• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS RESPON PENAWARAN EKSPOR SERAT SABUT KELAPA INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS RESPON PENAWARAN EKSPOR SERAT SABUT KELAPA INDONESIA"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS RESPON PENAWARAN EKSPOR

SERAT SABUT KELAPA INDONESIA

Oleh :

Priyo Hari Kustaman A.14101691

PROGRAM STUDI EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2005

(2)

RINGKASAN

Priyo Hari Kustaman. Analisis Respon Penawaran Ekspor Serat Sabut Kelapa Indonesia. Di bawah Bimbingan Rina Oktaviani.

Kelapa dan produk turunannya adalah salah satu produk perkebunan yang sebagian besar dikonsumsi oleh masyarakat untuk kelapa sayur dan sisanya diolah oleh industri sebagai bahan baku beberapa produk, seperti minyak kelapa, kopra, sabut kelapa, dan lainnya. Produk tersebut di ekspor ke beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Belanda, dan negara lainnya. Menurut APCC (2003) salah satu produk ikutan kelapa yang memiliki jumlah ekspor paling rendah adalah produk sabut kelapa (serat). Walaupun memiliki jumlah ekspor rendah, tetapi apabila dilihat dari trend, ekspor komoditas ini cenderung mengalami peningkatan.

Serat sabut kelapa atau dalam perdagangan dunia dikenal dengan nama

coconut coir, merupakan bahan baku untuk berbagai industri, seperti industri karpet, jok untuk kendaraan, jok perabot rumah tangga, matras, kemasan, dan tali. India dan Srilanka adalah salah satu produsen terbesar untuk produk - produk dari serat sabut kelapa ini. Sementara Indonesia yang memiliki areal perkebunan kelapa terluas di dunia hanya mampu menempati urutan kelima dalam ekspor sabut kelapa. Dikarenakan ekspor Indonesia hanya menempati urutan kelima maka perlu dianalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran ekspor serat sabut kelapa di Indonesia, dan respon penawaran ekspor serat sabut kelapa terhadap faktor – faktor yang mempengaruhinya.

Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran ekspor serat sabut kelapa di Indonesia, dan menduga nilai elastisitas (respon penawaran) serat sabut kelapa terhadap faktor – faktor yang mempengaruhinya.

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder dalam bentuk

time series. Data tersebut diperoleh dari Asian and Pacific Coconut Community

(APCC), Badan Pusat Statistik (BPS), dan instansi – instansi lain yang relevan. Analisis regresi adalah metode yang digunakan untuk menganalisis hubungan antar variabel. Model persamaan yang digunakan adalah model regresi linier berganda (ekonometrika) atau model double log. Faktor – faktor yang menjadi variabel pada penelitian ini adalah harga ekspor serat sabut kelapa (X1) (US$/Kg), nilai tukar riil rupiah (X2) (Rp/US$), produk domestik bruto (X3) (Rp), produksi sabut kelapa (X4) (Kg), jumlah ekspor serat sabut kelapa tahun sebelumnya (X5) (Kg) dan luas areal pertanaman kelapa (X6) (ha).

Berdasarkan hasil pengujian maka model yang dipilih untuk menduga pengaruh variabel bebas terhadap penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia adalah model double log. Dipilihnya model ini karena tidak memiliki permasalahan dengan asumsi model (multikolinier, autokorelasi, heterokedastis) dan nilai R2 yang dihasilkan cukup tinggi, yaitu 90,90 persen.

Berdasarkan hasil identifikasi variabel diketahui bahwa variabel bebas yang dapat mempengaruhi penawaran ekspor serat sabut kelapa di Indonesia adalah harga ekspor, nilai tukar riil rupiah, produk domestik bruto, produksi sabut kelapa,

lag dan luas areal perkebunan kelapa. Dari ke enam variabel tersebut yang berpengaruh nyata terhadap ekspor serat sabut kelapa Indonesia adalah harga ekspor, nilai tukar riil rupiah, produk domestik bruto dan produksi sabut kelapa. Respon semua variabel bebas terhadap penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia adalah inelastis. Hal ini berarti bahwa apabila terjadi perubahan pada variabel bebas tersebut maka tidak akan menyebabkan terjadinya gejolak yang besar di pasaran.

(3)

Berdasarkan hasil dan pembahasan maka disimpulkan bahwa variabel yang berpengaruh nyata terhadap ekspor serat sabut kelapa Indonesia adalah harga ekspor serat sabut kelapa, nilai tukar riil rupiah, produk domestik bruto dan produksi sabut kelapa, sedangkan variabel yang tidak berpengaruh nyata terhadap penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia adalah lag dan luas areal perkebunan kelapa. Respon semua variabel bebas terhadap penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia adalah inelastis.

(4)

ANALISIS RESPON PENAWARAN EKSPOR

SERAT SABUT KELAPA INDONESIA

Oleh :

Priyo Hari Kustaman A.14101691

Skripsi

Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar

SARJANA PERTANIAN

Pada

Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2005

(5)

PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh : Nama : Priyo Hari Kustaman

NRP : A.14101691

Program Studi : Ekstensi Manajemen Agribisnis

Judul : Analisis Respon Penawaran Ekspor Serat Sabut Kelapa Indonesia Dapat diterima sebagai salah satu syarat kelulusan pada Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS NIP. 131.846.872

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. H. Supiandi Sabiham, MAgr NIP. 130.422.698

(6)

PERNYATAAN

SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR – BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Oktober 2005

Priyo Hari Kustaman A. 14101691

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kelurahan Kemasan, Kecamatan Kota, Kodya Kediri, pada tanggal 17 Desember 1977 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dan merupakan putera dari pasangan Bapak Supriyono dan Ibu Napsiyah. Penulis mulai memasuki Sekolah Lanjutan Tingkat Atas pada tahun 1992 di Sekolah Menengah Atas Negeri Tiga, Kodya Kediri dan lulus pada tahun 1995.

Setelah lulus kemudian pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke Universitas Brawijaya sebagai mahasiswa program Diploma III dengan Program Studi Produksi Tanaman (Hortikultura), Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian. Setelah lulus dari program Diploma III (1998) penulis tidak langsung melanjutkan kuliah ke Strata-1 melainkan bekerja terlebih dahulu di PT. Waru Abadi (Distributor Semen Gresik) sampai dengan sekarang. Pada tahun 2002 penulis kemudian melanjutkan kuliah Strata-1 di Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Institut Pertanian Bogor.

(8)

KATA PENGANTAR

Saya panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan dan rahmat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul : Analisis Respon Penawaran Ekspor Serat Sabut Kelapa Indonesia. Adapun yang melatarbelakangi dilakukannya penelitian respon penawaran ekspor serat sabut kelapa adalah dikarenakan ekspor Indonesia untuk komoditas serat sabut kelapa ini sangat rendah sekali bila dibandingkan dengan negara lain (India, Srilanka, Thailand dan Philipina) yang memiliki luas areal perkebunan dibawah negara Indonesia. Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat diketahui faktor – faktor yang berpengaruh terhadap penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia.

Penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada bagian ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi – tingginya kepada :

1. Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS, selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan, saran dan nasihat mulai dari persiapan penyusunan skripsi sampai dengan penyelesaian penulisan skripsi ini. 2. Ir. Netty Tinaprilla, MMA, yang telah berkenan menjadi evaluator pada

waktu seminar proposal (kolokium).

3. Ayu Lestari, yang telah berkenan menjadi pembahas saya ketika seminar hasil.

4. Muhammad Firdaus, SP, MS, yang berkenan menjadi dosen layak uji dan penguji utama pada skripsi saya.

5. Ir. Murdiyanto, MSi, yang berkenan menjadi dosen penguji mewakili komdik pada sidang skripsi saya.

6. Istri dan anakku yang telah banyak memberikan dukungannya.

7. kedua orang tua yang telah banyak memberikan dukungan moriil dan materiil.

8. semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

1.4. Ruang Lingkup Penelitian ... 7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1. Tinjauan Umum ... 8

2.1.1. Diversifikasi Produk Kelapa ... 8

2.1.2. Serat Sabut Kelapa ... 10

2.1.3. Proses Produksi Serat Sabut Kelapa ... 11

2.2. Tinjauan Empiris (Hasil Penelitian Terdahulu) ... 13

2.2.1. Penelitian mengenai Sabut Kelapa ... 13

2.2.2. Penelitian mengenai Respon Penawaran ... 15

BAB III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 17

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ... 17

3.1.1. Konsep Perdagangan Internasional ... 17

3.1.2 Penawaran Ekspor ... 20

3.2. Kerangka Pemikiran Konseptual ... 24

3.3. Hipotesis ... 26

BAB IV. METODE PENELITIAN ... 28

4.1. Jenis dan Sumber Data ... 28

4.2. Pengolahan dan Analisis Data ... 28

4.2.1. Perumusan Model ... 29

4.2.2. Masalah – masalah dalam Model ... 35

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40

5.1. Gambaran Umum Serat Sabut Kelapa Indonesia ... 40

5.1.1. Produksi Serat Sabut Kelapa ... 39

5.1.2. Pemasaran Serat Sabut Kelapa ... 42

5.1.3. Ekspor Serat Sabut Kelapa Indonesia dan Negara Lain di Dunia ... 45

5.1.4. Perkembangan Harga Serat Sabut Kelapa ... 49

5.2. Model Penawaran Ekspor Serat Sabut Kelapa Indonesia ... 50

5.2.1. Pengujian Model ... 52

(11)

