• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP JUAL SAWAH TAHUNAN (STUDI KASUS DI DESA PURWOREJO KECAMATAN SURUH KABUPATEN SEMARANG) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP JUAL SAWAH TAHUNAN (STUDI KASUS DI DESA PURWOREJO KECAMATAN SURUH KABUPATEN SEMARANG) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP JUAL SAWAH

TAHUNAN (STUDI KASUS DI DESA PURWOREJO

KECAMATAN SURUH KABUPATEN SEMARANG)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh:

Ratih Nurmawati

NIM : 21411031

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARI

AH

FAKULTAS SYARI

AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)

Moto Penulis

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang

batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan

janganlah kamu membunuh dirimuSesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu (Qs. An-Nisa:

29)

---o---

Jadilah orang yang selalu memberikan manfaat bagi diri sendiri maupun untuk orang lain

---o---

(6)

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan dengan cinta dan ketulusan hati karya ilmiah berupa skripsi ini kepada :

1. Kedua Orang tuaku Bapak Suwarli dan Ibu Partiyem tercinta, yang telah mendoakan dan memberi kasih sayang serta semangat kepadaku selama ini.

2. Kakakku M. Anjar Bektinawan, kakak Iparku sri widyaningrum serta adik-adik-adikku Tri Kusumawati, Rizal Fauzi dan Muhammad Sadewa Wicaksono, yang telah mendoakan agar selalu tetap semangat dalam menuntut ilmu dan menjalani kehidupan di dunia ini.

3. Almarhum kakek dan nenekku yang selalu mendoakan aku dan yang selalu sayang denganku semasa hidupnya.

4. Seseorang yang telah memberikan kehidupan bermakna, pencerahan dan motivasi yang tinggi sehingga penulis selalu semangat dalam menjalani kehidupan.

5. Para guru sejak Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi yang penulis sayangi dan hormati dalam memberikan ilmu dan membimbing dengan penuh kesabaran.

(7)

KATA PENGANTAR

Rasa syukur yang dalam penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, karena

berkat rahmat-Nya Penulisan Skripsi ini dapat penulis selesaikan sesuai dengan

yang diharapkan. Penulis juga bersyukur atas rizki dan kesehatan

yang telah diberikan oleh-Nya sehingga penulis dapat menyusun penulisan skripsi

ini.

Sholawat dan salam selalu penulis sanjungkan kepada Nabi, Kekasih,

Spirit Perubahan, Rasullah Muhammad SAW beserta segenap keluarga dan para

sahabat-sahabatnya, syafa’at beliau sangat penulis nantikan di hari pembalasan

nanti.

Penulisan skripsi ini disusun untuk diajukan sebagai salah satu persyaratan

guna memperoleh gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy) dalam ilmu syari’ah, Fakultas

Syari’ah, Jurusan S1 Hukum Ekonomi Syari’ah yang berjudul: “Tinjauan

Hukum Islam Terhadap Jual Sawah Tahunan di Desa Purworejo Kecamatan

Suruh Kabupaten Semarang)”. Penulis mengakui bahwa dalam menyusun

Penulisan Skripsi ini tidak dapat diselesaikan tanpa adanya bantuan dari berbagai

pihak. Karena itulah penulis mengucapkan penghargaan yang setinggi-tingginya,

ungkapan terima kasih kadang tak bisa mewakili kata-kata, namun perlu kiranya

penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd, selaku Rektor IAIN Salatiga

2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syari’ah di IAIN

(8)

3. Bapak Ilya Muhsin, S.H.i., M.Si, selaku Wakil Dekan Fakultas Syari’ah

Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama yang selalu memberikan ilmunya

sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan lancar

dan baik.

4. Ibu Evi Ariyani, M.H, selaku Ketua Jurusan S1 Hukum Ekonomi Syari’ah

di IAIN Salatiga.

5. Bapak Prof. Dr. H. Muh Zuhri, M.A. selaku Dosen Pembimbing yang

selalu memberikan saran, pengarahan dan masukan berkaitan penulisan

skripsi sehingga dapat selesai dengan maksimal sesuai yang diharapkan.

6. Ibu Lutfiana Zahriani, M.H, selaku Kepala Lab. Fakultas Syari’ah IAIN

Salatiga yang memberikan pemahaman, arahan dalam penulisan skripsi

sehingga penulisan skripsi ini bisa saya selesaikan. .

7. Bapak dan Ibu Dosen selaku staf pengajar dan seluruh staf adminitrasi

Fakultas Syari’ah yang tidak bisa kami sebut satu persatu yang selalu

memberikan ilmunya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

tanpa halangan apapun.

8. Sahabat-sahabatku tercinta Cenul, Ririf, Fajar, Pipit, Ser, Mayda, Jamilah,

Ayu, yang selalu mendukung penulis dalam menyusun skripsi ini.

9. Teman-teman KKN yang di Desa Siwal tahun 2015 yaitu Ovy, Ika, Sulis,

Mas Ilmi, Lutfi, Mbolet, Mbahhe, Mas Edy, Mas Zul, yang telah

(9)

10.Keluarga yang di Desa siwal, Bapak dan Ibu Bejo, Bapak Lurah, Bapak

Carik, Mbak Putri, yang telah memberikan semangat dan dukungannya

dalam menyusun skripsi.

11.Teman-teman Jurusan S1 Hukum Ekonomi Syari’ah angkatan 2011 di

IAIN Salatiga yang telah memberikan banyak cerita selama menempuh

pendidikan di IAIN Salatiga.

Semoga Allah SWT membalas semua amal kebaikan mereka dengan

balasan yang lebih dari yang mereka berikan kepada penulis, agar pula senantiasa

mendapatkan maghfiroh, dan dilingkupi rahmat dan cita-Nya. Amiin.

Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa penulisan skripsi ini masih jauh

dari sempurna, baik dari segi metodologi, penggunaan bahasa, isi, maupun

analisanya, sehingga kritik dan saran yang konstruktif, sangat penulis harapan

demi enaknya penulisan skripsiini dibaca dan dipahami.

Akhirnya, penulis berharap semoga skrispi ini bermanfaat khususnya bagi

penulis sendiri dan umumnya bagi pembaca.

Salatiga, 16 September 2015

(10)

ABSTRAK

Nurmawati, Ratih. 2015. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Jual Sawah Tahunan (Studi Kasus di Desa Purworejo Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang)

Skripsi.Fakultas Syari’ah. Jurusan. S1 Hukum Ekonomi Syari’ah. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing: Prof. Dr. H. Muh. Zuhri, M.A.

Kata Kunci : Hukum Islam, Jual Sawah Tahunan

Manusia merupakan mahluk sosial, yang mana manusia tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri dan manusia juga membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka, masyarakat Desa Purworejo melakukan perjanjian jual sawah tahunan. Jual awah tahunan adalah praktik antara petani dan pembeli untuk menggarap sawah dengan waktu tempo tertentu. Dimana petani menentukan harga sawah dan juga waktu temponya. Maka dari itu penulis mengkaji tentang tinjauan hukum Islam terhadap jual sawah tahunan di Desa Purworejo Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang. Pertanyaan yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1) Bagaimana pelaksanaan jual sawah tahunan dalam masyarakat Desa Purworejo Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang? (2) Bagaimana kesesuaian transaksi jual sawah tahunan dalam masyarakat Desa Purworejo Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang dengan akad jual beli dan Ijarah (sewa menyewa).

Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulakan dengan teknik owawancara, setelah data terebut terkumpul lalu data tersebut akan diolah. Kemudian akan analisis menggunakan deskriptif analisis dengan menggunakan pendekatan normatif yuridis untuk memperoleh kesimpulan dan dianalisis menurut hukum Islam.

(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN... iv

HALAMAN MOTO……… v G. Metode Penelitian... 12

H. Sistematika Penulisan... 16 BAB II KERANGKA TEORITIK

(12)

DAFTAR TABEL

TABEL 3.1 : Jumlah Sekolah, Guru Dan Murid Di Desa Purworejo

TABEL 3.2 : Keadaan Tingkat Pendidikan

TABEL 3.3 : Tempat Ibadah

TABEL 3.4 : Mata Pencaharian Di Desa Purworejo

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dalam hukum Islam kita mempelajari tentang muamalah,

munakahat, waris dan masih banyak lagi. Di sini kita akan mempelajari

tentang muamalah, sebagaimana diterapkan dalam kehidupan sehari-hari

seperti membuka peluang bisnis, menjalin bisnis, mengembangkan produk

dan masih banyak lagi.

