• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. perempuan wirausaha dapat dikatakan agen perubahan karena dapat menjadi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. perempuan wirausaha dapat dikatakan agen perubahan karena dapat menjadi"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kewirausahaan menjadi topik menarik dalam kancah ekonomi nasional. Perannya ketika terjadi krisis ekonomi menyadarkan banyak pihak bahwa kewirausahaan mampu menjadi penyelamat keterpurukan ekonomi Indonesia. Saat krisis telah berlalu kewirausahaan tetap menjadi tumpuan harapan pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia yang saat ini mengalami stagnan di angka 5%. Namun, masih sedikit yang mengetahui bahwa pelaku ekonomi (wirausaha) yang sangat berjasa dalam menghadapi krisis maupun pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sebagian besar (60%) adalah perempuan (Feryanto, 2007).

Perempuan wirausaha telah membuka usaha dua kali lebih banyak dari laki-laki. Meskipun sebagian besar (85%) usaha yang dikelola perempuan berstatus usaha mikro dan kecil tetapi dampaknya sangat besar. Perempuan wirausaha yang ada di Indonesia telah mempekerjakan sebanyak 15 juta karyawan, artinya perempuan wirausaha dapat dikatakan agen perubahan karena dapat menjadi sumber kegiatan ekonomi berupa penciptaan lapangan kerja. Kelebihan lain, perempuan wirausaha memiliki daya hidup lebih tinggi daripada usaha yang dikelola laki-laki. Perempuan wirausaha dewasa ini telah begitu berkembang merambah dunia bisnis yang biasa banyak di kelola laki-laki seperti pengelolaan pabrik, konstruksi, transportasi, dan pertanian (Armiati, 2013). Berdasarkan survei BPS (2018) jumlah pelaku UMKM perempuan berwirausaha mencapai 14,3 juta orang, dimana jumlah ini meningkat 1,6 juta orang dari 12,7 juta orang tahun sebelumnya.

(2)

Para perempuan pengelola usaha mikro dan kecil juga memiliki beberapa kelemahan, yaitu pertama, sikap perempuan yang kurang tegas dan kurang percaya diri dapat menjadi hambatan untuk pengambilan risiko. Kedua, Status dalam struktur sosial menjadikan perempuan tergantung pada pria (keluarga). Ketiga, Akses pendidikan dan pelatihan yang kurang bagi perempuan, dan yang keempat akses dana dan kredit yang sulit bagi perempuan. Kendala-kendala ini, bagi perempuan wirausaha di Indonesia menjadi dasar bagi perempuan dalam pemilihan bidang usaha (Saputri & Himam, 2015). Perempuan wirausaha juga dihadapkan pada situasi yang menghambat atau menyulitkannya selama membangun usaha yang sukses. Kesulitan ini akan menjadi kelemahan bagi individu yang berwirausaha yaitu ketidakpastian pendapatan, risiko kehilangan seluruh investasi, dan tanggung jawab (Smith & Chimuceka, 2014).

Peran penting perempuan wirausaha dan kelemahan serta kendala yang dihadapi, konsep intensi berwirausaha sering kali menjadi jalan keluar dari eksistensi seorang perempuan wirausaha. Membuka usaha sendiri membutuhkan waktu yang artinya tidak bisa instan karena harus dilalui oleh banyak proses. Mulai dari memikirkan ide awal, membuka, memperkenalkan dan mempromosikan usaha tersebut. Dalam proses ini, banyak sekali tantangan dan rintangan, baik dari internal maupun eksternal. Tantangan ini tidak jarang menyebabkan para wirausahawan mundur. Tidak kuat dan stres melihat usaha yang dibangun lambat tumbuh, penjualan seret, sementara dana dan tenaga sudah banyak dicurahkan dan akhirnya memilih mundur dan menyerah.

