• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. diawali dengan matangnya organ-organ fisik (seksual) sehingga mampu berproduksi.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. diawali dengan matangnya organ-organ fisik (seksual) sehingga mampu berproduksi."

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Remaja Putri

Fase remaja merupakan segmen perkembangan individu yang sangat penting, yang diawali dengan matangnya organ-organ fisik (seksual) sehingga mampu berproduksi. Remaja didefinisikan sebagai masa peralihan dari masa kanak-kanak ke dewasa. Istilah ini menunjukkan masa awal pubertas sampai tercapainya kematangan. Menurut World Health Organization (WHO), batasan remaja secara umum adalah mereka yang berusia 10 sampai 19 tahun (Proverawati A, 2010).

Remaja atau adolescence (Inggris), berasal dari bahasa Latin “dolescere” yang berarti tumbuh ke arah kematangan. Kematangan yang dimaksud adalah bukan hanya kematangan fisik saja, tetapi juga kematangan sosial dan psikologis (Widyastuti dkk, 2009).

Masa remaja meliputi semua perubahan-perubahan yang dialami dalam peralihan dari masa anak ke masa dewasa. Masa remaja dimulai pada masa pubertas dimana tercapai kematangan seks dan berakhir pada saat tercapainya kedewasaan pertumbuhan fisik, serta kesanggupan bertingkah laku yang dikuasai rasio dan pengendalian emosi (Ali dan Asrori, 2004).

Menurut Riyadi (2001), remaja merupakan periode yang penting pada pertumbuhan dan kematangan manusia. Pada periode ini banyak terjadi perubahan unik, serta banyak pula pemantapan pola-pola dewasa. Dekatnya masa remaja dengan kematangan biologi dan orang dewasa memberikan peluang untuk melaksanakan

(2)

kegiatan tertentu yang dirancang untuk mencegah munculnya rnasalah-masalah kesehatan pada masa dewasa nanti.

Pada remaja perempuan mulai terjadi menarche dan mensis disertai pembuangan sejumlah Fe. Remaja putri kelompok ini sering sadar akan bentuk badannya, sehingga banyak yang membatasi konsumsi makanannya. Bahkan banyak yang berdiet tanpa nasehat atau pengawasan seorang ahli kesehatan dan gizi, sehingga pola konsumsinya sangat menyalahi kaidah-kaidah ilmu gizi. Banyak pantang dan tabu yang ditentukan sendiri berdasarkan pendengaran dari kawannya yang tidak kompeten dalam soal gizi dan kesehatan, sehingga timbul gejala dan keluhan yang sebenarnya merupakan gejala-gejala kelainan gizi (Sediaoetama, 1985).

Apalagi kalau sudah menyangkut body image . Mereka ingin mempunyai postur tubuh sempurna seperti bintang film, penyanyi dan peragawati. Studi di AS mengenai body image para remaja menunjukkan hasil, hampir 70% remaja wanita yang diteliti mengungkapkan keinginan mereka untuk mengurangi berat badannya karena merasa kurang langsing. Padahal hanya 15 % diantara mereka yang menderita kegemukan (Khomsan, 2003).

2.2. Pola Makan Remaja Putri

Pola makan adalah tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan makan yang meliputi sikap, kepercayaan dan pemilihan makanan. Sikap orang terhadap makanan dapat bersifat positif dan negatif. Sikap positif atau negatif terhadap makanan bersumber pada nilai-nilai affective yang

(3)

berasal dari lingkungan (alam, budaya, sosial dan ekonomi) dimana manusia atau kelompok manusia itu tumbuh. Demikian juga halnya dengan kepercayaan terhadap makanan yang berkaitan dengan nilai-nilai cognitive yaitu kualitas baik atau buruk, menarik atau tidak menarik. Dan pemilihan adalah proses psychomotor untuk memilih makanan sesuai dengan sikap dan kepercayaannya (Khumaidi, 1994).

Santosa dan Ranti (2004), mengungkapkan bahwa pola makan merupakan berbagai informasi yang memberi gambaran mengenai macam dan jumlah bahan makanan yang dimakan tiap hari oleh suatu orang dan merupakan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu. Pendapat Baliwati (2004), pola makan atau pola konsumsi pangan merupakan susunan jenis dan jumlah pangan yang di konsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu.

Pendapat para pakar tersebut dapat diartikan secara umum pola makan merupakan cara atau perilaku yang ditempuh seseorang atau sekelompok orang dalam memilih, mengunakan bahan makanan dalam konsumsi pangan setiap hari yang meliputi jenis makanan, jumlah makanan dan frekuensi makan yang berdasarkan pada faktor-faktor sosial budaya dimana mereka hidup.

Pola makan individu dalam keluarga dimiliki melalui proses yang menghasilkan kebiasaan makan yang terjadi sejak dini sampai dewasa dan akan berlangsung selama hidupnya, hingga kebiasaan makan dan susunan hidangan masih bertahan sampai ada pengaruh yang dapat mengubahnya.

(4)

Penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni, dkk (2002), pada remaja putri di pondok pesantren di Surabaya di dapatkan bahwa ada pengaruh pola makan remaja putri terhadap kejadian anemia.

Perkembangan dari seorang anak menjadi dewasa pasti melalui fase remaja. Pada fase ini fisik seseorang terus berkembang, demikian pula aspek sosial maupun psikologisnya. Perubahan ini membuat seorang remaja mengalami banyak ragam gaya hidup, perilaku, tidak terkecuali pengalaman dalam menentukan makanan apa yang akan dikonsumsi. Hal terakhir inilah yang akan berpengaruh pada keadaan gizi seorang remaja (Proverawati A, 2010).

