• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOMPATIBILITAS BATANG BAWAH KARET KLON GT 1 DENGAN MATA ENTRES BEBERAPA KARET KLON GENERASI V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KOMPATIBILITAS BATANG BAWAH KARET KLON GT 1 DENGAN MATA ENTRES BEBERAPA KARET KLON GENERASI V"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

KOMPATIBILITAS BATANG BAWAH KARET KLON GT 1

DENGAN MATA ENTRES BEBERAPA KARET KLON GENERASI V

COMPATIBILITY ROOTSTOCK RUBBER GT 1 CLONE WITH SCION OF SOME RUBBER CLONE GENERATION V

Rudi Hartawan

Program Studi Agroteknologi Universitas Batanghari, Jl. Slamet Riyadi, Jambi, 36122

e mail:rudi2810@yahoo.com

ABSTRACT

One attempt to combine the strong tolerance of clones GT 1 and the high production of clones of “Generasi V” which combine both these clones, clones GT 1 as rootstock and some clones “Generasi V” as the scion. The study aims to determine the difference in the success of grafting several clones “Generasi V”, determine the ability of seedling to grow normally at nursery, knowing seedling resistance to pests and diseases and leaf color. The design used in this study was completely randomized design (CRD) with combining rootstock clones of the same origin GT 1-GT 1 clone (control), PB 260, BPM 24, RRIC 100. The results showed that the clones PB 260 showed high grafting success and good growth based on long shoots, leaf area and dry weight. In terms of speed of growth buds, clone PB 260 slower compared RRIC 100 and BPM 24 clones. While the disease and the colors of the leaves show no correlation in combining the rootstock and upper stem.

Key words: Vegetatif propagation, New clones, Rubber seedling

ABSTRAK

Salah satu upaya untuk menggabungkan sifat toleran yang kuat dari klon GT 1 serta produksi yang tinggi dari klon Generasi V yaitu dengan mengkombinasikan kedua klon tersebut, klon GT 1 sebagai batang bawah dan beberapa klon Generasi V sebagai mata entres. Penelitian bertujuan untuk mengetahui perbedaan keberhasilan okulasi pada beberapa klon Generasi V, mengetahui kemampuan bibit untuk tumbuh normal dipembibitan, mengetahui ketahanan bibit terhadap serangan hama dan penyakit serta warna daun. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan pengkombinasian batang bawah asal klon yang sama dengan mata entres asal klon GT1 (kontrol), PB260, BPM 24, RRIC 100. Hasil penelitian menunjukkan bahwa klon PB 260 menunjukkan keberhasilan okulasi yang tinggi serta pertumbuhan yang baik berdasarkan panjang tunas, luas daun dan bobot kering.Dari segi kecepatan tumbuh tunas, klon PB260 lebih lambat di bandingkan klon RRIC100 dan BPM24. Sementara serangan penyakit dan warna daun menunjukkan tidak ada hubungan dalam pengkombinasian batang atas dan batang bawah.

Kata kunci: Pembiakan vegetatif, Klon unggul, Pembibitan karet

PENDAHULUAN

Tanaman karet (Hevea brasilliensis Muell.Arg) merupakan salah satu sumber utama devisa negara, oleh sebab itu tanaman karet selalu diusahakan pengembangannya baik dalam hal luas areal tanaman maupun teknik budidayanya. Pada tahun 2010 produksi karet kering Indonesia mencapai 585.427 ton dengan luas areal 472.200 ha yang status pengusahaan perkebunan dimiliki oleh rakyat, negara dan swasta nasional (www.bps.go.id).Jambi merupakan salah satu provinsi yang menjadi penghasil karet nasional. Total luas areal dan produksi tanaman karet di Provinsi Jambi pada tahun 2010 adalah 440. 866 dan 290.439 ton (www.bkpm.go.id).

Permasalahan yang timbul pada perkebunan rakyat pada semua lokasi umumnya adalah

rendahnya produktivitas yang dicapai. Salah satu penyebabnya adalah rendahnya adopsi teknologi perkaretan terutama dalam penggunaan bahan tanaman unggul serta tanaman yang mulai menua. Salah satu usaha untuk meningkatkan produktivitas tanaman dapat dilakukan dengan perbaikan secara genetik yaitu menggunakan klon-klon baru (Balai Penelitian Sembawa, 2010).

