TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN
JUAL BELI PROPERTI DI PERUMAHAN TAYLON SYARI‟AH
KABUPATEN PATI
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar dalam Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
MAULINA HANDAYANI NIM : 214 13 026
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARI
’
AH
FAKULTAS
SYARI’A
H
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
MOTTO
JANGAN KATAKAN AKU TAK DAPAT, TAPI
PERSEMBAHAN
Alhamdulilah puji syukur kepada Allah SWT dengan izin-Nya Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi ini penulis persembahkan untuk orang-orang yang mendukung penulis dalam menuntut ilmu.
1. Bapak Kuryanto dan ibu Siti Khasanah yang senantiasa tiada hentinya
mendo’akan penulis dan yang telah bersusah payah menuntun perjalanan kaki saya agar tetap berada pada jalan yang di ridhoi Allah SWT.
2. Adik adik tercinta Atsna Azizah, Atok Mubarrok dan Hasbi Al Aziz
Saljusodri yang senantiasa mendukung dan juga mendoakan penulis.
3. Keluarga besar embah Jamari dan embah Jamal yang telah memberikan
dukungan moral maupun material.
4. Pakde In’am dan Bude Inung yang sudah seperti orang tua kedua bagi penulis, yang senantiasa menuntun, mendukung, memberikan motivasi dan pengalaman yang sangat luar biasa kepada penulis.
5. Sahabat-sahabat tercinta saya Intan Fadlilah, Tugini, Diena Surianas
Tutie, Diana Wulansari, Feri Firdaus, Nurul Azizah, Anida Kumalasari, Rukayatun, Ilham Indrawan, Muhammad Munif, Sinta Nur Riskawati, Tiffany Alfiana Zulfa dan Laelatul Hidayah yang selalu mendukung dan memberi warna dikehidupan penulis.
6. Keluarga besar KKN posko 56 yang selalu memberikan semangat dalam
pembuatan skripsi ini.
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada penyusun dalam mengarungi proses
pembelajaran akademik di jurusan Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah IAIN
Salatiga.
Sholawat serta salam mudah-mudahan dilimpahkan kepada khotamul anbiya,
Nabi Muhammad SAW, yang telah menyelamatkan ummat manusia dari gelap
kejahiliyaan kepada cahaya illahiyah yang terang benderang yang penuh ilmu
pengetahuan.
Dalam penyelesaian penyusunan skripsiini, yang berjudul “Tinjauan Hukum
Islam Terhadap Pelaksanaan Jual Beli Properti di Perumahan Taylon Syari’ah Kabupaten Pati” sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata 1 dalam Hukum Ekonomi Syariah, pada Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Salatiga, tentunya tidak terlepas bantuan dan dukungan dari berbagai pihak
yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, hingga akhirnya skribsi ini dapat
terselesaikan dengan segala kekurangannya. Karenannya patutlah penyusun
mengucapkan terimakasih kepada mereka yang telah membantu, baik secara langsung
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri
Salatiga.
2. Ibu Dr. Siti Zumrotun, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syariah Institut Agama
Islam Negeri Salatiga.
3. Bapak Dr Ilya Muhsin, S.H.I., M.Si., selaku Wakil Dekan Fakultas Syariah.
4. Ibu Evi Ariyani, M.H selaku Ketua Jurusan Hukum Ekonomi Syariah.
5. Ibu Heni Satar Nurhaida, SH., M.Si. selaku dosen pembimbing akademik.
6. Bapak Sukron Ma‟mun, S.HI.,M.Si, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
dengan ikhlas mencurahkan pikiran dan tenagannya serta pengorbanan waktunya
dalam membimbing penulis skripsi ini.
7. Bapak ibu dosen serta karyawan Institut Agama Islam Negeri Salatiga yang telah
banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
8. Pimpinan P.T Tan Iskandar Muda dan juga staff karyawan Perumahan Taylon
Syari‟ah yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian
dan memberikan waktunya untuk memberikan informasi yang dibutuhkan
penulis.
9. Para Narasumber di Perumahan Taylon syari‟ah yang telah memberikan informasi
kepada penulis yang tidak bisa penulis sebut satu persatu
10.Ayahanda Kuryanto dan Ibunda Siti Khasanah serta keluarga besar saya di rumah
yang telah mendoakan dan memberikan dukungan dalam menyelesaikan studi di
Institut Agama Islam Negeri Salatiga (IAIN) dan penyusunan skripsi dengan
11.Teman-teman Jurusan S1 Hukum Ekonomi Syariah angkatan 2013 di Institut
Agama Islam Negeri Salatiga.
Kepada mereka semua penulis tidak dapat memberikan balasan apapun.
Penyusun menyadari skripsi ini jauh dari sempurna. Maka dari itu kritik dan
saran dari pembaca sangat di harapkan dalam rangka perbaikan dan penyempurnaan
karya ilmiyah ini. Penyusun berharap skripsi ini bermanfaat khususnya bagi peyusun
dan para pembaca pada umumnya.atas bantuan yang diberikan kepada penyusu,
semoga Allah SWT memberikan balasan yang layak, Amin
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salatiga, 14 Maret 2018
Penulis
MAULINA HANDAYANI
ABSTRAK
Handayani, Maulina. 2018. “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Jual Beli
Properti Perumahan Taylon Syari‟ah Kabupaten Pati”. Skripsi. Fakultas Syari‟ah. Jurusan Hukum Ekonomi Syari‟ah. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing Sukron Ma‟mun, S.HI.,M.Si.
Kata Kunci : Jual beli, Properti Syari’ah
Dewasa ini banyak ditemui developer peroperti yang menggunakan nama syari‟ah, akan tetapi dalam pelaksanannya justru kurang bahkan jauh dari pelaksanaan konsep syariat yang telah diajarkan dalam Islam. Berbeda dengan developer properti yang satu ini, dengan nama Taylon Syari‟ah. Developer properti ini berusaha mengaplikasikan usahanya dengan konseptual syari‟ah secara keseluruhan. Penelitian ini bertujuan (1) mengetahui bagaimana pelaksanaan jual beli properti di Perumahan Taylon Syari‟ah Kabupaten Pati, (2) mengetahui bagaimana tinjauan hukum islam terhadap pelaksanaan jual beli yang dilakukan di Perumahan Taylon Syari‟ah Kabupaten Pati
Melalui penelitian kualitatif, peneliti berusaha mengungkapkan permasalahan diatas. Dengan metode ini, dilakukan wawancara kepada informan sesuai data yang dibutuhkan. Peneliti juga menggunakan data dan dokumentasi yang ada. Dan untuk menguji hasil temuan data tersebut, peneliti menganalisis data dengan kerangka teoritik yang peneliti susun.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR BERLOGO ... ii
NOTA PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii
PENGESAHAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN... v
4. Macam-macam Jual Beli ... 27
5. Khiar dalam Jual Beli ... 36
B. Akad Istishna‟ ... 37
a. Pengertian Akad Istishna‟ ... 37
b. Hukum akad Istishna‟ ... 37
c. Dalil-dalil tentang Istishna‟... 39
C. Jual Beli Kredit ... 42
BAB III GAMBARAN LOKASI PENELITIAN A. Perumahan Taylon syari‟ah... 49
B. Type-type Perumahan Taylon Syari‟ah ... 52
C. Kelebihan dan Kekurangan dari Perumahan Taylon Syari‟ah ... 58
D. Model Transaksi Pembelian Perumahan Syari‟ah ... 59
DAFTAR LAMPIRAN
A. Biografi Penulis
B. Penunjukan Pembimbing Skripsi
C. Lembar Konsultasi
D. Surat Keterangan Kegiatan
E. Surat Keterangan Ujian Komprehensif
F. Daftar harga Perumahan Taylon Syari‟ah
G. Contoh Surat Perjanjian
H. Brosur Perumahan Taylon Syari‟ah
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Kegiatan bisnis diartikan sebagai kegiatan usaha yang dijalankan oleh
orang atau badan usaha (perusahaan) secara teratur dan terus-menerus, yaitu
berupa kegiatan mengadakan barang-barang atau jasa maupun fasilitas-fasilitas
untuk diperjualbelikan, atau disewakan dengan tujuan untuk mendapatkan
keuntungan ( Asyhadie, 2014: 29). Dalam kegiatan bisnis, banyak usaha-usaha
yang didirikan oleh kebanyakan orang dari usaha kecil, menengah sampai usaha
besar. Dalam melakukan usahanya, banyak orang melakukan berbagai cara untuk
dapat memajukan usahanya.
Bisnis properti memang menggiurkan bukan isapan jempol saja. Banyak
yang sukses meraup penghasilan lumayan besar dengan terjun di dunia properti.