Pengalaman dalam pemilihan makanan penting diperhatikan karena remaja sudah menginjak tahap independensi. Dia bisa memilih makanan apa saja yang disukainya, bahkan tidak berselera lagi makan bersama keluarga di rumah. Aktivitas yang banyak dilakukan di luar rumah membuat seorang remaja sering dipengaruhi rekan sebayanya. Pemilihan makanan tidak lagi didasarkan pada kandungan gizi tetapi sekedar bersosialisasi, untuk kesenangan dan supaya tidak kehilangan status. Hal ini bisa menyebabkan remaja termasuk dalam nutritionally vulnerable group (Khomsan, 2003).

Pengaruh kelompok bagi kehidupan remaja ini ternyata sangat kuat, bahkan lebih kuat dari pengaruh keluarga. Perubahan-perubahan yang terjadi pada masa remaja dapat berpengaruh terhadap kebiasaan makannya, pertumbuhan tinggi badan, perkembangan payudara dan hal-hal lain yang berkaitan dalam kematangan tubuh remaja putri, seperti halnya menarkhe atau menstruasi yang pertama kali datang.

(5)

Perkembangan ini terjadi dalam periode enam sampai delapan tahun, dan perubahan yang cepat ini berperan dalam timbulnya kesulitan-kesulitan dalam tugas atau penerimaan (Proverawati A, 2010).

Remaja adalah golongan individu yang sedang mencari identitas diri, mereka suka ikut-ikutan, dan terkagum-kagum pada idolanya yang berpenampilan menarik. Banyak remaja yang merasa tidak puas dengan penampilan dirinya sendiri. Mereka ingin berpenampilan seperti pada umumnya teman sebayanya atau idolanya. Sebagian dari mereka mungkin sedang menyiapkan diri mereka untuk melakukan aktivitas seperti model entertainer dan olah raga lainnya yang mengharuskan mereka mengatur berat badan mereka. Sehingga remaja sangat rentan terhadap gangguan makan, seperti halnya remaja putri yang melakukan diet yang sebenarnya tidak perlu dilakukan.

Perubahan gaya hidup pada remaja memiliki pengaruh signifikan terhadap kebiasaan makan mareka. Mereka menjadi lebih aktif, lebih banyak makan diluar rumah dan lebih banyak pengaruh dalam memilih makanan yang akan dimakannya. Mereka juga lebih suka mencoba-coba makanan baru, salah satunya adalah fast food. Pola makan remaja yang perlu dicermati adalah tentang frekwensi makan, jenis makanan dan jumlah makan.

Jumlah atau porsi merupakan suatu ukuran maupun takaran makanan yang dikonsumsi pada tiap kali makan. Jumlah (porsi) standar bagi remaja antara lain dapat dilihat pada tabel berikut:

(6)

Tabel 2.1. Kuantitas Makanan yang Dianjurkan pada Usia Remaja

Waktu makan Jenis makanan Berat (gram)

Pagi 06.00-07.00 WIB Snack 10.00-11.00 WIB Siang 13.00-14.00 WIB Snack 16.00-17.00 WIB Malam 20.00 WIB Nasi Telur Susu sapi

Bubur kacang ijo Nasi Daging Tempe Sayur Buah Pisang goreng Nasi Daging Tahu Sayur Buah Susu skim 100 50 200 ml 50 200 50 50 100 75 50 100 50 100 100 100 20 Sumber: Sediaoetama, 2004.

Tabel 2.2. Angka Kecukupan Energi, Protein, Fe dan Vitamin C yang Dianjurkan untuk Remaja Putri Perorang Perhari.

Kelompok Umur Energi Protein Vitamin C Fe

(tahun) (Kkal) (gram) (mg) (mg)

13 – 15 2.350 57 65 26

16 – 18 2.200 50 75 26

(7)

2.3. Aktivitas Fisik Remaja Putri

Aktivitas remaja sebagian besar dihabiskan di luar rumah yaitu di sekolah dan kegiatan lain (les, olahraga dan kumpul bersama teman-teman). Lebih dari 8 jam aktivitas dihabiskan diluar rumah dan kurang dari 5-6 jam dihabiskan di rumah. Aktivitas remaja membutuhkan asupan pangan mengandung gizi yang cukup sehingga kondisi tubuh remaja akan tetap baik.

Almatsier (2003), mengatakan bahwa aktivitas fisik dapat didefinisikan sebagai gerakan fisik yang dilakukan oleh otot tubuh dan sistem penunjangnya. Sedangkan Fathomah (1996), menyatakan bahwa aktivitas dibagi menjadi dua yaitu aktivitas fisik internal dan eksternal. Aktivitas fisik internal yaitu suatu aktivitas dimana proses bekerjanya organ-organ tubuh dalam tubuh saat istirahat, sedangkan aktivitas eksternal yaitu aktivitas yang dilakukan oleh pergerakan anggota tubuh yang dilakukan seseorang selama 24 jam serta banyak mengeluarkan energi.

Dari pendapat kedua pakar tersebut dapat disimpulkan bahwa aktivitas fisik merupakan suatu kondisi yang memerlukan tingkatan gerakan yang berbeda sesuai dengan kebutuhan energi yang dikeluarkan, sehingga kalori per jam akan berkurang tergantung tingkat aktivitasnya.

