• Tidak ada hasil yang ditemukan

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut Jl.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut Jl."

Copied!
229
0
0

Teks penuh

(1)

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut Jl. Medan Merdeka Timur No. 16 lt.9 Jakarta 10110

Telp. 021-3519070 ext. 8924, 3522045 Fax. 021-3522045

(2)

KEBIJAKAN DAN STRATEGI KONSERVASI

SUMBERDAYA IKAN DAN LINGKUNGANNYA

DI PERAIRAN DARATAN

DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT

DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN

(3)
(4)

Kebijakan dan Strategi Konservasi Sumberdaya Ikan

dan Lingkungannya di Perairan Daratan

CETAKAN - II

Tim Editor:

1. Ir. Agus Dermawan, MSi 2. Dian Sutono Hs.,S.Pi.,M.Pi 3. Ir. Andi Rusandi

4. Sri Rahayu, S.Pi 5. Suraji, S.P.,M.Si 6. Leny Dwihastuty, S.Pi 7. Dyah Retno W., S.T,M.T 8. Heri Binarasa Putra, S.Pi

Dyah

Satuan Kerja Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan

(5)

Kebijakan dan Strategi Konservasi Sumberdaya Ikan dan

Lingkungannya di Perairan Daratan

Sekretariat Pokja;

1. Ir. Agus Dermawan,M.Si 2. Dian Sutono Hs, S.Pi.,M.Pi 3. Dr. Ir. Achmad Sarnita 4. Ir. Dede Irving, A.PU. 5. Dr. Ir. Wartono Hadi, M.Si. 6. Ir. Wahyu Rudianto

7. Dibyo Sartono Kelompok Kerja;

1. Ir. Yaya Mulyana

2. Ir. Tomy Hermawan, MSc. 3. Nurul Istiqomah, S.Pi. M.Si. 4. Hanung Cahyono, SH. LLM. 5. Ir. Chaery Novari

6. Ir. Rahmanto

7. Ir. Warsito SW, Dipl. HE. 8. Ir. Edi Djuharsa, M.Si.

9. Hermanu Karmoyono, AMK. 10. Ir. Hardi Sukarlianto

11. Dra. Heni Agustina, MEM 12. Ir. Bambang Sukmananto 13. Drs. Barkah Sulistiadi 14. Ir. Tajerin, MM.

15. Ir. S. Alina Tampubolon, MPSt. 16. Dr. Ir. Toni Ruchimat, M.Sc. 17. Ir. Elfita Nezon, MM.

18. Ir. Ahsanal Kasasiah, M.Agr.Bus. 19. Ir. Aris Kabul Pranoto, Msi.

Satuan Kerja Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan

(6)
(7)

KATA PENGANTAR

Dengan tersusunnya Kebijakan dan Strategi Konservasi Sumberdaya Ikan dan Lingkungannya di Perairan daratan ini, pertama-tama saya mengucapkan selamat dan rasa syukur yang tak terhingga, atas segala jerih payah Tim Sekretariat beserta Kelompok Kerja (Pokja) yang telah sudi meluangkan waktu serta bekerjasama dan berkonsentrasi dalam proses penyusunannya.

Dokumen Kebijakan dan Strategi Konservasi Sumberdaya Ikan dan Lingkungannya di Perairan daratan ini, merupakan hasil dari serangkaian kerjasama (kolaboratif) para pemangku kepentingan dalam kegiatan tahun 2007. Guna memenuhi permintaan dan keperluan penyebar luasan program, maka pada kegiatan tahun 2008 dicetak ulang untuk kedua kalinya (Cetakan II).

Berbagai pihak lintas Instansi Pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM/NGO) yang terlibat, banyak memberikan sumbang-pikir partisipatif selama proses penyusunan dokumen ini. Melalui proses partisipatif dan kolaboratif tersebut, diharapkan dokumen ini dapat ditetapkan sebagai Kebijakan Nasional dalam bidang Konservasi Sumberdaya Ikan dan Lingkungannya di Perairan Daratan di seluruh wilayah perikanan Indonesia sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang No. 31, Tahun 2004, tentang Perikanan.

Berkenaan dengan telah tersusunnya dokumen Kebijakan dan Strategi Konservasi Sumberdaya Ikan dan Lingkungannya di Perairan daratan ini, kami menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada; Tim Sekretariat, Kelompok Kerja serta semua pihak yang telah terlibat dalam proses penyusunannya. Kami menyadari, bahwa kandungan dan isi dokumen Kebijakan dan Strategi Konservasi Sumberdaya Ikan dan Lingkungannya di Perairan daratan ini masih belum dapat mengakomodir kepentingan berbagai pihak dengan sempurna. Untuk itu, pada kesempatan ini kami sangat berharap adanya sumbang-saran masukan sebagai bahan penyempurnaan lebih lanjut.

Terima kasih.

Jakarta, Juli 2008

Direktur Konservasi dan Taman Nasional Laut,

(8)
(9)

SAMBUTAN

Pengelolaan kekayaan alam secara bijaksana untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat merupakan amanat UUD 1945 yang akan menjamin kelangsungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan dalam implementasinya sangat bergantung pada paradigma dan prilaku masyarakat dalam mengelolanya. Sumberdaya alam hayati merupakan salah satu kekayaan alam yang kita miliki dan sangat bermanfaat sebagai modal pembangunan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pemahaman menyeluruh atas kekayaan alam yang di miliki, dan perumusan rencana aksi ke depan yang konkrit sangat diperlukan dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan bagi kesejahteaan bangsa. Perumusan Kebijakan dan Strategi Konservasi Sumberdaya Ikan dan Lingkungannya di Perairan Daratan ini merupakan suatu upaya ke arah tercapainya tujuan dimaksud.

Perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya di perairan daratan secara bijaksana menjadi sangat penting untuk selalu diupayakan dalam rangka memasuki era abad 21 yang disebut juga sebagai “abad biologi/abad hayati”. Pada dekade industrialisasi ini, sumberdaya alam hayati (termasuk sumberdaya ikan) merupakan andalan bahan baku beberapa industri yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, seperti industri farmasi, kesehatan, pangan, pertanian dan kosmetika. Dengan pengetahuan dan teknologi yang berkembang, pemanfaatan sumberdaya hayati secara lestari dalam dunia perindustrian hanya bisa dilakukan dalam kerangka dasar pembangunan secara berkelanjutan. Pendekatan pembangunan yang berkelanjutan menawarkan perspektif yang lebih luas dari sekedar pertumbuhan ekonomi semata. Aspek sosial dan lingkungan harus mendapat perhatian yang sama dan seimbang. Sejalan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan penguasaan tekhnologi yang canggih akan membuka kemungkinan kerusakan sumber daya alam yang semakin bervariasi bentuk dan problematiknya. Akhir kata, dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan YME, kami sampaikan selamat dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kerja keras Tim Penyusun yang telah menyelesaikan tugasnya dengan baik.

Jakarta, Juli 2008

Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,

(10)
(11)

Kata Pengantar ……… ... vi

Sambutan Dirjen KP3K ……… ... viii

Daftar Isi ... x

Daftar Lampiran ... xii

Pendahuluan ... 1

A. Latar Belakang ... 3

B. Batasan dan Pengertian ... 6

C. Klasifikasi Ekosistem Perairan Daratan ... 7

D. Tujuan dan Sasaran ... 10

E. Ruang Lingkup ... 11

F. Keluaran ... 11

Potensi dan Kondisi Saat Ini ... 13

A. Ekosistem Perairan Daratan ... 15

1. Muara Sungai (Estuari) ... 15

2. Hutan Bakau (Mangrove) ... 17

3. Sungai ... 23

4. Danau ... 25

5. Waduk ... 29

6. Rawa ... 31

B. Sumberdaya Ikan Perairan Daratan ... 38

C. Sosial Ekonomi/Sosial Budaya ... 39

Kondisi yang Diharapkan ... 45

A. Definisi Suaka Perikanan Perairan Daratan ... 49

B. Zonasi Suaka Perikanan Perairan Daratan ... 52

1. Zona Inti ... 52

2. Zona Perikanan Berkelanjutan ... 53

3. Zona Pemanfaatan ... 53

Kebijakan dan Strategi ... 55

A. Visi dan Misi ... 57

1. Visi ... 57

2. Misi ... 57

B. Kebijakan ... 58

C. Strategi dan Rencana Aksi ... 61

D. Faktor Pendukung ... 62

1. Pembiayaan ... 62

2. Perangkat Hukum ... 66

3. Kelembagaan Masyarakat Adat ... 69

(12)
(13)

Lampiran 1. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Sumberdaya Ikan

dan Lingkungannya di Perairan Daratan ... 77

Lampiran 2. Daftar Kawasan Perairan Daratan yang Dilindungi (Konservasi), berdasarkan SK Bupati dan Peraturan Daerah Setempat ... 97

Lampiran 3. Potensi Luas Lahan Perairan Daratan di Beberapa Propinsi di Indonesia ... 109

Lampiran 4. Daftar Nama Beberapa Waduk Besar di Indonesia ... 111

Lampiran 5. Daftar Nama Beberapa Sungai di Indonesia ... 115

Lampiran 6. Daftar Nama Beberapa Danau di Indonesia ... 137

Lampiran 7. Daftar Nama Beberapa Rawa/Mangrove di Indonesia .... 163

Lampiran 8. Kawasan Penting Lahan Basah di Indonesia, perBioregion167 Lampiran 9. Daftar Beberapa Lokasi Lahan Basah Penting di Indonesia (Sumber: Data Base WI-IP, 1999) ... 171

Lampiran 10. Daftar DAS Kritis Super Prioritas ... 185

Lampiran 11. Daftar Nama Beberapa Waduk Besar di Indonesia ... 189

Lampiran 12. Beberapa Strategi Pengelolaan Lingkungan Spesifik yang Telah Ada di Indonesia ... 195

Lampiran 13. Daftar Resolusi dan Rekomendasi CoP Ramsar yang Berkaitan Langsung dengan Pengelolaan Lahan Basah Nasional ... 199

Lampiran 14. Daftar Instansi/Lembaga yang Terkait dengan Pengelolaan Lahan Basah ... 205

Lampiran 15. Daftar Beberapa Situs dan Forum Diskusi (mailing list) Lahan Basah di Internet ... 213

(14)
(15)
(16)

Pendahuluan

MANGROVE, di Kabupaten Teluk Bintuni Provinsi Papua A. Latar Belakang

ndonesia memiliki Perairan daratan yang luas dengan potensi sumberdaya alam perairannya, termasuk di dalamnya perairan tawar dan payau yang biasa kita sebut sebagai perairan daratan. Perairan daratan Indonesia tercatat seluas 54 juta hektar terdiri dari 14,6 juta hektar perairan danau, waduk dan sungai, sedangkan sisanya merupakan perairan rawa pasang surut.

