• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. beberapa negara. Istilah Asia Tenggara pertama kali diperkenalkan oleh pasukan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. beberapa negara. Istilah Asia Tenggara pertama kali diperkenalkan oleh pasukan"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kawasan Asia Tenggara merupakan salah satu wilayah yang dihuni oleh beberapa negara. Istilah Asia Tenggara pertama kali diperkenalkan oleh pasukan sekutu yang terdapat di wilayah Asia Tenggara pada waktu itu dengan nama Komando Asia Tenggara (Southeast Asia Command) yang berpangkalan di Kolombo, karena wilayah Asia Tenggara sedang diduduki oleh Jepang selama

perang dunia II berlangsung.1

Persaingan antara kedua blok tersebut menjadikan kawasan ini tempat persaingan militer antara kedua kekuatan adidaya tersebut pula. Blok Komunis di bawah komando Uni Soviet menempatkan pangkalan militernya di Vietnam, sedangkan blok Barat di bawah komando Amerika Serikat menempatkan pangkalan militernya di Filipina.

Secara geopolitik dan geoekonomi, kawasan ini memiliki nilai strategis. Hal itu terbukti pada masa perang dingin antara blok Barat dan blok Timur terdapat persaingan yang terlihat jelas dengan konflik Vietnam Utara yang dikuasai oleh komunis atau Uni Soviet dan Vietnam Selatan yang dikuasai oleh Amerika Serikat.

2

1

Sjamsudar Dam, Riswandi. 1995. Kerja Sama ASEAN : Latar Belakang, Perkembangan, dan Masa Depan (Jakarta: Ghalia Indonesia), hlm 17.

2

Tim Penyusun. 2010. ASEAN Selayang Pandang Edisi ke-19 Tahun 2010 (Jakarta: Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia), hal. 1.

Selain konflik dari dua negara adidaya tersebut, negara-negara di kawasan ini juga terlibat konflik masing-masing seperti yang

(2)

terjadi antara Laos, Kamboja, dan Vietnam, kemudian konflik bilateral antara Indonesia dengan Malaysia.

Situasi persaingan tersebut menyebabkan kekhawatiran dari pemimpin negara-negara di kawasan ini akan terjadinya konflik bersenjata yang merugikan. Kesadaran itu kemudian menimbulkan gagasan untuk membentuk suatu kerjasama agar tidak terjadi saling curiga di antara negara-negara di kawasan ini. Untuk mewujudkan gagasan para pemimpin tersebut beberapa inisiatif yang telah dilakukan, antara lain, adalah pembentukan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Association of Southeast Asia (ASA), Malaya–Philippina–Indonesia (MAPHILINDO), Traktat Organisasi Asia Tenggara (South East Asia Treaty Organization / SEATO), dan Dewan Asia-Pasifik (Asia and Pacific Council / ASPAC).3

Menanggapi hal itu Menteri Luar Negeri Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand melakukan berbagai pertemuan konsultatif secara intens. Sehingga disepakati suatu rancangan Deklarasi Bersama (Joint Declaration) yang isinya mencakup, kesadaran perlunya meningkatkan saling pengertian untuk hidup bertetangga secara baik dan membina kerja sama yang bermanfaat di antara negara-negara di kawasan yang terikat oleh pertalian sejarah dan budaya.

Pembentukan berbagai aliansi atau usaha mengikat negara-negara di kawasan itu tidak berlangsung dengan mudah. Kegagalan dari pembentukan ikatan sebelumnya kembali menimbulkan gagasan untuk dapat hidup berdampingan antara negara-negara di kawasan ini secara damai dan aman.

4 3 Ibid, hal. 2. 4 Ibid. Sebagai

(3)

tindak lanjut dari kesepakatan pembentukan deklarasi itu maka tepat pada tanggal 8 Agustus 1967 bertempat di Bangkok dilakukan pertemuan perwakilan dari lima negara yaitu, Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura, dan Filipina menandatangani deklarasi ASEAN atau sering juga disebut deklarasi Bangkok.

Deklarasi tersebut menjadi pertanda berdirinya suatu organisasi regional yang dinamai Association of Southeast Asia Nations (ASEAN). Sejak awal didirikannya ASEAN bercita-cita untuk mewujudkan Asia Tenggara bersatu, sehingga keanggotaan ASEAN telah mengalami perluasan menjadi sepuluh negara (Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Brunei Darussalam

1984, Vietnam 1995, Laos 1997, Myanmar 1997, dan Cambodia 1999).5

Peningkatan potensi masalah ini kemudian menimbulkan kritik terhadap ASEAN sebagai suatu organisasi yang dianggap tidak begitu memiliki kekuatan dalam menyelesaikan permasalahan anggotanya. Prinsip non-intervensi dianggap sebagai salah satu penyebabnya. Prinsip tersebut menjadi dasar utama dalam hubungan antarnegara anggota dan dipegang teguh oleh para negara anggotanya dengan dasar sovereignty.

Peningkatan kuantitas anggota ini secara otomatis meningkatkan potensi sengketa antar negara anggota ASEAN baik itu masalah keamanan, perbatasan, ketenagakerjaan, dan berbagai masalah lainnya.

6

5

C.P.F. Luhulima, dkk. 2008. Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas ASEAN 2015. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hal. 4.

6

Ibid. hal. 4

Prinsip yang berhasil mempersatukan ASEAN selama 40 tahun tersebut apabila dapat dilakukan lebih fleksibel diperkirakan dapat

(4)

membuka peluang penyelesaian permasalahan internal dari negara-negara anggotanya.

Keadaan ini menimbulkan kesadaran dari negara-negara anggota bahwa ASEAN belum mewujudkan suatu perasaan kolektif yang menjadikan negara-negara ASEAN sebagai keluarga. Keinginan untuk menciptakan suatu perasaan kolektif ini diwujudkan dengan ide pembentukan komunitas Asia Tenggara yang “saling perduli dan berbagi” yang disampaikan pada 15 Desember 1997 di Kuala Lumpur yang dikenal dengan “ASEAN Vision 2020”. Angka 2020 adalah sama dengan batas akhir dari transisi menuju globalisasi ekonomi yang pada saat itu

ditandai oleh kebebasa arus barang, jasa dan orang pada skala dunia.7

Selanjutnya, untuk merealisasikan harapan tersebut, ASEAN mengesahkan Bali Concord II pada KTT ASEAN ke-9 di Bali tahun 2003 yang menyepakati pembentukan Komunitas ASEAN (ASEAN Community).