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 60

6.1. Kesimpulan ... 60

6.2. Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 61

(12)

DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman

1. Luas Areal Perkebunan Kelapa di Dunia, Tahun 2003 ... 2 2. Produksi Kelapa Dunia (setara butir dan kopra (Ton)), Tahun

2003 ... 3 3. Perkembangan Ekspor Kelapa, Produk Ikutannya di Indonesia,

Tahun 1999 – 2003 ... 4 4. Luas Areal Perkebunan Rakyat, Negara dan Swasta (Ha) beserta Produksinya di Indonesia (Ton), Tahun 1999 – 2003 ... 5 5. Ekspor Sabut Kelapa dan Produk Sabut Dunia (Ton), Tahun

1999 – 2003 ... 5 6. Jenis Data yang Digunakan Beserta Sumbernya ... 28 7. Luas Areal Perkebunan Kelapa (Ha) dan Produksi Kelapa (Ton)

Per Wilayah Indonesia, Tahun 2003 ... 42 8. Rata – rata Impor Produk Sabut Kelapa (Ton) Negara Jepang

Dari Negara India, Srilanka dan Indonesia, Tahun 1999 – 2004 . 46 9. Kontribusi Serat Sabut Kelapa terhadap Pendapatan Ekspor

Indonesia, Tahun 1999 – 2004 ... 47 10. Nama Propinsi dan Pelabuhan Muat Ekspor Serat Sabut Kelapa

Indonesia, Tahun 1996 – 2004 ... 48 11. Pertumbuhan Ekspor Produk Sabut Kelapa di Dunia, Tahun

1999 – 2003 ... 48 12. Harga Ekspor (US$) Komoditas Produk Sabut Kelapa di India,

Tahun 1999 – 2003 ... 50 13. Hasil Dugaan Model Penawaran Ekspor Serat Sabut Kelapa

Indonesia dan Nilai Elastisitasnya, Tahun 2004 ... 52 14. Hasil Uji Park ... 54

(13)

DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman

1. Mekanisme Terjadinya Perdagangan Internasional ... 21

2. Kurva Kemungkinan Produksi ... 22

3. Alur Kerangka Pemikiran Konseptual... 25

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

1a. Impor Coir Fibre di Dunia (Ton), 1999 - 2003 ... 64 1b. Impor Coir Yarn di Dunia (Ton), 1999 - 2003 ... 65 1c. Impor Coir Mats, Matting dan Rugs di Dunia (Ton), 1999 - 2003 66 2. Ekspor Serat Sabut Kelapa Indonesia ke Beberapa Negara di

Di Dunia (Ton), Tahun 1996 – 2004 ... 67 3. Luas Areal Produksi Kelapa dan Produksi Sabut Kelapa,

Tahun 1967 – 2004 ... 70 4. Data Dugaan Penawaran Ekspor Serat Sabut Kelapa

Indonesia, Tahun 2004 ... 71 5. Hasil Pendugaan Penawaran Ekspor serat Sabut Kelapa Indonesia,

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pada abad ke-21 ini, upaya untuk memacu pembangunan nasional perlu terus dilakukan. Hal ini dikarenakan perkembangan dunia yang terus mengalami perubahan, baik ditingkat regional maupun ditingkat global. Perubahan tersebut sudah demikian cepat dan dinamis sehingga menyebabkan negara-negara di dunia menjadi terpengaruh oleh perubahan-perubahan yang terjadi. Perubahan yang terjadi tersebut ditandai dengan adanya kecenderungan-kecenderungan, seperti arus globalisasi ekonomi dengan sistem ekonomi pasar terbuka dan timbulnya kekuatan-kekuatan regional yang mengarah kepada kepentingan kawasan.

Oleh karena itu dalam menetapkan kebijaksanaan pembangunannya, Indonesia perlu mempertimbangkan kecenderungan perubahan yang terjadi secara keseluruhan. Hal ini perlu dilakukan agar Indonesia dapat meningkatkan perdagangannya di pasar internasional.

Salah satu komoditas Indonesia yang perlu ditingkatkan perdagangannya dalam pasar internasional adalah produk perkebunan. Hal ini dikarenakan Indonesia memiliki berbagai jenis produk perkebunan yang bernilai strategis dalam bidang sosial ekonomi bagi bangsa Indonesia, khususnya dalam meningkatkan taraf hidup para petani di pedesaan.

Salah satu produk perkebunan yang memiliki nilai sangat strategis adalah kelapa dan produk turunannya. Hal ini diketahui dari kemampuannya yang dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang cukup besar, yaitu sampai tujuh juta orang untuk di seluruh Indonesia (Dirjen Kerjasama Industri dan Perdagangan, 2003).

(16)

Besarnya kemampuan komoditas kelapa dalam menyerap tenaga kerja karena ditunjang oleh luasnya areal perkebunan kelapa Indonesia. Menurut Asian and Pacific Coconut Community (2003), Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki areal perkebunan kelapa terluas di dunia. Luas perkebunan kelapa Indonesia tersebut apabila dilihat dari posisinya di dunia menempati urutan pertama. Urutan keduanya ditempati oleh negara Philipina yang memiliki luas areal mencapai 3.214.000 ha. Sementara itu, sisanya seluas 4.962.000 hektar dimiliki oleh beberapa negara, seperti India, Srilanka, Thailand, Tanzania, Brazil dan negara lainnya. Adapun perincian mengenai luas areal perkebunan kelapa di dunia ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Luas Areal Perkebunan Kelapa di Dunia, Tahun 2003

No. Nama Negara Luas Lahan (ha) Persentase (%)

1 Indonesia 3.883.000 32,20 2 Philipina 3.214.000 26,65 3 India 1.843.000 15,28 4 Srilanka 422.000 3,50 5 Thailand 328.000 2,72 6 Tanzania 310.000 2,57 7 Brazil 240.000 1,99 8 Negara lain 1.819.000 15,08 Total 11.909.000 100,00

Sumber : Asian and Pacific Coconut Community (APCC), 2003

Berdasarkan Tabel 1 tersebut diketahui bahwa luas areal perkebunan kelapa Indonesia tersebut pada tahun 2003 adalah sebesar 3.883.000 ha. Luasnya areal perkebunan kelapa Indonesia tersebut menyebabkan produksi kelapa Indonesia menjadi paling besar di dunia. Perincian data mengenai produksi kelapa di dunia dapat dilihat pada Tabel 2.

(17)

Tabel 2. Produksi Kelapa Dunia Setara Butir dan Kopra (Ton), Tahun 2003 Produksi

No. Nama Negara Butir Kopra (Ton)

1 Indonesia 19.537.500.000 3.907.500 2 Philipina 13.789.000.000 2.757.800 3 India 11.875.000.000 2.375.000 4 Srilanka 2.562.000.000 512.400 5 Brazil 3.542.387.000 708.477 6 Meksiko 1.196.750.000 239.350 7 Negara lain 8.662.815.000 1.716.259 Total 61.165.452.000 12.216.786 Sumber : APCC (2003)

Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa produksi kelapa Indonesia pada tahun 2003 adalah sebesar 19.537.500.000 butir atau sekitar 3.907.500 ton setara kopra. Kelapa tersebut sebagian besar dikonsumsi oleh masyarakat untuk kelapa sayur dan sisanya diolah oleh industri sebagai bahan baku beberapa produk, seperti serat dan sebagainya. Luas dan besarnya produksi kelapa di Indonesia tersebut merupakan kekayaan yang dapat dijadikan sebagai kekuatan perekonomian nasional.

Kelapa dan produk turunannya tersebut di ekspor dalam bentuk minyak kelapa, kopra, bungkil kopra, minyak goreng kelapa, dessicated coconut, arang tempurung dan sabut kelapa. Produk ini di ekspor ke beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Belanda, Inggris, Jerman, Perancis, Spanyol, Italia, Belgia, Irlandia, Singapura, Malaysia, Bangladesh, India, Srilanka, China, Taiwan, Korea Selatan, Thailand dan negara lainnya. Perincian data mengenai perkembangan ekspor produk kelapa beserta produk ikutannya dapat dilihat pada Tabel 3.

(18)

Tabel 3. Perkembangan Ekspor Kelapa, Produk Ikutannya di Indonesia, Tahun 1999 – 2003 Volume : Ton Nilai (Rp 000.000) Tahun No. Komoditas 1999 2000 2001 2002 2003 349.644 734.560 395.019 446.141 332.228 1 Minyak kelapa 1.664.570 2.702.162 1.150.004 1.470.809 1.316.574 23.533 31.373 34.820 49.659 36.238 2 Dessicated coconut 159.813 185.560 331.547 299.173 203.664 142.823 408.431 258.955 307.665 271.148 4 Copra Meal 79.156 189.947 155.232 200.411 191.750 11.283 10.205 12.104 11.544 12.409 5 Actived carbon 62.551 64.082 12.104 11.544 12.409 18.742 26.735 23.452 29.487 35.373 6 tempurung Arang 27.744 39.535 44.239 42.313 52.969 59 102 191 191 432 7 Sabut kelapa - - - - - Sumber : APCC (2003)

Berdasarkan Tabel 3 diketahui ternyata produk ikutan kelapa yang di ekspor dalam jumlah besar adalah minyak kelapa, sedangkan produk lainnya hanya di ekspor dalam jumlah yang lebih rendah dari minyak kelapa. Adapun salah satu produk ikutan kelapa yang memiliki jumlah ekspor paling rendah adalah sabut kelapa dan produk turunannya (serat sabut kelapa).

