• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) menyebutkan bahwa: air dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) menyebutkan bahwa: air dan"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

1 A. LATAR BELAKANG MASALAH

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) menyebutkan bahwa: “air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.1 Dan sebagai hukum dasar, ketentuan tersebut secara tersurat dan tersirat menyatakan bahwa semua kekayaan alam/sumber daya alam yang ada dan terkandung di bumi Indonesia diperuntukkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Sumber daya alam dapat diklasifikasikan sebagai yang bersifat terbarukan

(renewable) dan yang bersifat tidak dapat terbarukan (non renewable). Pada

sumber daya alam yang bersifat terbarukan melekat daya restorasi secara alamiah, sehingga keberlanjutan ketersediaannya dapat bertahan dan berlanjut untuk jangka waktu yang tidak terbatas. Sementara sumber daya alam yang bersifat tidak dapat terbarukan (non renewable) berlaku sebaliknya. Oleh karenanya dalam rentang waktu tertentu, praktek eksploitasi atas sumber daya alam yang bersifat tidak terbarukan ini akan membawa konsekwensi pada habisnya ketersediaan sumber daya tersebut.

Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia mengamanatkan pengelolaan sumber daya alam atau kekayaan yang terkandung di dalamnya kepada negara untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.2

1 Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 2 Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945

(2)

Seluruh kekayaan alam yang terkandung didalamnya seperti batubara, emas termasuk minyak dan gas bumi yang merupakan sumber daya alam yang tak terbaharui (non renewable resources). Minyak dan gas bumi sendiri mempunyai nilai yang sangat strategis bagi kepentingan hidup bangsa Indonesia sebagai sumber energi dalam negeri dan sebagai sumber penggerak ekonomi dalam negeri yang sangat signifikan, dan merupakan sumber nomor 2 (dua) untuk memenuhi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Sumber daya alam sangat dibutuhkan oleh umat manusia. Manusia dapat hidup dan menjalani kehidupan di dunia ini sangat bergantung kepada sumber daya alam. Terlebih lagi sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak, seperti sumber daya alam minyak dan gas bumi. Keberadaan sumber daya ini sudah dapat disejajarkan dengan kebutuhan primer manusia yang lain, seperti sumber daya air, sumber daya energi, sumber daya hutan dan sebagainya. Oleh karena itu, jika dalam kehidupan manusia terjadi kelangkaan sumber daya alam ini, maka akan menyebabkan manusia mengalami kesulitan hidup. Tentu hal itu dapat memaksa manusia untuk berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain demi memperoleh sumber daya alam.

Setiap komoditas yang banyak dibutuhkan manusia, ditinjau dari segi ekonomi mikro, yang menguasai hajat hidup orang banyak, dapat dikategorikan sebagai komoditas yang bersifat inelastis, yang bermakna berapa pun harga yang berlaku terhadap komoditas ini, maka masyarakat akan tetap membelinya dalam jumlah yang relatif sama. Ini artinya kebutuhan akan migas tidak akan berkurang,

(3)

bahkan akan bertambah dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan penduduk. Meskipun demikian pemerintah menyadari bahwa migas adalah sumber mineral yang sangat terbatas dan produksinya pada suatu ketika akan mulai menurun dan bahkan sumur-sumur minyak tersebut akan kering, sedangkan di lain pihak konsumsi dalam negeri akan terus meningkat3 seiring bertambahnya jumlah penduduk.

Salah satu sumber daya mineral yang non renewable, minyak dan gas bumi (migas) menempati posisi yang penting bagi pembangunan dan upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dengan demikian adalah tugas Negara untuk mengawal pemanfaatan migas melalui instrument kebijakan oleh karena otoritasnya. Pada saat yang sama, melalui kebijakan sebagai intrumentnya, pemerintah diposisikan sebagai pemegang kuasa pertambangan (mineral interest/right) untuk juga dapat mengusahakan sendiri produksi migas.

Negara Repyublik Indonesia merupakan salah satu negara produksi minyak yang tertua di dunia. Pengeboran minyak di Indonesia tidak bisa dilepaskan dengan konteks kolonialisme yang terjadi pada waktu itu. Perkembangan migas secara modern di Indonesia dimulai saat dilakukan pengeboran pertama pada tahun 1871, yaitu di desa Maja, Majalengka, Jawa Barat, oleh pengusaha Belanda bernama Jan Reerink.4 Akan tetapi hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan dan akhirnya ditutup.

