdaya Manusia di Bogor Timur... 94

7.2.4 Strategi Prioritas Penanggulangan Kemiskinan berdasarkan Seluruh Faktor Penyebab Kemiskinan di Bogor Timur... 95

7.3 Sub-strategi Prioritas Penanggulangan Kemiskinan di Bogor Timur 96

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 99

8.1 Kesimpulan ... 99

8.2 Saran... 99

DAFTAR PUSTAKA ... 101

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1. Sumbangan Kelompok Pengeluaran terhadap

Inflasi Nasional Oktober 2007 ... 3

2. PDRB per kapita Kabupaten Bogor Tahun 2005 (juta Rupiah)... 5

3. Angka IPM dan Komponennya menurut Wilayah Pembangunan di Kabupaten Bogor Tahun 2005 ... 6

4. Jenis dan Sumber Data Penelitian ... 40

5. Matriks Perbandingan Berpasangan dalam PHA... 53

6. Skala Dasar Perbandingan pada PHA ... 54

7. Matriks Pendapat Gabungan ... 55

8. Nilai Indeks Acak (RI) Matriks Berorde 2 sampai 8 ... 57

9. Jumlah dan Persentase Rumah Tangga Miskin di Bogor Timur Tahun 2006 ... 62

10.Perbandingan Jumlah Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin berdasarkan Pendidikan Kepala Rumah Tangga (persen) ... 63

11. Perbandingan Jumlah Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin berdasarkan Pendapatan Kepala Rumah Tangga (persen) ... 65

12. Perbandingan Jumlah Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin berdasarkan Jenis Lantai Rumah (persen)... 66

13. Perbandingan Jumlah Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin berdasarkan Jenis Dinding Rumah (persen)... 67

14. Perbandingan Jumlah Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin berdasarkan Sumber Air Minum (persen)... 68

15. Perbandingan Jumlah Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin berdasarkan Sarana Buang Air Besar (persen)... 69

16. Perbandingan Jumlah Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin berdasarkan Jenis Bahan Bakar untuk Memasak (persen)... 70

(12)

17. Perbandingan Jumlah Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin

berdasarkan Sumber Penerangan (persen) ... 71

18. Perbandingan Jumlah Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin berdasarkan Luas Lantai Rumah (persen)... 72

19.Perbandingan Jumlah Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin berdasarkan Frekuensi Pembelian Pakaian Baru dalam Setahun (persen)... 73

20. Perbandingan Jumlah Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin berdasarkan Frekuensi Makan dalam Sehari (persen) ... 74

21. Perbandingan Jumlah Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin berdasarkan Frekuensi Pembelian Daging/Ayam/Susu dalam Seminggu (persen)... 76

22. Perbandingan Jumlah Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin berdasarkan Kepemilikan Emas (persen)... 76

23. Perbandingan Jumlah Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin berdasarkan Kepemilikan Televisi (persen)... 77

24. Perbandingan Jumlah Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin berdasarkan Kepemilikan Kulkas/Mesin Cuci (persen)... 77

25. Perbandingan Jumlah Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin berdasarkan Kepemilikan Sepeda Motor (persen) ... 78

26. Perbandingan Jumlah Rumah Tangga Miskin dan Tidak Miskin berdasarkan Kemampuan Berobat (persen) ... 79

27. Ukuran Kebaikan Suai Model menurut Absolute Fit Measures ... 82

28. Ukuran Kebaikan Suai Model menurut Incremental Fit Measures ... 83

29. Ukuran Kebaikan Suai Model menurut Parsimonious Fit Measures ... 83

30. Hubungan Variabel Manifes dengan Karakteristik Rumah Tangga ... 86

31. Faktor Utama Penyebab Kemiskinan di Bogor Timur... 92

32. Strategi Prioritas Penanggulangan Kemiskinan berdasarkan Ketimpangan Pembangunan di Bogor Timur ... 93

33. Strategi Prioritas Penanggulangan Kemiskinan berdasarkan Kurangnya Akses Masyarakat terhadap Pelayanan Umum ... 94

(13)

34. Strategi Prioritas Penanggulangan Kemiskinan berdasarkan

Rendahnya Kualitas Sumberdaya Manusia di Bogor Timur... 95 35. Strategi Prioritas Penanggulangan Kemiskinan berdasarkan

Seluruh Faktor Penyebab Kemiskinan di Bogor Timur... 96 36. Sub-strategi Prioritas Penanggulangan Kemiskinan berdasarkan

(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Persentase Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia Tahun 1996-2007... 4

2. Lingkaran Setan Kemiskinan ... 28

3. Hipotesis U Terbalik dari Kuznets... 32

4. Bagan Kerangka Pemikiran Operasional ... 36

5. Proses Pengolahan Data SUSEDA 2006... 39

6. Model Kesejahteraan Rumah Tangga dengan Pendekatan SEM... 49

7. Urutan Prioritas Strategi Penanggulangan Kemiskinan berdasarkan PHA.... 59

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Variabel yang Diolah dalam Model Persamaan Struktural... 100

2. Output LISREL ... 102

3. Uji Reliabilitas dan Variance Extracted ... 106

4. Daftar Indikator Kesejahteraan Rakyat menurut BPS ... 107

5. Indikator Kemiskinan menurut BPS ... 109

6. Kuesioner Penelitian ... 110

(16)

1.1. Latar Belakang

Salah satu indikator yang menunjukkan adanya suatu pembangunan di suatu negara ialah pertumbuhan ekonomi. Pada triwulan ketiga tahun 2007, Produk Domestik Bruto Indonesia mengalami peningkatan sebesar 6,3 persen bila dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2006. Menurut Tambunan (2003), pertumbuhan ekonomi dapat memberikan efek dalam bentuk peningkatan kesempatan kerja dan peningkatan upah/pendapatan dari kelompok miskin. Dengan semakin membaiknya aspek-aspek perekonomian, diharapkan kesejahteraan masyarakat akan meningkat.

Salah satu tujuan yang terdapat dalam Millenium Development Goals (MDG)1 ialah untuk mengurangi kemiskinan dan kelaparan. Upaya tersebut berbentuk penurunan proporsi masyarakat yang kelaparan dan berpendapatan kurang dari satu dolar per hari serta meningkatkan kesempatan kerja masyarakat. Upaya penurunan tingkat kemiskinan dalam MDG merupakan fokus utama selain pembangunan ekonomi.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)2 tahun 2004-2009, juga dinyatakan bahwa rendahnya pertumbuhan ekonomi mengakibatkan rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat dan munculnya masalah sosial. Dalam RPJM tahun 2004-2009 ini, penanggulangan kemiskinan merupakan prioritas kebijakan yang utama yang tertuang dalam arah kebijakan pembangunan pemerintah. Upaya penanggulangan kemiskinan ini terkait dengan sasaran utama

1 United Nations. 2008. UN Millennium Development Goals. www.un.org

2 Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2004. Rencana Pembangunan Jangka Menengah

(17)

pembangunan nasional yaitu menurunnya persentase jumlah penduduk miskin menjadi 8,2 persen pada tahun 2009.

Selama ini pembangunan di Indonesia tidak terlepas dari unsur ketidakpastian dalam perekonomian nasional dalam periode-periode tertentu. Ketidakpastian perekonomian tersebut salah satunya berupa krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998 yang telah mempengaruhi daya beli dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Selain itu, harga minyak dunia yang terus berfluktuasi juga mempengaruhi harga BBM di Indonesia sehingga memicu kenaikan harga makanan dan non-makanan. Adanya inflasi ini akan mempengaruhi daya beli serta kesejahteraan masyarakat.

Peranan komoditi makanan terhadap Garis Kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Berdasarkan data BPS (2007), dalam rentang waktu Februari 2005 sampai Maret 2006, terjadi peningkatan Garis Kemiskinan sebesar 18,39 persen yang sebagian besar dipengaruhi oleh Garis Kemiskinan Makanan. Tabel 1 memperlihatkan data sumbangan kelompok pengeluaran terhadap inflasi nasional. Dari Tabel 1 terlihat bahwa bahan makanan sangat berkontribusi terhadap inflasi yang terjadi. Hal ini berimplikasi bahwa makanan terbukti berpengaruh terhadap peningkatan garis kemiskinan yang sebagian besar dipengaruhi oleh Garis Kemiskinan Makanan.

