• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFISIENSI TRANSPORTASI BENIH IKAN PATIN SIAM (Pangasius hypopthalmus) PADA UKURAN DAN KEPADATAN YANG BERBEDA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EFISIENSI TRANSPORTASI BENIH IKAN PATIN SIAM (Pangasius hypopthalmus) PADA UKURAN DAN KEPADATAN YANG BERBEDA"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

PADA UKURAN DAN KEPADATAN YANG BERBEDA

AGUS PURNOMO WIBISONO

SKRIPSI

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

EFISIENSI TRANSPORTASI BENIH IKAN PATIN SIAM (Pangasius hypopthalmus) PADA UKURAN DAN KEPADATAN YANG BERBEDA adalah benar merupakan karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Mei 2010

Agus Purnomo Wibisono C14104008

(3)

RINGKASAN

AGUS PURNOMO WIBISONO. Efisiensi transportasi benih ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) pada ukuran dan kepadatan yang berbeda. Dibimbing oleh TATAG BUDIARDI dan YANI HADIROSEYANI

Ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) adalah komoditas ikan air tawar yang memiliki potensi yang besar untuk dibudidayakan secara komersial. Lokasi pembenihan dan pembesaran ikan patin terpisah jauh sehingga membutuhkan waktu yang lama dan biaya transportasi yang mahal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kepadatan ikan optimum dalam pengepakan benih patin siam ukuran 0,75, 1,00 dan 1,25 inci yang menghasilkan tingkat kelangsungan hidup tertinggi 3 hari pasca transportasi yang berlangsung selama 8 jam sehingga mendapatkan biaya pengiriman yang lebih rendah sehingga harga jual benih patin menjadi lebih kompetitif.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November hingga Desember 2009 di Laboratorium Teknik Produksi dan Manajemen Akuakultur, Laboratorium Lingkungan, Departemen Budidaya Perairan, FPIK-IPB dan Yohanes Tropical Fish Farm, Desa Cogreg, Parung. Benih yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari pengumpul benih ikan patin siam (Mitra Mina Nusantara) yang terdiri dari ukuran 0,75, 1,00, dan 1,25 inci. Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu penentuan lama puasa maksimum, penentuan suhu optimum pengepakan, penentuan kepadatan optimal dalam media pengangkutan, dan pemeliharaan ikan setelah pengangkutan.

Kemampuan puasa benih berukuran 0,75, 1,00, dan 1,75 inci masing-masing ialah 4 hari, 5 hari, dan lebih dari 10 hari. TKO pada suhu 24oC >20oC>28oC sehingga pada saat transportasi digunakan suhu 24oC. TKO/ gram ikan berukuran 0,75 inci > 1 inci > 1,25 inci. TKO/ ekor ikan berukuran 0,75 inci < 1 inci < 1,25 inci.

Benih berukuran 0,75 inci menghasilkan SR tertinggi 99% dalam padat pengepakan 600, 800, dan 1000 ekor/liter. Benih berukuran 1,00 inci menghasilkan SR tertinggi 98% pada padat pengepakan 400 ekor/liter. Benih berukuran 1,25 inci menghasilkan SR tertinggi 91% pada padat pengepakan 200 ekor/liter. Perlakuan padat pengepakan yang menghasilkan biaya transportasi yang paling efisien untuk benih patin ukuran 0,75 inci ialah padat pengepakan 1000 ekor/liter dengan biaya transportasi Rp 38/ekor untuk transportasi ke Banjarmasin lewat udara, Rp 28/ekor untuk transportasi ke Palembang lewat udara, dan Rp 5/ekor untuk transportasi ke Lampung lewat darat. Padat pengepakan yang paling efisien untuk benih patin berukuran 1,00 inci ialah 400ekor/liter untuk transportasi ke Lampung lewat darat. Sedangkan untuk transportasi lewat udara ke Palembang dan Banjarmasin yang paling efisien ialah pengepakan dengan kepadatan 800ekor/liter dengan biaya transportasi masing-masing Rp 69 dan Rp 55. Padat pengepakan yang paling efisien untuk transportasi benih berukuran 1,25 inci ialah 800ekor/liter dengan biaya Rp 63/ekor untuk transportasi ke Banjarmasin lewat udara, Rp 50/ekor untuk transportasi ke Palembang lewat udara, dan Rp 20/ekor untuk transportasi ke Lampung lewat darat

(4)

EFISIENSI TRANSPORTASI

BENIH IKAN PATIN SIAM (Pangasius hypopthalmus)

