TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP JUAL SAWAH
TAHUNAN (STUDI KASUS DI DESA PURWOREJO
KECAMATAN SURUH KABUPATEN SEMARANG)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh:
Ratih Nurmawati
NIM : 21411031
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARI
’
AH
FAKULTAS SYARI
’
AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
Moto Penulis
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan
janganlah kamu membunuh dirimuSesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu (Qs. An-Nisa:
29)
---o---
Jadilah orang yang selalu memberikan manfaat bagi diri sendiri maupun untuk orang lain
---o---
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan dengan cinta dan ketulusan hati karya ilmiah berupa skripsi ini kepada :
1. Kedua Orang tuaku Bapak Suwarli dan Ibu Partiyem tercinta, yang telah mendoakan dan memberi kasih sayang serta semangat kepadaku selama ini.
2. Kakakku M. Anjar Bektinawan, kakak Iparku sri widyaningrum serta adik-adik-adikku Tri Kusumawati, Rizal Fauzi dan Muhammad Sadewa Wicaksono, yang telah mendoakan agar selalu tetap semangat dalam menuntut ilmu dan menjalani kehidupan di dunia ini.
3. Almarhum kakek dan nenekku yang selalu mendoakan aku dan yang selalu sayang denganku semasa hidupnya.
4. Seseorang yang telah memberikan kehidupan bermakna, pencerahan dan motivasi yang tinggi sehingga penulis selalu semangat dalam menjalani kehidupan.
5. Para guru sejak Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi yang penulis sayangi dan hormati dalam memberikan ilmu dan membimbing dengan penuh kesabaran.
KATA PENGANTAR
Rasa syukur yang dalam penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, karena
berkat rahmat-Nya Penulisan Skripsi ini dapat penulis selesaikan sesuai dengan
yang diharapkan. Penulis juga bersyukur atas rizki dan kesehatan
yang telah diberikan oleh-Nya sehingga penulis dapat menyusun penulisan skripsi
ini.
Sholawat dan salam selalu penulis sanjungkan kepada Nabi, Kekasih,
Spirit Perubahan, Rasullah Muhammad SAW beserta segenap keluarga dan para
sahabat-sahabatnya, syafa’at beliau sangat penulis nantikan di hari pembalasan
nanti.
Penulisan skripsi ini disusun untuk diajukan sebagai salah satu persyaratan
guna memperoleh gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy) dalam ilmu syari’ah, Fakultas
Syari’ah, Jurusan S1 Hukum Ekonomi Syari’ah yang berjudul: “Tinjauan
Hukum Islam Terhadap Jual Sawah Tahunan di Desa Purworejo Kecamatan
Suruh Kabupaten Semarang)”. Penulis mengakui bahwa dalam menyusun
Penulisan Skripsi ini tidak dapat diselesaikan tanpa adanya bantuan dari berbagai
pihak. Karena itulah penulis mengucapkan penghargaan yang setinggi-tingginya,
ungkapan terima kasih kadang tak bisa mewakili kata-kata, namun perlu kiranya
penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd, selaku Rektor IAIN Salatiga
2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syari’ah di IAIN
3. Bapak Ilya Muhsin, S.H.i., M.Si, selaku Wakil Dekan Fakultas Syari’ah
Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama yang selalu memberikan ilmunya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan lancar
dan baik.
4. Ibu Evi Ariyani, M.H, selaku Ketua Jurusan S1 Hukum Ekonomi Syari’ah
di IAIN Salatiga.
5. Bapak Prof. Dr. H. Muh Zuhri, M.A. selaku Dosen Pembimbing yang
selalu memberikan saran, pengarahan dan masukan berkaitan penulisan
skripsi sehingga dapat selesai dengan maksimal sesuai yang diharapkan.
6. Ibu Lutfiana Zahriani, M.H, selaku Kepala Lab. Fakultas Syari’ah IAIN
Salatiga yang memberikan pemahaman, arahan dalam penulisan skripsi
sehingga penulisan skripsi ini bisa saya selesaikan. .
7. Bapak dan Ibu Dosen selaku staf pengajar dan seluruh staf adminitrasi
Fakultas Syari’ah yang tidak bisa kami sebut satu persatu yang selalu
memberikan ilmunya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
tanpa halangan apapun.
8. Sahabat-sahabatku tercinta Cenul, Ririf, Fajar, Pipit, Ser, Mayda, Jamilah,
Ayu, yang selalu mendukung penulis dalam menyusun skripsi ini.
9. Teman-teman KKN yang di Desa Siwal tahun 2015 yaitu Ovy, Ika, Sulis,
Mas Ilmi, Lutfi, Mbolet, Mbahhe, Mas Edy, Mas Zul, yang telah
10.Keluarga yang di Desa siwal, Bapak dan Ibu Bejo, Bapak Lurah, Bapak
Carik, Mbak Putri, yang telah memberikan semangat dan dukungannya
dalam menyusun skripsi.
11.Teman-teman Jurusan S1 Hukum Ekonomi Syari’ah angkatan 2011 di
IAIN Salatiga yang telah memberikan banyak cerita selama menempuh
pendidikan di IAIN Salatiga.
Semoga Allah SWT membalas semua amal kebaikan mereka dengan
balasan yang lebih dari yang mereka berikan kepada penulis, agar pula senantiasa
mendapatkan maghfiroh, dan dilingkupi rahmat dan cita-Nya. Amiin.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa penulisan skripsi ini masih jauh
dari sempurna, baik dari segi metodologi, penggunaan bahasa, isi, maupun
analisanya, sehingga kritik dan saran yang konstruktif, sangat penulis harapan
demi enaknya penulisan skripsiini dibaca dan dipahami.
Akhirnya, penulis berharap semoga skrispi ini bermanfaat khususnya bagi
penulis sendiri dan umumnya bagi pembaca.
Salatiga, 16 September 2015
ABSTRAK
Nurmawati, Ratih. 2015. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Jual Sawah Tahunan (Studi Kasus di Desa Purworejo Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang)
Skripsi.Fakultas Syari’ah. Jurusan. S1 Hukum Ekonomi Syari’ah. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing: Prof. Dr. H. Muh. Zuhri, M.A.
Kata Kunci : Hukum Islam, Jual Sawah Tahunan
Manusia merupakan mahluk sosial, yang mana manusia tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri dan manusia juga membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka, masyarakat Desa Purworejo melakukan perjanjian jual sawah tahunan. Jual awah tahunan adalah praktik antara petani dan pembeli untuk menggarap sawah dengan waktu tempo tertentu. Dimana petani menentukan harga sawah dan juga waktu temponya. Maka dari itu penulis mengkaji tentang tinjauan hukum Islam terhadap jual sawah tahunan di Desa Purworejo Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang. Pertanyaan yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1) Bagaimana pelaksanaan jual sawah tahunan dalam masyarakat Desa Purworejo Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang? (2) Bagaimana kesesuaian transaksi jual sawah tahunan dalam masyarakat Desa Purworejo Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang dengan akad jual beli dan Ijarah (sewa menyewa).
Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulakan dengan teknik owawancara, setelah data terebut terkumpul lalu data tersebut akan diolah. Kemudian akan analisis menggunakan deskriptif analisis dengan menggunakan pendekatan normatif yuridis untuk memperoleh kesimpulan dan dianalisis menurut hukum Islam.
DAFTAR ISI
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN... iv
HALAMAN MOTO……… v G. Metode Penelitian... 12
H. Sistematika Penulisan... 16 BAB II KERANGKA TEORITIK
DAFTAR TABEL
TABEL 3.1 : Jumlah Sekolah, Guru Dan Murid Di Desa Purworejo
TABEL 3.2 : Keadaan Tingkat Pendidikan
TABEL 3.3 : Tempat Ibadah
TABEL 3.4 : Mata Pencaharian Di Desa Purworejo
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam hukum Islam kita mempelajari tentang muamalah,
munakahat, waris dan masih banyak lagi. Di sini kita akan mempelajari
tentang muamalah, sebagaimana diterapkan dalam kehidupan sehari-hari
seperti membuka peluang bisnis, menjalin bisnis, mengembangkan produk
dan masih banyak lagi.