3Assat D. Sudardjat, Aspek Keuangan Dari Kontrak Production Sharing (K.P.S) Perminyak an Di

Indonesia, Buletin Ilmiah Tarumanagara TH. 9 / No. 31 / 1994, IM II-94-1141

(4)

Di Indonesia penemuan sumber minyak yang pertama terjadi pada tahun 1883 yaitu lapangan minyak Telaga Tiga dan Telaga Said di dekat Pangkalan Brandan oleh seorang Belanda bernama A.G. Zeijlker. Penemuan ini kemudian disusul oleh penemuan lain yaitu di Pangkalan Brandan dan Telaga Tunggal. Penemuan lapangan Telaga Said oleh Zeijlker menjadi modal pertama suatu perusahaan minyak yang kini dikenal sebagai Shell. Pada waktu yang bersamaan, juga ditemukan lapangan minyak Ledok di Cepu, Jawa Tengah, Minyak Hitam di dekat Muara Enim, Sumatera Selatan, dan Riam Kiwa di daerah Sanga-Sanga, Kalimantan. Sejak saat itulah berbondong-bondong perusahaan-perusahaan minyak asing datang ke Indonesia untuk menanamkan modalnya dalam pertambangan minyak bumi. Hingga Perang Dunia II, perputaran minyak secara internasional dikuasai oleh tujuh perusahaan raksasa “The Seven Sisters”. Lima dari ketujuh perusahaan tersebut berkedudukan di Amerika serikat yaitu:

- Standard of New Jersey - Standard of California - Standard of New York - Gulf, dan

- Texaco

Yang satu diantaranya berada di Inggris yaitu British Petroleum (BP), dan satu lagi adalah Shell yang merupakan perusahaan patungan antara Belanda dan Inggris. Dari ketujuh perusahaan tersebut lima diantaranya berada di Indonesia yang muncul dalam bentuk Tiga Besar perusahaan minyak yaitu:

(5)

- Stanvac dan - Caltex

Negara Republik Indonesia masih belum memiliki kemampuan teknologi untuk mengeksplorasi, mengekploitasi, dan mengolah hasil minyak dan gas bumi yang dimilikinya, serta belum memiliki modal dan sumber daya manusia yang memadai. Industri minyak dan gas bumi, terutama dalam bidang eksplorasi merupakan proyek yang membutuhkan modal yang besar dan teknologi tinggi sedang di lain pihak mempunyai resiko tinggi (high risk) berupa kerugian keuangan sebagai akibat ketidakberhasilan seperti kasus Lumpur Sidoarjo. Oleh karena itu untuk menjamin kelangsungan perkembangan industri minyak dan gas bumi sebagai sumber utama pemasukan keuangan negara, maka kehadiran perusahaan-perusahaan minyak dengan modal dalam negeri maupun luar negeri masih dibutuhkan.

Bentuk kerjasama antara Negara dengan Investor, pemerintah membuat peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang pertama kali dibuat oleh pemerintah adalah Undang-Undang No. 44 Prp Tahun 1960 Tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. Berdasarkan undang-undang tersebut, dibentuklah 3 (tiga) Perusahaan Negara, yaitu PN Pertamin, PN Permina dan PN Permigan sebagai perwakilan pemerintah dalam kerjasama pengelolaan usaha hulu migas. Seiring berjalannya waktu, ketiga perusahaan Negara tersebut dianggap tidak melakukan kinerja yang baik, oleh karena itu PN Permigan dihapuskan dan dibentuklah satu Perusahaan Negara yaitu PN Pertamina yang merupakan hasil leburan dari PN Pertamin dan PN Permina.

(6)

Penguatan kedudukan PN Pertamina dalam kegiatan usaha migas, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 Tentang Perusahaan Pertambangan Minyak Dan Gas Bumi Negara. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, Pertamina diberikan kewenangan yang sangat besar terhadap kegiatan pengelolaan migas, baik dari sektor hulu maupun sektor hilir. Pertamina menjadi Regulator sekaligus pelaku usaha. Kurang lebih sekitar 30 tahun Pertamina menjadi Perusahaan Negara yang sangat berkuasa di sektor migas. Lambat laun, kinerja Pertamina menurun karena Pertamina sudah direpotkan dengan kegiatan usaha lainnya diluar sektor migas. Kemudian berkembang anggapan bahwa model monopoli Pertamina sudah tidak sesuai lagi dengan industri migas, yang mengakibatkan berkurangnya investor yang akan menanamkan modalnya di sektor migas Indonesia.