Selama ini kesejahteraan masyarakat dinilai memiliki dimensi yang luas dan kompleks. Berbagai badan dan lembaga yang fokus terhadap masalah kesejahteraan telah berupaya untuk mengukur tingkat kesejahteraan dengan

(18)

berbagai indikator sosial dan ekonomi. Keragaman indikator sosial dan ekonomi ini mengakibatkan kesejahteraan dapat dilihat dari berbagai sudut pandang.

Tabel 1. Sumbangan Kelompok Pengeluaran terhadap Inflasi Nasional

Oktober 2007

Kelompok pengeluaran Sumbangan terhadap inflasi (persen)

1. Bahan makanan 0,44

2. Makanan jadi, minuman, rokok,

dan tembakau 0,08

3. Perumahan, air, listrik, gas, dan

bahan bakar 0,05

4. Sandang 0,11

5. Kesehatan 0,02

6. Pendidikan, rekreasi, dan

Olahraga 0,01

7. Transpor, komunikasi, dan

jasa keuangan 0,08

UMUM 0,79 Sumber : BPS (2007)

Salah satu aspek yang cukup relevan dalam mengukur tingkat kesejahteraan suatu masyarakat ialah kondisi kemiskinan. Selama ini kondisi kemiskinan menggambarkan suatu kondisi kesejahteraan yang rendah. Jika dilihat dari sisi jumlah penduduk miskin di Indonesia, terdapat fluktuasi dalam hal persentase jumlah penduduk miskin di wilayah desa dan kota. Pada tahun 1998, terjadi peningkatan persentase jumlah penduduk miskin di Indonesia yang signifikan. Hal ini disebabkan oleh krisis moneter yang terjadi pada tahun tersebut. Dalam rentang waktu setelah tahun 1998, jumlah penduduk miskin di Indonesia relatif mengalami trend yang menurun. Apabila dibedakan menurut wilayah desa dan kota, persentase jumlah penduduk miskin di kedua wilayah tersebut juga memiliki trend yang menurun dengan rata-rata persentase yang lebih tinggi untuk wilayah desa. Gambar 1 memperlihatkan persentase jumlah

(19)

penduduk miskin di Indonesia dalam rentang waktu tahun 1996 sampai tahun 2007.

Sumber : BPS (2007)

Gambar 1. Persentase Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia Tahun 1996 – 2007

Meskipun dalam beberapa tahun terakhir kemiskinan mempunyai kecenderungan menurun, namun bukan berarti strategi penanggulangan beserta program-program penanggulangan kemiskinan telah berjalan dengan baik. Program penanggulangan kemiskinan yang telah dilakukan pemerintah selama ini baik pusat maupun daerah masih mengalami kendala dalam penerapannya. Selama ini program penanggulangan kemiskinan hanya dilihat dari sebuah proyek dan juga hanya dipandang dari sisi ekonominya saja. Selain itu masyarakat lebih diposisikan sebagai obyek dan penerima pasif dari program sehingga bertentangan terhadap prinsip partisipasi, dan penghargaan hak masyarakat3.

3 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor. 2007. Kajian dan Penyusunan

Strategi Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten Bogor 2008-2012, halaman 19.

0 5 10 15 20 25 30 1996 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Tahun Persentase

(20)

1.2. Perumusan Masalah

Bogor Timur merupakan salah satu bagian dari wilayah pembangunan Kabupaten Bogor. Ruang lingkup wilayah Bogor Timur mencakup tujuh kecamatan yang terdiri dari Kecamatan Gunungputri, Kecamatan Tanjungsari, Kecamatan Cileungsi, Kecamatan Sukamakmur, Kecamatan Jonggol, Kecamatan Klapanunggal dan Kecamatan Cariu. Sektor utama yang berkembang di Bogor Timur ialah sektor industri. Berdasarkan data BPS Kabupaten Bogor tahun 2006, terdapat 246 perusahaan industri besar dan sedang di Bogor Timur yang sebagian besar terdapat di Kecamatan Cileungsi dan Kecamatan Gunungputri.

Berdasarkan data BPS Kabupaten Bogor tahun 2007, pertumbuhan ekonomi Bogor Timur terus mengalami peningkatan. Berdasarkan data PDRB per kapita pada tahun 2005 di kabupaten Bogor, terlihat bahwa wilayah pembangunan Bogor Timur memiliki PDRB per kapita yang terbesar dibandingkan wilayah Bogor Barat maupun Bogor Tengah. Dalam hal ini, rata-rata PDRB per kapita pada wilayah Bogor Timur dua kali lipat lebih besar dibandingkan dengan Bogor Tengah dan delapan kali lebih besar dibandingkan dengan wilayah Bogor Barat. PDRB per kapita yang tinggi di wilayah pembangunan Bogor Timur disebabkan oleh sektor industri yang berkembang di wilayah tersebut. PDRB per kapita Kabupaten Bogor berdasarkan wilayah pembangunan pada tahun 2002 sampai dengan tahun 2005 diperlihatkan oleh Tabel 2.

Tabel 2. PDRB per kapita Kabupaten Bogor Tahun 2005 (juta Rupiah)

Tahun Kab Bogor Barat Tengah Timur

2002 5,346 1,702 5,157 13,124

2003 5,403 1,697 5,242 12,819

2004 5,500 1,689 5,248 13,270

2005 5,618 1,634 5,399 13,573

(21)

Dengan PDRB per kapita yang tinggi ternyata masih terdapat ketimpangan di Bogor Timur dibandingkan dengan wilayah Bogor Barat dan Bogor Tengah. Ketimpangan ini berupa rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Bogor Timur. Dalam hal ini, wilayah Bogor Timur memiliki IPM yang terendah di Kabupaten Bogor yaitu 67,29.

Salah satu komponen dalam IPM tersebut ialah pengeluaran per kapita (purchasing power parity). Berdasarkan pengeluaran per kapita, terlihat bahwa Bogor Timur mempunyai pengeluaran per kapita yang paling rendah dibandingkan dua wilayah pembangunan lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada multiplier effect dari PDRB per kapita kepada masyarakat di wilayah Bogor Timur. Hal ini juga memperlihatkan adanya ketidakmerataan PDRB per kapita di wilayah Bogor Timur. Kondisi ini sesuai dengan hipotesis Kuznets yang menyatakan bahwa semakin tinggi pertumbuhan ekonomi, maka semakin tinggi kesenjangan pendapatan di wilayah tersebut. Selain itu, multiplier effect yang rendah dari PDRB per kapita di wilayah Bogor Timur kepada masyarakat dapat menjadi salah satu penyebab adanya kondisi kemiskinan di wilayah pembangunan Bogor Timur khususnya kemiskinan pada tingkat rumah tangga. Angka IPM beserta komponennya disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Angka IPM dan Komponennya menurut Wilayah Pembangunan di Kabupaten Bogor Tahun 2005

Wilayah Pembangunan AKB AHH AMH RLS PPP IPM

49,64 65,25 93,67 6,01 556,75 67,41 39,02 68,61 96,35 7,77 560,35 71,45 Bogor Barat Bogor Tengah Bogor Timur 43,50 66,64 90,07 6,12 554,5 67,29 Kabupaten Bogor 42,42 67,10 93,91 6,69 556,75 68,99

(22)

Informasi tentang jumlah rumah tangga, komposisi rumah tangga dan karakteristik demografi, sosial dan ekonomi sangat diperlukan dalam melihat kondisi kemiskinan. Untuk memenuhi kebutuhan data rumah tangga, BPS telah melakukan pendataan rumah tangga baik dalam Sensus Penduduk, Supas maupun Susenas. Pada akhir tahun 2005 telah dilakukan pendataan khusus rumah tangga miskin dengan menggunakan 14 indikator kemiskinan untuk memenuhi kebutuhan berbagai program pelayanan dasar tersebut. Data rumah tangga yang dikumpulkan BPS biasanya mencakup data rumah tangga dan data anggota rumah tangga (individu)4.

