• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pabrik gula merupakan salah satu peninggalan masa kolonial yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pabrik gula merupakan salah satu peninggalan masa kolonial yang"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pabrik gula merupakan salah satu peninggalan masa kolonial yang mempunyai pengaruh cukup besar di Indonesia. Pabrik gula adalah tempat untuk memproduksi gula dalam jumlah besar, dengan bahan baku utama yaitu tebu. Dahulu, sebelum adanya pabrik gula, manusia sudah mengenal gula dari madu lebah, serta dari tumbuh-tumbuhan seperti tebu, bit, kelapa, dan enau (aren). Tanaman tebu dapat tumbuh dengan baik di daerah beriklim tropis dan sub tropis sepeti Kuba, India, Filipina, dan Indonesia yang beriklim tropis sehingga perusahaan-perusahaan gula di Indonesia menggunakan tebu sebagai bahan bakunya ( PTKPN XV-XVI, 1988:1).

Tempat asal tanaman tebu (Saccharum offinarium) belum diketahui secara pasti. Ada dua pendapat mengenai tempat asal tanaman tebu yaitu India Timur (daerah-daerah di sekitar Sungai Gangga) dan Indonesia (Irian). Sejarah penyebaran tebu yang berasal dari India Timur diperkirakan dimulai oleh orang-orang Cina dan Arab sekitar abad VIII. Sebagai pedagang, mereka menyebarkan tebu yang dibawa dari daerah-daerah di sekitar Sungai Gangga ke wilayah selatan Samudra Hindia. Dalam perjalanan perdagangan tersebut, kemudian mereka menyebarkannya ke Pulau Jawa (Cahyono, 2005).

Pendapat lain tentang asal tanaman tebu menyatakan bahwa tebu adalah tanaman asli Indonesia. Di Irian tanaman tebu sudah dikenal sejak zaman prasejarah. Sampai sekarang masih terdapat tanaman tebu jenis liar di hutan-hutan Irian, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan. Selain itu, bukti-bukti arkeologis Indonesia sebagai tempat asal tanaman tebu juga ada seperti yang terdapat pada relief Candi

(2)

Borobudur yang menggambarkan tanaman tebu. Data tentang tanaman tebu juga ditemukan pada sumber-sumber tertulis seperti prasasti, kitab-kitab kesusastraan, dan berita Cina (Eriawati, 1989:178).

Tanaman tebu pada dasarnya dibudidayakan untuk kepentingan perusahaan perkebunan. Pada masa kolonial di Indonesia, pembukaan lahan sebagai media perkebunan tebu dan industri gula lebih banyak terdapat di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hal ini dikarenakan kondisi tanah Jawa yang subur sehingga cocok untuk tanaman tebu. Selain itu, di Jawa juga tersedia tenaga kerja yang cukup untuk diperkerjakan di perkebunan tebu atau pun di dalam pabrik. Keunggulan Jawa sebagai daerah penghasil tanaman tebu dan produksi gula telah diakui oleh dunia internasional, terbukti dengan dikenalnya Jawa sebagai peringkat kedua terbesar setelah Kuba dalam hal penghasil gula selama periode pertengahan abad XIX sampai dengan Perang Dunia II (Murbyanto, 1986:15).

Pada masa pemerintahan kolonial terdapat tiga fase sejarah perkembangan industri gula di Jawa. Fase pertama, yaitu industri gula yang didirikan pada abad XVII-XVIII. Pada fase ini gula belum dianggap sebagai barang dagangan yang menguntungkan akibat tipisnya kesempatan untuk mendominasi pasar internasional. Selain itu adanya keengganan atau ketidakmampuan dari organisasi perdagangan VOC untuk berkompentensi di pasaran Eropa sehingga gula hanya diproduksi dalam batas-batas permintaan tertentu saja. Mundurnya VOC dari perdagangan gula ke Eropa tidak menurunkan semangat orang-orang Cina dalam pengusahaan dan penggilingan gula di Jawa. Pada masa itu usaha penanaman dan penggilingan tebu banyak dijumpai di desa persewaan, misalnya di daerah Jepara, Juana, Cirebon, dan sekitar Batavia (Kartodirjo, 1994:38)