Dunia usaha yang semakin berkembang pesat banyak
kesepakatan untuk mengadakan transaksi jual beli yang
dituangkan dalam perjanjian. Menurut Yan Pramadya Puspa yang
dikutip oleh Chairuman (2004:1), bahwa perjanjian dalam bahasa arab
adalah Mu’ahadah Ittifa’, Akad atau kontrak dan dapat diartikan sebagai
perjajian atau persetujuan adalah suatu perbuatan di mana seorang atau
lebih mengikat dirinya terhadap seseorang lain atau lebih.
Menurut Abu al-fath yang dikutip oleh Anwar (2010: 68) bahwa
Istilah perjanjian dalam hukum Islam adalah akad. Akad berasal dari kata
al-‘aqd yang memiliki arti menngikat, menyambung atau menghubungkan (ar-rabt).
Menurut Mursyil al-Hairan yang dikutip oleh Anwar (2010:68)
bahwa akad merupakan pertemuan ijab dan yang diajukan oleh salah satu
Menurut Henry yang dikutip oleh Anwar (2010;1) bahwa
perjanjian akad mempunyai arti penting dalam kehidupan masyarakat dan
merupakan dasar dari sekian banyak aktivitas keseharian kita. Perjanjian
akad bukan hanya untuk bisnis dan usaha saja, akan tetapi akad juga dapat
menyatukan seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam satu ikatan
dalam kehidupan bersama.
Aktivitas ekonomi di Desa Purworejo yaitu tentang akad jual
sawah tahunan, dilakukan oleh penduduk yang mayoritas beragama Islam.
Mereka beranggapan bahwa dalam akad jual sawah tahunan tersebut
termasuk jual beli atau sewa menyewa.
Praktek jual sawah tahunan ini membingungkan dalam hukum
Islam, karena dalam akad jual beli atau ijarah ada aturan-aturannya
sehingga sah hukumnya menurut hukum Islam.
Sewa menyewa (Al ijarah) berasal dari kataal Ajru yang berarti Al
‘Iwadhu (ganti). Menurut pengertian Syara’, Al Ijarah adalah suatu jenis
akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian (Sabiq, 1987:1).
Dalam istilah Hukum Islam orang yang menyewakan disebut
sebagai “Mu’ajjir”, sedangkan orang yang menyewa disebut dengan
“Ma’jur” dan uang sewa atau imbalan atas pemakaian manfaat barang
Adapun landasan hukum dalam sewa menyewa yaitu dalam Al-dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
Syarat sah perjanjian sewa menyewa yaitu: masing-masing pihak
rela melakukan perjanjian sewa menyewa, harus jelas dan terang mengenai
obyek yang diperjanjikan, obyek sewa menyewa dapat digunakan sesuai
peruntukanya, obyek sewa menyewa dapat diserahkan dan kemanfaatan
obyek yang diperjanjikan adalah yang dibolehkan dalam islam
(Chairuman, 2004: 53-54).
. Jual menunjukkan adanya perbuatan menjual sedangkan beli
menunjukkan perbuatan membeli. Maka dari itu jual beli menunjukkan
perbuatan dalam satu peristiwa, yaitu satu pihak menjual dan pihak lain
yang membeli, maka dalam hal ini terjadinyalah peristiwa jual beli
(Chairuman, 1996: 33).
Jual beli (al-bay’) secara bahasa adalah memindahkan hak milik
terhadap benda dengan akad saling mengganti(Aziz, 2010:23). Menurut
pengertian syari’at jual beli ialah pertukaran harga atas dasar saling rela
Secara terminologi ada beberapa definisi jual beli yang
dikemukakan oleh para ulama fiqh, sekalipun subtansinya dan tujuan
masing-masing definisi adalah sama, yaitu tukar menukar barang dengan
cara tertentu atau tukar menukar sesuatu dengan sepadan menurut caranya
yang benar. Jual beli (al-Buyu) adalah pertukaran harta atas dasar saling rela atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan (berupa
alat tukar yang sah) (Dewi dkk, 2006: 99).
Adapun landasan hukum tentang jual beli, yaitu firman Allah
dalam surat Al-Baqarah ayat 275 yang berbunyi:
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba
Maka di sini sudah jelas bahwa Allah telah memperbolehkan jual
beli akan tetapi dalam jual beli tersebut tak boleh memperoleh keuntungan
yang berlebihan, dikarenakan keuntuugan yang berlebihan itu adalah riba
karena riba itu diharamkan oleh Allah. Dan tidak lain juga bahwa dalam
jual beli harus bebas dari yang namanya riba.
Perilaku jual beli merupakan suatu perbuatan hukum yang
memiliki konsekuensi terjadi peralihan hak atas sesuatu barang dari pihak
penjual kepada pihak pembeli, maka dari itu dalam suatu perbuatan hukum
harus dipenuhi rukun dan syarat sah jual beli (Chairuman, 1996: 34).
102). Hal tersebut harus terpenuhi semua, jika salah satu rukun dan syarat
sah tidak terpenuhi maka, hal tersebut dikatakan jual beli tidak sah
menurut hukum Islam.
Jual beli dalam bentuk khusus terbagi menjadi 3 bagian
yaitu:Murabahah (jual beli di atas harga pokok), As salam/ As salaf (jual beli dengan pembayaran dimuka) dan Al Istishna (jual beli pesanan) (Gemala, 2006: 108-112)
Tradisi jual beli yang sering dilakukan dalam masyarakat adalah
jual beli as salam karena jual beli tersebut telah menjadi kebiasaan. Jual ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.
Syarat pembayaran (Modal) yaitu diketahui jelas jenisnya,
diketahui jelas kadarnya dan diserahkan di majelis. Adapun syarat barang
yang disalamkan yaitu: bahwa barang tersebut ada dalam tanggungan ,
barang tersebut berkriteria yang bisa memberkan kejelasan kadar dan
sfat-sifat yang membedakan gharar dan terhindar dari perselisihan dan ada
Hal tersebut sangat berbeda dengan praktek jual sawah tahunnan
yang telah dilakukan oleh masyarakat di Desa Purworejo Kecamatan
Suruh Kabupaten Semarang.
Mayoritas mata pencaharian masyarakatnya Desa Purworejo adalah
adalah bertani. Mereka memiliki tingkat perekonomian yang sangat
berbeda. Dalam memenuhi suatu kebutuhan mereka tidaklah lepas dengan
bantuan orang lain.
Tidak semua masyarakat desa Purworejo bekerja sebagai petani,
ada juga yang bekerja sebagai guru, buruh pabrik dan masih banyak lagi.
Sebagian besar dari mereka adalah bekerja sebagai petani, terdapat
beberapa petani yang tidak menggarap sawahnya sendiri tetapi mereka
menggarap sawah milik orang lain dengan bagi hasil, ada juga yang
menjual sawah dengan sistem tahunan.
Disamping itu hasil dalam bertani tidaklah selalu baik dalam setiap
panennya, dan mereka juga membutuhkan biaya dalam mencukupi
kebutuhan mereka dalam kehidupan sehari-hari mereka. Maka di samping
itu ada sebagian pemilik sawah yang menjual sawahnya dengan sistem
tahunan, karena pemilik sawah tersebut benar-benar membutuhkan biaya
dalam mencukupi keseharian.
Yang dimaksud jual sawah tahunan tersebut adalah dimana A
sebagai penjual. Sedangkan B sebagai pembeli sawah tersebut. A berkata
berkata bahwa saya akan membeli sawah tersebut tahunan dengan satu
tahun 2 garapan sebesar Rp.600.000, jadi B menggarap sawah A selama 6
tahun. Si A menjawab bahwa ia setuju dengan perjanjian tersebut
dikarenakan Si A sedang membutuhkan uang tersebut untuk keperluan
sehari-hari.
Dalam hal ini terjadi ketidakadilan dan kerugian bagi seorang
penjual, hal tersebut disebabkan penjual menjual dengan harga murah.
Ketidakadilan itu dikarenakan pembeli lebih pandai dalam menggarap
sawah daripada penjual. Dari keterangan diatas menurut penulis hal
tersebut sangat merugikan bagi pembeli. Walaupun pratek tersebut sangat
merugikan namun, kenyataannya pratek jual sawah tahunan tetap masih
berlangsung dan dilakukan oleh warga desa Purworejo.