Aktivitas remaja dapat dikelompokkan menurut tingkatannya antara lain aktivitas fisik ringan, sedang dan berat. Seperti yang diklasifikasikan menurut Agoes dan Poppy (2003) dapat dilihat dalam tabel berikut :

(8)

Tabel.2.3. Pengeluaran Energi pada Berbagai Aktivitas Remaja

Tingkat Macam Kegiatan Kkal/jam

Ringan Membaca, menulis, makan, menonton televisi, mendengarkan radio, merapikan tempat tidur, mandi, berdandan, berjalan kaki, dan berbagai kegiatan yang dikerjakan dengan duduk atau tanpa mengerakkan lengan.

80-160 kkal ± 1-3 jam

Sedang Bermain dengan mendorong benda, bermain pimpong, menyetrika, merawat tanaman, menjahit, mengetik, mencuci baju dengan tangan, menjemur pakaian, dan berbagai kegiatan yang dikerjakan dengan berdiri atau duduk yang banyak mengerakkan tangan

170-240 kkal ±4-6 jam

Berat Berjalan cepat, bermain dengan mengangkat benda, berlari, mengepel, basket, berenang, naik turun tangga, memanjat, bersepeda, bermain dengan banyak mengerakkan tangan.

> 250 kkal > 6 jam

Sumber: Agoes dan Poppy, 2003

Aktivitas fisik diukur dengnan metode faktorial, yaitu merinci semua jenis dan lamanya kegiatan yang dilakukan selama 24 jam (dalam menit) pada lembar kuesioner, selanjutnya dicocokkan dengan daftar Nilai Perkiraan Keluaran Energi pada kegiatan tertentu. Besarnya aktivitas fisik yang dilakukan seseorang selama 24 jam dinyatakan dalam Physical Activity Level (PAL) atau tingkat aktivitas fisik. PAL merupakan besarnya energi yang dikeluarkan (Kkal) per kilogram berat badan selama 24 jam. PAL ditentukan dengan rumus sebagai berikut :

∑ ( PAR x w ) PAL = __________________

(9)

Keterangan :

PAL = Physical activity level (tingkat aktivitas fisik)

PAR = Physical activity rasio (jumlah energi yang dikeluarkan untuk tiap jenis kegiatan per satuan waktu tertentu.

W = Alokasi waktu tiap aktivitas (jam)

Selanjutnya tingkat aktivitas fisik dikatagorikan sebagai berikut (FAO/WHO/UNU 2001):

1. Ringan dengan nilai PAL 1,40-1,69 2. Sedang dengan nilai PAL 1,70-1,99 3. Berat dengan nilai PAL 2,00-2,40

2.4. Anemia pada Remaja Putri

Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar haemoglobin dalam darah lebih rendah dari nilai normal untuk kelompok yang bersangkutan. Penentuan anemia juga dapat dilakukan dengan mengukur hematokrit. Nilai hematokrit rata-rata setara dengan tiga kali kadar haemoglobin (Stolzfus, 1999).

Tabel 2.4. Batas Normal Kadar Haemoglobin

Kelompok Umur Haemoglobin (g/dl)

Anak - 6 – 56 bulan 11

- 5 – 11 tahun 11,5

- 12 – 14 tahun 12,0

Dewasa - Laki-laki ≥ 15 tahun 13,0

- Wanita ≥ 15 tahun 12,0

- Wanita hamil 11,0

(10)

Menurut WHO (2001), batasan kriteria anemia sebagai masalah kesehatan masyarakat dikatagorikan berdasarkan prevalensi anemia menjadi berat, sedang, dan ringan dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.5. Kategori Masalah Kesehatan Masyarakat Menurut Prevalensi Anemia

Katagori Masalah Kesehatan Masyarakat Prevalensi Anemia (%)

Berat ≥ 40%

Sedang 20 – 39,9

Ringan 5 – 19,9

Normal < 4,9

Anemia adalah jumlah sel darah merah yang rendah. Sel darah merah, juga disebut eritrosit, dibentuk di sumsum tulang, dengan tugas untuk membawa oksigen dari paru ke jaringan. Pembentukan sel darah merah baru tergantung pada hormon alami yang disebut eritropoitin (EPO, yang dibentuk dan dikeluarkan dari ginjal). Orang yang menderita anemia kurang mampu membawa oksigen di dalam darahnya dan hal ini dapat mengakibatkan rasa lelah, kesulitan bernapas, peningkatan denyut jantung dan pucat (Debra dkk, 1999).

Fungsi utama zat besi bagi tubuh adalah untuk mengangkut oksigen (O2) dan karbondioksida (CO2) serta untuk pembentukan darah. Jumlah zat besi yang harus diserap tubuh setiap harinya hanya 1 mg atau setara dengan 10-20 mg zat besi yang terkandung dalam makanan. Zat besi dalam pangan nabati berbentuk ikatan ferri, didalam tubuh ikatan ferri ini harus dipecah terlebih dahulu dalam bentuk ferro oleh getah lambung. Sementara dalam pangan hewani zat besi sudah dalam bentuk ikatan Sumber: WHO, 2001

(11)

ferro yang lebih mudah diserap. Dalam bahasa ilmiah zat besi dari pangan hewani sering disebut heme-iron, sedangkan yang berasal dari nabati disebut non-heme-iron (Khomsan, 2003).

Keadaan kurang gizi merupakan fenomena yang kompleks. Penyebabnya adalah makanan yang dikonsumsi tidak cukup mengandung zat besi, peningkatan kebutuhan karena kondisi fisiologis (hamil). Kehilangan darah karena kecelakaan, dan infeksi (cacingan). Golongan masyarakat yang rawan dengan kondisi ini adalah masyarakat miskin, mereka yang tinggal di daerah yang sanitasinya buruk, dan golongan rawan gizi (Khomsan, 2003).

