• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENGANTAR. Kejadian bencana alam yang terkait dengan iklim selama kurun waktu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENGANTAR. Kejadian bencana alam yang terkait dengan iklim selama kurun waktu"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENGANTAR

1.1. Latar Belakang

Kejadian bencana alam yang terkait dengan iklim selama kurun waktu 1980-2011 mengalami fluktuasi dengan kecendurungan terus mengalami peningkatan seperti yang ditampilkan pada gambar 1.1. Dalam 32 tahun terjadi 3.455 kejadian banjir, 2.689 kejadian badai, 470 kejadian kekeringan dan 395 kejadian temperatur ekstrim (UNISDR).

Gambar 1.1. Kejadian bencana alam yang terkait dengan perubahan iklim tahun 1980-2011(sumber:http://www.preventionweb.net/files/20120613_ ClimateDisaster1980-2011.pdf)

Menurut IFRCRCS dalam World Disaster Report (2001), kerugian ekonomi akibat bencana terkait perubahan iklim di tingkat global yang terjadi pada dekade ini dibanding dengan yang terjadi pada dekade 1950an sudah mengalami

(2)

2

peningkatan sebesar14 kali lipat, yaitu mencapai 50-100 milyar USD per tahun. Jumlah kematian akibat bencana iklim juga meningkat 50% per dekade.

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan panjang garis pantai lebih dari 95.181 km serta lebih dari 17.508 pulau dengan 17.475 diantaranya termasuk dalam kategori pulau kecil, serta luas laut sekitar 3,1 juta km2 (Dahuri et al., 1996). Sidang Khusus Majelis Umum PBB ke-22 tahun 1999 menghasilkan State of Progress and Initiatives for the Future Implementation of the Programme of Action for Sustainable Development of Small Island

Developing States untuk jangka waktu 5 tahun (1999-2004) yang menetapkan

bahwa masalah prioritas dalam pengelolaan pulau kecil berupa: perubahan iklim dan naiknya permukaan air laut; serta bencana alam dan kerusakan lingkungan (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003).

Pemanasan global menyebabkan kenaikan suhu permukaan laut yang kemudian mengakibatkan terjadinya pemuaian air laut dan pencairan es abadi di kutub dan salju abadi di pegunungan tinggi. Hal tersebut menyebabkan peningkatan volume air laut. Proses sedimentasi yang ada di muara-muara sungai menyebabkan pembentukan delta secara signifikan sehingga mendesak air laut Hal tersebut pada akhirnya akan berkontribusi pada kenaikan muka air laut yang dan menyebabkan tengelamnya pulau-pulau kecil (Soemarwoto, 2000).

Di Indonesia, gejala kenaikan permukaan air laut mencapai 1-3 cm per tahun dan kenaikan suhu mencapai 0,03 oC per tahun. Dampak kenaikan muka air laut juga nyata terjadi di Indonesia (Meiviana et.al. 2004). Dalam periode 1925-89, muka air laut naik 4,38 mm/tahun di Jakarta, 9,27 mm/tahun di Semarang, dan

(3)

3

5,47 mm/tahun di Surabaya. Penelitian Sofian (2010) dalam Boer (2011) membuktikan bahwa kenaikan muka air laut di Indonesia dalam periode 1993-2008 berkisar antara 0,2-0,6 cm per tahun. Suhu muka air laut juga meningkat rata-rata 0.020-0.023°C/tahun. Naiknya permukaan air laut dapat menyebabkan dampak yang serius terhadap keberadaan pulau-pulau kecil, karena sebagian besar pulau-pulau kecil di Indonesia berupa dataran rendah dan memiliki ketinggian hanya beberapa meter di atas permukaan laut (dpl). Dengan naiknya permukaan laut akan berdampak pada berkurangnya luasan daratan pulau-pulau kecil secara signifikan (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003).