Beberapa survei enterpreunership pada perempuan wirausaha terutama pada pengusaha batik di Sleman menunjukkan bahwa sebagian besar yang buka usaha sendiri walaupun memiliki komunitas dengan pengusaha batik yang lain. Kegagalan mempertahankan endurance menjadi penyebab utama, banyak

(3)

pengusaha pemula gugur di masa–masa awal. Seseorang dengan intensi untuk memulai usaha akan memiliki kesiapan dan kemajuan yang lebih baik dalam usaha yang dijalankan dibandingkan seseorang tanpa intensi untuk memulai usaha. Intensi terbukti menjadi prediktor yang terbaik bagi perilaku kewirausahaan atau intensi dapat menunjang keberhasilan usaha (Krueger & Carsrud, 1993). Hasil studi pendahuluan menunjukkan tingginya minat berwirausaha di kalangan perempuan-perempuan yang sudah berkeluarga dan ingin menambah penghasilan keluarga. Akan tetapi, tidak semua dari mereka yang meraih keberhasilan, banyak faktor untuk itu diantaranya adalah masalah intensi mereka dalam berwirausaha. Oleh karena itu, intensi dapat dijadikan sebagai pendekatan dasar untuk memahami siapa-siapa yang akan menjadi wirausaha (Choo & Wong, 2006).

Berdasarkan Theory of Planned Behavior intensi diasumsikan bahwa manusia merupakan makhluk yang rasional, mereka memikirkan implikasi dari tindakan sebelum memutuskan untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku-perilaku tertentu. Perilaku individu dituntun oleh tiga hal, antara lain: behavioral beliefs, normative beliefs, dan control beliefs. Behavioral beliefs adalah keyakinan seseorang tentang outcome yang diharapkan dari tingkah laku serta evaluasi dari outcome tersebut. Normative beliefs adalah harapan normatif mengenai perilaku dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut. Control beliefs adalah keyakinan individu tentang faktor yang dapat menghambat perilaku dan kemampuan mengatasi faktor tersebut (Ajzen & Fisbein, 1975).

Intensi berwirausaha yaitu tendensi keinginan individu untuk melakukan tindakan wirausaha dengan menciptakan suatu produk baru melalui peluang bisnis dan berani dalam pengambilan resiko (Ramayah & Harun, 2005). Menurut Hattab (2014) intensi berwirausaha dapat didefinisikan sebagai pikiran yang mengarahkan dan membimbing setiap individu terhadap perkembangan dan pengimplementasian

(4)

dalam konsep bisnis baru. Intensi telah terbukti menjadi prediktor yang terbaik bagi perilaku kewirausahaan, intensi dalam perilaku kewirausahaan dapat menunjang keberhasilan usaha dan sebagai keaktifan dalam melakukan wirausaha. Intensi sebagai pendekatan dasar yang masuk akal untuk memahami siapa-siapa yang akan menjadi wirausaha (Choo & Wong, 2006). Intensi berwirausaha pada seseorang akan lemah karena kurangnya percaya diri, ragu-ragu dan takut gagal sehingga seseorang tersebut tidak siap menghadapi rintangan atau kesulitan yang ada. Dengan demikian, hanya seseorang yang mampu bertahan dan mengatasi rintangan yang memiliki intensi berwirausaha yang kuat. Kemampuan untuk bertahan dan mengatasi rintangan atau kesulitan tersebut oleh Stoltz (2007) disebut dengan adversity quotient.

Hasil wawancara peneliti dengan dua orang responden menunjukkan adanya permasalahan intensi mereka dalam berwirausaha. Ny. Reisa yang merupakan pemilik toko fashion menyatakan bahwa pada awal membuka usahanya sudah banyak toko lain sebagai pesaing sehingga membuat dirinya sempat pesimis karena kurangnya pemasaran produk. Awalnya ia hanya menjadi reseller, atas keyakinannya kemudian bisa membuka usaha sendiri dan sudah memiliki butik (Hasil wawancara tanggal 13 Juli 2018). Rahma, wirausaha jilbab home made menjelaskan bahwa ia selalu semangat untuk berwirausaha, terdorong untuk menghasilkan karya terbaik dan mengisi waktu luang bekerja dengan mengurus rumah tangga. Rahma menjelaskan, susahnya membuka usaha ini diantaranya karena susahnya mendapat customer. Banyaknya customer yang complain akibat tidak sesuai apa yang dengan mereka inginkan. Rahma mengatakan keinginan berwirausaha karena keinginan untuk membantu ekonomi keluarga, serta bisa dijadikan bisnis di rumah yang tidak menganggu mengurus kewajiban berumah tangga (Hasil wawancara 14 Juli 2018).