PADA UKURAN DAN KEPADATAN YANG BERBEDA

AGUS PURNOMO WIBISONO

SKRIPSI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010

(5)

SKRIPSI

Judul

:

Efisiensi Transportasi Benih Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) pada Ukuran dan Kepadatan yang Berbeda

Nama Mahasiswa : Agus Purnomo Wibisono Nomor Pokok : C14104008

Disetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Tatag Budiardi, M.Si. Ir. Yani Hadiroseyani, MM. NIP : 19631002 199702 1 001 NIP : 19600131 198603 2 002

Mengetahui

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc. NIP : 196104101986011002

(6)

PRAKATA

Selama mengenyam pendidikan di Departemen Budidaya Perairan, FPIK IPB, penulis merasa memiliki minat ke arah pengkajian aspek sistem dan teknologi akuakultur khususnya ikan patin dan transportasi ikan. Hal tersebutlah yang menjadi alasan bagi penulis melakukan penelitian tentang transportasi benih ikan patin siam.

Penulis bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan Yesus Kristus yang karena kasih karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Efisiensi Transportasi Benih Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) pada ukuran dan kepadatan yang berbeda” ini. Harapan penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak orang.

Bogor, Mei 2010

(7)

UCAPAN TERIMAKASIH

Sejak menjadi mahasiswa di Departemen BDP FPIK IPB, melakukan penelitian, dan menulis skripsi ini penulis banyak mendapatkan arahan dan bantuan dari berbagai pihak. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :

1. Dr. Tatag Budiardi dan Ir. Yani Hadiroseyani, MM yang telah bersedia membimbing penulis dalam penelitian dan penulisan skripsi ini;

2. Dr. Dedi Jusadi sebagai pembimbing akademik penulis;

3. Dr. Eddy Supriyono untuk kesediaan menjadi dosen penguji tamu; 4. Seluruh dosen, pahlawan tanpa tanda jasa, yang membentuk paradigma

berpikir yang baru bagi penulis dan telah memperkenalkan dunia perikanan yang luas ini kepada penulis;

5. Tata Usaha BDP (khususnya Pak Maryanta, Mbak Yuli, dan Kang Asep) untuk perhatian dan kesabarannya membantu penulis selama menempuh pendidikan di Departemen BDP ini;

6. Teman-teman BDP 38-45;

7. Mitra Mina Nusantara (Kak Fauzan, Mbak Anna, A’ Iwan, A’ Udin, dan Saleh) yang membantu penyediaan benih, aplikasi hasil penelitian, dan saran teknis untuk penelitian ini;

8. Keluarga Soka Buntu 10 untuk kasih sayang sebuah keluarga, perhatian dan bantuan baik moril maupun materiil;

9. Prawira Atmaja Tampubolon, sahabat yang lebih dari saudara, karenamu aku bisa tersenyum ketika mendengar kata “persahabatan”; 10. Semua pihak yang telah membantu namun tidak dapat penulis

sebutkan satu per satu;

11. Last, but not the least. The most special persons in author’s life. Papi, Mami, Icha, dan Santy. Keluarga yang menjadi inspirasi dan semangat bagi penulis.

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Denpasar pada tanggal 15 Agustus 1986. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari Bapak Budi Setiawan dan Ibu Novy Sagita.

Pendidikan formal penulis dimulai pada tahun 1992 di SDK 1 Swastiastu Denpasar, lalu melanjutkan studinya di SLTPK Santo Yoseph Denpasar pada tahun 1998. Pada tahun 2001, penulis diterima di SMAN 1 Denpasar dan lulus pada tahun 2004. Penulis mengikuti Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun yang sama dan diterima di Institut Pertanian Bogor di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Departemen Budidaya Perairan dengan Program Studi Teknologi dan Manajemen Akuakultur