Dunia usaha yang semakin berkembang pesat banyak

kesepakatan untuk mengadakan transaksi jual beli yang

dituangkan dalam perjanjian. Menurut Yan Pramadya Puspa yang

dikutip oleh Chairuman (2004:1), bahwa perjanjian dalam bahasa arab

adalah Mu’ahadah Ittifa’, Akad atau kontrak dan dapat diartikan sebagai

perjajian atau persetujuan adalah suatu perbuatan di mana seorang atau

lebih mengikat dirinya terhadap seseorang lain atau lebih.

Menurut Abu al-fath yang dikutip oleh Anwar (2010: 68) bahwa

Istilah perjanjian dalam hukum Islam adalah akad. Akad berasal dari kata

al-‘aqd yang memiliki arti menngikat, menyambung atau menghubungkan (ar-rabt).

Menurut Mursyil al-Hairan yang dikutip oleh Anwar (2010:68)

bahwa akad merupakan pertemuan ijab dan yang diajukan oleh salah satu

(14)

Menurut Henry yang dikutip oleh Anwar (2010;1) bahwa

perjanjian akad mempunyai arti penting dalam kehidupan masyarakat dan

merupakan dasar dari sekian banyak aktivitas keseharian kita. Perjanjian

akad bukan hanya untuk bisnis dan usaha saja, akan tetapi akad juga dapat

menyatukan seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam satu ikatan

dalam kehidupan bersama.

Aktivitas ekonomi di Desa Purworejo yaitu tentang akad jual

sawah tahunan, dilakukan oleh penduduk yang mayoritas beragama Islam.

Mereka beranggapan bahwa dalam akad jual sawah tahunan tersebut

termasuk jual beli atau sewa menyewa.

Praktek jual sawah tahunan ini membingungkan dalam hukum

Islam, karena dalam akad jual beli atau ijarah ada aturan-aturannya

sehingga sah hukumnya menurut hukum Islam.

Sewa menyewa (Al ijarah) berasal dari kataal Ajru yang berarti Al

‘Iwadhu (ganti). Menurut pengertian Syara’, Al Ijarah adalah suatu jenis

akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian (Sabiq, 1987:1).

Dalam istilah Hukum Islam orang yang menyewakan disebut

sebagai “Mu’ajjir”, sedangkan orang yang menyewa disebut dengan

Ma’jur” dan uang sewa atau imbalan atas pemakaian manfaat barang

(15)

Adapun landasan hukum dalam sewa menyewa yaitu dalam Al-dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.

Syarat sah perjanjian sewa menyewa yaitu: masing-masing pihak

rela melakukan perjanjian sewa menyewa, harus jelas dan terang mengenai

obyek yang diperjanjikan, obyek sewa menyewa dapat digunakan sesuai

peruntukanya, obyek sewa menyewa dapat diserahkan dan kemanfaatan

obyek yang diperjanjikan adalah yang dibolehkan dalam islam

(Chairuman, 2004: 53-54).

. Jual menunjukkan adanya perbuatan menjual sedangkan beli

menunjukkan perbuatan membeli. Maka dari itu jual beli menunjukkan

perbuatan dalam satu peristiwa, yaitu satu pihak menjual dan pihak lain

yang membeli, maka dalam hal ini terjadinyalah peristiwa jual beli

(Chairuman, 1996: 33).

Jual beli (al-bay’) secara bahasa adalah memindahkan hak milik

terhadap benda dengan akad saling mengganti(Aziz, 2010:23). Menurut

pengertian syari’at jual beli ialah pertukaran harga atas dasar saling rela

(16)

Secara terminologi ada beberapa definisi jual beli yang

dikemukakan oleh para ulama fiqh, sekalipun subtansinya dan tujuan

masing-masing definisi adalah sama, yaitu tukar menukar barang dengan

cara tertentu atau tukar menukar sesuatu dengan sepadan menurut caranya

yang benar. Jual beli (al-Buyu) adalah pertukaran harta atas dasar saling rela atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan (berupa

alat tukar yang sah) (Dewi dkk, 2006: 99).

Adapun landasan hukum tentang jual beli, yaitu firman Allah

dalam surat Al-Baqarah ayat 275 yang berbunyi:

Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba

Maka di sini sudah jelas bahwa Allah telah memperbolehkan jual

beli akan tetapi dalam jual beli tersebut tak boleh memperoleh keuntungan

yang berlebihan, dikarenakan keuntuugan yang berlebihan itu adalah riba

karena riba itu diharamkan oleh Allah. Dan tidak lain juga bahwa dalam

jual beli harus bebas dari yang namanya riba.

Perilaku jual beli merupakan suatu perbuatan hukum yang

memiliki konsekuensi terjadi peralihan hak atas sesuatu barang dari pihak

penjual kepada pihak pembeli, maka dari itu dalam suatu perbuatan hukum

harus dipenuhi rukun dan syarat sah jual beli (Chairuman, 1996: 34).

(17)

102). Hal tersebut harus terpenuhi semua, jika salah satu rukun dan syarat

sah tidak terpenuhi maka, hal tersebut dikatakan jual beli tidak sah

menurut hukum Islam.

Jual beli dalam bentuk khusus terbagi menjadi 3 bagian

yaitu:Murabahah (jual beli di atas harga pokok), As salam/ As salaf (jual beli dengan pembayaran dimuka) dan Al Istishna (jual beli pesanan) (Gemala, 2006: 108-112)

Tradisi jual beli yang sering dilakukan dalam masyarakat adalah

jual beli as salam karena jual beli tersebut telah menjadi kebiasaan. Jual ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.

Syarat pembayaran (Modal) yaitu diketahui jelas jenisnya,

diketahui jelas kadarnya dan diserahkan di majelis. Adapun syarat barang

yang disalamkan yaitu: bahwa barang tersebut ada dalam tanggungan ,

barang tersebut berkriteria yang bisa memberkan kejelasan kadar dan

sfat-sifat yang membedakan gharar dan terhindar dari perselisihan dan ada

(18)

Hal tersebut sangat berbeda dengan praktek jual sawah tahunnan

yang telah dilakukan oleh masyarakat di Desa Purworejo Kecamatan

Suruh Kabupaten Semarang.

Mayoritas mata pencaharian masyarakatnya Desa Purworejo adalah

adalah bertani. Mereka memiliki tingkat perekonomian yang sangat

berbeda. Dalam memenuhi suatu kebutuhan mereka tidaklah lepas dengan

bantuan orang lain.

Tidak semua masyarakat desa Purworejo bekerja sebagai petani,

ada juga yang bekerja sebagai guru, buruh pabrik dan masih banyak lagi.

Sebagian besar dari mereka adalah bekerja sebagai petani, terdapat

beberapa petani yang tidak menggarap sawahnya sendiri tetapi mereka

menggarap sawah milik orang lain dengan bagi hasil, ada juga yang

menjual sawah dengan sistem tahunan.

Disamping itu hasil dalam bertani tidaklah selalu baik dalam setiap

panennya, dan mereka juga membutuhkan biaya dalam mencukupi

kebutuhan mereka dalam kehidupan sehari-hari mereka. Maka di samping

itu ada sebagian pemilik sawah yang menjual sawahnya dengan sistem

tahunan, karena pemilik sawah tersebut benar-benar membutuhkan biaya

dalam mencukupi keseharian.

Yang dimaksud jual sawah tahunan tersebut adalah dimana A

sebagai penjual. Sedangkan B sebagai pembeli sawah tersebut. A berkata

(19)

berkata bahwa saya akan membeli sawah tersebut tahunan dengan satu

tahun 2 garapan sebesar Rp.600.000, jadi B menggarap sawah A selama 6

tahun. Si A menjawab bahwa ia setuju dengan perjanjian tersebut

dikarenakan Si A sedang membutuhkan uang tersebut untuk keperluan

sehari-hari.

Dalam hal ini terjadi ketidakadilan dan kerugian bagi seorang

penjual, hal tersebut disebabkan penjual menjual dengan harga murah.

Ketidakadilan itu dikarenakan pembeli lebih pandai dalam menggarap

sawah daripada penjual. Dari keterangan diatas menurut penulis hal

tersebut sangat merugikan bagi pembeli. Walaupun pratek tersebut sangat

merugikan namun, kenyataannya pratek jual sawah tahunan tetap masih

berlangsung dan dilakukan oleh warga desa Purworejo.