PN Pertamina yang didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 disebut menjalankan peran ganda, yaitu sebagai regulator atau pembuat aturan dengan mitra kerja sama melalui mekanisme yang disebut Kontrak Kerja Sama (KKS) di wilayah kerja dari Pertamina sendiri. Terkait dengan perkembangan dari dinamika industri migas dalam negeri, Pemerintah menerbitkan undang-undang yang mengatur mengenai Minyak dan Gas Bumi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi. Sebagai suatu bentuk konsekuensi dari penerapan undang-undang tersebut, Pertamina beralih bentuk menjadi Pertamina (Persero) tahun 2003 dan melepaskan peran ganda tersebut, maka berdasarkan undang-undang ini Pertamina tidak lagi diberikan kewenangan sebagai regulator, melainkan

(7)

kedudukan Petamina disejajarkan dengan Investor lainnya, terutama dalam kegiatan usaha hulu Migas, sehingga Pemerintah mendirikan suatu Badan Hukum Milik Negara yaitu Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS), yang mewakili Negara di sektor hulu, dan Badan Pelaksana Hilir (BPH Migas) di Sektor hilir. Perwakilan pemerintah kali ini tidak lagi berbentuk Badan Usaha, melainkan berbentuk badan hukum.

BPMIGAS merupakan lembaga yang dibentuk oleh negara berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2002 Tentang BPMIGAS, yang bertujuan sebagai pengganti PERTAMINA dalam sektor kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi, untuk membina dan mengawasi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). BPMIGAS selain sebagai regulator dalam kegiatan usaha hulu, berperan juga untuk meningkatkan produksi dari komoditi migas yang ada di Indonesia.

BPMIGAS yang sebelumnya memiliki kewenangan sebagai regulator untuk melakukan kerja sama dalam kegiatan operasional Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), dianggap seolah-olah berpihak kepada perusahaan asing dan merugikan negara, sehingga sejumlah organisasi masyarakat dan perorangan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Pengujian undang-undang minyak dan gas bumi terhadap UUD 1945 bernomor perkara 002/PPU-I/2003, di mana pemohon judicial review pertama adalah Asosiasi Penasihat Hukum dan Hak Azazi Manusia Indonesia (APHI), BPHI, Yayasan 324, Solidaritas Nusa Bangsa, Serikat Pekerja Pertamina, dan Dr. Ir. Panji R Hadinoto yang mewakili Universitas Perjuangan '45 agar Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 dibatalkan. Kemudian Judicial Review yang kedua kali terhadap Undang-undang

(8)

Nomor 22 Tahun 2001 dimotori oleh PP Muhammadiyah yang diajukan pada tanggal 29 Maret 2012. Bersama PP Muhamadiyah, terdapat beberapa organisasi lain diantaranya yaitu:

- Lajnah Siyasiyah Hizbut TahrirIndonesia - PP Persatuan Ummat Islam

- PP Syarikat Islam Indonesia

- PP Persaudaraan Muslim Indonesia - PP Al-Irsyad Al-Islamiyah - PP Pemuda Muslimin Indonesia - Al Jami’yatul Washliyah, dan

- Solidaritas Juru Parkir & Pedagang Kaki Lima. Selain itu terdapat juga pemohon perorangan seperti

- K.H. Achmad Hasyim Muzadi - Prof. Dr. Komaruddin Hidayat - Drs. Fahmi Idris

- Laode Ida

- A. M. Fatwa dan lainnya

Dan pada tanggal 13 Nopember 2012 Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan Nomor 36/PUU-X/2012 yang memutuskan bahwa Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS) dinyatakan inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945.

Atas putusan Mahkamah Konstitusi tersebut pemerintah mengalihkan pelaksanaan tugas dan fungsi kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi dari BPMIGAS kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang migas berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2012. Selanjutnya

(9)

berdasarkan Keputusan Menteri ESDM Nomor: 3135 K/08/MEM/2012 pemerintah membentuk Satuan Kerja Sementara sebagai pengganti BPMIGAS guna mengisi kekosongan dalam pengelolaan bidang migas, yang dalam perjalanannya berganti nama menjadi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013.

