i
KONSEP POLIGAMI DALAM HUKUM ISLAM
(TELAAH HADIS TENTANG LARANGAN POLIGAMI)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh:
RIF’ATUL MUNAWAROH
NIM 211 11 021
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI
’
AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
v MOTTO
“Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya karena Allah SWT”
“Ojo rumongso iso, nanging isoho rumongso” (M. Chazim)
“Apa yang kita tanam itulah yang akan kita tunai. Karena curahan hujan tidak
memilih-milih apakah pohon apel atau hanya semak belukar” (Wira Sagala)
“ Allah menganugerahkan Al Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. dan
hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari
firman Allah)” (Q.S. Al-Baqarah: 269)
“Allah mencintai orang yang cermat dalam meneliti soal-soal yang meragukan
dan yang tak membiarkan akalnya dikuasai oleh nafsunya” (Sabda Nabi SAW)
“..kaki yang akan berjalan lebih jauh, tangan yang akan berbuat lebih banyak, mata yang akanmenatap lebih lama, leher yang akan lebih sering melihat keatas,lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja, dan hati yang akan
vi
PERSEMBAHAN
Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah
Bacalah,Tuhanmulah yang maha mulia Yang mengajarkan manusia dengan pena,
Dia mengajarkan manusia apa yang diketahuinya (QS.Al-‘Alaq 1-5) Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau
dustakan?(QS.Ar-Rahman:13) Ya Kariim,
Waktu yang telah ku jalani dengan jalan hidup yang telah menjadi takdirku, sedih, bahagia, dan bertemu dengan orang-orang yang banyak mempberikan inspirasi, semangat, dukungan, dan sejuta pengalam bagiku, memberikan
warna-warni kehidupan di hidupku. Aku bersujud kepadaMu, engkau yang telah menghendakiku sampai di penghujung awal perjuanganku. Segala puji bagi
Engkau Ya Karim.
Alhamdulillah.. Alhamdulillah.. Alhamdulillahirabbil’alamin..
Sujud syukur ku persembahkan kepada Engkau Tuhan yang Maha Agung, Maha Bijaksana nan Maha Tinggi, Maha Adil nan Maha Penyayang, atas takdirMu kepadaku sehingga engkau jadikan hambamu manusia yang senantiasa berfikir, berilmu, beriman dan bersabar dalam menjaladi kehidupan di dunia ini. Semoga keberhasilan ini mendajdi suatu langkah awal bagi hambamu untuk meraih cita-citaku. Amiin.
vii
ibunda dan ayah tercinta, yang tiada pernah hentinya selama ini memberikanku semangat, doa dan dorongan serta nasehat tak lupa juga kasih dan sayang, pengorbanan yang tak akan pernah tergantikan hingga aku selalu termotivasi
untuk kuat menjalani segala rintangan. Ibu.. ayah.. terimalah kado ini sebagai
bukti kecil keseriusanku untuk membalas segala pengorbananmu yang ikhlas tanpa kenal lelah. Maafkanlah ananda yang masih saja menyusahkanmu Ibu.. Ayah..
Terimakasih untukmu.. Ibu (JUNDARIYAH).. Ayah (AHMAD SUMIDIN).. ananda selalu menyayangimu.
Dalam setiap langkahku aku berusaha mewujudkan harapan-harapan yang
kalian impikan didiriku, meski belum semuanya kucapai, ‘insyaallah dengan
dukungan kalian dan atas doa dan restu kalian semua mimpi itu akan terjawab dimasa yang akan datang, dimasa yang penuh dengan kehangatan dan kedamaian nanti. Untuk itu kupersembahkan ungkapan terimakasihku kepada:
Kakakku (Muhammad Khabib) dan adikku (Muhammad Zakaria Abdul
Latif). Kepada teman-teman seperjuanganku khususnya rekan-rekan AS “11”
yang tak bisa tersebutkan satu persatu. Terimakasih yang tiada tara kepada sahabat setiaku forever (Mb Fajar, Mb Khusnul, Mb Pipit, Fadilah, Mb Ana, Mb Sofa, Mujiati, Munziroh) syukran sangat atas supportnya baik secara materiil maupun moril. Kepada sahabat-sahabat bidikmisi IAIN Salatiga khususnya
angkatan 2011, kenangan kita tak akan pernah kulupakan sobat. Kepada
viii
suka duka kita lalui. Kepada teman-teman lingkup kecilku JQH al-Furqan, PMII Komisariat Djoko Tingkir, AlHidmah Kampus Kota Salatiga, GEMAK, IPNU-IPPNU Kab Semarang, IPNU-IPNU-IPPNU Kec. Sumowono, dan teman-temanku semuanya di IAIN Salatiga yang tak dapat tersebutkan satu persatu, terimaksih telah mengisi hari-hariku memberikan banyak warna-warni di kehidupanku.
ix
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim..
Pada tempatnya yang pertama dan utuma di hati ini, penulis panjatkan puji dan rasa syukur yang tiada tara kepada Ilahi Rabbi Allah SWT. Kemudian shalawat serta salam-Nya mudah-mudahan selalu tercurahkan kepada pangkuan baginda Rasulullah SAW. beserta keluarganya, sahabatnya, dan umatnya yang masih turut dengan ajarannya. Aaamiin.
Berkat rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas akhir penulisan skripsi guna memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Fakultas Syariah
Jurusan S1 Ahwal Al-Syakhsiyyah yang berjudul : “Konsep Poligami dalam
Hukum Islam (Telaah Hadis tentang Larangan Poligami)”.
Kelancaran proses penulisan skripsi ini berkat bimbingan, arahan, dan petunjuk serta kerja sama dari berbagai pihak, baik pada tahap persiapan, penyusunan hingga terselesaikannya skripsi ini. Dalam kesempatan ini penulis mencucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya khususnya kepada Ayah dan Ibu tercinta yang senantiasa ikhlas memberikan bantuan baik moril maupun meteriil dorongan sampai terselesainya studi. Ucapan terimakasih serta penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan pula kepada yang terhormat:
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd, selaku Rektor IAIN Salatiga
2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syari’ah di IAIN
x
3. Bapak Ilya Muhsin, S.H.i., M.Si, selaku Wakil Dekan Fakultas Syari’ah
Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama yang selalu memberikan ilmunya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan lancar dan baik.
4. Bapak Syukrn Ma’mun, S.HI., M.Si selaku Ketua Jurusan S1 Ahwal Al-Syakhsiyyah di IAIN Salatiga.
5. Bapak Dr. M. Irfan Helmy, M.Ag selaku Dosen Pembimbing yang selalu
memberikan saran, pengarahan dan masukan berkaitan penulisan skripsi sehingga dapat selesai dengan maksimal sesuai yang diharapkan.
6. Ibu Lutfiana Zahriani, M.H, selaku Kepala Lab. Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga yang memberikan pemahaman, arahan dalam penulisan skripsi sehingga penulisan skripsi ini bisa saya selesaikan.
7. Bapak dan Ibu Dosen selaku staf pengajar dan seluruh staf adminitrasi
Fakultas Syari’ah yang tidak bisa kami sebut satu persatu yang selalu
memberikan ilmunya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tanpa halangan apapun.
8. Keluarga Besar Pondok Pesantren Edimancoro, terutama Romo K.H
Mahfud Ridwan Lc, yang selalu mendoakan santrinya untuk meraih keberhasilan dalam menuntut ilmu, baik dalam keadaan apapun maupun dimanapun.
9. Ustad Slamet yang dengan sabar mengajari penulis dalam memahami kitab
xi
10.Sahabat-sahabatku tercinta Mb Fajar, Mb Khusnul, Mb Pipit, Dek Hida,
Dek Tika, Mb Ana, Mb Sofa, Mujiati, Munziroh, Fadilah, Aini, Nurul, Irinna, Rosa, Indah, Isna yang selalu mendukung penulis dalam menyusun skripsi ini.
11.Teman-teman Jurusan S1 Ahwal al-Syakhsiyyah angkatan 2011 di IAIN
Salatiga yang telah memberikan banyak cerita selama menempuh pendidikan di IAIN Salatiga.
12.Kepada segenap pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu
dalam kesempatan yang terbatas ini. Mudah-mudahan amalan mereka diterima di sisi Allah sebagai manifestasi ibadah kepada-Nya. Aaamiin. Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi metodologi, penggunaan bahasa, isi, maupun analisanya,
sehingga kritik dan saran yang konstruktif, sangat penulis harapan demi enaknya
penulisan skripsiini dibaca dan dipahami.