Walaupun memiliki jumlah ekspor yang rendah, tetapi apabila dilihat dari

trend, ekspor komoditas ini cenderung mengalami peningkatan. Hal ini berarti bahwa permintaan sabut kelapa dan produk turunannya di dunia cenderung mengalami peningkatan. Besarnya permintaan sabut kelapa dan turunannya ini tercermin dari besarnya impor pada beberapa negara di dunia (Lampiran 1).

Bahan baku sabut kelapa digunakan oleh industri di Indonesia untuk menghasilkan produk turunan, seperti serat sabut kelapa. Sabut kelapa tersebut sebagian besar diperoleh dari perkebunan kelapa yang dimiliki oleh rakyat, negara, dan swasta. Penyebaran lokasi utama perkebunan kelapa tersebut adalah Aceh, Sumatera Utara, Riau, Lampung, Jawa Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat dan Maluku (Dirjen Bina Produksi Perkebunan, 2004). Perincian mengenai luas areal dan produksi kelapa pada masing-masing perkebunan tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.

(19)

Tabel 4. Luas Areal Perkebunan Rakyat, Negara dan Swasta (Ha) beserta Produksinya di Indonesia (Ton), Tahun 1999 – 2003

No. Uraian 1999 2000 2001 2002 2003 I Luas areal 1 P. Rakyat 3.585.743 3.601.698 3.818.946 3.806.032 3.803.640 2 PB. Negara 15.313 13.891 8.006 7.070 7.070 3 PB. Swasta 78.320 80.428 70.515 71.848 71.848 Jumlah 3.679.376 3.696.017 3.897.467 3.884.950 3.882.558 II Produksi Setara Kopra 1 P. Rakyat 2.903.716 2.951.005 3.068.997 3.010.894 3.141.649 2 PB. Negara 12.205 9.038 8.272 4.815 4.815 3 PB. Swasta 78.701 87.515 85.749 82.787 82.787 Jumlah 2.994.622 3.047.558 3.163.018 3.098.496 3.229.251 Sumber : Dirjen Bina Produksi Perkebunan (2004)

Berdasarkan Tabel 4 diketahui ternyata produksi kelapa terbesar dihasilkan oleh perkebunan rakyat dan sisanya dihasilkan dari perkebunan negara dan swasta. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi rakyat terhadap perekonomian negara cukup besar, terutama dalam hal penyerapan tenaga kerja.

1.2. Perumusan Masalah

Serat sabut kelapa atau dalam perdagangan dunia dikenal dengan nama

coconut coir, merupakan bahan baku untuk berbagai industri, seperti industri karpet, jok untuk kendaraan, jok perabot rumah tangga, matras, kemasan, dan tali. India dan Srilanka adalah salah satu produsen terbesar di dunia untuk produk - produk dari sabut kelapa ini. Perincian data dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Ekspor Sabut dan Produk Sabut Dunia (Ton), Tahun 1999 – 2003

No. Negara 1999 2000 2001 2002 2003 1 India 50.697 56.046 54.136 38.310 70.550 2 Srilanka 50.787 52.430 52.684 57.600 50.950 3 Thailand 6.890 7.255 12.259 18.617 30.789 4 Philipina 1.504 1.509 1.673 2.235 2.933 5 Indonesia 59 102 191 191 432 Total Sumber : APCC (2003)

(20)

Berdasarkan Tabel 5 diketahui ternyata India menempati urutan pertama dalam ekspor sabut dan produk sabut kelapa. Jumlah produk yang mampu di ekspor oleh India adalah ± enam produk. Produk tersebut meliputi, coir yarn, coir mattings, coir mats, coir rope, rugs, carpets, rubberized coir dan produk lainnya.

Sementara Indonesia yang memiliki areal perkebunan kelapa terluas di dunia hanya mampu menempati urutan kelima dalam ekspor produk sabut kelapa, dibawah negara Srilanka, Thailand, dan Philipina. Jumlah produk yang diekspor oleh Indonesia pun hanya terdiri dari dua macam, yaitu benang serat kelapa dan serat sabut kelapa.

Rendahnya ekspor serat sabut kelapa Indonesia ini menurut perajin di Ciamis adalah karena adanya keterbatasan mesin untuk mengolah komoditas serat sabut kelapa ini sehingga jumlah produksi produk sabut kelapa Indonesia menjadi rendah 1. Selain karena keterbatasan mesin penyebab lain rendahnya jumlah produksi produk sabut kelapa Indonesia menurut pedagang pengumpul di Lombok adalah karena banyak sabut kelapa yang ditampung oleh pedagang pengumpul dibakar. Hal ini disebabkan oleh rendahnya harga jual sabut kelapa bila dibandingkan dengan ongkos kirimnya2.

Berdasarkan bahasan tersebut, maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :

1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia ?

2. Bagaimana respon penawaran ekspor serat sabut kelapa terhadap faktor – faktor yang mempengaruhinya ?

1 www.bi.go.id/sipuk/lm/ind/serat_kelapa/sosek.htm#sosek. 2005. Pola Pembiayaan Sabut Kelapa

(21)

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan tersebut, maka secara garis besar tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia.

2. Menduga nilai elastisitas (respon penawaran) serat sabut kelapa terhadap faktor – faktor yang mempengaruhinya.

Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi peneliti sendiri untuk mengetahui perilaku penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia. Bagi pembuat kebijakan sebagai bahan pertimbangan dalam perumusan kebijakan dan peningkatan ekspor serat sabut kelapa di Indonesia. Selain itu diharapkan penelitian ini juga dapat berguna bagi para pembaca yang tertarik dan ingin mempelajari pengembangan penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia.

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dari penelitian ini adalah terbatas pada faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia untuk pasar internasional, dengan mengabaikan aspek biaya. Ruang lingkup yang diteliti adalah hanya terfokus pada perdagangan Indonesia saja.

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Umum

2.1.1. Diversifikasi Produk Kelapa

Pengolahan hasil perkebunan merupakan salah satu subsistem yang penting di samping tiga subsistem lainnya (prasarana, usahatani dan pemasaran) dalam agribisnis. Hal ini dapat dilihat dari berbagai peranan pengolahan hasil pada komoditas perkebunan, seperti memperpanjang daya tahan, memberikan nilai tambah, memenuhi permintaan (kebutuhan) konsumen/masyarakat, meningkatkan daya saing pasar, meningkatkan pendapatan dan memenuhi tuntutan mutu hasil/perdagangan dalam negeri dan dunia (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan, 2000).

Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan (2000), komoditas perkebunan memiliki beberapa ciri, seperti produk tersedia dalam jumlah besar, tergantung pada alam yang mempengaruhi kesinambungan produksinya, bersifat musiman, mudah rusak dan diperoleh pada daerah-daerah tertentu berdasarkan kesesuaian agroklimat. Oleh karena itu pengolahan hasil produksi perkebunan harus memberikan fleksibilitas yang tinggi, baik melalui diversifikasi produk dan pemanfaatan hasil samping serta limbah. Hal ini perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas produk sehingga lebih mudah berakses terhadap pasar maupun lokasi.

Pengolahan hasil diperlukan pada komoditas-komoditas unggulan yang dapat bersaing di pasar dalam negeri maupun luar negeri. Untuk itu diperlukan adanya keterkaitan dari keseluruhan rantai kegiatan usaha sejak tahap pengelolaan

(23)

produksi, budidaya, pasca panen sampai kepada dukungan lain yang berorientasi agribisnis untuk meningkatkan “comparative” dan “competitive advantage”.

Diversifikasi produk adalah salah satu cara untuk meningkatkan persaingan dalam pasar produk perkebunan. Adapun salah satu komoditas yang memiliki prospek untuk bersaing di pasaran tersebut adalah kelapa. Hal ini dikarenakan komoditas ini memiliki berbagai macam kegunaan, baik di industri pangan maupun non pangan. Prospek kelapa tersebut antara lain tidak saja terkait dengan pertumbuhan permintaan minyak nabati dalam negeri dan dunia, namun terkait juga dengan perkembangan jenis sumber minyak nabati lainnya, seperti minyak sawit, minyak kedelai dan minyak bunga matahari.

Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan (2003), usaha kelapa ini memiliki keunggulan komparatif yang dapat dicapai dengan cara berproduksi yang efisien melalui penerapan teknologi anjuran di bidang budidaya dan penerapan diversifikasi usahatani, baik horizontal maupun vertikal. Diversifikasi usahatani secara horizontal berarti perubahan pola usahatani kelapa yang tadinya monokultur menjadi pola usahatani campuran dengan menanam tanaman sela, seperti kakao, lada, kopi robusta, panili, kapulaga, nenas dan pisang. Sementara itu diversifikasi vertikal dalam usahatani berarti menganekaragamkan produk secara efisien, antara lain :

1. Daging buah dapat dibuat kopra, minyak klentik, minyak mentah, minyak dimurnikan, produk lemak dan turunannya, santan awet, santan serbuk, protein kelapa, desiccated coconut, yoghurt berbasis kelapa, minuman dan skim kelapa. 2. Air kelapa dapat dibuat nata de coco, cuka air kelapa, kecap air kelapa dan

minuman penyegar.