Pelaksanaan transaksi jual sawah tahunan antara penjual dan
pembeli dilakukan secara lisan hanya berdasarkan saling percaya satu
dengan yang lainnya, tanpa ada saksi dalam pelaksanaan jual sawah
tahunan tersebut. Dalam perjanjian tersebut penjual menjual sawah
tahunan mendapatkan uang, dan pembeli tersebut mendapatkan sawah
untuk digarap dalam kurun waktu beberapa tahun dan hasil panen sawah
tersebut dimiliki oleh pembeli sawah tersebut. Setelah perjanjian jual
sawah tersebut selesai maka sawah tersebut akan kembali lagi ke penjual
Dari latar belakang di atas penulis tertarik untuk mengadakan
penelitian dan membahas tentang pelaksanaan perjanjian jual sawah
tahunan Desa Purworejo Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang untuk
diketahu secara jelas dan kepastiannya dalam hukum Islam.
Untuk membahas permasalahan ini peneliti mengangkatnya
dalam bentuk skripsi dengan judul: TINJAUAN HUKUM ISLAM
TERHADAP JUAL SAWAH TAHUNAN di DESA PURWOREJO
KECAMATAN SURUH KABUPATEN SEMARANG
B. Fokus Penelitian
1. Bagaimana pelaksanaan akad jual sawah tahunan dalam masyarakat
Desa Purworejo Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang?
2. Bagaimana kesesuaian transaksi jual sawah tahunan dalam masyarakat
Desa Purworejo Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang dengan akad
jual beli an akad sewa menyewa?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pelaksanaan akad jual sawah tahunan dalam
masyarakat Desa Purworejo Kecamatan suruh Kabupaten Semarang?
2. Untuk mengetahui kesesuaian transaksi jual sawah tahunan dalam
mayarakat Desa Purworejo Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang
D. Kegunaan Penelitian
Agar tulisan ini dapat memberikan hasil yang berguna secara
keseluruhan. Maka dari itu penulis dapat memberikan manfaat adalah:
1. Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan kajian yang lebih lanjut
bagi akademisi dan bagi masyarakat umum dan memberikan
khasanah ilmu tentang hukum Islam tentang suatu pejanjian dalam
akad jual sawah tahunan yang benar di Desa purworejo Kecamatan
Suruh Kabupaten Semarang.
2. Kegunaan Praktis
Dengan adanya penelitian ini kita dapat memperkaya ilmu
tentang pengetahuan hukum terhadap permasalahan yang
menyangkut dengan jual sawah tahunan pada masyarakat Desa
Purworejo Kecamata Suruh Kabupaten Semarang.
E. Penegasan Istilah
Agar tidak terjadi salah pengertian dalam pemahaman penelitian
yang akan peneliti teliti ini, maka di pandang perlu untuk menjelaskan
beberapa istilah yang ada hubungannya dengan judul penelitian ini yaitu:
1. Hukum Islam
Hukum Islam yaitu rangkaian dari kata “hukum” dan kata
“Islam” untuk mengetahui arti hukum Islam perlu diketahui lebih
dahulu arti kata hukum. Hukum yaitu seperangkat peraturan
itu berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya. Hukum Islam
artinya seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan sunah
Rasul tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini serta
mengikat untuk semua yang beragama Islam (Syarifudin,
1997:4-5).
Menurut Rifyal Ka’bah dikutip oleh Hirsanudin(2008: 6),
pengertian hukum dalam Islam tidak hanya menyangkut aturan
yang membutuhkan kekuasaan negara untuk pelaksanaannya,
tetapi semua perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat, baik yang
berhubungan yang berhubungan langsung maupun tidak langsung
dengan negara. Hukum menurut Al-Qur’an adalah ketetapan Allah
dan legislasi manusia yang bertujuan untuk menegaakkan keadilan
dalam kehidupan pribadi masyarakat dan negara.
Menurut Amir Syarifudin yang dikutip oleh Hirsanudin
(2008: 7) bahwa hukum Islam berarti seperangkat aturan
berdasarkan wahyu Allah dan suunah Rasul tentang tingkah laku
manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat
untuk semua umat yang beraga Islam.
2. Jual Tahunan sawah
Jual tahunan sawah adalah menjual sawah dengan
memberikan waktu beberapa tahun dan beberapa kali sawah
F. Tinjauan Pustaka
Peneltian ini tidak mengulang atau duplikasi dari penelitian yang
ada. Karena penelitian yang penulis teliti ini mendiskripsikan analisis
tentang tinjauan hukum Islam terhadap jual sawah tahunan.
Beberapa peneliti terdahulu yang menjadi acuan dan perbandingan
bagi penelitian ini antara lain yaitu terdapat beberapa penelitian yang
membahas tentang jual beli.
Skripsi saudara Dodik Kusbianto (2009) . Fakultas Syari’ah: IAIN
Surabaya. Yang berjudul ”Tinjauan Hukum Islam terhadap Penetapan
Syarat dan Akibatnya dalam Transaksi Jual Beli Sawah di Desa
Karangrejo Kec. Gempol-Pasuruan” yang menekankan hukum Islam
terhadap jual beli yang menggunakan syarat, yaitu; a) membayar perskot
10%, b) membayar sisanya sesuai waktu, apabila melebihi waktu yang
telah ditentukan maka perskot akan hilang, dan c) pembeli tidak dapat
lansung menggunakan sawah tersebut.
Dalam skripsi saudara Roshida Mufti (2009) Jurusan Mualamah.
Fakultas syariah: IAIN Sunan Ampel. Yang berjudul “Pandangan Tokoh
Agama Dalam Praktik Transaksi Jual Beli Sawah Tahunan Studi Analisis
HukumIslam di Desa Madigondo Kecamatan Takeran Kabupaten
Magetan”, ditekankan pada jual beli sawah yang penjualan dan
pembeliannya secara tahunan. Dengan kesepakatan apabila telah selesai
batas waktunya, lahan sawah itu akan kembali kepada pemiliknya dengan
Dalam Skripsi saudara Siti Nurcahyati (2010) . Jurusan Muamalah.
Fakulta Syariah: IAIN WALISONGO. Yang berjudul “Tinjauan Hukum
Islam Terhadap Perjanjian Nguyang Pelaksanaannya Di Desa Tlogorejo
Kecamat Tegowanu Kabupaten Grobogan” yang menjelaskan tentang
perjanjian nguyang dan pelaksanaannya yaang menekankan pada jual beli
salam.
Dengan demikian, berbagai keragaman penelitian yang terdahulu
akan semakin memperjelas tentang posisi tentang jual beli. Maka dari itu
permasalah yang diteliti oleh penulis adalah untuk mengetahui tentang
perjanjian jual sawah tahunan di Desa PurworejoKec. Suruh Kab.
Semarang dan kesesuaian perjanjian jual sawah tahunan tersebut dengan
hukum Islam.
G. Metode penelitian
1. Pendekatan dan jenis penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif
adalah tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif. Yaitu apa
yang dinyatakan oleh rinforman secara tertulis maupun secara lisan dan
perilaku yang nyata. Penelitian kualitatif, data yang penulis peroleh dari
lapangan baik data lisan tersebut berupa wawncara maupun data tertulis
(dokumen) (Moleong, 2005:6).
Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis
normatif. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang
berlaku atau tidak (Moleong, 2002: 8). Dengan pendekatan tersebut
saya mengetahui tentang pelaksanaan jual sawah tahunan di Desa
Purworejo Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang sudah sesuai dengan
hukum Islam atau belum.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah tempat dimana lokasi itu akan dilakukan.
Dalam penelitian ini, Lokasi penelitian Desa Purworejo Kecamatan
Suruh Kabupaten Semarang.
3. Kehadiran peneliti
Dalam penelitian ini penulis bertindak sebagai pengumpul data
dilapangan dengan menggunakan alat penelitian yang aktif dalam
mengumpulkan data-data di lapangan. selain peneliti yang dijadikan
alat pengumpulan data adalah dokumen-dokumen yang menunjang
keabsahan hasil penelitian serta alat-alat bantu lain yang dapat
mendukung terlaksananya penelitian, seperti kamera dan alat perekam.