Fase kedua, industri gula di Jawa terjadi antara tahun 1830-1870. Fase ini dikenal dengan kurun Cultuur Stelsel (Tanam Paksa). Sistem ini dicetuskan oleh

(3)

Van den Bosch pada tahun 1830. Sistem ini dilakukan pada dasarnya untuk memenuhi kas negeri Belanda yang keadaan keuangannya sangat parah. Negeri Belanda pada waktu itu memiliki beban hutang yang besar dan tidak dapat ditanggulangi sendiri, sehingga mereka mencari solusinya di daerah jajahan yaitu Indonesia (Kartodirjo dan Suryo, 1994:14).

Pada masa tanam paksa, tebu menjadi salah satu jenis tanaman wajib yang diperintahkan untuk ditanam rakyat selain kopi, indigo, tembakau, lada, teh, dan kayu manis. Tebu ditanam pada 1/5 bagian milik tanah penduduk yang diminta secara paksa. Penduduk selain dipaksa untuk menanam tanaman wajib juga dikenakan kerja paksa seperti untuk pemotongan dan pengangkutan tebu, memasok kayu bakar untuk penggilingan tebu, menyediakan ternak untuk membajak lahan, serta mengangkut gula dari pengilingan ke gudang dan dari gudang ke pelabuhan (Mubyarto, 1993:78).

Fase ketiga, industri gula yang berkembang pada pasca tahun 1870. Dalam sejarah Indonesia, tahun 1870 ditetapkan sebagai tonggak sejarah yang menandai permulaan zaman baru bercorak ekonomi liberal. Pada prinsipnya ekonomi liberal lebih memberi kebebasan pada para petani untuk menyewakan tanahnya dan menyediakan tenaganya untuk perusahaan perkebunan. Dampak dari ekonomi liberal tersebut melahirkan perusahaan-perusahaan perkebunan baru yang dikelola oleh investor swasta yang memiliki modal besar (Kartodirjo dan Suryo, 1994:79-80).

Pada fase ini intervensi pemerintah terhadap industri perkebunan berkurang. Para pengusaha perkebunan swasta mulai meninggalkan ciri-ciri lama yang dilakukan pemerintah dalam sistem produksinya, yaitu sistem tanam dan kerja paksa. Mereka menggantikannya dengan sistem produksi berdasarkan tenaga kerja kontrak yang diupah.

(4)

selain kopi. Hal ini terlihat pada besarnya perhatian investor swasta, terutama beberapa bank Belanda yang banyak menanam modal dalam usaha perkebunan tebu. Fase ini memiliki banyak keuntungan yang dapat diperoleh dan industri gula mengalami kemajuan yang pesat. Kemajuan tersebut diiringi oleh penggunaan infrastuktur yang memadai misalnya jaringan transportasi kereta api.

Salah satu pabrik gula peninggalan masa kolonial yang terdapat di Propinsi Jawa Tengah yaitu pabrik gula Trangkil Pati. Pabrik gula Trangkil Pati adalah pabrik gula yang sekarang dikelola perusahaan milik swasta yaitu di bawah naungan PT. Kebon Agung. Pabrik yang berdiri sejak tahun 1835 dan masih aktif berproduksi sampai sekarang tersebut terletak di Desa Trangkil, Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati.

Pabrik gula Trangkil Pati merupakan objek penelitian yang menarik untuk dikaji. Pemilihan lokasi objek pabrik gula Trangkil Pati sebagai bahan kajian didasarkan atas beberapa pertimbangan yaitu bangunan pabrik merupakan tinggalan material dari pengaruh kebudayaan kolonial yang ada di Indonesia dan mempunyai fungsi yang sangat vital pada masa kolonial sampai masa sekarang. Pada masa sekarang pengaruhnya adalah terciptanya beberapa bangunan industri yang berada di Pati salah satunya yang terkenal adalah pabrik kacang Garuda dan Dua Kelinci. Bangunan pabrik gula sebagai bangunan industri adalah sebuah bukti nyata bagi sejarah perekonomian Indonesia masa lampau, khususnya berkaitan dengan sejarah perkebunan dan lahirnya industri gula. Selain itu, pabrik gula Trangkil Pati juga termasuk pabrik gula tertua yang berada di wilayah Kabupaten Pati sebelum pabrik gula Pakis berdiri dan letaknya di desa dekat dengan pemukiman warga yang berbeda dengan pabrik gula lainnya yang biasanya letaknya di tepi jalan raya.