Bisnis properti seperti makhluk indah yang ingin selalu didekati oleh pebisnis
lintas sektoral. Tarcatat beberapa pebisnis yang awalnya bukan pebisnis properti
sekarang menjadi pebisnis properti sukses disamping pengusaha properti
kawakan yang memang sudah dikenal sebagai orang properti.
Tentu tidak asal memasuki dunia baru bagi mereka tanpa dibekali
pemahaman tentang apa yang akan mereka lakukan. Sektor properti dipengaruhi
oleh kondisi makro ekonomi Nasional. Sektor properti dipengaruhi oleh tingkat
menyebabkan daya beli masyarakat meningkat dan daya serap masyarakat
terhadap produk properti juga meningkat.Tak ketinggalan tingkat suku bunga
bank sangat berpengaruh terhadap kemampuan beli masyarakat karena
berhubungan dengan besarnya cicilan Kredit Pemilikan Rumah (KPR), terutama
terhadap perumahan kelas menengah ke bawah.
Dalam ekonomi Islam, dikenal adanya berbagai lembaga keuangan seperti
asuransi syari‟ah, leasing syari‟ah, dan perbankan syari‟ah. Pada umumnya yang
dimaksud dengan bank syari‟ah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya
memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta
peredaran uang yang beroperasi disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah
(Sudarsono, 2003: 27).
Properti syariah hadir sebagai pilihan tidak hanya bagiumat Muslim
melainkan juga masyarakat secara umum yang ingin membeli rumah dengan cara
aman, bersistem sehat dan sesuai dengan aturan Islam. Umumnya, jika tidak
dalam bentuk tunai (cash), maka kredit pembelian rumah menjadi pilihan bagi
sebagian besar masyarakat. Sistem bunga adalah variabel yang sering melekat
pada kredit pembelian rumah atau properti. Hal ini jelas termasuk riba dalam
Islam dan haram hukumnya.
Sistem ekonomi berbasis syariah yang tumbuh sangat pesat di Indonesia
juga merambah ke bisnis properti, bahkan porsi pembelian properti melalui
sistem syariah telah menjadi daya tarik tersendiri dalam menjaring konsumen.
Riba dalam hutang dan jual-beli banyak bentuknya. Contoh riba utang
yang muncul dalam jual-beli yang tidak tunai, misalnya salah seorang sebut saja
AA membeli mobil kepada BB secara tidak tunai dengan ketentuan harus lunas
dalam lima tahun. Jika dalam lima tahun tidak dilunasi maka tempo akan
diperpanjang dan si AA dikenai denda berupa tambahan sebesar 6%,. Praktek ini
tergolong ke dalam riba duyun yang haram hukumnya memperoleh tambahan
dari denda yang dibebankan.
Beberapa dalil yang menjelaskan haramnya praktik riba diantaranya :
firman Allah SWT dalam QS. Ali Imran ayat 130
membinasakan !‟ Para sahabat bertanya, „Apa saja tujuh perkara tersebut wahai
Rasulullah?‟ Beliau menjawab, „Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa
yang diharamkan Allah SWT kecuali dengan jalan yang benar, memakan riba,
pada wanita-wanita mu‟min yang sopan yang lalai dari perbuatan jahat.
(Muttafaqun Alaih).Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dari Jabir
Radhiyallahu anhu, ia berkata:
ِوْيَدِىاَشَو ُوَبِتاَكَو ُوَلِكْؤُمَو اَبِّرلا َلِكآ َمَّلَسَو ِوْيَلَع ُوَّللا ىَّلَص ِوَّللا ُلوُسَر َنَعَل َلاَق ٍرِباَج ْنَع
ٌءاَوَس ْمُى َلاَقَو
“Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam telah melaknat pemakan riba, yang
memberi riba, penulisnya dan dua saksinya,” dan beliau bersabda, “mereka
semua sama.”
Di balik potensi keuntungannya, para pelaku bisnis ini masih cukup
banyak yang melakukan praktik usaha dengan melibatkan hal-hal yang tidak
sesuai dengan agama Islam, seperti penggunaan bunga kredit kepemilikan rumah
yang tergolong sebagai riba dan haram hukumnya dalam syariat, seperti yang
diterangkan dalam Q.S Al-Baqarah, ayat 275 yang berbunyi :
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
(Al-Baqarah: 275)
Pola pembelian properti yang selama ini menggunakan fasilitas
pembiayaan dari perbankan konvensional dinilai bertentangan dengan agama
karena termasuk dosa besar. Banyak dalil yang bisa dieksplor yang bisa
menjadi landasan memaknai haramnya riba, dalam Al Qur‟an maupun hadits,
termasuk juga pendapat para ulama.
Memang saat ini ada bank syari‟ah yang memiliki produk Kredit
Pemilikan Rumah (KPR) dengan embel-embel Syariah tapi pendapat beberapa
guru yang memiliki ilmu tentang bisnis syariah ternyata Bank Syari‟ah itu
tidak syariah. Membingungkan memang bagi sebagian orang, tapi bagi
mereka yang mengerti tentang bisnis syari‟ah dan riba dan bahayanya, tidak
ada keraguan lagi jika bank syari‟ah itu tidak syari‟ah, berarti produk-produk
bank syari‟ah juga termasuk riba dan riba itu harus ditinggalkan dalam
berbisnis.
Penjualan perumahan dengan pola pembiayaan bank konvensional
dengan produk bank yang bernama Kredit Pemilikan Rumah setidaknya
memberikan keringanan kepada developer karena banklah yang melunasi
pembayaran harga rumah, untuk selanjutnya konsumenlah yang berhutang dan
menyicil ke bank.
Lain halnya jika perumahan dikembangkan dengan prinsip-prinsip
Syariah Islam seperti Perumahan Taylon Syari‟ah, lembaga pembiayaan tidak
terlibat dalam proses jual-beli produk properti. Adalah wajib hukumnya bagi
developer properti syari‟ah untuk inovatifdan kreatif dalam mensiasati pola
Selain dituntut untuk merancang pola pembiyaan yang sesuai dengan
keinginan dan kemampuan konsumen pengembang properti syariah juga
diwajibkan untuk mencari sendiri sumber pembiayaan proyeknya. Lagi-lagi
dengan syarat tidak boleh meminta pembiayaan ke bank atau kepada lembaga
pembiayaan lain yang mengandung riba.
Kemudian bagaimana pandangan etika dalam Islam dalam melakukan
bisnis jual beli yang baik. Karena seperti halnya usaha-usaha lain, Perumahan
Taylon Syari‟ah dalam menjalankan usahanya menggunakan sistem syari‟ah
yaitu menujal tanah dan bangunan berupa perumahan dengan cara yang
syar‟iya itu tanpa menggunakan pembiayaan melalui bank, tanpa adanya sita,
tanpa adanya denda dan yang paling menarik yaitu tanpa adanya riba yang
dimana sudah dijelaskan diatas bahwa riba itu haram hukumnya. Akan tetapi
apakah benar semuanya itu bisa benar-benar dilakukan oleh developer
Perumahan Taylon Syari‟ah yang berada dibawah naungan PT. Tan Iskandar
Muda yang bergerak di bidang properti ini. Apakah bisnis ini benar-benar
sesuai dengan syari‟at Islam.
Berdasarkan uraian diatas, bisnis properti yang dilakukan oleh
Perumahan Taylon Syari‟ah Tayu Kabupaten Pati, penulis harus mencari tahu
bagaimana pelaksanaannya. Maka dari itu bagi penulis itu sangat menarik
untuk bisa dilakukan penelitian karena bisnis properti syari‟ah itu masih
Dilatar belakangi hal tersebut, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Jual
Beli Properti di Perumahan Taylon Syari’ah KabupatenPati”.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang diatas diatas dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan jual beli properti di Perumahan Taylon
Syari‟ah Kabupaten Pati?
2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pelaksanaan jual beli
properti di Perumahan Taylon Syari‟ah Kabupaten Pati?
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini memiliki tujuan yaitu sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pelaksanaan jual beli properti yang dijalankan oleh
Perumahan Taylon Syari‟ah Kabupaten .
2. Untuk mengetahui tinjauan hukum islam dari sistem jual beli yang
D. KEGUNAAN PENELITIAN
Dalam penelitian ini penulis mengharapkan bahwa penelitian ini tidak
hanya berguna untuk pribadi tetapi dapat juga berguna bagi orang lain.
Beberapa kegunaan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagi Akademik
a. Menambah wawasan dan pengetahuan terutama pada penulis
khususnya dan pembaca pada umumnya yang ingin mendalami
permasalahan ini.
b. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi seluruh civitas
akademika sebagai bahan informasi dan rujukan bagi mereka yang
ingin mengadakan penelitian lebih lanjut.