Oleh karena itu kehadiran peneliti di lokasi penelitian sangat
menunjang keberhasilan suatu penelitian, alat bantu memahami
masalah yang ada, serta hubungan dengan informan menjadi lebih dekat
sehingga informasi yang didapat menjadi lebih jelas. Maka kehadiran
4. Sumber data
Dalam penelitian ini terdapat 2 (dua) sumber data yan digunakan
oleh peneliti yang terdiri dari:
a. Sumber Data Primer
Adalah sumber yang dapat memberikan informasi secara
langsung serta sumber data tersebut memiliki hubungan
denganmasalah pokok penelitian sebagai bahan informasi yang
dicari (Syafidin, 1998: 91). Data tersebut dapat diperoleh dari
wawancara masyarakat yang melakukan praktik jual sawah tahuan
di Desa Purworejo Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang. Data
tersebut diperoleh dari penjual dan pembeli.
b. Sumber data sekunder
Sumber data yang bersifat untuk melengkapi sumber daya
primer meliputi buku-buku, arsip dan hasil penelitian lain yang
berhubungan dengan masalah yang diteliti
5. Prosedur pengumpulan data
Yaitu prosedur yang sistematik dan standar untuk memperoleh data
yang diperlukan. Tehnik pengumpulan data yang peneliti gunakan
adalah sebagai berikut:
a. Wawancara
Adalah suatu proses tanya jawab secara lisan antara dua
orang atau lebih dengan berhadapan secara fisik yang satu dapat
Saya melakukan tanya jawab kepada 5 pihak, yaitu pihak
pembeli dan pihak penjual yang mempraktikkan Sawah Tahunan di
Desa Purworejo Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang dalam
rangka memperjelas teknik pengamatan baik tempat, proses dan
dalam hal yang terkait dengan penelitian ini.
6. Analisis data
Dalam menganalsis data, penulis menggunakan metode Kualitatif
deskriptif analitis yaitu suatu metode yang menjadi sebagai suatu
prosedur, pemecahan masalah yang diselidiki dengan manggambarkan
atau melukiskan suatu keadaan subyrek atau obyek dari dalam sebuah
penelitian berdasarkan fakta yang tampak sebagaimana adanya. Jadi
dalam penelitian ini, peneliti menggambarakan dengan keadaan yang
sebenarnya bagaimana perjanjian jual sawah tahunan tersebut apakah
sudah sesuai dengan hukum Islam belum.
7. Pengecekan keabsahan data
Untuk mengetahui data yang dikumpulkan dalam suatu penelitian
memiliki tingkat penelitian kebenaran atau tidak, maka akan dilakukan
pengecekan data yang disebut dengan vidalitas data. Untuk menjamin
suatu validitas data maka akan dilakukan triangulasi, yaitu teknik
pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan suatu yang lain diluar
data itu untuk keperluan pengecekkan atau sebagai pembanding
tersebut akan membuktikan apakah data tersebut sudah sesuai dengan
data yang dilapangan atau belum.
8. Tahap-tahap penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif jadi
tahap-tahapnya adalah sebagai berikut;
a. Tahap sebelum lapangan, yaitu hal-hal yang dilakukan sebelum
melakukan penelitian seperti pembuatan proposal penelitian,
mengajukan surat ijin penelitian, menetapkan fokus penelitian dan
sebagainya yang harus dipenuhi sebelum melakukan penelitian.
b. Tahap pekerjaan lapangan, yaitu mengumpulkan data dengan
melakukan interview dengan perilaku jual sawah tahunan
c. Tahap analisa data, apabila semua data telah terkumpul dan dirasa
cukup maka tahap selanjutnya adalah menganalisis data-data tersebut
dan mengambarkan hasil penelitain sehingga bisa memberi arti pada
objek yang diteliti.
d. Tahap penulisan laporan, yaitu apabila semua data telah terkumpul
dan telah dianalisis serta dikonsultasikan kepada pembimbing maka
yang dilakukan peneliti selanjutnya adalah menulis hasil penelitian
tersebut sesuai dengan pedoman penulisan yang telah ditentuakan.
H. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi, adapun sistematika penulisan penelitian ini
Bab pertama adalah Pendahuluan sebagai garis-garis besar
pembahasan isi pokok penelitian yang terdiri atas; latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan penulisan penelitian, manfaat penelitian,
tinjauan pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian, dan sistematika
penulisan penelitian.
Bab kedua Bab kedua membahas mengenai tinjauan umum tentang
jual beli dan ijarah dalam Islam yang meliputi pengertian akad jual beli,
syarat dan rukun akad jual beli, beserta macam- macam jual beli,
larangan-larangan yang merusak jual beli, hikmah jual beli dan pengertian ijarah,
landasan hukum, rukum dan syarat, hikmah serta berakhirnya akad ijarah. Lokasi penelitian yang berkaitan dengan masalah yang diteliti adalah
jual sawah tahunan di desa purworejo kecamatan Suruh Kabupaten
Semarag. Oleh karena itu bab ketiga paparan gambaran umum yang
meliputi letak geografis, keadaan sosial dan ekonomi dan pelaksanaan jual
sawah tahunan di desa Purworejo Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang.
Bab keempat merupakan analisis terhadap perjanjian jual sawah
tahunan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Purworejo Kecamatn Suruh
Kabupaten Semarang dan analisis Hukum Islam terhadap perjanjian jual
sawah tahunan di Desa Purworejo Kecamatn Suruh Kabupaten Semarang.
Bab kelima merupakan penutup dari pembahasan skripsi ini
BAB II
KERANGKA TEORITIK
A. Tinjauan Umum Tentang Jual Beli
1. Pengertian Jual beli
Jual beli (al-bay’) secara bahasa menurut Aziz (2010:23) adalah memindahkan hak milik terhadap benda dengan akad saling
mengganti.
Jual beli menurut bahasa adalah memberikan sesuatu karena ada
pemberian (imbalan yang tertentu). Menurut Istilah jual beli adalah
pemberian harta karena menerima harta dengan ikrar penyerahan dan
jawab menerima (ijab dan qobul) dengan cara yang diizikan (Rifai, 183: 1976)
Menurut pengertian syari’at jual beli ialah pertukaran harga atas
dasar saling rela atau memindahkan miik sengan ganti yang
dibenarkan (Sabiq, 1987: 45). Secara terminologi ada beberapa definisi
jual beli yang dikemukakan oleh para ulama fiqh, sekalipun
subtansinya dan tujuan masing-masing definisi adalah sama, yaitu
tukar menukar barang dengan cara tertentu atau tukar menukar sesuatu
dengan sepadan menurut caranya yang benar. Jual beli (al-Buyu)
adalah pertukaran harta atas dasar saling rela atau memindahkan milik
dengan ganti yang dapat dibenarkan (berupa alat tukar yang sah)
Adapun definisi sebagian ulama yang mengatakan bahwa jual beli
adalah menukar satu harta dengan harta dengan harta lain dengan cara
khusus merupakan definisi yang bersifat toleran karena menjadikan
jual beli sebagai alat tukat menukar, sebab pada dasarnya akad tidak
harus saling tukar menukar akan tetapi menjadi bagian dari
konsekuensinya, kecuali jika dikatakan: “ Akad yang mempunyai sifat
saling tukat menukar artinya menuntut adanya satu pertukaran (Aziz,
2010: 25).
Menurut Ali fikri yang dikutip oleh Ahmad (2010: 175), bahwa
pendapat dari hanafiah menyatakan jual beli memiliki dua arti, yaitu:a
a. Arti khusus, jual beli adalah menukar barang dengan mata
uang (emas dan perak) dan semacamnya, atau tukar menukar
berang dengan uang atau semacamnya menurut cara yang
khusus.
b. Arti umum, jual beli adalah tukar menukar harta dengan harta
menurut cara yang khusus, harta mencakup zat (barang) atau
uang.