(5)

tahap perkembangan, baik karena perubahan manajemen maupun pengaruh peningkatan kapasitas giling. Sejak didirikan kapasitas giling terpasang 800 tth, tahun 1921 kapasitas giling dinaikkan menjadi 1.250 tth. Pada tahun 1974 sampai 1977 diadakan rehabilitasi, perluasan kompleks dan modernisasi, kapasitas giling naik menjadi 3.200 tth. Hingga tahun 2004 pabrik gula Trangkil Pati melakukan perbaikan dan pergantian mesin untuk menaikkan kemantapan kinerja dan efisiensi pabrik dengan sasaran kapasitas giling 3.560 tth. Sejak tahun 2005 pabrik gula Trangkil Pati melakukan program pengembangan PT Kebon Agung dengan sasaran kapasitas giling 4.500 tth.

Di kompleks pabrik gula Trangkil Pati saat ini berdiri beberapa bangunan yang tidak dibangun pada saat bersamaan. Bangunan-bangunan tersebut terdiri dari bangunan-bangunan lama yaitu bangunan yang sudah ada sejak masa berdirinya pabrik dan beberapa bangunan tambahan untuk menunjang fasilitas kelengkapan pabrik serta bangunan yang telah mengalami perubahan fungsi karena beberapa pengaruh tersebut. Keletakan bangunan-bangunan tersebut membentuk suatu tata ruang yang menjadi ciri aktivitas industri gula.

Ruang (space) dan tempat (place) terdiri dari dua kata yang memiliki kemiripan makna. Namun sebenarnya memiliki makna yang berbeda. Dalam kajian keruangan biasanya mengacu pada lingkup yang luas serta umum, kemudian tempat lebih mengacu pada kedudukan/keberadaan suatu material dan bersifat nyata. Tempat biasanya berada pada lingkup ruang tertentu dengan demikian pendefinisian antara ruang dan tempat tidak lepas dari konsepsi budaya masyarakat setempat (Tuan, 1981:81).

Ruang dapat dikelompokkan dalam tiga kategori skala yang berbeda, yaitu skala mikro, semi makro (meso), dan makro. Pada tingkatan skala mikro dipelajari pola persebaran yang berkenaan dengan persebaran keruangan dan hubungan

(6)

antar ruang di dalam suatu bangunan, dan hubungan antar unsur-unsur bangunan dengan komponen-komponen lingkungan alam. Pada tingkatan skala meso dipelajari persebaran dan hubungan antar bangunan-bangunan di dalam suatu situs, serta persebaran dan hubungan antara bangunan-bangunan dengan kondisi lingkungan dan sumber daya alam. Pada tingkatan skala makro dipelajari persebaran dan hubungan antar situs di dalam suatu wilayah, serta persebaran dan hubungan antara situs-situs dengan kondisi lingkungan dan sumber daya alam (Mundardjito, 1990:22).

Menurut latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk mengangkat ”Kompleks Pabrik Gula Trangkil Pati, Kajian tentang Pola Tata Ruang Skala Meso,” sebagai judul skripsi ini.

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang disajikan secara singkat, maka disusunlah permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana tahap-tahap perkembangan kompleks pabrik gula Trangkil Pati?

2. Bagaimana tata ruang pabrik gula Trangkil Pati ditinjau dari skala keruangan meso?

C. Tujuan Penelitian

Adapuntujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini nantinya adalah: 1. Mengetahui tahap-tahap perkembangan pabrik gula Trangkil Pati.