Kekurangan kadar Hb dalam darah menimbulkan gejala lesu, lemah dan letih, akibatnya dapat menurunkan prestasi belajar dan produktifitas, disamping itu penderita kurang zat besi akan menurunkan daya tahan tubuh yang mengakibatkan mudah terkena infeksi yang pada akhirnya dapat menyebabkan anemia.

Letham (1979) mengatakan bahwa ada 4 penyebab terjadinya anemia gizi besi yaitu:

1. Zat ditubuh kurang karena makanan yang dikomsumsi kurang mengandung zat besi, atau adanya gangguan penyerapan sehingga absorpsi zat besi rendah. Beberapa hasil penelitian mengungkapkan bahwa yang menjadi penyebab anemia gizi besi adalah karena tidak cukupnya zat-zat terutama yang diserap dalam makanan sehari-hari guna pembentukan sel darah merah, maka terjadi keseimbangan negatif antara pemasukan dan pengeluaran besi dalam tubuh. Selain

(12)

itu zat-zat penyerta yang meningkatkan daya serap, seperti protein dan vitamin C juga tidak cukup.

2. Kebutuhan meningkat misalnya remaja yang sedang mengalami pertumbuhan fisik dan perkembangan mental. Anemia kekurangan zat besi akan timbul bila kehilangan zat besi atau kebutuhan yang begitu meningkat tidak diimbangi dengan konsumsi makanan yang cukup dan penyerapan besi dari makanan yang maksimal. Dengan demikian zat besi dari makanan tidak cukup untuk mempertahankan kadar Hb.

3. Kehilangan zat besi oleh karena pendarahan atau sebab lain termasuk investasi cacing tambang.

4. Ketidakseimbangan antara kebutuhan (untuk pertumbuhan, kehilangan darah, dan lain-lain), dan ketidakcukupan suplai besi dari diet. Jumlah zat besi yang dibutuhkan setiap hari untuk mempertahankan kadar haemoglobin, kadar simpanan besi yang cukup dan untuk keperluan pertumbuhan yang normal. Meskipun besi yang hilang setiap hari relatif kecil namun harus digantikan. Jumlah yang hilang melalui urine, keringat, dan desquamasi (hilang melalui permukaan kulit, rambut dan kuku) sangat bervariasi dari 0,2-0,5 mg/hari. Hilang melalui faeses sejumlah 0,7 mg/hari, sehingga total kehilangan antara 0,9-1.2 mg/hari. Jumlah tersebut diatas adalah kehilangan yang harus digantikan untuk seorang pria. Sedangkan untuk seorang wanita harus mengantikan pula kehilangan karena menstruasi. Jumlah kehilangan karena menstruasi sangat bervariasi di antara para wanita tetapi cukup konsisten dari bulan ke bulan pada wanita yang sama yaitu

(13)

rata-rata kehilangan sejumlah 0,5-1,0 mg/hari. Oleh karena itu seorang wanita harus mengabsorpsi 1,4 sampai 2,2 mg/hari untuk menggantikan kehilangan tersebut. Kebutuhan wanita hampir dua kali lipat dari pada kebutuhan pria.

Tabel 2.6. Kebutuhan dan Kehilangan Fe sesuai Kelompok

Kelompok Umur

Kehilangan Fe Kebutuhan Fe/Besi

Total kebutuhan Fe* Faeses Urine, keringat,dan desquamasi menstruasi Pertum buhan Hamil Dewasa - Pria - Wanita 0,7 0,7 0,2-0,5 0,2-0,5 0,5-1,0 0,9 - 1,2 1,4 - 2,2 Ibu hamil 0,7 0,2-0,5 1,0-2,0 1,9 - 3,2 Anak-anak 0,7 0,2 – 0,5 0,2 \ 1,1 – 1,4 Remaja- Putri 0,7 0,2 – 0,5 0,5 – 1,4 0,5 – 1,0 1,9 – 3,7 * Besi yang diabsorpsi, kebutuhan dalam menu makanan adalah 3 – 10 kali dari

jumlah tersebut tergantung pada sumber besi dari komposisi menu. Sumber : Guthrie (1989).

2.5. Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Anemia Besi

Menurut Santosh dan Sheila (2001), penyebab anemia secara langsung adalah kurang konsumsi zat besi, vitamin C, protein, adanya faktor penghambat (phitat, teh, kopi), adanya penyakit (diare, infeksi saluran pernafasan) dan kehilangan darah meningkat sedangkan asupan zat besi tidak cukup. Sedangkan penyebab tidak langsung adalah kuantitas dan kualitas makanan tidak cukup, keadaan lingkungan

(14)

kurang baik (air bersih kurang, sanitasi kurang dan higienis makanan kurang), pelayanan kesehatan kurang serta infeksi parasit.

2.5.1. Konsumsi Energi dan Protein

Energi merupakan kebutuhan utama setiap manusia, karena jika kebutuhan energi tidak terpenuhi sesuai yang dibutuhkan tubuh, maka kebutuhan zat gizi lain juga tidak terpenuhi seperti protein, vitamin dan mineral termasuk diantaranya adalah zat besi. Fungsi zat besi sebagai pembentuk sel darah merah akan menurun yang pada akhirnya dapat menyebabkan menurunnya kadar haemoglobin darah. Transportasi zat besi di mukosa sel dan didalam darah sangat membutuhkan mekanisme protein yang spesifik sebagai carrier. Protein ini disebut transferrin yang disintesa di hati. Transferrin akan membawa zat besi dalam darah yang akan digunakan pada sintesa haemoglobin (Mahan, 1992).