Sedangkan menurut Malikiyah, juga memiliki arti dalam jual beli,
yaitu:
a. Jual beli dalam arti umum adalah akad mu’awadhah (timbal
balik) ata manfaat dan bukan pula untuk menikmati
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa jual beli adalah
akad mu’awadhah, yakni akad yang dilakukan oleh dua pihak,
yaitu penjual dan pembeli, yang obyeknya bukan manfaat,
yakni benda dan bukan untuk kenikmatan seksual (Ahmad,
2010: 176).
b. Ali Fikri yang dikutip oleh Ahmad 2010: 176), bahwa jual beli
dalam arti khusus yaitu akad mu’awadhah (timbal balik) atas
selain manfaat dan bukan pula untuk menikmati kesenangan,
bersifat mengalahkan salah satu imbalannya bukan emas dan
bukan perak, obyek jelas dan bukan utang.
Menurut Samudin yang dikutip oleh Ahmad (2010:176),
bahwa pendapat dari Syafi’iyah, jual beli menurut syara’
adalah suatu akad yang mengandung tukar menukar harta
dengan syarat yang akan diuraikan nanti untuk memperoleh
kepemilikan atas benda atau manfaat untuk waktu selamanya.
Ali fikri yang dikutip oleh Ahmad (2010: 177), bahwa jual
beli syara’ menurut Hanabilah adalah tukar menukar harta
dengan harta, atau tukar menukar manfaat yang mubah dengan
manfaat yang untuk waktu selamanya, bukan riba dan bukan
Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama mazhab
tentang intisari pengertian jual beli, yaitu:
a. Jual beli adalah mu’awadhah, yakni akad yang dilakukan oleh
dua pihak, di mana pihak pertama menyerahkan barang dan
pihak kedua menyerahkan imbalan, baik berupa uang ataupun
barang.
b. Syafi’iyah dan Hanabilah mengemukakan bahwa obyek jual
beli bukan hanya barang (benda), tetapi juga manfaat dengan
yarat tukar menukar berlakunya selamanya, bukan untuk
sementara. Dengan demikian ijarah (sewa-menyewa) tidak termasuk jual beli karena manfaat digunakan untuk sementara,
yaitu selama waktu yang ditetapkan alam perjanjian (Ahmad,
2010:177)
2. Landasan Hukum Jual Beli.
a. Al-Qur’an
1) Surat Al-Baqarah ayat 275:
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.
.
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.
Berdasarkan ayat ini, yang menjadi kriteria suatu
transaksi yang sah adalah adanya unsur suka sama suka
3) Surat Al-Baqarah ayat 282
dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha seseorang dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur. (HR. Bazzar dan dishahihkan oleh
Al-manusia pada umumnya. Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari
tidak semua orang memiliki apa yang dibutuhkannya. Apa yang
dibutuhkannya kadang-kadang berada di tangan orang lain.
kehidupan ekonomi akan berjalan engan poitif karena apa yang
mereka lakukan akan menguntungkan kedua belah pihak
(Muclich, 2010: 178-179).
3. Syarat Dan Rukun Jual Beli
a. Rukun Jual Beli
Menurut mazhab hanafi rukun jual beli adalah ijab dan qobul yang menunjukkan sikap tukar menukar atau saling memberi.
Ataupun dengan kata lain, bahwa ijab qobul adalah perbuatan yang menunjukkan kesediaan kedua belah pihak untuk
menyerahkan milik masing-masing kepada pihak lain dengan
menggunakan perkataan dan perbuatan (Muclich, 2010: 178-179).
Menurut jumhur ulama, rukun jual beli itu ada empat, yaitu:
1) Orang yang berakad
2) Sighat (ijab dan qobul)
3) Barang yang dibeli
4) nilai tukar pengganti barang (Sahrani, 2011: 67)
Dari keempat rukun tersebut mereka sepakati dalam setiap
jenis akad. Rukun jual beli menurut jumhur ulama, selain mazhab
Hanafi ada tiga yaitu:
1) Pihak yang berakad (aqidain) 2) Yang diakadkan (Ma’qud ‘Alaih)
Menurut Hasan yang dikutip oleh Sahrani (2011: 67) bahwa
menurut Mazhab Hanafi, orang yang berakad, barang yang dibeli
dan nilai tukar barang termasuk syarat jual beli bukan rukun.
b. Syarat-Syarat Sah Jual Beli.
1) Penjual dan pembeli (aqidain)
Yang dimaksud dengan aqidain adalah para pihak yang melakukan akad. Adapun syarat yang harus ada pada penjual
dan pembeli yaitu:
a) Berakal
b) kehendak sendiri (bukan paksaan)
Tidak sah jika ada unsur pemaksaan terhadap
hartanya tanpa kebenaran karena tidak ada kerelaan
darinya
c) Tidak mubazir (pemboros), sebab harta orang yang
mubazir itu ditangan walinya.
Dimana terdapat firman Allah SWT:
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah
d) Baliq (berumur 15 tahun keatas/dewasa).
Anak yang kecil tidak sah jual belinya. Adapun
anak-anak yang sudah mengerti tetapi belum sampai
umur dewasa, menurut pendapat sebagian ulama,
mereka diperbolehkan berjual beli barang yang
kecil-kecil, karena ekalau tidak diperbolehkan sudah tentu
menjadi ksulitan dan kesukaran, sedangkan agama
Islam sekali-kali tidak akan menetapkan peraturan
yang mendatangkan kesulitan pada
pemiliknya(Sulaiman, 2005: 279).
e) Beragama Islam
Syarat ini khusus untuk pembelian benda-benda
tertentu, misalnya menjual hambanya yang beraga
Islam sebab kemungkinan pembeli tersebut akan
merendahkan abis yang beragama Islam, sedangkan
Allak SWT melarang orang-orang mukmin memberi
jalan kepada orang kafir untuk merendahkan mukmin (
2) Ma’uqud ‘Alaihi (harga/barang)
Manurut Aziz ( 2010: 47) bahwa Al-Ma’uqud alaih adalah
harga dan barang yang dihargakan. Untuk melengkapi
keabsahan jual beli, barang atau harga harus memenuhi
Syaratnya yaitu:
a) Suci
Barang-barang yang suci terbagi menjadi dua
bagian, yaitu suci tidak bermanfaat dan suci lagi
bermanfaat. Adapun suci tetapi tidak bermanfaat seperti
serangga, binatang buas yang tidak digunakan kecuali
untuk berburu, burung yang tidak dapat dimakan dan
diburu seperti gagak dan yang tidak dapat dimakan seperti
burung hantu, maka tidak boleh dijual karena tidak ada
manfaat dan tidak ada nilainya, maka mengambil harganya
sama dengan memakan harta orang lain dengan cara yang
batil dan memberikan harta adalah kebodohan (Aziz,
2010: 48).
Barang najis tidak sah dijual dan tidak boleh
dijadikan uang untuk membeli, seperti kulit binatang atau
bangkai yang belum disamak (Sulaiman, 2005: 279).
Syafi’iyah haramnya arak, bangkai, anjing dan babi
adalah karena najis, sedangkan berhala bukan najis, tetapi
jika dipecah-peah menjadi batu biasa boleh dijual, sebab
digunakan untuk membangun gedung atau yang lain. Abu
Hurairah, Thawus dan Mujahid berpendapat bahwa kucing
haram diperdagangkan sedangkan jumhur ulama
membolehkan selama kucing tersebut bermanfaat
(Sahrani, 2011: 69).
b) Manfaatnya
Tidak boleh menjual sesuatu yang tidak ada
manfaatnya. Dilarang pula mengambil tukarannya karena
hal itu termasuk dalam arti menyia-nyiakan
(memboroskan) harta yang terlarang dalam kitab suci
(Sulaiman, 2005: 280)
Firman Allah SWT QS Al-Isra’ ayat 27
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.
c) Barang itu diserahkan
Tidak sah menjual suatu barang yang tidak dapat
diserahkan kepada yang membeli, misalnya ikan dalam
laut, barang rampasan yang masih berada di tangan yang
d) Barang tersebut merupakan kepunyaan si penjual,
kepunyaan yang diwakilkan atau yang mengusahakan.