(5)

Srimulyani (2013) menyatakan bahwa terdapat faktor yang berpengaruh terhadap tinggi dan rendahnya intensi yaitu tingkat daya tahan terhadap tekanan atau adversity quotient. Penelitiannya menyebutkan ada tiga faktor yang mempengarhi intensi, yaitu karakteristik kepribadian (seperti risk taking, kreativitas, dan inovasi), Locus of control dan berbagai indikator kecerdasan, seperti intelligence quotiet (IQ), emotional quotient (EQ), spiritual quotient (SQ), dan adversity quotient (AQ).

Stoltz (2007) mengatakan bahwa kecerdasan dalam menghadapi kesulitan (adversity quotient) mempunyai tiga bentuk, yaitu pertama, adversity quotient sebagai suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. Kedua, adversity quotient sebagai ukuran untuk mengetahui respons individu terhadap suatu kesulitan. Ketiga, adversity quotient sebagai instrumen yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respons seseorang terhadap kesulitan. Adversity quotient dipahami untuk melihat sampai sejauh mana kemampuan seseorang bertahan dalam menghadapi berbagai macam kesulitan hingga menemukan jalan keluar dan bagaimana memanfaatkan potensi yang dimiliki untuk mengatasi kesulitan tersebut. Adversity quotient juga dapat mempengaruhi seberapa baik seseorang dapat bertahan dan mampu mengatasi kesulitan, kemudian dapat meramalkan siapa yang mampu bertahan dengan kesulitan, siapa yang akan hancur, siapa yang akan melampaui harapan-harapan, siapa yang akan gagal, siapa yang akan menyerah dan siapa yang bisa bertahan.

Gideon Markman seorang professor studi kewirausahaan di Rensselaer Polytechnic Institute, mengungkapkan bahwa ada hubungan yang kuat antara Adversity Quotient dan wirausaha. Adversity Quotient yang lebih tinggi mampu mengambil risiko tinggi, memiliki kontrol yang lebih besar dan memiliki ketekunan dan keyakinan untuk melanjutkan wirausaha, kemudian menemukan ide, strategi,

(6)

dan produk baru untuk persaingam dalam menghasilkan peningkatan laba dan pendapatan tinggi. Adversity Quotient dapat berguna untuk memprediksi kinerja, motivasi, perberdayaan, kreativitas, produktivitas, pembelajaran, harapan, ketahanan, dan respon terhadap perubahan (Phoolka & Kaur, 2012).

Surekha (2001) menyatakan bahwa adversity adalah kemampuan berpikir, mengelola dan mengarahkan tindakan yang membentuk suatu pola–pola tanggapan kognitif dan perilaku atas stimulus peristiwa-peristiwa dalam kehidupan yang merupakan tantangan atau kesulitan. Adversity Quotient pada wirausaha merupakan gambaran sejauh mana kinerja seseorang yang berwirausaha dalam menghadapi tantangan dan menyelesaikan permasalahan dalam mengembangkan usaha. Tantangan tersebut dapat berupa finansial, emosional, fisik, pergaulan dan yang berkaitan dengan pengembangan karier dari wirausaha. Tanpa adanya Adversity Quotient yang tinggi maka dikhawatirkan seseorang wirausaha akan mengalami frustasi dan kegamangan dalam menjalani proses menjadi seorang wirausaha nantinya (Stoltz, 2007). Sebaliknya, terbukti bahwa seorang yang berwirausaha dan memiliki Adversity Quotient tinggi biasanya tidak akan menyerah dan tetap bertahan dimasa sulit dan menjadikan kesulitan sebagai penguat untuk menghadapi rintangan selanjutnya (Markman et al, 2004).

Stoltz (2007) mengatakan konsep Adversity Quotient ini berkaitan dengan keberhasilan wirausaha, karena dalam menjalankan usahanya wirausaha memerlukan keberanian untuk menghadapi kegagalan, dan kemauan untuk mencoba terus-menerus sampai berhasil. Adversity Quotient berguna untuk meningkatkan efektivitas dalam lingkup tim, hubungan kerja, keluarga, perusahaan, perkumpulan, kebudayaan dan masyarakat. Adversity Quotient akan berperan sebagai prediksi kesuksesan atau kegagalan seseorang. Hal ini sangat dibutuhkan

(7)

seorang wirausaha agar mampu menghadapi segala permasalahan atau hambatan yang dialami selama menjalani usaha.