Dalam pelaksanaan peremajaan ataupun penanaman areal baru dianjurkan menggunakan bibit karet asal klon unggul. Sejalan dengan kemajuan pemulian tanaman karet ikut berkembang pula klon-klon yang telah memasuki tahap generasi ke lima (G V), dimana jenis-jenis klon unggul yang telah direkomendasi untuk periode 2010-2014 adalah: 1) Klon Penghasil Lateks : IRR 104, IRR 112, IRR 118, IRR 220, BPM 24, PB 260, PB 330,

(2)

dan PB 340; 2) Klon Penghasil Lateks-Kayu : RRIC 100, IRR 5, IRR 39, IRR 42, IRR 107, dan IRR 119; dan 3) benih anjuran untuk batang bawah adalah AVROS 2037, GT 1, BPM 24, PB 260, RRIC 100, dan PB 330 (Balai Penelitian Sembawa, 2010).

Telah dibuktikan bahwa dalam penggunaan klon unggul atau bibit asal okulasi dapat meningkatkan produksi dibandingkan dengan tanaman asal biji. Informasi dari Balai Penelitian Getas (2005) menunjukkan bahwa tanaman yang berasal dari biji sifatnya sering menyimpang dari asal induknya. Untuk menghindari kelemahan-kelemahan yang terdapat pada perbanyakan generatif maka perbanyakan vegetatif sangat dianjurkan untuk menghasilkan bibit baru. Saat ini klon GT 1 banyak digunakan sebagai batang bawah karena memiliki tingkat kesesuaian yang tinggi serta relatif tahan terhadap serangan cendawan akar putih dan juga merupakan klon primer.

Rekomendasi Balai Penelitian Karet Sembawa (2010) bahwa Klon anjuran untuk wilayah Jambi adalah Klon BPM 24, PB 260, BPM 24, dan RRIC 100. Klon karet BPM 24 merupakan hasil persilangan dari klon GT 1 x AVROS 1734 yang mempunyai pertumbuhan yang baik, berproduksi tinggi, toleran terhadap Corynespora. Sedangkan klon PB 260 merupakan hasil persilangan PB5/51 x PB 49 mempunyai pertumbuhan sangat baik, berproduksi tinggi, tahan terhadap Colletotrichum. Klon RRIC 100 adalah klon dari hasil persilangan RRIC 52 x PB 85 yang termasuk Klon penghasil lateks-kayu yang memiliki pertumbuhan sangat baik, berproduksi tinggi, cukup tahan terhadap penyakit daun Colletotrichum dan Corynespora (Balai Penelitian Sembawa, 2010).

Salah satu upaya untuk menggabungkan sifat toleran yang kuat dari klon GT 1 serta produksi yang tinggi dari klon generasi V yaitu dengan mengkombinasikan kedua klon tersebut, GT 1 sebagai batang bawah dan beberapa klon G V sebagai mata entres. Walaupun klon-klon karet tersebut dekat kekerabatannya, akan tetapi karena klonnya berbeda maka diyakini akan ada perbedaan tingkat kecocokan dalam tahap pertautan mata entres sehingga berpengaruh terhadap pertumbuhan bibit. Pengujian kesesuaian antara klon GT 1 sebagai batang bawah dan berbagai klon G V sebagai mata entres perlu dilakukan untuk mendapatkan klon dengan kompatibilitas yang tinggi bila dilakukan okulasi.

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian telah dilakukan dikebun pembibitan karet KUD Usaha Jaya yang terletak di desa Pondok Meja Dusun Suka Damai Kecamatan Mestong Kabupaten Muaro Jambi, mulai tanggal 23 Januari sampai dengan tanggal 16 April 2012. Pemilihan tempat penelitian dilakukan dengan sengaja, sebagai pertimbangan bahwa pada tempat

pembibitan tersebut tersedia bibit karet G V dengan klon PB 260, BPM 24 dan RRIC 100 dan batang bawah GT 1 serta pelaksana pembibitan yang telah berpengalaman.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit karet calon batang bawah klon GT1 dengan kondisi batang bawah tersebut telah memenuhi ciri siap diokulasi yaitu:

1). Lilit batang sudah mencapai 5-7 cm pada ketinggian 5 cm dari permukaan tanah atau diameter 1,5 cm,

2). Warna kulit batng hijau,

3). Tunas ujungnya dalam keadaan tidur atau berdaun seluruhnya dalam keadaan tua.