Pelaksanaan transaksi jual sawah tahunan antara penjual dan

pembeli dilakukan secara lisan hanya berdasarkan saling percaya satu

dengan yang lainnya, tanpa ada saksi dalam pelaksanaan jual sawah

tahunan tersebut. Dalam perjanjian tersebut penjual menjual sawah

tahunan mendapatkan uang, dan pembeli tersebut mendapatkan sawah

untuk digarap dalam kurun waktu beberapa tahun dan hasil panen sawah

tersebut dimiliki oleh pembeli sawah tersebut. Setelah perjanjian jual

sawah tersebut selesai maka sawah tersebut akan kembali lagi ke penjual

(20)

Dari latar belakang di atas penulis tertarik untuk mengadakan

penelitian dan membahas tentang pelaksanaan perjanjian jual sawah

tahunan Desa Purworejo Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang untuk

diketahu secara jelas dan kepastiannya dalam hukum Islam.

Untuk membahas permasalahan ini peneliti mengangkatnya

dalam bentuk skripsi dengan judul: TINJAUAN HUKUM ISLAM

TERHADAP JUAL SAWAH TAHUNAN di DESA PURWOREJO

KECAMATAN SURUH KABUPATEN SEMARANG

B. Fokus Penelitian

1. Bagaimana pelaksanaan akad jual sawah tahunan dalam masyarakat

Desa Purworejo Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang?

2. Bagaimana kesesuaian transaksi jual sawah tahunan dalam masyarakat

Desa Purworejo Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang dengan akad

jual beli an akad sewa menyewa?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pelaksanaan akad jual sawah tahunan dalam

masyarakat Desa Purworejo Kecamatan suruh Kabupaten Semarang?

2. Untuk mengetahui kesesuaian transaksi jual sawah tahunan dalam

mayarakat Desa Purworejo Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang

(21)

D. Kegunaan Penelitian

Agar tulisan ini dapat memberikan hasil yang berguna secara

keseluruhan. Maka dari itu penulis dapat memberikan manfaat adalah:

1. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan kajian yang lebih lanjut

bagi akademisi dan bagi masyarakat umum dan memberikan

khasanah ilmu tentang hukum Islam tentang suatu pejanjian dalam

akad jual sawah tahunan yang benar di Desa purworejo Kecamatan

Suruh Kabupaten Semarang.

2. Kegunaan Praktis

Dengan adanya penelitian ini kita dapat memperkaya ilmu

tentang pengetahuan hukum terhadap permasalahan yang

menyangkut dengan jual sawah tahunan pada masyarakat Desa

Purworejo Kecamata Suruh Kabupaten Semarang.

E. Penegasan Istilah

Agar tidak terjadi salah pengertian dalam pemahaman penelitian

yang akan peneliti teliti ini, maka di pandang perlu untuk menjelaskan

beberapa istilah yang ada hubungannya dengan judul penelitian ini yaitu:

1. Hukum Islam

Hukum Islam yaitu rangkaian dari kata “hukum” dan kata

“Islam” untuk mengetahui arti hukum Islam perlu diketahui lebih

dahulu arti kata hukum. Hukum yaitu seperangkat peraturan

(22)

itu berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya. Hukum Islam

artinya seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan sunah

Rasul tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini serta

mengikat untuk semua yang beragama Islam (Syarifudin,

1997:4-5).

Menurut Rifyal Ka’bah dikutip oleh Hirsanudin(2008: 6),

pengertian hukum dalam Islam tidak hanya menyangkut aturan

yang membutuhkan kekuasaan negara untuk pelaksanaannya,

tetapi semua perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat, baik yang

berhubungan yang berhubungan langsung maupun tidak langsung

dengan negara. Hukum menurut Al-Qur’an adalah ketetapan Allah

dan legislasi manusia yang bertujuan untuk menegaakkan keadilan

dalam kehidupan pribadi masyarakat dan negara.

Menurut Amir Syarifudin yang dikutip oleh Hirsanudin

(2008: 7) bahwa hukum Islam berarti seperangkat aturan

berdasarkan wahyu Allah dan suunah Rasul tentang tingkah laku

manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat

untuk semua umat yang beraga Islam.

2. Jual Tahunan sawah

Jual tahunan sawah adalah menjual sawah dengan

memberikan waktu beberapa tahun dan beberapa kali sawah

(23)

F. Tinjauan Pustaka

Peneltian ini tidak mengulang atau duplikasi dari penelitian yang

ada. Karena penelitian yang penulis teliti ini mendiskripsikan analisis

tentang tinjauan hukum Islam terhadap jual sawah tahunan.

Beberapa peneliti terdahulu yang menjadi acuan dan perbandingan

bagi penelitian ini antara lain yaitu terdapat beberapa penelitian yang

membahas tentang jual beli.

Skripsi saudara Dodik Kusbianto (2009) . Fakultas Syari’ah: IAIN

Surabaya. Yang berjudul ”Tinjauan Hukum Islam terhadap Penetapan

Syarat dan Akibatnya dalam Transaksi Jual Beli Sawah di Desa

Karangrejo Kec. Gempol-Pasuruan” yang menekankan hukum Islam

terhadap jual beli yang menggunakan syarat, yaitu; a) membayar perskot

10%, b) membayar sisanya sesuai waktu, apabila melebihi waktu yang

telah ditentukan maka perskot akan hilang, dan c) pembeli tidak dapat

lansung menggunakan sawah tersebut.

Dalam skripsi saudara Roshida Mufti (2009) Jurusan Mualamah.

Fakultas syariah: IAIN Sunan Ampel. Yang berjudul “Pandangan Tokoh

Agama Dalam Praktik Transaksi Jual Beli Sawah Tahunan Studi Analisis

HukumIslam di Desa Madigondo Kecamatan Takeran Kabupaten

Magetan”, ditekankan pada jual beli sawah yang penjualan dan

pembeliannya secara tahunan. Dengan kesepakatan apabila telah selesai

batas waktunya, lahan sawah itu akan kembali kepada pemiliknya dengan

(24)

Dalam Skripsi saudara Siti Nurcahyati (2010) . Jurusan Muamalah.

Fakulta Syariah: IAIN WALISONGO. Yang berjudul “Tinjauan Hukum

Islam Terhadap Perjanjian Nguyang Pelaksanaannya Di Desa Tlogorejo

Kecamat Tegowanu Kabupaten Grobogan” yang menjelaskan tentang

perjanjian nguyang dan pelaksanaannya yaang menekankan pada jual beli

salam.

Dengan demikian, berbagai keragaman penelitian yang terdahulu

akan semakin memperjelas tentang posisi tentang jual beli. Maka dari itu

permasalah yang diteliti oleh penulis adalah untuk mengetahui tentang

perjanjian jual sawah tahunan di Desa PurworejoKec. Suruh Kab.

Semarang dan kesesuaian perjanjian jual sawah tahunan tersebut dengan

hukum Islam.

G. Metode penelitian

1. Pendekatan dan jenis penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif

adalah tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif. Yaitu apa

yang dinyatakan oleh rinforman secara tertulis maupun secara lisan dan

perilaku yang nyata. Penelitian kualitatif, data yang penulis peroleh dari

lapangan baik data lisan tersebut berupa wawncara maupun data tertulis

(dokumen) (Moleong, 2005:6).

Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis

normatif. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang

(25)

berlaku atau tidak (Moleong, 2002: 8). Dengan pendekatan tersebut

saya mengetahui tentang pelaksanaan jual sawah tahunan di Desa

Purworejo Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang sudah sesuai dengan

hukum Islam atau belum.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah tempat dimana lokasi itu akan dilakukan.

Dalam penelitian ini, Lokasi penelitian Desa Purworejo Kecamatan

Suruh Kabupaten Semarang.

3. Kehadiran peneliti

Dalam penelitian ini penulis bertindak sebagai pengumpul data

dilapangan dengan menggunakan alat penelitian yang aktif dalam

mengumpulkan data-data di lapangan. selain peneliti yang dijadikan

alat pengumpulan data adalah dokumen-dokumen yang menunjang

keabsahan hasil penelitian serta alat-alat bantu lain yang dapat

mendukung terlaksananya penelitian, seperti kamera dan alat perekam.