Penjual memiliki kuasa terhadap barang yang akan
dijual, baik berdasarkan hak milik, perwakilan, atau izin
dari syara’ seperti kuasa ayah, kakek, hakim dan orang
yang mendapat harta dari selain jenis harta dia. Dan orang
yang menemukan harta yang dikhawatirkan rusak atau
hilang, maka kuasanya naqish(tidak sempurna)supaya tidak masuk dalam menjual suatu sebelum dipegang, dan
fudhuli yaitu orang yang memiliki, bukan wali dan wakil(Aziz, 2010:55- 56).
e) Barang tersebut diketahui oleh si penjual dan si pembeli
Yang mana harus mengetahui zat, bentuk kadar
(ukuran) dan sifat-sifatnya jelas sehingga antara keduanya
tidak akan terjadi kecoh-mengecoh (Sulaiman, 2005: 281).
Dalam hal ini untuk menghindari gharar dalam
akad yang yang jelas dilarang dan kalau akad tersebut
terjadi, maka akad tersebut menjadi batal. Gharar adalah suatu yang tidak jelas maknanya, atau ragu-ragu antara dua
urusan yang paling dominan adalah yang paling banyak
f) Jangan ditaklikan
Yaitu dikaitkan atau digantungkan kepada hal-hal
lain, seperti jika ayahku pergi, kujual motor ini kepadamu(
Sahrani, 2011: 69).
g) Tidak di batasi waktu, seperti perkataan saya jual motor ini kepada tuan selama satu tahun, maka penjualan tersebut
tidak sah, sebab jual beli merupakan salah satu sebab
pemilik secara penuh yang tidak dibatasi apapun kecuali
ketentuansyara’.
3) Lafaz Shighat
a) Pengertian lafaz shighat
Shighat adalah ijab dan qabul dan ijab diambil dari kata aujaba yang artinya meletakkan , dari pihak penjual yaitu pemberian hak milik, dan qabul yaitu orng yang
menerima hak milik. (Aziz, 2010: 29).
b) Sifat ijab qobul
Dalam masalah ijab kabul terjadi perbedaan
pendapat antara ulama-ulam fiqh, diantaranya yaitu:
(a) Menurut Hanafiah, malikiyah, dan tujuh fugaha
madinah dari kalangan tabi’in, akad langung mengikat
begitu ijab dan qabul selesai dinyatakan.
(b) Menurut Syafi’iyah, Hanabilah, Sufyan Ats-Tsauri dan
ijab dan qabul, maka akad menjadi jaiz (boleh), yakni tidak mengikat, selama para pihak masih berada di
majelis akad (Muclich, 2010: 184-185).
c) Lafaz ijab qobul
Ijab adalah perkataan penjual, seumpamanya: saya jual barang sekian. Qabul adalah perkataan si pembeli, umpamanya: saya terima (saya beli) dengan harga sekian.
Prinsip dasar dalam jual beli adalah kerelaan.
Sedangkan suka sama suka itu, tidak dapat terang
diketahui melainkan dengan perkataan yang menunjukkan
akan suka seorang dengan seorang, karena suka itu, dalam
hati masing-masing. Tetapi Nawawi, Mutawali, Baghawi
dan beberapa ulama lain, berpendapat bahwa lafaz itu tidak menjadi rukun, hanya menurut adat kebiasaan saja,
apabila adat telah berlaku yang seperti itu sudah dipandang
jual beli, karena tidak ada dalil yang terang untuk
mewajibkan lafaz.
Menurut ulama yang mewajibkan lafaz diwajibkan keadaan lafaz itu memenuhi beberapa syarat:
(a) Keadaan ijab dan qabul berhubungan. Artinya salah satu keduanya pantas menjadi jawab dari yang lain
(b) Hendaklah sesuai makna keduanya walaupun lafaz keduanya berlainan.
(c) Keadaan keduanya tidak disangkutkan dengan urusan
yang lain, seperti katanya “kalau saya jadi pergi, saya
jual barang ini sekian.
(d) Tidak berwaktu, sebab jual beli berwaktu seperti
sebulan atau setahun tidak sah (Suparta dkk, 1992:
450).
4. Macam Jual Beli
a. Menurut Hanafiah
1) Ditinjau dari segi sifat
a) Jual beli yang shahih
Menurut Ali Fikri yang dikutip oleh Muclich
(2010: 202) bahwa jual beli shahih adalah jual beli yang
disyariatkan dengan memenuhi asalnya dan sifatnya, atau
dengan ungkapan lain, jual beli shahih adalah jual beli
yang tidak terjadi kerusakan, baik pada rukunnya maupun
syarat.
Jual beli yang shahih apablia obyek tidak ada
hubunganya dengan hak orang lain selain ‘aqid maka
hukumnya nafidz. Artinya, bisa dilangsungkan dengan
melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing pihak,
ada kaitan dengan hak orang lain yang hukumnya
mauquf, yakni ditangguhkan menunggu persetujuan pihak
terkait. Seperti jual beli barang yang digadai atau jual beli
sewa menyewa Muclich (, 2010: 202).
b) Jual beli ghairu shahih
Menurut Ali Fikri yang dikutip oleh Muclich
(2010: 202) jual beli ghairu shahih adalah jual bel yang
tidak dibenarkan sama sekali oleh syar’i, dan dinamakan
jual beli batil, atau jual beli yang disyariatkan dengan
terpenuhi pokok (rukunnya), tidak sifatnya dan ini
dinamakan jual beli fasid. 2) Dilihat dari segi shighat-nya
a) Jual beli mutlaq yaitu jual beli yang dinyatakan dengan shighat (redaksi) yang bebas dari kaitannya dengan syarat
dan sandaran kepada masa akan datang.
b) Jual beli ghairu mutlaq adalah jual beli yang shighatnya
(redaksinya) dikaitkan atau disertai dengan syarat atau
disandarkan kepada masa yang akan datang.
3) Dilihat dari segi hubungannya dengan obyek jual beli
a) Jual beli muqayadhah adalah jual beli barang dengan barang, seperti jual beli binatang dengan binatang, beras
dengan gula atau mobil dengan mobil. Jual beli semacam
atau berbeda, baik dua-duanya dari jenis makananatau
bukan.
b) Jual beli sharf adalah tukar menukar (jual beli) emas dengan emas, dan perak dengan perak, atau menjual salah
satu dari keduanya dengan yang lain (emas dengan perak
atau perak dengan emas.
c) Jual beli salam adalah penjualan tempo dengan
pembayaran tunai.
4) Dilihat dari segi harga atau ukuran
a) Jual beli murabahah adalah menjual barang dengan harganya semula ditambah dengan keuntungan dengan
syarat tertentu.
b) Jual beli tauliyah adalah jual beli barang sesuai dengan harga pertama (pembelian) tanpa tambahan.
c) Jual beli wadi’ah dan disebut juga al-mahathah adalah jual beli barang dengan mengurangi harga pembelian.
d) Jual beli musawamah adalah jual beli yang biasa berlaku di mana para pihak yang melakukan akad jual beli saling
menawar sehingga mereka berdua sepakat atas suatu harga
b. Menurut Malikiyah
1) Dari segi pembayarannya tempo atau tunai
a) Jual beli tunai (bai’ an-naqd), yaitu jual beli dimana harga atau barang diserahkan secara tunai.
b) Jual beli utang dengan utang (ba’i ad-dain bi ad-ain), yaitu jual beli dimana harga dan barang diserahkan nanti
(tempo). Ini termasuk jual beli yang dilarang.
c) Jual beli tempo (al-bai’ li ajal) yaitu jual beli dimana harga dibayar tempo sedangkan barang diberikan tunai
d) Jual beli salam yaitu jual beli dimana barang yang diberikan nanti (tempo), tetapi harga dibayar tunai
(dimuka)
Semua hukum jual beli tersebut dibolehkan kecuali
jual beli utang dengan utang (Muclich, 2010: 209-210).
2) Ditinjau dari segi alat pembayaran.
a) Jual beli benda dengan benda (bai’ al-‘ain bi al-ain)
b) Jual beli ‘ardh dengan ‘ardh yaitu jual beli uang emas
dengan uang emas, atau perak dengan perak (bai’ al-‘ardh bi al-‘ardh).
Jual beli ‘ardh (emas atau perak) dengan benda
(bai’ al-‘ardh bi al-ain). Jual beli ini terbagi menjadi tiga
(1) Jual beli sharf yaitu jual beli dimana jeni penukarannya berbeda, seperti emas dengan perak
ataupun sebaliknya.