Konvensi Ramsar (Konvensi tentang upaya

pemanfaatan

berkelanjutan dan pemanfaatan bijaksana terhadap ekosistem lahan basah) telah menetapkan definisi lahan basah sebagai daerah-daerah rawa, payau, lahan gambut, dan perairan; alami atau buatan; tetap atau sementara; dengan air yang tergenang atau mengalir; tawar, payau, atau asin; termasuk wilayah perairan laut yang kedalamannya tidak lebih dari enam meter pada waktu air surut. Berdasarkan definisi tersebut, maka Ramsar mengklasifikasikan ekosistem lahan basah ke dalam 3 (tiga) golongan, yaitu inland wetland, marine wetland dan man made wetland. Di Indonesia, inland wetland lebih dikenal dengan sebutan perairan daratan, yang pada umumnya berupa muara sungai (estuaria), hutan bakau (mangrove), rawa (swamp), sungai (river), danau (lake), dan badan air buatan lainnya (waduk). Kawasan perairan daratan merupakan kawasan yang memiliki potensi sumberdaya alam hayati yang sangat beraneka ragam dan karakteristik

(17)

endemik sesuai ekosistemnya. Menurut Ondara (1982), keanekaragaman jenis di perairan Indonesia tercatat sebanyak 600 jenis, dengan keanekaragaman di setiap danan dan waduk sekitar 10 – 90 jenis ikan.

Untuk dapat tercapainya manfaat potensi perairan daratan beserta sumberdaya alam yang ada di dalamnya bagi masyarakat secara optimal dan berkeadilan, diperlukan upaya-upaya pengelolaan yang arif dan bijaksana dengan mengedepankan kepentingan masyarakat, khususnya kesejahteraan nelayan dan pembudidaya ikan skala kecil. Menurut pasal 1 angka (7) Undang-Undang No. 31 Tahun 2004, pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Selanjutnya pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945, mengamanatkan bahwa sistem Ekonomi Kerakyatan adalah sistem ekonomi nasional Indonesia yang berazaskan kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, bermoral Pancasila, dan menunjukan pemihakan sungguh-sungguh pada ekonomi rakyat. Pemihakan dan perlindungan yang ditujukan pada ekonomi rakyat, memerlukan syarat mutlak berjalannya sistem ekonomi nasional yang berkeadilan sosial. Moral pembangunan yang mendasari paradigma pembangunan yang berkeadilan sosial mencakup; peningkatan partisipasi dan emansipasi masyarakat, otonomi daerah yang bertanggung jawab, penyegaran nasionalisme ekonomi, pendekatan pembangunan berkelanjutan, pencegahan disintegrasi sosial, penghormatan hak asasi manusia dan masyarakat, serta pengkajian pendidikan dan pengajaran ilmu ekonomi dan sosial pada dunia pendidikan. Mubiarto (2002), mengatakan bahwa strategi pembangunan yang memberdayakan ekonomi rakyat merupakan strategi melaksanakan demokrasi ekonomi, yaitu produksi dikerjakan oleh semua untuk semua serta dibawah pimpinan dan pemilikan anggota masyarakat.

(18)

Pendahuluan

Pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat, diperlukan upaya-upaya pengelolaan yang bertujuan untuk melindungi, melestarikan dan memaanfaatkan sumberdaya alam (termasuk sumberdaya ikan). Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 pasal 1 angka (8), mengatakan bahwa konservasi sumberdaya ikan adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan sumberdaya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan genetik untuk mejamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumberdaya ikan.

Paradigma lama yang membingkai pengelolaan kawasan konservasi bersifat sentralistik dan tertutup (larangan) bagi semua pihak dalam pemanfaatannya, berdampak kurang memberikan manfaat secara sosial ekonomi bagi masyarakat. Akibatnya keberadaan dan keamanan kawasan memiliki daya rentan yang sangat rendah terhadap tekanan sosial ekonomi dari masyarakat. Belajar dari keadaan tersebut, maka kedepan perlu dikemukakan paradigma baru dalam pengelolaan kawasan konservasi, yaitu pengelolaan kawasan konservasi yang melibatkan masyarakat dan stakeholders lainnya agar kelestarian suatu kawasan konservasi dapat terjaga dengan baik serta mempunyai manfaat sosial ekonomi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Guna tercapainya upaya pengelolaan kawasan konservasi yang melibatkan masyarakat/stakeholders agar dapat terjaga kelestariannya dengan baik, serta mempunyai manfaat sosial ekonomi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, maka diperlukan kesamaan visi, misi dan rencana aksi yang dituangkan dalam Kebijakan dan Strategi Konservasi Sumberdaya Ikan dan Lingkungannya di Perairan Daratan.

(19)

B. BATASAN DAN PENGERTIAN

1.

Perairan Daratan adalah hamparan perairan yang terletak pada sisi darat (terestrial) dari titik surut air laut terendah sampai puncak gunung, yang pada umumnya berupa muara sungai (estuaria), rawa hutan bakau (mangrove), sungai (river), danau (lake), rawa (swamp), dan badan air buatan lainnya (waduk).

2. Kawasan Muara Sungai (Estuari) merupakan perairan semi tertutup yang memiliki hubungan bebas dengan laut terbuka, tempat tercampurnya air tawar yang berasal dari daratan (sungai) dengan air laut.

3. Rawa Hutan bakau (Mangrove) adalah rawa yang terdapat di daerah pesisir atau muara yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut, dan ditumbuhi komunitas mangrove.

4. Sungai (River) adalah tempat-tempat dan wadah-wadah serta jaringan pengaliran air mulai dari mata air sampai muara dengan dibatasi kanan dan kirinya, serta sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan (PP. 35/91)

5. Danau (Lake) adalah bagian dari sungai yang lebar dan kedalamannya secara alamiah jauh melebihi ruas-ruas lain dari sungai yang bersangkutan (PP. 35/91).

6. Rawa (Swamp) adalah lahan genangan air secara alamiah yang terjadi terus menerus atau musiman akibat drainase alamiah yang terhambat serta mempunyai ciri-ciri khusus secara fisik, kimiawi, dan biologis (PP. 27/97).

7. Waduk (man-made lake) adalah genangan air yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bangunan sungai, dalam hal ini bangunan bendungan, dan berbentuk pelebaran alur/badan/palung sungai (PP. 35/91).

8. Endemik adalah jenis tumbuhan/satwa asli yang khas dan hanya terdapat pada suatu kawasan/tipe ekosistem tertentu saja.

(20)

Pendahuluan

C. KLASIFIKASI EKOSISTEM PERAIRAN DARATAN

Klasifikasi ekosistem perairan daratan berdasarkan Konvensi Ramsar 1971 (Ramsar, Iran, 1971) merupakan bagian dari lahan basah yang didefinisikan sebagai daerah-daerah rawa, lahan gambut, dan perairan; alami atau buatan; tetap atau sementara; dengan air yang tergenang atau mengalir; tawar, payau, atau asin; termasuk wilayah perairan laut yang kedalamannya tidak lebih dari enam meter pada waktu air surut.

Berdasarkan definisi tersebut, lahan basah di Indonesia dapat diklasifikasikan seperti di bawah ini:

Jenis Lahan Basah Tipe Tipe Ekosistem Laut/ Pantai/ Lahan

Basah Berair Asin/Payau

1 PADANG LAMUN 2 TERUMBU KARANG 3 KAWASAN MUARA (ESTUARI) 4 DATARAN LUMPUR / PASIR 5 HUTAN BAKAU (MANGROVE)

Lahan Basah Pedalaman Berair Tawar

6 SUNGAI

a. Sungai dataran tinggi b. Sungai dataran rendah

7 DANAU

8 RAWA

a. Hutan rawa gambut b. Hutan kerangas

c. Hutan rawa non gambut d. Rawa tanpa hutan Lahan Basah Buatan 10 TAMBAK 9 KOLAM

11 SAWAH

12 KOLAM GARAM 13 BENDUNGAN / WADUK

(21)

Kriteria berdasarkan Konvensi Ramsar tersebut di atas, dapat diuraikan masing-masing sebagai berikut :

1. Kriteria berdasarkan keterwakilan dan keunikan lahan basah

Suatu lahan basah dapat dipertimbangkan menjadi suatu ekosistem penting secara internasional (kriteria 1), apabila :

a. Ekosistem lahan basah tersebut pada umumnya merupakan suatu contoh keterwakilan yang baik dari suatu lahan basah alami atau hampir mendekati alami, khusus untuk daerah biogeografi yang sesuai; atau

b. Ekosistem lahan basah tersebut pada umumnya merupakan suatu contoh keterwakilan yang baik dari suatu lahan basah alami atau mendekati alami, yang umum untuk 1 (satu) atau beberapa daerah biogeografi; atau

c. Ekosistem lahan basah tersebut merupakan suatu contoh keterwakilan lahan basah yang baik, yang memegang peranan penting dari unsur hidrologi, biologi, atau ekologi di dalam fungsi alam dari suatu sistem pantai atau daerah aliran sungai, khususnya terletak di daerah peralihan/perbatasan; atau

d. Ekosistem lahan basah tersebut merupakan suatu contoh dari suatu tipe lahan basah yang khusus, jarang, atau tidak biasanya di dalam daerah biogeografi yang sesuai.