Metode Penelitian

Mata entres yang digunakan berupa mata dari entres cabang yang diambil dari kebun entres murni yaitu klon GT 1, PB 260, BPM 24, dan RRIC 100 dengan umur entres 4 bulan dengan warna hijau. Bahan lain yang digunakan adalah polibag dengan ukuran 14 x 30 cm media tanam campuran tanah dengan pupuk kandang dengan perbandingan 2 : 1 dan pupuk NPK. Alat yang digunakan: pisau okulasi, plastik okulasi, meteran, kartu sampel, oven listrik, alat-alat tulis, polybag dan gembor serta jaring

pengaman dari serangan hama besar.

Rancangan Percobaan

Percobaan menggunakan Rancangan Lingkungan Acak Lengkap (RAL) dengan rancangan perlakuan yaitu batang bawah klon GT 1 yang diokulasi dengan beberapa klon mata entres sebagai berikut:

Klon GT 1 (Kontrol), Klon PB 260, Klon BPM 24, dan Klon RRIC 100.

Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 6 kali dan masing-masing plot terdapat 15 tanaman dan 10 menjadi tanaman sampel.

Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanakaan okulasi dilakukan dengan bantuan tenaga ahli yang telah berpengalaman.Teknik okulasi yang dipakai yaitu okulasi hijau dengan umur batang bawah 5 bulan danmata entres dengan umur 4 bulan dengan warna hijau tua. Adapun langkah-langkah dalam pelaksanaan okulasi sebagai berikut; 1) Persiapan batang atas dan batang bawah, 2) Persiapan bahan dan alat yang digunakan, 3) Pembuatan jendela okulasi dengan cara menggores batang bawah dengan irisan vertikal sebanyak 2 buah yang sejajar, tinggi irisan 5-10 cm dari permukaan tanah, panjang irisan 5-7 cm, lebar irisan lilitan batang, 4) Pembuatan perisau mata okulasi dengan cara

(3)

memilih mata entres yang baik yang berada dibawah ketiak daun, kemudian lakukan pengirisan mata entres dengan ukuran lebar 1 cm dan panjang 5-7 cm, penyayatan perisai mata okulasi dilakukan dengan mengikut sertakan sedikit bagian kayu, dan 5) Penempelan perisai mata okulasi. Penempelan perisai mata okulasi segera dilaksanakan pada batang bawah sesaat jendela okulasi dibuka, dengan cara perisai mata okulasi dimasukkan kedalam jendela, setelah itu jendela okulasi ditekan dan bagian ujung perisai dibuang, diusahakan perisai mata okulasi tidak bergerak, jendela mata okulasi ditutup dan segera dibalut dengan menggunakan pita plastik pembalutan.Arah pembalutan dari bagian bawah kebagian atas jendela.

Setelah okulasi berumur 4 minggu maka balutan okulasi dapat dibuka untuk diperiksa keberhasilan okulasi. Balutan dibuka dengan cara mengiris plastik okulasi dari bawah keatas tepat disamping jendela okulasi. Keberhasilan okulasi dapat diketahui dengan cara membuat goresan pada perisai mataokulasi dan apabila goresan berwarna hijau berarti okulasi tersebut dinyatakan berhasil dan kemudian dijadikan stum untuk di tanam dalam polibag.

Tanaman karet yang telah diokulasi dicabut dan dipotong miring pada ketinggian 5-7 cm di atas mata entres. Akar tunggang dipotong dan disisakan 25 cm dibawah leher akar dan akar lateral juga dipotong dan disisakan 5 cm. Bibit yang digunakan mempunyai akar tunggang relatif lurus dan tidak bercabang.

Setelah bibit siap kemudian di tanam ke polibag yang berisi media tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 2 : 1 serta pupuk NPK 2,5 g polibag-1. Pemeliharaan bibit sejak penanaman di polybag meliputi penyiraman, penyiangan gulma dan pengendalian hama penyakit. Penyiraman dilakukan satu kali sehari dan bila ada hujan penyiraman dihentikan.