Salah satu wilayah di Indonesia yang terdiri atas pulau-pulau kecil adalah Kabupaten Alor. Kabupaten Alor terdiri dari 20 pulau kecil, dengan 9 diantaranya merupakan pulau berpenghuni. Pulau kecil memiliki tingkat kerawanan tinggi terhadap bencana yang terkait dengan perubahan iklim. Ancaman-ancaman tersebut berupa kenaikan muka air laut yang dapat menimbulkan tenggelamnya pulau-pulau kecil, perubahan curah hujan, dan lain-lain. Berdasarkan data BNPB (2011), Kabupaten Alor menempati peringkat keempat dalam hal tingkat kerawanan multi bencana di Provinsi NTT dengan skor 94. Sementara secara nasional, Kabupaten Alor menempati peringkat ke-38.

(4)

4

Gambar 1.2. Tingkat kerawanan multi bencana Provinsi Nusa Tenggara Timur (Alor dilingkari warna merah) (Sumber : BNPB, 2011)

Pulau-pulau kecil memiliki karakteristik sumberdaya manusia, sumberdaya alam, infrastruktur, lingkungan, interkonektivitas dengan daerah lain dan sosial budaya yang khas. Kawasan pulau-pulau kecil sering dikategorikan sebagai daerah yang tertinggal yang disebabkan adanya permasalahan pembangunan. Beberapa permasalahan pembangunan pulau-pulau kecil (Kusumastanto, 2004), yaitu (1) ukuran yang kecil dan terisolasi menyebabkan penyediaan prasarana dan sarana menjadi sangat mahal, (2) kesukaran atau ketidakmampuan untuk mencapai skala ekonomi yang optimal dan menguntungkan dalam hal administrasi, usaha produksi, dan transportasi, (3) ketersediaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang dapat menentukan daya dukung (carrying capacity) sistem pulau kecil terbatas, (4) produktivitas sumberdaya alam dan jasa-jasa

(5)

5

lingkungan yang terdapat di setiap unit ruang (lokasi) di dalam pulau dan yang terdapat di sekitar pulau saling berkaitan sehingga kesalahan manajemen suatu bidang pembangunan dapat menimbulkan kerugian pada bidang yang lain, dan (5) Budaya lokal kepulauan kadang kala bertentangan dengan kegiatan pembangunan. Pelling dan Uitto (2001) mengemukakan beberapa karakteristik yang menjadi alasan pulau-pulau kecil rentan terhadap bencana akibat perubahan iklim, yaitu (1) ukuran kecil yang berimplikasi pada keterbatasan sumberdaya berbasis daratan, (2) insularitas dan remoteness yang berimplikasi pada biaya transportasi yang mahal dan waktu yang lebih lama, (3) masalah faktor lingkungan seperti keterpaparan terhadap gangguan, (4) kapasitas mitigasi terhadap bencana yang terbatas, (5) faktor penduduk yang memiliki kualitas sumberdaya manusia (SDM) yang rendah, tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi, serta (6) faktor ekonomi seperti ketergantungan pada pembiayaan eksternal dan keterbatasan pasar internal. Untuk mengurangi atau meredam dampak yang ditimbulkan oleh suatu kejadian bencana diperlukan adanya kapasitas yang tinggi dari semua stakeholder

terkait. Salah satu bagian penting dari stakeholder tersebut adalah pemerintah karena pemerintah merupakan motor penggerak utama bagi pembangunan daerah. Dalam manajemen bencana, pemerintah juga mempunyai peran dan tanggung jawab yang sangat penting, terutama terkait dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang masih memerlukan peran pemerintah, terutama dalam pendidikan masyarakat yang berkaitan dengan bencana, penyediaan fasilitas, sarana dan prasarana publik untuk keadaan darurat, seperti: tempat-tempat evakuasi atau bangunan untuk penyelamatan sementara, pertolongan dan evakuasi

(6)

6

korban bencana, pemenuhan kebutuhan dasar bagi korban bencana, peringatan bencana dan mobilisasi sumber daya baik dari pemerintah maupun pihak luar (LIPI, 2006).

Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, upaya pengurangan risiko bencana merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kewenangan pemerintah daerah dan sebagai salah satu bentuk fungsi pemerintah sebagai pemberi perlindungan kepada masyarakat. Hal ini merupakan amanat 2 (dua) aturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Pemerintah daerah sebagai penyelenggara pemerintahan hendaknya memiliki kepekaan dalam mengantisipasi terjadinya bencana, terutama pengurangan risiko bencana yang bertumpu pada 3 (tiga) aspek yaitu pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan (Roem, 2012). Oleh sebab itu, diperlukan upaya yang serius dari pemerintah daerah untuk melakukan langkah konkrit dalam melindungi masyarakatnya apabila terjadi kondisi kedaruratan, karena lokus dari bencana berada pada wilayah kerja pemerintah daerah tergantung dari skala dan kriteria bencana yang terjadi. Namun demikian, hasil kajian BNPB menunjukkan bahwa kesiapsiagaan pemerintah daerah di 33 kabupaten/kota di Indonesia termasuk dalam kategori rendah. Pengetahuan bencana di kalangan pemerintah telah meningkat tetapi indeks kebijakan, rencana tanggap darurat, sistem peringatan dini, dan mobilisasi sumber daya masih rendah (Nugroho, 2012).

(7)

7

Drabek dan Hoetmer (1991) menetapkan dua konsep kunci mengenai peran pemerintah lokal dalam kaitannya dengan manajemen bencana yaitu manajemen bencana secara komprehensif dan integratif. Pemerintah lokal bertindak secara komprehensif ketika mengkoordinasikan empat tahapan manajemen bencana yaitu mitigasi, kesiapsiagaan, respon dan pemulihan. Sementara itu, pemerintah lokal bertindak secara integratif ketika mengkoordinasikan perencanaan dan strategi dari pengkajian bahaya, mobilisasi sumberdaya dan implementasinya dengan entitas yang lain baik secara vertikal maupun horizontal.

Karakteristik pulau kecil yang khas menyebabkan manajemen perubahan iklim di pulau-pulau kecil berbeda dengan wilayah lain, khususnya yang ada di daratan (mainland). Selain bergantung pada jenis ancaman, kerentanan dan kapasitas, pengurangan risiko bencana akibat perubahan iklim di pulau-pulau kecil terluar juga harus memperhatikan keterbatasan infrastruktur dan akses dengan daerah di sekitarnya. Bantuan logistik dari luar daerah dapat terhambat pada saat terjadi bencana sehingga pada masa awal tanggap darurat harus dipersiapkan oleh pemerintah daerah setempat. Oleh karenanya perlu dilakukan penguatan kapasitas pemerintah daerah dalam pengurangan risiko bencana di Kabupaten Alor. Penelitian ini mengambil judul “Pulau Kecil Berketahanan Iklim : Studi Kapasitas Pemerintah Daerah dalam Pengurangan Risiko Bencana Akibat Perubahan Iklim di Pulau-pulau Kecil (Kasus Kabupaten Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur)”.

(8)

8

1.2. Rumusan Masalah

Peningkatan intensitas dan frekuensi kejadian bencana alam menyebabkan perubahan iklim yang akhir-akhir ini dampaknya semakin nyata membuat keadaan menjadi semakin memburuk. Perubahan iklim menjadi pemicu terjadinya bencana alam seperti banjir, kekeringan, dan kebarakan hutan. Laporan kelompok kerja II dibawah IPCC (Inter-Governmental Panel on Climate Change/Panel antar Pemerintah) mengenai dampak dan adaptasi perubahan iklim yang dirilis pada Bulan April 2007 menyebutkan bahwa Indonesia akan mengalami penurunan curah hujan di kawasan Selatan, sebaliknya kawasan Utara akan mengalami peningkatan curah hujan. Artinya kawasan yang menurun curah hujannya sangat berpotensi merusak sistem tanam pertanian, khususnya tanaman yang tidak memiliki potensi resitan terhadap kekeringan, krisis air untuk menopang kehidupan (air bersih) dan infrastruktur pembangkit listrik turbin. Di sisi lain, peningkatan curah hujan menjadi potensial ancaman banjir yang merusakan sarana dan prasarana serta lahan-lahan basah. Selain itu kejadian perubahan pola intensitas curah hujan lokal yang ekstrim juga sering terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Perubahan pola curah hujan tersebut makin sulit untuk diprediksi guna mengantisipasi dampak perubahan cuaca dan iklim yang akan terjadi.