2. Kriteria umum berdasarkan keberadaan tumbuhan dan hewan

Suatu lahan basah dapat dipertimbangkan menjadi suatu ekosistem esensial berdasarkan tumbuhan dan hewan (kriteria 2), apabila:

(22)

Pendahuluan

a. Ekosistem lahan basah tersebut mendukung suatu kelompok yang cukup besar yang terdiri dari species langka (rare), rentan (vulnerable), terancam (endangered), sub species flora dan/atau fauna; atau ekosistem lahan basah tersebut mendukung suatu jumlah yang cukup besar dari satu atau beberapa species langka (rare), rentan (vulnerable), terancam (endangered), atau sub species flora dan/atau fauna; atau

b. Ekosistem lahan basah tersebut mempunyai nilai khusus untuk mempertahankan keanekaragaman ekologis dan genetik flora dan/atau fauna dari suatu daerah dikarenakan kualitas dan keunikan flora dan/atau fauna di dalamnya; atau

c. Ekosistem lahan basah tersebut mempunyai nilai khusus sebagai habitat flora dan/atau fauna pada suatu tingkat yang kritis dalam siklus biologinya; atau d. Ekosistem lahan basah tersebut mempunyai nilai

khusus untuk satu atau beberapa species flora dan/atau fauna asli (endemik);

3. Kriteria khusus berdasarkan burung air

Suatu lahan basah dapat dipertimbangkan menjadi suatu ekosistem esensial berdasarkan burung air (kriteria 3), apabila :

a. Ekosistem lahan basah tersebut secara teratur mendukung keberadaan lebih dari 20,000 ekor burung-burung air; atau

b. Ekosistem lahan basah tersebut secara teratur mendukung sejumlah individu-individu penting dari kelompok burung air tertentu yang merupakan indikasi bagi keanekaragaman hayati, produktifitas, atau nilai-nilai manfaat suatu lahan basah; atau

(23)

c. Ekosistem lahan basah tersebut secara teratur mendukung 1% individu-individu dalam suatu populasi dari suatu species atau sub-species burung air;

4. Kriteria khusus berdasarkan ikan

Suatu lahan basah dapat dipertimbangkan menjadi suatu ekosistem esensial berdasarkan ikan (kriteria 4), apabila : a. Ekosistem lahan basah tersebut mendukung species,

sub-species, atau familia ikan-ikan asli dalam jumlah yang memadai, tingkat perkembangbiakan ikan, interaksi species dan/atau populasi ikan yang menggambarkan manfaat dan/atau nilai-nilai lahan basah serta memberi sumbangan nyata bagi keanekaragaman hayati secara global;

b. Ekosistem lahan basah tersebut merupakan sumber makanan penting bagi ikan, tempat memijah, pembiakan, dan/atau jalur migrasi dimana ikan berkumpul, baik di dalam lahan basah itu sendiri ataupun di sekitarnya;

D. Tujuan dan Sasaran

Tujuan Penyusunan Kebijakan dan Strategi Upaya Pemanfaatan Berkelanjutan Konservasi Sumberdaya Ikan dan Lingkungannya di Perairan Daratan, adalah untuk memberikan pedoman dan acuan dalam membuat perencanaan dan kebijakan upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya di perairan daratan secara berkelanjutan. Sedangkan sasarannya adalah terarahnya kegiatan perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan bagi semua pemangku kepentingan, baik di tingkat daerah maupun nasional.

(24)

Pendahuluan

E. Ruang Lingkup

Kebijakan dan Strategi Upaya Pemanfaatan Berkelanjutan Konservasi Sumberdaya Ikan dan Lingkungannya di Perairan Daratan, diarahkan pada upaya pemanfaatan berkelanjutan konservasi yang meliputi kawasan dan semua jenis sumberdaya ikan sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 1 angka (2) dan angka (4), Undang-Undang No. 31/2004, tentang Perikanan, yang terdapat di perairan muara sungai (estuari), rawa hutan bakau (mangrove), sungai, danau, waduk, dan/atau perairan daratan lainnya dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.

Ruang lingkup dokumen ini meliputi Pendahuluan yang menggambarkan latar belakang, tujuan dan sasaran, serta ruang lingkup dan keluaran; Potensi dan Kondisi yang meliputi ekosistem perairan daratan, sumberdaya ikan perairan paratan, sosial ekonomi/sosial budaya; Kondisi yang Diharapkan; serta Kebijakan dan Strategi yang meliputi visi dan misi, kebijakan, strategi, serta rencana aksi dan faktor-faktor pendukungnya.

F. Keluaran

Keluaran berupa Dokumen Kebijakan dan Strategi Konservasi Sumberdaya Ikan dan Lingkungannya di Perairan Daratan ini terdiri dari empat bab, dengan perincian sebagai berikut :

Bab. 1; berisi tentang Latar Belakang dibuatnya dokumen Kebijakan dan Strategi Konservasi Sumberdaya Ikan dan Lingkungannya di Perairan Daratan, Batasan dan Pengertian, Klasifikasi Ekosistem, Tujuan dan Sasaran, Proses Penyusunan, Ruang Lingkup dan Keluaran

Bab 2; berisi tentang gambaran Potensi dan Kondisi Saat Ini

dari ekosistem, sumberdaya ikan dan sosial ekonomi budaya perairan daratan.

(25)

Bab 3; berisi tentang Kondisi yang Diharapkan pada ekosistem perairan daratan, termasuk bagaimana cara konservasi dalam pemanfaatannya, sehingga sumberdaya ikan perairan daratan kedepan dapat dimanfaatkan secara lestari.

Bab 4; berisi tentang Kebijakan dan Strategi yang menguraikan visi dan misi, kebijakan, strategi dan rencana aksi, serta faktor pendukung dalam implementasi konservasi sumberdaya ikan dan lingkungannya di perairan daratan.

Dokumen ini ditujukan bagi semua pemangku kepentingan agar dapat dijadikan panduan bagi perumusan kebijakan dan strategi serta perencanaan kegiatan konservasi sumberdaya ikan dan lingkungannya di perairan daratan.

(26)
(27)
(28)

Potensi dan Kondisi Saat Ini

Muara Sungai DANAU ANGGIGI, Provinsi Papua Barat

A. Ekosistem Perairan Daratan

1. Muara Sungai (Estuari)

Estuari adalah ekosistem muara sungai yang merupakan tempat pertemuan dua jenis badan air dengan perbedaan sifat kimiawi air, dalam hal ini kadar garam (salinitas), yang sangat dominan, yaitu antara air tawar dari daratan/terestrial dan air laut dari dorongan pasang laut. Dengan dua jenis air yang masing-masing mempunyai sifat berbeda, maka ekosisten estuari sangat terkenal dengan perubahan/fluktuasi parameter lingkungan yang sangat cepat dan kisaran tinggi. Pada saat terjadi pasang air laut, ekositem estuari akan berslinitas tinggi yang

diikuti dengan perubahan

sifat-sifat lainnya, sedangkan pada saat terjadi hujan atau aliran air dari hulu sungai, maka salinitasnya akan menurun drastis yang juga diikuti dengan perubahan sifat-sifat lingkunan lainnya. Sehingga hanya biota-biota tertentu dan endemik yang mampu hidup dan berkembang pada habitat ekosistem estuari.

Ekonsistem estuari pada umunya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

a. Terbentuk di sungai-sungai besar yang bermuara ke laut dengan pantai yang landai;

(29)

c. Bercampurnya air tawar dan air laut menjadikan kawasan ini memiliki keunikan tersendiri, berupa terbentuknya perairan payau dengan salinitas yang berfluktuasi. Perubahan salinitas dipengaruhi oleh pasang surut dan musim, dengan salinitas badan air kearah darat cenderung menurun. Pada musim kemarau air laut dapat masuk lebih jauh ke arah darat sehingga salinitas muara meningkat. Sebaliknya, pada musim hujan air tawar mengalir dari sungai ke laut dalam jumlah yang lebih besar sehingga salinitas air di muara sungai cenderung menurun;

d. Perbedaan salinitas mengakibatkan air asin dengan massa jenis yang lebih besar mendorong air tawar yang berada di lapisan bawah menuju ke laut, sehingga menyebabkan terjadinya sirkulasi air di muara;

e. Di daerah dekat laut, hidup species flora dan fauna yang mampu beradaptasi terhadap salinitas yang tinggi. Sebaliknya di daerah mulut sungai hidup flora dan fauna air tawar. Kawasan berair payau dihuni oleh flora dan fauna muara sungai yang dapat beradaptasi dengan air payau, dengan jumlah species yang lebih sedikit dibandingkan dengan di perairan tawar dan laut, akan tetapi kerapatannya (jumlah individu persatuan luas) dari populasi setiap species lebih besar;

f. Muara sungai adalah habitat penting untuk memijah dan membesarkan anak-anak bagi jenis ikan dan fauna lainnya seperti udang. Di kawasan bakau, akar-akar bakau melindungi larva ikan dan udang dari fauna pemangsa. Demikian juga ada beberapa larva ikan yang menetas di laut lepas, akan bermigrasi ke muara sungai pada fase larvanya;

g. Beberapa jenis biota yang hidup di kawasan muara dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

(30)

Potensi dan Kondisi Saat Ini

Nama Jenis Nama Lokal Keterangan

FLORA

Zostera, Padang lamun

Thalassia Cymodocea

Ulva, Alga hijau

Enteromorpha Chaetomorpha Cladophora FAUNA

Neres diversicolor Polychaeta

Scrobicularia plana Kerang

Macoma bathica Kerang

Rangia flexuosa Kerang

Hydrobia Siput kecil

Palaemonetes Udang

(Sumber: Nirarita, et.al. 1996)

2. Hutan Bakau (Mangrove)

Hutan bakau (mangrove) adalah tipe hutan tropika yang khas tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove tidak dapat tumbuh pada semua jenis pantai. Mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak dan daerah landai. Mangrove dapat tumbuh optimal di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta yang alirannya banyak mengandung lumpur. Hal ini sangat erat kaitannya dengan pengendapan lumpur dan pasir yang merupakan subtrat vital bagi kehidupan tumbuhan mangrove.