Karakteristik rumah tangga digunakan sebagai indikator sosial ekonomi karena dianggap paling tepat dalam melihat kondisi apakah suatu rumah tangga tersebut miskin atau tidak. Selain itu, penggunaan pendekatan karakteristik rumah tangga juga dimaksudkan untuk lebih memahami karakteristik penduduk miskin sehingga mengacu pada permasalahan riil yang dihadapi masyarakat miskin. Karakteristik rumah tangga tersebut diklasifikasikan lagi menurut keterkaitan antara variabel-variabel tersebut seperti karakteristik ketenagakerjaan, karakteristik perumahan, karakteristik pendidikan, dan karakteristik ekonomi. Permasalahan di segala aspek terkait dengan kesejahteraan dan kemiskinan tersebut harus ditanggulangi dengan strategi yang sesuai dengan permasalahan yang menjadi prioritas di suatu wilayah . Untuk itu diperlukan strategi prioritas penanggulangan kemiskinan agar permasalahan kemiskinan dapat diatasi secara berkelanjutan di wilayah pembangunan Bogor Timur.

(23)

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana karakteristik rumah tangga di wilayah pembangunan Bogor Timur yang mempunyai PDRB per kapita tinggi namun IPM-nya rendah? 2. Apakah karakteristik rumah tangga terkait langsung dengan kesejahteraan

rumah tangga di wilayah pembangunan Bogor Timur?

3. Apa saja upaya untuk menanggulangi kemiskinan di wilayah pembangunan Bogor Timur?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini ialah : 1. Menganalisis karakteristik rumah tangga di wilayah pembangunan Bogor

Timur,

2. Menganalisis keterkaitan antara karakteristik rumah tangga dengan kesejahteraan rumah tangga di wilayah pembangunan Bogor Timur,

3. Menganalisis strategi prioritas penanggulangan kemiskinan di wilayah pembangunan Bogor Timur.

1.4. Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini ialah :

1. Bagi pemerintah dapat digunakan sebagai rekomendasi dalam menentukan strategi penanggulangan kemiskinan khususnya di kabupaten Bogor pada wilayah pembangunan Bogor Timur.

2. Bagi akademisi dapat digunakan sebagai masukan dalam penelitian selanjutnya.

(24)

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah :

1. Analisis dilakukan terhadap seluruh variabel yang ada dalam sensus sosial ekonomi daerah (SUSEDA) Kabupaten Bogor tahun 2006 yang relevan terhadap keperluan analisis.

2. Unit wilayah yang dianalisis mencakup tujuh kecamatan di wilayah pembangunan Bogor Timur dengan unit analisis rumah tangga.

3. Indikator kesejahteraan dan kemiskinan yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan kriteria kesejahteraan dan kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik (BPS).

(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu Mengenai Kesejahteraan Rumah Tangga

Penelitian mengenai kesejahteraan transmigran telah dilakukan oleh Maharani (2006). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat pendapatan transmigran yang berada di UPT Propinsi Lampung selama tahun bina. Selain itu, Maharani juga mengidentifikasi tingkat kesejahteraan transmigran berdasarkan persepsi transmigran dan menurut indikator kesejahteraan. Maharani juga menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan pada rumah tangga transmigran di UPT propinsi Lampung. Data yang digunakan pada penelitian ini ialah data sekunder berupa data kesejahteraan transmigran yang diperoleh dari hasil observasi pada tahun 2004 di Propinsi Lampung. Data primer yang digunakan berupa data hasil wawancara dengan beberapa transmigran.

Dari hasil analisis dengan analisis regresi logistik terlihat bahwa faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap peluang kemiskinan rumah tangga transmigran pada α ≤ 20 persen ialah jumlah anggota tenaga kerja, pengeluaran sekunder, investasi, Dummy tahun bina T+8, dan Dummy tahun bina T+6. Dari hasil analisis deskriptif, terlihat bahwa pendapatan rata-rata KK per tahun dengan lamanya tahun bina yang berbeda masih di bawah standar. Selain itu, hasil analisis tingkat kesejahteraan dengan menggunakan persepsi transmigran secara subjektif adalah bahwa tingkat kesejahteraan berdasarkan bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan sosial budaya relatif sama baik dengan tahun sebelumnya. Berdasarkan indikator kesejahteraan dari KEP. 06/MEN/1999 tingkat

(26)

kesejahteraan transmigran masih rendah yang terlihat dari pendapatan KK per tahun, tingkat pelayanan, angka melek huruf, dan prevalensi penyakit.

Dalam penelitiannya, Irmayani (2007) mencoba untuk menganalisis tingkat kesejahteraan rumah tangga petani di Desa Purwasari, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara karakteristik petani di Desa Purwasari dengan tingkat kesejahteraan. Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data primer hasil pengamatan langsung dan wawancara dengan petani responden. Dari hasil analisis deskriptif, terlihat bahwa menurut sebelas indikator kesejahteraan BPS 2005 rumah tangga petani yang termasuk kategori kesejahteraan tinggi sebanyak 24 rumahtangga (80 persen) dan sisanya sebanyak 5 rumahtangga (20 persen) termasuk kategori kesejahteraan sedang.

Berdasarkan kriteria garis kemiskinan Sajogyo, sebagian besar rumah tangga petani (90 persen) termasuk kategori tidak miskin, sedangkan berdasarkan kriteria garis kemiskinan dari Direktorat Tata Guna Tanah, sebagian besar rumah tangga petani (56,67 persen) termasuk kategori tidak miskin. Analisis uji korelasi Rank Spearman menyebutkan bahwa karakteristik petani yang memiliki hubungan tidak nyata positif dengan tingkat kesejahteraan adalah umur, pendidikan, pengalaman kerja, dan jumlah anggota rumah tangga petani. Karakteristik petani yang memiliki hubungan nyata positif dengan tingkat kesejahteraan adalah luas lahan yang dimiliki petani. Karakteristik petani menunjukkan bahwa rata-rata petani di Desa Purwasari berumur 41 – 50 tahun dengan rata-rata tingkat pendidikan Sekolah Dasar, pengalaman kerja 21 - 30 tahun, luas lahan 0,5 ha serta jumlah anggota rumahtangga sebanyak 3-5 orang.

(27)

2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu Mengenai Kemiskinan

Rahmawati (2006) melakukan penelitian mengenai analisis pelaksanaan Bantuan Langsung Tunai (BLT) di Kabupaten Pacitan. Rahmawati juga menganalisis karakteristik rumah tangga miskin serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi suatu rumah tangga miskin berada pada kemiskinan. Hasil analisis memperlihatkan bahwa variabel yang mempengaruhi karakteristik rumah tangga miskin di Kabupaten Pacitan ialah jenis kelamin kepala keluarga, usia kepala keluarga, pendidikan formal kepala keluarga, jenis pekerjaan, curahan kerja, tingkat pendapatan setiap bulan, jumlah anggota rumah tangga dan jumlah anggota rumah tangga yang termasuk tenaga kerja. Dari hasil analisis regresi logistik diketahui bahwa variabel jumlah anggota rumah tangga yang termasuk tenaga kerja, umur, pendidikan, jenis kelamin, dan pendapatan berpengaruh nyata terhadap peluang suatu rumah tangga berada dalam kemiskinan pada taraf nyata 10 persen. Selain itu program BLT memberikan kontribusi terhadap pendapatan rumah tangga miskin sebesar 31,63 persen.

Penelitian mengenai kemiskinan juga telah dilakukan oleh Nurhayati (2007) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di Jawa Barat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di Jawa Barat. Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan digunakan model persamaan simultan 2SLS. Dari hasil estimasi diketahui bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan ialah variabel lahan, tenaga kerja, investasi, serta dummy kotamadya. Variabel lahan dan tenaga kerja signifikan pada taraf nyata satu persen sedangkan variabel

(28)

investasi dan dummy kotamadya signifikan pada taraf nyata 10 persen. Model Persamaan Simultan juga digunakan dalam menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di Jawa Barat. Dari hasil analisis didapat bahwa variabel pendapatan dan pendidikan signifikan pada taraf nyata satu persen, sedangkan variabel jumlah pengangguran dan tingkat ketergantungan berpengaruh nyata pada taraf nyata 10 persen.