Dampak perubahan iklim yang menjadi ancaman besar lainnya apabila dikaitkan dengan kondisi geografis Indonesia adalah naiknya permukaan air laut

(sea level rise). Ancaman terhadap naiknya permukaan air laut dan ancaman

terhadap tenggelamnya pulau-pulau. Bagi negara kepulauan seperti Indonesia yang wilayahnya tersusun atas banyak sekali pulau-pulau yang secara total

(9)

9

jumlahnya mencapai 13.466 pulau (berdasarkan survei geografi dan toponimi yang berakhir pada 2010), hal ini tentunya akan memiliki dampak yang sangat besar. Tenggelam atau hilangnya suatu pulau kecil merupakan salah satu fenomena yang akan pasti terjadi apabila dampak perubahan iklim tidak diindahkan. Hasil kajian Kementerian Pekerjaan Umum yang memperkuat laporan IPCC menyebutkan bahwa dengan kenaikan sekitar 1 (satu) meter, diperkirakan sekitar 405,000 ha dari lahan pesisir termasuk kepulauan kecil akan banjir.

Keberhasilan pelaksanaan gagasan dalam menghadapi dampak perubahan iklim dan bencana akan membutuhkan sumberdaya manusia, sumberdaya teknis dan keuangan yang memadai. Pemerintah daerah sebagai salah satu motor penggerak utama bagi pembangunan di daerah sudah seharusnya dapat memiliki peran sentral dalam menciptakan kondisi-kondisi mencerminkan resiliensi wilayah dalam menghadapi perubahan iklim. Namun demikian, kondisi yang ada justru sebaliknya, seringkali pemerintah tidak memiliki kesiapan dalam menghadapi kejadian bencana. Aparat satuan pelaksana (satlak) yang menjadi ujung tombak jika terjadi bencana masih belum berfungsi secara efektif. Sebagian anggota satlak tidak mengetahui perannya karena kurangnya sosialisasi serta belum adanya prosedur tetap untuk menghadapi bencana (LIPI, 2006). Hal ini menyebabkan banyaknya jumlah korban jiwa dan kehilangan materi (Spittal, 2005).

Di Kabupaten Alor yang dampak perubahan iklim sudah dapat dirasakan. Wilayah yang termasuk dalam kawasan Nusa Tenggara ini tergolong sebagai

(10)

10

wilayah yang mengalami pergeseran musim. Penelitian Boer, et.al. (2009) membuktikan bahwa kawasan Nusa Tenggara termasuk Kabupaten Alor mengalami musim kemarau yang semakin memanjang.

Gambar 1.3. Perubahan panjang musim kemarau di seluruh Indonesia. (Sumber: Boer et al., 2009).

Dengan semakin krusialnya isu perubahan iklim terutama bagi wilayah pulau-pulau kecil seperti wilayah Kabupaten Alor, maka perlu adanya gagasan tentang adaptasi, kesiapan dan mitigasi melalui tindakan dan program investasi sebagai bentuk manajemen pulau kecil yang baik untuk komunitas berketahanan. Konsep yang dikembangkan Turner et al. (2003), mengindikasikan bahwa untuk mengurangi tingkat kerentanan pulau-pulau kecil, upaya yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan kapasitas adaptif (adaptive capacity) dari suatu pulau kecil.