Cara pengambilan data pada masing-masing peubah yang diamati adalah sebagai berikut:

Persentase Keberhasilan Okulasi; Persentase

keberhasilan okulasi diamati pada minggu ke-4 yaitu dengan melihat warna mata tunas tempelan. Apabila berwarna hijau berarti mata tunas hidup atau okulasi yang dilakukan berhasil dan sebaliknya apabila berwarna coklat kehitam-hitaman berarti mata tunas tersebut mati atau gagal. Persentase Keberhasilan okulasi dihitung dengan menggunakan rumus:

Pengamatan :

Kecepatan Tumbuh Tunas; Kecepatan

pemecahan tunas yaitu waktu yang dibutuhkan bibit karet yang telah diokulasi untuk bertunas. Pengamatan dilakukan setelah diokulasi dengan pengamatan setiap hari sampai akhir penelitian.

Panjang Tunas; Pengukuran panjang tunas

dilakukan dengan cara mengukur panjang tunas yang muncul dari pangkal mata okulasi sampai ke ujung pengukuran dilaksanakan pada akhir pengamatan pada umur 9 minggu dengan menggunakan meteran.

Luas Daun; Pengukuran luas daun total dilakukan

pada akhir penelitian. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan rumus :

. Ket:

Wr = Berat kertas replika daun, Wt = Berat Total Kertas, LK = Luas total kertas.

Bobot Kering Tunas; Pengukuran Bobot Kering

Tunas dilakukan diakhir penelitian dengan cara tunas di potong dari pangkal tunas di oven pada suhu 85 oC selama 24 jam kumudian di timbang dan di ulang lagi sampai mendapatkan bobot yang konstan.

Warna Daun; Warna daun dilihat pada akhir

penelitian dinilai dengan cara mengkategorikan bibit karet dengan warna daun sebagai berikut : Seragam hijau, yaitu apabila bibit karet memiliki daun dengan warna yang seragam hijau. Hijau kekuning-kuningan, yaitu apabila bibit karet selain memiliki daun berwarna hijau juga memiliki daun berwarna hijau kekuning-kuningan.Merah kecoklatan, yaitu apabila bibit karet selain memiliki daun berwarna hijau, hijau kekuning-kuningan juga memiliki daun berwarna merah kecoklatan.

Serangan Hama Dan Penyakit; Pengamatan

gejala serangan hama dan penyakit ditujukan terutama pada bagian dari batang bawah, dan daun bibit karet. Pengamatan dilaksanakan tiap hari kemudian bibit dikategorikan sebagai berikut; Tidak terserang hama dan penyakit, yaitu apabila tidak terdapat tanda-tanda serangan hama dan penyakit (TT). Terserang hama(TH), terserang Penyakit(TP),terserang hama dan penyakit (THP).

Guna mengetahui pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati, data yang diperoleh dianalisis sebagai berikut : untuk data kuantitatif dilakukan uji anova dengan uji lanjut DNMRT, sedangkan data kualitatif disajikan dengan uji chi square (X2) dan analisis deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis ragam menunjukkan kombinasi pasangan batang bawah dengan mata entres mempengaruhi peubah kecepatan tumbuh tunas, panjang tunas, dan bobot kering tunas. Peubah luas daun total tidak dipengaruhi oleh kompatibilitas batang bawah dan mata entres. Hasil dalam tabulasi disajikan pada tabel 1.

(4)

Tabel 1. Analisis ragam peubah pertumbuhan tunas dari okulasi karet Klon GT 1 sebagai batang bawah dan beberapa Klon G V sebagai mata entres

Table 1. Analysis of variance of shoot growth variables grafting rubber clones GT1 as root stock and clones GV as a Bud

No. Nama Peubah F hitung Probabilitas

Koefisien Keragaman (%)

1. Keberhasilan okulasi (%) 3,50* 0,03 10,92

2. Kecepatan tumbuh tunas (hari) 3,55* 0,04 15,73

3. Panjang tunas (cm) 8,56* 0,04 18,63

4. Bobot kering tunas (g) 8,55* 0,05 14,25

5. Luas daun total (cm2) 2,43ns 0,06 11,54

Ket. *= nyata bila P<0.05 **= sangat nyata bila P<0.01 tn = tidak nyata P>0.05

Tabel 2. Tingkat Keberhasilan dari okulasi karet Klon GT 1 sebagai batang bawah dan beberapa Klon G V sebagai mata entres