(31)

MANGROVE, di BINTUNI

Mangrove merupakan salah satu ekosistem yang mempunyai peranan penting dalam upaya pemanfaatan berkelanjutan sumberdaya pesisir dan laut, yang memiliki fungsi

penting sebagai penyambung ekologis darat

dan laut, serta peredam gejala alam yang ditimbulkan oleh perairan,

seperti abrasi, gelombang dan badai. Disamping itu juga merupakan penyangga kehidupan sumberdaya ikan, karena ekosistem mangrove merupakan daerah pemijahan (spawning ground), daerah asuhan (nursery ground) dan daerah mencari makan (feeding ground). Menurut Kusmana dan Onrizal (1998), pada tingkat ekosistem sebagai wetland secara keseluruhan hutan mangrove mempunyai peranan/fungsi sebagai; (1) pembangunan lahan dan pengendapan lumpur, (2) habitat fauna terutama fauna laut, (3) lahan pertanian dan kolam garam, (4) melindungi ekosistem pantai secara global, (5) keindahan bentang darat dan (6) pendidikan dan pelatihan.

Hutan mangrove di Indonesia dengan hamparan luas banyak terdapat di Sumatera, Kalimantan dan Papua. Luas potensial hutan mangrove di seluruh Indonesia sebesar 9.361.957,59 ha (Pusinfo Kehutanan, 2005). Dari luasan tersebut sekitar 27% atau seluas 2.548.209,42 ha kondisinya masih baik, sekitar 40% atau seluas 4.510.456,61 ha kondisinya sedang dan sisanya sekitar 23 % atau seluas 2.1446.174,29 ha dalam kondisi rusak. Setiap tahun Luas hutan mangrove di Indonesia berkurang sebesar 1,1 %.

(32)

Potensi dan Kondisi Saat Ini

Keragaman jenis tumbuhan hutan mangrove di Indonesia cukup tinggi, yaitu sebanyak 89 jenis yang terdiri dari 35 jenis pohon, 29 jenis epipit, 9 jenis liliana, 9 jenis perdu, 5 jenis terna dan 2 jenis parasit. Komposisi flora yang terdapat pada ekosistem ini dipengaruhi oleh kondisi jenis tanah dan genangan air pasang surut.

Pada umumnya ekosistem hutan mangrove mempunyai ciri dan karateristik sebagai berikut :

a. Terdapat di daerah pantai yang dangkal dan landai, serta muara sungai;

b. Jenis tanahnya berlumpur, berlempung, atau berpasir dengan bahan-bahan yang berasal dari lumpur, pasir, atau pecahan karang;

c. Lahannya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun hanya tergenang pada saat purnama. Frekuensi genangan akan menentukan komposisi vegetasi hutan bakau;

d. Menerima pasokan air tawar dari darat (sungai, mata air, atau air tanah) yang berfungsi untuk menurunkan salinitas, menambah pasokan unsur hara dan lumpur; e. Airnya payau dengan salinitas 2-22 ppm atau asin

dengan salinitas mencapai 38 ppm;

f. Vegetasi hutan bakau terdiri dari 202 spesies, yang terbagi atas 89 spesies pohon, 5 palem, 19 liana, 44 herba tanah, 44 epifit, dan 1 sikas. Namun demikian hanya 47 spesies yang merupakan flora spesifik hutan bakau. Daunnya kuat dan mengandung banyak air, serta mempunyai jaringan internal penyimpan air dan konsentrasi garamnya tinggi. Adaptasi dengan genangan air ditunjukkan dengan pembentukan akar napas (pheumatofor), akar lutut, dan akar tunjang serta perkecambahan biji pada waktu buah masih menempel di pohon.

(33)

g. Tipe zonasi hutan bakau di Indonesia dapat digolongkan menjadi 5 mintakat, yaitu :

1) Mintakat pioner, terdapat di daerah yang paling dekat dengan laut yang didominasi oleh Avicennia

dan Sonneratia;

2) Mintakat Rhizophora, terdapat disepanjang tepi parit alam yang didominasi oleh genus

Rhizophora, dengan sistem perakaran yang berfungsi menstabilkan kondisi mintakat;

3) Mintakat Bruguiera, didominasi oleh jenis

Bruguiera, dengan ciri khas pohon yang besar dan tinggi serta tajuknya rapat;

4) Mintakat Ceriops, didiominasi oleh Xylocarpus,

Heririera, dan Ceriops, dengan ketinggian pohonnya dapat mencapai 12 meter, tetapi masih lebih rendah dari mintakat Rhizophora dan Bruguiera;

5) Mintakat pedalaman, ditumbuhi oleh jenis tanaman hutan bakau yang menyatu dengan vegetasi pedalaman, seperti hutan daratan, hutan rawa air, atau hutan rawa gambut;

h. Berdasarkan ketergantungannya terhadap ekosistem, fauna yang hidup di hutan bakau terdiri dari 3 tipe, yaitu :

1) Spesies pengunjung yang menggunakan hutan bakau sebagai tempat singgah dan mencari makan;

2) Spesies penetap yang menggunakan hutan bakau sebagai tempat tinggal, mencari makan, dan melangsungkan proses hidupnya;

3) Spesies yang melewatkan masa perkembangannya di ekosistem hutan bakau, kemudian berpindah ke lokasi lain setelah mencapai masa dewasa.

i. Beberapa jenis biota yang hidup dan dapat ditemui pada ekosistem hutan bakau, antara lain adalah sebagai berikut:

(34)

Potensi dan Kondisi Saat Ini

Nama Jenis Nama Lokal Keterangan

FLORA

Rhizophora apiculata Bakau Famili Rhizophoraceae

R. mucronata Bakau

Bruguiera gymnorriza Mata buaya

B. cylindrical Tancang

B. parviflora Tumu

B. lexangulata B. innceolata

Ceriops tagal Tengar/tengi

Kandelia candel Berus-berus

Sonneratia alba Pedada Famili Sonneratiaceae

S. caselaris/acida S. ovata

Avicennia alba Api-api Famili Avicenniaceae

A. marina A. officinalis

Xylocarpus granatum Nyiri Famili Meliaceae

X. molluciensis

FAUNA

Sus vittatus Babi liar Mencari makan (Mamalia)

Macaca fascicularis Kera

Presbytis cristatus Langur

Pteropus vampirus Kelelawar

Nasalis larvatus Bekantan

Phalacrocorax sp Pecuk Bersarang di atas pohon (Burung)

Ardeola speciosa Blekok

Egretta sp. Kuntul

Mycteria sp. Bangau

Dinopium javanense Pelatuk besi

Lichmera indistineta Burung pengisap

madu Penyerbuk (Burung)

(35)

Nama Jenis Nama Lokal Keterangan

Boiga dendrophila Ular belang

Python reticulatus Ular sanca

Cerberus rhyncops Ular air

Archrochordus

granulatus Ular air Homalopsis buccata Ular air

Fordonia leucobalia Ular air

Rana cancrivora Katak Amphibia

R. limnocharis Katak

Periopthalmus spp. Ikan gelodok Penetap sejati (Ikan) Mugilidae Ikan belanak Penetap sementara

(Ikan) Carangidae Ikan kuweh

Gerreidae Ikan kapasan,

lontong

Ikan kekemek Pengunjung pada periode pasang (Ikan), Famili Exocoetidae, Famili Carangidae Gelama Scianidae Krot Ikan barakuda Alu-alu Sphyraenidae Tancak Pengunjung musiman (Ikan) Udang Krustacea (Invertebrata) Kepiting

Keong Moluska (Invertebrata)

Kerang

Cacing Polychaeta

(Invertebrata)

(36)

Potensi dan Kondisi Saat Ini

Kegiatan Penangkapan Ikan, SUNGAI KAPUAS, Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat

3. Sungai

Sungai merupakan bentuk ekosistem yang terdiri atas unsur air, kehidupan akuatik dan

daratan yang dipengaruhi oleh tinggi

rendahnya permukaan air. Keberadaan sungai mampu mempengaruhi keseimbangan ekosistem sekitarnya. Sungai memegang peranan penting dalam sistem hidrologis, yaitu dengan menjamin keseimbangan dan ketersediaan air permukaan dan air tanah, serta menjaga kelembaban udara dalam kondisi yang nyaman bagi kehidupan.

Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 1991, tentang Sungai, pada pasal 7 menjelaskan bahwa fungsi utama sungai sebagai sumber air merupakan salah satu sumberdaya alam yang mempunyai fungsi serba guna bagi kehidupan dan penghidupan manusia. Mengingat fungsinya yang serba guna, maka keberadaan sungai harus dilindungi dan dijaga kelestariannya, ditingkatkan fungsi dan manfaatnya, serta dikendalikan daya rusaknya terhadap lingkungan.