Kondisi persaingan global yang bebas itu diperkirakan akan memberikan dampak yang dahsyat bagi kawasan Asia Tenggara hingga dibutuhkan suatu komunitas yang akan membentuk rasa kebersamaan dalam menghadapi persaingan global.

8

7

Ibid. hal. 5

8

Tim Penyusun. 2010. ASEAN Selayang Pandang Edisi ke-19 Tahun 2010. ( Jakarta: Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia) hal.4.

Para pemimpin negara-negara ASEAN memproklamirkan pembentukan komunitas ASEAN (ASEAN Community) yang terdiri atas tiga pilar, yakni Komunitas Kemanan ASEAN (ASEAN Security Community- ASC), Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community-AEC), dan Komunitas Sosial-Budaya ASEAN (ASEAN Socio-Cultural Community-ASCC) yang saling mengikat dan memperkuat untuk

(5)

mencapai tujuan bersama demi menjamin perdamaian yang dapat dipertahankan,

stabilitas dan kemakmuran yang terbagi di kawasan Asia Tenggara.9

Pada KTT ASEAN ke-10 di Vientiane, Laos, tahun 2004, konsep Komunitas ASEAN mengalami kemajuan dengan disetujuinya tiga Rencana Aksi

(Plan of Action/ PoA) untuk masing-masing pilar.10 Ketiga rencana aksi tersebut

dimasukkan ke dalam Vientiane Action Programme (VAP) sebagai pedoman ASEAN untuk jangka pendek dan menengah (2004-2010) yang terfokus pada usaha untuk melakukan integrasi dan persempitan kesenjangan di dalam ASEAN. Selanjutnya KTT ASEAN ke-11 pada tahun 2006 di Kuala Lumpur

mendeklarasikan pembentukan piagam ASEAN.11

Selanjutnya, pada KTT ASEAN ke-12 di Cebu, Filipina, melalui Deklarasi Cebu mengenai Cetak Biru Piagam ASEAN para Kepala Negara/Pemerintahan ASEAN kemudian menginstruksikan para Menteri Luar Negeri negara-negara ASEAN untuk membentuk Gugus Tugas Tingkat Tinggi mengenai penyusunan Piagam ASEAN (High Level Task Force on the drafting of the ASEAN Charter/HLTF), yang akan menindaklanjuti hasil rekomendasi EPG menjadi suatu

draf Piagam ASEAN.12

9

C.P.F. Luhulima, dkk. Op Cit. hal. 5-6.

10

Tim Penyusun. Op Cit. hal. 4.

11

Ibid. hal. 7.

12

Ibid. hal. 7-8.

Melalui perundingan yang panjang dari para pemimpin negara-negara ASEAN, maka pada KTT ASEAN ke-13 di Singapura tahun 2007 ditandatanganilah Piagam ASEAN yang terdiri atas Mukadimah, 13 Bab, 55 Pasal, dan lampiran-lampiran lainnya.

(6)

Melalui penandatanganan itu maka dimulailah proses ratifikasi oleh kesepuluh negara anggota ASEAN. Hingga pada 15 Desember 2008 mulailah diberlakukan Piagam ASEAN tersebut setelah semua negara melakukan ratifikasi dan menyampaikan instrumen ratifikasinya kepada Sekretariat ASEAN. Piagam ASEAN (ASEAN Charter) mengubah ASEAN dari organisasi yang longgar (loose association) menjadi organisasi yang berdasarkan hukum (rules-based organization) dan menjadi subjek hukum (legal personality).13

Sebelum diterapkannya Piagam ASEAN tersebut, tepatnya pada KTT ASEAN ke -12 yang diselenggarakan di Cebu, Filipina telah disepakati percepatan pembentukan komunitas ASEAN di tahun 2015 dan pembentukan Cetak Biru dari ketiga pilar komunitas ASEAN. Para pemimpin negara-negara di ASEAN sepakat untuk mewujudkan One Caring and Sharing Community pada 2015 atau lima tahun lebih awal dibandingkan kesepakatan di Kuala Lumpur pada tahun 1997. Komunitas ASEAN akan diwarnai pencapaian kerja sama, solidaritas, bersama melawan kemiskinan, dan menikmati rasa aman, termasuk keamanan manusia (human security).

14

Rasa aman yang dimaksud ini merupakan salah satu hal yang ingin diwujudkan oleh salah satu pilar Komunitas ASEAN yaitu Komunitas Keamanan ASEAN. Penggunaan istilah Komunitas Keamanan ASEAN (ASEAN Security Community/ASC) sebagaimana dicantumkan di dalam Rencana Aksi Vientianne (Vientianne Action Plan/VAP) diubah menjadi Komunitas Politik-Keamanan

13

Ibid. hlm 5.

14

(7)

ASEAN (ASEAN Political-Security Community/APSC) sebagaimana dipakai

dalam Piagam ASEAN.15 Komunitas keamanan ini sendiri merupakan konsep

yang berbeda dari aliansi dan sistem keamanan kolektif. Aliansi tumbuh sebagai akibat dari munculnya persepsi tentang adanya musuh bersama atau ancaman luar. Komunitas keamanan sebaliknya, tumbuh dari kehadiran kepentingan dan

identitas bersama di antara-negara anggotanya.16

Komunitas keamanan juga berbeda dari sistem keamanan kolektif. Sistem keamanan kolektif menekankan pemberian sanksi terhadap negara yang melanggar aturan. Kemudian, sistem ini juga mendukung penggunaan kekuatan militer dalam menyelesaikan masalah. Sedangkan komunitas keamanan sangat menghindari hal-hal tersebut. Komunitas keamanan mengupayakan adanya penciptaan suatu identitas bersama dari tiap negara anggotanya secara bersama

dan terus menerus hingga dapat menjaga stabilitas negara-negara anggotanya.17

a. Komunitas Berbasis Aturan dengan Nilai dan Norma Bersama (A Rules-based

Community of Shared Values and Norms)

Berdasarkan hal tersebut, Komunitas Politik-Keamanan ASEAN membentuk suatu cetak biru untuk menjadi acuan dari pelaksanaan komunitas politik-keamanan tersebut.

Cetak biru dari Komunitas Politik-Keamanan ASEAN atau yang sering disebut APSC Blueprint tersebut mengandung tiga karasteriktik utama. Tiga karakteristik tersebut adalah :

15

Tim Penyusun. Op Cit. hal. 20.