Demikian juga Fairbank (1999) mengemukakan bahwa di dalam darah dan cairan tubuh, besi ditransportasikan oleh protein yang di sebut transferrin. Asupan protein yang kurang akan menyebabkan gangguan pada sintesa transferrin sehingga kadar transferrin zat besi dalam darah akan menurun. Apabilla kadar transferrin dalam darah menurun maka transportasi zat besi tidak dapat berjalan dengan baik dan pada akhirnya kadar haemoglobin dalam darah juga menurun. Haemoglobin berfungsi mengangkut oksigen ke sel-sel yang membutuhkan seperti metabolisme glukosa, lemak dan protein menjadi energi.

Secara teoritis kekurangan satu zat gizi sering diikuti dengan kekurangan zat gizi lainnya. Begitu pula dengan penyerapan dan metabolisme zat gizi saling terkait

(15)

antara satu zat gizi dengan zat gizi lainnya. Pada penderita Kurang Energi Protein (KEP) terjadi pengurangan massa sel dan kebutuhan oksigen berkurang. Anemia pada KEP mungkin merupakan komplikasi dari defisiensi besi dan nutrien lain dan ini berhubungan dengan infeksi, infestasi parasit dan malabsorbsi (Krause dan Mahan, 1984). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hasibuan (1990), antara kejadian anemia dengan infeksi dan pola konsumsi pada anak Sekolah Dasar di Sumatera Utara dimana ditemukan bahwa diantara anak-anak yang terinfeksi ternyata prevalensi anemia juga tinggi serta makin tinggi konsumsi protein (terutama protein hewani) maka frekuensi anemia semakin menurun.

Penelitian yang dilakukan oleh Farida (2006), terhadap remaja putri di Kecamatan Gebog Kabupaten Kudus didapatkan bahwa ada hubungan tingkat konsumsi protein dengan kejadian anemia

Pendapat lain tentang adanya hubungan antara kalori, protein dan kejadian anemia juga ditemukan oleh Mejia (1988), yang mengatakan bahwa kurang gizi terutama kurang kalori protein (KKP) dapat menyebabkan anemia karena transport besi dan sintesis protein pembawa besi terganggu. Demikian juga pendapat Mc.Laren (1989), bahwa kekurangan energi maupun protein juga dapat menurunkan daya tahan tubuh terhadap infeksi. Penyakit infeksi yang sering menyertai pada penderita kurang gizi adalah saluran pernafasan dan saluran pencernaan. Terjadinya infeksi saluran pencernaan akan mengganggu absorbsi zat gizi termasuk zat besi dan apabila hal ini dibiarkan berlarut-larut maka pada akhirnya akan menyebabkan anemia.

(16)

Khumaidi (1989) menyatakan bahwa salah satu ukuran kuantitas konsumsi pangan adalah konsumsi energi dan protein. Pada umumnya jika konsumsi energi dan protein terpenuhi dan beragam jenis pangan, maka kecukupan zat gizi lainnya dapat terpenuhi.

2.5.2. Konsumsi Zat Besi

Zat besi (Fe) merupakan mikro elemen yang essensial bagi tubuh. Zat tersebut terutama diperlukan dalam pembentukan darah yaitu dalam sintesa haemoglobin. Bentuk aktif zat besi biasanya terdapat sebagai ferro dan bentuk inaktifnya adalah ferri (bentuk simpanan Fe). Zat besi lebih mudah diserap dari usus halus dalam bentuk ferro dan penyerapan tersebut mempunyai mekanisme autoregulasi yang diatur oleh feritin yang terdapat dalam sel-sel mukosa usus. Dalam mekanisme absorbsi dikenal dua macam zat besi dalam makanan yaitu besi heme dan non heme (Husaini, 1989).

Besi heme berasal dari haemoglobin dan mioglobin heme. Besi heme hanya terdapat dalam makanan hewani seperti daging dari semua jenis, hati dan organ yang lain, ikan, seafood, ayam, telur dal lain-lain. Hati dan daging merupakan bahan makanan yang paling banyak mengandung besi. Di dalam tubuh terdapat dalam bentuk tidak saja mempunyai nilai biologis besi yang tinggi, tetapi juga mengandung protein yang dapat mendorong penyerapan besi non heme (Husaini, 1989).

Derajat penyerapan zat besi heme hampir tidak dipengaruhi oleh susunan menu atau diet makanan dan hanya sedikit dipengaruhi oleh status besi orang yang mengkonsumsinya (FAO/WHO dalam Husaini, 1989). Berbeda dengan besi heme,

(17)

zat besi non heme penyerapannya sangat kecil, tergantung status besi seseorang. Sumber utama besi non heme adalah serealia, sayuran, kacang-kacangan, buncis dan buah-buahan.

Banyaknya zat besi yang ada dalam makanan yang kita makan yang dapat dimanfaatkan oleh tubuh kita tergantung pada tingkat absorbsinya. Diperkirakan hanya 5-15% besi makanan di absorbsi oleh orang dewasa yang berada dalam status gizi baik. Dalam keadaan defisiensi zat besi absorbsi dapat mencapai 50%. Penyerapan zat besi di dalam usus yang kurang baik (terganggu) juga merupakan penyebab terjadinya anemia (Mary, 2000).

Kekurangan zat besi dapat menimbulkan terjadinya anemia karena pembentukan sel-sel darah merah dan fungsi lain dalam tubuh terganggu. Oleh karena itu untuk mencegah terjadinya anemia maka perlu adanya keseimbangan antara kebutuhan tubuh dengan masukan zat besi yang berasal dari makanan. Tetapi menu makanan yang banyak mengandung zat besi belum menjamin ketersediaan zat besi yang memadai karena jumlah zat besi yang diabsorbsi sangat dipengaruhi oleh jenis makanan sumber zat besi dan ada atau tidaknya zat penghambat maupun peningkat absorbsi besi dalam makanan (Muhilal, 1993).

