• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLITIK dan SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH MASA DEMOKRASI TERPIMPIN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POLITIK dan SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH MASA DEMOKRASI TERPIMPIN"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

POLITIK dan SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH MASA DEMOKRASI

TERPIMPIN

Oleh: Cristian Syukur Latar Belakang

Demokrasi terpimpin adalah sebuah sistem demokrasi di mana seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpin negara, yang kala itu adalah Presiden Soekarno. Demokrasi terpimpin ditandai dengan lahirnya dekrit presiden 5 Juli 1959 yang dilatarbelakangi oleh 5 poin dasar yang disampaikan oleh Soekarno sendiri, diantaranya bahwa anggota konstituante tidak mampu menjalankan tugasnya untuk merumuskan UU baru sebagai pengganti UUDS. Soekarno menilai hal ini sangatlah membahayakan persatuan dan keselamatan negara, nusa dan bangsa serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai cita-cita masyarakat adil dan makmur. Poin ini kemudian menjadi dasar bagi Soekarno unutk kemudian membubarkan konstituante serta memilih alternative untuk kembali diberlakukannya UUD 1945.1

Selain poin di atas, ketidakstabilan keamanan nasional pada masa itu yang mucul melalui gerakan sparatis dan pemberontakkan yang dilakukan oleh PRRI dan PERMESTA juga menjadi pertimbangan Soekarno dalam mengeluarkan dekritnya.2 Pada masa itu juga terjadi fenomena dimana terjadinya pergantian kabinet yang dilakukan secara terus menerus sehingga tiap-tiap cabinet tidak memiliki kesempatan yang cukup untuk menyelesaikan program-program pembangunan yang telah disusun. Hal ini tampak sebagai salah satu factor utama yang membuat perekonomian nasional di bawah kekuasaan Soekarno cenderung stagnan.

1 Drs. H. Syaukani, HR, dkk (2012) yang mengutip naskah asli Dekrit Presiden 5 Juli No. 6 Tahun 1959, 2 Ibid

(2)

Demokrasi Terpimpin

Dalam The Liang Gie (1994), Soekarno menyatakan bahwa demokrasi terpimpin merupakan demokrasi yang terkandung dalam UUD 1945 yaitu “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.” Dan oleh karena itu “inti daripada pimpinan dalam demokrasi terpimpin adalah permusyawaratan, tetapi suatu permusyawaratan yang ‘dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan’, bukan oleh perdebatan dan penyiasatan yang diahiri dengan pengaduan kekuatan dan penghitungan suara pro dan kontra”.3

Namun, meski Soekarno menitikberatkan alasan munculnya Dekrit 5 Juli sebagai jawaban atas segala gonjang-ganjing politik nasional serta menuduh dinamika demokrasi Indonesia pada masa sebelum Dekrit ini dikeluarkan sebagai demokrasi yang liberal, kenyataannya pasca Dekrit 5 Juli keran politik nasional malah tersumbat dan benih – benih otoritarianisme tumbuh subur. Drs. H. Syaukani, HR, dkk (2012:98), mencatat bahwa pada masa itu kontrol terhadap kehidupan politik masyarakat meluas dengan dasar bahwa negara dalam keadaan bahaya. Apa yang disebut protes dalam bentuk pemogokkan dilarang, bagi mereka yang melakukannya ditangkap oleh militer. Kebebasan masyarakat juga semakin dibatasi, bahkan kalangan petani harus menanam komoditas tertentu dan menjualnya dengan harga yang rendah. Kelompok politik yang ada harus menyatakan kesetiaan dan dukungan kepada revolusi, dan bahkan kemudian parta politik termasuk PKI, harus menerima ideology yang ditanamkan oleh negara. 4

Beberapa narasi singkat di atas sedikit menggambarkan sekelumat situasi politik nasioal serta proyeksi situasi politik local pada masa demokrasi terpimpin pasca Dektir 5 Juli oleh Soekarno. Pada satu sisi, dalih Soekarno dalam memprioritaskan situasi politik dan keamanan

3 The Liang Gie (1994, p. 210) yang mengutip dari “Res Publika! Sekali Lagi Res Publika!”, Penerbitan Khusus

Kementrian Penerangan RI, No. 51, tt., pp. 20-22

4 Drs. H. Syaukani, HR, dkk. Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012

UU 1/1957 dicabut bersamaan dengan dikeluarkannya dekrit presiden 5 Juli dan digantikan dengan Penetapan Presiden No. 6/1959. UU ini dicabut karena pelaksanannya dianggap sebagai produk dari sebuah system yang liberal dan kenyataannya tidak sesuai dengan kehidupan politik yang berkembang dalam konteks Demokrasi Terpimpin. UU tersebut dinilai tidak sesuai dengan semangat revolusi bangsa Indonesia yang berlandaskan doktrin NASAKOM dan MANIPOL-USDEK.