(2) Jual beli murathalah yaitu jual beli dimana jenis
penukarannya sama, dan jual beli dengan cara
ditimbang.
(3) Jual beli mubadalah yaitu jual beli dimana jenis
penukarannya sama, tetapi jual beli dilakukan
dengan cara dihitungan.
3) Ditinjau dari segi dilihat atau tidaknya obyek
a) Menjadi beli yang kelihatan (bai’ al hadhir) yaitu jual beli
dimana barang yang menjadi obyek jual beli bisa dilihat
atau yang secara formal bisa dilihat.
b) Jual beli barang yang tidak kelihatan (bai’ al-ghaib) yaitu
jual beli dimana barang yang menjadi obyek akad tidak
bisa dilihat.
4) Ditinjau dari putus tidaknya akad
a) Jual beli yang putus (jadi) sekaligus (bai’ al-bat) yaitu beli yang tidak ada khiyar (pilihan) bagi salah satu pihak ang
berakad.
b) Jual beli khiyar yaitu jual beli dimana salah satu pihak
untuk meneruskan jual beli atau membatalkan) kepada
pihal lain.
5) Ditinjau dari segi ada tidaknya harga pertama
a) Jual beli murabahah
b) Jual beli musawamah
c) Jual beli muzayadah yaitu jual beli dimana para pihal yang berka menambah harga, sehingga didapatkan harga tinggi
d) Jual beli al-istiman yaitu jual beli dengan tujuan mencari perlindungan keamanan dari seseorang yang dzalim,
sehingga apabila situasi telah aman maka barang dan
harganya dikembalikan olh masing-masing pihak.
6) Ditinjau dari segi sifat
a) Jual beli yang shahih
b) Jual beli fasid
c. Menurut Syafiiyah
1) Jual beli yang shahih yaitu jual beli yang terpenuhi syarat dan
rukunnya. Jual beli shahih terbagi menjad beberapa bagian, yaitu:
a) Jual beli benda yang kelihatan
b) Jual beli benda yang sifati dalam dzimmah (perjanjian), juga apat diebut jual beli salam
yang sama, untuk keabahannya ad syarat yang harus
terpenuhi, yaitu:
(a) Tunai, tidak boleh diutang.
(b) Harus diserahterimakan
d) Jual beli murabahah
e) Jual beli isyrak, yaitu jual beli patungan dengan orang lain f) Jual beli mahathah (wadhi’ah), yaitu jual beli dibawah
harga pembelian
g) Jual beli tauliyah, yaitu jual beli barang sesuai dengan
harga pertama (pembeli) tanpa keuntungan.
h) Jual beli binatang dengan binatang (muqayadhah). i) Jual beli dengan syarat khiyar
j) Jual beli dengan syarat bebas dari cacat
k) Jual beli fasid yaitun jual beli yang sebagian rukun dan
syaratnya tidak terpenuhi
d. Menurut Hanabillah
1) Shahih lazim
2) Fasid membatalkan jual beli
Jual beli yang shahih ada tiga macam, yaitu:
a) Jual beli dengan syarat yang kehendaki oleh akad, seperti
syarat saling menerima (taqabuh), pembayaran (harga)
b) Jual beli dengan syarat ditangguhkannya semua harga, atau
sebagiannya untuk waktu tertentu dengan syarat gadai.
c) Jual beli dengan syarat yang dikemukakan oleh penjual
kepada pembeli bahwa ia akan memanfaatkan barang yang
dijual untuk waktu tertentu dan jenis manfaat tertentu.
5. Larangan-Larangan Yang Merusak Jual Beli
a. Habl Al-Hablah ( hamilnya si janin)
Menurut Khatib yang dikutib oleh Aziz (2010:68) bahwa
jual beli yang dilarang adalah habl al-hablah dan hadist riwayat
Al-Bukhori dan Muslim Ibnu umar dengan lafal: Rasulluallah
SAW melarang menjual habl al-hablah. Habl al-hablah adalah menjual anak hewan atau menjual sesuatu dengan bayaran ketika
janin dalam perut melahirkan artinya sampai hewan itu
melahirkan anak dan si anak ini melahirkan melahirkan, maka
akad jual beli tersebut batal karena tergantung dengannya (Aziz,
2010: 68).
Batal akad jual beli ditetapkan berdasarkan penafsiran
pertama terhadap larangan yang ada karena ia adalah bentuk jual
beli terhadap sesuatu yang bukan hak miliknya, tidak diketahui,
dan tidak mampu diserahkan. Menurut penafsiran kedua karena
menunda sampai waktu tidak diketahui (Aziz, 2010: 68-69).
Yaitu memegang baju yang dilipat atau dalam gelapnya
malam lalu ia membelinya tanpa khiyar jika dia melihatanya,
karena karena memegang sudah dianggap ukup dari melihat, atau
dia mengatakan: “ Jika kamu menyentuhnya, maka saya akan
menjual kepadamu,” cukup dengan menyentuh tanpa shighat atau
menjual sesuatu dengan syarat kapan dia memegangnya, maka
jual beli menjadi wajib dan tidak ada khiyar majlis dan yang
lainnya (Azis, 2010: 70).
Menurut Imam As-Syafii menjelaskan bahwa alasan
batalnya akad karena ada penggantungan dan tidak memakai
shighat syar’i. Al-Asnawi menjelaskan bahwa jika dia menjadikan
pemegang (lams) sebagai syarat, maka batalnya akad karena ada
penggantungan, dan jika dia menjadikan memegang sebagai jual
beli, maka karena karena tidak ada shighat (Azis, 2010: 70).
Adapun munabadzah, menjadikan “menjatukan” sebagai jual beli sudah dianggap cukup menggantikan shighat kemudian
yang lain mengatakan: “saya jatuhkan bajuku kepadamu dengan
harga sepuluh,”lalu diambil oleh pihak kedua atau dia berkata:
”saya jual kepadamu baju ini dengan harga begini dengan syarat
jika saya menjatuhkan kepadamu,” maka jual beli menjadi wajib
dan tidak ada khiyar (memilih), dan batal karena tanpa ru’yah
c. Larangan jual beli hushat (dengan kerikil)
Batalnya akad dalam jual beli ini dikarenakan barang yang
ijual atau waktu khiyar tidak diketahui atau karena tidak ada shighat.
d. Larangan jual beli Al-Urbun
Al-Urbun yaitu seseorang membeli satu barang dan memberi penjual sejumlah uang dengan syarat ia menjadi bagian
dari harga barang kalau dia ridha dengan jual beli an kalau tidak,
maka hanya hadiah aja (Aziz, 2010: 66-72).
Menurut Nawawi (2012: 80) seorang muslim tidak boleh
melakukan jual urbun atau mengambil uang muka secara kontan. e. Jual beli barang yang belum diterima
Seorang muslim tidak boleh membeli membeli suatu
barang kemudian menjualnya kembali, padahal ia belum
menerima barang dagangan tersebut.
f. Jual beli seorang muslim dari muslim lainnya
Seorang Muslim tidak boleh jika saudara seagamanya telah
membeli suatu barang seharga lima ribu rupiah, kemudian ia
berkata kepada penjualnya,”Mintalah kembali barang itu dan
batalkan jual belinya, karena aku akan membelinya darimu
g. Jual beli Najasy
Seorang muslim tidak boleh menawar suatu barang dengan
harga tertantu, padahal ia tidak ingin membeli barang tersebut,
namun ia berbuat seperti itu agar diikuti para penawar lainnya
kemudian pembeli tertarik untuk membeli barang tersebut.
g. Jual beli barang-barang haram dan najis
Seorang muslim tidak boleh menjual barang atau
komoditas barang haram, barang-barang najis, dan menjurus
kepada haram. Jadi, kita tidak boleh menjual minuman keras,
babi, bangkai, berhala dan anggur yang hendak dijadikan
minuman keras.
h. Jual beli gharar
Orang muslim tidak boleh menjual sesuatu yang didalamnya
mengandung ketidakjelasan (gharar)
i. Jual beli dua barang dalam satu akad
Seorang muslim tidak boleh melangsungkan jual beli dalam
satu akad, namun ia harus melangsungkan keduanya
sendiri-sendiri karena didalam terdapat ketidakjelasan.
j. Jual beli utang dengan utang
Seseorang muslim tidak boleh menjual utang dengan utang,
karena hal tersebut sama saja menjual barang yang tidak ada
dengan barang yang tidak ada pula, Islam tidak membolehkan jual
k. Jual beli musharrah
Seorang muslim tidak boleh menahan susu kambing atau lembu
atau unta selama berhari-hari agar susunya kelihatan banyak,
kemudian manusia tertarik untuk membelinya dan ia pun
menjualnya, karena cara seperti itu adalah penipuan (Nawawi,
2012: 78-81).