2. Mengetahui tata ruang kompleks pabrik gula Trangkil Pati dengan skala keruangan meso.

(7)

D. Ruang Lingkup Penelitian

Dalam pembahasan suatu karya ilmiah atau penelitian, ruang lingkup mutlak diperlukan mengingat luasnya masalah dalam kehidupan masyarakat. Permasalahan yang ada sudah sewajarnya dibatasi sesuai topik yang diangkat, oleh karena itu sangat dibutuhkan ruang lingkup. Ruang lingkup juga membantu agar tidak terjerumus ke dalam pembahasan yang terlalu luas. Dalam penulisan dibatasi pada dua ruang lingkup yaitu ruang lingkup spasial, temporal, dan ruang lingkup keilmuan.

1. Ruang Lingkup Spasial

Lingkup spasial yaitu batasan wilayah penelitian dilaksanakan. Ruang lingkup spasial dalam proposal ini dibatasi pada wilayah Kabupaten Pati, khususnya pada objek peninggalan materiil yaitu pabrik gula Trangkil Pati yang berada di Kabupaten Pati yang masih berdiri sampai sekarang. Batasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala meso. Skala meso dipelajari pesebaran dan hubungan antar bangunan-bangunan di dalam suatu situs, serta pesebaran dan hubungan antara bangunan-bangunan dengan kondisi lingkungan dan sumber daya alam.

2. Ruang Lingkup Temporal

Batasan waktu yang digunakan dalam penelitian ini yaitu mengidentifikasi tahap-tahap perkembangan yang pernah berlangsung di kompleks pabrik gula Trangkil Pati sejak berdirinya yaitu tahun 1835 hingga tahun 1977. Alasan pemilihan batasan tahun sampai dengan tahun 1977 adalah karena pada tahun tersebut terjadi perluasan kompleks pabrik. Tahap-tahap tersebut akan diklasifikasikan berdasarkan

(8)

peristiwa yang paling dominan seperti baik peristiwa sejarah yang pernah berlangsung, perubahan manajemen pabrik maupun perubahan penguasa (politis).

3. Ruang Lingkup Keilmuan

Tema ini dipilih sesuai dengan bidang keilmuan yaitu Ilmu Arkeologi dengan pokok kajian studi mengenai tata ruang yaitu dengan melalui rangkaian peristiwa yang melatarbelakangi pendirian dan tata ruang kompleks pabrik gula Trangkil dengan skala meso. Dalam ruang lingkup keilmuan ini juga digunakan dua pendekatan yaitu pendekatan arkeologi keruangan dan pemukiman. Arkeologi ruang merupakan salah satu studi khusus dalam ilmu arkeologi dengan memusatkan perhatian pada dimensi ruang yang mempelajari sebaran dan hubungan keruangan pada aneka jenis tempat aktivitas manusia. Pendekatan arkeologi pemukiman adalah suatu kajian terhadap distribusi spasial pada aktivitas dan kegiatan manusia di masa lampau, yang dimulai dari perbedaan lokasi aktivitas dalam suatu ruangan sampai pada kajian pola situs secara regional. Kedua pendekatan tersebut membantu untuk mengetahui dan memahami berbagai hal tentang gagasan keruangan pada perkembangan keruangan kompleks pabrik gula Trangkil Pati.

E.Tinjauan Pustaka

Penelitian yang mengkaji tentang objek pabrik gula arkeologis memang telah banyak dilakukan. Penelitian tersebut di antaranya dilakukan oleh Ikhwan Ma’rufi (2000) dalam skripsinya yang berjudul “Tataruang Kompleks Pabrik Gula Gondangwinangun (Gondang Baru), Klaten: Kajian Strukturalisme Levi Strauss”. Skripsi tersebut membahas tentang gagasan yang mendasari sistem tataruang pabrik gula Gondangwinangun yaitu dominasi barat yang dilandasi oleh semangat orientalisme. Dalam pandangan orientalisme, timur diletakkan sebagai objek barat.