16

Bambang Cipto. 2010. Hubungan Internasional di Asia Tenggara : Teropong Terhadap Dinamika, Kondisi

Riil, dan Masa Depan. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar), hal. 7. 17

(8)

b. Sebuah Wilayah Terpadu, Damai dan Tangguh dengan Tanggung Jawab Bersama untuk Keamanan Menyeluruh (A Cohesive, Peaceful, Stable and Resilient Region with Shared

Responsibility for Comprehensive Security)

c. Kawasan yang Dinamis dan Berpandangan Keluar dalam Dunia yang Semakin Terintegrasi dan Saling Bergantung (A Dynamic and Outward Looking Region in an

Increasingly Integrated and Interdependent World).18

Perubahan cetak biru dari ketiga pilar Komunitas ASEAN terjadi pada KTT ke 27 di Kuala Lumpur tahun 2015 yang disesuaikan dengan Visi ASEAN 2025. Terdapat perubahan pada cetak biru APSC yang mengubah karakteristik menjadi empat, yaitu :

a. Komunitas berbasis nilai, berorientasi pada masyarakat, berpusat pada masyarakat (Ruled Based, People-Oriented, People-Centred Community).

b. Kawasan damai, aman, dan stabil (Peaceful, Secure, and Stable Region).

c. Sentralitas ASEAN dalam kawasan yang dinamis dan berpandangan ke luar (ASEAN Centrality in A Dinamic and Outward-Looking Region). d. Penguatan kapasitas dan kehadiran institusi ASEAN (Strengthened

ASEAN Institutional Capacity and Presence).19

Sebagai sebuah komunitas keamanan, APSC mengedepankan langkah-langkah preventif atau pencegahan terhadap berbagai ancaman keamanan. Keamanan yang dimaksud dalam APSC bukan hanya yang menyangkut isu-isu

18

ASEAN Political-Security Community Blueprint. (Jakarta : Sekretariat ASEAN), hal. 2.

19

(9)

keamanan tradisional. Keamanan tradisional itu mengacu pada situasi atau keadaan di mana unsur-unsur pokok yang membentuk suatu negara seperti kedaulatan wilayah, penduduk, atau warganegara, basis ekonomi, pemerintah,

konstitusi dapat berjalan sebagaimana mestinya tanpa gangguan dari pihak lain.20

Masalah keamanan non tradisional juga masuk sebagai bagian dalam cetak biru APSC. Keamanan non tradisional sendiri merupakan konsep keamanan yang memperhatikan aspek non militer baik dari segi ekonomi, kesehatan, lingkungan hidup, hingga hak asasi manusia.

21

Masalah keamanan non tradisional yang dimasukkan ke dalam cetak biru APSC antara lain kejahatan transnasional, terorisme, perdagangan narkoba, perdagangan manusia, penyelundupan senjata, cybercrimes, pengamanan lintas batas, dan penanganan bencana.22

Masalah keamanan non tradisional yang dimasukkan dalam cetak biru APSC tersebut menunjukkan adanya upaya membentuk kesamaan pandangan dalam melihat ancaman dari sisi keamanan non tradisional. Kesamaan pandangan tersebut merupakan salah satu ciri dari komunitas politik-keamanan. Sebagai upaya menjaga keberlangsungan kesamaan pandangan tersebut, APSC melalui cetak birunya memberikan panduan berbagai tindakan yang harus dilakukan dalam menghadapai isu-isu keamanan non tradisional di kawasan. Tindakan yang dimaksud berupa penguatan kapabilitas nasional masing-masing negara.

20

Lihat : Aleksius Jemadu. 2014. Politik Global dalam Teori dan Praktek edisi 2. (Yogyakarta : Graha Ilmu) hal. 107.

21

Ibid hal. 109.

22

(10)

Kapabilitas nasional itu dapat berupa peraturan atau dasar hukum, dan badan-badan.

Penguatan kapabilitas nasional di negara masing-masing merupakan upaya untuk menciptakan kesamaan pandangan dan pemerataan kekuatan dalam menghadapi ancaman keamanan non tradisional. Hal tersebut dilakukan karena cetak biru APSC menyatakan penghormatan prinsip independensi, kedaulatan,

kesetaraan, integritas wilayah, non interference, dan identitas nasional.23

1.2. Rumusan Masalah

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa permasalahan tiap negara tidak dapat diurusi oleh negara lain yang ada di dalam kawasan. Penguatan tersebut juga dilakukan di tiap negara demi menjaga kedaulatan negara seiring dengan upaya mewujudkan kawasan yang aman, damai dan stabil.

Masalah keamanan non tradisional ialah ancaman terhadap keamanan manusia yang ada di dalam suatu negara. Masalah keamanan non tradisional itu dapat berupa kejahatan transnasional, terorisme, perdagangan narkoba, perdagangan manusia, penyelundupan senjata, cybercrimes, pengamanan lintas batas, dan penanganan bencana. Masalah keamanan non tradisional ini berbeda dengan masalah keamanan tradisional yang mengancam kedaulatan sebuah negara karena bentuk ancamannya berbentuk perang untuk merebut wilayah, atau pemaksaan terhadap penerapan ideologi tertentu.

23

(11)

Penanganan yang dilakukan pun berbeda, masalah keamanan tradisional ini harus dihadapi dengan kekuatan militer sedangkan masalah keamanan non tradisional dapat dihadapi dengan penguatan undang-undang, badan-badan sektoral, serta kerjasama antar negara seperti yang dilakukan Indonesia dengan mengikuti APSC. Namun, prinsip-prinsip yang ada di dalam cetak biru APSC seperti disebutkan sebelumnya memberikan dilema tersendiri dalam mewujudkan komunitas politik-keamanan ASEAN. Penguatan kapabilitas nasional untuk menghadapi ancaman keamanan non tradisional pun mesti dilakukan tiap negara berdasarkan kondisi keamanan non tradisional di dalam negerinya masing-masing. Hal tersebut terjadi karena kondisi keamanan non tradisional di tiap negara berbeda dan negara lain tidak dapat ikut campur dalam menangani permasalahan tersebut.

Begitu pula yang terjadi di Indonesia sebagai negara yang ikut tergabung dalam APSC dan memiliki masalah ancaman terorisme dan narkoba. Indonesia harus melakukan penguatan terhadap undang-undang dan peraturan lain serta badan-badan di Indonesia untuk mengurusi permasalahan terorisme dan narkoba. Kedua permasalahan ini akan menjadi pokok pembahasan karena dalam cetak biru APSC sendiri terdapat perhatian lebih terhadap kedua permasalahan ini. Hal itu ditunjukkan dengan terdapatnya 12 tindakan dalam kategori terorisme dan 14 tindakan dalam kategori narkoba, jumlah tersebut lebih banyak dibanding dengan jenis ancaman keamanan non tradisional lainnya.