Table 2. The success srate of grafting rubber clones GT1 as root stock and clones GV as a Bud

Klon Parameter Keberhasilan Okulasi (%) Kecepatan Munculnya Mata Tunas (hari) Panjang Tunas (cm) Luas Total Daun (cm2) Bobot Kering Tunas (g) GT 1 96 a 22,12 b 21,80 b 22,28 b 4,04 b PB 260 94 a 28,34 a 32,42 a 26,03 a 6,58 a BPM 24 88 b 23,42 b 20,05 b 22,18 b 3,61 b RRIC 100 81 b 22,34 b 24,08 b 23,99 ab 5,45 a

Ket. : Angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata pada taraf 5 %uji DNMRT

Tabel 1 menunjukkan bahwa koefisien keragaman relatif tinggi (>10%). Fakta ini mengindikasikan bahwa beberapa faktor diluar konsep penelitian mempengaruhi peubah yang diukur. Berdasarkan Steel dan Torie (1995), nilai koefisien keragaman yang relatif tinggi sebaiknya diuji dengan uji beda jarak Duncan Multiple Range Test. Hasil uji lanjut tersebut disajikan pada Tabel 2 berikut ini.

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa setelah umur 28 hari sejak pengokulasian didapatkan bahwa mata entres asal klon GT1 yang di kombinasikan dengan batang bawah klon GT1 menunjukkan persentase keberhasilan yang tinggi yaitu 96% kemudian diikuti oleh mata entres asal klon PB260 sebesar 94%, klon BPM 24 sebesar 88%, serta klon RRIC 100 sebesar 81%. Hal ini menunjukkan bahwa klon-klon mata entres yang digunakan mempunyai perbedaan dalam keberhasilan okulasi yaitu 2-15%. Menurut Gozali dan Boerhendy (2003), bahwa perbedaan tingkat keberhasilan okulasi dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu: (1) Perbedaan karakteristik jaringan mata tunas antar klon sehingga suatu klon lebih mudah diokulasikan dari pada jenis lainnya, (2) Perbedaan kompatibilitas antara jaringan batang atas dan batang bawah.

Penggunaan batang bawah dan mata entres dari klon yang berbeda pada beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan kecenderungan menurunkan keberhasilan okulasi dan pertumbuhan tanaman (Lasminingsih et al, 2000). Perbedaan kompatabilitas jaringan batang atas dan batang bawah pada penelitian ini menyebabkan perbedaan keberhasilan pengokulasian klon BPM 24 dan RRIC

100 di bandingkan dengan klon GT 1 dan PB 260. Keberhasilan okulasi antara batang bawah Klon GT 1 dengan mata entres Klon GT 1 berbeda tidak nyata dengan okulasi antara batang bawah Klon GT 1 dengan mata entres Klon PB 260. Berdasarkan penelitian Toruan-Mathius et al. (2002) ternyata Klon GT 1 dengan Klon PB 260 mempunyai kesamaan genetik mencapai 82%. Faktor kesamaan genetik inilah yang menyebabkan terjadinya kompatibillitas yang tinggi antara batang bawah Klon GT 1 dengan mata entres Klon PB 260.

Tunas mata entres mulai pecah dan tumbuh pada minggu keempat setelah tanaman okulasi ditanam di polibag. Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa waktu munculnya mata tunas bibit karet pada klon PB 260 menunjukan perbedaan yang nyata dibandingkan dengan klon BPM 24, klon RRIC 100 dan GT 1. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi batang bawah klon GT 1 dengan klon PB 260 memberikan waktu munculnya mata tunas lebih lama di bandingkan perlakuan lainnya, dimana rata-rata munculnya mata tunas 28,34 hari. Kecepatan munculnya mata tunas, meskipun sangat dipengaruhi oleh umur mata entres yang dipakai, atau kesesuaian umur antara batang bawahdengan mata entres, namun karena hal tersebut dibuat relatif seragam maka kelihatannya perbedaan ini lebih dipengaruhi oleh karakteristik jaringan antar klon yang diuji. Hasil yang sama juga didapat oleh Sutami et al. (2009), hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pengujian umur batang bawah tidak berpengaruh terhadap keberhasilan sambung Jeruk Siam. Hal ini disebabkan faktor kesamaan jaringan yang lebih dominan.