(11)

11

UNISDR (2010) mengungkapkan bahwa kapasitas adaptif khususnya kapasitas pemerintah lokal dalam pengurangan risiko bencana masih menjadi masalah utama dalam manajemen bencana secara umum. Tantangan yang umum terjadi terkait dengan hal ini adalah rendahnya minat dan kapasitas pemerintah lokal dalam pengurangan risiko bencana. Hal ini seringkali menjadi refleksi kapacitas pemerintahan lokal yang lemah. Lebih jauh lagi, isu terkait kapasitas pemerintah lokal yang krusial adalah perlunya upaya membangun sebuah proses perencanaan di mana masyarakat dapat berpartisipasi, ikut menentukan dan merencanakan pengurangan risiko bencana di wilayahnya bersama-sama dengan otoritas pemerintah lokal berdasarkan kapasitas dan sumberdaya yang dimiliki.

Berdasarkan uraian tersebut dan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. bagaimanakah kapasitas pemerintah daerah Kabupaten Alor dalam pengurangan risiko bencana akibat perubahan iklim di pulau-pulau kecil?

2. bagaimanakah pembagian peran dan sinergi antar SKPD Kabupaten Alor dalam pengurangan risiko bencana akibat perubahan iklim di pulau-pulau kecil?

3. bagaimanakah strategi yang harus diterapkan pemerintah untuk menghadapi dampak perubahan iklim di Pulau Alor berdasarkan pengurangan risiko bencana dan analisis kapasitas pemerintah setempat?

(12)

12

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. mengetahui kapasitas pemerintah daerah Kabupaten Alor dalam pengurangan risiko bencana akibat perubahan iklim di pulau-pulau kecil. 2. mengkaji peran SKPD Kabupaten Alor dan strategi yang harus diterapkan pemerintah dalam pengurangan risiko bencana akibat perubahan iklim di Kabupaten Alor berdasarkan analisis kapasitas pemerintah daerah setempat.

3. merumuskan strategi pemberdayaan pemerintah daerah Kabupaten Alor dalam pengurangan risiko bencana akibat perubahan iklim di pulau-pulau kecil di Kabupaten Alor.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. secara teoritis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian

pada topik pembangunan kapasitas pemerintah daerah dalam pengurangan risiko bencana akibat perubahan iklim di pulau-pulau kecil. 2. secara praktis, hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai rekomendasi bagi Pemerintah Daerah di Kabupaten Alor dalam merencanakan dan mengimplementasikan strategi pengurangan risiko bencana akibat perubahan iklim di pulau-pulau kecil.

(13)

13

1.5. Keaslian Penelitian

Perubahan iklim merupakan suatu konsekuensi logis dari fenomena pemanasan global yang tidak terlepas dari faktor antropogenik berupa aktivitas manusia. Kondisi ini terjadi akibat dari tingginya pelepasan gas rumah kaca oleh aktivitas manusia (IPCC, 2001). Pulau-pulau kecil merupakan kawasan yang memiliki tingkat kerentanan tinggi terhadap perubahan iklim. Tingkat kerentanan pulau-pulau kecil terhadap perubahan iklim dapat dikurangi dengan meningkatkan ketahanan (resilience) dari suatu pulau kecil. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan ketahanan dan kesiapan pemerintah daerah dalam menghadapi dampak perubahan iklim mengingat pemerintah merupakan salah satu pilar utama dalam pembangunan pulau-pulau kecil yang memiliki kemampuan untuk menciptakan resiliensi wilayah dalam menghadapi perubahan iklim.

Penelitian yang mengangkat topik kapasitas pemerintah daerah dalam pengurangan risiko bencana akibat perubahan iklim di pulau-pulau kecil masih terbatas. Penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya cenderung memfokuskan pada kapasitas pemerintah dalam menghadapi bencana tanpa khusus membahas mengenai risiko bencana yang terjadi di pulau-pulau kecil akibat perubahan iklim.