6. Hikmah jual beli
Hikmah jual beli ialah seorang muslim bisa mendapatka sesesuatu
apa yang dibutuhkan dengan sesuatu yang ada ditangan saudaranya
tanpa kesulitan yang berarti.
B. TINJAUAN UMUM TENTANG SEWA MENYEWA (Ijarah)
1. Sewa menyewa (Ijarah)
Al-ijarah berasal dari kata al-ajru, yang artinya menurut bahasa ialah al-iwadh, artinya dalam bahasa indonesia adalah ganti dan upah.
Menurut Tihami yang dikutip oleh Sahrani (2011: 167). Al-ijarah (sewa menyewa) adalah akad (perjanjian) yang dikenakan dengan kemanfaatan
(mengambil manfaat sesuatu) tertentu sehingga sesuatu itu legal untuk
diambil manfaatnya dengan memberi pembayaran (sewa) tertentu.
Menurut Rachmat Syafii yang dikutip oleh Sahrani (2011: 167)
bahwa ijarah dalam bahasa adalah menjual manfaat. Sewa menyewa kepada hak seorang petani yang mengolah sebidang tanah yang bukan
miliknya,berdasarkan perjanjian yang ditandatangani antara petani dan
Menurut Azhur Rahman yang dikutip oleh Sahrani ( 2011: 167)
bahwa dalam perjanjian tersebut memberi hak kepadanya untuk
melanjutkan pengolahan tanah untuk melanjutkan pengolahan tanah
sepanjang dia membayar sewa kepada tuan tanah dan bertindak
selayaknya sesuai dengan syarat-syarat sewa menyewa.
Terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama fiqh tentang
pengertian ijarah, perbedaan tersebut diantaranya adalah:
a. Menurut Hanafiah, ijarah ialah akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan disengaja dari suatu zat
yang disewa dengan imbalan
b. Menurut Malikiyah, ijarah adalah nama bagi akad-akad untuk kemanfaatan yang berifat manusiawi dan untuk sebagian yang
dapat dipindahkan.
c. Menurut Syaikb Syihab Al-Din dan Syaikh Umairah, ijarah
adalah akad atas manfaat yang diketahui dan disengaja untuk
memberi dan membolehkan imbalan diketahui ketika itu.
d. Menurut Muhammad Al-Syarbini al-Khitab, ijarah yaitu pemilikan manfaat dengan adanya imbalan dan syarat-syarat.
e. Menurut Sayid Sabiq, ijarah adalah suatu jenis akad untuk
mengambil manfaat dengan jalan penggantian.
f. Menurut Habi Ah-Shiddiqie bahwa ijarah adalah akad yang
pemilikan manfaat dengan imbalan, sama dengan menjual
manfaat.
g. Menurut Idris Ahmad bahwa upah artinya mengambil manfaat
tenaga orang lain dengan jalan memberi ganti menurut
syarat-yarat tententu (Suhendi, 2014:114-115).
2. Landasan Hukum Ijarah
a. Landasan Al-Qur’an
pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu
Artinya: Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya
bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang
kuat lagi dapat dipercaya”.
Artinya: Berkatalah Dia (Syu’aib): “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu insya Allah akan mendapatiku Termasuk orang- orang yang baik.
4) QS. Al-Thalaq : 6
b. Landasan As-Sunnah agama orang kafir Quraisy. Nabi dan Abu Bakar kemudian menyerahkan kepadanya kendaraan mereka, dan mereka berdua menjanjikan kepadanya untuk bertemu di Gua Tsaur dengan kendaraan mereka setelah tiga hari pada pagi hari selasa. (HR. Al-Bukhari, Jilid 3: 332).
c. Landasan Ijma’
Disyariatkan ijarah, semua umat bersepakat, tak seorang
ulama yang membantah kesepakatan ijma’, sekalipun ada
seseorang di antara mereka yang berpendapat berbeda, akan tetap
hal tersebut tidak dianggap (Sabiq, 1987: 11).
3. Rukun Dan Syarat Sewa Menyewa (Ijarah)
a. Rukun sewa menyewa (Ijarah) 1) Mu’jrir dan musta’jir
Yaitu orag yang melakukan akad sewa menyewa. Mu’jir adalah orang yang memberikan upah an menyewakannya,
sedangakan musta’jir adalah orang yang menerima upah untuk
melakukan sesuatu dan yang menyewa sesuatu (Suhendi, 2014:
2) Shighat ijab dan kabul antara mu’jir dan masta’jir, ijab kabul sewa menyewa dan upah mengupah.
3) Ujrah, disyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak baik dalam sewa menyewa atau upah mengupah.
4) Manfaat
Menurut hanafiah , rukun ijarah hanya satu, yaitu ijab dan
qobul, yakni pernyataan dari orang yang menyewa dan menyewakan (Muclich, 2010: 320)
b. Syarat-syarat sewa menyewa (ijarah)
Seperti halnya dalam akad jual beli,syarat-syarat ijarah terdiri atas empat jenis persyaratan, yaitu:
1) Syarat terjadinya akad (syarat In’iqad)
Syarat terjadinya akad (syarat in’iqad) berkaitan dengan ‘aqid, akad dan obyek akad. Menurut Hanafiah syarat yang
berkaitan dengan ‘aqid adalah berakal dan mumayyiz, sedangankan menurut Syafiiyah dan Hanabilah adalah baliqh.
Maka dari itu bahwa akad ijarah tidak sah apabila pelakunya gila atau masih dibawah umur.
Sedangkan menurut Malikiyah, tamyiz merupakan syarat
dalam sewa menyewa dan jual beli, sedangkan baligh merupakan
syarat untuk kelangsungan (nafadz). Dengan demikian, apabila
untuk kelangungan menunggu izin walinya (Muclich, 2010:
321-322).
2) Syarat kelangsungan akad (Nafadz)
Untuk kelangsungan akad ijarah disyaratkan terpenuhinya
hak milik atau wilayah (kekuasaan). Apabila si pelaku tidak
mempunyai hak kepemilikan atau kekuasaan (wilayah), seperti
akad yang dilakukan oleh fudhuli, maka akadnya tiak bisa
dilangsungkan, dan menurut Hanafiah dan Malikiyah statusnya
mauquf (ditangguhkan) menunggu persetujuan si pemilik barang.
Akan tetapi, menurut Syafi’iyah dan Hanabilah hukumnya batal,
seperti halnya jual beli (Muclich, 2010: 322).
3) Syarat sahnya ijarah
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
Ijarah termasuk kepada perniagaan (tijarah), karena di dalamnya terdapat tukar menukar barang.
b) Obyek akad yaitu manfaat harus jelas, sehingga tidak
menimbulkan perelisihan. Apabila obyek akad (manfaat)
tidak jelas, sehingga menimbulkan perselisihan, maka akad
ijarah tidak sah, karena dengan demikian, manfaat tersebut tidak bisa diserahkan, dan tujuan akad tidak tercapai.
c) Obyek akad ijarah harus dapat terpenuhi, baik menurut hakiki
maupun syar’i. Dengan demikian tiadak sah menyewakan
sesuatu yang sulit diserahkan secara syar’i, seperti menyewa
tenaga wanita yang sedang haid untuk memberihkan masjid
atau menyewa dokter gigi untuk mencabut gigi yang sehat,
atau menyewa tukang sihir untuk mengajar ilmu sihir.
Sehingga dengan syarat ini Abu Hanifiah dan Zufar
berpendapat bahwa tidak boleh menyewakan benda milik
berama mengikutsertakan pemilik syariat yang lain, karena
manfaat benda milik bersama tidak bisa diberikan tanpa