Penelitian mengenai kemiskinan oleh Usman pada tahun 2006 mencoba untuk menganalisis dampak dari desentralisasi fiskal terhadap distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan. Dalam menganalisis dampak desentralisasi fiskal ini, Usman menganalisis pertumbuhan ekonomi masyarakat ekonomi bawah (miskin) dibandingkan masyarakat ekonomi atas (tidak miskin) sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal. Kemudian dilakukan penentuan faktor-faktor determinan kemiskinan sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal diterapkan. Selanjutnya dilakukan analisis mengenai dampak desentralisasi fiskal terhadap perubahan distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan. Dari hasil analisis didapatkan bahwa desentralisasi fiskal berkorelasi positif terhadap kinerja fiskal dan perekonomian. Dari hasil analisis juga didapatkan bahwa diterapkannya desentralisasi fiskal mengakibatkan distribusi pendapatan semakin tidak merata. Selain itu, dampak dari diberlakukannya desentralisasi fiskal juga berpengaruh terhadap meningkatnya indeks kemiskinan.

Sumarya (2002) dalam penelitiannya mencoba untuk menganalisis hubungan kausalitas antara aspek distribusi penguasaan lahan usahatani dengan tingkat kemiskinan di pedesaan. Penelitian yang dilakukan di Kecamatan Nanggung dan Ciampea di Kabupaten Bogor ini juga menganalisis aspek-aspek

(29)

kelembagaan ekonomi dalam kaitannya dengan kemiskinan. Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer hasil wawancara dan observasi kepada responden serta data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik dan instansi lain yang terkait. Dari hasil analisis dengan indeks Gini didapatkan bahwa distribusi penguasaan lahan di Kecamatan Nanggung lebih merata dibandingkan dengan distribusi penguasaan lahan di Kecamatan Ciampea. Dengan indeks Gini juga diketahui bahwa distribusi pendapatan merata di kedua kecamatan. Dari analisis regresi berganda dan analisis multivariat didapatkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan secara signifikan ialah variabel transfer (bantuan keuangan dari anak yang bekerja), variabel jenis pekerjaan sampingan, dan variabel-variabel yang didapatkan dari hasil analisis komponen utama dalam analisis multivariat (luas lahan sewa, hasil usahatani, jumlah anak, jumlah jiwa, dan umur kepala keluarga).

Penelitian tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap kemiskinan di kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat telah dilakukan oleh Hasugian (2006). Dalam penelitiannya, Hasugian mencoba untuk menganalisis tingkat kemandirian dan kinerja fiskal daerah serta menganalisis laju dan profil kemiskinan sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Selain itu, penelitian ini juga menganalisis hubungan faktor-faktor penerimaan keuangan daerah terhadap kemiskinan di kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat. Data yang digunakan ialah data sekunder kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat tahun 1998 sampai tahun 2004. Untuk menganalisis tingkat kemandirian fiskal, laju, serta profil kemiskinan di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat digunakan analisis deskriptif. Analisis regresi dengan panel data digunakan untuk menganalisis

(30)

kinerja fiskal daerah dan hubungan faktor-faktor penerimaan keuangan daerah terhadap kemiskinan. Dari hasil analisis didapatkan hasil bahwa kinerja keuangan daerah dapat dilihat dari dua aspek yaitu aspek penerimaan daerah dan pengeluaran daerah. Dari aspek penerimaan daerah, terlihat bahwa tingkat kemandirian semakin menurun sesudah desentralisasi fiskal karena rasio PAD terhadap penerimaan juga berkurang. Dari sisi pengeluaran daerah, pengeluaran rutin mengalami peningkatan 10 sampai 20 persen sesudah desentralisasi. Hasil lain didapatkan bahwa sempat terjadi penurunan jumlah penduduk miskin di Kabupaten Majalengka, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Sumedang, dan Kota Bogor, namun meningkat kembali di akhir 2004. Analisis hubungan variabel penerimaan terhadap kemiskinan memperlihatkan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal menurunkan kemiskinan namun masih terdapat ketergantungan yang tinggi antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat.

Dalam penelitiannya tentang dampak kebijakan pembangunan pertanian terhadap pengentasan kemiskinan di Indonesia, Nugroho (2006) mencoba untuk mendeskripsikan kebijakan pembangunan pertanian dan pengentasan kemiskinan di Indonesia. Selain itu, faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di perkotaan dan pedesaan serta dampak kebijakan pembangunan pertanian dan beberapa variabel ekonomi terhadap pengentasan kemiskinan di Indonesia juga dianalisis dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan data sekunder time

series Indonesia tahun 1984 sampai tahun 2003 yang bersumber dari Bank

Indonesia, Badan Pusat Statistik, Departemen Pertanian dan instansi lain yang terkait. Analisis deskriptif digunakan untuk menganalisis kebijakan pembangunan pertanian dan pengentasan kemiskinan di Indonesia sedangkan untuk

(31)

menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di perkotaan dan pedesaan serta dampak kebijakan pembangunan pertanian dan beberapa variabel ekonomi terhadap pengentasan kemiskinan di Indonesia digunakan model persamaan simultan 2SLS.

Hasil yang didapat dari penelitian ini menunjukkan bahwa sektor pertanian terbukti mampu mengurangi tingkat kemiskinan karena mampu menampung limpahan pekerja dari sektor industri. Selain itu dari hasil estimasi dengan menggunakan model persamaan simultan didapatkan hasil bahwa variabel kebijakan tingkat upah riil, pertumbuhan ekonomi, belanja pemerintah di sektor jasa dan stok pangan nasional memiliki tanda parameter yang negatif terhadap peubah endogen kemiskinan di perkotaan. Variabel yang memiliki tanda parameter negatif terhadap peubah endogen kemiskinan di pedesaan ialah variabel kebijakan tingkat upah riil, pertumbuhan ekonomi, belanja pemerintah di sektor pertanian, harga komoditas pertanian, dan variabel produksi pertanian sedangkan variabel inflasi dan krisis ekonomi mempunyai tanda parameter yang positif.

Hasil analisis simulasi kebijakan yang berdampak pada penurunan angka kemiskinan total ialah kebijakan peningkatan anggaran penelitian sebesar 20 persen, kebijakan pengurangan subsidi pupuk sebesar 25 persen, kebijakan penambahan luas areal irigasi sebesar 10 persen, kebijakan peningkatan mekanisasi pertanian sebesar 10 persen, kebijakan pengurangan impor komoditas pertanian sebesar 50 persen, kebijakan peningkatan investasi sektor pertanian sebesar 25 persen, kebijakan peningkatan belanja pemerintah di sektor pertanian sebesar 20 persen, kebijakan peningkatan pajak impor dan pajak ekspor masing-masing sebesar 25 persen, kebijakan peningkatan upah riil sebesar 10 persen, dan

(32)

kebijakan penurunan suku bunga domestik sebesar dua persen. Kombinasi kebijakan yang memberikan pengaruh paling besar terhadap pengentasan kemiskinan ialah kombinasi kebijakan peningkatan luas areal dan kebijakan peningkatan kredit pertanian masing-masing 10 persen serta kebijakan penurunan suku bunga dua persen.

Astuti (2005) dalam penelitiannya mengenai dampak investasi sektor pertanian terhadap perekonomian dan upaya pengurangan kemiskinan di Indonesia. Salah satu tujuan dalam penelitian ini ialah menganalisis dampak investasi sektor pertanian terhadap upaya pengurangan kemiskinan di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini ialah data sekunder yaitu data Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Indonesia tahun 1995 dan 2000, data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang bersumber dari Badan Pusat Statistik serta data lain yang mendukung. Analisis dampak investasi menggunakan pendekatan Social Accounting Matrix (SAM) sedangkan analisis kemiskinan menggunakan indikator kemiskinan Foster Greer Thorbecke (FGT).