(5)

Tunas dari klon PB 260 menunjukkan rata-rata panjang tertinggi 32,42 cm dan berbeda nyata dengan klon RRIC 100, GT 1 dan BPM 24, sedangkan rata-rata panjang tunas yang terendah terdapat pada klon BPM 24. Walaupun tunas dari Klon PB 260 menunjukkan muncul mata tunas paling lama, namun tingkat pertumbuhan lebih baik dibanding yang lain. Diduga penyatuan jaringan GT1 dengan PB 260 lebih baik sehingga proses metabolisme dapat disalurkan dengan mudah baik melalui floem maupun xylem. Hasil metabolisme tersebut akan menyediakan bahan baku untuk pertumbuhan dan perkembangan tunas.Ini menunjukkan bahwa kompatibilitas mata tunas memberikan pengaruh berarti terhadap laju pertumbuhan panjang tunas karet karena kompatibilitas antara pengabungan batang bawahdengan mata entres yang baik akan mendukung proses pengangkutan unsur hara dan mineral, dengan kata lain penggunaan bbeerapa klon dalam percobaan ini menyebabkan terjadinya perbedaan panjang tunas dan yang paling kompatibel ditunjukkan oleh data PB 260. Hasil penelitian ini didukung oleh pendapat Tambing et al. (2008) bahwa kampatibilitas batang bawah dengan mata entres sangat mendukung perkembangan tunas okulasi.

Klon PB 260 menghasilkan luas daun tertinggi berbeda tidak nyata dengan RRIC 100, tetapi berbeda nyata dengan klon GT 1 dan klon BPM 24. Perbedaan luas daun ini dimulai dari kecepatan tumbuh tunas yang tinggi dari klon PB 260. Tunas dan daun yang tumbuh cepat merupakan bukti dari kompatibilitas yang tinggi antara batang bawah (Klon GT 1) dengan mata entres dari Klon PB 260. Daun merupakan faktor pendukung pertumbuhan tanaman. Hal ini disebabkan karena daun sebagai organ utama untuk menyerap cahaya dan untuk melakukan fotosintesis pada tanaman. Daun yang luasnya besar akan membuat laju fotosintesis maksimal sedangkan daun yang luasnya kecil menyebabkan fotosintesis rendah, sehingga fotosintat yang dihasilkan relatif sedikit, terutama untuk mengembangkan luas daun sendiri. Ini menunjukkan bahwa unsur hara dan mineral dapat di angkut dan di gunakan dengan baik untuk proses fotosintesis dalam daun sehingga tanaman dapat tumbuh dengan baik ini terlihat pada tingginya luas daun pada klon PB 260 dan RRIC 100. Pada penelitian terhadap bibit kakao, Taufik (2009), menyatakan bahwa luas daun merupakan indikator yang penting dalam seleksi tahap bibit pada tanaman kakao. Diduga, kondisi ini juga berlaku pada tanaman karet.

Klon PB 260 dan klon RRIC 100 memberikan rata-rata bobot kering tunas yang berbeda tidak nyata tetapi berbeda nyata dengan klon GT 1 dan klon BPM 24. Bobot kering merupakan jumlah fotosintesis netto yang dapat dimanfaatkan bibit karet guna menunjang pertumbuhannya. Semakin tinggi bobot kering semakin baik pertumbuhan bibit. Pada percobaan ini bobot kering tertinggi adalah

6,58 g pada klon PB 260 dan diikuti klon RRIC 100 5,45 g yang berbeda nyata dengan klon GT 1 dan BPM 24 berturut-turut 4,04 g dan 3,61 g. Tingginya nilai bobot kering ini di duga berkaitan erat dengan jumlah karbohidrat yang dihasilkan dalam proses fotosintesis yang berlangsung dalam tanaman. Menurut Salisbury dan Ross (1993) kecepatan fotosintesis dinyatakan dengan derajat asimilasi netto, yang nilainya diukur setiap luas daun. Dengan demikian secara singkat dapat dipahami dengan meningkatnya luas daun maka meningkat pula kecepatan fotosintesis yang pada akhirnya akan meningkatkan fotosintat. Sebagian fotosintat akan ditranslokasikan ke organ-organ yang membutuhkan dan kegiatan respirasi serta sisanya akan diakumulasikan sebagai bahan kering. Dengan semakin meningkatnya fotosintat yang terbentuk makin meningkat pula bobot kering tanaman.