Akhirnya, penulis berharap semoga skrispi ini bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan umumnya bagi pembaca. Aaamiin.
Salatiga, 5 September 2015
xii ABSTRAK
Munawaroh, Rif’atul. 2015. Konsep Poligami dalam Hukum Islam (Telaah Hadis tentang Larangan Poligami). Skripsi. Fakultas Syari’ah. Jurusan. S1 Ahwal al-Syakhsiyyah. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing: Dr. M. Irfan Helmy, M.Ag.
Kata kunci : Takhrij, Hadis, Poligami, Matan, Sanad
Poligami merupakan suatu fenomena yang telah dari dahulu
diperbincangkan. Dalam al-Qur’an telah disebutkan hukum dar poligami adalah
boleh dengan syarat adil, namun penulis menemukan hadis yang memuat larangan adanya poligami. Penulis disini mengkaji hadis tersebut dengan cara mentakhrijnya. Pertanyaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1) Bagaimana konsep poligami dalam fiqh islam? (2) Bagaimana bunyi matan hadis yang membicarakan tentang larangan poligami? (3) Bagaimana kredibilitas para periwayat hadis yang membicarakan tentang larangan poligami? (4) Bagaimana telaah matan hadis tentang larangan poligami?.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka dilakukan penelitian pustaka dengan menggunakan metode takhrij hadis. Dalam penelitian ini menggunakan
metode takhrij hadis bi al-lafdzi yaitu penelusuran pertama melalui kata/lafal
matan hadis baik dari permulaan, pertengahan dan atau akhiran. Kamus yang
diperlukan dalam penelitian ini adalah kamus al-Mu’jam al-mufahras li alfadz
al-hadisan-Nabawi yang disusun oleh A.j. Wensinckdan kawan-kawannya sebanyak 8 jilid sebagai sumber data primer dan juga kitab-kitab rijal hadis. Serta data sekunder yaitu literatur lainnya yang relevan dengan permasalahan yang dikaji.
Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa, pertama : Pada dasarnya,
sesuai nash dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 3 yang juga sering dijadikan sandaran bagi para ulama dalam menentukan hukum poligami adalah boleh. Bahkan boleh menikahi sampai dengan empat wanita namun dengan syarat sang
suami bisa berlaku adil. Dalam kitabnya Wahbah Zuhailli yang diberi judul
al-Fiqh al Islam Wa Adillatuhu bahwa boleh melakukan praktik poligami dengan syarat adil baik dzahir maupun batin. Kedua : Setelah dilakukan proses telaah sanad, hadis riwayat Muslim, Ibnu Majah, Abu Daud, dan Imam Ahmad sepakat bahwa hadis tersebut berpredikat hadis yang shahih. Sedangkan dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Tirmidzi telah dikatakan bahwa hadis tersebut Hasanun
shahihun. Berbeda pula dengan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari yang
termasuk shahih sanadnya dan gharib matannya. Ketiga : Dalam analisa redaksi
matan hadis, hadis tersebut menggunakan periwayatan bi al-Ma’na. Sedangkan
dalam analisa matan hadis menginformasian bahwa berdasarkan penelusuran
xiii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN... iv
HALAMAN MOTTO…………..……… v A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Rumusan Masalah………... 4 G. Tinjauan Pustaka... 14
H. Sistematika Penulisan... 17
BAB II TINJAUAN UMUM TAKHRIJ HADIS DAN KONSEP
POLIGAMI SERTA HUKUMNYA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A.Tinjauan Sanad dan Matan Hadis dalam Kajian Takhrij Hadis...
1. Studi Sanad……….
2. Studi Matan………
xiv
A.Kompilasi dan Arti Matan Hadis... 1. Redaksi dan Arti Matan Hadis……….………….. 2. Analisis Redaksi Matan Hadis…..………. B. Keabsahan Matan Hadis…………...
1. Asbab al-Wurud(Sebab Turunnya Hadis)……….
2. Kandungan Hukum………
TELAAH SANAD HADIS
A. Redaksi Hadis tentang Larangan Poligami…..………...
1. Shahih Bukhari……….
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tatanan kehidupan manusia yang didominasi kaum laki-laki atas perempuan sudah menjadi akar sejarah yang cukup panjang. Dalam
tatanan tersebut, perempuan dijadikan sebagai the second human being
(manusia kelas kedua),yang berada dibawah laki-laki, yang membawa implikasi luas dalam kehidupan sosial di masyarakat. Perempuan selalu dianggap bukan makhluk penting, melainkan sekedar pelengkap yang diciptakan dari dan untuk laki-laki. Dan berakibat, perempuan hanya di
tempatkan di ranah dalam saja, sedangkan laki-laki berada di ranah public.
Mereka menggaggap bahwa poligami merupakan syariat dan dianjurkan dalam Islam. Padahal poligami tidak di sunnahkan oleh Nabi SAW, untuk mengangkat derajat dan martabat seorang wanita. Bukan untuk mengoleksi istri. Sebelum kedatangan Islam poligami sudah ada dan dahulu kala Nabi Daud mempunyai istri 300 orang, dan Nabi Sulaiman mempunyai istri 700 orang. Akan tetapi setelah Islam datang Nabi Muhammad SAW membatasi umatnya untuk mempunyai istri empat dan selebihnya diceraikan.
2
sebagaimana apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW sendiri dengan beristri lebih dari satu. Sedangkan bagi mereka yang kontra lebih menekankan pada aspek kesetaraan posisi perempuan dan adapula yang menganut terhadap salah satu perkataan atau hadis Rasulullah SAW yang berbunyi : Hisyam bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib, -ketahuilah-, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan, sungguh tidak aku izinkan, kecuali kalau Ali bin Abi Thalib mau menceraikan putriku, lalu mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga”.
Mereka penolak poligami yang dimaksud disini adalah kalangan Islam Liberal, termasuk kaum feminis, memandang poligami sebagai bentuk penindasan atau bentuk tindakan deskriminatif atas perempuan. Mereka menggunakan hadis tersebut sebagai suatu dasar penolakan
3 (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang
demikian itu adalah lebi hdekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Walaupun pada dasarnya Islam menganut asas monogami, menikah hanya dengan satu istri saja, akan lebih menjamin suami tidak berbuat aniaya, namun dengan memperhatikan konteks ayat tersebut, poligami memang dibolehkan akan tetapi poligami tersebut diperoleh dengan ketentuan bahwa perkawinan poligami menurut ajaran Islam merupakan pengecualian yang dapat ditempuh dalam keadaan yang mendesak (Basyir, 2000: 39). Maka, poligami bukanlah suatu perbuatan yang dilarang akan tetapi lebih kepada anjuran untuk tidak dikerjakan.
Sebagaimana halnya dalam hukum positif, berdasarkan UU Perkawinan yaitu UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan bahwa Hukum Perkawinan di Indonesia menganut asas monogami, baik
untuk pria maupun wanita (vide Pasal 3 (1) UU No 1/1974). Hanya apabila
4
hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan
diputuskan oleh pengadilan, vide Pasal 3 (2), Pasal 4 (1) dan (2), dan Pasal
5 (1) dan (2) (Zuhdi, 1994: 11). Dapat disimpulkan bahwa menurut hukum positif pun poligami tidak dilarang secara mutlak.
Akan tetapi, mengenai hadis Rasulullah yang melarang terjadinya poligami, membuat penulis ingin menelusuri dan mengklarifikasi lebih lanjut akan hadis yang dijadikan pedoman larangan adanya poligami tersebut. Berangkat dari permasalahan tersebut, maka penulis ingin mengadakan penelitian kajian poligami dengan fokus studi takhrij hadis.
Adapun hadis yang penulis takhrij adalah hadis yang melarang adanya
praktek poligami yang bersumber dari beberapa kitab hadis. Penulis
memberikan judul pada penelitian ini yaitu : “Konsep Poligami dalam
Hukum Islam(Telaah Hadis Tentang Larangan Poligami)”.
B. Rumusan Masalah
Adapun pokok-pokok permasalahan yang mendasari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep poligami dalam fiqh islam?
2. Bagaimana bunyi matan hadis yang membicarakan tentang larangan
poligami?
3. Bagaimana kredibilitas para periwayat hadis yang membicarakan
tentang larangan poligami?