3. Nira kelapa dapat dibuat gula merah cetak, gula semut, cuka nira, sirup nira dan minuman ringan.

(24)

4. Tempurung atau batok kelapa dapat dibuat arang, arang aktif dan tepung lempung.

5. Sabut kelapa dapat dibuat coir fibre dan coir dust.

6. Batang kelapa dapat dibuat furniture dan kerajinan. 2.1.2. Serat Sabut Kelapa

Serat sabut kelapa atau coco fibre merupakan produk yang berasal dari proses pemisahan serat dari bagian kulit buah. Bagian kulit buah merupakan bagian terbesar dari buah kelapa, yaitu sekitar 35 persen dari total bobot. Ekstrak sabut kelapa ini merupakan hasil samping dari suatu industri pengolahan kelapa. Serat sabut kelapa ini dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu serat sabut kelapa putih (white coir fibre) dan serat sabut kelapa coklat (brown coir fibre) (Pusat Penelitian Perkebunan Marihat – Bandar Kuala, 1995).

1. Serat Sabut Kelapa Putih (white coir fibre)

Serat sabut kelapa putih yang sering disebut juga yarn fibre, mat fibre atau

retted fibre merupakan jenis serat sabut berwarna kuning cerah dan diperoleh dengan cara merendam sabut segar, biasanya dalam air garam selama 6 – 12 bulan. Serat sabut kelapa putih (white coir fibre) hampir seluruhnya dipintal menjadi

yarn fibre yang selanjutnya digunakan untuk bahan karpet, pelapis dinding, tali dan lain-lain.

2. Serat Sabut Kelapa Coklat (brown coir fibre)

Jenis serat ini diperoleh dari ekstraksi sabut kering (brown husk) secara mekanik, baik secara basah maupun kering. Serat sabut kelapa coklat mempunyai kegunaan yang lebih luas bila dibandingkan serat sabut kelapa putih (white coir fibre). Serat sabut kelapa ini dibedakan menjadi dua jenis, yaitu bristle fibred dan

mattres fibre. Bristle fibre secara tradisional banyak digunakan untuk bahan perlengkapan rumah tangga, seperti sikat, sapu dan lain-lain. Sementara itu matres

(25)

fibre secara tradisional sering digunakan untuk keset, matras olahraga, bahan penyekat dan lain-lain.

Bristle fibre dan matres fibre dapat dicampur dengan lateks dan bahan kimiawi yang lain untuk membuat serat sabut kelapa berkaret (rubberized coir) yang banyak digunakan untuk perlengkapan rumah tangga, penyaring, penyekat dan lain-lain. Serat sabut kelapa ini bersaing dengan berbagai jenis serat nabati yang lain, juga dengan serat sintetis, produk-produk turunan minyak bumi (nylon, polyurethane

dan lain-lain). Persaingan ini hampir disemua bidang penggunaannya. 2.1.3. Proses Produksi Serat Sabut Kelapa

Proses produksi serat sabut kelapa di mulai dengan tahap persiapan. Pada tahap persiapan sabut kelapa yang utuh dipotong membujur menjadi sekitar lima bagian, kemudian bagian ujungnya yang keras dipotong. Sabut tersebut kemudian direndam selama sekitar tiga hari sehingga bagian gabusnya membusuk dan mudah terpisah dari seratnya. Setelah itu kemudian ditiriskan. Sabut yang telah ditiriskan tersebut kemudian dilunakan. Pelunakan sabut secara tradisional dilakukan dengan manual, yaitu dengan cara sabut dipukul menggunakan palu sehingga sabut kelapa menjadi terurai. Pada tahap ini sudah dihasilkan hasil samping berupa butiran gabus. Secara modern, pelunakan sabut dilakukan dengan menggunakan mesin pemukul yang disebut mesin double cruiser atau hammer mill3.

Setelah dilakukan pelunakan kemudian sabut kelapa dimasukkan ke dalam mesin pemisah serat untuk memisahkan bagian serat dengan gabus. Komponen utama mesin pemisah serat atau defifibring machine adalah silinder yang permukaannya dipenuhi dengan gigi-gigi dari besi yang berputar untuk memukul dan ”menggaruk” sabut sehingga bagian serat terpisah. Pada tahap ini dihasilkan

3 www.bi.go.id/sipuk/lm/ind/serat_kelapa/sosek.htm#sosek. 2005. Pola Pembiayaan Serabut Kelapa.

(26)

butiran-butiran gabus sebagai hasil samping. Serat-serat yang telah dipisahkan dari gabusnya tersebut kemudian dimasukkan ke dalam mesin sortasi untuk memisahkan bagian serat halus dan kasar. Mesin sortasi atau pengayak (refaulting screen) adalah berupa saringan berbentuk cone yang berputar dengan tenaga penggerak motor. Sortasi dan pengayakan juga dilakukan pada butiran gabus dengan menggunakan ayakan atau saringan yang dilakukan secara manual sehingga dihasilkan butiran-butiran halus gabus4.

Tahap pembersihan dilakukan untuk memisahkan bagian gabus yang masih menempel pada bagian serat halus yang telah terpisah dari bagian serat kasar. Tahap ini dilakukan secara manual. Setelah bersih kemudian dilakukan proses pengeringan dengan cara penjemuran atau dengan menggunakan mesin pengering. Serat sabut kelapa yang sudah bersih dan kering kemudian di pak dengan menggunakan alat press. Ukuran kemasan yang digunakan adalah sekitar 90 X 110 X 45 cm. Secara tradisional pemadatan serat dilakukan secara manual dengan cara diinjak sehingga dapat dihasilkan bobot setiap kemasan sekitar 40 kilogram. Sementara apabila dilakukan pemadatan dengan mesin press maka bobot setiap kemasan mencapai sekitar 100 kilogram4.

Mutu serat sabut kelapa atau coconut fibre ditentukan oleh warna, persentase kotoran, keadaan air, dan proporsi antara bobot serat panjang dan serat pendek. Spesifikasi mutu produk serat yang diekspor oleh salah satu perusahaan eksportir di Jakarta adalah kadar air kurang dari 10 persen, kandungan gabus kurang dari lima persen, panjang serat (2 – 10 cm) 30 persen, panjang serat (10 – 25 cm) 70 persen, ukuran bale 70 x 70 x 50 cm, dan bobot per bale adalah 50 kilogram4.

4ibid

(27)

2.2. Tinjauan Empiris (Hasil Penelitian Terdahulu) 2.2.1. Penelitian mengenai Sabut Kelapa

Sudirman (2003) dalam penelitiannya yang berjudul strategi pengembangan usaha pengolahan sabut kelapa dalam upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat (Kasus Desa Muntai, Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis) menyatakan bahwa usaha sabut kelapa yang dikembangkan di Desa Muntai sangat berpotensi. Begitu pula menurut hasil penelitian Nuraida (2003), mengenai prospek pengembangan serat sabut kelapa di CV. Rahmat Kurnia.

Potensi tersebut menurut Sudirman (2003) dilihat dari analisis keuangannya. Berdasarkan hasil analisis keuangan diketahui ternyata dengan modal sebesar Rp 100,50 juta dengan kapasitas produksi 500 Kg bahan baku kulit kelapa, maka pengusaha sabut kelapa akan menghasilkan produksi berupa serat sabut kelapa dan gabus. Keuntungan bersih yang diterima pengusaha sabut kelapa adalah sebesar Rp 5,13 juta per bulan. Menurut Nuraida (2003) apabila dilihat dari aspek keuangannya, pengelolaan usaha yang baik dan terarah dapat memberikan dampak usaha yang cukup likuid, solvable dan profitable. Hal ini berarti mencerminkan bahwa usaha serat sabut kelapa merupakan usaha yang memiliki prospek cerah dan wajar untuk dikembangkan.

Cerahnya prospek dari usaha ini karena terdapat hal lain yang mendukung, seperti peluang pasar yang masih memungkinkan, baik didalam negeri maupun diluar negeri, bahan baku yang mudah diperoleh dan terjamin kontinuitasnya serta teknologi proses yang sederhana. Namun walaupun usaha ini masih memiliki prospek yang cerah masih terdapat beberapa kendala yang perlu dihadapi oleh CV. Rahmat Kurnia, salah satunya adalah modal. Oleh karena itu CV. Rahmat Kurnia meminjam modal kepada perbankan. Dari bantuan permodalan tersebut, dampak positif dari usaha yang dikembangkan oleh CV. Rahmat Kurnia ini terlihat secara

(28)

nyata. Hal ini didasarkan kepada rata-rata penghasilan penjualan yang mencapai 19,03 persen. Nilai penjualan tersebut diperoleh berdasarkan hasil pemenuhan permintaan dari pelanggan lama maupun baru (Nuraida, 2003). Kendala yang terjadi pada CV. Rahmat Kurnia tersebut terjadi pula pada perajin sabut kelapa di Desa Muntai. Untuk solusinya perajin Desa Muntai mencari pinjaman lunak dari perbankan.

Untuk dapat lebih mengembangkan usaha ini, maka Nuraida (2003) dengan menggunakan alat analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threats) merekomendasikan beberapa alternatif strategi yang dapat dilakukan oleh pengusaha, yaitu (1) meningkatkan mutu produksi, (2) memanfaatkan lembaga perbankan untuk membantu permodalan dalam meningkatkan produktivitas usaha, (3) memotong jalur distribusi dengan menjual langsung ke pasar internasional agar mendapat nilai jual yang tinggi dan (4) melakukan pengembangan pasar untuk memperoleh pangsa pasar yang baru.