Oleh karena itu kehadiran peneliti di lokasi penelitian sangat

menunjang keberhasilan suatu penelitian, alat bantu memahami

masalah yang ada, serta hubungan dengan informan menjadi lebih dekat

sehingga informasi yang didapat menjadi lebih jelas. Maka kehadiran

(26)

4. Sumber data

Dalam penelitian ini terdapat 2 (dua) sumber data yan digunakan

oleh peneliti yang terdiri dari:

a. Sumber Data Primer

Adalah sumber yang dapat memberikan informasi secara

langsung serta sumber data tersebut memiliki hubungan

denganmasalah pokok penelitian sebagai bahan informasi yang

dicari (Syafidin, 1998: 91). Data tersebut dapat diperoleh dari

wawancara masyarakat yang melakukan praktik jual sawah tahuan

di Desa Purworejo Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang. Data

tersebut diperoleh dari penjual dan pembeli.

b. Sumber data sekunder

Sumber data yang bersifat untuk melengkapi sumber daya

primer meliputi buku-buku, arsip dan hasil penelitian lain yang

berhubungan dengan masalah yang diteliti

5. Prosedur pengumpulan data

Yaitu prosedur yang sistematik dan standar untuk memperoleh data

yang diperlukan. Tehnik pengumpulan data yang peneliti gunakan

adalah sebagai berikut:

a. Wawancara

Adalah suatu proses tanya jawab secara lisan antara dua

orang atau lebih dengan berhadapan secara fisik yang satu dapat

(27)

Saya melakukan tanya jawab kepada 5 pihak, yaitu pihak

pembeli dan pihak penjual yang mempraktikkan Sawah Tahunan di

Desa Purworejo Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang dalam

rangka memperjelas teknik pengamatan baik tempat, proses dan

dalam hal yang terkait dengan penelitian ini.

6. Analisis data

Dalam menganalsis data, penulis menggunakan metode Kualitatif

deskriptif analitis yaitu suatu metode yang menjadi sebagai suatu

prosedur, pemecahan masalah yang diselidiki dengan manggambarkan

atau melukiskan suatu keadaan subyrek atau obyek dari dalam sebuah

penelitian berdasarkan fakta yang tampak sebagaimana adanya. Jadi

dalam penelitian ini, peneliti menggambarakan dengan keadaan yang

sebenarnya bagaimana perjanjian jual sawah tahunan tersebut apakah

sudah sesuai dengan hukum Islam belum.

7. Pengecekan keabsahan data

Untuk mengetahui data yang dikumpulkan dalam suatu penelitian

memiliki tingkat penelitian kebenaran atau tidak, maka akan dilakukan

pengecekan data yang disebut dengan vidalitas data. Untuk menjamin

suatu validitas data maka akan dilakukan triangulasi, yaitu teknik

pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan suatu yang lain diluar

data itu untuk keperluan pengecekkan atau sebagai pembanding

(28)

tersebut akan membuktikan apakah data tersebut sudah sesuai dengan

data yang dilapangan atau belum.

8. Tahap-tahap penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif jadi

tahap-tahapnya adalah sebagai berikut;

a. Tahap sebelum lapangan, yaitu hal-hal yang dilakukan sebelum

melakukan penelitian seperti pembuatan proposal penelitian,

mengajukan surat ijin penelitian, menetapkan fokus penelitian dan

sebagainya yang harus dipenuhi sebelum melakukan penelitian.

b. Tahap pekerjaan lapangan, yaitu mengumpulkan data dengan

melakukan interview dengan perilaku jual sawah tahunan

c. Tahap analisa data, apabila semua data telah terkumpul dan dirasa

cukup maka tahap selanjutnya adalah menganalisis data-data tersebut

dan mengambarkan hasil penelitain sehingga bisa memberi arti pada

objek yang diteliti.

d. Tahap penulisan laporan, yaitu apabila semua data telah terkumpul

dan telah dianalisis serta dikonsultasikan kepada pembimbing maka

yang dilakukan peneliti selanjutnya adalah menulis hasil penelitian

tersebut sesuai dengan pedoman penulisan yang telah ditentuakan.

H. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi, adapun sistematika penulisan penelitian ini

(29)

Bab pertama adalah Pendahuluan sebagai garis-garis besar

pembahasan isi pokok penelitian yang terdiri atas; latar belakang masalah,

perumusan masalah, tujuan penulisan penelitian, manfaat penelitian,

tinjauan pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian, dan sistematika

penulisan penelitian.

Bab kedua Bab kedua membahas mengenai tinjauan umum tentang

jual beli dan ijarah dalam Islam yang meliputi pengertian akad jual beli,

syarat dan rukun akad jual beli, beserta macam- macam jual beli,

larangan-larangan yang merusak jual beli, hikmah jual beli dan pengertian ijarah,

landasan hukum, rukum dan syarat, hikmah serta berakhirnya akad ijarah. Lokasi penelitian yang berkaitan dengan masalah yang diteliti adalah

jual sawah tahunan di desa purworejo kecamatan Suruh Kabupaten

Semarag. Oleh karena itu bab ketiga paparan gambaran umum yang

meliputi letak geografis, keadaan sosial dan ekonomi dan pelaksanaan jual

sawah tahunan di desa Purworejo Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang.

Bab keempat merupakan analisis terhadap perjanjian jual sawah

tahunan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Purworejo Kecamatn Suruh

Kabupaten Semarang dan analisis Hukum Islam terhadap perjanjian jual

sawah tahunan di Desa Purworejo Kecamatn Suruh Kabupaten Semarang.

Bab kelima merupakan penutup dari pembahasan skripsi ini

(30)

BAB II

KERANGKA TEORITIK

A. Tinjauan Umum Tentang Jual Beli

1. Pengertian Jual beli

Jual beli (al-bay’) secara bahasa menurut Aziz (2010:23) adalah memindahkan hak milik terhadap benda dengan akad saling

mengganti.

Jual beli menurut bahasa adalah memberikan sesuatu karena ada

pemberian (imbalan yang tertentu). Menurut Istilah jual beli adalah

pemberian harta karena menerima harta dengan ikrar penyerahan dan

jawab menerima (ijab dan qobul) dengan cara yang diizikan (Rifai, 183: 1976)

Menurut pengertian syari’at jual beli ialah pertukaran harga atas

dasar saling rela atau memindahkan miik sengan ganti yang

dibenarkan (Sabiq, 1987: 45). Secara terminologi ada beberapa definisi

jual beli yang dikemukakan oleh para ulama fiqh, sekalipun

subtansinya dan tujuan masing-masing definisi adalah sama, yaitu

tukar menukar barang dengan cara tertentu atau tukar menukar sesuatu

dengan sepadan menurut caranya yang benar. Jual beli (al-Buyu)

adalah pertukaran harta atas dasar saling rela atau memindahkan milik

dengan ganti yang dapat dibenarkan (berupa alat tukar yang sah)

(31)

Adapun definisi sebagian ulama yang mengatakan bahwa jual beli

adalah menukar satu harta dengan harta dengan harta lain dengan cara

khusus merupakan definisi yang bersifat toleran karena menjadikan

jual beli sebagai alat tukat menukar, sebab pada dasarnya akad tidak

harus saling tukar menukar akan tetapi menjadi bagian dari

konsekuensinya, kecuali jika dikatakan: “ Akad yang mempunyai sifat

saling tukat menukar artinya menuntut adanya satu pertukaran (Aziz,

2010: 25).

Menurut Ali fikri yang dikutip oleh Ahmad (2010: 175), bahwa

pendapat dari hanafiah menyatakan jual beli memiliki dua arti, yaitu:a

a. Arti khusus, jual beli adalah menukar barang dengan mata

uang (emas dan perak) dan semacamnya, atau tukar menukar

berang dengan uang atau semacamnya menurut cara yang

khusus.

b. Arti umum, jual beli adalah tukar menukar harta dengan harta

menurut cara yang khusus, harta mencakup zat (barang) atau

uang.

Sedangkan menurut Malikiyah, juga memiliki arti dalam jual beli,

yaitu:

a. Jual beli dalam arti umum adalah akad mu’awadhah (timbal

balik) ata manfaat dan bukan pula untuk menikmati

(32)

Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa jual beli adalah

akad mu’awadhah, yakni akad yang dilakukan oleh dua pihak,

yaitu penjual dan pembeli, yang obyeknya bukan manfaat,

yakni benda dan bukan untuk kenikmatan seksual (Ahmad,

2010: 176).

b. Ali Fikri yang dikutip oleh Ahmad 2010: 176), bahwa jual beli

dalam arti khusus yaitu akad mu’awadhah (timbal balik) atas

selain manfaat dan bukan pula untuk menikmati kesenangan,

bersifat mengalahkan salah satu imbalannya bukan emas dan

bukan perak, obyek jelas dan bukan utang.