Terdapat beberapa penelitian yang berfokus pada kapasitas pemerintah daerah dalam pengurangan risiko bencana. Penelitian berjudul “Upaya Pemerintah Kota Padang Untuk Meningkatkan Kesiapsiagaan Masyarakat Dalam Menghadapi Ancaman Bencana Gempa Dan Tsunami (Suatu Studi Manajemen Bencana)” dilakukan oleh Alhadi pada tahun 2011. Danhas (2011) melakukan penelitian

(14)

14

yang berjudul “Efektivitas Pelaksanaan Kebijaksanaan Penanggulangan Bencana Di Provinsi Sumatera Barat”. Triawan (2012) juga melakukan penelitian dalam ruang lingkup tema yang sama dengan mengambil judul “Studi Kapasitas Pemerintahan Daerah dalam Pengurangan Risiko Bencana Gempa Bumi, Studi Kasus: Kota Pariaman, Sumatra Barat”.Jatnika (2011) melakukan penelitian yang mengambil judul “Peran Pemerintah Daerah dalam Penanggulangan Bencana Alam di Kabupaten Majalengka Tahun 2011”. Rincian mengenai penelitian-penelitian terdahulu yang relevan tersebut dapat disajikan dalam tabel 1.1.

Berdasarkan tinjauan atas penelitian sebelumnya, dapat dikatakan bahwa penelitian mengenai kapasitas pemerintah dalam pengurangan risiko bencana akibat perubahan iklim di pulau-pulau kecil masih belum banyak dikaji dan memerlukan penelitian lebih lanjut. Oleh karena itu, penelitian yang mengambil judul “Pulau Kecil Berketahanan Iklim: Studi Kapasitas Pemerintah Daerah dalam Pengurangan Risiko Bencana Akibat Perubahan Iklim di Pulau-pulau Kecil (Kasus Kabupaten Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur)” ini memiliki aspek kebaruan.

(15)

15

Tabel 1.1. Penelitian Lain Mengenai Penilaian Kapasitas Pemerintah Daerah Dalam Pengurangan Risiko Bencana.

No. Peneliti Judul Penelitian Tujuan Metode Persamaan Perbedaan

1. Zikri Alhadi

Upaya Pemerintah Kota Padang untuk Meningkatkan Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Menghadapi Ancaman Bencana Gempa dan Tsunami (Suatu Studi

Manajemen Bencana)

Mengetahui upaya Pemerintah Kota Padang untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi ancaman gempa dan tsunami

Deskriptif kualitatif

Memiliki topik yang sama yaitu peran pemerintah dalam

pengurangan risiko bencana

Karakteristik lokasi kajian berbeda, penelitian sebelumnya di perkotaan di pulau besar (Pulau Sumatera) sedangkan penelitian ini di pulau kecil terluar dan termasuk daerah tertinggal

Ancaman bencana yang berbeda yaitu bencana gempabumi dan tsunami dengan bencana klimatik

Penelitian sebelumnya memfokuskan pada kesiapsiagaan, penelitian ini menyeluruh dalam semua tahap bencana

Perbedaan dalam metode penelitian 2. Mardayeli Danhas Efektivitas Pelaksanaan Kebijakan Penanggulangan Bencana di Provinsi Sumatera Barat Menganalisisp efektivitas kebijakan penanggulangan bencana Provinsi Sumatera Barat yang dilanjutkan dengan menganalisis tingkat ketahanan daerah Provinsi Sumatera Barat berdasarkan 22 indikator Hyogo Framework for Action (HFA). Deskriptif kualitatif dan studi dokumentasi Sama-sama menggunakan indikator Hyogo Framework for Action dalam analisis ketahanan daerah

Karakteristik lokasi kajian berbeda, penelitian sebelumnya di perkotaan di pulau besar (Pulau Sumatera) sedangkan penelitian ini di pulau kecil terluar dan termasuk daerah tertinggal

Ancaman bencana yang berbeda yaitu bencana gempabumi dan tsunami dengan bencana klimatik

(16)