5
C. Tujuan Penelitian
Agar tidak menyimpang dari masalah-masalah yang diutarakan tersebut diatas, maka perlu dirumuskan tujuan dalam penelitian ini. Adapun tujuan tersebut yaitu:
1. Memperdalam pemahaman terhadap konsep larangan/ kebolehan
poligami dalam kitab fiqh Islam.
2. Mengetahui dan mengkaji kitab-kitab hadis yang memuat hadis
tentang larangan poligami serta mempelajari dan memahami sebab munculnya hadis tentang larangan poligami, dimana dan kapankah hadis tersebut muncul serta bagaimana keadaan dan kondisi masyarakat pada waktu itu.
3. Menelaah sanad hadis tentang larangan poligami dalam rangka
penentuan kredibilitas para periwayat hadis dan otensitas matan hadis.
4. Mengetahui telaah matan hadis yang dijadikan dasar larangan
poligami, kemudian ditarik kesimpulannya dapat atau tidaknya hadis tersebut dijadikan pedoman hukum.
D. Kegunaan Penelitian
Selain tujuan, adapula kegunaan dari hasil penelitian ini yakni sebagai berikut:
1. Kegunaan secara teoritis
6
a. Sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya dan bahan kajian
pustaka khususnya bagi para pengkaji hadis.
b. Sebagai sumbangan pemikirian untuk pembaca yang akan
mengadakan penelitian lebih lanjut di bidang telaah hadis.
c. Memberikan wawasan yang lebih luas kepada umat Islam
mengenai matan hadis serta memperkaya khazanah keilmuan khususnya di bidang ilmu hukum munakahat.
2. Kegunaan Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan ilmu pengetahuan bagi semua pihak, khususnya bagi:
a. Peneliti
Sebagai wawasan ilmu pengetahuan bagi peneliti ketiaka telah terjun dan berperan aktif di masyarakat serta sebagai salah satu syarat untuk memperleh gelar sarjana dalam bidang ilmu hukum di fakultas Syariáh dan Ekonomi Islam Jurusan Ahwal Al Syakhsiyyah.
b. Lembaga pemerintahan yang bergerak dalam bidang perkawinan
7
c. Masyarakat
Sebagai bahan pengetahuan dan pertimbangan bagi masyarakat umumnya dan khususnya kepada suami istri serta orang tua yang mendidik anaknya agar tidak terjadi salah konsep dan menjadikan tidak harmonisnya keluarga.
E. Metode Penelitian
Pengguanaan metode penelitian merupakan sesuatu yang lazim digunakan dalam setiap penelitian ilmiah. Dalam dunia riset, penerapan metode dalam sebuah penelitian telah diatur dan ditentukan dengan persyaratan yang sangat ketat berdasarkan tradisi keilmuan yang berlaku agar hasil penemuan tersebut diakui oleh komunitas ilmuan terkait karena memiliki nilai ilmiah dibidangnya.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah Library Research atau penelitian
pustaka, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara membaca, mencermati, dan menelaah buku-buku yang ada kaitannya dengan masalah yang akan diteliti. Menurut Zed (2004: 1-2), “riset pustaka adalah penelitian yang dilakukan dengan cara memanfaatkan sumber
8
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang digunakan adalah deskriptif-analitis. Maksud
dari deskriptif-analitis adalah menjelaskan data-data yang diteliti
kemudian menganalisisnya dengan konsentrasi studi takhrij hadis.
Adapun objek penelitian ini adalah Hadis dengan matan larangan
berpoligami.
3. Pendekatan
Penulis menggunakan dua macam pendekatan dalam penelitian ini, yakni:
1. Pendekatan normatif, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara
menelaah bahan pustaka, produk-produk hukum, perbandingan hukum, dan sejarah munculnya hukum (Soekanto dan Mamudji, 1995: 13-14). Kaitannya dengan penelitian yang penulis lakukan, maka penulis menelaah kitab-kitab hadis sebagai sumber hukum Islam yang berbicara mengenai hal yang berkaitan dengan larangan berpoligami, juga mengenai sejarah munculnya hadis tersebut.
2. Pendekatan Takhrij Hadis, yaitu pendekatan dengan menggunakan
data-data berupa hadis yang dijadikan dasar hukum larangan berpoligami dari kitab-kitab hadis untuk kemudian dilakukan
pelacakan biografi rawi sanad hadis dan analisis matan dengan
maksud menemukan status hadist tersebut. Dalam penelitian ini
menggunakan pendekatan Takhrij Hadis bi al-lafdzi, yaitu
9
permulaan, pertengahan dan atau akhiran. Kamus yang diperlukan
dalam penelitian ini adalah kamus al-Mu’jam al-mufahras li alfadz
al-hadisan-Nabawi yang disusun oleh A.j. Wensinck dan kawan-kawannya sebanyak 8 jilid.
4. Pengumpulan data
Adapun sumber data yang dipakai dalam penelitian mencakup sumber data primer dan sumber data sekunder.
a. Sumber data primer diperoleh dari kitab-kitab hadis yang memuat
masalah tentang poligami dan kitab yang memuat biografi para
rawi.
b. Sumber data sekunder, ialah data yang diperoleh dari bahan-bahan
yang ada hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer tersebut (Soemitro, 1990: 53). Dalam hal ini yang penulis gunakan menjadi sumber data sekunder adalah buku-buku dan informasi dari berbagai media mengenai poligami, seperti kitab-kitab fiqh, UUP, KHI dan media lainnya.
5. Langkah-langkah Penelitian
Adapun langkah-langkah yang penulis lakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a) Menentukan hadis, dalam hal ini adalah hadis tentang larangan
10
b) Mencari potongan hadis tersebut di dalam kamus hadis Mu’jam
Mufahras li alfadh al hadis Nabawi karya Wensinc dan Muhammad Fuad Abdul Baqi.
c) Petunjuk dari kamus hadis tersebut kemudian diteruskan dengan
mencari di dalam kitab-kitab aslinya.
d) Setelah ditemukan hadis yang dimaksud dalam kitab-kitab maka
dibuatlah bagan sanad.
e) Mengadakan penelitian / telaah otensitas sanad dengan memakai
kitab-kitab yang berhubungan dengan Rijalul Hadis.
f) Menentukan kualitas para rawi hadis berdasarkan telaah sanad.
g) Menelaah matan hadis dari semua jalur periwayatan yang ada
untuk mengetahui adakah perbedaan dan persamaan redaksi dalam penulisan matan hadis.
h) Telaah sanad menentukan shahih tidaknya matan hadis untuk
menentukan bisa atau tidaknya hadis tersebut menjadi pegangan hukum.
i) Mencari, mempelajari, serta memahami sebab munculnya hadis
tersebut agar dapat diketahui kepastian hukum mengenai masalah poligami (Zuhri, 2011: 149-160).
6. Analisa Data
11
dilarang dengan cara menelaah sanad hadisnya dari berbagai jalur periwayatan yang ada. Setelah itu, penulis juga menelaah matan hadis dari berbagai jalur periwayatan yang ada, serta mencari perbedaan dan persamaan redaksi matan hadis antara jalur periwayatan satu dengan jalur periwayatan yang lainnya.
Selain itu, dengan data yang ada penulis telah berusaha mencari dan memahami sebab munculnya hadis tentang larangan poligami tersebut, bagaimana keadaan waktu itu dan apakah hadis tersebut bisa dijadikan pedoman dilarangnya poligami bagi umat Islam. Adapun prosedur penelitian yang penulis lakukan adalah sebagaimana dalam langkah-langkah penelitian yang telah tertera di atas.
Penelitian ini adalah penelitian dengan spesifikasi data kepustakaan dengan menggunkan metode analisa takhrij hadis, maka penulis harus menelaah hadis terkait dalam kitab-kitab hadis yang telah diakui oleh dunia Islam. Dalam penelitian ini, penulis juga memaparkan permasalahan penelitian ini diantaranya adalah poligami menurut fiqh Islam, bagaimana konsep pologami itu sendiri beserta hukumnya.
F. Penegasan Istilah
Supaya tidak terjadi kerancuan dan kesalahan penafsiran istilah yang digunakan serta agar terdapat kejelasan pengertian dalam skripsi ini, maka penulis merasa perlu untuk memberikan penjelasan dan penegasan istilah yaitu sebagai berikut:
12
(cita-cita dsb) yang telah ada dalam pikiran (Purwadharminta, 2006: 611)
2. Poligami : mengawini beberapa lawan jenis dalam waktu
yang sama (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988: 693).