(9)

Dengan landasan prinsip tersebut Belanda memposisikan golongannya sebagai golongan teratas daripada pribumi. Prinsip hubungan yang kolonialistik tersebut direpresentasikan dalam tatanan yang membentuk tata ruang kompleks pabrik gula Gondangwinangun.

Penelitian yang berobjek pabrik gula juga dilakukan oleh Linda Agustin Hidayati (2001) dalam skripsinya yang berjudul “Gaya Bangunan Rumah di dalam Kompleks Pabrik Gula Modjopanggung”. Dalam skripsi ini disimpulkan bahwa secara umum rumah-rumah dalam kompleks pabrik gula Modjopanggung terbagi menjadi dua yaitu kopel dan engkel. Kopel yaitu penggabungan dua rumah menjadi satu atap dan memiliki gaya arsitektur yang sama, sedangkan engkel merupakan bangunan rumah tinggal yang memiliki gaya arsitektur sama atau berbeda dengan yang lain.

Penelitian lainnya tentang pabrik gula juga telah dilakukan oleh Sri Budi Sulastri (2006) dalam skripsinya yang berjudul “Pola Tata Ruang Kompleks Pabrik Gula Colomadu”. Dalam skripsi ini dibahas tentang penataan ruang pabrik gula Colomadu tidak didasari konsep simbolisme seperti tata ruang Keraton Mangkunegaran yang menjelaskan bahwa tata ruang pabrik berbeda dengan tata ruang keraton yang menggunakan konsep simbolisme karena pabrik gula Colomadu adalah milik Mangkunegaran.

Sementara itu penelitian dengan objek pabrik gula Trangkil memang sudah pernah dilakukan. Penelitian antara lain dilakukan oleh Abdullah Umar Yasin (2009) mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang dalam tugas akhirnya yang berjudul “Proses Perekrutan Karyawan PT. Kebon Agung Pabrik Gula Trangkil”. Dalam tugas akhirnya ini dibahas bagaimana proses perekrutan karyawan dan beberepa kendala dalam proses perekrutan. Selain itu penelitian tentang pabrik gula Trangkil juga pernah dilakukan oleh Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia dengan judul “Kajian Pengembangan Kapasitas PG Trangkil”. Penelitian

(10)

ini membahas tentang pengembangan kapasitas produsi gula pada pabrik gula Trangkil. Penelitian tentang pabrik gula Trangkil juga pernah dilakukan oleh mahasiswa Universitas Diponegoro, Agus Haryono (2002) dalam thesisnya yang berjudul “Pengaruh Strategi Kemitraan PG Trangkil Terhadap Kinerja Pemasok Tebu Dengan Lingkungan Bisnis Sebagai Variabel Moderator”. Thesis tersebut membahas tentang strategi kemitraan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pemasok tebu dengan metode analisis regresi linear. Namun sejauh ini penelitian yang mengkaji secara arkeologis belum pernah dilakukan yaitu mengenai keruangan pada kompleks pabrik gula Trangkil Pati.

Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah pola tata ruang skala meso. Skala meso (semi mikro) atau community lay-out yaitu yang mempelajari sebaran dan hubungan lokasional antar bangunan (Mundardjito, 2002:4). Pola ruang berkaitan dengan bagaimana sistem pengaturan dan penataan pemukiman baik mikro (kecil), meso (sedang) dan makro (luas) diaplikasikan dalam bentuk penempatan bangunan, arah hadap, pertimbangan-pertimbangan yang dipergunakan dalam membuka kawasan pemukiman, pemilihan lahan, pembagian ruang serta penataan ruang (Syafrudin, 2009:25).