Semasa menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam keorganisasian Himpunan Mahasiswa Akuakultur, Persekutuan Agama Kristen, Himpunan Mahasiswa Bali Brahmacharya, dan Youth of Nation Ministry. Penulis pernah melakukan praktek lapang di Yohanes Tropical Fish Farm Ciseeng-Parung (2005), pembenihan lele dan nila di PT CPP Subang (2006), pembenihan udang vaname di PT Suri Tani Pemuka, Singaraja, Bali (2007), pembesaran ikan kerapu di KJA Gondol, Singaraja, Bali (2007), dan pembesaran ikan kerapu di KJA sea farming Kepulauan Seribu, Pemda DKI Jakarta (2007). Penulis juga pernah menjadi asisten Mata Kuliah Avertebrata Air 2006-2007, 2007-/2008 dan Rekayasa Wadah Akuakultur 2007-2008 pada program diploma IPB; Rekayasa Wadah Akuakultur 2006-2007, Dasar-dasar akuakultur 2006-2007 dan 2007-2008, Industri Pembenihan 2008, dan Teknologi Produksi Pakan Alami Ikan 2007-2008 pada program sarjana. Penulis merupakan pendiri dari Mitra Mina Nusantara, sebuah usaha jaringan pemasaran benih ikan air tawar.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi yang berjudul “Efisiensi Transportasi Benih Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) pada Ukuran dan Kepadatan yang Berbeda”.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... iii

DAFTAR GAMBAR... iv

DAFTAR LAMPIRAN... v

I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2.Tujuan dan Manfaat ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA... 3

2.1. Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) ... 3

2.2. Transportasi Ikan... 3

2.2.1 Kemasan... 5

2.2.2 Kepadatan ikan ... 5

2.3. Persyaratan Kualitas Air ... 6

2.3.1 Oksigen terlarut... 6

2.3.2 Suhu ... 7

2.3.3 Derajat keasaman (pH) ... 8

2.3.4 Karbondioksida (CO2) ... 8

2.3.5 Amonia ... 9

2.4. Penanganan Pasca Transportasi ... 10

2.5. Efisiensi Ekonomi ... 11

III. METODE PENELITIAN... 12

3.1. Waktu dan Tempat ... 12

3.2. Tahapan Penelitian ... 12

3.3. Kondisi Umum Benih ... 12

3.4. Prosedur Penelitian ... 13

3.4.1. Penentuan lama puasa maksimum ... 13

3.4.2. Penentuan suhu optimum pengepakan ... 13

3.4.3.Penentuankepadatan optimal pada suhu optimum ... 14

3.4.4. Prosedur pemeliharaan ikan setelah perlakuan ... 15

3.5. Rancangan Penelitian ... 15

3.6. Analisis Data ... 16

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 17

4.1. Kemampuan Puasa Ikan... 17

4.2. Suhu Optimum Pengepakan... 18

4.3. Kualitas Air Selama Transportasi ... 21

4.3.1. Total Amonia Nitrogen (TAN) ... 21

4.3.2. Derajat Keasaman (pH) ... 22

4.3.3. Karbon Dioksida (CO2) ... 23

(10)

4.3.4. Oksigen Terlarut ... 25

4.4. Kelangsungan Hidup (SR) ... 26

4.4.1. Selama transportasi ... 26

4.4.2. Pasca transportasi ... 27

4.5. Pemeliharaan Ikan Pasca Transportasi... 29

4.6. Efisiensi Ekonomi ... 30

V. KESIMPULAN DAN SARAN... 32

5.1 Kesimpulan ... 29

5.2 Saran... 29

DAFTAR PUSTAKA... 33

LAMPIRAN... 35

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Kondisi umum benih yang digunakan... 13

2. Perlakuan yang digunakan dalam penelitian... 15

3. Gerakan benih patin siam saat dipuasakan... 18

4. Kelangsungan hidup benih patin siam selama transportasi... 26

5. Gerakan benih patin siam pasca transportasi ... 29

6. Respon makan benih patin siam pasca transportasi ... 30

7. Perbandingan biaya antar perlakuan pada transportasi benih patin siam... 31

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Benih Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) yang digunakan dalam

penelitian: a) 0,75 inci; b) 1 inci; dan c) 1,25 inci ... 12 2. Kelangsungan hidup benih patin siam ketika dipuasakan... 17 3. Kondisi oksigen terlarut (DO) pada perlakuan suhu untuk benih patin siam

berukuran 0,75 inci (a), 1,00 inci (b), dan 1,25 inci (c) ... 19 4. Tingkat konsumsi oksigen per ekor benih patin siam... 20 5. Tingkat konsumsi oksigen per kilogram bobot tubuh benih patin siam ... 20 6. Konsentrasi TAN selama transportasi benih patin siam pada ukuran 0,75 (a),