3. Hukum Islam : Hukum berarti peraturan yang dibuat oleh suatu
kekuasaan atau adat yang dianggap berlaku oleh dan untk orang banyak (Purwadharminta, 1985: 363), sedangkan Islam adalah Agama yang
diajarkan oleh Nabi Muhammad
(Purwadharminta, 2006: 454). Adapun Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan njadmei bagian dari agama islam (Ali, 1998: 37).
4. Hadis : Menurut bahasa artinya adalah yang baru, berita,
pesan keagamaan, pembicaraan. Dalam istilah
al-hadist berarti pembicaraan yang dirwayatkan dari Nabi SAW, segala sesuatu yang berupa berita yang dikatakan berasal dari Nabi SAW, baik berupa ucapan, tindakan atau taqrir, atau pembiaran Nabi SAW (Zuhri, 2003: 1).
5. Sanad : Menurut bahasa artinya bagian tanah yang
13
arti sanad yang berkembang dalam ilmu hadis yaitu jalan yang menyampaikan kepada matan hadis. Kemudian istilah sanad yang masyhur dalam ilmu hadis yaitu orang-orang yang dilalui berita hadis dari sumber yang pertama sampai dengan penerima hadis yang terakhir (Zuhri, 2003: 10).
6. Matan : Menurut bahasa artinya sesuatu yang tampak.
Sedangkan menurut istilah dalam ilmu hadis, matan ialah materi atau redaksi hadis yang diriwayatkan dari satu orang ke orang lain. Sebagaimana yang dikatakan oleh imam Al-Suyuti yang dikutip oleh Prof. Dr. Muh. Zuhri
hadis yaitu “lafadz-lafadz hadis yang
membentuk pengertian atau makna” (Zuhri,
2003: 149-150).
7. Takhrij : Menurut bahasa yaitu mengeluarkan, melatih,
meneliti, menghadapkan (Zuhri, 2003: 149-150). Sedangkan menurut istilah berarti mengeluarkan hadis dalam arti menelusuri hadis-hadis dalam kitab-kitab hadis yang membicarakan masalah
terkait. Pada kegiatan inilah dilakukan
14
asli dari hadis yang bersangkutan dikemukakan lengkap dengan matan beserta sanadnya.
G. Tinjauan Pustaka
Penelitian/skripsi yang membahas tentang poligami bukanlah penulis yang satu-satunya dan pertama meneliti, telah banyak penelitian terdahulu yang membahas tentang poligami. Walaupun demikian skripsi ini bukanlah suatu duplikat dari penelitian/skripsi lain atau penelitian yang sama dengan lainnya, karena penulis lebih menitik beratkan pada subtansi takhrijnya.
Untuk mendukung penelaahan yang komprehensif penulis menelusuri hasil penelitian yang memiliki relevansi dengan topik yang dikaji berupa skripsi dan karya ilmiah, diantaranya:
15
oleh dua orang yang ingin membina kehidupan bersama dimulai dengan niat yang tulus, cinta dan adanya janji sakral yang harus dihormati.
Kedua, Penelitian dari Wartini, Atik. 2013. Poligami: Dari Fiqh Hingga Perundang-undangan. Hasil dari penelitian tersebut adalah 1. Perbedaan posisi status poligami dalam perspektif Undang-Undang baik itu di Indonesia, Malaysia, Negara-negara yang mayoritas Islam di Asia maupun Afrika. 2. Poligami dalam tinjauan fiqh boleh jika memenuhi dua persyaratan yaitu mampu dalam segi materi dan adil selain itu ada sebab-sebab tertentu yang diperbolehkan poligami, yaitu sesab khusus dan umum
yang secara garis besarnya mengacu pada dhorurat, hajat dan
kemaslahatan.
Ketiga Nizar, Muhammad. 2008. Variasi Alasan Suami Mengajukan Izin Poligami (Studi Putusan Di PA Sleman Tahun 2007).
Skripsi tersebut menerangkan bahwa ada beberapa alasan yang menjadikan suami mengajukan izin poligami, beberapa alasan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua, yakni alasan-alasan yang tidak terdapat dalam Undang-undang dan alasan-alasan yang terdapat dalam Undang-undang. Pertimbangan hakim yang digunakan adalah pemenuhan terhadap syarat baik kumulatif maupun alternatif.
16
menggunakan kompilasi hukum Islam (KHI). Karena dalam penerapan KHI tersebut baik dalam persidangannya sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974.
Kelima, skripsi dari Nugroho, Bibi. 2006. Kriteria Keadilan Poligami (Studi Analisis tentang Putusan Pengadilan Agama di Salatiga). Dalam skripsi tersebut menyebutkan bahwa kriterian keadilan poligami
dalam Alqur’an lebih ditekankan pada pembolehan dengan syarat sang
suami bias adil terhadap istru-istrinya kelak. Kemudian dalam Undang-undang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, kriteria keadilan poligami lebih ditekankan pada pembolehan jika ada izin dari Pengadilan Agama, ada persetujuan dari istri dan ada jaminan dapat memenuhi kebutuhan istri-istri beserta anak-anaknya kelak dengan kepastian bias berlaku adil.
17
H. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah penjelasan skripsi tentang telaah hadis larangan poligami ini perlu adanya sistematika penulisan yang jelas. Adapun sistematika penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku pedoman penulisan skripsi dan tugas akhir yang telah ditetapkan oleh Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga tahun 2008. Sistematika penulisan tersebut adalah sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan, meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian yang terdiri dari jenis penelitian, sifat penelitian, pendekatan, pengumpulan data, langkah-langkah penelitian, analisis data dan sistematika penulisan.
BAB II Kajian Pustaka yang menguraikan tentang telaah hadis yang meliputi studi sanad dan studi matan serta membahas masalah konsep poligami dalam perspektif fiqh Islam, kebolehan atau larangan poligami.
BAB III Telaah matan hadis, pembahasan pada bab ini meliputi
kompilasi dan arti matan hadis, kritik matan, asbab al wurud, kandungan
hukum dan kesimpulan dari keseluruhan pada bab ketiga ini.
BAB IV Pelaksanaan takhrij hadis, yang merupakan inti dari skripsi ini. Pembahasan dalam bab ini yaitu tentang rangkaian sanad dan
tabaqat, kajian kuantitas sanad, kajian kualitas sanad, dan kesimpulan dari keseluruhan pada bab keempat ini.
18
19 BAB II
TINJAUAN UMUM TAKHRIJ HADIS DAN KONSEP POLIGAMI SERTA HUKUMNYA DALAM PERSPEKTIF FIQH ISLAM
A. Tinjauan Sanad dan Matan Hadis dalam Kajian Takhrij Hadis
Dalam al-Qur’an dan Hadis, telah banyak dijelaskan baik secara
tersurat maupun tersirat bahwa Hadis merupakan sumber hukum / tasyri’
yang kedua setelah al-Qur’an. Namun, dalam hal penulisan dan
kodifikasinya sangat berbeda. Penulisan al-Qur’an telah dilakukan pada
zaman Rasulullah SAW secara terarah dan teratur, sedangkan mengenai pembukuan / kodifikasi hadis dilarang dan tidak direstui oleh Rasulullah sendiri. Hal tersebut dikarenakan kekhawatiran Rasulluh SAW terhadap al-Qur’an, takut penulisannya akan tercampur dengan hadis (Abdurrahman dan Sumarna, 2013:1-6).
Kendati terbuka peluang untuk membukukan hadis, namun ditilik dalam fakta sejarah bahwa di masa sahabat belum ada kegiatan tersebut secara resmi yang diprakarsai oleh pemerintah. Ketika kholifah Umar bin Khottob misalnya, beliau telah berfikiran untuk membukukan hadis, akan tetapi setelah meminta pendapat kepada para sahabat untuk membukukan hadis dan beristikhoroh tentang kegiatan tersebut selama sebulan, akhirnya kholifah Umar membatalkan rencana itu (Zuhri, 2011: 51).
20
oleh kekhawatiran akan hilangnya hadis Nabi bersama dengan gugurnya para ulama penghafal hadis. Maka, sekiranya rencana itu tidak dilakukan akan sulit mengetahui apakah itu sebuah hadis atau bukan. Karena diketahui bahwa hadis pernah menjadi lahan strategis untuk dipalsukan, baik demi kepentingan politik ataupun perbedaan madzhab serta cinta terhadap kebaikan dan bodohnya agama.