Pola tata ruang dapat bersifat tangible, intangible dan abstract. Tangible disini adalah suatu bentuk budaya yang bersifat benda atau dengan kata lain merupakan hasil budaya fisik. Warisan budaya fisik (tangible heritage) sering diklasifikasikan menjadi warisan budaya tidak bergerak (immovable heritage) dan warisan budaya bergerak (movable heritage). Warisan budaya tidak bergerak biasanya berada di tempat terbuka dan terdiri dari: situs, tempat-tempat bersejarah, bentang alam darat maupun air, bangunan kuno atau bersejarah, patung-patung

pahlawan dan sebagainya. Intangible adalah suatu bentuk budaya yang bersifat

tidak benda atau nilai budaya dari masa lalu seperti kosep, adat istiadat, kesenian dan tradisi masyarakat. Abstract adalah berkaitan dengan norma dan sistem tata

(11)

nilai yang dijalankan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari (Karmadi, 2012:3).

Ruang merupakan suatu wadah atau tempat dimana manusia melakukan aktivitasnya sehari-hari. Terdapat pendapat khusus mengenai ruang yang diartikan sebagai suatu wilayah yang mempunyai batasan geografi, yaitu batas menurut keadaan fisik, sosial atau pemerintahan, yang terjadi dari sebagian permukaan bumi dan lapisan tanah di bawahnya serta lapisan di atasnya (Jayadinata, 1999). Konsepsi mengenai ruang (space), selama ini dikembangkan melalui beberapa pendekatan yang berbeda. Menurut Friedman dalam (Syafrudin, 2009:43) menyebutkan paling sedikit terdapat tiga pendekatan mengenai ruang yaitu: (1) pendekatan ekologis (ecological approach); (2) pendekatan ekonomi dan fungsional (functional/economical approach); dan pendekatan sosial politik (sosio-political approach).

Berkaitan dengan pola tata ruang tersebut, maka pola tata ruang pabrik gula Trangkil dapat menggunakan teori konsentris Burgess dan teori sektoral (sector theory) Hommer Hoyt. Teori konsentris Burgess menjelaskan pola tata ruang sistem gelang atau melingkar. Sedangkan teori sektoral yaitu proses pertumbuhan tata ruang berdasarkan sektor-sektor atau mengelompok (Karmadi, 2012:4).

F. Metode Penelitian

Untuk menjawab pertanyaan penelitian, maka cara yang dilakukan adalah dengan menggunakan metode penalaran induktif, yaitu jenis penalaran yang menjawab suatu masalah dengan fakta-fakta yang ada dan merangkainya menjadi suatu pemecahan atau generalisasi yang bersifat umum. Penelitian yang menggunakan metode induktif diawali dengan pengumpulan data, tanpa menggunakan hipotesis. Data yang terkumpul kemudian dianalisis dan disintesiskan, akhirnya ditarik kesimpulan atau generalisasi (Mundardjito, 1986: 137).

(12)

Langkah-langkah yang akan dilakukan adalah:

1. Tahap Pengumpulan Data

Pada tahap ini akan digunakan dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer akan diperoleh melalui observasi secara langsung, yaitu melakukan pengamatan secara langsung terhadap objek serta melakukan pencatatan terhadap apa yang diamati. Observasi akan lebih difokuskan pada fisik bangunan dan juga lingkungan atau di sekitar pabrik gula Trangkil Pati. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan studi terhadap dokumen dan arsip-arsip lama tentang kompleks pabrik gula Trangkil Pati ditambah dengan wawancara kepada pegawai pabrik atau mantan pimpinan pabrik yang masih dapat ditemui untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan.

2. Pengolahan dan Analisis data

Pada tahap pengumpulan data akan diolah dengan cara mengklasifikasikan berdasarkan kriteria tertentu. Yaitu membedakan dua kelompok besar kompleks pabrik gula Trangkil terdiri dari kelompok bangunan inti pabrik yang meliputi bangunan tempat proses pengolahan tebu sampai menjadi gula dan kompleks rumah dinas. Untuk menjawab permasalahan satu, yang dilakukan adalah analisis historis dari data sekunder sehingga diperoleh gambaran mengenai tahap-tahap terbentuknya kompleks pabrik gula Trangkil Pati. Data corak arsitektur masing-masing bangunan juga digunakan untuk membantu klasifikasi berdasarkan aspek temporalnya. Kemudian untuk menjawab permasalahan kedua, data di analisis dengan pola keruangan untuk melihat hubungan antar jenis-jenis bangunan di dalam kompleks pabrik gula Trangkil Pati sesuai dengan tahap-tahap yang sudah dipecahkan pada permasalahan satu. Pada tahap analisis ini juga diperhatikan aspek-aspek pemukiman dalam skala meso, baik di dalam kompleks pabrik gula