Berdasarkan data Departemen Pemukiman Prasarana Wilayah tahun 2003, Indonesia memiliki sekitar 5.590 sungai utama dan sekitar 65.017 anak sungai, dengan panjang keseluruhan sungai utama mencapai 94.573 km, dan luas daerah aliran sungainya (DAS) mencapai 1.512.466 km2. Kondisi sungai di Indonesia saat ini pada umumnya sangat mengkhawatirkan, baik kuantitas maupun kualitas airnya. Hal ini dapat terlihat dengan bertambahnya jumlah daerah aliran sungai yang kritis,

(37)

dimana pada tahun 1984 tercatat sebanyak 22 DAS, kemudian bertambah menjadi 39 DAS pada tahun 1992, 59 DAS pada tahun 1998, dan mencapai 62 DAS yang kritis pada tahun 2003.

Secara garis besar penyebab kerusakan sungai diakibatkan oleh; (1) pencemaran limbah domistik dan industri, (2) erosi dan sedimentasi, (3) berkurangnya daerah resapan air, (4) normalisasi sungai, dan (5) pertumbuhan permukiman di bantaran sungai.

Secara umum sungai dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu sungai dataran tinggi dan sungai dataran rendah, dengan ciri-ciri umum sebagai berikut :

a. Airnya mengalir ke arah tertentu b. Terjadi erosi sepanjang aliran

c. Fauna yang hidup di sungai terdiri dari ikan, amphibia, reptilia, dan mamalia, moluska, insekta, dan krustacea. Binatang yang hidup di sungai mempunyai kemampuan untuk berenang atau mampu menempel pada substrat sehingga tidak hanyut oleh air yang mengalir.

Secara khusus ciri-ciri sungai dataran tinggi dan sungai dataran rendah, adalah sebagai berikut :

a. Ciri-ciri khusus sungai dataran tinggi: 1) Disebut juga sungai permanen; 2) Terletak di dataran tinggi;

3) Mengalir deras karena terletak di daerah yang memiliki kemiringan yang relatif terjal;

4) Dangkal dan berbatu;

5) Jernih dan mengandung kadar oksigen yang tinggi; 6) Tidak memperlihatkan pasang surut yang nyata; 7) Air berasal dari hujan dan mata air pegunungan; 8) Pada beberapa tempat yang agak dalam terbentuk

kolam dengan aliran yang lambat;

9) Beberapa jenis ikan dan udang berlindung dari arus yang kuat di dalam kolam tersebut;

(38)

Potensi dan Kondisi Saat Ini

Sungai-sungai dengan ciri dan tipe seperti ini banyak ditemukan di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi

b. Ciri-ciri khusus sungai dataran rendah:

1) Disebut juga sungai musiman dan sungai episodik 2) Terletak di dataran rendah;

3) Mempunyai debit air lebih besar tetapi kecepatan alirannya relatif lebih lambat;

4) Air berasal dari sungai dataran tinggi dan air hujan;

5) Memperlihatkan gejala pasang surut yang nyata; 6) Pada musim hujan volume air meningkat sehingga

kadang-kadang melimpah ke daratan sekitar sungai sehingga membentuk dataran banjir;

7) Di tengah sungai yang besar dapat terbentuk delta akibat pengendapan lumpur yang terbawa sungai. Jenis sungai musiman banyak terdapat di Pulau Jawa, sedangkan sungai episodik banyak ditemukan di Pulau Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat.

4. Danau

Danau adalah badan air alami berukuran besar yang dikelilingi oleh daratan dan tidak berhubungan dengan laut secara langsung, kecuali dengan perantaraan sungai. Danau pada umumnya berupa cekungan yang terjadi karena peristiwa alam, berfungsi sebagai penampung dan penyimpan air yang berasal dari air hujan, mata air, rembesan dan sungai.

Di Indonesia tercatat sebanyak 840 danau besar dan 735 danau kecil, dengan luas seluruhnya sekitar 5.000 km2 (Wetlands, 2004). Danau terluas adalah danau Toba di Sumatera (110.260 ha), dan danau terdalam adalah danau Matano di Sulawesi (600 m).

(39)

DANAU SENTANI, di PAPUA

Danau merupakan kawasan yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat, karena disamping memiliki potensi flora dan fauna yang unik, juga mempunyai potensi untuk tujuan wisata, sarana transportasi, perikanan, pertanian, dan sumber energi

listrik. Namun demikian walaupun tujuan awal dalam upaya pemanfaatan berkelanjutan waduk ditujukan untuk meningkatkan kondisi perekonomian masyarakat, pada kenyataannya banyak menimbulkan dampak ekologis dan sosial yang merugikan kehidupan manusia.

Persoalan utama yang dihadapi oleh ekosistem danau justru berawal dari upaya-upaya pemanfaatan tersebut di atas, yang pada akhirnya menjadikan tekanan berupa pencemaran dari kegiatan industri, pertanian, perikanan, pariwisata, rumah tangga dan introduksi spesies asing. Keberadaan danau ditandai dengan ciri-ciri:

ƒ Berukuran kecil sampai luas sekali; ƒ Dangkal atau sangat dalam;

ƒ Danau-danau tua sering memiliki ikan endemik; ƒ Danau mengalami penumpukan sedimen di dasarnya; Danau dapat diklasifikasi berdasarkan terjadinya, bentuk, aliran air, dan kesuburannya, masing-masing sebagai berikut:

(40)

Potensi dan Kondisi Saat Ini

a. Berdasarkan terjadinya :

1) Danau tektonik, misalnya danau Singkarak, danau Dibawah (Sumatera), dan danau Matano (Sulawesi);

2) Danau vulkanik, misalnya danau Batur (Bali), danau Lore Lindu (Sulawesi), dan danau-danau di sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat (Sumatera); 3) Danau larutan (solution lakes, dolines) atau Karst,

misalnya danau di gua-gua di daerah bukit kapur pegunungan Sewu Jogjakarta Selatan;

4) Danau banjiran

(a) danau dataran banjir (floodplain), misalnya danau Sentarum (Kalimantan Barat), danau Tempe (Sulawesi), dan perairan-perairan di Ogan Komering (Sumatera);

(b) danau ox-bow (danau ladam kuda, kalimati), misalnya danau ox-bow yang berasal dari sungai Idenburgh, Mamberamo, dan Roufaer (Papua); 5) Danau buatan

b. Berdasarkan bentuknya :

1) Danau bentuk bundar, misalnya Ranu Lamongan, Ranu Pakis, dan danau Grati;

2) Danau bentuk semi bundar;

3) Danau bentuk elip, misalnya danau Toba; 4) Danau bentuk semi persegi panjang; 5) Danau bentuk dendritik;

6) Danau bentuk tapal kuda (ox-bow); 7) Danau bentuk segitiga; dan

8) Danau bentuk tidak beraturan. c. Berdasarkan aliran pengeluaran airnya:

1) Danau terbuka; 2) Danau tertutup.

(41)

d. Berdasarkan kesuburannya :

1) Danau oligotrofik, misalnya danau Toba;

2) Danau mesotrofik, misalnya danau Singkarak (Sumatera Barat) dan danau Ranau (Sumatera Selatan);

3) Danau eutrofik, misalnya danau Klakah dan danau Tempe.

Disamping potensi tersebut di atas, danau juga memiliki potensi flora dan fauna yang unik. Beberapa jenis biota (flora-fauna) yang hidup di danau, antara lain adalah :

Nama

Jenis/Taxa/Subclass Nama Lokal Keterangan

FLORA

Typha Ekor kucing Makrofita mencuat Purun Keladi

Rumput teki

Padi-padian

Hydrilla Makrofita tenggelam

Ceratophyllum Vallisneria

Nymphaea Teratai Makrofita berdaun terapung

Nymphoides Teratai kecil

Eichornia crassipes Eceng gondok Makrofita terapung bebas

Pistia stratiotes Ki apung

Salvinia molesta Paku sampan

S. cucullata Vegetasi riparian

Dinophyceae Xanthophyceae Cryptophyceae Bacillariophyceae Chrysophyceae Conjungatophyceae Cyanophyceae Chlorophyceae Perifiton

(42)

Potensi dan Kondisi Saat Ini

Nama

Jenis/Taxa/Subclass Nama Lokal Keterangan

FAUNA

Daphnia Zooplankton

Cyclops

Moluska Keong Bentos

Sumpil Udang-udangan Cacing Larva insekta Rotifera Udang mikroskopik

Pleuston & Neuston Kelompok fauna lain (Sumber: Nirarita, et.al. 1996)

5. Waduk

Waduk atau bendungan adalah suatu konstruksi yang memotong sungai untuk menghalangi aliran air, sehingga permukaan air menjadi naik dan membentuk danau buatan. Fungsí dan manfaat waduk/bendungan hampir sama dengan fungsí dan manfaat danau, hanya saja pada waduk/bendungan kejadiannya banyak campur tangan dan rekayasa manusia. Waduk/bendungan banyak ditemukan di Pulau Jawa; dan beberapa waduk/bendungan banyak di ketemukan di Madura, Sumatera, Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.

Secara umum keberadaan waduk/bendungan ditandai oleh ciri-ciri sebagai berikut :

a.

Umumnya mempunyai kedalaman dan luas permukaan air yang berfluktuasi besar, dan sangat ditentukan oleh fungsi waduk.

(43)

b.

Terdapat perubahan ekosistem perairan dari ekosistem perairan mengalir (lotik) menjadi ekosistem perairan tergenang (lentik). Perubahan ekosistem ini sangat mempengaruhi kehidupan biota perairan sungai asal.

c.

Mempunyai badan air yang tergenang, sehingga memiliki ciri ekologis yang sangat mirip dengan danau

d.