Hasil simulasi kebijakan menunjukkan bahwa apabila terjadi penurunan investasi di sektor pertanian maka memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan perekonomian Indonesia. Sebaliknya jika terjadi kenaikan investasi di sektor pertanian maka berdampak positif terhadap perekonomian Indonesia terutama terhadap peningkatan penerimaan pendapatan sektor produksi, peningkatan pendapatan neraca institusi penerimaan pemerintah, perusahaan dan rumahtangga, serta penerimaan balas jasa faktor produksi tenaga kerja dan modal. Hasil analisis kemiskinan menunjukkan apabila investasi di sektor pertanian menurun maka akan berdampak terhadap kenaikan insiden kemiskinan pada setiap

(33)

kelompok rumahtangga dan sebaliknya, peningkatan investasi di sektor pertanian akan berdampak terhadap penurunan insiden kemiskinan pada setiap kelompok rumahtangga.

2.3. Tinjauan Penelitian Terdahulu dengan Model Persamaan Struktural

Pada tahun 2006, Syafrudin telah melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan studi mahasiswa Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik mahasiswa dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan studi mahasiswa. Data yang digunakan ialah data sekunder yang berasal dari Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis Insitut Pertanian Bogor sebanyak 211 sampel. Hasil analisis dengan SEM menunjukkan bahwa model awal tidak layak dalam mengolah data sehingga diperlukan perbaikan model. Perbaikan model dilakukan dengan membagi dua model terpisah sesuai dengan ukuran tingkat keberhasilan studi yaitu IPK dan masa studi serta pengurangan jumlah peubah manifes.

Hasil pengujian untuk model keberhasilan studi untuk IPK menunjukkan bahwa status bekerja memberikan kontribusi dalam membangun proses studi dengan nilai koefisien sebesar 0,90. Penghasilan orang tua memiliki koefisien terbesar dalam peubah eksternal yaitu sebesar 0,63. Usia memiliki kontribusi terbesar terhadap peubah eksogen internal dengan koefisien sebesar 0,73. Hasil pengujian untuk model keberhasilan studi untuk masa studi menunjukkan bahwa status bekerja memberikan kontribusi dalam membangun proses studi dengan nilai koefisien sebesar 0,89. Penghasilan orangtua memiliki koefisien terbesar

(34)

dalam peubah eksternal yaitu sebesar 0,65 sedangkan usia mempunyai kontribusi terbesar terhadap peubah eksogen internal yaitu dengan koefisien sebesar 0,73.

Penelitian dengan menggunakan pendekatan model persamaan struktural telah dilakukan oleh Ponianto (2007) yang menganalisis nilai pelangan dan loyalitas pelaku agribisnis terhadap tabungan Britama di BRI Unit Kramat Jati. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis nilai yang dipersepsikan oleh pelaku agribisnis terhadap produk dan pelayanan tabungan Britama serta menganalisis hubungan antara nilai yang dipersepsikan dan loyalitas pelaku agribisnis nasabah Britama serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Data yang digunakan dalam penelitian ini ialah data primer yang diambil dari 120 responden yang merupakan nasabah tabungan Britama di BRI Unit Kramat Jati Ramayana dan bukan nasabah pinjaman. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pelaku agribisnis yang memiliki tabungan Britama menilai positif terhadap produk, pelayanan, karyawan, dan citra. Dari analisis dengan model SEM, diketahui bahwa semua peubah manifes berpengaruh secara signifikan terhadap peubah laten eksogen seperti produk, pelayanan, karyawan, dan citra. Nilai yang dipersepsikan pelanggan bernilai positif dan nyata terhadap loyalitas.

2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu dengan Proses Hirarkhi Analitik

Penelitian dengan menggunakan Proses Hirarkhi Analitik telah dilakukan oleh Rahmawati (2005) mengenai strategi pengembangan agropolitan di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Tujuan penelitian tersebut yang berhubungan dengan alat analisis PHA adalah menganalisis strategi pemerintah daerah dalam mengembangkan agropilitan di Kabupaten Magelang. Data untuk penelitian ini

(35)

bersumber dari data primer maupun data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara langsung dengan responden dengan panduan kuesioner dan diskusi. Dalam melakukan analisis data, dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Expert

Choice 2000. Berdasarkan hasil analisis PHA, maka strategi prioritas dalam

pengembangan agropolitan di Kabupaten Magelang adalah strategi penguatan daya saing produk yaitu strategi yang didasarkan pada keunggulan komparatif spesifik yang dimiliki kawasan sehingga setiap kawasan mampu bekerjasama dengan kawasan lain dalam rangka saling menjaga spesifikasi yang lain. Sub strategi dari strategi penguatan daya saing produk antara lain strategi penggunaan teknologi yang tepat guna, suasana investasi yang kondusif dan kelengkapan sarana-prasarana.

(36)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Kesejahteraan

Tingkat kesejahteraan (welfare) adalah merupakan konsep yang digunakan untuk menyatakan kualitas hidup suatu masyarakat atau individu di suatu wilayah pada suatu kurun waktu tertentu. Kesejahteraan itu bersifat luas yang dapat diterapkan pada skala sosial besar dan kecil misalnya keluarga dan individu (Yosef dalam Maharani, 2006). Konsep kesejahteraan atau rasa sejahtera yang dimiliki bersifat relatif, tergantung bagaimana penilaian masing-masing individu terhadap kesejahteraan itu sendiri. Sejahtera bagi seseorang dengan tingkat pendapatan tertentu belum tentu dapat juga dikatakan sejahtera bagi orang lain.

Indikator kesejahteraan rakyat menyajikan gambaran mengenai taraf kesejahteraan rakyat Indonesia antar waktu, perkembangannya antar waktu serta perbandingannya antar propinsi dan daerah tempat tinggal. Dalam mengembangkan indikator kesejahteraan rakyat tidak hanya menyajikan indikator dampak (output indicators) untuk menunjukkan hasil upaya pembangunan, tetapi juga menyajikan indikator proses (process indicators). Dimensi kesejahteraan rakyat disadari sangat luas dan kompleks, sehingga suatu taraf kesejahteraan rakyat hanya dapat terlihat (visible) jika dilihat dari suatu aspek tertentu (Maharani, 2006).

(37)

Menurut Badan Pusat Statistik (2004), terdapat tujuh aspek indikator kesejahteraan rakyat sebagai berikut:

1. Kependudukan

Masalah kependudukan yang meliputi jumlah, komposisi, dan distribusi penduduk merupakan masalah yang perlu diperhatikan dalam proses pembangunan. Untuk menunjang keberhasilan pembangunan nasional, dalam penanganan masalah kependudukan pemerintah tidak saja mengarahkan pada upaya pengendalian jumlah penduduk, tetapi juga menitikberatkan pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Disamping itu, program perencanaan pembangunan sosial di segala bidang harus mendapat prioritas utama yang berguna untuk peningkatan kesejahteraan penduduk.

2. Kesehatan dan Gizi

Salah satu aspek penting kesejahteraan adalah kualitas fisik penduduk yang dapat dilihat dari derajat kesehatan penduduk dengan menggunakan indikator utama angka kematian bayi dan angka harapan hidup. Aspek penting lainnya yang turut mempengaruhi kualitas fisik penduduk adalah status kesehatan yang diukur melalui angka kesakitan dan status gizi. Untuk melihat gambaran tentang kemajuan upaya peningkatan dan status kesehatan masyarakat dapat dilihat dari penolong persalinan bayi, ketersediaan sarana kesehatan dan jenis pengobatan yang dilakukan. Oleh karena itu, usaha untuk meningkatkan dan memelihara mutu pelayanan kesehatan perlu mendapat perhatian utama. Upaya tersebut antara lain pemberdayaan sumberdaya manusia secara berkelanjutan, pengadaan atau

(38)

peningkatan sarana prasarana dalam bidang medis termasuk ketersediaan obat yang dapat dijangkau masyarakat.