Penelitian yang dilakukan oleh Hayatinur (2001), pada siswi SMUN 2 Kuningan didapatkan bahwa ada hubungan antara tingkat konsumsi Fe dengan kejadian anemia. Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Adriani (2002), Farida (2006) yang menunjukkan bahwa ada hubungan konsumsi besi dengan kadar haemoglobin atau anemia.

(18)

Dengan kurangnya zat besi yang dapat dipenuhi dari intake makanan karena kebiasaan makan/minum yang kurang baik (banyak mengkonsumsi zat penghambat dan kurang mengkonsumsi zat peningkat absorbsi besi, sementara kebutuhan zat besi yang cukup tinggi terutama wanita maka keseimbangan zat besi dalam tubuh akan terganggu yang pada akhirnya dapat memberikan dampak negatif yaitu terjadinya anemia gizi besi.

2.5.3. Konsumsi Vitamin C

Anemia gizi di Indonesia selain disebabkan oleh konsumsi energi, besi juga disebabkan oleh kurangnya asupan vitamin C. Pola konsumsi masyarakat pada umumnya merupakan pola menu dengan bioavailabilitas besi yang rendah, karena hanya terdiri dari nasi dan umbi-umbian dengan kacang-kacangan dan sedikit (jarang sekali) daging, ayam atau ikan, serta sedikit makanan yang mengandung vitamin C (Yip dan Mehra, 1995). Penelitian yang dilakukan Mulyawati (2003), menunjukkan pemberian Tablet Tambah Darah (TTD) ditambah 100 mg vitamin C dapat meningkatkan kadar Hb lebih tinggi dibandingkan dengan hanya pemberian TTD saja.

Vitamin C dapat meningkatkan penyerapan besi, hal ini disebabkan karena faktor reduksi dari vitamin C. Besi diangkut melalui dinding usus dalam senyawa dengan asam amino atau vitamin C (Linder, 1992).

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Adriani (2002), terhadap remaja putri pada pondok pasantren Tahsinul Akhlak Bahrul Ulum di Surabaya di peroleh bahwa ada hubungan tingkat konsumsi vitamin C dengan anemia gizi.

(19)

Penelitian lain yang dilakukan oleh Farida (2006), Hayatinur (2001) juga mendapatkan bahwa ada hubungan vitamin C dengan kejadian anemia.

Vitamin C mempunyai sifat sebagai agen pereduksi dimana dapat mereduksi zat besi dari bentuk ferri menjadi ferro sehingga memudahkan untuk diabsorbsi. Vitamin C dapat membantu tranfer zat besi dari darah kedalam bentuk ferritin untuk disimpan di hati dan membantu memproduksi beberapa enzim yang berisi besi. Absorbsi zat non heme meningkat sebanyak 4 kali bila terdapat 25 sampai 75 mg vitamin C (Guthrie, 1989).

Menurut Muhilal (1983) hidangan yang berasal dari bahan hewani dan vitamin C-nya rendah termasuk hidangan yang bioavilabilitas zat besinya rendah. Diperkirakan banyaknya zat besi yang dapat diserap sekitar 2-5%. Hidangan yang protein hewani sedang (30-90 gr) dan vitamin C-nya sedang (25-75 mg) banyaknya zat besi yang diserap sekitar 3-10%. Sedangkan hidangan dengan protein hewani cukup tinggi (> 90 gr) dan vitamin C-nya cukup tinggi (>75 mg) banyaknya zat besi yang diserap sekitar 4-20%. Contoh makanan sehari dengan kandungan energi 2500 kalori, 90 gr protein, 120 mg vitamin C dan 16,4 mg besi (1,7 besi heme dan 14,7 mg besi non heme) banyaknya zat besi yang dapat diserap sekitar 1,5 mg.

Besi di dalam bahan makanan dapat berbentuk heme yang berikatan dengan protein dan terdapat dalam bahan makanan yang berasal dari hewani. Lebih dari 35 % heme ini dapat di absorbsi langsung. Bentuk lain adalah non heme yaitu senyawa besi anorganik kompleks dan terdapat didalam bahan makanan nabati hanya dapat diabsorbsi sebanyak 5%. Besi non heme absorbsinya dapat ditingkatkan apabila

(20)

terdapat kadar vitamin C yang cukup. Vitamin C dapat meningkatkan absorbsi besi non heme sampai empat kali lipat (Husaini dkk, 1989).

Menurut Husaini dan Karyadi (1980), kadar Hb darah umumnya berhubungan dengan konsumsi protein, Fe dan vitamin C. Tetapi yang paling berpengaruh adalah Fe, sebab Fe merupakan faktor utama pembentuk haemoglobin (Hb). Sedangkan peran vitamin C dan protein adalah membantu penyerapan dan pengangkutan besi di dalam usus.