2. Bagi Praktisi
a. Bagi Perumahan Taylon Syari‟ah Kabupaten Pati, dapat dijadikan
bahan pertimbangan dalam menjalankan sistem bisnisnya dengan
etika-etika bisnis yang baikdansesuaisyari‟at Islam.
b. Dapat dijadikan panduan bagi konsumen dalam melakukan
pembelian untuk bersikap bijak sebelum membeli.
E. PENEGASAN ISTILAH
Agar tidak terjadi salah pengertian dalam pemahaman penelitian yang
penulis teliti ini, maka dipandang perlu untuk menjelaskan beberapa istilah
1. Hukum Islam
Hukum Islam yaitu rangkaian dari kata “hukum” dan kata “Islam”
untuk mengetahui arti hukum Islam perlu diketahui lebih dahulu arti kata
hukum. Hukum yaitu seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia
yang diakui sekelompok masyarakat itu berlaku da mengikat untuk
seluruh anggotanya. Hukum Islam artinya seperangkat peraturan
berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentng tingkah laku manusia
yang diakui dan diyakini serta mengikat untuk semua yang beragama
Islam (Syarifuddin, 1997 : 4-5).
Menurut Sudarsono (1992 : 12), hukum Islam adalah
peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan tentang jual beli berdasarkan
al-Qur‟an, Hadis, dan menurut beberapa madzhab serta pandangan Majlis
Ulama Indonesia.
2. Jual Beli
Menurut Suhendi (2014 : 68), jual beli adalah suatu perjanjian
tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela di
antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain
menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah
dibenarkan Syara‟ dan disepakati.
3. Properti
Properti menunjukkan kepada sesuatu yang biasanya dikenal sebagai
orang atas suatu hak eksklusif. (Wikipedia,
https://id.m.wikipedia.org/wiki/properti )
F. TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian ini bukan merupakan plagiasi ataupun pengulangan dari
penelitian-penelitian yang telah ada. Karena penelitian ini menganalisis
tentang “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Jual Beli Properti di
Perumahan Taylon Syari‟ah Kabupaten Pati”. Beberapa penelitian
terdahulu yang menjadi acuan dan perbandingan penelitian ini yaitu sebagai
berikut:
Pertama, Skripsi Anur Janatin Na‟im (Institut Agama Islam Negeri
Tulungagung) 2015, dengan judul “Perlindungan Konsumen Dalam
Jual-beli Perumahan Ditinjau dari Undang-Undang No.08 Tahun 1999 dan
Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No. 06/DSN-MUI/IV/2000 (Studi Kasus di
Perum Taman Nirwana Kediri). Penelitian ini bertujuan untuk
mendiskripsikan pelaksanaan jual-beli perumahan di Perum Taman Nirwana
Kediri dan mendiskripsikan hubungan perlindungan konsumen dalam
jual-beli perumahan di Perum Taman Nirwana dengan Undang-Undang No.8
Tahun 1999 dan Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No.06/DSN-MUI/IV/2000.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa : (1). Pelaksanaan jual-beli di Perum Taman Nirwana Kediri, pembeli
dilakukan secara tunai, tunai bertahap dan kredit (KPR). Fasilitas yang
ditawarkan ada hunian dengan desain 2 ruang kamar tidur, ruang tamu,
dapur dan kamar mandi, sedangkan fasilitas umum ad ataman, mushola dan
lapangan, meskipun mushola dan lapangan belum direalisasikan pelaku
usaha. (2). Perlindungan konsumen berdasarkan Undang-Undang N0.8
Tahun 1999 dalam pelaksanaan jual-beli di Perum Taman Nirwana belum
sepenuhnya terlaksana. Hal ini terlihat dari hak-hak konsumen yang belum
terpenuhi terutama fasilitas umum dan kontruksi bangunan yang kurang
bagus. Tindakan pelaku usaha ini menunjukkan bahwa pelaku usaha di
Perum Taman Nirwana Kediri dalam transaksi jual-beli rumah telah
melanggar ketentuan undang-undang No.8 Tahun 1999 yang terdapat dalam
pasal 4, pasal 7, pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 16 dan pasal 17, sehingga
pelaku harus dikenakan sanksi tegas sebagaimana pasal 62 undang-undang
No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. (3). Perlindungan
Konsumen berdasarkan Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional N0.06/DSN
-MUI/IV/2000, dalam jual-beli rumah di Perum Taman Nirwana belum
sepenuhnya terlaksana. Hal ini terlihat dari hak-hak konsumen yang belum
terpenuhi terutama fasilitas umum dan kontrusi bangunan yang kurang
bagus.Tindakan pelaku usaha ini melanggar ketentuan Fatwa Dewan
Syari‟ah Nasional No.06/DSN-MUI/IV/2000 No. 2 ayat (4) dan (6).
Kedua, Skripsi Ayu Anggraini (Universitas Islam Negeri Maulana
Properti Syari‟ah Perspektif Kompilasi Hukum Ekonomi Syari‟ah (Studi
Kasus Perseroan Terbatas Bisnis Properti Syari‟ah Indonesia Malang).
Masalah yang dikaji adalah (1). Bagaimana proses pembelian tanah kavling
bisnis property syari‟ah Indonesia?(2). Bagaimana proses pembelian tanah
kavling bisnis property syari‟ah Indonesia perspektif kompilasi hukum
ekonomi syari‟ah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam pembelian
tanah kavling PT.Bisnis property syari‟ah Insonesia terdapat beberapa hal
yang harus diperhatikan dan menjadi hal yang wajib agar dapat sah menurut
hukum yakni: akad dalam pembelian, rukun pembelian, syarat-syarat
pembelian, dan kewajiban dan hak dari pembelin.dalam pembelian tanah
kavling juga harus memperhatikan KHES sehingga jual beli yang dilakukan
tidak menyalahi hukum.
Ketiga, Skripsi susi Nurkholidah (Universitas Islam Negeri Walisogo
Semarang) 2015, dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap
Pelaksanaan Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Perumahan Pada PT.Rumah
Cerdas Yogyakarta (Studi Kasus di Perumahan Griya Kembang Putih).hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa akad yang digunakan di dalam perjanjian
pendahuluan jual beli perumahan pada PT.Rumah Cerdas telah memenuhi
rukun dan syarat-syarat perjanjian menurut hukum Islam, tujuan akad
dilaksanakan dan para pihak menyatakan kerelaan atas isi dari perjanjian
tersebut. Dalam pelaksanaannya keterlambatan pembangunan dikarenakan
dari pemerintah yang memiliki program rumah bersubsidi. Menurut
pandangan hukum Islam terhadap pelaksanaan perjanjian pendahuluan jual
beli perumahan, perjanjian PT. Rumah Cerdas tidak sesuai dengan asas-asas
didalam bermuamalat yaitu asas keseimbangan, kemaslahatan, asas amanah
dan asas keadilan.
Penelitian ini tidak merupakan duplikasi atau pengulangan dari
penelitian yang ada. Karena dari penelusuran karya ilmiah yang dilakukan
oleh penulis belum ditemukan yang sama dan bahkan masih jarang sekali
apalagi yang secara spesifik membahas tentang praktik jual beli property di
Perumahan Taylon Syari‟ah Kabupaten Pati.
G. METODE PENELITIAN
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan (field
research) bersifat kualitatif yaitu penelitian yang dimiliki sasaran
penelitian terbatas tetapi dengan keterbatasannya itu dapat digali
sebanyak mungkin data mengenai sasaran penelitian (Burhan Bungin,
2001: 29).
Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif yaitu
menggunakan pendekatan fiqh, karena yang akan diteliti adalah berbagai
aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian
2. Lokasi Penelitian dan Subjek Penelitian
Penelitian ini berlokasi di Perumahan Taylon Syari‟ah
Jl.Tayu-Jepara Km.2, Kecamatan Tayu Kabupaten Pati dengan subjek penelitian
sistem jual beli properti syari‟ahyang dilakukan oleh Perumahan Taylon
Syari‟ah Kabupaten Pati.Perumahan Taylon Syari‟ah adalah salah satu
perumahan yang berbasis syari‟ah di Kabupaten Pati, dan yang sudah
menjalankan bisnisnya dengan konsep kesyari‟ahan yang baik dan benar.