Menurut Samudin yang dikutip oleh Ahmad (2010:176),

bahwa pendapat dari Syafi’iyah, jual beli menurut syara’

adalah suatu akad yang mengandung tukar menukar harta

dengan syarat yang akan diuraikan nanti untuk memperoleh

kepemilikan atas benda atau manfaat untuk waktu selamanya.

Ali fikri yang dikutip oleh Ahmad (2010: 177), bahwa jual

beli syara’ menurut Hanabilah adalah tukar menukar harta

dengan harta, atau tukar menukar manfaat yang mubah dengan

manfaat yang untuk waktu selamanya, bukan riba dan bukan

(33)

Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama mazhab

tentang intisari pengertian jual beli, yaitu:

a. Jual beli adalah mu’awadhah, yakni akad yang dilakukan oleh

dua pihak, di mana pihak pertama menyerahkan barang dan

pihak kedua menyerahkan imbalan, baik berupa uang ataupun

barang.

b. Syafi’iyah dan Hanabilah mengemukakan bahwa obyek jual

beli bukan hanya barang (benda), tetapi juga manfaat dengan

yarat tukar menukar berlakunya selamanya, bukan untuk

sementara. Dengan demikian ijarah (sewa-menyewa) tidak termasuk jual beli karena manfaat digunakan untuk sementara,

yaitu selama waktu yang ditetapkan alam perjanjian (Ahmad,

2010:177)

2. Landasan Hukum Jual Beli.

a. Al-Qur’an

1) Surat Al-Baqarah ayat 275:

(34)

Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.

.

janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.

Berdasarkan ayat ini, yang menjadi kriteria suatu

transaksi yang sah adalah adanya unsur suka sama suka

(35)

3) Surat Al-Baqarah ayat 282

dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha seseorang dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur. (HR. Bazzar dan dishahihkan oleh

Al-manusia pada umumnya. Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari

tidak semua orang memiliki apa yang dibutuhkannya. Apa yang

dibutuhkannya kadang-kadang berada di tangan orang lain.

(36)

kehidupan ekonomi akan berjalan engan poitif karena apa yang

mereka lakukan akan menguntungkan kedua belah pihak

(Muclich, 2010: 178-179).

3. Syarat Dan Rukun Jual Beli

a. Rukun Jual Beli

Menurut mazhab hanafi rukun jual beli adalah ijab dan qobul yang menunjukkan sikap tukar menukar atau saling memberi.

Ataupun dengan kata lain, bahwa ijab qobul adalah perbuatan yang menunjukkan kesediaan kedua belah pihak untuk

menyerahkan milik masing-masing kepada pihak lain dengan

menggunakan perkataan dan perbuatan (Muclich, 2010: 178-179).

Menurut jumhur ulama, rukun jual beli itu ada empat, yaitu:

1) Orang yang berakad

2) Sighat (ijab dan qobul)

3) Barang yang dibeli

4) nilai tukar pengganti barang (Sahrani, 2011: 67)

Dari keempat rukun tersebut mereka sepakati dalam setiap

jenis akad. Rukun jual beli menurut jumhur ulama, selain mazhab

Hanafi ada tiga yaitu:

1) Pihak yang berakad (aqidain) 2) Yang diakadkan (Ma’qud ‘Alaih)

(37)

Menurut Hasan yang dikutip oleh Sahrani (2011: 67) bahwa

menurut Mazhab Hanafi, orang yang berakad, barang yang dibeli

dan nilai tukar barang termasuk syarat jual beli bukan rukun.

b. Syarat-Syarat Sah Jual Beli.

1) Penjual dan pembeli (aqidain)

Yang dimaksud dengan aqidain adalah para pihak yang melakukan akad. Adapun syarat yang harus ada pada penjual

dan pembeli yaitu:

a) Berakal

b) kehendak sendiri (bukan paksaan)

Tidak sah jika ada unsur pemaksaan terhadap

hartanya tanpa kebenaran karena tidak ada kerelaan

darinya

c) Tidak mubazir (pemboros), sebab harta orang yang

mubazir itu ditangan walinya.

Dimana terdapat firman Allah SWT:

Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah

(38)

d) Baliq (berumur 15 tahun keatas/dewasa).

Anak yang kecil tidak sah jual belinya. Adapun

anak-anak yang sudah mengerti tetapi belum sampai

umur dewasa, menurut pendapat sebagian ulama,

mereka diperbolehkan berjual beli barang yang

kecil-kecil, karena ekalau tidak diperbolehkan sudah tentu

menjadi ksulitan dan kesukaran, sedangkan agama

Islam sekali-kali tidak akan menetapkan peraturan

yang mendatangkan kesulitan pada

pemiliknya(Sulaiman, 2005: 279).

e) Beragama Islam

Syarat ini khusus untuk pembelian benda-benda

tertentu, misalnya menjual hambanya yang beraga

Islam sebab kemungkinan pembeli tersebut akan

merendahkan abis yang beragama Islam, sedangkan

Allak SWT melarang orang-orang mukmin memberi

jalan kepada orang kafir untuk merendahkan mukmin (

(39)

2) Ma’uqud ‘Alaihi (harga/barang)

Manurut Aziz ( 2010: 47) bahwa Al-Ma’uqud alaih adalah

harga dan barang yang dihargakan. Untuk melengkapi

keabsahan jual beli, barang atau harga harus memenuhi

Syaratnya yaitu:

a) Suci

Barang-barang yang suci terbagi menjadi dua

bagian, yaitu suci tidak bermanfaat dan suci lagi

bermanfaat. Adapun suci tetapi tidak bermanfaat seperti

serangga, binatang buas yang tidak digunakan kecuali

untuk berburu, burung yang tidak dapat dimakan dan

diburu seperti gagak dan yang tidak dapat dimakan seperti

burung hantu, maka tidak boleh dijual karena tidak ada

manfaat dan tidak ada nilainya, maka mengambil harganya

sama dengan memakan harta orang lain dengan cara yang

batil dan memberikan harta adalah kebodohan (Aziz,

2010: 48).

Barang najis tidak sah dijual dan tidak boleh

dijadikan uang untuk membeli, seperti kulit binatang atau

bangkai yang belum disamak (Sulaiman, 2005: 279).

Syafi’iyah haramnya arak, bangkai, anjing dan babi

adalah karena najis, sedangkan berhala bukan najis, tetapi

(40)

jika dipecah-peah menjadi batu biasa boleh dijual, sebab

digunakan untuk membangun gedung atau yang lain. Abu

Hurairah, Thawus dan Mujahid berpendapat bahwa kucing

haram diperdagangkan sedangkan jumhur ulama

membolehkan selama kucing tersebut bermanfaat

(Sahrani, 2011: 69).

b) Manfaatnya

Tidak boleh menjual sesuatu yang tidak ada

manfaatnya. Dilarang pula mengambil tukarannya karena

hal itu termasuk dalam arti menyia-nyiakan

(memboroskan) harta yang terlarang dalam kitab suci

(Sulaiman, 2005: 280)

Firman Allah SWT QS Al-Isra’ ayat 27



Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.

c) Barang itu diserahkan

Tidak sah menjual suatu barang yang tidak dapat

diserahkan kepada yang membeli, misalnya ikan dalam

laut, barang rampasan yang masih berada di tangan yang

(41)

d) Barang tersebut merupakan kepunyaan si penjual,

kepunyaan yang diwakilkan atau yang mengusahakan.

Penjual memiliki kuasa terhadap barang yang akan

dijual, baik berdasarkan hak milik, perwakilan, atau izin

dari syara’ seperti kuasa ayah, kakek, hakim dan orang

yang mendapat harta dari selain jenis harta dia. Dan orang

yang menemukan harta yang dikhawatirkan rusak atau

hilang, maka kuasanya naqish(tidak sempurna)supaya tidak masuk dalam menjual suatu sebelum dipegang, dan

fudhuli yaitu orang yang memiliki, bukan wali dan wakil(Aziz, 2010:55- 56).

e) Barang tersebut diketahui oleh si penjual dan si pembeli

Yang mana harus mengetahui zat, bentuk kadar

(ukuran) dan sifat-sifatnya jelas sehingga antara keduanya

tidak akan terjadi kecoh-mengecoh (Sulaiman, 2005: 281).