Adversity Quotienty menunjukkan bahwa ketahanan adalah faktor utama yang mendasari keberhasilan dalam pengaturan kewirausahaan. Pengusaha sukses memiliki nilai yang jauh lebih tinggi skor Adversity Quotient dibandingkan mereka yang kurang sukses. Bahkan, ketahanan telah diperdebatkan sebagai ukuran yang tepat dari keberhasilan wirausaha pada tahap awal usaha ketika indikator keuangan yang sulit tidak tersedia atau tidak sesuai (Stoltz, 2007).

Pada perempuan wirausaha, Adversity Quotient dibutuhkan agar mampu menghadapi segala permasalahan atau hambatan yang dialami selama menjalani usaha. Penelitian yang dilakukan oleh Dhanita & Hidayat (2015) pada wirausahawan kuliner juga menunjukkan bahwa Adversity Quotient diperlukan wirausahawan kuliner untuk mengatasi permasalahan yang terjadi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ekasari & hafizhoh (2009) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan dengan kategori korelasi lemah antara Adversity Quotient dengan intensi. Berdasarkan paparan diatas, dalam hal ini peneliti tertarik untuk meneliti tentang Adversity Quotient dengan intensi berwirausha untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Adversity Quotient terhadap intensi berwirausha dengan subjek penelitiannya adalah perempuan yang melakukan wirausaha. Hal ini memberikan perbedaan dengan penelitian-penelitian sebelumnya.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara adversity quotient dan intensi berwirausaha pada perempuan wirausaha di Sleman.

(8)

C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Dalam segi teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan kajian serta referensi dalam ilmu psikologi, khususnya dalam bidang wirausaha. Memperkaya pengetahuan mengenai hubungan antara adversity quotient dan intensi berwirausaha pada perempuan wirausaha, serta dapat dijadikan sebagai acuan dalam menjawab persoalan terkait intensi berwirausaha dalam wirausaha.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Perempuan Wirausaha

Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan motivasi perempuan untuk berwirausaha.

b. Bagi Komunitas wirausaha perempuan

Hasil penelitian ini diharapkan para stakeholder wirausaha dapat menerapkan konsep adversity quotient dalam usahanya.

D. Keaslian Penelitian

Dilihat dari penelitian sebelumnya dengan Judul Intensi Berwirausaha ditinjau dari Adversity Quotient pada Mahasiswa Program Studi Manajemen Univeristas Katolik Soegijapranata Semarang yang diteliti oleh Julita dan Prabowo pada tahun 2018 dengan jumlah subjek 38 orang. Penelitian ini menggunakan purposive sampling dengan partisipan mahasiswa management Univeristas Katolik Semarang angkatan 2013 dan 2014. Penelitian ini menggunakan analisis data menggunakan SPSS study correlation oleh Pearson’s Product Moment Correlation. Hasil dari penelitian ini adalah adanya kontribusi Adveristy quetiont yang efektif terhadap Intensi Berwirausaha adalah sebesar 31,47 %. Berdasarkan hasil analisis data yang

(9)

dilakukan, diperoleh hasil adanya hubungan signifikan antara adversity quotient dengan intensi berwirausaha yang bersifat positif pada Mahasiswa Program Studi Manajemen Univeristas Katolik Soegijapranata Semarang.

Penelitian berikutnya Pengaruh Adversity Quotient terhadap Intensi Berwirausaha yang di lakukan oleh Zahreni & Pane (2012). Penelitian ini melibatkan 80 orang mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sebagai partisipan dalam penelitian ini dengan teknik pengambilan sampel menggunakan convenience sampling. Kemudian data yang didapatkan diolah menggunakan analisis regresi linear sederhana. Alat ukur yang digunakan adalah skala intensi berwirausaha dan skala Adversity Quotient. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Adversity Quotient memiliki pengaruh yang signifikan terhadap intensi berwirausaha mahasiswa.