Dengan demikian, keberhati-hatian para ulama hadis sangat dibutuhkan sehingga membuat mereka tidak merasa cukup dengan
mengetahui dan mencermati matan. Karena, banyak hadis yang tidak
mudah dipisahkan, yang palsu dari yang otentik dengan hanya melihat
matan saja. Itu sebabnya, para ulama berkepentingan juga memeriksa
pembawa (periwayat) hadis itu sendiri selain mencermati matannya.
Banyak hal yang dilakukan para ulama hadis menyelamatkannya dari kepalsuan (Zuhri, 2011:67-81).
Menurut Muhadditsin, makna Takhrij sebagaimana yang ditulis
oleh Dr. Mahmud at-Thuhan (1996 : 37-38) dalam kitabnya yang berjudul
Ushulut Takhrij wad Dirasah al-Asanid, adalah:
1. Menampakkan hadis kepada manusia dengan menyebutkan
sumbernya, atau Perawi sanad mengeluarkan hadis dari jalurnya.
2. Mengeluarkan hadis dari kitab-kitab dan riwayatnya.
3. Penunjuk sumber hadis yang asli dan menisbatkan kepadanya.
21
kemudian menjelaskan kedudukannya ketika dibutuhkan. Dengan kata lain, takhrij dilakukan dengan cara meneliti keadaan matan dan sanad hadis. Maksud dari cara ini adalah meneliti keadaan dan sifat hadis, kemudian membahas sumber hadis tersebut dengan jalan mengetahui keadaan dan sifatnya dalam matan atau sanad atau sanad dan matan secara bersamaan.
1. Studi Sanad
Studi sanad adalah mempelajari mata rantai perawi dalam sanad, dengan merujuk kepada kitab biografi mereka. Dan mempelajari para
perawi yang shahih dan dha’if serta sebabnya, mempelajari sanad
yang bersambung dan terputus, mempelajari kelahiran dan wafat
mereka. Juga mengetahui sahabat dan tabi’in untuk membedakan
antara Mursal dan Maushul, al-Mauquf dan al-Maqthu’. Dan lainnya
yang bersandar pada ilmu UshulJarh dan Ta’dil.
Sanad secara bahasa berarti al-Mu’tamad yaitu yang diperpegangi
(yang kuat)/ yang bisa dijadikan pegangan. Sedangkan menurut istilah sanad adalah mata rantai perawi yang kemudian berlanjut kepada matan. Dalam hal ini, wajib bagi seorang muslim bersandar pada sanad dalam meriwayatkan hadis dan khabar. Dengan demikian maka
akan membutuhkan ilmu Jarh wa Ta’dil dan biografi para perawi
dalam pembahasan sanad (at-Thuhan, 1416 H: 138-139).
Kebutuhan terhadap ilmu Jarh wa Ta’dil adalah untuk
22
mungkin bisa mempelajari sanad kecuali telah mengetahui kaidah
Jarh dan Ta’dil (yang dijadikan sandaran para ulama’), mengetahui
syarat perawi yang diterima, mengetahui cara menetapkan keadilan
dan ke-dhabith-an seseorang, dan segala sesuatu yang berkaitan
dengan pembahasan ini.
a. Syarat diterimanya perawi
Menurut jumhur Ulama’ hadis, syarat diterimanya perawi ada dua:
1) Al-‘Adalah (adil), yaitu perawi yang harus muslim, baligh, berakal, tidak fasik dan tidak buruk tingkah lakunya.
2) Adh-Dhabit, yaitu perawi yang tidak jelek hafalannya, tidak
banyak salah, tidak menyelisihi tsiqqah, tidak banyak
ragu-ragu dan tidak banyak lalai.
b. Hal-hal ditetapkannya keadilan
Keadilan ditetapkan dengan salah satu hal berikut:
1) Pernyataan orang yang adil, atau Ulama’ Jarh dan Ta’dil, atau
salah satu dari mereka dalam kitab Jarh wa Ta’dilnya.
2) Dengan kepopuleran dan kemasyhurannya.
Menurut madzhab Ibnu Abdil Bar dalam menetapkan keadilan yaitu setiap orang yang memiliki ilmu, dikenal bahwa ia perhatian terhadap ilmu maka ia telah menyandang sifat adil, hingga jelas
Jarhnya (cacatnya), dan kita tidak perlu menanyakan keadilannya.
23
Perawi yang dhabith dapat diketahui melalui kesesuaiannya
dengan perawi tsiqqah. Dan tidak terlalu berepengaruh bila ia
kadang menyelisihi, namun bila sering menyelisihi maka akan
mencacati ke-dhabith-annya.
d. Diterimanya Jarh dan Ta’dil
1) Ta’dil dapat diterima walaupun tidak disebutkan sebab-sebabnya, karena sebab-sebabnya banyak sehingga sulit
dijelaskan. Sedangkan Jarh tidak dapat diterima kecuali
dijelaskan sebab-sebanya karena tidak sulit dijelaskan.
2) Jarh dan Ta’dil diterima walaupun dari satu orang dari ahli
Jarh dan Ta’dil, walaupun dia budak ataupun wanita.
3) Bila berkumpul antara Jarh dan Ta’dil pada satu orang, maka
didahulukan Jarh daripada Ta’dil bila Jarh dijelaskan.
e. Lafadz-lafadz Jarh dan Ta’dil serta tingkatannya
1) Tingkatan Jarh dan lafadz-lafadznya
a) Lafadz yang menunjukkan lunak, contoh: Fulan layinul
hadis.
b) Lafadz yang menunjukkan tidak dapat dijadikan hujjah,
contoh: Fulan laa yuhtaj bih.
c) Lafadz yang menunjukkan tidak dapat ditulis hadisnya,
contoh: Fulan laa yuktab hadisuhu.
d) Lafadz yang menunjukkan adanya tuduhan berbuat dusta,
24
e) Lafadz yang menunjukkan adanya perbuatan dusta atau
semacamnya, contoh: Fulan kadzdzab.
f) Lafadz yang menunjukkan adanya mubalaghoh dalam
perbuatan dusta, contoh: Fulan akdzaba an-nas.
2) Hukum masing-masing tingkatan
a) Dua tingkatan yang pertama, maka hadis yang
diriwayatkan tidak dapat dijadikan hujjah, namun ditulis untuk pelajaran.
b) Empat tingkatan terakhir hadis-hadis mereka tidak bisa
dijadikan hujjah, tidak ditulis dan tidak dijadikan pelajaran.
3) Tingkatan Ta’dil dan lafadz-lafadznya
a) Lafadz yang menunjukkan mubalaghoh, contoh: Fulanun
atsbata.
b) Lafadz yang memeperkuat salah satu sifat atau dua sifat
tsiqqah, contoh: Tsiqotun tsiqotun.
c) Ungkapan yang menunjukkan ke-tsiqqah-an, contoh:
Tsiqotun atau hujjah.
d) Lafadz yang menunjukkan Ta’dil, contoh: Shaduqun.
e) Lafadz yang tidak menunjukkan ke-tsiqqah-an, contoh:
Fulanun syaikhun.
f) Lafadz yang mendekati adanya Jarh, contoh: Fulan
shalihul hadis.
25
a) Untuk tiga tingkatan pertama, bisa dijadikan hujjah.
b) Untuk tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa dijadikan
hujjah, namun hadisnya ditulis dan dijadikan ujian.
c) Tingkatan keenam tidak bisa dijadikan hujjah, namun tetap
ditulis untuk pelajaran bukan ujian (at-Thuhan, 1416 H: 135-146).
2. Studi Matan
Matan menurut bahasa adalah punggung jalan (muka jalan), tanah yang keras dan tinggi. Sedangkan meurut istilah, matan ialah perkataan terakhir dari sanad (at-Thuhan, 1416 H: 135). Dalam bukunya Sohari Sahrani (2010: 132) diterangkan bahwa ath-Thibi mendefinisikan matan dengan:
ْهايِن اَعَم اَه ِماوَقَ تَ ت ىِتَلا ِثْيِدَحْلا ِظاَفْلا
“lafadz-lafadz hadis yang didalamnya mengandung makna-makna tertentu (Ajjaj al-Khathib, t.t.: 31).”
Studi matan hadis termasuk kajian yang jarang dilakukan oleh
26
dipertanggungjawabkan keabsahannya (Bustamin dan Salam, 2004: 59-60).