2.5.4. Faktor Penghambat Absorpsi Besi

Asam fitat dan fosfat dengan besi membentuk senyawa tidak larut dalam air, sehingga sulit diabsorpsi. Asam fitat dan fosfat banyak terdapat dalam bahan makanan tumbuh-tumbuhan seperti serealia. Seorang yang banyak makan nasi tetapi kurang makan sayuran serta buah-buahan dan lauk-pauk akan dapat menjadi anemia, walaupun besi yang dikonsumsi dari makanan sehari-hari lebih dari 20 mg (Linder, 1992). Hal tersebut kemungkinan karena tidak ada zat yang dapat membantu penyerapan. Selulosa atau serat yang tinggi juga menghambat penyerapan besi karena serat menekan utilisasi besi. Ini terjadi apabila jarang atau hanya sedikit mengkonsumsi daging, makanan yang berasal dari hewani lainnya, vitamin C, vitamin A serta faktor lain yang dapat mempermudah absorpsi besi. Diketahui bahwa absorpsi sayuran daun hijau dan biji-bijian cukup rendah yaitu sekitar 1-2%. Tanin yang terdapat dalam teh dan kopi dapat menurunkan absorpsi besi sampai 40% untuk kopi dan 85% untuk teh. Minum teh satu jam sesudah makan dapat menurunkan

(21)

absorpsi besi hingga 85%, hal ini disebabkan karena terdapat polyphenol seperti tanin dam teh (Gutrie, 1989).

Adanya kebiasaan minum teh/kopi pada masyarakat Indonesia memiliki pengaruh absorpbsi besi. Linder (1992) menyatakan bahwa tanin yang terdapat dalam teh dan daun-daun sayuran tertentu dapat menurunkan absorbsi besi. Ditambahkan oleh Muhilal (1998) penyerapan zat besi oleh teh dapat menyebabkan banyaknya besi yang diserap turun hingga 2%, sedangkan penyerapan besi tanpa penghambatan teh sekitar 12%.

2.5.5. Metode Pengukuran Haemoglobin (Hb)

Untuk mendeteksi keadaan anemia seseorang, parameter yang biasa dan telah digunakan secara luas adalah haemoglobin (Hb), karena pada umumnya tujuan dari berbagai penelitian adalah menetapkan prevalensi anemia bukan prevalensi kurang besi (Cook, 1982).

Haemoglobin merupakan senyawa pembawa oksigen pada sel darah merah. Haemoglobin dapat diukur secara kimia dan jumlah Hb/100 ml darah dapat digunakan sebagai indeks kapasitas pembawa oksigen pada darah. Kandungan haemoglobin yang rendah mengindikasikan anemia (Supariasa dkk, 2002).

Metode pengukuran kadar haemoglobin yang paling sering digunakan di laboratorium dan paling sederhana adalah metode sahli. Cara yang cukup teliti dan dianjurkan oleh International Committee for Standardization in Hematology (ICSH) adalah cara Cyanmethaemoglobin (Cook, 1982). Pada metode ini, haemoglobin dioksidasi oleh kalium ferrosianida menjadi methaemoglobin yang kemudian

(22)

bereaksi dengan ion sianida (CN2) membentuk sianmethaemoglobin yang berwarna merah. Intensitas warna dibaca dengan fotometer dan dibandingkan dengan standar. Karena yang membandingkan alat elektronik, maka hasilnya lebih objektif.

2.6. Pola Makan Remaja Putri dan Anemia

Aspek pemilihan makanan penting diperhatikan karena remaja sudah menginjak tahap independensi. Dia bisa memilih makanan apa yang dia sukai. Aktivitas yang banyak dilakukan diluar rumah membuat seorang remaja sering dipengaruhi oleh rekan sebayanya. Pemilihan makanan tidak lagi berdasarkan kandungan gizi tetapi sekedar bersosialisasi, untuk kesenangan dan supaya tidak kehilangan status.

Pola dan gaya hidup modern membuat remaja cenderung lebih menyukai makan diluar rumah bersama kelompoknya. Remaja putri sering mempraktikkan diet dengan cara yang kurang benar seperti melakukan pantangan-pantangan, membatasi atau mengurangi frekuensi makan untuk mencegah kegemukan. Pada umumnya remaja mempunyai kebiasaan makan yang kurang baik. Remaja sering mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang tidak seimbang dibandingkan dengan kebutuhannya karena takut kegemukan. Kebiasaan remaja rata-rata tidak lebih dari tiga kali sehari dan disebut makan bukan hanya dalam konteks mengkonsumsi makanan pokok saja tetapi makanan ringan juga dikatagorikan sebagai makanan (Suhardjo, 1989).

(23)

Survei yang dilakukan Hunlock (1997) menunjukkan bahwa remaja suka sekali jajan makanan ringan. Jenis makanan ringan yang dikonsumsi adalah kue-kue yang rasanya manis. Sedangkan jenis sayuran dan buah-buahan yang mengandung vitamin A dan vitamin C jarang dikonsumsi, sehingga dalam diet mereka rendah akan zat besi, Vitamin A dan vitamin C.

Eating disorder menjadi salah satu ciri kaum remaja. Secara fisik hal ini kelihatan dalam bentuk tubuh yang terlalu langsing atau kegemukan. Yang kurus disebabkan oleh terlalu ketatnya berdiet, sedangkan yang kegemukan karena konsumsi kalori yang berlebihan dalam snack.

Anoreksia nervosa salah satu bentuk eating disorder menyebabkan tubuh menjadi kurus. Ini banyak dialami remaja wanita. Keinginan mempunyai tubuh langsing membuat mereka rela menurunkan berat badan secara drastis, muntah disengaja setelah makan, penggunaan laxative (pencahar), dan olah raga secara berlebihan.

2.7. Aktivitas Fisik Remaja Putri dan Anemia

Aktivitas fisik remaja sebagian besar banyak dilakukan di sekolah selama 8 jam meliputi kegiatan belajar dan bermain saat istirahat. Aktivitas berada dirumah kurang lebih selama 5-6 jam meliputi mengerjakan pekerjaan rumah, membantu orang tua, bermain di lingkungan sebayanya dan biasanya mereka suka melakukan olahraga yang bisa menurunkan berat badannya. Aktivitas yang dilakukan akan banyak mengeluarkan keringat dan tentunya zat-zat gizi juga ikut terlarut bersama

(24)

dengan keringat. Menurut Sharkey (2003) yang diterjemahkan oleh Tan A mengatakan wanita yang berolahraga secara teratur akan banyak kehilangan air dalam keringat. Minum air yang tidak memadai akan mempengaruhi kesehatan secara umumnya termasuk terjadinya anemia. Mereka membutuhkan asupan pangan yang cukup mengandung gizi, sehingga kondisi tubuh remaja akan tetap baik dalam arti tidak mudah jatuh sakit.