Dibangun untuk kepentingan pembangkit listrik

(PLTA), irigasi, perikanan, dan pariwisata;

Berdasarkan bentuknya waduk dapat diklasifikasikan menjadi :

a. Waduk tipe danau; b. Waduk tipe sungai; c. Waduk tipe bercabang.

Berdasarkan cara pengoperasiannya waduk dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

a. Waduk tahunan; b. Waduk bulanan; c.

Waduk harian

DANAU BUAK,

(44)

Potensi dan Kondisi Saat Ini

RAWA PENING, Kabupaten Semarang Provinsi Jawa Tengah 6. Rawa

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1991, rawa adalah lahan genangan air secara alamiah yang terjadi terus menerus atau musiman akibat drainase alamiah yang terhambat serta mempunyai ciri-ciri khusus secara fisik, kimiawi, dan biologis.

Khusus pada ekosistem

perairan daratan terdapat beberapa kriteria perairan rawa-rawa, yaitu; perairan hutan rawa

gambut, hutan kerangas, hutan rawa non-gambut, dan rawa tanpa hutan.

Secara umum kriteria perairan tersebut di atas bercirikan: a. Rawa adalah daerah yang tergenang air baik secara

musiman atau permanen, dan ditumbuhi vegetasi; b. Air yang menggenangi daerah rawa dapat bersifat asin,

payau, atau tawar;

c. Gerakan air terbatas dan bersifat musiman;

d. Rawa di daerah pesisir dipengaruhi oleh pasang surut disebut rawa pasang surut, sedangkan rawa di daratan pedalaman di dekat sungai atau lahan basah lainnya disebut rawa non-pasang surut;

e. Rawa dapat ditumbuhi pohon, semak, herba berdaun lebar, rumput-rumputan, lumut, dan lumut kerak, yang menutupi hampir 10% dari luas permukaannya;

(45)

f. Rawa dapat berupa hutan rawa atau rawa tanpa hutan (rawa rumput);

g. Substrat di daerah rawa dapat berupa tanah alluvial dan tanah gambut;

h. Yang termasuk dalam lahan basah rawa adalah hutan rawa gambut, hutan kerangas, hutan rawa air tawar, dan rawa tanpa hutan.

Secara spesifik masing-masing ekosistem tersebut bercirikan :

a. Hutan Rawa Gambut

1) Terletak di dataran rendah dekat daerah pesisir, di belakang hutan bakau di sekitar sungai atau danau;

2) Flora yang dominan memiliki tinggi pohon lebih dari 5 meter dan mempunyai tajuk yang rapat;

3) Hutan rawa gambut di Indonesia merupakan gabungan antara hutan gambut dan hutan hujan tropik;

4) Lapisan atas lantai hutan merupakan tanah gambut dengan ketebalan lebih dari setengah meter;

5) Tanahnya mengandung bahan organik yang sangat tinggi yang disebabkan oleh lambatnya proses perombakan (dekomposisi);

6) Gambut biasanya miskin unsur hara (oligotrofik) dan bersifat asam;

7) Permukaan hutan rawa gambut umumnya berbentuk kubah dan letaknya lebih tinggi dari air sungai di sekitarnya;

8) Tanah gambut umumnya berasal dari bahan kayu sehingga dapat menyerap dan mengikat air dalam jumlah besar;

(46)

Potensi dan Kondisi Saat Ini

10)Sungai yang berasal dari hutan gambut bersifat asam dan berwarna hitam atau kemerahan sehingga dikenal dengan nama sungai air hitam; 11)Keterbatasan unsur hara ditunjukkan dengan

kondisi vegetasi, yaitu berkurangnya tinggi kanopi dan jumlah biomasa per-unit area serta bertambahnya ketebalan daun. Ketebalan daun merupakan salah satu indikator dari tanah yang tidak subur dan diduga berperan untuk mengurangi predasi oleh serangga;

12)Beberapa jenis biota yang ada di hutan rawa gambut, antara lain adalah sebagai berikut :

Nama Jenis Nama Lokal Keterangan

FLORA

Gonistylus bancanus Ramin

Palaquium burckii Suntai

P. microphyllum Semarum

Durio carinatus Durian burung

Campnosperma auriculata Terentang

Shorea sp. Meranti rawa

Metroxylon sago Sagu

Oncosperma tigillarium Nibung FAUNA

Pongo pygmaeus Orang utan Sumatera & Kalimantan

Cervus unicolor Rusa

Panthera tigris Harimau

Tapirus indicus Tapir

Hystrix sp. Landak

Sus scrofa Babi hutan

Tomistoma schlegelii Senyulong

Crocodylus porosus Buaya muara

Aves Burung Mencari makan dan berlindung (Sumber: Nirarita, et.al. 1996)

(47)

Hutan rawa gambut di Indonesia tersebar di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Hutan rawa gambut ombrogen banyak dijumpai di Sumatera dan Kalimanta, sedangkan hutan rawa gambut tropogen umumnya dijumpai di Sulawesi.

Gambut dengan ketebalan lebih dari 2 meter dapat ditemui di Aceh, Lampung, Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan kalimantan Tengah. Hutan rawa gambut di Jawa yang masih ada yaitu Rawa Danau di Serang, Jawa Barat.

b. Hutan Kerangas

1) Tanahnya berair

2) Lapisan atas berwarna coklat/hitam dan lapisan bawahnya ada lapisan pasir putih yang telah tercuci (podsolisasi)

3) Di atas permukaan terdapat lapisan tebal humus mentah

4) Tegakan hanya terdiri dari dua lapisan, dimana lapisan kedua terdiri atas banyak pohon yang tumbuh rapat tetapi berukuran kecil.

5) Liana dan herba tanah hanya sedikit

6) Beberapa jenis flora yang terdapat di hutan kerangas, antara lain adalah :

(48)

Potensi dan Kondisi Saat Ini

Nama Jenis Nama Lokal Keterangan

FLORA

Agathis borneensis Bindang Tumbuh di lapisan atas

Dryobalanops fusca Kapur empedu

D. rappa Kelansau

Shorea albida Alan

Cotylelobium flavum Resak durian

Casuarina sumatrana Kayu embun

Tristania Pelawan Tumbuh di lapisan kedua

Pleioarium alternifolium Soma

Whiteodendron moultonianum

Gymnostoma nobile Flora tanah

Vaccinium spp Lycopodium cornuum

Nephentes Kantung semar (Sumber: Hamzah, 1980)

c. Hutan Rawa Non-Gambut (Hutan Rawa Air Tawar)

1) Hanya sedikit mengandung lapisan gambut atau tidak mengandung gambut sama sekali;

2) Tanahnya berupa tanah alluvial yang subur dan mempunyai drainase yang relatif baik;

3) Air yang menggenangi hutan rawa air tawar berasal dari hujan, sungai, dan air permukaan lainnya;

4) Diameter pohon relatif lebih kecil dari pohon pada hutan dataran rendah, namun lebih besar dari pohon pada hutan rawa gambut;

5) Tergenang secara musiman, pada musim kemarau terdapat sisa-sisa atau bekas genangan air;

6) Keragaman jenis tanah dan keberadaan genangan air mempengaruhi tipe vegetasinya. Di daerah

(49)

pinggiran hutan yang berbatasan dengan sungai biasanya ditumbuhi rumput-rumputan, palem, atau pandan. Sedangkan di bagian tengah formasi hutannya hampir sama dengan hutan dataran rendah lainnya.

7) Beberapa jenis biota yang ada di hutan rawa air tawar, antara lain adalah :

Nama Jenis Nama Lokal Ket.

FLORA

Alstonia sp. Pulai

Campnosperma sp. Terentang

Shorea sp. Meranti rawa

Nauclea sp. Syzigium sp.

Palaquium sp. Suntai

Diospyros sp. Garcinia sp.

Melaleuca sp. Kayu Putih/gelam

Metroxylon sp. Sagu FAUNA

Macaca fascicularis Kera ekor panjang

Symphalangus syndactylus Siamang

Presbytis cristata Lutung

Cervus unicolor Rusa

Helarctos malayanus Beruang madu

Sus scrofa Babi hutan

Tapirus indicus Tapir

Panthera tigris Harimau sumatera

Rhinoceros sondaicus Badak jawa

Crocodylus porosus Buaya muara

Tomistoma schlegelii Buaya senyulong

Python reticulatus Ular sanca

Varanus sp Biawak (Sumber: Nirarita, et.al. 1996)

(50)

Potensi dan Kondisi Saat Ini

Hutan rawa air tawar yang luas dapat dijumpai di dataran rendah Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Selain itu juga dapat ditemui di Sulawesi, Jawa, dan Nusa Tenggara. Salah satu lokasi hutan rawa air tawar yang terdapat di Jawa adalah di Taman Nasional Ujung Kulon.

d. Rawa Tanpa Hutan

1) Didominasi oleh rumput-rumputan dan herba akuatik (teki dan purun);

2) Masih mempunyai badan air yang relatif terbuka; 3) Dijumpai di dekat aliran sungai berliku, daerah

dekat danau, di dataran lebih tinggi, atau lahan basah daratan lainnya;

4) Rawa tanpa hutan juga dapat terjadi akibat pembukaan lahan hutan rawa;

5) Yang termasuk dalam rawa tanpa hutan adalah rawa didataran banjiran (lebak/lebak-lebung, rawa herba, rawa rumput, dan rawa gambut permanent), serta badan-badan air tergenang lainnya yang mengalami pendangkalan dan berubah menjadi rawa;

6) Lebak (dataran banjir) dapat dijumpai pada danau oxbow di Idenburg, Mamberamo, dan sungai Rouffaer di Papua, komplek dataran banjir Cagar Alam Danau Sentarum di Kalimantan Barat, dan Danau Tempe di Sulawesi;

7) Rawa herba umum dijumpai di Kalimantan Selatan (Rawa Sungai Negara) dan Sumatera Selatan (Rawa Ogan Komering). Rawa herba di Indonesia mencapai seluas 2 juta hektar, yang didominasi oleh tanaman herba, semak, rumput-rumputan (Poaceae/Graminae), dan anggota famili Asteraceae.