Merujuk pada Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, muncullah istilah kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract atau PSC). Penggunaan istilah Production Sharing Contract (PSC) untuk kontrak bagi hasil adalah untuk mempertegas bahwa bentuk Kontrak Kerja Sama yang dimaksud untuk disepakati dan dilaksanakan oleh Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi dan kontraktor adalah Production Sharing Contract (PSC), sebagaimana disebutkan dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 Pasal 1 butir 19: “Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain yang diakui oleh undang-undang ini dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan bagi Negara dan hasilnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Konsekuensi dari lahirnya Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 adalah Pemerintah sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa penguasaan atas Migas tetap berada pada Negara, namun pelaksanaannya diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan. Kemudian dalam Pasal 1 angka 5, Kuasa Pertambangan adalah wewenang yang diberikan Negara kepada Pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan

(10)

Eksplorasi dan Eksploitasi. Sementara Undang-Undang No. 44 Prp. Tahun 1960 dimana yang memegang Kuasa Pertambangan adalah Perusahaan Negara yaitu Pertamina.

Munculnya Production Sharing Contract sebagai wujud ketidakpuasan terhadap kontrak-kontrak sebelumnya, seperti konsesi dan kontrak karya yang banyak membawa kerugian bagi Negara. Alasan diterbitkannya undang-undang tentang kontrak bagi hasil adalah sebagaimana disebutkan dalam Undang– Undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi Pasal 6 yaitu: “ Hak milik terhadap sumber daya alam tetap ditangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan, pengendalian, manajemen operasi ada ditangan Badan Pelaksana dan modal serta resiko seluruhnya ditanggung oleh badan usaha atau bentuk usaha tetap”.

Di Indonesia tambang minyak dan gas bumi masih diusahakan dalam bentuk kerja sama dengan investor. Bentuk Kerjasama yang dilakukan adalah kerjasama kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract). Production Sharing

Contract (PSC) merupakan suatu penggabungan usaha antara Negara (pemerintah) dengan perusahaan lainnya untuk mengeksplorasi dan memproduksi minyak dan gas bumi. Ciri yang menonjol dari Production Sharing Contract adalah manajemen dan kepemilikan aset berada pada Pemerintah, serta yang dibagi adalah hasil produksi setelah dikurangi biaya operasi. Melalui kontrak bagi hasil selanjutnya hubungan hukum antara Pertamina dan perusahaan swasta di bangun ke dalam kesepakatan-kesepakatan keperdataan yang mengikat di antara kedua belah pihak. Persoalannya, pada konteks relasional yuridis (kontrak bagi

(11)

hasil) antara Pertamina dengan perusahaan swasta lain tidak jarang mengemuka rumor yang mengungkapkan bahwa Pertamina sebagai pihak yang mewakili pemerintah/publik, seringkali berada pada posisi yang tidak cukup kuat, bahkan bukan tidak mungkin justru hingga menimbulkan berkurangnya pemasukan kepada negara.5

Lemahnya pengawasan, khususnya terkait masalah teknis, ditambah dengan praktik korupsi dan kolusi tentu merupakan salah satu dari sekian banyak hal yang sangat mungkin terjadi. Satu hal yang patut digaris bawahi adalah bahwa hal itu sangat mungkin terjadi karena tidak adanya standardisasi yang jelas dan tegas dalam aturan cost recovery. Pemerintah hanya mempunyai aturan garis besarnya, tetapi tidak dijelaskan secara detail dan tegas yang mengatur biaya-biaya mana saja yang dapat dan tidak dapat dimasukkan ke dalam cost recovery. Tidak adanya standardisasi yang jelas inilah yang menyebabkan pada akhirnya penentuan cost recovery lebih banyak dilakukan melalui negosiasi-negosiasi antara pemerintah dan para kontraktor.