Menurut Sherkey (2003), anemia dapat disebabkan dari latihan yang kuat dan diduga disebabkan oleh tumbukan dan guncangan tubuh yang berlebihan dalam olah raga, haid dan perilaku diet yang salah.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Amelia (2009), didapatkan bahwa tidak ada hubungan yang nyata antara aktivitas fisik ( pengeluaran energi) dengan konsumsi energi, protein dan zat besi.

2.8. Landasan Teori

Khumaidi (1989) menyatakan bahwa salah satu ukuran kuantitas konsumsi pangan adalah konsumsi energi dan protein. Pada umumnya jika konsumsi energi dan protein terpenuhi dan beragam jenis pangan, maka kecukupan zat gizi lainnya dapat terpenuhi.

Energi merupakan kebutuhan utama setiap manusia, karena kebutuhan energi tidak terpenuhi sesuai yang dibutuhkan tubuh, maka kebutuhan zat gizi lain juga tidak terpenuhi seperti protein, vitamin dan mineral termasuk diantaranya adalah zat besi.

(25)

Fairbank (1999) mengemukakan bahwa di dalam darah dan cairan tubuh, besi ditransportasikan oleh protein yang di sebut transferrin. Asupan protein yang kurang akan menyebabkan gangguan pada sintesa transferrin sehingga kadar transferrin zat besi dalam darah akan menurun. Apabila kadar transferrin dalam darah menurun maka transportasi zat besi tidak dapat berjalan denngan baik dan pada akhirnya kadar haemoglobin dalam darah juga menurun.

Menurut Santosh dan Sheila (2001), penyebab anemia secara langsung adalah kurang konsumsi zat gizi (besi, vitamin C, protein), adanya faktor penghambat (phitat, teh kopi), adanya penyakit (diare, infeksi saluran pernafasan) dan kehilangan darah meningkat sedangkan asupan gizi tidak cukup. Penyebab tidak langsung adalah kuantitas dan kualitas makanan tidak cukup, keadaan lingkungan kurang baik (air bersih kurang, sanitasi kurang dan higienis makanan kurang), pelayanan kesehatan dan infeksi parasit.

Moeji (2003) mengatakan sifat energik pada usia remaja menyebabkan aktivitas tubuh meningkat sehingga kebutuhan zat gizinya juga meningkat. Dengan tingginya pengeluaran energi juga harus diimbangi oleh asupan zat gizi yang cukup agar tidak berakibat tubuh kehilangan akan zat gizi sehingga terjadi anemia

Untuk mendeteksi keadaan anemia seseorang, parameter yang biasa digunakan adalah haemoglobin (Hb). Haemoglobin dapat diukur secara kimia dan jumlah Hb/100 ml darah dapat digunakan sebagai indek kapasitas pembawa oksigen pada darah. Kandungan haemoglobin yang rendah mengindikasikan anemia (Supariasa, dkk, 2002).

(26)

2.9. Kerangka Konsep

Variabel Bebas Variabel Terikat

Gambar 1. Kerangka konsep Penelitian

Dari skema diatas diatas dapat dijelaskan bahwa, bila asupan makan atlet putri dalam hal ini jumlah makanan (energi, protein, besi dan vitamin C) tidak sesuai dengan kebutuhan maka akan dapat menyebabkan anemia. Selain itu aktivitas fisik yang dilakukan secara berlebihan oleh atlet putri, tanpa diimbangi dengan asupan zat gizi yang cukup akan memperparah terjadinya anemia.

Anemia Aktivitas fisik Pola Makan - Jumlah : Energi, protein, besi, vitamin C

Gambar

Tabel 2.1. Kuantitas  Makanan yang Dianjurkan pada Usia Remaja
Tabel 2.4. Batas Normal Kadar Haemoglobin
Tabel 2.5.  Kategori Masalah Kesehatan Masyarakat Menurut  Prevalensi  Anemia
Gambar 1. Kerangka konsep  Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

[5 markah] Jika pulangan dijangka bagi portfolio pasaran ialah 8 peratus dan kadar bebas- risiko ialah 5 peratus, apakah pulangan dijangka bagi suatu sekuriti yang mempunyai

[r]

Sebuah matriks perbandingan akan disusun, jika responden telah memasukkan persepsinya untuk setiap perbandingan antara kriteria-kriteria yang berada dalam satu

Dari uraian di atas terlihat bahwa usaha peternakan kerbau rawa di daerah ini (yang hanya satu- satunya pengembangan ternak kerbau di lahan rawa di Indonesia) sangat cocok

Candi Teluk I secara astronomis terletak 102 22’45”BT dan 01 24’33”LS, keberadaan Candi Teluk ditemukan secara kebetulan pada tahun 1980, sebuah buldoser yang sedang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor biofisik dan sosial ekonomi yang mempunyai korelasi yang kuat terhadap keberadaan lanskap hutan pada DAS Citanduy Hulu dan DAS Ciseel

Telah dilakukan penelitian tentang “Formulasi tablet likuisolid piroksikam dengan menggunakan propilen glikol (PG) sebagai pelarut non volatile”.. Dalam penelitian