(12)

Kapabilitas nasional menjadi hal penting karena dalam komunitas politik-keamanan ASEAN, Indonesia tidak dapat berharap bantuan dari negara lain dalam menghadapi ancaman terorisme dan narkoba. Oleh sebab itu muncul pertanyaan, bagaimana undang-undang, peraturan lainnya, badan-badan dan kerjasama antar negara ASEAN yang dilakukan Indonesia dalam ruang lingkup APSC untuk mencegah dan menangani masalah terorisme dan narkoba?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini ditujukan untuk :

1. Mengetahui bagaimana penetapan sektor-sektor keamanan non tradisional oleh ASEAN dan Indonesia.

2. Mengetahui kapabilitas nasional Indonesia untuk melaksanakan cetak biru APSC dalam bidang keamanan non tradisional.

3. Mengetahui apa yang telah dilakukan oleh Indonesia sebagai pelaksanaan langkah-langkah cetak biru APSC di bidang keamanan non tradisional.

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini, ialah :

1. Menggambarkan kemampuan dari undang-undang, badan-badan dan kerja sama antar negara ASEAN yang dilakukan Indonesia dalam menangani masalah terorisme dan narkoba dalam rangka pelaksanaan APSC.

2. Mendeskripsikan kesenjangan antara undang-undang, badan-badan sektoral untuk menghadapi ancaman terorisme dan narkoba dalam pelaksanaan APSC di Indonesia.

(13)

1.5. Kerangka Teori 1.5.1. Realisme

Realisme merupakan sebutan yang digunakan dalam berbagai macam disiplin ilmu. Ilmu politik merupakan salah satu disiplin ilmu yang menggunakan istilah realisme, khususnya dalam ranah hubungan internasional. Realisme pada umumnya dianggap sebagai tradisi teoritis paling berpengaruh dalam hubungan

internasional.24

Keamanan kolektif ini akan menyebabkan apabila ada negara yang melakukan agresi akan berhadapan dengan kekuatan kolektif opini dunia dan militer. Pada akhirnya, kesepakatan internasional seperti Liga Bangsa-Bangsa akan terbentuk sebagai sebuah mekanisme bagi resolusi konflik yang damai.

Hal itu disebabkan oleh pemikiran realisme yang lahir dari kritik secara keras kepada internasionalisme liberal dan pengaruh pemikiran ini terhadap praktek diplomasi internasional. Realisme mengkritik pemikiran liberalisme dalam hubungan internasional yang mengedepankan kemungkinan munculnya sistem keamanan kolektif.

25

24

Scott Burchill, Andrew Linklater. 2011. Teori-Teori Hubungan Internasional (Bandung : Nusa Media) hal. 90.

25

Ibid. hal. 91.

Namun, sifat imajiner atau lebih fokus pada harapan perdamaian dunia yang dikemukakan oleh pemikiran liberal ini melupakan pada analisis fakta yang terjadi. Kegagalan Liga Bangsa-Bangsa mencegah invasi Jepang atas Manchuria dan pendudukan Italia atas Etopia telah menghancurkan harapan banyak kaum

(14)

liberal yang percaya bahwa dunia dapat menjadi damai hanya dengan berharap saja.26

Menurut Carr, yang diperlukan adalah pendekatan yang tepat yang lebih menekankan realitas kekuasaan politik internasional daripada pendekatan yang menjadikan ‘suatu harapan mengenai bagaimana dunia seharusnya’ sebagai sebuah dasar pemikiran: dengan kata lain, lebih cenderung pada kenyataan

daripada yang seharusnya.27

Realisme menggambarkan manusia sebagai makhluk yang haus akan kekuasaan. Manusia dianggap akan selalu mengejar kekuasaan di manapun dia berada. Menurut Hans J. Morgenthau politik adalah perjuangan memperoleh kekuasaan atas manusia, dan apa pun tujuan akhirnya, kekuasaan adalah tujuan terpentingnya dan cara-cara memperoleh, memelihara, dan menunjukkan kekuasaan menentukan teknik tindakan politik.

Kondisi ini menunjukkan bahwa realime merupakan pemikiran yang menekankan pada penerimaan fakta dan analisis atas sebab dan dampaknya.

28

Pemikiran itu memiliki kesamaan dengan pemikiran realisme Thucydides, Machiavelli, dan Hobbes yang mengemukakan bahwa tujuan kekuasaan, alat-alat kekuasaan, dan penggunaan

kekuasaan merupakan perhatian utama aktivitas politik.29

Pemikiran itu menggambarkan politik internasional sebagai politik kekuasaan, arena persaingan , konflik, dan perang antara negara-negara. Hal itu 26 Ibid. hal. 91-92. 27 Ibid.hal. 92 28

Robert Jackson dan Georg Sorensen. 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hal. 88

29

(15)

menyebabkan muncul asumsi bahwa politik dunia berkembang dalam anarki internasional, yaitu sistem tanpa adanya kekuasaan yang berlebihan, tidak ada

pemerintahan dunia.30 Negara-negara merupakan aktor utama dalam hubungan

internasional. Dalam keadaan anarkis, tiap negara harus menolong dirinya sendiri

atau self-help.31

Dasar normatif realisme adalah keamanan nasional dan kelangsungan hidup negara.

Keadaan anarkis dalam hubungan internasional ini tidaklah menempatkan negara-negara dalam posisi yang sejajar. Tedapat hirarki internasional atas kekuasaan negara-negara yang didominasi oleh negara dengan kekuatan besar (great powers) yang menggunakan dominasinya untuk memperjuangkan kepentingan nasionalnya.

32

30

Ibid.hlm 89.

31

Abu Bakar Eby Hara. 2011. Pengantar Analisis Politik Luar Negeri : dari Realisme sampai

Konstruktivisme (Bandung: Nuansa) hal. 36. 32

Robert Jackson dan Georg Sorensen. Op Cit. hal. 89.