Penilaian warna daun dilakukan dengan cara membuat kategori berdasarkan warnanya. Uji chi square (X2) menunjukan bahwa perlakuan asal klon tidak berhubungan dengan warna daun dari masing- masing klon karet.

Tabel 3. Warna daun bibit karet menurut beberapa perlakuan klon batang bawah GT 1 dengan mata entres beberapa klon G V

Table 3. Leaf color rubber seedlings by some treatments root stock clones GT1 with several clones GV Bud

Klon Warna Daun Total Seragam Hijau Hijau Kekuning-kuningan Merah Kecoklatan GT 1 PB 260 BPM 24 RRIC 100 11 8 9 14 6 7 7 3 1 3 2 1 18 18 18 18 Total 42 23 7 72

Warna daun pada bibit tanaman karet menunjukan fase pertumbuhan tunas apikal. Setelah melalui fase istirahat tunas apikal memanjang bersamaan dengan pengembangan panjang daun (perdaun), pada awalnya daun berwarna merah kecoklatan kemudian tumbuh, berubah warna menjadi hijau kekuningan dan akhirnya menjadi hijau tua. Fase-fase ini akan terlihat jelas pada pertumbuhan bibit yang tidak subur (nutrisi meneral yang tersedia rendah), bibit pada penelitian ini kelihatanya tidak ada hubungan antara klon-klon yang dicabangkan terhadap warna daun atau fase perkembangan daun menunjukkan bahwa fase itu lebih dipengaruhi oleh kondisi lingkungan bukan sifat genetis klon.

Serangan hama tidak terjadi karena pembibitan menggunakan jaring sebagai pagar sehingga tanaman terhindar dari serangan hama besar sedangkan serangan serangga tidak ada kemungkinan karena hama tersebut tidak terdapat

(6)

dilokasi pembibitan, sehingga pengkategorian hanyalah pada tanaman terserang penyakit atau tidak terserang.

Tabel 4. Serangan penyakit bibit karet menurut beberapa perlakuan klon batang bawah GT 1 dengan mata entres beberapa klon G V

Table 4. Rubber seedling disease by several treatments root stock clones GT1 with several clones GV Bud

Klon Perlakuan Serangan Penyakit Total Tidak Terserang Terserang Penyakit GT 1 PB 260 BPM 24 RRIC 100 14 14 14 18 4 4 4 - 18 18 18 18 Total 60 12 72

Uji chi squarre (X2 ) menunjukkan bahwa X2 hitung lebih kecil dari pada X2 tabel pada taraf 5%. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan klon tidak berhubungan terhadap serangan penyakit.Karena ketahanan tanaman karet terhadap serangan penyakit adalah sifat karakter yang berasal dari klon itu sendiri, bukan karena pengkombinasian antara batang bawah dan batang atas, dan tidak ada suatu klon yang bersifat universal terhadap serangan penyakit. Kelihatanya ketahanan terhadap serangan hama penyakit tidak merupakan karakter genetik khusus dari klon-klon yang digabungkan.

SIMPULAN

1. Keberhasilan tertinggi didapat dari kombinasi

batang bawah dengan mata entres GT 1 dengan GT 1 dan GT 1 dengan PB 260.

2. Kerberhasilan pertautan GT 1 dengan PB 260

menyebabkan aliran hara dari batang bawah dan aliran fotosintat dari perkembangan mata entres menjadi lancar dan terlihat dari pengamatan peubah panjang tunas, luas daun total, dan bobot kering tunas.

3. Perbedaan panjang tunas, luas daun total, dan

bobot kering okulasi batang bawah Klon GT 1 dengan mata entres Klon PB 260 dibandingkan kombinasi lain berturut-turut adalah 49%, 18%, dan 50%.

4. Tidak ada hubungan antara warna daun bibit dan

ketahanan bibit terhadap serangan penyakit dengan asal klon yang diokulasi.