Dalam hal ini untuk menghindari gharar dalam

akad yang yang jelas dilarang dan kalau akad tersebut

terjadi, maka akad tersebut menjadi batal. Gharar adalah suatu yang tidak jelas maknanya, atau ragu-ragu antara dua

urusan yang paling dominan adalah yang paling banyak

(42)

f) Jangan ditaklikan

Yaitu dikaitkan atau digantungkan kepada hal-hal

lain, seperti jika ayahku pergi, kujual motor ini kepadamu(

Sahrani, 2011: 69).

g) Tidak di batasi waktu, seperti perkataan saya jual motor ini kepada tuan selama satu tahun, maka penjualan tersebut

tidak sah, sebab jual beli merupakan salah satu sebab

pemilik secara penuh yang tidak dibatasi apapun kecuali

ketentuansyara’.

3) Lafaz Shighat

a) Pengertian lafaz shighat

Shighat adalah ijab dan qabul dan ijab diambil dari kata aujaba yang artinya meletakkan , dari pihak penjual yaitu pemberian hak milik, dan qabul yaitu orng yang

menerima hak milik. (Aziz, 2010: 29).

b) Sifat ijab qobul

Dalam masalah ijab kabul terjadi perbedaan

pendapat antara ulama-ulam fiqh, diantaranya yaitu:

(a) Menurut Hanafiah, malikiyah, dan tujuh fugaha

madinah dari kalangan tabi’in, akad langung mengikat

begitu ijab dan qabul selesai dinyatakan.

(b) Menurut Syafi’iyah, Hanabilah, Sufyan Ats-Tsauri dan

(43)

ijab dan qabul, maka akad menjadi jaiz (boleh), yakni tidak mengikat, selama para pihak masih berada di

majelis akad (Muclich, 2010: 184-185).

c) Lafaz ijab qobul

Ijab adalah perkataan penjual, seumpamanya: saya jual barang sekian. Qabul adalah perkataan si pembeli, umpamanya: saya terima (saya beli) dengan harga sekian.

Prinsip dasar dalam jual beli adalah kerelaan.

Sedangkan suka sama suka itu, tidak dapat terang

diketahui melainkan dengan perkataan yang menunjukkan

akan suka seorang dengan seorang, karena suka itu, dalam

hati masing-masing. Tetapi Nawawi, Mutawali, Baghawi

dan beberapa ulama lain, berpendapat bahwa lafaz itu tidak menjadi rukun, hanya menurut adat kebiasaan saja,

apabila adat telah berlaku yang seperti itu sudah dipandang

jual beli, karena tidak ada dalil yang terang untuk

mewajibkan lafaz.

Menurut ulama yang mewajibkan lafaz diwajibkan keadaan lafaz itu memenuhi beberapa syarat:

(a) Keadaan ijab dan qabul berhubungan. Artinya salah satu keduanya pantas menjadi jawab dari yang lain

(44)

(b) Hendaklah sesuai makna keduanya walaupun lafaz keduanya berlainan.

(c) Keadaan keduanya tidak disangkutkan dengan urusan

yang lain, seperti katanya “kalau saya jadi pergi, saya

jual barang ini sekian.

(d) Tidak berwaktu, sebab jual beli berwaktu seperti

sebulan atau setahun tidak sah (Suparta dkk, 1992:

450).

4. Macam Jual Beli

a. Menurut Hanafiah

1) Ditinjau dari segi sifat

a) Jual beli yang shahih

Menurut Ali Fikri yang dikutip oleh Muclich

(2010: 202) bahwa jual beli shahih adalah jual beli yang

disyariatkan dengan memenuhi asalnya dan sifatnya, atau

dengan ungkapan lain, jual beli shahih adalah jual beli

yang tidak terjadi kerusakan, baik pada rukunnya maupun

syarat.

Jual beli yang shahih apablia obyek tidak ada

hubunganya dengan hak orang lain selain ‘aqid maka

hukumnya nafidz. Artinya, bisa dilangsungkan dengan

melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing pihak,

(45)

ada kaitan dengan hak orang lain yang hukumnya

mauquf, yakni ditangguhkan menunggu persetujuan pihak

terkait. Seperti jual beli barang yang digadai atau jual beli

sewa menyewa Muclich (, 2010: 202).

b) Jual beli ghairu shahih

Menurut Ali Fikri yang dikutip oleh Muclich

(2010: 202) jual beli ghairu shahih adalah jual bel yang

tidak dibenarkan sama sekali oleh syar’i, dan dinamakan

jual beli batil, atau jual beli yang disyariatkan dengan

terpenuhi pokok (rukunnya), tidak sifatnya dan ini

dinamakan jual beli fasid. 2) Dilihat dari segi shighat-nya

a) Jual beli mutlaq yaitu jual beli yang dinyatakan dengan shighat (redaksi) yang bebas dari kaitannya dengan syarat

dan sandaran kepada masa akan datang.

b) Jual beli ghairu mutlaq adalah jual beli yang shighatnya

(redaksinya) dikaitkan atau disertai dengan syarat atau

disandarkan kepada masa yang akan datang.

3) Dilihat dari segi hubungannya dengan obyek jual beli

a) Jual beli muqayadhah adalah jual beli barang dengan barang, seperti jual beli binatang dengan binatang, beras

dengan gula atau mobil dengan mobil. Jual beli semacam

(46)

atau berbeda, baik dua-duanya dari jenis makananatau

bukan.

b) Jual beli sharf adalah tukar menukar (jual beli) emas dengan emas, dan perak dengan perak, atau menjual salah

satu dari keduanya dengan yang lain (emas dengan perak

atau perak dengan emas.

c) Jual beli salam adalah penjualan tempo dengan

pembayaran tunai.

4) Dilihat dari segi harga atau ukuran

a) Jual beli murabahah adalah menjual barang dengan harganya semula ditambah dengan keuntungan dengan

syarat tertentu.

b) Jual beli tauliyah adalah jual beli barang sesuai dengan harga pertama (pembelian) tanpa tambahan.

c) Jual beli wadi’ah dan disebut juga al-mahathah adalah jual beli barang dengan mengurangi harga pembelian.

d) Jual beli musawamah adalah jual beli yang biasa berlaku di mana para pihak yang melakukan akad jual beli saling

menawar sehingga mereka berdua sepakat atas suatu harga

(47)

b. Menurut Malikiyah

1) Dari segi pembayarannya tempo atau tunai

a) Jual beli tunai (bai’ an-naqd), yaitu jual beli dimana harga atau barang diserahkan secara tunai.

b) Jual beli utang dengan utang (ba’i ad-dain bi ad-ain), yaitu jual beli dimana harga dan barang diserahkan nanti

(tempo). Ini termasuk jual beli yang dilarang.

c) Jual beli tempo (al-bai’ li ajal) yaitu jual beli dimana harga dibayar tempo sedangkan barang diberikan tunai

d) Jual beli salam yaitu jual beli dimana barang yang diberikan nanti (tempo), tetapi harga dibayar tunai

(dimuka)

Semua hukum jual beli tersebut dibolehkan kecuali

jual beli utang dengan utang (Muclich, 2010: 209-210).

2) Ditinjau dari segi alat pembayaran.

a) Jual beli benda dengan benda (bai’ al-‘ain bi al-ain)

b) Jual beli ‘ardh dengan ‘ardh yaitu jual beli uang emas

dengan uang emas, atau perak dengan perak (bai’ al-‘ardh bi al-‘ardh).

Jual beli ‘ardh (emas atau perak) dengan benda

(bai’ al-‘ardh bi al-ain). Jual beli ini terbagi menjadi tiga

(48)

(1) Jual beli sharf yaitu jual beli dimana jeni penukarannya berbeda, seperti emas dengan perak

ataupun sebaliknya.

(2) Jual beli murathalah yaitu jual beli dimana jenis

penukarannya sama, dan jual beli dengan cara

ditimbang.

(3) Jual beli mubadalah yaitu jual beli dimana jenis

penukarannya sama, tetapi jual beli dilakukan

dengan cara dihitungan.

3) Ditinjau dari segi dilihat atau tidaknya obyek

a) Menjadi beli yang kelihatan (bai’ al hadhir) yaitu jual beli

dimana barang yang menjadi obyek jual beli bisa dilihat

atau yang secara formal bisa dilihat.

b) Jual beli barang yang tidak kelihatan (bai’ al-ghaib) yaitu

jual beli dimana barang yang menjadi obyek akad tidak

bisa dilihat.

4) Ditinjau dari putus tidaknya akad

a) Jual beli yang putus (jadi) sekaligus (bai’ al-bat) yaitu beli yang tidak ada khiyar (pilihan) bagi salah satu pihak ang

berakad.

b) Jual beli khiyar yaitu jual beli dimana salah satu pihak

(49)

untuk meneruskan jual beli atau membatalkan) kepada

pihal lain.