Sementara itu dengan menggunakan alat analisis yang sama dengan Nuraida, yaitu SWOT, Sudirman (2003) merekomendasikan beberapa alternatif strategi yang dapat dilakukan oleh para perajin serat sabut kelapa di Desa Muntai. Adapun alternatif strategi tersebut adalah (1) proyek peningkatan kemampuan permodalan dalam bentuk kegiatan pinjaman lunak bergulir dan mengembangkan kelembagaan ekonomi lokal, (2) proyek peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam bentuk antara lain, menyelenggarakan pendidikan, pelatihan dan pendampingan melalui instansi terkait dengan praktisi pengolahan sabut kelapa yangtelah berhasil, (3) pemanfaatan teknologi dengan kapasitas produksi memadai pengadaan, (4) penguatan kelembagaan ekonomi lokal sebagai alternatif pemberdayaan permodalan pengusaha sabut kelapa, (5) proyek peningkatan pemasaran berbasis kualitas produk sabut kelapa.

(29)

Penelitian mengenai sabut kelapa yang pernah dilakukan tersebut memiliki kesamaan dengan penelitian yang akan dilakukan, yaitu dari bentuk komoditasnya. Adapun bentuk komoditas yang akan diteliti pada tahun ini adalah serat sabut kelapa.

Sementara perbedaannya terletak pada topik penelitian dan alat analisis yang digunakan. Topik penelitian terdahulu adalah mengenai strategi pemasaran sabut kelapa, sementara topik penelitian yang dilakukan tahun ini adalah mengenai respon penawaran ekspor.

Alat analisis yang digunakan pada penelitian terdahulu adalah SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threats). Alat ini digunakan karena sesuai dengan topik yang diteliti, yaitu strategi pemasaran. Sementara alat analisis yang digunakan untuk penelitian mengenai respon penawaran serat sabut kelapa adalah ekonometrika.

2.2.2. Penelitian mengenai Respon Penawaran

Turnip (2002) dalam penelitiannya yang berjudul analisis faktor – faktor yang mempengaruhi penawaran ekspor dan aliran perdagangan kopi Indonesia menyatakan bahwa faktor – faktor yang berpengaruh terhadap penawaran ekspor kopi adalah produksi kopi, harga domestik, harga ekspor, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat dan jumlah ekspor kopi Indonesia tahun sebelumnya (lag). Adapun model pendugaan yang digunakan untuk menganalisis faktor – faktor yang berpengaruh terhadap penawaran ekspor kopi Indonesia adalah model regresi linier berganda.

Berdasarkan model tersebut maka diketahui bahwa dari lima faktor yang diidentifikasi berpengaruh terhadap penawaran ekspor hanya empat faktor yang positif berpengaruh nyata terhadap penawaran ekspor. Adapun faktor – faktor tersebut adalah produksi, harga ekspor, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika

(30)

Serikat, dan ekspor kopi Indonesia pada tahun sebelumnya (lag). Sementara harga domestik berpengaruh negatif.

Nilai koefisien determinasi (R2) yang dihasilkan dari model tersebut adalah sebesar 85,70 persen. Hal ini berarti bahwa 85,70 persen dari keragaan volume ekspor kopi Indonesia dapat dijelaskan oleh keragaman variabel bebas di dalam model, sedangkan sisanya diterangkan oleh variabel lain.

Model yang digunakan pada penelitian ekspor kopi Indonesia tersebut sama dengan yang digunakan pada penelitian respon penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia. Hal ini terjadi karena kategori komoditas yang diteliti adalah sama, yaitu komoditas ekspor. Perbedaannya terletak pada bentuk komoditas yang diteliti, yaitu kopi dan kelapa.

Manfaat dari studi hasil penelitian terdahulu terhadap penelitian ini adalah informasi mengenai serat sabut kelapa menjadi bertambah. Selain itu dapat diketahui pula faktor – faktor yang berpengaruh terhadap penawaran ekspor pada komoditas hasil penelitian terdahulu yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk mencari faktor – faktor yang berpengaruh terhadap respon penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia.

(31)

BAB III

KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1. Konsep Perdagangan Internasional

Pola perdagangan antar negara disebabkan oleh perbedaan bawaan faktor (Factor Endowment), dimana suatu negara akan mengekspor komoditas yang produksinya memerlukan faktor produksi yang relatif berlimpah. Dengan demikian perdagangan mendorong sumberdaya ke dalam sektor-sektor yang mempunyai keunggulan komparatif. Di samping itu perdagangan juga didorong oleh adanya penawaran dan permintaan antar negara (Salvatore, 1997).

Menurut Salvatore (1997), bagi dua negara yang menjalin hubungan dagang dapat memperoleh keuntungan dari perdagangan dengan melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor komoditas yang memiliki keunggulan komparatif. Hukum keunggulan komparatif menyatakan bahwa meskipun sebuah negara kurang efisien dibanding (atau memiliki kerugian absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi kedua komoditas, namun masih tetap terdapat dasar untuk melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak. Negara pertama harus melakukan spesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor komoditas yang memiliki kerugian absolut lebih kecil (komoditas dengan keunggulan komparatif) dan mengimpor komoditas yang memiliki kerugian absolut lebih besar (komoditas yang memiliki kerugian komparatif). Dalam konteks dua negara dan dua komoditas, jika salah satu negara telah ditetapkan memiliki keunggulan komparatif dalam satu komoditas, maka negara satunya harus dianggap memiliki keunggulan komparatif dalam komoditas lainnya.

(32)

Efek gabungan dari kombinasi keunggulan komparatif dengan distorsi pasar yang terjadi disebut keunggulan kompetitif. Pada umumnya distorsi pasar bersumber dari kebijakan pemerintah. Hal ini dapat diatasi dengan meningkatkan deregulasi, debirokrasi dan proteksi. Bila distorsi pasar ditiadakan, maka keunggulan komparatif mencerminkan keunggulan kompetitif.

Menurut Gonarsyah (1987), perdagangan internasional mulai terjadi bilamana rasio harga domestik dari komoditas-komoditas yang berbeda di negara-negara yang bersangkutan tidak sama akibat dari adanya perbedaan dalam kurva kemungkinan produksi, bagaimanapun biaya produksinya. Suatu negara akan mengekspor (mengimpor) komoditas yang relatif (dibandingkan dengan komoditas lain) lebih murah (mahal) di dalam negeri daripada di luar negeri. Selain itu, faktor-faktor yang mendorong timbulnya perdagangan internasional (ekspor - impor) suatu negara dengan negara lain adalah bersumber dari keinginan memperluas pemasaran komoditi ekspor, memperbesar penerimaan devisa bagi kegiatan pembangunan, adanya perbedaan penawaran dan permintaan antar negara, tidak semua negara mampu menyediakan kebutuhan masyarakatnya dan karena adanya faktor selera dan pendapatan.

Salvatore (1997) merumuskan model sederhana terjadinya perdagangan internasional dengan deskripsi sebagai berikut, yaitu ketika sebelum terjadinya perdagangan internasional, harga keseimbangan komoditas kelapa (Y) di negara A adalah Pa, sedangkan di negara B adalah Pb. Pada harga ini, di negara A dan negara B terjadi kondisi keseimbangan antara permintaan dan penawaran. Pe adalah harga keseimbangan di pasar internasional yang terletak di antara harga keseimbangan negara A dan negara B.

Perdagangan internasional menyebabkan harga kelapa di negara A meningkat menjadi Pe, sedangkan harga kelapa di negara B turun menjadi Pe. Di

(33)

negara A konsumsi domestik akan kelapa berkurang menjadi Q1A, sedangkan penawaran domestik akan kelapa meningkat menjadi Q2A.

Dengan demikian di negara A terjadi kelebihan penawaran kelapa sebesar Q1AQ2A, sedangkan di negara B konsumsi domestiknya meningkat menjadi Q2B dan penawaran domestiknya turun menjadi Q1B. Hal ini berarti bahwa terjadi kelebihan permintaan sebesar Q1BQ2B. Kelebihan penawaran di negara A kemudian diekspor ke negara B yang mengalami kelebihan permintaan. Gambaran mengenai perdagangan internasional tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

P P P S Pb Pb Pb S S Ekspor Impor Pe Pe Pe D D Pa Pa D 0 Q1A QeA Q2A Qe 0 Q1B QeB Q2B

Negara A (Pengekspor) Pasar Internasional Negara B (Pengimpor)

Gambar 1. Mekanisme Terjadinya Perdagangan Internasional (Sumber : Salvatore, 1997)

Keterangan :

Pa : Harga domestik sabut kelapa di negara pengekspor sebelum terjadinya perdagangan internasional.

OQeA : Jumlah konsumsi sabut kelapa di negara pengekspor sebelum terjadinya perdagangan internasional.

Q1AQ2A : Kelebihan penawaran sabut kelapa di negara pengekspor setelah terjadinya perdagangan internasional.

Pb : Harga domestik sabut kelapa di negara pengimpor sebelum terjadinya perdagangan internasional.

OQeB : Jumlah konsumsi sabut kelapa di negara pengimpor sebelum terjadinya perdagangan internasional.

Q1BQ2B : Kelebihan penawaran sabut kelapa di negara pengimpor setelah terjadinya perdagangan internasional.

Pe : Harga keseimbangan sabut kelapa setelah terjadinya perdagangan internasional.

OQe : Jumlah sabut kelapa yang diperdagangkan; jumlah ekspor sabut kelapa (Q1AQ2A) sama dengan jumlah impor sabut kelapa (Q1BQ2B).