3. Pendidikan

Pendidikan merupakan proses pemberdayaan peserta didik sebagai subjek sekaligus objek dalam membangun kehidupan yang lebih baik. Mengingat pendidikan sangat berperan sebagai faktor kunci dalam meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, maka pembangunan di bidang pendidikan memerlukan peran serta yang aktif tidak hanya dari pemerintah, tetapi juga dari masyarakat. Faktor kemiskinan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan semua anak Indonesia tidak dapat menikmati kesempatan pendidikan dasar. Titik berat pendidikan formal adalah peningkatan mutu pendidikan dan perluasan pendidikan dasar. Selain itu ditingkatkan pula kesempatan belajar pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

4. Ketenagakerjaan

Ketenagakerjaan merupakan salah satu aspek penting tidak hanya untuk mencapai kepuasan individu, tetapi juga untuk memenuhi perekonomian rumah tangga dan kesejahteraan seluruh masyarakat. Di Indonesia, usia kerja yang digunakan untuk keperluan pengumpulan data ketenagakerjaan adalah usia 15 tahun ke atas.

5. Taraf dan Pola Konsumsi

Berkurangnya jumlah penduduk miskin mencerminkan bahwa secara keseluruhan pendapatan penduduk meningkat, sedangkan meningkatnya jumlah penduduk miskin mengindikasi menurunnya pendapatan penduduk. Dengan demikian, jumlah penduduk miskin merupakan

(39)

indikator yang cukup baik untuk mengukur tingkat kesejahteraan rakyat. Aspek lain yang perlu dipantau berkenaan dengan peningkatan pendapatan penduduk tersebut adalah bagaimana pendapatan tersebut terdistribusi di antara kelompok penduduk. Indikator distribusi pendapatan, walaupun didekati dengan pengeluaran akan memberi petunjuk aspek pemerataan yang telah tercapai. Dari data pengeluaran dapat juga diungkapkan tentang pola konsumsi rumah tangga secara umum dengan menggunakan indikator proporsi pengeluaran untuk makanan dan bukan makanan.

6. Perumahan dan Lingkungan

Manusia dan alam lingkungannya baik lingkungan fisik maupun sosial merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Lingkungan fisik bisa berupa alam sekitar yang alamiah dan yang buatan manusia. Untuk mempertahankan diri dari keganasan alam, maka manusia berusaha membuat tempat perlindungan, yang pada akhirnya disebut rumah atau tempat tinggal. Rumah dapat dijadikan sebagai salah satu indikator bagi kesejahteraan pemiliknya. Semakin baik fasilitas yang dimiliki, dapat diasumsikan semakin sejahtera rumah tangga yang menempati rumah tersebut. Berbagai fasilitas yang dapat mencerminkan tingkat kesejahteraan tersebut antara lain dapat dilihat dari luas lantai rumah, sumber air minum, fasilitas tempat buang air besar rumah tangga dan juga tempat penampungan kotoran akhir (jamban).

7. Sosial Budaya

Pada umumnya semakin banyak seseorang memanfaatkan waktu luang untuk melakukan kegiatan sosial budaya maka dapat dikatakan bahwa

(40)

orang tersebut memiliki tingkat kesejahteraan yang semakin meningkat. Pembahasan mengenai sosial budaya lebih difokuskan pada kegiatan sosial budaya yang mencerminkan aspek kesejahteraan, seperti melakukan perjalanan wisata dan akses pada informasi dan hiburan, yang mencakup menonton televisi, mendengarkan radio, dan membaca surat kabar.

3.1.2. Konsep Kemiskinan

Pengertian kemiskinan sangat erat kaitannya dengan tiga konsep penting (Krisnamurthi, 2006)5. Pertama, kemiskinan itu sendiri (poverty) yang menggambarkan ketidakmampuan seseorang atau suatu keluarga atau suatu kelompok masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Kedua, ketidakmerataan dan ketidakadilan (inequality) dalam distribusi sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ketiga, kerentanan (vulnerability) seseorang atau sekelompok orang untuk dapat menjadi miskin atau menjadi lebih parah kemiskinannya.

Kemiskinan dapat terdiri dari dua pengertian yaitu kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut. Kemiskinan relatif adalah suatu kemiskinan yang terjadi pada seseorang, keluarga, atau masyarakat yang tingkat pendapatan atau pengeluarannya relatif lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan atau pengeluaran masyarakat sekitarnya . Kemiskinan absolut adalah kemiskinan yang terjadi apabila seseorang, keluarga, atau masyarakat yang tingkat pendapatan atau pengeluarannya berada di bawah batas minimal tertentu untuk hidup layak. Batas tersebut sering disebut sebagai garis kemiskinan (poverty line).

5 Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. 2006. 22 Tahun Studi Pembangunan,

Pengurangan Kemiskinan Pembangunan Agribisnis dan Revitalisasi Pertanian dalam tulisan

(41)

Berdasarkan kondisi kemiskinan yang dihadapi, kemiskinan juga dapat dibagi menjadi dua pengertian yaitu kemiskinan kronis atau struktural serta kemiskinan sementara. Kemiskinan kronis dapat terjadi apabila kondisi kemiskinan yang terjadi berlangsung terus menerus dalam jangka waktu yang lama. Kemiskinan sementara ialah kemiskinan yang terjadi akibat adanya perubahan atau ’shock’ yang menyebabkan seseorang, keluarga, atau masyarakat berubah dari tidak miskin menjadi miskin. Kemiskinan dapat juga dibagi menjadi kemiskinan massal dan kemiskinan individual. Kemiskinan massal adalah kemiskinan yang terjadi jika sebagian besar masyarakat mengalami kemiskinan. Kemiskinan individual adalah jika hanya beberapa orang atau sebagian kecil masyarakat yang mengalami kemiskinan.

Selain itu, BPS mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu kondisi seseorang yang hanya dapat memenuhi makanannya kurang dari 2100 kalori per kapita per hari. Dalam pengertian World Bank, kemiskinan didefinisikan sebagai keadaan tidak tercapainya kehidupan yang layak dengan penghasilan USD 1,00 per hari, di negara kategori pendapatan rendah. Sementara di negara maju batas kemiskinan adalah USD 14,00 per hari dan negara pendapatan sedang USD 2,00 per hari.

Terdapat sembilan dimensi penting mengenai kemiskinan (Smeru dalam Krisnamurthi, 2006), yaitu :

1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang, papan).

2. Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih, dan transportasi)

(42)

3. Tidak adanya jaminan masa depan, terutama karena tidak adanya investasi pendidikan dan keluarga.

4. Kerentanan terhadap guncangan yang bersifat individual maupun massal. 5. Rendahnya kualitas SDM dan keterbatasan SDA.

6. Tidak dilibatkan dalam kegiatan sosial masyarakat.

7. Tidak adanya akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan.

8. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik atau mental. 9. Ketidakampuan dan ketidakberuntungan sosial.

A. Faktor Penyebab Kemiskinan

Selama ini, banyak sekali teori atau konsep dalam menjelaskan penyebab kemiskinan. Pemahaman mengenai penyebab kemiskinan akan sangat menentukan penetapan strategi penanggulangan kemiskinan yang berfokus pada faktor utama penyebab kemiskinan. Teori yang pada umumnya digunakan dalam menjelaskan penyebab kemiskinan yaitu:

1. Teori Lingkaran Setan Kemiskinan

Salah satu konsep mengenai penyebab kemiskinan ialah teori lingkaran setan kemiskinan (World Bank dalam Krisnamurthi, 2006)6. Teori ini menegaskan bahwa kemiskinan terjadi karena suatu kondisi yang dihadapi oleh masyarakat miskin yang sedemikian sehingga membuat kemiskinan tersebut tetap akan berada dalam masyarakat tersebut seperti yang terlihat dalam Gambar 2.