(13)

maupun pengaruhnya terhadap pemukiman warga di sekitar kompleks pabrik gula. 3. Interpretasi data

Data secara keseluruhan yang telah diperoleh kemudian akan diinterpretasikan. Hasil interpretasi tersebut berupa gagasan atau ide yang melatarbelakangi terbentuknya tata ruang pabrik gula Trangkil Pati.

4. Kesimpulan

Dalam pengolahan data kualitatif penarikan kesimpulan tidak dilakukan secara cepat tetapi secara bertahap dengan tetap memperhatikan perkembangan karena dalam pengolahan data kualitatif merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Penarikan kesimpulan ini akan diharapkan mampu memberikan gambaran umum secara deskriptif atau melukiskan dan menuturkan apa yang dipahami dan diketahui tentang masalah yang diteliti kedalam uraian kalimat.

G. Bagan Alur Pikir Penelitian

Alur pikir dalam penelitian ini dapat diilustrasikan dalam bagan kerangka pikir sebagai berikut:

Gambar 1.1 Bagan Alur Pikir Penelitian Kompleks Pabrik Gula Trangkil Pati

Faktor-faktor pendukung keberadaan pabrik Aspek spasial pemukiman Latar belakang historis

dan politis (aspek temporal)

Tahap-tahap dan pola tata ruang kompleks pabrik gula Trangkil

Kesimpulan pola tata ruang kompleks pabrik gula Trangkil Pati

Analisis keruangan skala

(14)

Berdasarkan bagan alur pikir penelitian di atas, menggambarkan bahwa kompleks pabrik gula Trangkil dilihat dari latar belakang historis dan politik (aspek temporal) dan faktor pendukung keberadaan pabrik, serta aspek spasial pemukiman di lingkungan pabrik, dihadapkan pada permasalahan tentang tahap-tahap perkembangan kompleks serta tata ruang pabrik gula Trangkil. Permasalahan tersebut perlu dianalisis dengan menggunakan pola tata keruangan skala Meso. Melalui analisis tersebut diperoleh hasil bahwa kompleks pabrik gula Trangkil Pati mengalami perubahan dan perkembangan dari tahap demi tahap sehingga dapat mempengaruhi pola tata ruang kompleks pabrik gula Trangkil sampai saat ini.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Isjoni dan Ismail (2008: 146), jika pembelajaran sejarah kurang mengikutsertakan siswa maka akan berdampak pada munculnya ‘budaya diam’ berlangsung di dalam

Produk yang dicantumkan merupakan produk yang ready untuk saat ini, jadi masih perlu dikembangkan lagi bisa menggunakan panel admin untuk login admin dari web terkait

Dapatan kajian juga membuktikan bahawa iklim sekolah pada peringkat kumpulan merupakan faktor peramal yang lebih dominan kepada daya kekuatan dalaman guru Pendidikan Islam

Faktor yang mempengaruhi terhadap keberhasilan penggunaan media video pembelajaran dalam Mata Pelajaran Seni Budaya di SMP Negeri 29 Bandung... Respon siswa terhadap

[r]

20 Lebih lanjut, menurut Siagian (2003) bahwa bagi organisasi, hasil penilaian prestasi kerja para pegawai sangat penting arti dan peranannya dalam pengambilan keputusan

Jadi diare dapat diartikan suatu kondisi, buang air besar yang tidak normal yaitu lebih dari 3 kali sehari dengan konsistensi tinja yang encer dapat disertai atau tanpa disertai

Perbedaan terletak pada variabel independen dan luasnya sampel.Variabel independen dari penelitian terdahulu adalah ukuran perusahaan dan proftabilitas sedangkan untuk