(34)

Berdasarkan informasi tersebut maka diketahui bahwa harga yang terjadi di pasaran internasional merupakan keseimbangan antara penawaran dan permintaan dunia. Perubahan dalam produksi dunia akan mempengaruhi penawaran dunia sedangkan perubahan dalam konsumsi dunia akan mempengaruhi permintaan dunia. Kedua perubahan tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi harga dunia. 3.1.2. Penawaran Ekspor

Penawaran statis dari segi komoditas pertanian diperlihatkan dari hubungan antara harga produksi dengan jumlah yang ditawarkan pada waktu tertentu, sedangkan faktor-faktor lain dianggap konstan (ceteris paribus) (Lipsey, 1995). Penawaran ekspor suatu negara merupakan selisih antara produksi atau penawaran domestik dikurangi dengan konsumsi atau permintaan domestik negara yang bersangkutan ditambah dengan stok tahun sebelumnya.

Menurut Laby’s seperti dikutip dari Ermi Tety (2002) ekspor ke suatu negara merupakan kelebihan penawaran domestik atau produksi barang atau jasa yang tidak di konsumsi oleh konsumen negara yang bersangkutan atau tidak disimpan dalam bentuk stok. Menurut Malian (2003) dalam teori perdagangan internasional disebutkan bahwa faktor – faktor yang mempengaruhi ekspor dapat dilihat dari sisi penawarannya. Adapun faktor – faktor tersebut adalah harga ekspor, harga domestik, nilai tukar riil, kapasitas produksi yang dapat diproduksi melalui investasi, impor bahan baku dan kebijakan deregulasi.

Dari keenam faktor tersebut hanya tiga faktor yang digunakan pada penelitian ini. Hal ini dikarenakan data yang tersedia hanya untuk ketiga faktor tersebut. Ketiga faktor tersebut adalah harga ekspor, nilai tukar riil rupiah dan kapasitas produksi yang dapat diproduksi melalui investasi (Produk Domestik Bruto).

(35)

1. Harga Ekspor

Perbedaan relatif harga – harga atas berbagai komoditas antara dua negara pada dasarnya mencerminkan keunggulan komparatif bagi masing – masing negara yang mencerminkan pijakan setiap negara dalam melangsungkan hubungan dagang yang saling menguntungkan. Negara yang harga relatifnya lebih besar atas suatu komoditas yang bersangkutan menjadi keuntungan bagi negara tersebut. Namun dilain pihak negara itu pun memiliki kerugian komparatif atas komoditas – komoditas lainnya yang selanjutnya menjadi andalan mata dagangan negara lain. 2. Nilai Tukar

Nilai tukar (exchange Rate) diantara dua negara adalah harga dimana penduduk kedua negara saling melakukan perdagangan. Menurut Mankiw (2000) para ekonom membedakan nilai tukar dalam dua bentuk, yaitu nominal dan riil. Nilai tukar nominal adalah harga relatif dari mata uang dua negara, sedangkan nilai tukar riil adalah harga relatif dari barang – barang kedua negara.

Peningkatan atau perbaikan nilai tukar perdagangan di suatu negara biasanya dianggap menguntungkan bagi negara tersebut. Hal ini karena harga yang diperolehnya dari ekspor akan meningkat secara relatif bila dibandingkan dengan harga – harga yang harus dibayarnya untuk memperoleh produk – produk impor. Menurut Mankiw (2000) biasanya ketika nilai tukar riil mengalami penurunan maka ekspor akan mengalami peningkatan dan impor akan mengalami penurunan. Kondisi ini terjadi karena ketika nilai tukar mengalami penurunan maka eksportir akan memperoleh keuntungan cukup besar dalam bentuk rupiah, sedangkan harga barang impor akan menjadi lebih mahal bila dibandingkan dengan harga barang di dalam negeri.

(36)

3. Produk Domestik Bruto (PDB)

Menurut Mankiw (2000) Produk Domestik Bruto adalah pendapatan dan pengeluaran nasional untuk output barang dan jasa. PDB biasanya dianggap sebagai ukuran terbaik dari kinerja perekonomian suatu negara.

PDB suatu negara merupakan ukuran kapasitas untuk memproduksi komoditas ekspor negara tersebut. Kapasitas kemampuan suatu negara untuk memproduksi komoditasnya dapat diketahui berdasarkan kurva batas kemungkinan produksinya. Menurut Lipsey (1995) batas kemungkinan produksi adalah sebuah kurva yang memperlihatkan berbagai alternatif kombinasi dua komoditas yang dapat diproduksi oleh sebuah negara dengan menggunakan semua sumberdayanya melalui teknologi terbaik yang dimilikinya. Adapun bentuk dari Kurva Kemungkinan Produksi dapat dilihat pada Gambar 2.

Y K1 KKP 2 KKP 1 E’ E x x1 x2 x3

Gambar 2. Kurva Kemungkinan Produksi (Sumber : Salvatore, 1997)

Pada Gambar 2 terlihat bahwa terdapat dua kurva kemungkinan produksi KKP1 dan KKP2. Kedua negara tersebut diasumsikan memproduksi komoditas X sehingga apabila terjadi kenaikan PDB maka negara akan menambah kapasitas untuk memproduksi komoditas ekspor tersebut dan menggeser kurva KKP1 menjadi KKP2. Besar perubahan KKP tergantung pada besar perubahan PDB yang terjadi dan pergeseran ini menggambarkan pertumbuhan produksi domestik suatu negara. Setelah terjadi pergeseran dengan asumsi konsumsi masyarakat sama dengan

(37)

negara pengekspor komoditas X maka ekspor akan meningkat dari sebesar X1X2 menjadi X1X3.

PDB ini dapat mewakili ukuran ekonomi negara eksportir. Ukuran ini didasarkan kepada besarnya jumlah produksi komoditas ekspor yang dapat dijual oleh negara eksportir. Ukuran ekonomi adalah kemampuan potensial negara untuk melakukan perdagangan luar negeri dalam hal menjual atau membeli komoditas ekspor.

Hal-hal lain yang penting dalam mempelajari penawaran komoditas pertanian adalah konsep elastisitas penawaran yang dapat diartikan sebagai persentase perubahan dalam jumlah komoditas yang ditawarkan akibat adanya persentase perubahan harga, sementara faktor lainnya diangap konstan (Lipsey, 1995). Pada konsep elatisitas ini, lamanya waktu respon merupakan hal yang kritis. Penawaran dalam waktu yang sangat pendek, akan sulit untuk mengubah jumlah yang ditawarkan. Namun apabila waktu penawaran tersebut cukup lama maka untuk mengubah jumlah penawaran tersebut akan lebih mudah.

Kriteria uji yang digunakan dalam pendugaan nilai elastisitas ini, baik jangka pendek maupun jangka panjang adalah sebagai berikut :

1. Jika nilai elastisitas lebih besar dari satu (E > 1), maka penawaran tersebut dapat dikatakan elastis (responsif).

2. Jika nilai elastisitas antara nol dan satu (0 < E < 1) dikatakan inelastis (tidak responsif).

3. Jika nilai elastisitas sama dengan no (E = 0), dikatakan inelastis sempurna. 4. Jika nilai elastisitasnya sama dengan satu (E = 1), dikatakan unitary elastis. Untuk jangka panjang elastisitas penawaran biasanya diharapkan lebih besar dari elastisitas jangka pendek. Oleh karena itu produsen dapat merubah atau mengurangi produksinya.

(38)

3.2. Kerangka Pemikiran Konseptual

Indonesia yang dikenal dengan nama negeri nyiur melambai merupakan negara yang memiliki areal lahan perkebunan kelapa terluas di dunia. Akibat dari luasnya lahan perkebunan tersebut menyebabkan produksi kelapa di Indonesia menjadi terbesar di dunia. Namun walaupun produksi kelapa Indonesia terbesar di dunia, tetapi ekspor kelapa Indonesia terutama serat sabut kelapa lebih rendah dari negara lain. Padahal apabila dilihat dari permintaan dunia terhadap sabut kelapa ini cukup tinggi (Lampiran 1).

Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan identifikasi faktor-faktor yang menyebabkan ekspor mengalami penurunan. Selain itu, perlu dilakukan pula analisis terhadap faktor yang dominan terhadap penawaran ekspor dan elastisitas penawaran. Untuk lebih jelasnya gambaran mengenai alur kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.

(39)

Gambar 3. Alur Kerangka Pemikiran Konseptual 1. Luas areal perkebunan

kelapa besar

2. Produksi kelapa tinggi

Permintaan sabut kelapa di dunia tinggi

Ekspor Rendah

1. Identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia

2. Elastisitas penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia

(40)

3.3. Hipotesis

Hipotesis adalah pernyataan yang diterima secara sementara sebagai suatu kebenaran sebagaimana adanya pada saat fenomena dikenal dan merupakan dasar kerja serta panduan dalam verifikasi (Nazir, 1999). Oleh karena itu maka hipotesis yang berlaku pada penelitian ini adalah :

1. Harga ekspor serat sabut kelapa diharapkan memiliki hubungan positif dengan jumlah penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi harga ekspor maka jumlah penawaran ekspor akan semakin meningkat pula.

2. Nilai tukar riil rupiah diharapkan memiliki hubungan negatif dengan jumlah penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia. Hal ini berarti bahwa meningkatnya nilai tukar riil rupiah akan menurunkan jumlah penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia.