(3)

nasional tampak relevan dikarenakan usia Indonesia masa itu yang masih sangatlah belia sehingga integrasi nasional juga menjadi isu sentral yang tidak bisa dinafikan. Namun disisi lain, keputusan Soekarno ini dalam perjalanannya juga tampak oportunis yang dijadikannya sebagai strategi untuk melakukan political capture. Demokrasi versi Soekarno yang dipuja-pujanya, idealnya merupakan sebuah system yang paling memungkinkan untuk melahirkan dan merawat politik; tetapi di bawah asuhan Soekarno demokrasi (terpimpin) justru membunuh politik itu sendiri. Demokrasi sebagai sebuah bendungan tidak dialiri oleh politik, dikarenakan saluran aliran aspirasi warga negara disumbat oleh dominasi kuasa negara yang otorotarian dalam bentuk pembungkaman dan opresi militer.

Dengan kondisi poltik dalam lanskap nasional yang otoritarian seperti itu, maka proyeksi poitik dalam tataran local juga tidak lah jauh berbeda. Supremasi Jakarta (pusat) atas daerah sangat lah kuat dan paling dominan. Idealism pembangunan yang buttom up dalam system demokrasi tidak mendapatkan legitimasinya dalam periode demokrasi terpimpin masa Soekarno. Pembangunan terabaikan, lokalitas tidak diakomodasi, politik tidak berjalan serta stabilitas demokrasi yang diagung - agungkan hanya bersifat semu. Soekarno dan Jakarta mencaplok hak politik daerah dan warga negara dan menjadikannya hanya sebatas obyek yang gagap untuk dijadikannya sebagai eksperimen kekuasaan.

Pengaruh Demokrasi Terpimpin Dalam Sejarah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia Sebagaimana dicatat oleh Burhan D. Magenda (1998:18) bahwa salah satu implikasi dari Dekrit 5 Juli dan Penetapan Presiden No. 6/1959 yang mengembalikan pemberlakuan UUD 1945 adalah penghapusan UU No. 1/1957.5 Penghapusan UU ini kemudian menjadi salah satu babak berpengaruh dalam sejarah System Pemerintahan Daerah di Indonesia. Benih – benih desentralisasi yang sebelumnya ditanamkan melalui UU No. 1 Tahun 1957, kembali dicabut sehingga praktis era Demokrasi Terpimpin ini kemudian menarik kembali kewenangan yang telah dilimpahkan ke daerah dan mengembalikannya dalam kontrol ketat Jakarta.

5 Magenda, Burhan Djabier, 1998, The Surviving Aristocracy In Indonesia; Politics In Tree Provinces Of The Outer

(4)

Dengan dalih integrasi nasional, Soekarno (Jakarta) kemudian menempatkan dan mendefinisikan dirinya sebagai satu – satunya otoritas yang memimpin seluruh strategi pembangunan di seluruh negeri. Keberadaan jajaran pemerintahan daerah tidak lah memiliki makna, dikarenakan keberadaan mereka dalam segala tugas dan kewenangannya tetap di-makna-i oleh Jakarta. Oleh Soekarno. Hal ini kemudian membuat corak pembangunan yang ada tidak pernah muncul dari kebutuhan warga negara yang seharusnya sebagai subyek pembangunan, sehingga segala bentuk kebijakan (sentralistik) tidak pernah hadir untuk betul – betul menjawab persoalan yang ada di tataran akar rumput. Di sisi lain, era demokrasi terpimpin juga merupakan era re-sentralisasi kekuasaan yang membungkam artikulasi politik warga negara dan mengebiri aspirasi kedaerahan.

Henk Schule Nordholt dan Gerry Van Klinken (2007:14-15), juga mencatat bahwa era demokrasi terpimpin merpakan salah satu penyebab mengapa desentralisasi tidak mendapatkan kesepatan untuk mengakar di Indonesia. Pemberontakkan – pemberontakkan kedaerahan di Sumatera dan Sulawesi melawan Jakarta, dan diberlakukannya hukum darurat perang, menigkatnya kekuatan militer, dan pada tahun 1959 bangkitnya pemerintahan otoriter memupun eksperimen yang hanya berumur pendek ini.6 Sebagai salah satu bagian terpenting dalam sejarah pemerintahan daerah di Indonesia, era demokrasi terpimpin punya peran yang cukup dominan dalam membentuk tingkat kematangan praktik demokrasi yang dibingkai dalam sebuah system distribusi dan sirkulasi kekuasaan yang bernama desentalisasi. Segala bentuk potret buram praktik perpolitikkan kita ditingkat local, konflik kepentingan, KKN, sampai pada ketidakdewasaan kita dalam berdemokrasi hari ini; tidak bisa dilepaskan dari sejarah bangsa ini yang mencatat sejumlah decade terjadinya depolitisasi dan pembajakan demokrasi yang salah satunya dipraktikkan oleh rezim demokrasi terpimpin.