Hendaknya diketahui, bahwa antara sanad dan matan tidak mesti ada hubungannya, yakni:
a. Kalau sanad sudah sah, belum tentu matannya turut sah; begitu
pula
b. Kalau sanad dha’if, belum tentu matannya pun turut dha’if (Hassan, 1994:375).
Dalam hal ini, kriteria keabsahan (keshahihan) matan hadis
menurut muhadditsin nampaknya beragam. Perbedaan tersebut
mungkin disebabkan oleh perbedaan latar belakang, keahlian alat bantu, dan persoalan, serta masyarakat yang dihadapinya. Dari
berbagai kriteria yang dimiliki oleh muhadditsin, disimpulkan
Bustamin dan Salam dalam bukunya metodologi kritik hadis (2004:
62-64) yaitu definisi keshahihan hadis menurut muhadditsin adalah
sebagai berikut : pertama, sanadnya shahih (penentuan keshahihan
sanad hadis didahului dengan kegiatan takhrij hadis dan dilanjutkan
dengan kegiatan penelitian sanad hadis); kedua, tidak bertentangan
dengan hadis mutawatir atau hadis ahad yang shahih; ketiga, tidak
bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an; keempat, sejalan dengan alur
akal sehat; kelima, tidak bertentangan dengan sejarah; keenam,
27
Berkaitan dengan matan, sebagai disebutkan bahwa salah satu
syarat hadis shahih adalah tidak syadz, dan tidak bertentangan dengan
dalil lain yang lebih kuat, seperti bertentangan dengan ayat al-Qur’an
atau hadis yang diriwayatkan oleh orang yang lebih tsiqqah. Oleh
karena itu, sangatlah penting bagi para peneliti ntuk menghadapkan hadis yang sedang ditelitinya dengan dalil-dalil lain, seperti juga menelusuri jalur lain. Lebih jauh juga peneliti akan menyingkap dan menjelasakan isi ajaran yang terkandung di dalam hadis tersebut. Karena itu, ada hal-hal yang harus diperhatikan antara lain:
a. Ilmu Gharib al-Hadis
28
b. Asbab Wurud al-Hadis
Sesuai dengan namanya, ilmu ini menyingkap sebab-sebab
timbulnya hadis. Kalau di dalam al-Qur’an dikenal dengan ilmu
Asbab al-Nuzul. Terkadang, ada hadis yang apabila tidak diketahui sebab turunnya, akan menimbulkan dampak yang tidak baik ketika hendak di amalkan (Zuhri, 2011: 135-145).
B. Poligami Dalam Perspektif Fiqh Islam
1. Makna dan Konsep Poligami Dalam Islam
Salah satu bentuk suatu perkawinan yang sering kali menjadi perbincangan dan perdebatan dalam masyarakat adalah beristri lebih dari seorang atau sering dikatakan dengan sebutan istilah poligami. Poligami adalah ikatan perkawinan dalam hal mana suami mengawini lebih dari satu istri dalam kurun waktu yang sama. Kebalikan dari poligami adalah monogami, yaitu ikatan perkawinan yang terdiri dari seorang suami dan seorang istri. Dalam realitas sosiologis masyarakat, monogami lebih banyak dipraktekkan di kalangan masyarakat karena dirasakan paling sesuai dengan tabiat manusia dan merupakan bentuk perkawinan yang menjanjikan kedamaian (Mulia, 2007: 43-44).
Sedangkan poligami menurut Prof. Dr. M. Quraish Shihab, seorang ulama ahli tafsir sekaligus ahli fiqh (hukum Islam) yang menjadi rujukan otoritatif, yang dalam bukunya yang berjudul Perempuan
(..dari Cinta sampai Seks dari Nikah Mut’ah sampai Nikah Sunnah dari
29
bahwa merujuk pada Firman Allah Surat An-Nisa’ ayat 4, poligami itu
bukan anjuran, tetapi salah satu solusi yang diberikan kepada mereka yang sangat membutuhkan dan memenuhi syarat-syaratnya poligami. Poligami mirip dengan pintu darurat dalam pesawat terbang yang
hanya boleh dibuka dalam keadaan emergency tertentu. Dan itupun
merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh siapa yang amat sangat membutuhkan, dan dengan syarat yang tidak ringan.
2. Hukum Poligami dalam Perspektif Fiqh Islam
Poligami adalah pintu emergency, karena persoalan yang
emergency pula, tentu terlepas dari revisi PP No 10 tahun 1983 dan PP No 45 tahun 1990 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. Karena, jika bicara tentang undang-undang, buka hanya PP No. 10 dan No. 45 tersebut, tapi juga ada UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang sebenarnya telah menyatakan secara jelas perkawinan menganut prinsip monogami berlaku tidak hanya bagi Pegawai Negeri Sipil atau TNI. Hanya sosialisasi UU tersebut belum begitu bagus dan menyeluruh (Fahmie, 2007: 53).
Namun demikian, dalam beberapa buku-buku ilmiah yang
ditulis oleh ahli-ahli yang pandai, dikatakan bahwa al-Qur’an
30
Begitu pula dalam kitab Fiqhussunnah karyanya Sayyid Sabiq,
secara tersirat bahwa poligami diperbolehkan. Dalam kitabnya dijelaskan bahwa seorang laki-laki haram memadu lebih dari empat orang perempuan, sebab empat perempuan itu sudah cukup, dan melebihi dari empat ini berarti mengingkari kebaikan yang
disyari’atkan oleh Allah bagi kemashlahatan hidup suami dan istri
(Sabiq, 1980:164).
Menurut Madzhab Ahl al-Sunnah dalam kitab Al-Fiqh al-Islam
Wa Adillatuhu yang ditulis oleh Wahbah Zuhaili (2004: 6667) menerangkan bahwa bagi kaum laki-laki tidak diperbolehkan menikahi wanita lebih dari empat dalam satu waktu. Jika kaum laki-laki ingin menikah lagi maka ia harus menceraikan salah satu istrinya
terlebih dahulu dengan ketentuan menyempurnakan masa ‘iddah
terlebih dahulu, setelah itu boleh menikah sesuai yang ia inginkan.
Karena sesungguhnya dalam nash al-Qur’an telah dijelaskan pula
bahwa kaum laki-laki tidak diperkenankan menikahi lebih dari empat wanita.
Firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ ayat 3:
لاَأ ْمُتْفِخ ْنِإَو
Artinya : dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap
31
mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Muhammad Nasib Ar-Rifa’I menafsirkan ayat tersebut yang
tertuang dalam bukunya yang berjudul Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir
(1989: 650) bahwa yang dimaksud dengan kalimat “dua, tiga, atau empat” yakni, nikahilah wanita yang kamu kehendaki selain wanita
yatim. Jika kamu mau nikahilah dua wanita, tiga atau empat. Sunnah
Rasulullah SAW yang menerangkan informasi dari Allah
menunjukkan bahwa seorangpun tidak boleh, selain Rasulullah SAW, menikah lebih dari empat orang wanita, sebab yang demikian itu kekhususan untuk Rasulullah SAW. Mengenai pembatasan empat tersebut, Rasulullah SAW bersabda yang diriwayatkan oleh Malik
dalam kitab al-Muwattha’, an-Nasa’I dan Daruquthni dalam masing
-masing kitab sunannya.
32
Diperkuat dengan sabda Nabi dalam kitab Abu Daud dari Harist bin Qais, ia berkata: saya, lalu saya ceritakan hal itu kepada Nabi SAW. maka
sabda beliau:”pilihlah empat orang di antara mereka.”
Dalam ayat tersebut juga ditegaskan bahwa jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap wanita-wanita selain yang yatim itu, maka nikahilah apa yang kamu senangi sesuai selera kamu dan halal dari wanita-wanita yang lain itu, kalau perlu, kamu dapat menggabung dalam saat yang sama (dua, tiga atau empat) tetapi jangan lebih, lalu jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil dalam harta dan perlakuan lahiriyah, bukan dalam hal cinta, bila menghimpun lebih dari seorang istri, maka nikahi seorang saja atau nikahilah hamba sahaya wanita yang kamu miliki. Yang demikian itu, yakni menikahi selain anak yatim yang mengakibatkan ketidakadilan, dan mencakup satu orang istri adalah lebih dekat dari berbuat aniaya, yakni lebih mengantarkan kamu kepada keadilan atau kepada tidak memiliki banyak anak yang harus kamu tanggung biaya hidup mereka.