Permasalahan menyangkut pengembalian biaya operasi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas, atau yang lebih dikenal dengan istilah

cost recovery, berlanjut hingga sekarang. Sejak sorotan terhadap masalah ini

bergulir dan mengemuka di publik di sekitar awal 2006, penyelesaian yang konkret dan proporsional terhadap masalah ini tak kunjung muncul. Bahkan, respons yang dilakukan pemerintah dalam upaya mengatasi permasalahan cost

recovery ini semakin menyimpang jauh dari esensi permasalahan yang

(12)

sesungguhnya, sehingga justru menambah kompleks permasalahan yang ada. Beberapa di antaranya adalah dengan memasukkan cost recovery sebagai salah satu butir yang dibahas dalam penyusunan anggaran di Dewan Perwakilan Rakyat, menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 22 Tahun 2008 yang memuat negative list 17 biaya yang tidak dapat dimasukkan sebagai cost recovery, melakukan pembatasan alokasi pembayaran cost recovery dengan mengaitkannya dengan target penerimaan negara dalam suatu tahun anggaran berjalan, dan yang terakhir, dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2010 yang mengatur biaya-biaya yang dapat atau tidak dapat dikembalikan dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas.

Cost recovery merupakan sebuah sistem yang muncul sebagai konsekuensi

logis dari model kontrak kerja sama. Secara harfiah, cost recovery sendiri diartikan sebagai pengembalian atau penggantian biaya yang telah dikeluarkan investor dalam melaksanakan kegiatan operasi usaha hulu migas di Indonesia. Jelasnya, biaya operasi yang timbul dalam pelaksanaan kontrak Production

Sharing Contract ini diganti atau ditanggung oleh pemerintah setelah berproduksi,dengan demikian investor dalam negeri maupun investor asing membayar dulu nilai pengeluaran untuk biaya operasi tersebut. Pemerintah yang pada akhirnya akan membayar biaya operasional yang telah dikeluarkan para investor dari bagi hasil produksi migas yang telah diperjanjikan berdasarkan pada kontrak kerja sama. Hal ini sangat menggembirakan, karena selain menyediakan dana, teknologi, peralatan dan keahlian yang diperlukan bagi usaha produksi

(13)

migas, perusahaan investor juga akan menanggung semua risiko yang timbul darinya.

Resiko ketidakberhasilan operasional produksi migas adalah salah satu menjadi momok menakutkan bagi semua pelaku kegiatan usaha hulu migas, termasuk pemerintah di dalamnya. Pemerintah tidak berani “mengorbankan” biaya yang sangat besar untuk kegiatan opearasional hulu migas dengan menggunakan uang Negara. Jika tidak berhasil, maka rakyat yang pada akhirnya akan terkena imbasnya.

Dengan kata lain, tingginya resiko menjadikan pemerintah enggan berinvestasi di sektor hulu migas. Hal inilah yang kemudian melatarbelakangi mengapa pemerintah kita gencar “mengundang” investor-investor asing dalam rangka membantu pemerintah untuk memaksimalkan potensi produksi migas yang tersedia, tentunya dengan berharap pada investasi modal yang besar, canggihnya teknologi dan keterampilan sumber daya manusia yang dibawa. Keberhasilan investor asing dalam eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam di bidang migas akan berdampak positif bagi penerimaan Negara, melalui sistem kontrak bagi hasil, namun ada biaya yang harus dibayarkan oleh Negara kepada Investor melalui Cost recovery.

B. RUMUSAN MASALAH

Sejak berlakunya Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001 yang sampai saat ini sudah berusia hampir empat belas tahun, tetapi undang-undang ini dianggap belum mampu mengatasi permasalahan yang terjadi di industri Migas.

(14)

Penyelesaian masalah pengembalian biaya operasi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi, atau yang lebih dikenal dengan istilah cost

recovery tidaklah mudah, sehingga untuk mengatasi masalah ini, terakhir

pemerintah menertbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2010 yang mengatur biaya-biaya yang dapat atau tidak dapat dikembalikan dalam kegiatan eskplorasi dan eksploitasi minyak dan gas.

Perbedaan pandang tentang mekanisme cost recovery menjadi pokok bahasan yang menarik, karena terkait dengan kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia yang merupakan kontraktor migas di Riau. Kasus ini telah berlangsung sejak awal tahun 2012 hingga saat ini. Pelaksanaan proyek bioremediasi PT. Chevron Pasific Indonesia dianggap terdapat tindak pidana korupsi karena telah menyebabkan kerugian negara dengan menggunakan mekanisme cost recovery.