8) Species endemik rawa tanpa hutan antara lain

Eriocaulon celebicum dan Eleocharis sundaica,

sedangkan yang termasuk species eksotik misalnya

(51)

9) Rawa rumput banyak terdapat di Papua. Jenis rawa ini sangat penting sebagai habitat buaya, juga sebagai padang penggembalaan ternak dan habitat rusa;

10)Rawa gambut permanen dijumpai di sekitar danau yang terbentuk di atas kubah gambut (danau distropik) misalnya Rawa Aopa di Sulawesi Tenggara. Rawa ini terbentuk di atas tanah gambut yang ditumbuhi herba, sedangkan di lembah-lembah dataran tinggi ditumbuhi

Cyperaceae dan Typha

B. Sumberdaya Ikan Perairan Daratan

Selama kurun waktu 1960-2004 hasil tangkapan ikan di perairan daratan tercatat sebesar 283.000 ton/th (Ditjen Perikanan 1962-2004; Ditjen Perikanan Tangkap 2004-2006). Sarnita dan Djajadiredja (1968) mengemukakan bahwa potensi produksi ikan di perairan daratan Indonesia ditaksir sebesar 800.000-900.000 ton/tahun. Dengan demikian tingkat pemanfaatan perikanan perairan rata-rata baru mencapai sekitar 33,3 % /th. Dari data tersebut di atas terlihat bahwa untuk meningkatkan hasil tangkapan ikan dari perairan daratan masih cukup besar. Untuk kebanyakan badan air nampaknya peluang peningkatan yang cukup besar tersebut hanya akan terjadi setelah perairan yang bersangkutan mengalami upaya rehabilitasi habitat dan komunitas ikan yang berhasil baik. Pada saat ini potensi perikanan perairan daratan ditaksir sebesar 3.000.000 ton/tahun

Pemanfaatan yang rendah tersebut disebabkan antara lain karena nelayan sebagian besar memiliki modal usaha yang rendah dan stok ikan (biomassa ikan) di suatu perairan daratan umumnya masih belum mencapai pada tingkat potensi produksi yang optimal. Belum optimalnya potensi produksi tersebut, dikarenakan kebanyakan perairan daratan belum dikelola secara rasional.

(52)

Potensi dan Kondisi Saat Ini

Kegiatan Penebaran Benih Kepiting Kelompok Masyarakat

C. Sosial Ekonomi/Sosial Budaya

Pentingnya sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati telah disadari oleh penyelenggara pemerintahan sejak awal kemerdekaan Indonesia hingga sekarang. Pasal 33 ayat (3) UUD. 1945 menyatakan bahwa ”bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Amanat inilah yang harus dipedomani dan menjadikan dasar utama dalam pengaturan upaya pemanfaatan berkelanjutan sumberdaya alam di Indonesia. Bagi kita sumberdaya alam merupakan faktor yang sangat penting karena Indonesia merupakan negara yang basis ekonominya sangat tergantung pada ketersediaan dan kelestarian sumberdaya alam. Karena itu strategi dan kebijakan dalam upaya pemanfaatan berkelanjutan sumberdaya alam yang dilakukan sudah seharusnya berorientasi pada kepentingan ekonomi.

Air atau perairan beserta sumber-sumbernya termasuk kekayaan alam

yang terkandung didalamnya, mempunyai

manfaat multi guna yang

sangat dibutuhkan manusia sepanjang masa, baik dibidang sosial, ekonomi, maupun budaya. Disamping itu juga air merupakan salah satu sumberdaya alam yang secara langsung berhubungan dan sangat penting dalam kehidupan manusia, sehingga dalam pemanfaatannya memerlukan upaya upaya pemanfaatan berkelanjutan secara berkelanjutan (sustainable).

(53)

DANAU BUAK, Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat

Sejarah menunjukkan bahwa pengaturan tentang upaya pemanfaatan berkelanjutan sumberdaya alam termasuk air berjalan melalui suatu proses evolusi yang bergantung pada perkembangan kebutuhan akan sumberdaya alam tersebut. Dengan demikian, perkembangan pengaturannya bergantung pada dinamika kebutuhan akan sumberdaya alam itu sendiri. Oleh karena itu, kita melihat bahwa dalam sejarah manusia perkembangan pengaturan atas sumberdaya alam bersifat parsial, yang disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan manusia. Hal ini terbukti dalam pengaturan selama ini yang selalu didasarkan pada tingkat pemanfaatan setiap jenis sumberdaya alam, misalnya; UU Pengairan, UU Pokok Pertambangan, UU Pokok Kehutanan, dan UU tentang Perikanan. Akibatnya peraturan perundangan yang mengatur tentang sumberdaya air dibuat terpisah dari peraturan perundangan yang obyek pengaturannya relatif sama. Saat ini tercatat berbagai produk hukum yang selama ini digunakan dalam pengaturan

pemanfaatan

sumberdaya air, antara lain; UU. No.11 tahun 1974, tentang Pengairan; UU. No.27 tahun 2004, tentang Sumberdaya Air; PP. No.22 tahun 1982, tentang Tata Guna Air; PP. No.27 tahun 1991, tentang

Rawa; PP. No.35 tahun 1991, tentang Sungai; PP. No. 77 tahun 2001, tentang Irigasi; dan PP. No. 82 tahun 2001, tentang Kualitas Air.

(54)

Potensi dan Kondisi Saat Ini

Sumberdaya perikanan perairan daratan mempunyai arti ekonomi penting bagi sebagian masyarakat Indonesia, terutama mereka yang hidup dan bermata pencaharian disekitar perairan daratan. Sampai sejauh ini, penilaian (valuasi) ekonomi dari sumberdaya perikanan perairan daratan di Indonesia, dapat dikatakan belum dilakukan. Walaupun ada, penilaian ekonomi sumberdaya perikanan tersebut biasanya hanya didasarkan pada manfaat langsung. Menurut Dahuri (2003), manfaat langsung dari suatu ekosistem alamiah adalah barang atau sumberdaya alam dan jasa lingkungan ekosistem tersebut yang dapat secara langsung dikonsumsi, dimanfaatkan atau diperdagangkan oleh umat manusia. Secara teoritis Nilai Ekonomi Total (NET) suatu sistem ekonomi alamiah terdiri dari Nilai Penggunaan (NP) dan Nilai Bukan Penggunaan (NBP). Yang termasuk Nilai Penggunaan adalah Nilai Penggunaan Langsung (NPL), Nilai Penggunaan Tidak Langsung (NPTL), dan Nilai Penggunaan Pilihan (NPH). Output dari Nilai Penggunaan Langsung adalah Perikanan Tangkap, Budidaya Ikan, Obat-obatan dan Industri serta Pariwisata dan Rekreasi. Sedangkan manfaat dari Nilai Penggunaan Tidak Langsung adalah sebagai penunjang biologi untuk bidang perikanan, reptil air tawar, mamalia, burung serta ekosistem lain selain itu sebagai perlindungan untuk navigasi.

Contoh nilai ekonomi sumberdaya yang hilang (kerugian yang diderita) adalah dampak dari mega proyek pembukaan lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan Tengah yang sekarang terbengkalai. Nilai kerugian dari sumberdaya perikanan yang kena dampak proyek tersebut tentu akan jauh lebih besar lagi karena termasuk menurunnya keanekaragaman hayati perairan, hilang dan rusaknya habitat perikanan dan biota akuatik lainnya yang semuanya sulit dinilai dengan uang dan yang paling tinggi adalah hilangnya mata pencaharian utama masyarakat setempat yang menggantungkan hidupnya dari perikanan.

(55)

Perairan daratan Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan yang cukup besar baik sebagai lahan untuk usaha perikanan tangkap dan budidaya (berupa ikan konsumsi dan ikan hias) keanekaragaman hayati yang tinggi dan sumber plasma nutfah.

Pemanfaatan potensi sumberdaya perairan daratan berbeda antara satu perairan dengan perairan lainnya, dan pada umumnya masih belum dikelola secara optimal berdasarkan aspek kelestarian, dengan sasaran peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta dilakukan melalui upaya pemanfaatan berkelanjutan bersama yang bersifat adaptif. Upaya pemanfaatan berkelanjutan bersama dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk pengaturan kemitraan yang berbasis pada kemampuan dan minat nelayan atau masyarakat lokal yang dilengkapi dengan kemampuan pemerintah dalam menyediakan perangkat hukum dan bantuan lainnya (Sukadi et al., 2001). Kombinasi kemitraan yang ideal ditiap lokasi sumberdaya alam akan tergantung pada kemampuan berbagai pelaku perikanan lokal dan sifat alami sumberdaya alam yang dikelola.

Upaya pemanfaatan berkelanjutan adaptif memperlihatkan suatu pergeseran secara nyata dari praktek upaya pemanfaatan berkelanjutan tradisional yang sering berjalan terlalu kaku, sehingga terkadang tidak sesuai untuk berbagai kondisi lingkungan dan stok ikan lokal. Upaya pemanfaatan berkelanjutan adaptif meliputi kegiatan ;

1. Monitoring secara aktif terhadap pengaruh setiap intervensi atau perubahan upaya pemanfaatan berkelanjutan

2. Evaluasi dampak dengan membandingkan dampak di tempat satu dengan tempat lainnya atau dimasa kini dengan masa sebelumnya

3. Pengembangan strategi upaya pemanfaatan berkelanjutan secara terus menerus, berdasarkan pada pengalaman dan umpan balik

(56)

Potensi dan Kondisi Saat Ini

Ekosistem perikanan perairan daratan mempunyai nilai ekonomi total yang tinggi dan akan berperan penting dalam pembangunan perekonomian nasional. Untuk itu, valuasi sumberdaya perikanan perairan daratan perlu dilakukan secara komprehensif meliputi seluruh unsur atau komponen yang berbeda didalamnya.