3. Data dan Sumber Data Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sistem jual beli properti
yang dilakukan oleh Perumahan Taylon Syari‟ah Kabupaten Pati. Sumber
data penelitian adalah sumber dari mana data dapat diperoleh (Moleong,
2000: 114). Sumber data yang penulis gunakan dalam penelitian ini
adalah:
a. Data Primer
Data primer adalah kata-kata dan tindakan orang-orang yang
diamati atau diwawancarai (Moleong, 2009: 157). Sumber data primer
penelitian ini, penulis peroleh baik melalui kegiatan observasi dengan
karyawan dan juga pembeli yang terlibat langsung dengan Perumahan
b. Data Sekunder
Data yang diperoleh dari sumber data yang sudah jadi. Seperti
dari skripsi, tesis, disertasi, jurnaldan juga buku-buku yang berkaitan
dengan penelitian ini.
4. Teknik Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan metode penelitian lapangan (Ali, 2009: 107). Penulis
menggunakan beberapa teknik untuk mengumpulkan data antara lain:
a. Observasi (Pengamatan)
Observasi dalam penelitian ini dengan cara mengumpulkan
data yang dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan gejala-gejala
yang tampak pada obyek penelitian yang pelaksanaannya langsung
pada tempat dimana suatu peristiwa, keadaan atau situasi sedang
terjadi (Nawawi, 1995: 94). Pengamatan ini yang dilakukan secara
langsung pada objek yaituperumahan Taylon Syari‟ah Kabupaten Pati.
b. Wawancara (Interview)
Merupakan tanya jawab secara lisan dimana dua orang atau
lebih berhadapan secara langsung dalam proses interview ada dua
pihak yang menempati kedudukan yang berbeda. Satu pihak sebagai
pencari informasi atau interviewer sedangkan pihak lain berfungsi
dilakukan pihak yang terkait dengan Perumahan Taylon Syari‟ah
Kabupaten Pati, karyawan ataupun pembeli langsung.
c. Dokumen
Dokumen adalah metode pencarian dan pengumpulan data
mengenai hal-hal yang berupa catatan , buku, majalah, dokumen, dan
sebagainya (Arikunto, 1998: 148). Adapun dokumen yang digunakan
dalam penelitian ini adalah sejarah dari Perumahan Taylon Syari‟ah
dan foto-foto terkait dengan Perumahan Taylon Syari‟ah.
5. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif
analisis. Analisis data yang dapat digunakan adalah pendekatan normatif
dengan sumber data primer dan sekunder, dengan menggunakan pola
pikir deduktif yang menganalisis sistem jual beli menurut Hukum Islam.
Setelah pengumpulan data terkumpul kemudian data tersebut dianalisis
seperlunya agar diperoleh data yang matang dan akurat. Untuk
menganalisisnya, data-data yang diperoleh kemudian direkdusi,
dikategorikan dan selanjutnya disentisasi atau disimpulkan (Moleong,
2011: 288).
6. Pengecekan Keabsahan Data
Dalam penelitian ini teknik pemeriksaan keabsahan data yang
keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu
untuk keperluan pengecekan atau sebagai suatu pembanding terhadap
data itu (Moleong, 2002: 178).
Berdasarkan pendapat Moleong diatas, maka penulis melakukan
perbandingan data yang telah diperoleh. Yaitu data-data sekunder hasil
kajian pustaka akan dibandingkan dengan data-data primer yang
diperoleh dari observasi dan wawancara yang sesuai fakta-fakta yang
ditemui dilapangan. Sehingga kebenaran dari data yang diperoleh dapat
dipercaya dan meyakinkan untuk diambil sebuah kesimpulan.
H. SISTEMATIKA PENELITIAN
Agar diperoleh penelitian yang sistematis, terarah serta mudah
dipahami dan dapat dimengerti oleh para pembaca pada umumnya, maka
peneliti akan menyajikan karya ilmiah ini ke dalam bentuk sistematika
penelitian yang terdiri dari lima bab yaitu sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan dalam bab ini berisi mengenai, Latar belakang
masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian,
Penegasan Istilah, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian yang berisi tentang
Jenis penelitian dan pendekatan, Lokasi Penelitian, Data dan Sumber Data,
Teknik Pengumpulan Data, Analisia Data, Pengecekan Keabsahan Data,
Bab II Landasan Teori dalam bab ini berisi mengenai,praktik jual
beli, dalam hal ini mencakup bahasan tentang konsep jual beli dalam Islam
yang di antaranya mengenai pengertian jual beli, dasar hukum jual beli,
rukun dan syarat jual beli, macam-macam jual beli, larangan dalam jual beli
dan jual beli yang dilarang dalam islam. Dan membahas sekitar akad istisna‟
dan jual beli kredit.
Bab III Pemamaparan Data dan Hasil Penelitian dalam bab ini berisi
mengenai, Lokasi Perumahan Taylon Syari‟ah Kabupaten Pati, Gambaran
umum mengenai pelaksanaan jual beli perumahan di Taylon Syari‟ah.
Bab IV Pembahasan dalam bab ini berisikan tentang analisis dan
pembahasan penyusun mengenai pelaksanaan jual beli yang dilakukan oleh
pihak perumahan Taylon Syari‟ah berdasarkan hasil observasi dan
wawancara. Pembahasan dilakukan dengan cara menganalisis dan
menjelaskan tentang pelaksanaan jual beli properti tersebut yaitu aspek
hukum muamalah dan aspek hukum jual beli properti.
Bab V Penutup dalam bab ini berisi mengenai, Kesimpulan dan Saran
dari hasil analisis serta Rekomendasi saran-saran yang memuat masukan
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Jual beli
1. Pengertian Jual Beli
Jual beli Adalah proses pemindahan hak milik/barang atau harta
kepada pihak lain dengan menggunakan uang sebagai alat tukarnya.
Perdagangan atau jual beli menurut bahasa berarti al-Bai‟, al
-Tijarah dan al-Mubadalah, sebagaimana Allah Swt berfirman:
“Mereka mengharapkan tijarah (perdagangan) yang tidak
akan rugi” (Fathir : 29).
Jual beli (al-bay) secara bahasa menurut Aziz (2010:23) adalah
memindahkan hak milik terhadap benda dengan akad saling mengganti.
Menurut pengertian syari‟at jual beli adalah pertukaran harga atas
dasar saling rela atau memindahkan hak milik dengan ganti yang
dibenarkan (Sabiq, 1987:45). Secara terminologi ada beberapa definisi
jual beli yang dikemukakan oleh para ulama fiqh, sekalipun substansinya
barang dengan cara tertentu atau tukar menukar sesuatu dengan sepadan
menurut caranya yang benar. Jual beli (al-Buyu) adalah pertukaran harta
atas dasar saling rela atau memindahkan hak milik dengan ganti yang
dapat dibenarkan (berupa alat tukar yang sah) (Dewi dkk, 2006:9).
2. Dasar Hukum Jual Beli
Transaksi jual beli merupakan aktifitas yang dibolehkan dalam
Islam, baik disebutkan dalam al-Quran, al-Hadis maupun ijma‟ ulama.
Adapun dasar hukum jual beli adalah :
1. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Swt dalam Surat
Al-“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
dan janganlah kamu membunuh dirimu.Sesungguhnya Allah adalah
Maha Penyayang kepadamu.”
Berdasarkan ayat ini, yang menjadi kriteria suatu transaksi yang
sah adalah adanya unsur suka sama suka (Hasan, 2008:381).
Adapun landasan hukum jual beli yang berasal dari hadits
Rasulullah Saw. adalah sebagaimana sabdanya:
ض ارت نع عيبلاانما
“Sesungguhnya sahnya jual beli atas dasar kerelaan”
Sedangkan para ulama telah sepakat mengenai kebolehan akad
jual beli. Ijma‟ ini memberikan hikmah bahwa kebutuhan manusia
berhubungan dengan sesuatu yang ada dalam kepemilikan orang lain,
dan kepemilikan sesuatu itu tidak akan diberikan dengan begitu saja,
namun harus ada kompensasi sebagai imbal baliknya. Sehingga
dengan disyariatkannya jual beli tersebut merupakan salah satu cara
untuk merelalisasikan keinginan dan kebutuhan manusia, karena pada
dasarnya manusia tidak akan dapat hidup sendiri tanpa berhubungan
dan bantuan orang lain (Huda, 2011:54).
Menurut mazhab Hanafi rukun jual beli adalah ijab dan qobul
yang menunjukkan sikap tukar menukar atau saling member. Ataupun
dengan kata lain, bahwa ijab qobul adalah perbuatan yang
menunjukkan kesediaan kedua belah pihak untuk menyerahkan milik
masing-masing kepada pihak lain dengan menggunakan perkataan dan
perbuatan (Muclich, 2010 : 178-179).
Jumhur Ulama‟ menetapkan rukun jual beli ada 4 yaitu :
1) Orang yang berakad (penjual dan pembeli)
2) Shighat (lafal ijab dan qabul)
3) Barang yang dibeli
4) Nilai tukar pengganti barang (Sahrani, 2011:67).