16

No. Peneliti Judul Penelitian Tujuan Metode Persamaan Perbedaan

3. Fandy Triawan Studi Kapasitas Pemerintahan Daerah dalam Pengurangan Risiko Bencana Gempabumi, Studi Kasus: Kota Pariaman, Sumatra Barat

Melihat tingkat kapasitas yang dimiliki Pemerintah Kota Pariaman dalam rangka pengurangan risiko gempabumi dan untuk melihat faktor yang mempengaruhi kapasitas tersebut. Kuantitatif dan kualitatif Memiliki topik yang sama yaitu peran pemerintah dalam

pengurangan risiko bencana

Karakteristik lokasi kajian berbeda, penelitian sebelumnya di perkotaan di pulau besar (Pulau Sumatera) sedangkan penelitian ini di pulau kecil terluar dan termasuk daerah tertinggal

Ancaman bencana yang berbeda yaitu bencana gempabumi dan tsunami dengan bencana klimatik

Perbedaan dalam metode penelitian 4. Asep Deni Jatnika Peran Pemerintah Daerah dalam Penanggulangan Bencana Alam di Kabupaten Majalengka Tahun 2011 Mengetahui peran pemerintah daerah dalam penanggulangan bencana alam di Kabupaten Majalengka pada tahun 2010 dan mengkonstruksi model sinergi stakeholder dalam penanggulangan bencana alam di Kabupaten Majalengka

Kualitatif Studi kasus

Memiliki topik yang sama yaitu peran pemerintah dalam

penanggulangan bencana

Karakteristik lokasi kajian berbeda, penelitian sebelumnya di pulau besar (Pulau Jawa) sedangkan penelitian ini di pulau kecil terluar dan termasuk daerah tertinggal

Ancaman bencana yang berbeda yaitu bencana tanah longsor dengan bencana klimatik

(17)

Gambar

Gambar  1.1.  Kejadian  bencana  alam  yang  terkait  dengan  perubahan  iklim  tahun  1980-2011(sumber: http://www.preventionweb.net/files/20120613_   ClimateDisaster1980-2011.pdf)
Gambar  1.2.  Tingkat  kerawanan  multi  bencana  Provinsi  Nusa  Tenggara  Timur  (Alor dilingkari warna merah) (Sumber : BNPB, 2011)
Gambar  1.3.  Perubahan  panjang  musim  kemarau  di  seluruh  Indonesia.  (Sumber:  Boer et al., 2009)
Tabel 1.1. Penelitian Lain Mengenai Penilaian Kapasitas Pemerintah Daerah Dalam Pengurangan Risiko Bencana

Referensi

Dokumen terkait

Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah tehnik tes. Tempat pelaksanaan test awal, perlakuan dan tes akhir, semuanya dilakukan di SMP Negeri

Tradisi Uang Japuik dan Uang Ilang dalam Sistem Perkawinan pada Masyarakat Nagari Tandikek masih dipegang teguh sampai saat ini, sehingga tidak sedikit perkawinan

Dari hasil ini diketahui bahwa walaupun secara angka potensi berbeda, namun secara statistik tidak ada perbedaan yang bermakna antara potensi injeksi

Service ini berfungsi untuk request semua respon yang belum pernah diambil sebelumnya dengan parameter NPWP penyelenggara pos data impor barang kiriman dengan

Penerapan model dynamic pricing pada jalan tol Jakarta dengan menggunakan model pilihan waktu perjalanan yang terbentuk dengan menggunakan analisis discrete choice method

Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa tingkat keterkaitan dalam jaringan komunikasi petani berpengaruh negatif terhadap tingkat adopsi inovasi traktor tangan (-0,050) dengan

Setiap Peserta bersetuju untuk melindungi, melepaskan dan tidak mempertanggungjawabkan Penganjur, syarikat pegangan, anak syarikat atau syarikat berkaitannya

maksimal, dimana masih ada karyawan yang belum memanfaatkan portal web tersebut sesuai dengan tujuan awal dibuat intranet ini, sehingga akhirnya menyebabkan kasus