3. Produk Domestik Bruto (PDB) diharapkan memiliki hubungan positif dengan jumlah penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi nilai PDB maka jumlah penawaran ekspor akan semakin meningkat pula. Penyebabnya adalah karena PDB terkait dengan pengeluaran total yang diasumsikan sebagai investasi.

4. Produksi sabut kelapa diharapkan memiliki hubungan positif dengan jumlah penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi produksi sabut kelapa maka jumlah penawaran ekspor akan semakin meningkat pula.

5. Jumlah ekspor serat sabut kelapa tahun sebelumnya (lag) diharapkan memiliki hubungan positif dengan jumlah penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi lag maka jumlah penawaran ekspor akan semakin meningkat pula.

(41)

6. Luas areal perkebunan diharapkan memiliki hubungan positif dengan jumlah penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi luas areal perkebunan maka jumlah penawaran ekspor akan semakin meningkat pula.

(42)

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder dalam bentuk

time series (deret waktu). Kurun waktu data yang digunakan pada penelitian ini adalah data triwulan yang diambil dari tahun 1996 – 2004. Jumlah rentang tahun tersebut didasarkan kepada ketersediaan data ekspor serat sabut kelapa di Indonesia.

Data tersebut diperoleh dari Asian and Pacific Coconut Community (APCC), Badan Pusat Statistik (BPS), Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan, Dirjen Bina Produksi Perkebunan dan instansi – instansi lain yang relevan. Selain dari instansi tersebut, data sekunder juga diperoleh dari literatur – literatur yang relevan, seperti hasil penelitian terdahulu dan yang lainnya. Perincian jenis data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Jenis Data yang Digunakan Beserta Sumbernya

No. Uraian Satuan Sumber

1 Luas areal perkebunan ha Departemen Pertanian/BPS 2 Produksi kelapa Ton Departemen Pertanian/APCC 3 Volume ekspor sabut kelapa Ton Depperindag/BPS

4 Harga sabut kelapa di dunia Rp BPS 5 Produksi Domestik Bruto Rp BPS

6 Kurs Rp BPS

4.2. Pengolahan dan Analisis Data

Sebelum diolah data yang diperoleh dikelompokkan terlebih dahulu, kemudian setelah itu dibuat dalam bentuk tabulasi guna mengidentifikasikannya.

(43)

Data yang dianalisis pada penelitian ini terdiri dari dua data, yaitu data kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif digunakan untuk menganalisis variabel - variabel yang mempengaruhi penawaran ekspor serat sabut kelapa di Indonesia, sedangkan data kualitatif digunakan untuk melihat perkembangan pasar, dan ekspor serat sabut kelapa Indonesia.

Pengolahan data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan komputer dan kalkulator. Adapun program komputer yang digunakan untuk mengolah data sekunder ini adalah program minitab versi 13. Setelah data diolah kemudian hasilnya diinterpretasikan dengan cara manual.

4.2.1. Perumusan Model

Analisis regresi merupakan suatu metode yang digunakan untuk menganalisis hubungan antar variabel. Hubungan tersebut dapat diekspresikan dalam bentuk persamaan yang menghubungkan antara variabel terikat (Y) dengan satu atau lebih variabel bebas (X1, X2, X3, ….., Xn). Untuk membuat model regresi, metode yang dapat digunakan untuk mencapai penyimpangan atau error yang minimum adalah metode kuadrat terkecil (Ordinary Least Square = OLS).

Menurut Gujarati (1999) untuk membuat regresi linier, asumsi-asumsi yang harus dipenuhi agar taksiran parameter dalam model tersebut BLUE (Best Linear Unbiased Estimator) adalah :

1. Nilai rata-rata untuk kesalahan pengganggu sama dengan nol atau E (ui) = 0

2. Tidak ada autokorelasi antara error ui dan uj atau covarian (ui, uj) = 0 ; i • j 3. Keragaman dari u konstan (homoskedastis) atau varian (uj) = á2

4. Untuk pengujian hipotesis, nilai error harus berdistribusi normal dengan nilai sama dengan nol dan keragaman dari u konstan (homoskedastis)

(44)

I. Model Respon Penawaran Ekspor Serat Sabut Kelapa A. Model Regresi Linier Berganda

Model yang digunakan dalam analisis ini adalah model regresi linier berganda (ekonometrika). Model ini digunakan karena memiliki keunggulan, yaitu dapat mengakomodasi semua faktor, sederhana dan mampu menjelaskan berapa persen variabel terikat dapat dijelaskan oleh variabel bebas dengan nilai goodness of fit (R2). Selain kelebihan, pada model ini juga terdapat kekurangan, seperti perlu menggunakan beberapa asumsi. Contohnya adalah peubah bebas dalam persamaan tidak boleh saling berkorelasi (autokorelasi), tidak boleh ada kolinieritas antar peubah bebas (multikolinier), dan errornya harus memiliki keragaman yang sama (heterokedastisitas).

Adapun bentuk model yang digunakan pada penelitian tentang respon penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia ini adalah sebagai berikut :

Y = b0 + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + b6X6 + å Keterangan :

Y : penawaran ekspor serat sabut kelapa (Ton) b : variabel yang diduga

X1 : harga ekspor serat sabut kelapa (US$/Kg) X2 : kurs (Rp/US$)

X3 : produk domestik bruto (Rp) X4 : produksi sabut kelapa (Kg)

X5 : volume ekspor serat sabut kelapa tahun sebelumnya (lag) (Ton) X6 : luas areal perkebunan (ha)

å : galat sisa

Faktor – faktor yang menjadi variabel penawaran ekspor serat sabut kelapa pada penelitian ini adalah harga ekspor serat sabut kelapa (US$/Kg), nilai tukar riil rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (Rp/US$), produk domestik bruto (Rp), produksi sabut kelapa (Kg), jumlah ekspor serat sabut kelapa tahun sebelumnya(lag) (Kg) dan luas areal pertanaman kelapa (ha). Penentuan faktor tersebut didasarkan kepada teori penawaran ekspor dan hasil studi pustaka dari penelitian terdahulu tentang penawaran ekspor.

(45)

B. Model Double Log

Selain model regresi linier berganda, pada penelitian ini akan dicobakan pula model lain, yaitu model double log. Hal ini dilakukan guna mengantisipasi apabila data penelitian tidak linier.

Model double log adalah suatu model yang dihasilkan dari transformasi suatu model tidak linier menjadi model linier dengan jalan membuat model dalam bentuk logaritma. Adapun bentuk dari model double log yang digunakan pada penelitian respon penawaran ekspor serat sabut kelapa ini adalah sebagai berikut : Y = â0 X1â1 X2â2 X3â3 X4â4 X5â5 X6â6 eu

Keterangan :

Y : penawaran ekspor serat sabut kelapa (Ton) b : variabel yang diduga

X1 : harga serat sabut kelapa ekspor (US$/Kg) X2 : kurs (Rp/US$)

X3 : produk domestik bruto (Rp) X4 : produksi sabut kelapa (Kg)

X5 : volume ekspor serat sabut kelapa tahun sebelumnya (Ton) X6 : luas areal perkebunan (ha)

å : galat sisa

Berdasarkan bentuk modelnya maka sudah dapat dipastikan bahwa model tersebut adalah bukan model regresi linier. Model tersebut merupakan model yang tidak linier baik variabel maupun parameternya. Namun model tersebut dapat ditransformasikan sehingga parameternya berbentuk linier. Adapun bentuk model yang telah ditransformasikan tersebut secara umum adalah sebagai berikut : lnY = lnb0 + b1lnX1 + b2lnX2 + b3lnX3 + b4lnX4 + b5lnX5 + b6lnX6 + å

Apabila variabel-variabel dalam model tersebut didefinisikan kembali, maka akan diperoleh model sebagai berikut :

Y* = b0* + b1*X1* + b2*X2* + b3*X3*+ b4*X4* + b5*X5* + b6*X6* + å

(46)

Y* = ln Y X*(1-7) = ln X(1-7) b0* = ln b0 b*(1-7) = b(1-7)

Berdasarkan dari model tersebut maka diketahui bahwa sesungguhnya model yang terbentuk sudah regresi linier berganda dengan variabel dan parameter berbentuk linier. Dengan demikian maka b0* dan b(1-6)* dapat ditaksir dengan menggunakan metode untuk mengestimasi parameter regresi sederhana, yaitu OLS (ordinary least square).

II. Pengujian Model

A. Mengukur Goodness of Fit (R2)

Menurut Gujarati (1999), R2 adalah alat untuk mengukur proporsi atau persentase variasi total dalam variabel tidak bebas (Y) yang dijelaskan oleh variabel penjelas (X). Ukuran R2 ini mencerminkan seberapa besar variabel terikat (Y) dapat diterangkan oleh variabel bebas (X). Bila R2 sama dengan nol, maka arti dari angka tersebut adalah variasi dari Y tidak dapat diterangkan oleh X sama sekali. Sementara bila R2 sama dengan satu, maka hal ini berarti bahwa variasi dari Y seratus persen dapat diterangkan oleh X. Ciri khas dari R2 ini biasanya terletak antara kedua angka ekstrim tersebut. Adapun rumus yang digunakan untuk mencari R2 ini adalah sebagai berikut :

TSS ESS 2 R = Keterangan : R2 = goodness of fit

ESS = jumlah kuadrat penjelas TSS = jumlah kuadrat total

Sementara TSS itu sendiri diperoleh dari rumus sebagai berikut : TSS = ESS + RSS

Keterangan :

(47)

( )

i i

b

Se

b

hitung

t

=

Berdasarkan definisi dari R2 tersebut maka diketahui bahwa tidak tepatnya titik – titik berada pada garis regresi disebabkan oleh adanya faktor – faktor lain yang berpengaruh terhadap variabel terikat. Bila tidak ada penyimpangan tentunya tidak akan ada error. Akibat dari hal tersebut maka RSS sama dengan nol dan hal ini berarti bahwa ESS sama dengan TSS atau R2 sama dengan satu. Dari penjelasan ini maka diketahui bahwa TSS sesungguhnya merupakan variasi dari data, sedangkan ESS adalah variasi dari garis regresi yang dibuat.