(43)

Sumber : World Bank, (2000)7

Teori ini menyatakan bahwa tingkat pendapatan yang rendah akan menyebabkan reinvestasi yang rendah karena sebagian besar pendapatan habis digunakan untuk konsumsi. Reinvestasi yang rendah ini (baik dalam bentuk aset fisik maupun aset SDM) akan menyebabkan tingkat produktivitas dan kemampuan bersaing yang rendah, dan produktivitas yang rendah akan menyebabkan pendapatan yang tetap rendah, dan seterusnya.

2. Teori Kemiskinan Struktural

Kemiskinan juga dapat dikonsepkan sebagai kondisi logis dari persaingan (bebas) yang tidak sehat (World Bank dalam Krisnamurthi, 2006). Kegiatan produksi masyarakat (negara) miskin yang terbatas teknologi, terbatas modal, terbatas kemampuan SDM, dan berbagai keterbatasan lain. Persaingan yang tidak sehat ini akhirnya akan membuat kegiatan masyarakat miskin bertambah miskin.

7 World Bank. 2000. Beyond Economic Growth chapter VI (poverty). www.worldbank.org . Gambar 2. Lingkaran Setan Kemiskinan

Produktivitas rendah Tabungan rendah Konsumsi rendah Pendapatan rendah Investasi rendah

(44)

Fenomena yang digambarkan teori ini terlihat dari pemiskinan daerah pertanian subur dan konversi lahan pertanian. Teori ini kemudian berkembang dengan unsur ketergantungan (dependency theory).

3. Teori Ketidakmampuan Mengatasi Kemiskinan

Kemiskinan yang berkembang juga disebabkan oleh ketidakmampuan para pengambil keputusan dalam mengatasi kemiskinan yang sudah ada (World Bank

dalam Krisnamurthi, 2006). Ketidakmampuan tersebut muncul karena kurangnya

komitmen dalam penanggulangan kemiskinan maupun berbagai keterbatasan dalam kemampuan menanggulangi kemiskinan, atau gabungan dari keduanya. Teori ini kemudian berkembang dengan mengedepankan ketidakmampuan birokrasi dan banyaknya aspek moral hazzard dalam berbagai organisasi pemerintah yang melaksanakan usaha penanggulangan kemiskinan tersebut.

4. Teori Eksploitasi

Kemiskinan dapat dipandang sebagai hasil dari eksploitasi suatu kelompok masyarakat atas masyarakat lain (World Bank dalam Krisnamurthi, 2006). Pada awalnya, teori ini menyertai kondisi kemiskinan yang terjadi pada negara-negara terjajah. Pada saat era kolonialisme berakhir, eksploitasi masih tetap dipandang terjadi pada hubungan kapitalis dan buruh, hubungan ekonomi tidak seimbang antara desa dan kota, kondisi hubungan asimetri industri dan pertanian, serta eksploitasi sumberdaya alam yang berakibat pada tereksploitasinya sumberdaya masyarakat.

(45)

B. Pengukuran Kemiskinan

Dalam mengukur suatu kemiskinan dapat digunakan beberapa indikator kemiskinan (Foster-Greer-Thorbecke dalam BPS, 2005)8 yaitu:

1. The incidence of poverty (the poverty headcount index atau Rasio H) yang menggambarkan persentase dari populasi yang hidup dalam keluarga dengan pengeluaran konsumsi per kapita di bawah garis kemiskinan.

2. The depth of poverty (the poverty gap index) yang menggambarkan dalamnya kemiskinan di suatu wilayah. Indeks ini merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap batas miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin besar rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap kemiskinan.

3. The severity of poverty yang menunjukkan kepelikan kemiskinan di suatu wilayah dengan memperhitungkan ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin.

Selain indikator-indikator di atas, kemiskinan relatif dapat diukur dengan kurva Lorentz dan Gini Ratio. Gini Rasio berkisar antara 0 – 1. Bila rasio Gini = 0 maka kemerataan yang sempurna. Bila rasio Gini = 1 berarti ketidakmerataan yang sempurna dalam distribusi pendapatan. Rasio Gini tersebut terletak antara kurva Lorentz dengan garis kemerataan sempurna. Semakin jauh dari garis kemerataan sempurna, semakin besar tingkat ketidakmerataan distribusi pendapatan.

8 Badan Pusat Statistik. 2006. Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan 2005,

(46)

C. Pendekatan Teoritis dalam Identifikasi Kemiskinan

1. Penentuan Kemiskinan Absolut : Garis Kemiskinan

Pengukuran kemiskinan secara absolut dapat dilakukan dengan berbagai metode, antara lain dengan konsep garis kemiskinan Sayogyo dan konsep garis kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS. Pada konsep Sayogyo dinyatakan bahwa untuk perdesaan kelompok masyarakat dikatakan miskin bila pengeluarannya kurang dari 320 Kg per kapita per tahun setara beras : miskin sekali jika pengeluaran tersebut kurang dari 240 Kg per kapita per tahun; dan paling miskin bila kurang dari 180 Kg per kapita per tahun. Sedangkan untuk perkotaan, masing-masing kriteria tersebut memiliki tolak ukur 480, 360, dan 270 Kg per kapita per tahun.

2. Penentuan Kemiskinan Relatif : Gini Rasio

Gini Rasio merupakan salah satu metoda untuk melihat ketidakmerataan pendapatan. Pengukuran ketidakmerataan pendapatan dapat dibagi atas dua pendekatan, yaitu (a) pengukuran yang dilakukan pada suatu waktu tertentu untuk mengetahui ketimpangan pendapatan antar wilayah dan (b) pengukuran yang bersifat intemporal atau antar waktu. Pengukuran ini bermanfaat untuk melihat ke arah mana terjadinya perubahan distribusi pendapatan pada wilayah tertentu.

D. Hubungan antara Pertumbuhan dan Kesenjangan : Hipotesis Kuznets

Literatur mengenai evolusi atau perubahan kesenjangan pendapatan pada awalnya didominasi oleh Hipotesis Kuznets (Tambunan, 2003). Dengan memakai data lintas negara dan data deret waktu dari sejumlah survei/observasi di setiap negara, Simon Kuznets menemukan adanya suatu relasi antara kesenjangan pendapatan dan tingkat pendapatan per kapita yang berbentuk U terbalik. Hasil ini

(47)

diinterpretasikan sebagai evolusi dari distribusi pendapatan dalam proses transisi dari suatu ekonomi pedesaan ke suatu ekonomi perkotaan, atau dari ekonomi pertanian (tradisional) ke ekonomi industri (modern).

Teori ini menjelaskan bahwa pada awal proses pembangunan, ketimpangan pendapatan bertambah besar sebagai akibat dari proses urbanisasi dan industrialisasi. Setelah itu pada tingkat pembangunan yang lebih tinggi atau akhir dari proses pembangunan ketimpangan menurun. Ketimpangan menurun pada saat sektor industri di perkotaan sudah dapat menyerap sebagian besar dari tenaga kerja yang datang dari perdesaan (sektor pertanian).Ketimpangan juga mengalami penurunan pada saat pangsa pertanian lebih kecil di dalam produksi dan penciptaan pendapatan.

Sumber : Tambunan (2003)

Hipotesis U terbalik ini didasarkan pada argumentasi teori Lewis mengenai perpindahan penduduk dari perdesaan (pertanian) ke perkotaan (industri). Daerah perdesaan yang sangat padat penduduknya mengakibatkan tingkat upah di sektor pertanian sangat rendah dan membuat suplai dari pertanian ke industri tidak terbatas. Pada fase terakhir, pada saat sebagian besar dari tenaga

Tingkat kesenjangan

Tingkat pendapatan per kapita

(48)

kerja yang berasal dari pertanian telah diserap oleh industri, perbedaan pendapatan per kapita antara perdesaan dan perkotaan menjadi kecil atau tidak ada lagi.

E. Tinjauan mengenai Aset dan Kapabilitas Masyarakat Miskin

World Bank (2002) telah membahas suatu hubungan antara aset, kapabilitas, serta kesejahteraan. Masyarakat miskin baik pria maupun wanita membutuhkan aset dan kapabilitas untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Aset merujuk pada aset berupa material baik fisik maupun finansial. Aset dapat berbentuk lahan, tempat tinggal, ternak, tabungan, dan perhiasan. Kepemilikan aset yang terbatas oleh masyarakat miskin dapat membatasi mereka untuk meningkatkan kesejahteraannya.