5) Ditinjau dari segi ada tidaknya harga pertama

a) Jual beli murabahah

b) Jual beli musawamah

c) Jual beli muzayadah yaitu jual beli dimana para pihal yang berka menambah harga, sehingga didapatkan harga tinggi

d) Jual beli al-istiman yaitu jual beli dengan tujuan mencari perlindungan keamanan dari seseorang yang dzalim,

sehingga apabila situasi telah aman maka barang dan

harganya dikembalikan olh masing-masing pihak.

6) Ditinjau dari segi sifat

a) Jual beli yang shahih

b) Jual beli fasid

c. Menurut Syafiiyah

1) Jual beli yang shahih yaitu jual beli yang terpenuhi syarat dan

rukunnya. Jual beli shahih terbagi menjad beberapa bagian, yaitu:

a) Jual beli benda yang kelihatan

b) Jual beli benda yang sifati dalam dzimmah (perjanjian), juga apat diebut jual beli salam

(50)

yang sama, untuk keabahannya ad syarat yang harus

terpenuhi, yaitu:

(a) Tunai, tidak boleh diutang.

(b) Harus diserahterimakan

d) Jual beli murabahah

e) Jual beli isyrak, yaitu jual beli patungan dengan orang lain f) Jual beli mahathah (wadhi’ah), yaitu jual beli dibawah

harga pembelian

g) Jual beli tauliyah, yaitu jual beli barang sesuai dengan

harga pertama (pembeli) tanpa keuntungan.

h) Jual beli binatang dengan binatang (muqayadhah). i) Jual beli dengan syarat khiyar

j) Jual beli dengan syarat bebas dari cacat

k) Jual beli fasid yaitun jual beli yang sebagian rukun dan

syaratnya tidak terpenuhi

d. Menurut Hanabillah

1) Shahih lazim

2) Fasid membatalkan jual beli

Jual beli yang shahih ada tiga macam, yaitu:

a) Jual beli dengan syarat yang kehendaki oleh akad, seperti

syarat saling menerima (taqabuh), pembayaran (harga)

(51)

b) Jual beli dengan syarat ditangguhkannya semua harga, atau

sebagiannya untuk waktu tertentu dengan syarat gadai.

c) Jual beli dengan syarat yang dikemukakan oleh penjual

kepada pembeli bahwa ia akan memanfaatkan barang yang

dijual untuk waktu tertentu dan jenis manfaat tertentu.

5. Larangan-Larangan Yang Merusak Jual Beli

a. Habl Al-Hablah ( hamilnya si janin)

Menurut Khatib yang dikutib oleh Aziz (2010:68) bahwa

jual beli yang dilarang adalah habl al-hablah dan hadist riwayat

Al-Bukhori dan Muslim Ibnu umar dengan lafal: Rasulluallah

SAW melarang menjual habl al-hablah. Habl al-hablah adalah menjual anak hewan atau menjual sesuatu dengan bayaran ketika

janin dalam perut melahirkan artinya sampai hewan itu

melahirkan anak dan si anak ini melahirkan melahirkan, maka

akad jual beli tersebut batal karena tergantung dengannya (Aziz,

2010: 68).

Batal akad jual beli ditetapkan berdasarkan penafsiran

pertama terhadap larangan yang ada karena ia adalah bentuk jual

beli terhadap sesuatu yang bukan hak miliknya, tidak diketahui,

dan tidak mampu diserahkan. Menurut penafsiran kedua karena

menunda sampai waktu tidak diketahui (Aziz, 2010: 68-69).

(52)

Yaitu memegang baju yang dilipat atau dalam gelapnya

malam lalu ia membelinya tanpa khiyar jika dia melihatanya,

karena karena memegang sudah dianggap ukup dari melihat, atau

dia mengatakan: “ Jika kamu menyentuhnya, maka saya akan

menjual kepadamu,” cukup dengan menyentuh tanpa shighat atau

menjual sesuatu dengan syarat kapan dia memegangnya, maka

jual beli menjadi wajib dan tidak ada khiyar majlis dan yang

lainnya (Azis, 2010: 70).

Menurut Imam As-Syafii menjelaskan bahwa alasan

batalnya akad karena ada penggantungan dan tidak memakai

shighat syar’i. Al-Asnawi menjelaskan bahwa jika dia menjadikan

pemegang (lams) sebagai syarat, maka batalnya akad karena ada

penggantungan, dan jika dia menjadikan memegang sebagai jual

beli, maka karena karena tidak ada shighat (Azis, 2010: 70).

Adapun munabadzah, menjadikan “menjatukan” sebagai jual beli sudah dianggap cukup menggantikan shighat kemudian

yang lain mengatakan: “saya jatuhkan bajuku kepadamu dengan

harga sepuluh,”lalu diambil oleh pihak kedua atau dia berkata:

”saya jual kepadamu baju ini dengan harga begini dengan syarat

jika saya menjatuhkan kepadamu,” maka jual beli menjadi wajib

dan tidak ada khiyar (memilih), dan batal karena tanpa ru’yah

(53)

c. Larangan jual beli hushat (dengan kerikil)

Batalnya akad dalam jual beli ini dikarenakan barang yang

ijual atau waktu khiyar tidak diketahui atau karena tidak ada shighat.

d. Larangan jual beli Al-Urbun

Al-Urbun yaitu seseorang membeli satu barang dan memberi penjual sejumlah uang dengan syarat ia menjadi bagian

dari harga barang kalau dia ridha dengan jual beli an kalau tidak,

maka hanya hadiah aja (Aziz, 2010: 66-72).

Menurut Nawawi (2012: 80) seorang muslim tidak boleh

melakukan jual urbun atau mengambil uang muka secara kontan. e. Jual beli barang yang belum diterima

Seorang muslim tidak boleh membeli membeli suatu

barang kemudian menjualnya kembali, padahal ia belum

menerima barang dagangan tersebut.

f. Jual beli seorang muslim dari muslim lainnya

Seorang Muslim tidak boleh jika saudara seagamanya telah

membeli suatu barang seharga lima ribu rupiah, kemudian ia

berkata kepada penjualnya,”Mintalah kembali barang itu dan

batalkan jual belinya, karena aku akan membelinya darimu

(54)

g. Jual beli Najasy

Seorang muslim tidak boleh menawar suatu barang dengan

harga tertantu, padahal ia tidak ingin membeli barang tersebut,

namun ia berbuat seperti itu agar diikuti para penawar lainnya

kemudian pembeli tertarik untuk membeli barang tersebut.

g. Jual beli barang-barang haram dan najis

Seorang muslim tidak boleh menjual barang atau

komoditas barang haram, barang-barang najis, dan menjurus

kepada haram. Jadi, kita tidak boleh menjual minuman keras,

babi, bangkai, berhala dan anggur yang hendak dijadikan

minuman keras.

h. Jual beli gharar

Orang muslim tidak boleh menjual sesuatu yang didalamnya

mengandung ketidakjelasan (gharar)

i. Jual beli dua barang dalam satu akad

Seorang muslim tidak boleh melangsungkan jual beli dalam

satu akad, namun ia harus melangsungkan keduanya

sendiri-sendiri karena didalam terdapat ketidakjelasan.

j. Jual beli utang dengan utang

Seseorang muslim tidak boleh menjual utang dengan utang,

karena hal tersebut sama saja menjual barang yang tidak ada

dengan barang yang tidak ada pula, Islam tidak membolehkan jual

(55)

k. Jual beli musharrah

Seorang muslim tidak boleh menahan susu kambing atau lembu

atau unta selama berhari-hari agar susunya kelihatan banyak,

kemudian manusia tertarik untuk membelinya dan ia pun

menjualnya, karena cara seperti itu adalah penipuan (Nawawi,

2012: 78-81).

6. Hikmah jual beli

Hikmah jual beli ialah seorang muslim bisa mendapatka sesesuatu

apa yang dibutuhkan dengan sesuatu yang ada ditangan saudaranya

tanpa kesulitan yang berarti.

B. TINJAUAN UMUM TENTANG SEWA MENYEWA (Ijarah)

1. Sewa menyewa (Ijarah)

Al-ijarah berasal dari kata al-ajru, yang artinya menurut bahasa ialah al-iwadh, artinya dalam bahasa indonesia adalah ganti dan upah.