Dari keempat rukun tersebut, mereka sepakati dalam setiap jenis akad.
Rukun jual beli menurut jumhur ulama, selain mazhab Hanafi ada tiga
yaitu :
1) Pihak yang berakad (aqidain)
2) Yang diakadkan (Ma‟qud „Alaih)
3) Shighat (lafal) (ijab qobul) (Aziz, 2010 : 28).
b. Syarat-syarat Sah Jual Beli
Yang dimaksud dengan aqidain adalah para pihak yang
melakukan akad. Adapun syarat yang harus ada pada penjual dan
pembeli yaitu :
a) Berakal dan Baligh
Baligh berakal agar tidak mudah ditipu orang.Batal
akad anak kecil, orang gila, dan orang bodoh sebab mereka
tidak pandai mengendalikan harta. Oleh karena itu, anak
kecil, orang gila, dan orang bodoh tidak boleh menjual harta
sekalipun itu miliknya, Allah SWT berfirman:
اَوْمَا ُءاَهَفُّسلااوُتْؤُ ت َلََو
َل
:ءآسنلا( ُمُك
5
)
“Dan janganlah kamu berikan hartamu kepada orang-orang yang bodoh”(An-Nisa:5).
Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa harta tidak boleh
diserahkan kepada orang bodoh.„Illat larangan tersebut ialah
karena orang bodoh tidak cakap dalam mengendalikan harta,
orang gila dan anak kecil juga tidak cakap dalam mengelola
harta sehingga orang gila dan anak kecil juga tidak sah
melakukan ijab dan Kabul (Suhendi, 2014 : 74).
Tidak sah jika ada unsure pemaksaan terhadap hartanya
tanpa kebenaran karena tidak ada kerelaan darinya.
c) Tidak mubazir (pemboros), sebab harta orang yang mubazir itu
ditangan walinya.
d) Beragama Islam,
Syarat ini khusus untuk pembeli saja dalam benda-benda
tertentu, misalnya seseorang dilarang menjual hambanya yang
beragama islam sebab besar kemungkinan pembeli tersebut
akan merendahkan abid yang beragama Islam, sedangkan
Allah Swt. melarang orang-orang mukmin memberi jalan
kepada orang kafir untuk merendahkan orang mukmin,
firman-Nya:
ًلْيِبَس َْيِْنِمْؤُمْلا يَلَع َنْيِرِفَكْلِل وُلَّلا َلَعََّيَّ ْنَلَو
“Dan Allah sekali-kali tidak memberi jalan bagi orang kafir
untuk menghina orang mukmin” (An-Nisa:141).
2) Ma‟uqud „Alaihi (harga atau barang)
Menurut Aziz (2010:47) bahwa Al-Ma‟uqud alaih adalah
harga dan barang yang dihargakan. Untuk melengkapi keabsahan jual
a) Suci atau mungkin untuk disucikan sehingga tidak sah penjualan
benda-benda najis seperti anjing, babi dan yang lainnya,
Rasulullah Saw. bersabda :
َعْيَ ب َمَّرَح ُوَلوُسَرَو وَّللا َّنِا م ص ِوَّللا لْوُسَر َّنَأ ضر ٍرِباَج ْنَع
)ملسمو يراخبلا هاور( ِماَنْصَْلْاَو ِرْيِزْنِْلْاَو َةَتْيَمْلاَوِرْمَْلْا
“ Dari Jabir r.a. Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya
Allah dan Rasul-Nya mengharamkan penjualan arak, bangkai,
babi, dan berhala.“ (Riwayat Bukhari dan Muslim)
b) Memberi manfaat menurut syara‟, maka dilarang jual beli benda
-benda yang tidak boleh diambil manfaatnya menurut syara‟,
seperti menjual babi, kala, cicak, dan yang lainnya.
c) Jangan ditaklikan, yaitu dikaitkan atau digantungkan kepada
hal-hal lain, seperti jika ayahku pergi, kujual motor ini kepadamu.
d) Tidak dibatasi waktunya, seperti kujual motor ini kepada Tuan
selama satu tahun, maka penjualan tersebut tidak sah sebab jual
beli merupakan salah satu sebab pemilikan secara penuh yang
tidak dibatasi apa pun kecuali ketentuan Syara‟.
e) Dapat diserahkan dengan cepat maupun lambat tidaklah sah
menjual binatang yang sudah lari dan tidak dapat ditangkap
diperoleh kembali karena samar, seperti seekor ikan jatuh ke
kolam, tidak diketahui dengan pasti ikan tersebut sebab dalam
kolam tersebut terdapat ikan-ikan yang sama.
f) Milik sendiri, tidaklah sah menjual barang orang lain dengan tidak
se-izin pemiliknya atau barang-barang yang baru akan menjadi
miliknya.
g) Diketahui (dilihat), barang yang diperjualbelikan harus dapat
diketahui banyaknya, beratnya, takarannya, atau ukuran-ukuran
yang lainnya, maka tidaklah sah jual beli yang menimbulkan
keraguan salah satu pihak (Suhendi, 2014:72-73).
3) Lafaz Shighat
a) Pengertian Lafaz shighat
Shighat adalah ijab dan qobul. Ijab diambil dari kata anjaba
yang artinya meletakkan, dari pihak penjual yaitu pemberian hak
milik, dan qobul yaitu orang yang menerima hak milik (Aziz, 2010
: 29).
b) Syarat-syarat sah ijab Kabul ialah sebagai berikut.
(a) Jangan ada yang memisahkan, pembeli jangan diam saja
setelah penjual menyatakan ijab dan sebaliknya.
(b) Jangan diselingi dengan kata-kata lain antara ijab dan kabul.
(c) Beragama Islam, syarat ini khusus untuk pembeli saja dalam
hambanya yang beragama Islam kepada pembeli yang tidak
beragama Islam, sebab besar kemungkinan pembeli tersebut
akan merendahkan abid yang beragama Islam
(Suhendi,2014:71).
Sedangkan Allah Swt. melarang orang-orang mukmin memberi
jalan kepada orang kafir untuk merendahkan mukmin, firmannya :
ًلْيِبَس َْيِْنِم ْؤُمْلا يَلَع َنْيِرِف اَكْلِل ُوَّللا َلَعَّْيَّ ْنَلَو
Dan Allah sekali-kali tidak member jalan bagi orang kafir untuk menghina orang mukmin (An-Nisa :141)
c) Masalah ijab dan Kabul ini para ulama fiqh berbeda pendapat,
diantarannya berikut ini.
(a) Menurut Ulama Syafi‟iyah ijab dan Kabul ialah :
ِةَّيِم َلَكلْاِةَفَّصلاِب َّلَِإ ُعْيَ بْلا ُدِقَعْ نَ ي َلَ
“Tidak sah akad jual beli kecuali dengan shigat (ijab kabul) yang diucapkan”
(b) Imam Malik berpendapat :
ِماَهْفِتْسِْلَاِب َمِزَل ْدَقَو َعَقَوْدَق َعْيَ بْلا َّنِا
(c) Pendapat ketiga ialah penyampaian akad dengan perbuatan
atau disebut juga dengan aqad bi al-mu‟athah yaitu:
ًأْيَش َيَِتَْشَي ْنَأَك ٍم َلَك ِنْوُدِب ُءاَطْعِْلْاَوُدْخَلْا َيِىَو ُةَطاَعُمْلَا
َوُىَو َنَمَّثلا ِوْيِطْعُ يَو ِعِئاَبْلا َنِم ُذْخ َلأْلاَف ُوَل ٌمْوُلْعَم ُوُنََثَ
ُكِلَْيَ
ِضْبَقْلاِب
“Aqad bi al-mu‟athah ialah mengambil dan memberikan
dengan tanpa perkataan (ijab dan Kabul), sebagaimana
seseorangmembeli sesuatu yang telah diketahui harganya,
kemudian ia mengambilnya dari penjual dan memberikan
uangnya sebagai pembayaran” (Suhendi, 2014 : 73-74).
4. Macam-macam Jual Beli
Jual beli dapat ditinjau dari beberapa segi.Ditinjau dari segi
hukumnya, jual beli ada dua macam, jual beli yang sah menurut hukum
dan batal menurut hukum, dari segi objek jual beli dan segi pelaku jual
beli.
Ditinjau dari segi benda yang dijadikan objek jual beli dapat
dikemukakan pendapat Imam Taqiyuddin bahwa jual beli dibagi menjadi
tiga bentuk :
“Jual beli itu ada tiga macam : 1) jual beli benda yang kelihatan,
2) jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam janji, dan 3) jual beli
benda yang tidak ada.”