Lalu, penelitian selanjutnya adalah Penelitian Handaru, Parimita & Mufdhalifah (2015) yang berjudul Membangun Intensi Berwirausaha Melalui Adversity Quentient, Self Efficacy dan Need for Achievement. Penelitian ini mengidentifikasi kondisi terkini mengenai intensi berwirausaha di kalangan mahasiswa Universitas Negeri Jakarta. Penelitian ini menggunakan 102 mahasiswa yang dijadikan sampel penelitian kemudian data diolah menggunakan pengujian regresi linier. Hasil dari penelitian ini menghasilkan; pertama tingkat adversity quotient dapat mempengaruhi intensi berwirausaha mahasiswa. kedua, tingkat self-efficacy juga dapat mempengaruhi intensi berwirausaha mahasiswa. Ketiga, besarnya need for achievement yang dimiliki mahasiswa juga mempengaruhi niat mereka untuk menjadi pengusaha. Hasil penelitiannya adalah intensi berwirausaha mahasiswa secara simultan dipengaruhi oleh adversity quotient, self-efficacy, dan need for achievement dengan besaran 46,2%.

(10)

Penelitian yang dilakukan oleh Handayani, Machmuroch dan Astriana (2018) yang berjudul hubungan antara Adversity Quotient dan Kompetensi Social Dengan Intensi Berwirausaha Mahasiswa Program Studi Manajemen di Univeritas Sebelas Maret Surakarta. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara Adversity Quotient dan kompetensi social dengan intensi berwirausaha mahasiswa program studi manajemen di universitas sebelas maret. Penelitian ini menggunakan 128 mahasiswa jurusan studi manajemen. Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala intensi berwirausaha, skala Adversity Quentient dan skala kompetensi social. Analisis data yang digunakan adalah analisis regresi linear berganda yang menunjukan hasil nilai F hitung = 305,889 dan R=0,911 dengan sig 0,000. Hal ini menunjukan bahwa adanya hubungan yang kuat dan signifikan anatra Adversity Quotient dan kompetensi sosial dengan intensi berwirausaha.

Penelitian selanjutnya oleh Zahreni & Malini (2014) meneliti tentang hubungan adversity quotient terhadap kepuasan berwirausaha pada wirausaha perempuan. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui hubungan adversity quotient terhadap kepuasan berwirausaha pada wirausaha perempuan di kota Medan. Metode penelitian tersebut adalah kuantitatif korelasional dengan menggunakan Teknik purposive sampling. Subjek penelitiannya melibatkan 155 orang wirausaha perempuan yang menggeluti bisnis kuliner di kota Medan. Hasil analisis statistik menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara adversity quotient dengan kepuasan berwirausaha pada wirausaha perempuan.

Penelitian yang dilakukan Suryanti (2016) meneliti tentang hubungan adversity quotient dengan kepuasan kerja. Tujuan dari penelitian tersebut untuk mengetahui hubungan antara adversity quotient dengan kepuasan kerja. Subjek penelitiannya berjumlah 80 pengusaha yang diambil dengan teknik purposive sampling. Analisis

(11)

pada penelitiannya adalah analisis korelasi. Hasil yang diperoleh kesimpulan bahwa antara adversity quotient dengan kepuasan kerja memiliki signifikansi yang positif.

1. Keaslian Topik

Dalam penelitian yang pertama dengan judul Intensi Berwirausaha ditinjau dari Adversity Quotient pada Mahasiswa Program Studi Manajemen Universitas Katolik Soegihapranata Semarang yang di teliti oleh Julita dan Prabowo (2018). Penelitian kedua adalah Adversity Quotient terhadap Intensi Berwirauaha pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara yang di lakukan oleh Zahreni & Pane (2012). Pada penelitian yang ketiga adalah Membangun Intensi Berwirausaha Melalui Adversity Quotient, Self Efficancy, dan Need for Achievement yang di lakukan oleh Handaru, Parimita & Mufdhalifah (2015). Pada penelitian yang keempat adalah Hubungan antara Adversity Quotient dan Kompetensi Sosial Dengan Intensi Berwirausaha Mahasiswa Program Studi Manajemen di Universitas Sebelas Maret yang di lakukan oleh Handayani, Machmuroch, dan Astriana (2018). Sedangkan pada penelitian ini membahas topik tentang Hubungan Adversity Quotient dan Intensi Berwirausaha pada Perempuan Wirausaha di Sleman.