Tindakan negara-negara dalam hubungan internasional yang berbentuk kebijakan politik luar negeri didasarkan pada keinginan untuk mempertahankan eksistensinya dan keamanannya secara terus menerus. Negara dipandang sangat vital bagi kehidupan warganya, negara bertindak sebagai pelindung wilayah, penduduk dan kebudayaannya. Kepentingan nasional adalah sebagai penentu dalam membuat kebijakan politik luar negeri. Fakta bahwa tiap negara mengejar pencapaian kepentingan nasionalnya menjadikan tiap negara tidak dapat dipercaya satu sama lainnya. Hal inilah yang menyebabkan

(16)

kesepakatan internasional bersifat sementara dan kondisional atas dasar keinginan

negara untuk mematuhinya.33

Secara garis besar, realisme sebagai teori dibagi menjadi dua yaitu realisme klasik dan realisme modern atau neorealisme. Realisme klasik merupakan hasil dari pemikiran tokoh-tokoh seperti Thucydides yang menganggap hubungan antar bangsa sebagai konflik dan kompetisi yang tidak dapat dihindari antara negara-kota Yunani Kuno dan antara Hellas dan kekaisaran

non-Yunani di sekitarnya, seperti Macedonia atau Persia.34

Selain Thucydides adapula Machiavelli, yang dalam ajaran politiknya ada dua hal penting dalam pelaksanaan kebijakan luar negeri, yaitu kekuasaan dan penipuan. Menurutnya, nilai politik tertinggi adalah kemerdekaan serta adanya tanggung jawab penguasa yang berupaya mencari keunggulan dan mempertahankan kepentingan negaranya dan menjamin kehidupannya. Hal itu membutuhkan kekuatan serta kecerdikan untuk memanfaatkan hubungan dengan negara lain sebagai sarana pencapaian kepentingan nasional. Teori realis klasiknya merupakan teori kelangsungan hidup negara.

Negara-negara pada saat itu juga memiliki kekuatan yang tidak setara dan perbedaan itu tidak dapat dihindari antara negara-negara besar dan kecil pada saat itu.

35

Kemudian, Hobbes juga menjadi realis klasik. Hobbes menyatakan bahwa keadaan alami merupakan lingkungan manusia yang sangat tidak bersahabat di

33 Ibid. 34 Ibid. hal. 91-92. 35 Ibid. hal. 94.

(17)

mana terdapat keadaan perang setiap manusia terhadap setiap manusia.36

Kondisi alamiah ini akan menyebabkan konflik antara satu negara dengan negara lain dan sangat sulit untuk menyelesaikannya. Hal ini berbeda dengan menangani kondisi alamiah manusia karena tidak akan ada negara yang mau menyerahkan kedaulatannya untuk menjamin keamanan global. Akan tetapi, menurut Hobbes, negara-negara dapat juga membuat perjanjian satu sama lain untuk menyediakan dasar hukum bagi hubungannya. Hukum internasional dapat menenangkan keadaan alami internasional dengan menyediakan kerangka persetujuan dan aturan yang menguntungkan semua negara.

Hobbes yakin pula dapat menyelesaikan masalah tersebut dengan pembentukan negara berdaulat. Negara berdaulat itu akan menjadikan manusia membentuk perjanjian keamanan yang menjamin keselamatan mereka. Akan tetapi terjadi dilema keamanan dimana penciptaan satu negara berdaulat akan menciptakan kondisi alami di antara negara-negara lain dalam politik dunia.

37

Setelah itu ada pula Hans J. Morgenthau yang mempercayai bahwa secara alami manusia dilahirkan untuk mengejar kekuasaan dan memperoleh hasil dari kekuasaan.

Akan tetapi hukum itu hanya akan dipatuhi jika berada dalam kepentingan keamanan dan kelangsungan hidup negara untuk melakukannya, dan apabila tidak hukum itu akan diabaikan. 38 36 Ibid. hlm 96. 37 Ibid. hal. 98. 38 Ibid.hal. 99.

Kemudian, dalam mengejar kekuasaan dan pencarian keuntungan dari kekuasaan itu, manusia akan mencari wilayah politik yang menjamin

(18)

keamanannya. Wilayah politik yang dapat mengatur keamanannya ini adalah negara karena mustahil ada keamanan di luar negara. Dalam politik internasional, kalau mengikuti realisme klasik seperti Morgenthau, negara-negara masih diangap memiliki tujuan dan aspirasi politik luar negeri sendiri dan tidak sepenuhnya

dipengaruhi oleh distribusi kekuasaan pada struktur internasional.39

1. Politik ditentukan oleh hukum-hukum objektif yang berakar pada kodrat manusia. Hukum ini tidak berubah dari waktu ke waktu dan kedap terhadap pilihan manusia. Hukum-hukum ini memberikan kita kepastian dan kepercayaan dalam memperhitungkan sikap politik yang rasional.

Ada enam prinsip realisme politik yang diungkapkan oleh Morgenthau, yaitu :

2. Kunci untuk memahami politik internasional adalah mendefenisikan konsep kepentingan dalam kaitannya dengan kekuasaan. Dengan merujuk pada konsep ini kita punya peluang utnuk melihat politik sebagai sebuah ruang tindakan otonom. Kepentingan negara yang harusnya menjadi tujuan tunggal negarawan, selalu didefenisikan dalam pengertian kemampuan strategis atau ekonomi.

3. Bentuk dan sifat kekuasaan negara akan bermacam-macam dalam waktu, tempat dan konteks, tetapi konsep kepentingan masih tetap sama.

39

Abu Bakar Eby Hara. 2011. Pengantar Analisis Politik Luar Negeri : dari Realisme sampai

(19)

4. Prinsip-prinsip moral universal tidak menuntun sikap negara, meski sikap negara jelas akan memiliki implikasi moral dan etika. Sikap hati-hati yang didasarkan pada penilaian bijaksana dari konsekuensi-konsekuensi yang muncul dari pilihan politis alternatif adalah hukum yang menjadi pedoman kaum realis.

5. Tidak ada serangkaian prinsip-prinsip moral yang disetujui secara universal. Meski negara dari waktu ke waktu akan berusaha keras mendandani sikap mereka dalam pengertian etis (pembelaan hak asasi manusia), penggunaan bahasa moral untuk membenarkan sikap eksternal dirancang untuk merundingkan keuntungan, legitimasi, dan selanjutnya kepentingan nasional negara. Kepentingan adalah standar tetap yang menjadi bahan petimbangan dan tujuan yang disasar oleh tindakan politik.