Ayat tersebut menggunkan kata “tuqsithu” dan “ta’dilu” yang
keduanya diterjemahkan adil. Ada ulama yang mempersamakan maknanya dan ada juga yang membedakannya dengan berkata bahwa
33
yang membuat keduanya senang. Sedangkan adil adalah berlaku adil terhadap orang lain maupun diri sendiri, tapi keadilan itu bisa saja tidak menyenangkan salah satu pihak (Shihab, 2002: 407).
Menurut Ahmad Mustofa al-Maraghi tertuang dalam kitabnya yang berjudul Tafsir al-Maraghi (1974: 325) menyatakan bahwa berlaku adil dalam hal ini hanya selagi masih bisa dilakukan oleh kemampuan manusia, seperti memberi rumah yang sama, pakaian yang sama dan sebagainya. Sedangkan hal-hal yang berada di luar kemampuan manusia seperti kecenderungan hati manusia terhadap seorang istri, tidak terhadap istri-istri yang lainnya. Tetapi beliau tidak mengistimewakannya dengan sesuatu, melebihi yang lain, kecuali berdasarkan kerelaan dan izin mereka.
Dalam ayat tersebut juga dijelaskan bahwa hendaknya kalian mencukupkan hanya dengan seorang istri dari wanita-wanita merdeka, dan bersenang-senanglah dengan wanita yang kamu sukai dari hamba-hamba wanita, karena tidak ada kewajiban berbuat adil diantara mereka. Tetapi mereka hanya berhak mendapat kecukupan nafkah, sesuai dengan standar yang berlaku dikalangan mereka. Memilih seorang istri atau mengambil gundik itu lebih menghindari perbuatan zina dan aniaya.
34
melaksanakannya, dan berbuat adil memanglah sangat sulit untuk diwujudkan (al-Maraghi, 1974: 324-325). Sebagaimana Firman Allah SWT surat an-Nisa ayat 129:
ْنَأ اوُعيِطَتْسَت ْنَلَو
antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampunlagi Maha Penyayang”.
Ayat ini menerangkan tentang penguatan syarat keadilan, yang mana tidak boleh jatuh dalam satu istri saja sedang yang lain seperti terkatung-katung. Secara logika, sebelum melakukan poligami terlebih dahulu dinilai kemampuan materinya, dan melakukan perhitungan secara matang. Sehingga ayat ini dijadikan sebagai pedoman sekaligus suatu peringatan bagi mereka yang mempunyai kehendak yang berkobar-kobar. Maka tidak boleh melakukan praktik poligami jika belum bisa memenuhi syarat adil (Zuhaili, 2004: 6680).
Selain itu, kalau ayat ini dikaji secara tekstual, hukum poligami
dapat ditoleransi jika suami bisa berbuat adil. Mayoritas ulama’
berpendapat bahwa adil hanya dalam kebutuhan materi.
35
Ayat 129 ini merupakan penjelasan dari ayat 3. Dengan begiatu, kebolehan beristri lebih dari satu harus dikaitkan dengan syarat adil tidaknya suami. Namun itu hanya dalam tataran teori. Pada tataran praktis, syarat itu sangat sulit terwujud. Perlakuan tidak adil tersebut pasti terjadi diantara para istri. Maka, seolah-olah agama sengaja memasang syarat yang sangat sulit untuk dipenuhi, agar manusia tidak sembarangan melakukan poligami (Yasid, 2005: 351-353).
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW. tentang seorang suami yang berpoligami harus adil:
membagi giliran istri-istrinya dengan adil. Beliau bersabda,’Ya Allah
inilah pembagianku terhadap sesuatu yang aku berkuasa
melakukannya dan janganlah engkau mencela aku terhadap sesuatu
yang engkau berkuasa namun aku tidak berkuasa.” (H.R al-Arba’ah,
dan Ibnu Hibban, dan hakim menilai hadis ini shahih, tetapi Tirmidzi lebih kuat menilainya mursal)
36
hadis ini mursal dalam al-ilal al-kabir (2/488), begitu pula Tirmidzi
dan Abu Zur’ah dalam al-ilal (1279) karya Abu Hatim. Hadis ini
menekankan bahwa wajib berlaku adil terhadap para istri dalam perkawinan poligami (Mardani, 2012:270).
Dapat dinyatakan bahwa, kebolehan poligami hanya merupakan solusi ketika tujuan perkawinan sudah tidak terpenuhi. Poligami tidak dapat dijadikan sebagai ajang akan mengumbar hawa nafsu, apalagi dijadikan sebagai cita-cita hidup. Pada saat Nabi mempraktikkan poligami, meskipun dengan segala kelemahannya, Allah SWT tetap memberikan dukungan dan motivasi. Sudah tentu tujuan beliau bukanlah untuk mengumbar birahi. Akan tetapi ada tujuan kemaslahatan yang diharapkan. Dengan demikian, asalkan ada tujuan kemaslahatan, disamping itu kesejahteraan dan kerukunan rumah tangga terpenuhi, tidak sampai menimbulkan terlantarnya istri kedua
dan selanjutnya, juga anak-anaknya, maka poligami
diperbolehkan,bisa di amini. Bahasa lainnya pintu poligami tertutup, tapi tidak terkunci (Yasid, 2005: 355).
3. Rukun dan Syarat Adil
Telah kita tahu bahwasanya rukun dan syarat dari pernikahan
pertama yang ditetapkan dan disyari’atkan dalam Islam, juga menjadi
rukun pernikahan yang kedua dan selanjutnya atau poligami. Sebab,
37
jika seseorang ingin melakukan poligami, maka harus memenuhi persayaratan dan rukun pernikahan, diatambah dengan syarat yang disebutkan oleh para Ulama, yakni:
a. Jumlah istri yang paling banyak adalah empat.
Sebagaimana yang telah dijelasakan sebelumnya, Allah SWT memperbolehkan adanya poligami dengan batasan hanya empat istri. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT surat
an-Nisa’: 4. Juga hadis dari Nabi SAW tentang kisah Ghailan ibnu
Salamah ats-Tsaqafi.
b. Bisa berbuat dan berlaku adil bagi para istri.
Secara bahasa, adil adalah inshaf, yaitu memberi seseorang
apa yang menjadi haknya dan mengambil darinya apa yang menjadi kewajibannya. Adapun adil diantara para istri dalam
bahasa syari’at adalah menyamakan para istri dalam hal mabit
(bermalam/ menginap), makan, minum, tempat tinggal, dan pakaian.
Hukum berlaku adil dalam urusan yang disebutkan diatas adalah fardhu atau wajib. Jadi, meninggalkannya adalah dosa dan pelanggaran. Dalil tentang syarat kedua ini jelas sekali dari firman
Allah SWT surat an-Nisa’:129 yang telah disebutkan pada
38
namun semata-mata pemberian Allah SWT yaitu adil dalam masalah cinta dan kecondongan hati. Oleh karena itu, ahli tafsir mengatakan bahwa ayat tersebut adalah kalian tidak akan sanggup berlaku adil dalam menyamakan rasa cinta dan kecondongan hati, sebab hal itu bukanlah hasil usaha kalian walaupun kalian bersungguh-sungguh untuk menyamakan cinta di antara para istri mereka.
c. Adanya kemampuan jasmani dan nafkah dalam bentuk harta.
Kemampuan jasmani disini dijelaskan bahwa sang suami harus mempunyai dan bisa memenuhi kebutuhan pernikahan. Dalam hal kemampuan materi dalam pernikahan mencakup makanan, minuman dan tempat tinggal. Dengan demikian suali dituntut bisa bertanggung jawab memberikan kebutuhan hidup para istrinya. Karena itu, apabila seorang laki-laki tidak mampu menafkahi istri lebih dari satu, maka tidak halal baginya menikah lagi. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan fuqaha dalam hal
kebutuhan primer bagi sang istri
(http://www.inpasonline.com/new/poligami-dalam-pandangan-liberal-dan-ulama/, diakses pada 18 September 2015, 08.15).
4. Sebab Kecenderungan Terjadinya Poligami
39
Baik itu sebabnya dari pihak suami maupun karena pihak istri. Dalam
kitab al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu karya Wahbah Zuhaili (2004:
6669-6670), menerangkan ada beberapa sebab terjadinya suami melakukan poligami, antara lain:
a) Istri mandul atau mengidap suatu penyakit
Bila seorang suami mempunyai seorang istri yang mandul, sedangkan ia menginginkan seorang anak. Maka termasuk kemaslahatan sang istri dan kemaslahatan mereka (suami istri), hendaknya sang suami menetapkan istri pertamanya, kemudian menikahi wanita lain. Terlebih lagi jika status sang suami sebagai orang terpandang dan memiliki kekayaan, misalnya seorang raja atau amir (al-Maraghi, 1974: 326-327).