Kapabilitas ialah sesuatu yang memungkinkan masyarakat untuk memberdayakan aset yang mereka miliki untuk meningkatkan kesejahteraan. Kapabilitas sumberdaya manusia dapat berupa kesehatan yang baik, pendidikan, produksi, serta kemampuan lainnya yang dapat menunjang kehidupan masyarakat. Kapabilitas sosial dapat berupa kepemimpinan, kepercayaan, kemampuan berorganisasi, dan sebagainya. Suatu masyarakat dengan kesehatan yang baik, berkemampuan tinggi, dan berpendidikan relatif lebih mudah dalam mendapatkan pendapatan yang layak. Dengan pendapatan yang layak, masyarakat dapat meningkatkan keadaan ekonomi mereka sehingga kepemilikan aset meningkat.

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

Kabupaten Bogor terdiri dari 41 kecamatan yang dibagi berdasarkan tiga wilayah pembangunan yaitu: Bogor Barat, Bogor Tengah, dan Bogor Timur. Wilayah pembangunan Bogor Barat untuk sektor pertanian, sektor manufaktur untuk wilayah pembangunan Bogor Tengah, dan sektor industri untuk wilayah

(49)

pembangunan Bogor Timur. Dengan pembagian ke dalam tiga wilayah pembangunan, akan terdapat suatu keragaman dalam hal kondisi baik sosial maupun ekonomi di Kabupaten Bogor.

Salah satu bentuk keragaman kondisi sosial maupun ekonomi di wilayah Kabupaten Bogor terlihat dari Indeks Pembangunan Manusia wilayah Bogor Timur yang paling rendah dibandingkan wilayah lain. Rendahnya IPM di wilayah ini berbanding terbalik dengan PDRB per kapita Bogor Timur yang relatif lebih tinggi dibandingkan Bogor Barat dan Tengah. Hal ini mengindikasikan masih terdapatnya ketidakmerataan pendapatan di wilayah Bogor Timur. Ketidakmerataan dan rendahnya Indeks Pembangunan Manusia tersebut mempunyai implikasi pada tingkat kemiskinan di wilayah ini juga yang belum juga mengalami penurunan khususnya kemiskinan di tingkat rumah tangga.

Untuk mengidentifikasi kondisi kemiskinan rumah tangga yang merupakan salah satu alat ukur kesejahteraan, diperlukan suatu kriteria tertentu. Diperlukan suatu indikator sosial maupun ekonomi untuk menggambarkan keadaan kemiskinan suatu rumah tangga. Selama ini Badan Pusat Statistik mencoba untuk melihat kondisi kemiskinan dengan menggunakan 14 kriteria (Lampiran 5). Variabel-variabel dalam kriteria tersebut menggambarkan kondisi sosial ekonomi rumah tangga yang dikenal dengan karakteristik rumah tangga.

Penggunaan pendekatan karakteristik rumah tangga dimaksudkan untuk lebih memahami karakteristik penduduk miskin sehingga mengacu pada permasalahan riil yang dihadapi masyarakat miskin9. Karakteristik rumah tangga tersebut diklasifikasikan lagi menurut keterkaitan antara variabel-variabel tersebut

(50)

seperti karakteristik ketenagakerjaan, karakteristik perumahan, karakteristik pendidikan, dan karakteristik ekonomi.

Berdasarkan permasalahan di atas, maka diperlukan suatu gambaran mengenai karakteristik rumah tangga di wilayah pembangunan Bogor Timur yang mempunyai PDRB per kapita tinggi namun IPM-nya rendah. Setelah gambaran mengenai karakteristik rumah tangga terlihat maka selanjutnya bagaimana keterkaitan antara karakteristik dan kesejahteraan rumah tangga di wilayah ini. Selain itu, diperlukan strategi yang tepat terkait dengan kemiskinan yang terjadi di wilayah pembangunan Bogor Timur.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis gambaran umum karakteristik rumah tangga di wilayah pembangunan Bogor Timur serta menganalisis keterkaitan antara karakteristik dengan kesejahteraan rumah tangga di wilayah ini. Penelitian ini juga bertujuan untuk menganalisis strategi prioritas penanggulangan kemiskinan di wilayah pembangunan Bogor Timur.

Analisis deskriptif digunakan untuk menganalisis gambaran umum karakteristik rumah tangga di wilayah pembangunan Bogor Timur. Analisis deskriptif dilakukan dengan tabulasi silang masing-masing variabel yang menunjukkan karakteristik rumah tangga. Model persamaan struktural digunakan untuk menganalisis keterkaitan antara karakteristik dan kesejahteraan rumah tangga di wilayah pembangunan Bogor Timur. Dengan model persamaan struktural, dapat dianalisis pengaruh serta hubungan antar variabel laten dan variabel manifesnya. Penentuan strategi prioritas penanggulangan kemiskinan dianalisis dengan menggunakan Proses Hirarkhi Analitik (PHA). Gambar 4 memperlihatkan bagan kerangka pemikiran operasional dalam penelitian ini.

(51)

Keterkaitan antara karakteristik dengan kesejahteraan rumah

tangga

Analisis deskriptif Analisis model persamaan struktural

Rekomendasi bagi pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan di Bogor Timur Karakteristik rumah tangga

di Bogor Timur (14 indikator kemiskinan) Keragaman kondisi di Kabupaten Bogor Gambaran karakteristik rumah tangga di Bogor Timur

Pembagian 3 wilayah pembangunan Kabupaten Bogor berdasarkan sektor

Ketidakmerataan pendapatan Rendahnya kesejahteraan rumah tangga di Bogor Timur Strategi prioritas penanggulangan kemiskinan

Proses hirarkhi analitik

Gambar 4. Bagan Kerangka Pemikiran Operasional

PDRB per kapita Bogor Timur tinggi

Gambar

Tabel 1. Sumbangan Kelompok Pengeluaran terhadap Inflasi Nasional
Gambar 1. Persentase Jumlah Penduduk Miskin   di Indonesia Tahun 1996 – 2007
Gambar 2. Lingkaran Setan Kemiskinan Produktivitas rendah  Tabungan rendah Konsumsi rendah Pendapatan rendah Investasi rendah
Gambar 3. Hipotesis U Terbalik dari  Kuznets
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pedoman Kerja Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah dan Direksi (Board Manual) - Revisi III 31 2. Anggota Direksi diangkat dan diberhentikan oleh RUPS. Pengangkatan anggota

Kemampuan guru dalam mengelola dan melaksanakan kegiatan pendidikan Islam merupakan konsep dari kompetensi guru dalam pendididikan Islam. Upaya dalam mencapai tujuan

Perancangan pabrik mononitrotoluena (MNT) dengan bahan baku toluena dan asam campuran dengan menggunakan asam sulfat sebagai katalisnya ini akan direncanakan beroperasi selama

Renstra Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Lebak Tahun 2019-2024 adalah dokumen perencanaan pembangunan jangka menengah Organisasi Perangkat Daerah yang

efek faah pangan pada kadar glukosa darah dan respon insulin. IG memberik n cara yang lebih mudah dan efektif untuk mengendalikan fluktuasi kadar gluko darah. Dengan mengetahui

Ada sejumlah manfaat yang dapat diperoleh apabila seorang guru mengembangkan bahan ajar sendiri, yakni antara lain; pertama, diperoleh bahan ajar yang sesuai tuntutan

Dari hasil uji signifikansi regresi sederhana ternyata F hitung <F tabel , atau 2,712< 4,35 maka hipotesis ditolak, dengan demikian, dapat disimpulan bahwa

Dasar dan arah yang dituju dalam perencanaan kebudayaan adalah manusia sendin sehingga humanisasi menjadi kerangka dasar dalam strategi kebudayaan (Ali Moertopo, 1978;