Dalam kontrak bagi hasil dimungkinkan timbul perselisihan antara BPMIGAS (sekarang SKK Migas) dengan kontraktor dalam hal kontraktor tidak dapat melaksanakan prestasinya dengan baik sesuai dengan substansi kontrak bagi hasil yang dibuat oleh para pihak. Di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi tidak ditemukan pasal yang mengatur tentang penyelesaian sengketa, jika terjadi sengketa antara Badan Pelaksana (sekarang SKK Migas) dengan Badan Usaha terhadap substansi kontrak bagi hasil. Umumnya penyelesaian sengketa telah dituangkan dalam kontrak bagi hasil yang dibuat para pihak.

(15)

Mengingat kompleksnya permasalahan pelaksanaan cost recovery dalam kontrak kerja sama, penulis membatasi pembahasan dengan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Pelaksanaan kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract) dalam industri hulu migas ditinjau dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001?

2. Bagaimana tata cara pelaksanaan pengembalian biaya operasi (cost recovery) oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas kepada Pemerintah berdasarkan peraturan yang berlaku?

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Tujuan pembahasan di dalam tesis ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan kontrak bagi hasil (Production

Sharing Contract) menurut ketentuan Undang-undang Nomor 22 Tahun

2001.

2. Untuk mengetahui tata cara pelaksanaan pengembalian biaya (cost recovery) oleh kontraktor Migas kepada Pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah:

1. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat terhadap pengembangan ilmu hukum secara umum dan khususnya menyangkut perjanjian dalam konrak bagi hasil pertambangan Migas.

(16)

2. Penulis berharap dapat menambah wawasan para pembaca khususnya yang berminat dalam dunia industri perminyakan dan masyarakat pada umumnya, dalam mencermati permasalahan yang muncul dari pelaksanaan kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract) dan pengembalian/pemulihan biaya (Cost Recovery), yang semula masih sangat asing dikalangan awam.

D. METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Metode Pengumpulan data

Untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam memecahkan masalah penelitian ini, maka pengumpulan data akan dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder. Data sekunder diperoleh dengan cara membaca dan mempelajari Undang-undang minyak dan gas bumi serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan, buku-buku dan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan permasalahan. Data-data yang berhasil diperoleh akan dipergunakan sebagai landasan pemikiran yang bersifat teoritis untuk membantu dalam membuat analisis deskriptif untuk memecahkan masalah yang akan diteliti.

- Data sekunder berupa

Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat. Yang terdiri dari atas segala peraturan perundang-undangan, mulai dari undang-undang dasar hingga perjanjian Internasional, atau dapat disebut juga

(17)

sebagai hukum positif, antara lain undang Dasr 1945, Undang-undang No. 44 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan gas bumi, Undang-undang No. 8 Tahun 1971, jo. Undang-undang No. 10 Tahun 1974, Tentang Pertamina. Undang-undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan GHas Bumi, Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1994 Tentang Syarat-syarat dan Pedoman Kerja sama Kontrak bagi hasil minyak dan gas bumi dan Pedoman kontrak kerja sama kontrak bagi hasil minyak dan gas bumi, Konsep Kontrak PSC yang dikeluarkan oleh Pemerintah baik sebelum maupun sesudah keluarnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001. Perpres RI Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, Perpres RI Nomor 95 Tahun 2012 Tentang Pengalihan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, Permen ESDM Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Organisasi dan tata kerja Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegaitan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, Kepmen ESDM Nomor 3135 k/08/MEM/2012 Tentang Pengalihan Tugas, Fungsi, dan Organisasi dalam Pelaksanaan Kegaitan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, Kepmen ESDM Nomor: 3136 k/73/MEM/2012.

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku tentang hukum minyak dan gas bumi, buku-buku tentang kontrak kerjasama Indonesia, dan hasil-hasil penelitian serta karya ilmiah yang berkaitan lainnya.

(18)

2. Metode Analisa Data

Dalam penulisan tesis ini analisis data yang digunakan adalah metode analisis kualitatif yaitu data yang diperoleh dari kepustakaan dikumpulkan, diolah dan disusun secara sistematis untuk kemudian dianalisis secara kualitatif untuk mencapai jawaban atas permasalahan yang diangkat.

Analisa data menggunakan metode analisis data kuantitatif yang digunakan untuk mengkaji aspek-aspek normatif (yuridis) melalui metode yang bersifat deskriptif analisis yang menguraikan gambaran dari data yang diperoleh dan menghubungkan satu sama lain untuk mendapatkan kesimpulan yang bersifat umum.