6. Secara intelektual bidang politik itu otonom dari setiap bidang perhatian manusia lainnya. Posisi ini memungkinkan untuk melihat wilayah internasional seagai sesuatu yang berbeda secara analitis dari bidang intelektual lainnya, dengan standar pemikiran dan kriteria sendiri untuk analisis dan evaluasi sikap negara. Pertanyaan kunci seperti ‘bagaimana kebijakan ini mempengaruhi kekuasaan bangsa?’ Menjadi titik perhatian lingkup analisis intelektual yang tersendiri ini.40

40

Lihat : Hans J. Morgenthau. 1964. Politics Among Nations : The Struggle for Power and Peace. (New York: Knopf) hal. 4-11

(20)

Keenam prinsip yang dikemukakan oleh Morgentahau itu menempatkan negara sebagai aktor penting dalam politik internasional.

Selain enam prinsip realisme itu, adapula asumsi realisme menurut Kegley dan Wittkopf. Asusmsi tersebut antara lain ialah sekutu dibutuhkan untuk meningkatkan kemampuan negara dalam mempertahankan diri tetapi kesetiaan dan keandalannya tidak bisa dipastikan sebelumnya. Kemudian, negara tidak boleh mengandalkan organisasi internasional atau hukum internasional untuk menjamin keamanan nasionalnya. Selain itu negara juga harus menolak setiap upaya pengaturan perilaku internasional melalui mekanisme pemerintahan global. Berikutnya, karena semua negara berusaha untuk meningkatkan kekuatannya maka stabilitas hanya bisa dicapai melalui keseimbangan kekuatan (balance of power) yang diperlancar oleh pembentukan dan pembubaran aliansi-aliansi yang

saling bertentangan.41

Berdasarkan asumsi-asumsi dasar tersebut terlihat bahwa dalam ranah hubungan internasional yang menjadi fokus utama adalah masalah keamanan nasional dan eksistensi negara. Asumsi tersebut juga menyatakan bahwa dalam hubungan antara negara-negara di dunia tidak ada suatu pemerintahan global. Negara-bangsa sebagai entitas politik yang berdaulat dan independen merupakan

unit analisis yang menjadi fokus atau center of gravity bagi realisme.42

41

Aleksius Jemadu. 2014. Politik Global dalam Teori dan Praktik edisi 2 (Yogyakarta : Graha Ilmu) hal.8

42

(21)

Selanjutnya ada pula aliran realisme modern, atau neorealisme atau sering

juga disebut realisme struktural.43 Adanya kritik yang tajam terhadap realisme

menimbulkan pemikiran-pemikiran baru salah satunya adalah realisme modern atau neorealisme yang dicetuskan oleh Kenneth Waltz. Waltz menawarkan eksplanasi terhadap perilaku negara dengan mengacu pada hakekat struktur politik

yang melingkupinya.44

Waltz menyatakan bahwa, unit-unit negara dari sistem internasional “dibedakan khususnya oleh besar atau kecilnya kapabilitas mereka dalam menjalankan tugas yang serupa...struktur suatu sistem berubah seiring dengan perubahan dalam distribusi kapabilitas antar unit-unit sistem”.

Perhatian terhadap struktur internasional yang memberi pengaruh pada usaha mempertahankan keamanan inilah yang menyebabkan neorealisme dinamakan juga sebagai realisme struktural.

45

Bagi neorealisme, faktor distribusi kapabiltas di dalam struktur internasional akan mempengaruhi perilaku atau aktor-aktor politik luar negeri.

Teori tersebut menggambarkan bahwa sistem politik internasional berubah seiring dengan perubahan kapabilitas tiap negara. Negara-negara dengan kapabilitas besar cenderung lebih mampu memberi pengaruh terhadap sistem politik internasional.

46

43

Lihat : Aleksius Jemadu. Ibid. hal. 27.

44

Ibid. hal. 27.

45

Robert Jackson dan Georg Sorensen, Op Cit. hal. 111.

46

Abu Bakar Eby Hara. 2011. Pengantar Analisis Politik Luar Negeri : dari Realisme sampai

Konstruktivisme (Bandung: Nuansa) hal. 43.

Hal ini membuktikan bahwa struktur sistem internasional dalam pandangan kaum neorealis masih bersifat anarkis. Tidak ada negara yang dianggap menjadi penguasa karena tidak ada pemerintahan internasional. Kondisi sistem

(22)

internasional yang anarkis ini dianggap sebagai pemicu ketakutan, ketidakamanan, dan kecurigaan antar negara. Struktur internasional ini memaksa tiap negara untuk mengejar kekuasaan. Keadaan saling mengejar kekuasaan ini pula yang menimbulkan dilema keamanan dalam pandangan kaum neorealis.

Dilema ini menurut kaum neorealis dapat diatasi dengan menciptakan kondisi keseimbangan kekuatan atau balance of power diantara negara-negara di dunia. Dalam beberapa kasus, negara-negara mengadakan aliansi atau kerjasama untuk mempertahankan keseimbangan ini. Perlu diperhatikan dalam proses penyeimbangan dan dalam struktur politik internasional adalah peranan negara-negara besar yang mempunyai kapabilitas yang besar, karena pada kenyataanya

negara dengan kapabilitas besarlah yang mengatur kestabilan di dunia.47

Pembentukan aliansi atau kerjasama sendiri menurut kaum neorealis adalah sulit karena mempertimbangkan untung rugi, kekhawatiran keuntungan lebih besar diperoleh lebih oleh rekan aliansi termasuk kekhawatiran kehilangan

otonomi sebagai negara yang berdaulat.48

Menghadapi sistem internasional yang bersifat anarkis ini kaum neorealis juga mengemukakan dua pilihan yang bergantung pada kapabilitas negara masing-masing. Pertama, ialah defensive realist seperti Kenneth Waltz yang menyatakan

Hal ini menyebabkan akan selalu ada pengkajian berkala oleh negara-negara yang beraliansi atas untung rugi dari keikutsertaannya dalam aliansi tersebut.

47

Lihat : Ibid. hal. 43.

48

(23)

bahwa tujuan utama negara adalah keamanan karena dunia yang anarkis.49

Kemudian ada realis yang bertindak ofensif seperti Mearsheimer juga Fareed Zakaria dan Eric Labs, mengatakan bahwa mendapatkan power sebesar mungkin adalah langkah strategis terutama bila keadaan memungkinkan untuk mendapatkan hegemoni.

Pandangan ini mengungkapkan tidaklah bijaksana untuk memiliki power yang besar karena sikap ofensif hanya akan meningkatkan rasa tidak aman dan saling bersaing dalam meraih kekuasaan yang lebih besar antar negara.