2. Keaslian Teori

Julita & Prabowo (2018) menggunakan teori Van Gelderen, dkk. (2008) yang menyatakan bahwa intensi berwirausaha adalah keinginan atau niatan untuk mendirikan sebuah usaha di masa depan. Penelitian selanjutnya di lakukan oleh Zahreni & Pane (2012) menggunakan teori Ajzen & Fisbein (1975) yang menyatakan bahwa intensi berwirausaha merupakan keinginan atau niat di dalam diri yang terdiri dari keyakinan pada perilaku, norma dan kontrol perilaku untuk melakukan suatu proses penciptaan sesuatu yang baru dan membuat sesuatu yang berbeda dari inovasi dengan kepercayaan diri dan

(12)

keberanian. Lalu penelitian yang berikutnya dilakukan oleh Handaru, Parimita & Musdhalifah (2015) dipenelitian tersebut menggunakan Vemmy (2013) yang menyebutkan bahwa intensi adalah bagian dari diri individu yang dilatarbelakangi oleh motivasi seseorang untuk bertindak. Penelitian yang berikutnya dilakukan oleh Handayani, Machmuroch & Astriana (2018) dipenelitian tersebut menggunakan Linan & Moriano (2007) menyebutkan bahwa dimensi intensi berwirausaha meliputi sikap terhadap kewirausahaan, norma-norma subjektif, dan kendali tingkah laku yang dipersepsikan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur intensi berwirausaha yang dikembangkan Ajzen (1991).

3. Keaslian Alat Ukur

Dalam penelitian memiliki alat ukur yang berbeda dengan penelitian sebelumnya, Handaru, Parimita & Musdhalifah (2015) menggunakan metode penelitian deskriptif dan eksplanatori. Penelitiannya juga menggunakan metode survei dan teknik proportionate stratified random sampling. Pada penelitian Hubungan antara Adversity Quotient dan Kompetensi Sosial dengan Intensi Berwirausaha Mahasiswa Program Studi Manajemen di Universitas sebelas Maret Surakarta yang di lakukan oleh Handayani, Machmuroch & Astriana (2018) menggunakan metode dengan model skala likert. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur intensi berwirausaha yang dikembangkan dari tiga aspek Ajzen (1991) sedangkan skala adversity quotient dikembangkan dari dimensi yang mengacu pada teori adversity quotient Stoltz (2007).

4. Keaslian Subjek Penelitian

Penelitian dengan judul Intensi Berwirausaha ditinjau dari Adversity Quotient yang di teliti oleh Julita & Prabowo (2018), dalam penelitian ini

(13)

mereka mengambil 38 subjek mahasiswa program studi manajemen Universitas Katolik Soegijapranata Semarang. Lalu Penelitian berikutnya adalah pengaruh adversity quotient terhadap intensi berwirausaha yang di lakukan oleh Zahreni & Pane (2012) mereka mengambil sampel penelitian berjumlah 80 orang mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara dengan teknik pengambilan sampel menggunakan convivience sampling. Penelitian selanjutnya Handaru, Parimita & Mufdhalifah (2015) yang berjudul membangun intensi berwirausaha melalui adversity quotient, self efficacy dan need for achievement menggunakan sampel 102 mahasiswa. Sedangkan dalam penelitian ini peneliti mengambil subjek perempuan wirausaha di Sleman.

Referensi

Dokumen terkait

Prinsip-prinsip dasar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim diimplementasikan dalam 10 (sepuluh) aturan perilaku sebagai berikut: 1). Bersikap Mandiri; 5)

Kenyataan yang mengkonsumsi susu berdasarkan study pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada bulan Februari didapatkan siswa SD Negeri 2 Borokulon berjumlah

Namun, produktivitas sektor pertanian masih rendah akibat dari keterbatasan infrastruktur dasar, keterbatasan SDM sebagai pendukung kunci dalam peningkatan nilai

Proses merger, akuisisi atau konsolidasi erat kaitannya dengan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, karena merger yang merupakan penggabungan dua perusahaan menjadi

Berdasarkan paparan tersebut, pene- litian ini bertujuan untuk mengetahui ke- ragaan fisik unit penangkapan togo, menge- tahui produktivitas alat tangkap togo yang

Hasil tersebut mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ajzen (1991), dan penelitian Ajzen (2015) dan Soon & Wallace (2017) yang menyatakan bahwa

Sistem client server bekerja yaitu dengan adanya permintaan dari komputer client dan hasil dari permintaan yang dikirim adalah bagaimana membuat sistem database

Bagi seorang anak diantara hak yang tidak akan terlepas dari ikatan orang tua adalah hak anak dalam harta warisan selama anak itu tidak melanggar ketentuan-ketentuan