Kesadaran kita dalam memaknai politik yang belum mampu membangun sebuah gerakan untuk mengartikulasikan kepentingan kolektif atau pun membangun kekuatan hegemony dalam mengimbangi dominannya kuasa negara; tidak semata-mata disebabkan tingkat pendidikan sebagaiaman menjadi dalil meanstream dari para pakar. Namun sejarah bangsa ini dari zaman

6 Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: KITLV Jakarta dan Yayasan

(5)

Soekarno (dilanjutkan Soeharto) sampai terbukanya sumbatan kanal – kanal aspirasi pada 1998; merupakan sebuah rentang waktu berlakunya pembungkaman, opresi militer, sampai pada floating mass, dan dari kesemuannya tampak sudah lebih dari cukup untuk sekedar mematikkan kesadaran politik itu.

Sedangkan, beberapa karakteristik yang menonjol dari kebijakan otonomi daerah melalui Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 sendiri (Drs. H. Syaukani, HR; 2012) adalah:

Pertama, menghapus dualism dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pemerintahan

daerah sebelumnya terdiri dari DPD yang diketuai oleh kepala daerah dan DPRD. Sementara itu, anggota DPD dipilih dari anggota DPRD dan jumlahnya bergantung konfigurasi di DPRD. Penpres No. 6/1959 menghapus keberadaan DPD, sehingga pemerintahan daerah dilaksanakan oleh kepala daerah yang merupakan pejabat eksekutif, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Kedua, kepala daerah dibantu oleh Badan Pemerintahan Harian (BPH) yang bertugas layaknya menteri dalam sebuah cabinet yang dikepalai oleh kepala daerah sebagai perdana menteri. Ketiga, kepala daerah tidak lagi dipilih oleh DPRD dan juga tidak bertanggungjawab kepada DPRD, tetapi diangkat oleh presiden dan menteri dalam negeri. Keempat, kepala daerah diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil dan dilarang terlibat dalam partai politik. Kelima, kepala daerah disamping memiliki kewenangan dalam urusan otonomi dana apparat pemerintah daerah, juga merupakan apparat pemerintah pusat yang ada di daerah, bahkan dinyatakan sebagai alat pemerintah pusat. Keenam, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berubah menjadi DPRD Gotong Royong (DPRDGR). Keanggotaannya tidak hanya dari partai politik, tetapi juga dari golongan, yang kemudian menjadi cikal bakal Golkar. Golongan ini terdiri dari dua golongan besar, yakni golongan politik dan golongan karya, sehingga dengan demikian keanggotaannya tidak lagi berdasarkan pemilu 1955. Selain itu, anggota DPRDGR ini harus mengangkat sumpah di depan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah.

Referensi

Dokumen terkait

Fasilitas memperbaiki data ini disediakan untuk mengantisipasi adanya kemungkinan kesalahan (human errors) dalam mengisi data. Pada program ini juga disediakan fasilitas

Menurut Imam Abu Hanifah, hadits di atas juga menjadi sebuah dalil tentang wajibnya shalat Idul Fitri, hingga para wanita yang sedang haid pun dianjurkan untuk keluar

Hasil uji Mann Whitney pada kelompok yang mendapat paparan asap rokok kretek biasa sesudah induksi formaldehyde (K2) dan kelompok yang mendapat paparan asap divine

Ilustrasi sederhana pohon perentang minimum dari provinsi Jawa tengah secara manual dengan menggunakan algoritma sollin adalah memilih sisi yang memiliki bobot

#engembangan kelompok nelayan tidak dapat hanya didekati dari sudut yang sempit atau secara sektoral. #engembangan suatu sistem yang didasari oleh pendekatan pembangunan masyarakat,

Nilai budaya Minangkabau yang terkandung di dalam naskah Pasambahan Batagak Pangulu ditemukan nilai kerendahan hati dan penghargaan terhadap orang lain, nilai

[r]

kesimpulan yang dihasilkan. Selain itu, triangulasi teori dapat meningkatkan kedalaman pemahaman asalkan peneliti mampu menggali pengetahuan teoretik secara mendalam