B. Uji Hipotesis

Salah satu penggunaan statistik adalah untuk melihat nyata atau tidaknya pengaruh peubah yang dipilih terhadap peubah-peubah yang diteliti. Oleh karena itu model yang dianalisis membutuhkan pengujian terhadap hipotesis-hipotesis yang dilakukan. Adapun uji hipotesis yang sering dilakukan adalah uji-t dan uji F.

Uji-t merupakan suatu pengujian yang bertujuan untuk mengetahui apakah koefisien regresi layak atau tidak digunakan. Pengujian ini akan berguna jika pada pengujian analisis ragam diperoleh kesimpulan bahwa terdapat paling sedikit satu variabel bebas yang berpengaruh terhadap variabel terikat sehingga pengujian

t-student akan sangat bermanfaat untuk menunjukkan peubah bebas mana yang

berpengaruh secara parsial terhadap peubah tak bebas. Uji-t dapat dirumuskan sebagai berikut :

Keterangan :

Se(bi) = standar error dari parameter dugaan bi = parameter dugaan

Sebelum melakukan pengujian, biasanya dibuat hipotesis terlebih dahulu. Adapun bentuk hipotesis yang lazim digunakan dalam penelitian dengan alat statistik uji-t adalah sebagai berikut :

H0 : b = 0 H1 : b • 0

(48)

Hal tersebut berarti bahwa berdasarkan data yang tersedia maka akan dilakukan pengujian terhadap b (koefisien regresi populasi). Apabila b sama dengan nol maka berarti b tidak mempunyai pengaruh nyata terhadap variabel terikat, sedangkan apabila b tidak sama dengan nol maka berarti b memiliki pengaruh nyata terhadap variabel terikat.

Selain uji-t, pada penelitian ini juga dilakukan uji F (Uji simultan). Uji F bertujuan untuk mengetahui pengaruh semua variabel bebas yang terdapat pada model secara bersama-sama terhadap variabel terikat. Penggunaan uji F dalam menguji pengaruh variabel bebas secara simultan sering disebut analisis ragam. Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung uji F ini adalah sebagai berikut :

RSS/dfE ESS/dfR hitung

F− =

Keterangan:

RSS = jumlah kuadrat regresi ESS = jumlah kuadrat error

dfR = derajat bebas regresi dfE = derajat bebas error

Uji F tersebut dilakukan dengan membandingkan nilai Fhitung dengan nilai F tabel. Adapun bentuk uji F tersebut adalah :

H0 : b2 = b3 = …..= bk = 0 H1 : salah satu ≠ 0

Kriteria uji yang berlaku untuk uji F ini adalah apabila F hitung < F tabel maka kesimpulan yang diambil adalah terima H0. Hal ini berarti bahwa secara bersama-sama variabel bebas tidak berpengaruh nyata terhadap variabel terikat. Sementara itu apabila F hitung > F tabel maka kesimpulan yang diambil adalah tolak H0. Hal ini berarti bahwa secara bersama-sama variabel bebas berpengaruh nyata terhadap variabel terikat.

(49)

4.2.2. Masalah – Masalah dalam Model

Multikolinieritas

Interpretasi dari persamaan regresi linier berganda secara implisit bergantung pada asumsi bahwa variabel – variabel bebas dalam persamaan tersebut tidak saling berkorelasi. Koefisien – koefisien regresi biasanya diinterpretasikan sebagai ukuran perubahan variabel terikat jika salah satu variabel bebasnya naik sebesar satu unit dan seluruh variabel bebas lainnya dianggap tetap. Namun terkadang interpretasi ini menjadi tidak benar apabila terdapat hubungan linier antar variabel bebas (Chaterjee dan Price dikutip dari Nachrowi dan Hardius, 2002).

Hubungan linier antara dua atau beberapa variabel bebas tersebut dinamakan multikolinieritas (Hanke et.al, 1999). Kekuatan multikolinier tersebut dapat diukur melalui faktor varian inflasi (VIF = Variance Inflation Factor). Adapun rumus yang digunakan untuk mengukur multikolinieritas tersebut adalah sebagai berikut : k ..., 1,2, j , R 1 1 VIF 2 j = − =

Menurut Sarwoko (2003) apabila nilai VIF yang diperoleh dari hasil perhitungan kurang dari 10 maka antar variabel bebas tidak terdapat hubungan linier (multikolinieritas). Sebaliknya jika nilai VIF lebih besar dari 10 maka antar variabel bebas terdapat hubungan linier.

Akibat dari adanya multikolinieritas ini, menurut Gujarati (1999) akan menyebabkan :

1. kesalahan standarnya cenderung semakin besar dengan meningkatnya tingkat korelasi antara peningkatan variabel

2. selang kepercayaan untuk parameter populasi yang relevan cenderung untuk lebih besar

(50)

3. probabilitas untuk menerima hipotesis yang salah (kesalahan Tipe II) meningkat

4. kesalahan standarnya menjadi sangat sensitif terhadap sedikit perubahan dalam data

5. R2 tinggi, tetapi tidak satupun atau sedikit koefisien yang ditaksir penting secara statistik

Heterokedastisitas

Pada regresi linier berganda, salah satu asumsi yang harus dipenuhi agar taksiran parameter dalam model tersebut bersifat BLUE adalah semua error

mempunyai variansi yang sama (var (uj) = σ2 (konstan)). Padahal terdapat kasus-kasus tertentu dimana variansi uji tidak konstan karena suatu variabel berubah-ubah. Kondisi tersebut dinamakan heterokedastis.

Bila pada multikolinieritas, permasalahan dapat dideteksi dengan besaran – besaran regresi yang didapat, maka untuk heterokedastisitas tidaklah demikian. Menurut Gujarati (1999) dalam ekonometrika masalah heterokedastisitas dapat diketahui dengan beberapa cara yang lebih menekankan pada statistiknya. Adapun salah satu cara yang dapat digunakan untuk mendeteksi heterokedastisitas adalah dengan melakukan uji Park.

Prinsip yang digunakan dalam uji Park adalah memanfaatkan bentuk regresi. Adapun langkah – langkah yang dikenalkan Park adalah sebagai berikut :

1. Membuat persamaan regresi seperti dibawah ini : 2

1

u

ln = a + b ln Xi + vi

Keterangan : ui = istilah error pada model regresi

2. Melakukan uji-t dengan membandingkan t hitung yang diperoleh dari nilai b dengan t tabel. Bila b secara statistik tidak berpengaruh nyata terhadap variabel terikatnya maka berarti tidak terdapat heterokedastisitas.

Gambar

Tabel 1.  Luas Areal Perkebunan Kelapa di Dunia, Tahun 2003
Tabel 2.  Produksi Kelapa Dunia Setara Butir dan Kopra (Ton), Tahun 2003  Produksi
Tabel 3.  Perkembangan Ekspor Kelapa, Produk Ikutannya di Indonesia, Tahun  1999 – 2003                Volume : Ton                Nilai (Rp 000.000)  Tahun  No
Tabel 5.  Ekspor Sabut dan Produk Sabut Dunia (Ton), Tahun 1999 – 2003
+7

Referensi

Dokumen terkait

&amp;eknik ini di!akukan dengan me!akukan tanya -awab se&lt;ara !angsung dengan /embimbing !a/ang dan /ara /eker-a yang ada di !%kasi baik di &gt;asi!itas

Dengan menggunakan sistem pemilihan secara langsung, maka terbuka peluang bagi rakyat untuk ikut menentukan pemimpin bangsa yang diyakini dan dipercayai dapat membawa bangsa

Rumusan masalah yang dibentuk “Bagaimana aplikasi dengan algoritma Naïve Bayes dapat memprediksi kemampuan siswa Sekolah Menengah Kejuruan Buddhi Tangerang

Yang dapat dilakukan sebuah negara untuk menangkal hal ini adalah dengan membuat kebijakan keamanan nasional yang difokuskan pada negara itu sendiri, sebagai upaya untuk

Dengan demikian, alasan pengajuan Peninjuan Kembali yang dilakukan oleh Terpidana telah sesuai dengan Pasal 263 ayat (2) huruf a KUHAP yaitu dikarenakan

Setelah dilakukan uji asumsi data indeks pemberdayaan gender pada Kota/Kabupaten di Jawa Timur periode tahun 2010-2015, dapat dinyatakan bahwa data tersebut

Peningkatan lama penyinaran tambahan sampai dengan 40 hari dapat meningkatkan pertumbuhan, hasil dan kualitas varietas Bakardi Putih lebih baik dibandingkan varietas Lolipop

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa; pertama, pengukuran kinerja saham syariah dengan metode Sharpe, Jensen, Different Return, dan M2 menyatakan kinerja saham syariah baik,