1) Jual beli benda yang kelihatan ialah pada waktu melakukan akad jual
beli benda atau barang yang diperjualbelikan ada di depan penjual dan
pembeli. Hal ini lazim dilakukan masyarakat banyak dan boleh
dilakukan, seperti membeli beras dipasar.
2) Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian ialah jual beli
salam (pesanan). Menurut kebiasaan para pedagang, salam adalah
untuk jual beli yang tidak tunai (kontan), salam pada awalnya berarti
meminjamkan barang atau sesuatu yang seimbang dengan harga
tertentu, maksudnya ialah perjanjian yang penyerahan
barang-barngnya ditangguhkan hingga masa tertentu, sebagai imbalan harga
yang telah ditetapkan ketika akad.
3) Jual beli benda yang tidak ada serta tidak dapat dilihat ialah jual beli
yang dilarang oleh agama Islam karena barangnya tidak tentu atau
masih gelap sehingga dikhawatirkan barang tersebut diperoleh dari
curian atau barang titipan yang akibatnya dapat menimbulkan kerugian
salah satu pihak. Sementara itu, merugikan dan menghancurkan harta
benda seseorang tidak diperbolehkan, seperti yang dijelaskan oleh
Muhammad Syarbini Khatib (t.t:6) bahwa penjualan bawang merah
sebab hal tersebut merupakan perbuatan gharar, Rasulullah Saw.
bersabda :
َّبَلحا ِنًعَوَّدَوْسَي َّتََّح ِبَنِعْلا ِعْيَ ب ْنَع يَهَ ن م ص ِبَِّنلا َّنِإ
َّدُشَي َّتََّح
“Sesungguhnya Nabi Saw. melarang perjualan anggur
sebelum hitam dan dilarang penjualan biji-bijian sebelum mengeras.”
Ditinjau dari segi pelaku akad (subjek), jual beli terbagi menjadi tiga
bagianyaitu :
1) Akad jual beli yang dilakukan dengan lisan adalah akad yang
dilakukan oleh kebanyakan orang. Bagi orang bisu diganti
dengan isyaratkarena isyarat merupakan pembawaan alami
dalam menampakkan kehendak.Hal yang dipandang dalam
akad adalah maksud atau kehendak dan pengertian, bukan
pembicaraan dan pernyataan.
2) Penyampaian akad jual beli melalui utusan, perantara, tulisan,
atau surat-menyurat sama halnya dengan ijab Kabul dengan
ucapan, misalnya via Posdan Giro. Jual beli ini dilakukan
antara penjual dan pembeli tidak berhadapan dalam satu
majelis akad, tetapi melalui Pos dan Giro, jual beli seperti ini
3) Jual beli dengan perbuatan (saling memberikan) atau dikenal
dengan istilah mu‟athah yaitu mengambil dan memberikan
barang tanpa ijab dan Kabul, seperti seseorang mengambil
rokok yang sudah bertuliskan label harganya, dibandrol oleh
penjual dan kemudian diberikan uang pembayarannya kepada
penjual . Jual beli dengan cara demikian dilakukan tanpa sighat
ijab Kabul antara penjual dan pembeli, menurut sebagian
Syafi‟iyah tentu hal ini dilarang sebab ijab Kabul sebagai
rukun jual beli. Tetapi sebagian Syafi‟iyah lainnya, seperti
Imam Nawawi membolehkan jual beli barng kebutuhan
sehari-hari dengan cara yang demikian, yakni tanpa ijab Kabul
terlebih dahulu (Suhendi, 2014 : 77-78).
Selain pembelian di atas, jual beli juga ada yang dibolehkan
dan ada yang dilarang juga ada yang batal ada juga yang terlarang
tetapi sah.
Jual beli yang dilarang dan batal hukumnya adalah sebagai berikut:
1) Barang yang hukumnya najis oleh agama, seperti anjing , babi,
berhala, bangkai, dan khamr, Rasulullah Saw. bersabda :
ِةَتْيَمْلاَوِرْمَلْا َعْيَ ب
)ملسمو يراخبلا هاور( ِماَنْصَْلَْو ِرْيِزْنِْلْاَو
“Dari Jahir r.a, Rasulullah Saw. bersabda, sesungguhnya
Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan menjual arak,
bangkai, babi, dan berhala” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
2) Jual beli sperma (mani) hewan, seperti mengawinkan seekor
domba jantan dengan betina agar dapat memperoleh turunan.
Jual beli ini haram hukumnya karena Rasulullah Saw.
bersabda:
ْنَع م ص وَّللا ُلْوُسَر يَهَ ن َلاَق ضر َرَمُع ِنْبا ِنَع
)يراخبلا هاور( ِلْحَفْلا ِبْسَع
“Dari Ibnu Umar r.a., berkata; Rasulullah Saw.telah
melarang menjual mani binatang” (Riwayat Bukhari).
3) Jual beli anak binatang yang masih berada dalam perut
induknya. Jual beli seperti ini dilarang karena barangnya belum
ada dan tidak tampak juga, Rasulullah Saw. Bersabda:
َع
ِعْيَ ب ْنَع يَهَ ن م ص ِوَّللا َلْوُسَر َّنَا ضر َرَمُع ِنْبا ِن
ِةَلْ بَلحا َلْبَح
)ملسمو يراخبلا هاور(
“Dari Ibnu Umar r.a Rasulullah Saw. telah melarang
4) Jual beli dengan muhaqallah. Baqalah berarti tanah, sawah,
dan kebun, maksud muhaqallah disini ialah menjual
tanan-tanaman yang masih di ladang atau di sawah. Hal ini dilarang
agama sebab ada persangkaan riba di dalamnya.
5) Jual beli dengan mukhadharah, yaitu menjual buah-buahan
yang belum pantas untuk dipanen, seperi menjual rambutan
yang masih hijau, mangga yang masih kecil-kecil, dan yang
lainnya. Hal ini dilarang karena barang tersebut masih samar,
dalam artian mungkin saja buah tersebut jatuh tertiup angin
kencang atau yang lainnya sebelum diambil oleh si
pembelinya.
6) Jual beli dengan muammassah, yaitu jual beli secara
sentuh-menyentuh, misalkan seseorang menyentuh sehelai kain
dengan tangannya di waktu malam atau siang hari, maka orang
yang menyentuh berarti telah membeli kain tersebut. Hal ini
dilarang karena mengandung tipuan dan kemungkinan akan
menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak.
7) Jual beli dengan munabadzah, yaitu jual beli secara
lempar-melempar, seperti seorang berkata,”lemparkan kepadaku apa
ada padaku”. Setelah terjadi lempar-melempar, terjadilah jual
beli. Hal ini dilarang karena mengandung tipuan dan tidak ada
ijab dan Kabul.
8) Jual beli dengan muzabanah, yaitu menjual buah yang basah
dengan buah yang kering, seperti menjual padi kering dengan
bayaran padi yang basah, sedangkan ukurannya dengan dikilo
sehingga akan merugikan pemilik padi kering. Hal ini dilarang
oleh Rasulullah Saw. dengan sabdanya:
اَحُمْلاَو ِةَلَ ق اَحُلما ِنَع ِوَّللا ُلْوُسَر يَهَ ن َلاَق ضر ٍسِنَأ ْنَع
)يراخبلا هاور( ِةَنَ باَزُمْلاَو ِةَذِباَنُمْلاَوِةَسَم َلُمْلاَو ِةَرَض
“Dari Anas r.a, ia berkata ; Raulullah Saw. melarang jual beli
muhaqallah, mukhadharah, mulammassah, munabazah dan muzabanah” (Riwayat Bukhari).
9) Menentukan dua harga untuk satu barang yang
diperjualbelikan. Menurut Syafi‟I penjualan seperti ini
mengandung dua arti, yang pertama seperti seseorang berkata
“Kujual buku ini seharga $ 10,- dengan tunai atau $ 15,-
dengan cara utang”. Arti kedua ialah seperti seseorang
berkata.”Aku jual buku ini kepadamu dengan syarat kamu
ِفِ ِْيَْ تَعْ يَ ب َعاَب ْنَم م ص ِوَّللا ُلْوُسَر َلاَق ضر َةَرْ يَرُى ِبَِا ْنَع
)دوادوبا هاور( اَبَّرلاِوَأ اَمُهَسَك ْوَا ُوَلَ ف ٍةَعْ يِب
“Dari Abi Hurairah, ia berkata; Rasulullah
Saw.bersabda, barang siapa yang menjual dengan dua harga dalam satu penjualan barang, maka baginya ada
kerugian atau riba.” (Riwayat Abu Dawud).