E. SISTEMATIKA PEMBAHASAN

Penulisan skripsi ini dibagi dalam lima bab dan masing-masing bab terbagi dalam subbab-subbab yang akan dirinci sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini, penulis akan menyajikan tentang latar belakang penelitian; rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian; metode penelitian; dan sistematika pembahasan yang menggambarkan garis besar pokok pembahasan secara menyeluruh.

BAB II KONTRAK KERJA SAMA DALAM KEGIATAN USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI

Bab ini akan diuraikan pemahaman tentang kontrak kerja sama dalam kegiatan industry hulu minyak dan gas bumi secara teoritis. Uraian

(19)

tentang pengertian production sharing contract; pemahaman tentang jenis-jenis kontrak kerja sama dalam kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi; dasar hukum pertambangan migas dan substansi kontrak bagi hasil; asas asas dalam kontrak minyak dan gas bumi; para pihak dalam kontrak bagi hasil; hak dan kewajiban para pihak dalam kontrak bagi hasil; jangka waktu kontrak bagi hasil; pembagian penghasilan dalam industry hulu minyak dan gas bumi; cost recovery (pengembalian biaya operasi); filosofi dan prinsip-prinsip cost recovery;

BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG INDUSTRI HULU PERMINYAKAN DI INDONESIA

Bab ini menyajikan tentang deskripsi objek penelitian yang menguraikan mengenai sejarah perkembangan industri hulu perminyakan di Indonesia; kondisi industri hulu minyak dan gas di Indonesia; perkembangan konsep production sharing contract di Indonesia; sejarah terbentuknya satuan kerja khusus pelaksana kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi (SKK Migas); defenisi, pengertian dan pelaksanaan POD, WP & B, dan AFE sebagai implementasi PSC; pengadaan dalam kontrak kerja sama; dan kewenangan pengadaan;

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Bab ini menyajikan analisis dan pembahasan hasil penelitian yang menguraikan pelaksanaan kontrak bagi hasil (Production Sharing

(20)

22 Tahun 2001; tata cara pelaksanaan pengembalian biaya operasi oleh kontraktor Migas kepada pemerintah berdasarkan peraturan yang berlaku.

dibagi menjadi tigperhitungan aspekkperpajakSharXxxxxxxx Energy Ltd.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini, penulis akan mengemukakan tentang kesimpulan yang merupakan sintesis dari berbagai temuan penelitian dan pembahasan serta implikasi yang diperoleh dari penelitian. Selain itu, pada akhir bab ini penulis berusaha memberikan saran-saran yang bermanfaat bagi pemerintah dan pihak terkait berlandaskan pada hasil penelitian mengenai kajian yuridis pelaksanaan cost recovery dalam Production Sharing

Referensi

Dokumen terkait

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk memprediksi kemungkinan Financial distress pada industri tekstil dan garmen menggunakan model prediksi Altman Z-score serta

Format Berita acara penetapan Calon Dukuh, Formulir pendaftaran pemilih, Bentuk surat pemberitahuan/panggilan untuk memberikan suara, Bentuk dan ukuran stempel

1) Jenis Penelitian. Adalah penelitian lapangan jadi data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh melalui studi laporan dengan cara mencatat dan

al-r±wi al-a‘l± untuk menentukan riwayat yang paling akurat yang bisa disandarkan kepada Nabi saw. Adapun metode pelaksanaannya terdiri dari langkah-langkah berikut:

Retribusi Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit adalah pembayaran atas jasa pelayanan kesehatan RSUN, dengan kata lain Retribusi Pelayanan Kesehatan adalah sebagian atau seluruh

Pendidikan seorang anak adalah sebuah tanggung jawab bersama. Setiap anak adalah bibit yang harus diberi stimulus pofitif dari lingkungan agar dapat tumbuh dengan baik.

Diharapkan kepada guru matematika untuk dapat menerapkan metode pembelajaran kooperatif tipe TAI dengan pendekatan Reciprocal Teaching ini sebagai salah satu

Leuwih écésna Modul Diklat Guru Pembelajar Basa Sunda Kelompok Kompeténsi Gngawengku 10matéri poko, nu ngawengku 4 (opat) matéri poko kompeténsi pédagogik, jeung 6