Menurut Tihami yang dikutip oleh Sahrani (2011: 167). Al-ijarah (sewa menyewa) adalah akad (perjanjian) yang dikenakan dengan kemanfaatan

(mengambil manfaat sesuatu) tertentu sehingga sesuatu itu legal untuk

diambil manfaatnya dengan memberi pembayaran (sewa) tertentu.

Menurut Rachmat Syafii yang dikutip oleh Sahrani (2011: 167)

bahwa ijarah dalam bahasa adalah menjual manfaat. Sewa menyewa kepada hak seorang petani yang mengolah sebidang tanah yang bukan

miliknya,berdasarkan perjanjian yang ditandatangani antara petani dan

(56)

Menurut Azhur Rahman yang dikutip oleh Sahrani ( 2011: 167)

bahwa dalam perjanjian tersebut memberi hak kepadanya untuk

melanjutkan pengolahan tanah untuk melanjutkan pengolahan tanah

sepanjang dia membayar sewa kepada tuan tanah dan bertindak

selayaknya sesuai dengan syarat-syarat sewa menyewa.

Terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama fiqh tentang

pengertian ijarah, perbedaan tersebut diantaranya adalah:

a. Menurut Hanafiah, ijarah ialah akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan disengaja dari suatu zat

yang disewa dengan imbalan

b. Menurut Malikiyah, ijarah adalah nama bagi akad-akad untuk kemanfaatan yang berifat manusiawi dan untuk sebagian yang

dapat dipindahkan.

c. Menurut Syaikb Syihab Al-Din dan Syaikh Umairah, ijarah

adalah akad atas manfaat yang diketahui dan disengaja untuk

memberi dan membolehkan imbalan diketahui ketika itu.

d. Menurut Muhammad Al-Syarbini al-Khitab, ijarah yaitu pemilikan manfaat dengan adanya imbalan dan syarat-syarat.

e. Menurut Sayid Sabiq, ijarah adalah suatu jenis akad untuk

mengambil manfaat dengan jalan penggantian.

f. Menurut Habi Ah-Shiddiqie bahwa ijarah adalah akad yang

(57)

pemilikan manfaat dengan imbalan, sama dengan menjual

manfaat.

g. Menurut Idris Ahmad bahwa upah artinya mengambil manfaat

tenaga orang lain dengan jalan memberi ganti menurut

syarat-yarat tententu (Suhendi, 2014:114-115).

2. Landasan Hukum Ijarah

a. Landasan Al-Qur’an

(58)

pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu

Artinya: Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya

bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang

kuat lagi dapat dipercaya”.

Artinya: Berkatalah Dia (Syu’aib): “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu insya Allah akan mendapatiku Termasuk orang- orang yang baik.

4) QS. Al-Thalaq : 6

(59)

b. Landasan As-Sunnah agama orang kafir Quraisy. Nabi dan Abu Bakar kemudian menyerahkan kepadanya kendaraan mereka, dan mereka berdua menjanjikan kepadanya untuk bertemu di Gua Tsaur dengan kendaraan mereka setelah tiga hari pada pagi hari selasa. (HR. Al-Bukhari, Jilid 3: 332).

c. Landasan Ijma’

Disyariatkan ijarah, semua umat bersepakat, tak seorang

ulama yang membantah kesepakatan ijma’, sekalipun ada

seseorang di antara mereka yang berpendapat berbeda, akan tetap

hal tersebut tidak dianggap (Sabiq, 1987: 11).

3. Rukun Dan Syarat Sewa Menyewa (Ijarah)

a. Rukun sewa menyewa (Ijarah) 1) Mu’jrir dan musta’jir

Yaitu orag yang melakukan akad sewa menyewa. Mu’jir adalah orang yang memberikan upah an menyewakannya,

sedangakan musta’jir adalah orang yang menerima upah untuk

melakukan sesuatu dan yang menyewa sesuatu (Suhendi, 2014:

(60)

2) Shighat ijab dan kabul antara mu’jir dan masta’jir, ijab kabul sewa menyewa dan upah mengupah.

3) Ujrah, disyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak baik dalam sewa menyewa atau upah mengupah.

4) Manfaat

Menurut hanafiah , rukun ijarah hanya satu, yaitu ijab dan

qobul, yakni pernyataan dari orang yang menyewa dan menyewakan (Muclich, 2010: 320)

b. Syarat-syarat sewa menyewa (ijarah)

Seperti halnya dalam akad jual beli,syarat-syarat ijarah terdiri atas empat jenis persyaratan, yaitu:

1) Syarat terjadinya akad (syarat In’iqad)

Syarat terjadinya akad (syarat in’iqad) berkaitan dengan ‘aqid, akad dan obyek akad. Menurut Hanafiah syarat yang

berkaitan dengan ‘aqid adalah berakal dan mumayyiz, sedangankan menurut Syafiiyah dan Hanabilah adalah baliqh.

Maka dari itu bahwa akad ijarah tidak sah apabila pelakunya gila atau masih dibawah umur.

Sedangkan menurut Malikiyah, tamyiz merupakan syarat

dalam sewa menyewa dan jual beli, sedangkan baligh merupakan

syarat untuk kelangsungan (nafadz). Dengan demikian, apabila

(61)

untuk kelangungan menunggu izin walinya (Muclich, 2010:

321-322).

2) Syarat kelangsungan akad (Nafadz)

Untuk kelangsungan akad ijarah disyaratkan terpenuhinya

hak milik atau wilayah (kekuasaan). Apabila si pelaku tidak

mempunyai hak kepemilikan atau kekuasaan (wilayah), seperti

akad yang dilakukan oleh fudhuli, maka akadnya tiak bisa

dilangsungkan, dan menurut Hanafiah dan Malikiyah statusnya

mauquf (ditangguhkan) menunggu persetujuan si pemilik barang.

Akan tetapi, menurut Syafi’iyah dan Hanabilah hukumnya batal,

seperti halnya jual beli (Muclich, 2010: 322).

3) Syarat sahnya ijarah

(62)

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang

Ijarah termasuk kepada perniagaan (tijarah), karena di dalamnya terdapat tukar menukar barang.

b) Obyek akad yaitu manfaat harus jelas, sehingga tidak

menimbulkan perelisihan. Apabila obyek akad (manfaat)

tidak jelas, sehingga menimbulkan perselisihan, maka akad

ijarah tidak sah, karena dengan demikian, manfaat tersebut tidak bisa diserahkan, dan tujuan akad tidak tercapai.

c) Obyek akad ijarah harus dapat terpenuhi, baik menurut hakiki

maupun syar’i. Dengan demikian tiadak sah menyewakan

sesuatu yang sulit diserahkan secara syar’i, seperti menyewa

tenaga wanita yang sedang haid untuk memberihkan masjid

atau menyewa dokter gigi untuk mencabut gigi yang sehat,

atau menyewa tukang sihir untuk mengajar ilmu sihir.

Sehingga dengan syarat ini Abu Hanifiah dan Zufar

berpendapat bahwa tidak boleh menyewakan benda milik

berama mengikutsertakan pemilik syariat yang lain, karena

manfaat benda milik bersama tidak bisa diberikan tanpa

Gambar

Tabel  3.1
Tabel 3.3 TEMPAT IBADAH
Tabel 3.4
Tabel 3.5

Referensi

Dokumen terkait

Judul laporan akhir ini adalah “ Pengaruh Likuiditas dan Profitabilitas pada Perusahaan Farmasi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2010- 2014”..

cerevisiae ​dapat tumbuh pada medium yang mengandung air gula dengan konsentrasi tinggi.. cerevisiae ​ merupakan golongan khamir yang mampu memanfaatkan senyawa gula

Di samping itu, pengamatan dan analisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran uang (M2) merupakan variabel kunci bagi otoritas moneter untuk menetapkan

1) Asas “equality” yaitu bahwa pembagian tekanan pajak diantara masing- masing subyek pajak hendaknya dilakukan secara seimbang dengan kemampuannya. Kemampuan wajib

Ketika pemerintah menerapkan liberalisasi perdagangan beras maka pasar beras Indonesia terintegrasi dengan pasar beras internasional dan harga beras dalam negeri akan

perataan laba dengan perusahaan yang tidak melakukan bahwa mempunyai. reaksi pasar

Pegawai yang tidak masuk kerja, terlambat masuk bekerja, dan atau.. pulang sebelum waktunya tanpa alasan yang sah dianggap tidak

belajar yaitu dengan melihat kebiasaan siswa dalam; membaca buku,. mengatur waktu belajar, mengulang pelajaran, dan membuat catatan. b)