50 49 Ibid.hlm 47. 50 Ibid.

Power tersebut bukanlah semata-mata digunakan untuk menaklukkan atau mendominasi namun dalam dunia yang bersifat anarkis power digunakan sebagai jaminan untuk keberlangsungan hidup. Kondisi dunia yang anarkis itu kemudian mengharuskan tiap negara melakukan tindakan masing-masing dalam mempertahankan eksistensinya.

Berdasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa teori realisme berfokus pada keamanan sebagai kepentingan nasional tiap negara dan penggunaan kapabilitas nasional sebagai kekuatan dalam mencapai kepentingan nasional tersebut. Kapabilitas nasional tersebut dapat berupa kekuatan militer, kekuatan hukum dalam bentuk peraturan, dan badan-badan pelaksananya hingga kerjasama antar negara. Realisme sendiri sejak awal perkembangannya membernarkan adanya kerjasama antar negara sebagai upaya pembentukan balance of power atau stabilitas antara negara-negara di dunia.

(24)

Keamanan nasional sebagaimana dimaksud sebelumnya mengacu pada situasi atau keadaan unsur-unsur pokok yang membentuk suatu negara seperti kedaulatan, wilayah, penduduk, basis ekonomi, pemerintah, dan sistem konstitusi. Acuan dalam keamanan nasional ini ialah negara-bangsa. Namun perlu dicatat bahwa pada akhirnya yang merasa aman atau tidak aman adalah manusia atau kelompok manusia bukannya benda mati atau entitas hasil abstraksi pikiran

manusia.51

Sam C. Sarkesian mendefinisikan keamanan nasional itu sebagai kepercayaan diri dari sebagian besar bangsa yang negaranya memiliki kekuatan militer dan kebijakan yang efektif untuk mencegah lawan-lawannya dari pengunaan kekuatan untuk mencegah negara tersebut mencapai kepentingan nasionalnya.

52

Barry Buzan, Ole Waever, dan Jaap de Wilde menjelaskan tentang aspek non militer ini terhadap masalah keamanan negara. Masalah keamanan negara tersebut terbagi menjadi tiga kategori. Pertama bersifat tidak terpolitisasi, yaitu tidak memerlukan intervensi kebijakan publik, kedua terpolitisasi yaitu membutuhkan penanganan melalui kebijakan publik, dan kemudian bersifat tersekuritisasi yaitu yang membutuhkan intervensi kebijakan yang bersifat

Berdasarkan dari definisi ini terlihat bahwa dalam mencapai kepentingan nasional berupa keamanan bukan hanya melalui kekuatan militer, namun juga dari aspek non militer yaitu melalui kebijakan yang efektif dari sebuah negara.

51

Aleksius Jemadu. Op Cit. hal. 107.

52

(25)

darurat.53

Keberadaan manusia sebagai pihak yang paling merasakan kondisi aman atau tidak seperti disebutkan sebelumnya memunculkan konsep human security yang merupakan upaya mengimbangi konsep keamanan yang terlalu fokus pada negara berdaulat. Seiring meningkatnya proses globalisasi, terdapat peningkatan perhatian terhadap masalah keamanan non tradisional yang merupakan peralihan perhatian dari negara sebagai satu-satunya objek acuan keamanan. Masalah keamanan baru seperti kejahatan transnasional dalam bentuk perdagangan narkoba, human trafficking, penyelundupan senjata, pencucian uang, terorisme, bajak laut memaksa pemerintah untuk menyusun kembali agenda keamanan serta menciptakan pemecahan masalah pada level regional melalui kerjasama internasional.

Berdasarkan penjelasan tersebut makin terlihat bahwa masalah keamanan bukan hanya ditangani melalui kekuatan militer, namun juga kebijakan-kebijakan yang merupakan produk politik.

54

Isu-isu keamanan non tradisional melanda baik negara maju maupun negara berkembang. Negara-negara di Asia Tenggara juga menghadapi berbagai isu keamanan non tradisional dan dituntut untuk menggalang kerjasama regional

untuk mengatasi berbagai isu tersebut.55

53 Ibid. hal. 108. 54 Ibid. hal.109. 55 Ibid. hal. 110

Pembentukan ASEAN Security Community pada 2003 dan berubah menjadi ASEAN Polical-Security Community pada tahun 2008 merupakan upaya dalam menghadapi ancaman keamanan non tradisional di negara-negara ASEAN. Hal ini menunjukkan bahwa untuk

(26)

mengatasi masalah keamanan non tradisional, negara tetap menjadi aktor utamanya.

Berdasarkan hal tersebut, teori realisme akan digunakan pada bagian pembahasan dalam penelitian ini. Teori realisme dipilih karena teori ini membenarkan adanya kerjasama antar negara dalam mengatasi masalah keamanan nasionalnya. Kemudian teori realisme digunakan juga karena dalam ASEAN Political Security Community yang menjadi aktor utamanya adalah negara. Penggunaan teori realisme akan digunakan untuk menunjukkan kesenjangan antara undang-undang, dan keberadaan badan-badan sektoral dengan kondisi ancaman terorisme dan narkoba di Indonesia. Teori ini juga akan menunjukkan upaya penciptaan balance of power antar negara anggota ASEAN dalam mencegah dan menangani masalah terorisme dan narkoba.

1.6. Metodologi Penelitian 1.6.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini berjenis kualitatif yang diartikan sebagai bentuk penelitian yang mengeksplorasi dan memahami makna dari masalah sosial atau

kemanusiaan.56

Penelitian ini akan mengungkapkan masalah keamanan non tradisional di Indonesia. Kemudian penelitian ini akan mengungkapkan bagaimana keberadaan Penelitian kualitatif ini akan mengeksplorasi masalah dengan cara mengumpulkan data dari tema yang bersifat khusus menuju kepada tema yang bersifat umum dengan tujuan akhir menafsirkan makna data.

56

Lihat John W. Creswell. 2014. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hal. 4.

(27)

kapabilitas Indonesia bentuk peraturan dan badan-badan untuk menghadapi masalah keamanan non tradisonal yang ada di Indonesia. Masalah keamanan yang akan dibahas adalah sesuai dengan cetak biru APSC karena Indonesia merupakan aktor yang terlibat dalam APSC tersebut. Selain mengungkapkan kondisi keamanan non tradisional yang dialami Indonesia beserta kapabilitas nasionalnya, penelitian ini juga akan menunjukkan kerjasama antara Indonesia dengan negara-negara ASEAN dalam rangka pelaksanaan cetak biru APSC.