(57)
(58)
(59)
(60)

Kondisi yang Diharapkan

Populasi Ikan Lele, Waduk Telaga Ranjeng, Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah

ata dan informasi yang ada memberikan indikasi bahwa tingkat kerusakan ekosistem, ancaman kepunahan spesies, dan erosi sumberdaya genetis di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Sehingga dapat dikatakan bahwa Indonesia saat ini sedang menghadapi krisis lingkungan dan keanekaragaman hayati.

Beberapa upaya telah dilakukan untuk mengatasi kerusakan keanekaragaman hayati, seperti yang dilakukan pemerintah dibidang kebijakan dan kelembagaan, konservasi, pengembangan sistem informasi, dan sosial ekonomi. Disamping itu pula sudah banyak inisiasi dan peran yang telah dilakukan masyarakat, baik dalam bentuk perorangan maupun kelompok (organisasi non pemerintah).

Upaya awal yang telah

dilakukan dalam mengatasi kerusakan keanekaragaman hayati, diantaranya melalui pendekatan upaya pemanfaatan berkelanjutan secara lestari yang didasarkan pada kesepakatan internasional CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna/Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Flora dan Fauna yang Terancam), dan Konvensi Ramsar mengenai Lahan Basah. Melalui Keputusan Presiden No. 43/1978 dan Keputusan Presiden No. 48/1991, pemerintah Indonesia telah meratifikasi CITES dan Konvensi Ramsar tersebut di atas. Kedua konvensi ini sangat penting, tetapi prinsip-prinsip upaya

(61)

pemanfaatan berkelanjutan yang ada di dalamnya masih belum diintegrasikan dalam kebijakan yang komprehensif di tingkat nasional, apalagi dalam tindakan nyata di lapangan.

Upaya berikutnya dalam rangka pelestarian sumberdaya hayati, adalah ditetapkannya UU No. 5/1990 tentang Pelestarian sumberdaya hayati dan ekosistemnya, yang mengatur konservasi ekosistem dan spesies terutama di kawasan lindung. Sayangnya, upaya ini cakupannya masih terbatas pada basis kehutanan dan pelestarian pada kawasan lindung, sehingga belum menyentuh ekosistem di luar kawasan lindung yang justru mengalami ancaman lebih berat.

Beberapa kebijakan yang diharapkan dapat menjadi panduan komprehensif bagi upaya pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati, seperti; UU No. 5/1990, UU No. 5/1994 tentang ratifikasi Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati, dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati untuk Indonesia (BAPI 1993/Biodiversity Action Plan for Indonesia), pada kenyataannya dalam implementasinya di lapangan dirasa masih belum diterapkan secara efektif. Perkembangan terakhir dengan disyahkannya Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, pada pasal 13 ayat (1) diamanatkan bahwa dalam rangka upaya pemanfaatan berkelanjutan sumberdaya ikan, dilakukan upaya konservasi ekosistem, konservasi jenis ikan, dan konservasi genetika ikan. Dengan demikian maka keadaan yang ideal dan kita inginkan bersama, adalah terkelolanya sumberdaya ikan berserta lingkungannya di perairan daratan secara rasional, yaitu suatu upaya pemanfaatan berkelanjutan optimum, lestari dan berkelanjutan diseluruh habitat ekosistem perairan daratan dengan sasaran utama pada peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat nelayan dan pembudidaya ikan skala kecil.

Upaya pengelolan perikanan perairan daratan secara rasional, yang bertujuan untuk melestarikan sumberdaya ikan dan hasil tangkapan nelayan setempat, dapat dilakukan melalui beberapa opsi (management options), sebagai berikut;

(62)

Kondisi yang Diharapkan

RAWA PENING, Kabupaten Semarang Provinsi Jawa Tengah

1. Peningkatan stok ikan (stock enhancement) yang dapat dilakukan melalui upaya penebaran (stocking), penebaran kembali (restocking) dan atau introduksi ikan;

2. Pembentukan suaka perikanan (protected area) yang disertai dengan aspek hukumnya (legal aspect)

3. Penerbitan peraturan penangkapan dan peraturan perikanan lainnya, serta

4. Pembentukan kelembagaan upaya pemanfaatan berkelanjutan, termasuk pembentukan peraturan penangkapan, yang diikuti dengan upaya penegakan hukum (law enforcement).

Opsi-opsi upaya pemanfaatan berkelanjutan yang akan dipilih sangat tergantung pada keadaan perairan serta masyarakat dan nelayan setempat. Dengan meningkatnya stok (populasi) ikan di suatu perairan daratan, hasil tangkapan nelayan akan dapat meningkat, yang pada akhirnya pendapatan asli daerah (PAD) akan dapat meningkat pula. Penegakan pelaksanaan peraturan penangkapan yang ketat akan dapat mempercepat proses peningkatan hasil tangkapan ikan dan upaya pelestarian sumberdaya ikan di perairan yang bersangkutan.

A. Definisi Suaka Perikanan Perairan Daratan

Seperti telah diutarakan di atas, salah satu opsi upaya pemanfaatan berkelanjutan perikanan perairan daratan

adalah dengan membentuk atau mengelola suaka perikanan dengan baik. Suaka perikanan didefinisikan sebagai suatau kawasan perairan tertentu, baik

air tawar, payau, maupun laut dengan kondisi dan ciri tertentu sebagai tempat perlindungan/

(63)

berkembang biak jenis sumberdaya ikan tertentu, yang berfungsi sebagai daerah perlindungan. Atau dengan kata lain suaka perikanan merupakan kawasan perairan tertentu, baik perairan daratan atau bahari yang mempunyai bagian-bagian tertentu dimana ikannya tidak boleh ditangkap dengan cara apapun, kapanpun, oleh siapapun. Kawasan ini merupakan salah satu lahan (area) perairan umum (badan air) yang dilindungi secara mutlak atau terbatas dengan fungsi sebagai penyangga (buffer) bagi suatu ekosistem akuatik yang dianggap kritis terancam kelestariannya, habitat (tempat hidup) sumberdaya ikan endemik hampir punah, langka dan terancam kelestariaanya, atau karena memiliki keindahan serta sifat yang khas (unique), dan/atau karena khusus bagi kepentingan ilmu pengetahuan dan kebudayaan, sehingga dilindungi dan dilestarikan keberadaanya. (Dit. Bina Sumber Hayati, 1990). Dengan demikian suaka perikanan akan berfungsi sebagai badan air dimana komunitas ikan di dalamnya dapat melangsungkan daur hidupnya, dan dapat memasok benih maupun calon induk ikan ke daerah penangkapan di sekitarnya. Dengan suaka perikanan diharapkan akan dapat menjaga kelestarian plasma nutfah (keanekaragaman jenis) ikan yang ada di dalamnya, yang pada akhirnya dapat menjaga keaslian dan menjamin terlaksananya proses evolusi. Lebih lanjut diharapkan suaka perikanan akan dapat memulihkan kembali daya dukung badan air sekitarnya, sehingga dapat memberikan manfaat yang optimal dan berkesinambungan bagi kemaslahatan nelayan dan masyarakat sekitarnya. Dengan pulihnya populasi ikan di perairan sekitar suaka perikanan, maka potensi sumberdaya ikan dapat lestari dan dapat berfungsi secara optimal seperti yang diharapkan.

Suaka perikanan harus mempunyai batas-batas yang jelas dan dilindungi oleh suatu badan air dan/atau daratan sekitarnya agar terlindung dari gangguan-gangguan yang tidak diinginkan (termasuk pencemaran perairan), sehingga ia dapat menjalankan fungsinya dengan baik sebagai kawasan pemijahan (spawning ground) yang melindungi dan

Referensi

Dokumen terkait

Sumber: Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang dan Pertanahan Kabupaten Ciamis Menurut data diatas penyebab kecelakaan kerja tersebut tidak lepas dari perusahaannya itu sendiri

8ada sebagian besar kasus, plasenta terlepas seara spontan dari tempat implantasinya dalam waktu beberapa menit setelah janin lahir. 8enyebab pasti

Hasil yang diperoleh dari perancangan CKM yaitu dapat memudahkan customer dalam mendapatkan informasi yang dibutuhkan berkaitan dengan pelayanan, keamanan dan seputar

Fisioterapis juga perlu mengetahui harapan akhir dari pasien terhadap hasil akhir penanganan yang akan diberikan. Fisioterapis dan klien harus memiliki harapan yang sama dan

Hasil dari perancangan aplikasi yang dibuat adalah Sistem Informasi keanggotaan berbasis Web yang dapat membantu user untuk melakukan pendaftaran anggota Partai

Penelitian tugas akhir ini bertujuan untuk menganalisis penurunan tanah dan respons tegangan tanah yang terjadi pada pondasi rakit dengan menggunakan perhitungan

pembelajaran kaprog ini yang mengerti bentul tentang program ini, karena mereka yang menjalankan program ini dan mengikuti semua program-program dari AHM, juga sering menjadi

Hari Rabu, Tanggal 5 Juli 2006, Pukul 09.00 WIB, Komisi IV mengadakan Rapat Kerja dengan Kepala Dinas Kesehatan dan Direktur Rumah Sakit Daerah Provinsi Sumatera Barat, dalam