Atau jika sang istri telah lama mengidap penyakit yang parah, walaupun istri tidak berbuat nusyuz dan akhlak serta tingkah lakunya baik, akan tetapi sang suami mengharapkan seorang anak maka tidak tertutup hukum jika sang suami menikah lagi. Namun demikian tetap dengan syarat sang suami bisa adil nantinya.
Sebab lain yang memungkinkan seorang suami melakukan
poligami adalah karena istri nusuz (durhaka) kepada suami.
40 sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan”(Q.S. An-Nisa’:128).
b) Bila sang istri telah tua, dan mencapai umur yai’sah (tidak haid) mampu pula menjamin kebutuhan anak-anaknya, termasuk pendidikan mereka (al-Maraghi, 1993: 327).
c) Bila sang suami mendapat kapabilitas yang lebih.
41
karena masa haid sang istri, umpamanya terlalu panjang, hingga memakan waktu sebagian besar dari bulannya. Sehingga kini posisi suami dihadakan pada dua alternatif. Terkadang ia harus menikah lagi atau akan terjerumus dalam perbuatan zina yang akibatnya menyia-nyiakan agama, harta benda, dan kesehatannya. Akibatnya lebih berbahaya bagi sang istri jika dibandingkan dengan sang suami menikah lagi dan memadunya dengan istri lain yang disertai dengan keadilan sang suami terhadap semuanya, sebagaimana yang menjaadi syarat dibolehkannya poligami dalam Islam (al-Maraghi, 1974: 327).
42
terjadi seteah melahirkan dan dalam masa penyusuan, sungguh mengharukan.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sayyid Sabiq (1980: 181-182), Negara merupakan pendukung agama, dimana ia seringkali menghadapi bahaya peperangan sehingga banyak dari penduduknya yang meninggal. Oleh karena itu, harus ada badan
yang memperhatikan janda-janda para syuhada’ ini. Tak ada jalan
yang baik untuk mengurusi janda-janda itu kecuali dengan mengawini mereka, di samping juga untuk menggantikan jiwa yang telah tiada. Hal ini merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan dengan memperbanyak keturunan dan poligami merupakan salah satu faktor memperbanyak jumlah ini. Demikian adalah alasan yang terjadi di masa dahulu.
43
hak untuk hidup berkeluarga. Dalam kondisi demikian, poligami harus dipandang sebagai hak bagi kaum perempuan yang belum menikah sekaligus sebagai tanggung jawab kaum laki-laki dan kaum perempuan yang telah menikah (Mulia, 2007: 53-54).
Dengan demikian, ringkasnya adalah boleh melakukan praktik poligami jika dalam keadaan terpaksa, atau karena suatu kebutuhan, atau adanya suatu halangan, atau pula demi mengabulkan kemaslahatan syariat. Namun dengan catatan pula,
sang suami harus bisa berlaku adil, sebagai syarat
44 BAB III
TELAAH MATAN HADIS
A. Kompilasi Dan Arti Matan Hadis
1. Redaksi Dan Arti Matan Hadis
Hadis tentang larangan poligami yang penulis kaji, setelah dicari dalam CD room Hadis Sharif dan diteliti dalam kitab aslinya, penulis mendapatkan redaksi hadis tersebut dalam 6 kitab dari kutub at-tis’ah yakni terdapat dalam kitab:
a. Shahih Bukhori (Hadis ke 5230 bab 110)
َق َةَمَرْخَم ِنْب ِرَوْسِمْلا ْنَع َةَكْيَلُم يِبَأ ِنْبا ْنَع ُثْياللا اَنَ ثادَح ُةَبْيَ تُ ق اَنَ ثادَح
Artinya: “Qutaibah bercerita kepada kita, Lais bercerita kepada kita dari Ibnu Abi Mulaikah dari al-Miswar bin Makhramah berkata: aku mendengar Rasulullah SAW
bersabda diatas mimbar: “Beberapa keluarga Bani
Hisyam bin al-Mughirah meminta izin untuk menikahkan putri mereka dengan Ali bin Abi Tholib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan, sungguh tidak aku izinkan, kecuali kalau Ali bin Abi Thalib mau menceraikan putriku, lalu mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku
45
b. Shahih Muslim (Hadis ke 2449 No 93 Bab 15)
ْياللا ْنَع اَمُه َلَِك ٍديِعَس ُنْب ُةَبْيَ تُ قَو َسُنوُي ِنْب ِهاللا ِدْبَع ُنْب ُدَمْحَأ اَنَ ثادَح
Abdullah bin Ubaidillah bin Abi Mulaikah Al-Qurasiyy At-Taimiyy bercerita kepadaku sesungguhnya al-Miswar bin Mukhromah bercerita kepadanya sesungghunya ia mendengar Rasulullah SAW diatas mimbar dan beliau bersabda:”Sesungguhnya beberapa keluarga Bani Hisyam bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk menikahkan putri mereka dengan Ali bin Abi Tholib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan kepada mereka, sekali lagi tidak akan mengizinkan kepada mereka, sungguh tidak aku izinkan kepada mereka, kecuali kalau Ali bin Abi Thalib mau menceraikan putriku, lalu mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga” (Muslim, 1992: 110 juz 3).c. Sunan Tirmidzi (Hadis ke 3867 Bab 61)
46
ِنْب ِرَوْسِمْلا ْنَع َةَكْيَلُم يِبَأ ِنْبا ْنَع ٍراَنيِد ُنْب وُرْمَع ُهاَوَر ْدَقَو ٌحيِحَص ٌنَسَح
اَذَه َوْحَن َةَمَرْخَم
Artinya: “Qutaibah bercerita kepada kita, Lais bercerita kepada kita dari Ibn Abi Mulaikah dari al-Miswar bin Mukhromah berkata, aku mendengar bahwa nabi bersabda: :”Sesungguhnya beberapa keluarga Bani Hisyam bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk menikahkan putri mereka dengan Ali bin Abi Tholib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan, sungguh tidak aku izinkan, kecuali kalau Ali bin Abi Thalib mau menceraikan putriku, lalu mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah
menyakiti hatiku juga” (Abu ‘Isa berkata hadis ini Hasan
Shahih dan sebagaimana Amr bin Dinar dari Ibn Abi Mulaikah dari al-Miswar bin Mukhromah) (Tirmidzi, 209: 655 juz 5).
d. Sunan Ibnu Majjah (Hadis ke 1998 Bab 56)
ُدَمْحَأ اَنَ ثادَح
kepada kita, Abdullah bin Ubaidillah bin Abi Mulaikah al-Qarasiyy at-Tamiyy sesungghunya al-Miswar bin Mukhromah berkata kepadanya sesungguhnya dia mendengar Rasulullah SAW diatas mimbar bersabda:47
Thalib mau menceraikan putriku, lalu mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku
juga”(dan dikabarkan dalam hadis Ahmad (Ibnu Majah, 207: 643 Juz 1).
e. Sunan Abu Daud (Hadis ke 2071 Bab 56/6)
يِبَأ ِنْب ِهاللا ِدْبَع ْنَع ٍدْعَس ُنْب ُثْياللا اَنَ ثادَح ُّيِرْصِمْلا ٍداامَح ُنْب ىَسيِع اَنَ ثادَح
Artinya: “’Isa bin Hammad al-Misriyy bercerita kepada kita, Lais
bin Sa’id bercerita kepada kita dari Abdillah bin Abi
Mulaikah dari al-Miswar bin Mukromah berkata aku mendengar Rasulullah SAW dan beliau diatas mimbar,
bersabda:” Sesungguhnya beberapa keluarga Bani Hisyam bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk menikahkan putri mereka dengan Ali bin Abi Tholib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan kepada mereka, sekali lagi tidak akan mengizinkan kepada mereka, sungguh tidak aku izinkan kepada mereka, kecuali kalau Ali bin Abi Thalib mau menceraikan putriku, lalu mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah
menyakiti hatiku juga” (Abu Daud, 1996:92 juz 2).
f. Musnad Imam Ahmad (Hadis no 18164)