Peraturan, badan-badan, serta kerjasama antar negara dalam rangka pelaksanaan cetak biru APSC itu menjadi penting karena hal tersebut merupakan mekanisme yang harus dilakukan Indonesia untuk mengatasi masalah keamanan non tradisional. APSC sendiri menekankan kepada langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan melalui penguatan peraturan dan badan-badan di dalam negeri yang dibuat sesuai dengan panduan dari cetak biru APSC. Cetak biru APSC ada sebagai panduan terhadap mekanisme-mekanisme yang perlu dilakukan dalam mengatasi masalah keamanan non tradisional di tiap negara anggota ASEAN.

Teori realisme digunakan dalam pembahasan di penelitian ini karena realisme membenarkan adanya kerjasama antar negara dalam mengatasi masalah keamanan nasionalnya seperti yang dilakukan oleh Indonesia dengan mengikuti APSC. Kemudian teori realisme digunakan karena dalam APSC yang menjadi aktor utamanya adalah negara. Teori ini juga digunakan karena APSC menekankan penggunaan kapabilitas nasional dalam bentuk undang-undang dan

(28)

badan-badan tiap negara untuk menghadapi ancaman keamanan non tradisional tiap negara sebagai bentuk penghormatan terhadap kedaulatan negara anggotanya. Pendekatan realisme digunakan untuk melihat bagaimana undang-undang dan peraturan lainnya, badan-badan dan kerjasama antar negara ASEAN yang dilakukan Indonesia dalam ruang lingkup APSC untuk mencegah dan menangani masalah keamanan non tradisionalnya.

1.6.2. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini akan mengumpulkan data dengan cara studi pustaka. Data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang berasal dari buku, jurnal, artikel, dan dokumen-dokumen baik itu berupa undang-undang maupun berita dari berbagai media.

Peneliti akan mengumpulkan data tentang pelaksanaan APSC di Indonesia dari sumber resmi ASEAN, Kementerian Luar Negeri Indonesia, Kementerian Hukum dan HAM. Untuk mendapatkan data berupa kondisi keamanan non tradisional peneliti akan mencari melalui sumber resmi Badan Narkotika Nasional, BNPT, Interpol, Kepolisian Republik Indonesia, dan BNPB. Sumber resmi itu berupa website yang dimiliki oleh lembaga-lembaga tersebut.

Kemudian, apabila data yang diinginkan tidak didapatkan melalui website, peneliti akan mengirimkan e-mail berupa permohonan permintaan data kepada lembaga tersebut. Selain mengumpulkan data yang dari lembaga-lembaga tersebut, peneliti juga mengumpulkan data tentang kondisi keamanan non tradisional, dan juga pelaksanaan APSC dari situs-situs pemberitaan seperti

(29)

kompas.com, tempo.co.id, liputan6.com, detik.com, beritasore.com, antaranews.com, cnnindonesia.com, poskotanews.com, serta republika.com. Selanjutnya, peneliti juga akan mengumpulkan data dari buku, jurnal, majalah, koran, dan sumber lain yang mengandung informasi tentang pelaksanaan APSC, dan juga kondisi keamanan non tradisional di Indonesia.

1.6.3. Teknik Analisa Data

Data yang dikumpulkan pada penelitian kali ini akan dianalisis secara induktif. Maksudnya, peneliti akan mengumpulkan data berupa keadaan Indonesia terkait keamanan non tradisional, undang-undang, dan peraturan lain serta badan yang bertanggung jawab dalam mencegah dan menanggulangi gangguan keamanan non tradisional, serta langkah-langkah atau kerjasama yang telah dilakukan sebagai mekanisme dalam rangka pelaksanaan APSC oleh Indonesia.

Kemudian, data berupa undang-undang, peraturan lain, keberadaan badan-badan, pelaksanaan langkah-langkah dan kerjasama dalam rangka APSC akan dikategorikan sebagai kapabilitas nasional Indonesia. Kapabilitas tersebut akan dianalisis dengan pendekatan realisme hingga menunjukkan apakah Indonesia berada pada posisi yang diuntungkan atau tidak dalam pelaksanaan APSC.

1.7. Sistematika Penulisan

BAB I : Pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan

(30)

BAB II : Deskripsi Indonesia pada penerapan ASEAN Political-Security Community yang berisi uraian kondisi keamanan non tradisional sesuai kategori cetak biru APSC di Indonesia, kapabilitas Indonesia dalam pencegahan dan penanggulangan kondisi keamanan non tradisional, dan langkah-langkah atau kerjasama yang dilakukan oleh Indonesia dalam rangka pelaksanaan APSC dalam bidang keamanan non tradisional.

BAB III : Pembahasan yang berisi Analisis Kapabilitas Nasional

terhadap Ancaman Terorisme dan Narkoba di Indonesia serta Komunitas Politik-Keamanan ASEAN sebagai Pilihan Kerjasama yang dianalisis dengan realisme.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam website Kemendagri (www.kemendagri.go.id) menyebutkan bahwa implementasi E-government di negara berkembang seperti Indonesia merupakan sebuah tantangan dan juga

Agung RI dalam rangka mengejawantahkan visi misi “Badan Peradilan Yang Agung” dalam Cetak Biru dan Renstra Badan Peradilan 2010-2035 --- Khusus pada tahun 2011, secara

Sockalingan dan Schmidt (2011) menjelaskan bahwa masalah skenario dalam diskusi tutorial yang baik adalah masalah yang memenuhi beberapa karakteristik sebagai berikut

16 Fokus penelitian ini adalah membahasoopada mekanisme pembubaranoormas dalam sistemoketatanegaraan Indonesia berdasarkan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2017 Tentang

Dalam website Kemendagri (www.kemendagri.go.id) menyebutkan bahwa implementasi E-government di negara berkembang seperti Indonesia merupakan sebuah tantangan dan juga

rangka pelaksanaan Peraturan Menteri ini. Namun demikian, segala aspek yang berhubungan optimalisasi aset negara dari Badan Usaha Milik Negara perlu persetujuan dari

Dalam kaitannya dengan aktifitas kerjasama antara Singapura dan Indonesia dalam bidang pariwisata ini dan untuk lebih meningkatkan hubungan kearah yang lebih baik lagi di

Dalam konteks hubungan kerjasama antara Korea Selatan dengan Indonesia dalam mengatasi masalah TKI ilegal (overstayers) ini khususnya, kedua negara melalui perwakilan