10)Jual beli dengan syarat (iwadh mahjul), jual beli seperti ini,
hamper sama dengan jual beli dengan menentukan dua harga,
hanya saja di sini dianggap sebagai syarat, seperti seseorang
berkata, “aku jual rumahku yang butut ini kepadamu dengan
syarat kamu mau menjual mobilmu kepadaku.” Lebih jelasnya,
jual beli ini sama dengan jual beli dengan dua harga arti yang
kedua menurut al-Syafi‟i.
11)Jual beli gharar, yaitu jual beli yang samar sehingga ada
kemungkinan terjadi penipuan, seperti penjualan ikan yang
masih di kolam atau menjual kacang tanah yang atasnya
kelihatan bagus tetapi dibawahnya jelek. Penjualan ini
dilarang, karena Rasulullah Saw. bersabda :
َف ِءاَمْلا ِفِ َكَمَّسلااْوَرَ تشَت َلَ
)دحما هاور(ٌزَرَغ ُوَّنِإ
12) Jual beli dengan mengecualikan sebagian benda yang dijual,
seperti seseorang menjual sesuatu dari benda itu ada yang
dikecualikan salah satu bagiannya, misalnya A menjual seluruh
pohon-pohonan yang ada dikebunnya, kecuali pohon pisang.
Jual beli ini sah sebab ada yang dikecualikannya jelas. Namun,
bila yang dikecualikan tidak jelas (majhul), jual beli tersebut
batal. Rasulullah Saw. bersabda :
اَيْ نُ ثلاَو ِةَنَ باَزُمْلاَو ِةَلَ ق اَحُلما ِنَع يَهَ ن م ص ِوَّللا ُلْوُسَر ّنَأ
)ئاسّنلا هاور( َمَلْعُ ت ْنَأ ََّلَِإ
“Rasulullah melarang jual beli dengan muhaqallah, mudzabanah, dan yang dikecualikan, kecuali bila ditentukan” (Riwayat Nasai).
13)Larangan menjual makanan hingga dua kali takar. Hal ini
menunjukkan kurangnya saling percaya antara penjual dan
pembeli. Jumhur ulama berpendapat bahwa seseorang yang
membeli sesuatu dengan takaran dan telah diterimanya,
kemudian ia jual kembali, maka ia tidak boleh menyerahkan
kepada pembeli kedua dengan takaran yang pertama sehingga
ia harus menakarnya lagi untuk pembeli yang kedua itu.
ditakar, dengan takaran penjual dan takaran pembeli (Riwayat
Ibnu Majah dan Daruquthni).
5. Khiar dalam Jual Beli
Dalam jual beli, menurut agama Islam dibolehkan memilih, apakah
akan meneruskan jual beli atau akan membatalkannya. Karena terjadinya
oleh sebab sesuatu hal, khiar dibagi menjadi tiga macam berikut ini.
1. Khiar majelis, artinya antara penjual dan pembeli boleh memilih akan
melanjutkan jual beli atau membatalkannya. Selama keduannya masih
ada dalam satu tempat (majelis), khiar majelis boleh dilakukan dalam
berbagai jual beli. Rasulullah Saw. bersabda :
)ملسمو يراخبلا هاور( اَفَّرَفَ تَ ي َْلَاَم ِراَيِْلْاِب ِناَعْ يَ بْلَا
“Penjual dan pembeli boleh khiar selama belum berpisah”
(Riwayat Bukhari dan Muslim).
Bila keduanya telah berpisah dari tempat akad tersebut, maka khiar
majelis tidak berlaku lagi, batal.
2. Khiar Syarat, yaitu penjualan yang di dalamnya disyaratkan sesuatu
baik oleh penjual maupun oleh pembeli, seperti seseorang
berkata,”saya jual rumah ini dengan harga Rp 100.000.000,00 dengan
syarat khiar- selama tiga hari”. Rasulullah Saw. bersabda :
“Kamu boleh khiar pada setiap benda yang telah dibeli selama tiga hari tiga malam” (Riwayat Baihaqi).
3. Khiar „aib. artinya dalam jual beli ini disyaratkan kesempurnaan
benda-benda yang dibeli, seperti seseorang berkata;”saya beli mobil
itu seharga sekian, bila mobil itu cacat akan saya kembalikan”,seperti
yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud dari Aisyah r.a.
bahwa seseorang membeli budak, kemudian budak tersebut disuruh
berdiri di dekatnya, didapatinya pada diri budak itu kecacatan, lalu
diadukannya kepada rasul, maka budak itu dikembalikan pada penjual
(Suhendi, 2014 : 83).
B. Akad Istisna’
a. Pengertian Akad Istishna‟
Akad Istishna‟ ialah akad yang terjalin antara pemesan sebagai
pihak 1 dengan seorang produsen suatu barang atau yang serupa sebagai
pihak ke-2, agar pihak ke-2 membuatkan suatu barang sesuai yang
diinginkan oleh pihak 1 dengan harga yang disepakati antara keduanya.
(Badai‟i As shanaai‟i oleh Al Kasaani 5/2 & Al Bahrur Raa‟iq oleh Ibnu
Nujaim 6/185)
b. Hukum akad Istishna‟
Ulama‟ fiqih sejak dahulu telah berbeda pendapat dalam
Pendapat pertama: Istishna‟ ialah akad yang tidak benar alias batil dalam
syari‟at islam. Pendapat ini dianut oleh para pengikut mazhab Hambali
dan Zufar salah seorang tokoh mazhab Hanafi. (Al Furu‟ oleh Ibnu
Muflih 4/18, Al Inshaf oleh Al Murdawi 4/300, Fathul Qadir oleh Ibnul
Humaam 7/114 & Al Bahrur Raa‟iq oleh Ibnu Nujaim 6/185)
Ulama‟ mazhab Hambali melarang akad ini berdalilkan dengan
Hadits Hakim bin Hizam radhiallahu „anhu:
َكَدْنِع َسْيَل اَم ْعِبَت َلَ
“Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, An Nasa‟i, At Tirmizy, Ibnu Majah, As Syafi‟i, Ibnul Jarud, Ad Daraquthny, Al Baihaqy 8/519 dan Ibnu Hazem)
Pada akad istishna‟ pihak ke-2 yaitu produsen telah menjual
barang yang belum ia miliki kepada pihak pertama, tanpa mengindahkan
persyaratan akad salam. Dengan demikian, akad ini tercakup oleh
larangan dalam hadits di atas.(Al Furu‟ oleh Ibnu Muflih 14/18 & Al
Bahrur Raa‟iq oleh Ibnu Nujaim 6/185.)
Sebagaimana mereka juga beralasan: Hakikat istishna‟ ialah
menyewa jasa produsen agar ia mengolah barang miliknya dengan upah
Pendapat kedua: Istishna‟ adalah salah satu bentuk akad salam,
dengan demikian akad ini boleh dijalankan bila memenuhi berbagai
persyaratan akad salam. Dan bila tidak memenuhi persyaratan salam,
maka tidak dibenarkan alias batil. Ini adalah pendapat yang dianut dalam
mazhab Maliki & Syafi‟i. (Mawahibul Jalil oleh Al Hatthab 4/514, Al
Muqaddmat Al Mumahhidaat 2/193, Al Muhazzab oleh As Syairozi
1/297, Raudhatut Thalibin oleh An Nawawi 4/26.)
Ulama‟ yang berfatwa dengan pendapat kedua ini berdalilkan
dengan dalil-dalil yang berkaitan dengan akad salam.
Bila demikian adanya, berdasarkan pendapat ke dua ini, maka
dapat disimpulkan bahwa bila pihak 1 (pemesan) tidak mendatangkan
bahan baku, maka berbagai persyaratan salam harus dipenuhi.
Akan tetapi bila pihak 1 (pemesan) mendatangkan bahan baku,
maka yang terjadi adalah jual/sewa jasa dan bukan salam, maka berbagai
persyaratan pada akad sewa jasa harus dipenuhi, diantaranya yang
berkaitan dengan tempo pengkerjaan, dan jumlah upah.
Pendapat ketiga: Istishna‟ adalah akad yang benar dan halal, ini
adalah pendapat kebanyakan ulama‟ penganut mazhab Hanafi dan
kebanyakan ulama‟ ahli fiqih zaman sekarang. (Al Mabsuth oleh As
Raa‟iq oleh Ibnu Nujaim 6/185, Suq Al Auraaq Al Maaliyah Baina As
Sayari‟ah Al Islamiyyahwa An Nuzhum Al Wad‟iyyah oleh Dr Khursyid
Asyraf Iqbal 448)
c. Dalil –dalil tentang Istishna‟
Ulama‟ mazhab Hanafi berdalilkan dengan beberapa dalil berikut
guna menguatkan pendapatnya:
Dalil pertama: Keumuman dalil yang menghalalkan jual-beli,
diantaranya firman Allah Ta‟ala:
ابِّرلا َمَّرَحَو َعْيَ بْلا ُوَّللا َّلَحَأَو
“Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan
riba.”(Qs. Al Baqarah: 275)
Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama‟ menyatakan
bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang
nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat lagi shahih alias valid.