DAFTAR PUSTAKA

Amypalupy, K. 2003. Produksi Bahan Tanam Karet. Sapta Bina Usahatani Karet Rakyat. Balai Penelitian Karet Sembawa.Sumatera Selatan. Badan Koordinasi Penanaman Modal. 2011.

Regional investment. Badan Koordinasi Penanaman Modal Provinsi Indonesia. Jakarta (www.bkpm.go.id, diakses l 7 Oktober 2012)

Balai Penelitian Getas. 2005. Pembibitan Kebun Karet Unggul, Seri Buku Saku 03. Pusat Penelitian Karet. Getas

Balai Penelitian Sembawa, 2010. Klon Karet Anjuran Tahun 2010-2014.Balai Penelitian Karet Sembawa.Sumatera Selatan.

Biro Pusat Statistik.2011.Statistik Perkebunan Indonesia.Biro Pusat Statistik Indonesia. Jakarta (www.bps.go.id, diakses tanggal 7 Oktober 2012)

Gozali A.D. dan Boerhendhy I. 2003. Pembangunan Batang Bawah. Sapta Bina Usahatani Karet

Rakyat. Balai Penelitian

KaretSembawa.Sumatera Selatan.

Lasminingsih, M; Kuswanhadi dan Boerhendhy I. 2000. Pendugaan kompatibilitas batang bawah dan batang atas pada tanaman karet dengan analisa daya gabung. Zuriat. 11: 1-7

Salisbury, F.B., and C.W. Ross. 1992. Plant Physiology. Fourth Edition.Wadsworth Publishing Company Belmont. California. Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1993. Prinsip dan

Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan oleh : M . Badaraja dan R. Korawi. Gramedia. Jakarta, Indonesia. 748 p Sutami, A. Mursyid dan G. M.S. Noor. 2009. Pengaruh umur batang bawah dan panjang entres terhadap keberhasilan sambung bibit Jeruk Siam Banjar Baru label biru. Jurnal Agroscientiae. 16: 146-154

Tambing, Y, E. Adelina, T. Budiarti, dan E. Murniati. 2008. Kompatibilitas batang bawah nangka tahan kering dengan entris nangka asal Sulawesi Tengah dengan cara sambung pucuk. Jurnal Agroland. 15: 95-100

Taufik, M., Gustian, A. Syarif, dan I. Suliansyah. 2009. Seleksi hibrid F1 kakao berproduksi tinggi pada fase bibit memanfaatkan analisis diskriminan. Akta Akrosia. 12: 106-114

Toruan-Mathius, Lizawati, H. Aswidinoor, dan I. Boerhendy. 2002. Pengaruh batang bawah terhadap pola pita isoenzim dan protein batang atas pada okulasi tanaman karet (Hevea

brasiliensis Muell Arg.). Menara Perkebunan.

Referensi

Dokumen terkait

Ada perbedaan nyata antara harapan dan kondisi mutu layanan kesehatan yang dipersepsikan oleh masyarakat pengguna puskesmas di wilayah ker- ja Puskesmas Buhit dan Puskesmas Mogang

Keenam bentuk pelanggaran tersebut adalah (1) pelanggaran maksim penghargaan meliputi tuturan ejekan, cacian, dan merendahkan orang lain; (2) pelanggaran maksim kedermawanan

[r]

didik dan bersikap antusias dan positif. Guru memberikan respon yang lengkap dan relevan kepada komentar atau pertanyaan peserta didik. Guru menggunakan pertanyaan

Sebagaimana El Gibore dalam kisah Gideon tampil sebagai Allah yang melepaskan bangsa Israel dari kemelaratan karena penindasan orang-orang Midian, maka tema tentang Allah

Terkait dengan upaya menelaah potensi pengembangan Sendratari ke depan tidak dapat dilepaskan untuk memahami aktor- aktor yang terlibat (stakeholder)

Jika pada algoritma SLIQ nilai gini index dihitung dari jumlah rekod pada suatu atribut yang berasosiasi dengan kelas tertentu, maka pada pohon keputusan fuzzy berbasis gini ,

Dari hasil pengolahan data terlihat sebaran nilai resistivitas yang besar (hingga  8100  m) karena lokasi ini didominasi oleh batuan beku berupa granitan dan