Dalil kedua: Nabi shallallahu „alaihi wa sallam pernah
memesan agar dibuatkan cincin dari perak.
.ِهِدَي ِفِ ِوِضاَيَ ب َلَِإ ُرُظْنَأ ِّنَِّأَك َلاَق .ٍةَّضِف ْنِم اًَتَاَخ َعَنَطْصاَف .ٌِتِاَخ
ملسم هاور
“Diriwayatkan dari sahabat Anas radhiallahu „anhu, pada suatu hari Nabi shallallahu „alaihi wa sallam hendak menuliskan surat kepada
seorang raja non arab, lalu dikabarkan kepada beliau: Sesungguhnya raja-raja non arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel, maka beliaupun memesan agar ia dibautkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat
menyaksikan kemilau putih di tangan beliau.” (Riwayat Muslim)
Perbuatan nabi ini menjadi bukti nyata bahwa akad istishna‟ adalah akad yang dibolehkan. (Fathul Qadir oleh Ibnul Humaam 7/115)
Dalil ketiga: Sebagian ulama‟ menyatakan bahwa pada
dasarnya umat Islam secara de facto telah bersepakat alias merajut
konsensus (ijma‟) bahwa akad istishna‟ adalah akad yang dibenarkan
dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau
ulamakpun yang mengingkarinya.Dengan demikian, tidak ada alasan
untuk melarangnya. (Al Mabsuth oleh As Sarakhsi 12/138 & Fathul
Qadir oleh Ibnul Humaam 7/115)
Dalil keempat: Para ulama‟ di sepanjang masa dan di setiap
mazhab fiqih yang ada di tengah umat Islam telah menggariskan
kaedah dalam segala hal selain ibadah:
“Hukum asal dalam segala hal adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukkan akan keharamannya.”
Dalil kelima: Logika; banyak dari masyarakat dalam banyak
kesempatan membutuhkan kepada suatu barang yang spesial, dan
sesuai dengan bentuk dan kriteria yang dia inginkan. Dan barang
dengan ketentuan demikian itu tidak di dapatkan di pasar, sehingga ia
merasa perlu untuk memesannya dari para produsen. Bila akad
pemesanan semacam ini tidak dibolehkan, maka masyarakat akan
mengalamai banyak kesusahan. Dan sudah barang tentu kesusahan
semacam ini sepantasnya disingkap dan dicegah agar tidak
mengganggu kelangsungan hidup masyarakat. (Badai‟i As shanaai‟i
oleh Al Kasaani 5/3)
Dalil keenam: Akad istishna‟ dapat mendatangkan banyak
kemaslahatan dan keuntungan, dan tidak mengandung unsur riba, atau
ketidak jelasan/spekulasi tinggi (gharar) dan tidak merugikan kedua
belah pihak.Bahkan sebaliknya, kedua belah pihak merasa
mendapatkan keuntungan.Dengan demikian setiap hal yang demikian
ini adanya, sudah sepantasnya untuk diizinkan dan tidak dilarang.
Berdasarkan pemaparan singkat di atas, dapat anda saksikan
bahwa pendapat ketiga lebih kuat, dengan demikian dapat disimpulkan
islam.(Artikel, https://pengusahamuslim.com/1156-akad-istishna.html
diakses pada tanggal 19/11/2017).
C. Jual Beli Kredit
Akad istishna‟ yang sudah dijelaskan diatas adalah akad yang boleh atau biasa digunakan dari zaman dahulu. Dan tentunya dalam pembayarannya
ada istilah cash atau tunai dan dengan cara kredit. Dalam Islam jual beli
dengan cara kredit itu ada perbedaan para ulama, ada yang memperbolehkan
da nada yang melarang. Itu tergantung kita bagaimana cara mengaplikasikan
system kredit itu, apakah sesuai dengan syari‟at Islam atau tidak.
Di zaman yang serba canggih ini perkembangan sistem ekonomi sudah
sangat pesat. Beragam sistem ditawarkan oleh para niagawan untuk bersaing
menggaet hati para pelanggan. Seorang niagawan muslim yang tidak hanya
berorientasi pada keuntungan dunia sudah semestinya cerdik dan senantiasa
menganalisa fenomena yang ada agar mengetahui bagaimana pandangan
syariat terhadap transaksi ini. Dengan demikian tidak mudah terjerumus ke
dalam larangan-Nya.
Di dalam ilmu fikih, akad jual beli ini lebih familiar dengan istilah jual
beli taqsith (طْـيسْقَتلا). Secara bahasa, taqsith itu sendiri berarti membagi atau
menjadikan sesuatu beberapa bagian. Meskipun sistem ini adalah sistem
menjaring pasar, bahkan sistem ini terus-menerus dikembangkan dengan
berbagai modifikasi.
Hukum Jual-Beli dengan Sistem Kredit
Secara umum, jual beli dengan sistem kredit diperbolehkan oleh syariat. Hal ini berdasarkan pada beberapa dalil, di antaranya adalah:
1. Firman Allah Ta‟ala :
ُهوُبُتْكاَف ىِّمَسُم ٍلَجَأ َلَِإ ٍنْيَدِب ْمُتْنَ ياَدَت اَذِإ اوُنَمآ َنيِذَّلا اَهُّ يَأ اَي
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya.” (QS. Al Baqarah : 282)
Ayat di atas adalah dalil bolehnya akad hutang-piutang, sedangkan
akad kredit merupakan salah satu bentuk hutang, sehingga keumuman
ayat di atas bisa menjadi dasar bolehnya akad kredit.
2. Hadis „Aisyah radhiyallahu „anha,
ُللها ىَّلَص ِوَّللا ُلوُسَر ىَرَ تْشا
ُوَعْرِد ُوَنَىَرَو ،ٍةَئيِسَنِب اًماَعَط ٍّيِدوُهَ ي ْنِم َمَّلَسَو ِوْيَلَع
“Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam membeli sebagian bahan
makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran dihutang dan beliau
Dalam hadis ini Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam membeli
bahan makanan dengan sistem pembayaran dihutang, itulah hakikat
kredit.
Harga Ganda dalam Jual Beli Kredit
Di antara hal penting yang perlu kita ketahui juga adalah akad jual beli
kredit dengan harga ganda. Ilustrasinya adalah sebagai berikut: Seorang
penjual menawarkan barang dagangan kepada para pembeli dengan beberapa
penawaran harga. Jika dibayar secara kontan maka harganya sekian rupiah
(satu juta misalnya), akan tetapi jika dibayar secara kredit maka harganya
sekian (dua juta misalnya), dst.
Kenyataannya praktik semacam inilah yang banyak berkembang di
dalam jual beli kredit. Oleh karena itu penting kiranya kita mengetahui
tinjauan syariat terhadap sistem perniagaan seperti ini.
Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi transaksi seperti ini.
Mayoritas para ulama membolehkan praktik jual beli kredit semacam ini,
dengan catatan sudah terjadi kesepakatan harga antara penjual dan pembeli
sebelum mereka berpisah. Artinya pembeli sudah menentukan pilihan harga
dan pihak penjual juga sudah menyepakati hal itu.
Pendapat ini berdasarkan kaidah dalam muamalah bahwa hukum asal
terantum diatas. Oleh karena itu selama tidak ada dalil yang valid nan tegas
yang mengharamkan praktik semacam ini, maka perniagaan tersebut halal
atau boleh dilakukan.
Dan sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa akad jual beli
seperti ini tidak boleh (Authar :5/160). Pendapat ini didukung oleh sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu „anhu,
ُِّبَِّنلا ىَهَ ن
–
َمَّلَسَو ِوْيَلَع ُوَّللا ىَّلَص
–
ٍةَعْ يَ ب ِفِ ِْيَْ تَعْ يَ ب ْنَع
“Nabi shallallahu „alaihi wasallam melarang dual transaksi dalam satu jual beli.” (HR. Tirmidzi: 3/1290 dan Nasai: 7/296)
Pendapat inilah yang dipegang oleh Imam An Nasa‟i. Beliau membuat
sebuah judul bab “Transaksi Ganda dalam jual beli” (ةعيب يف نيتعيب) kemudian
beliau mengatakan, “Yaitu perkataan seseorang, „saya jual dagangan ini
seharga seratus dirham cash/tunai, dan dua ratus dirham secara kredit.”
Pendapat yang Lebih Kuat adalah:
Perbedaan pendapat ini didasari atas perbedaan mereka dalam memahami
konteks hadits ini. Ulama yang memperbolehkan transaksi ini, mereka