1,00 (b), dan 1,25 inci (c)... 22 7. Nilai pH selama transportasi benih patin siam pada ukuran 0,75 (a), 1,00 (b),

dan 1,25 inci (c)... 23 8. Konsentrasi karbondioksida (CO2) selama transportasi benih patin siam

pada ukuran 0,75 (a), 1,00 (b), dan 1,25 inci (c)... 24

9. Konsentrasi DO selama transportasi benih patin siam pada ukuran 0,75 (a), 1,00 (b), dan 1,25 inci (c) ... 25

10. Kelangsungan hidup benih patin siam setelah transportasi selama 8 jam (H0) pada ukuran 0,75 (a), 1,00 (b), dan 1,25 inci (c)... 28

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Waktu tempuh transportasi melalui jalur darat dan udara ... 36 2. Data penelitian TKO, SR benih patin, dan kualitas air (pH, DO, TAN,

dan CO2)... 37

3. Analisis ragam kelangsungan hidup benih patin siam ukuran 0,75, 1, dan 1,25 inci pada hari ke 0 dan 3 ... 40 4. Rincian biaya pengiriman ... 45

(14)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) adalah komoditas ikan air tawar yang memiliki potensi yang besar untuk dibudidayakan secara komersial. Ikan ini tidak hanya digunakan sebagai ikan konsumsi, tetapi juga digunakan sebagai ikan hias sehingga segmentasi usaha dalam pembudidayaannya beragam. Ikan patin merupakan salah satu komoditas utama perikanan budidaya Indonesia (DKP, 2008a) dan salah satu komoditas dengan kenaikan produksi budidaya rata-rata terbesar selama 2007-2008 (DKP, 2008b).

Sasaran pengembangan produksi ikan patin sampai tahun 2009 diusahakan mencapai 36.500 ton, dengan kebutuhan benih sebanyak 121.670.000 ekor, induk sebanyak 12.170 ekor, dan pakan sebanyak 47.450 ton. Hal ini memerlukan pengintensifan lahan seluas 283 hektar. Unit pembenihan yang diharapkan dapat berproduksi adalah sebanyak 150 unit dan diperkirakan dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 10.310 orang (Numberi, 2005).

Pengembangan produksi patin diproyeksikan dapat mencapai 1.883.000 ton pada tahun 2014 dengan peningkatan 14,2 kali lipat dari tahun 2009 yang mencapai 132.600 ton. Kontribusi dari produksi patin diproyeksikan memberikan sumbangan terbesar pada tahun 2014 jika dibandingkan dengan komoditas lainnya meskipun pada tahun 2009 berada pada urutan ke-5 setelah nila, bandeng, mas, dan udang vaname (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2010 dalam Trobos, 2010).

Berkaitan dengan pengembangan produksi ikan patin, maka beberapa kabupaten dan kota di Pulau Sumatera dan Kalimantan ditetapkan menjadi kawasan minapolitan sebagai sentra pengembangan pembesaran patin. Sentra pengembangan di Pulau Sumatera adalah Batanghari, Palembang, dan Ogan Komering Ilir; sedangkan untuk Pulau Kalimantan adalah Banjar, Malinau, dan Pulau Pisau (KP NOMOR KEP.41/MEN/2009).

Usaha budidaya ikan patin umumnya dikelompokkan menjadi usaha pembenihan, pendederan, dan pembesaran. Sentra pembenihan patin berkembang di Jawa Barat (Bogor, Sukabumi, Subang, Cianjur, dan Depok). Lokasi

(15)

pembenihan dan pembesaran ikan patin terpisah sehingga membutuhkan waktu yang lama dan biaya transportasi yang mahal. Biaya transportasi untuk pengiriman darat berkisar antara 10-20% dari Harga Pokok Produksi (HPP) dan berkisar antara 30-50% dari HPP untuk pengiriman melalui udara. Ukuran benih ikan patin siam yang paling banyak diperjualbelikan adalah 0,75, 1,00, dan 1,25 inci dengan kepadatan pengepakan masing-masing 400-800 ekor/liter, 200-600 ekor/liter, dan 100-400 ekor/liter (Fauzan Feisal∗, Komunikasi Pribadi, 2009). Waktu tempuh transportasi dengan moda pengiriman udara umumnya berlangsung selama 8 jam perjalanan (Lampiran 1), dan untuk pengiriman dengan moda darat umumnya dilakukan pengepakan ulang setiap 8 jam. Berdasarkan informasi tersebut, penelitian ini menggunakan 8 jam sebagai lama transportasi.

Kepadatan benih ikan pada kantong pengepakan sangat mempengaruhi keberhasilan suatu pengiriman benih patin. Kepadatan benih ikan yang terlalu tinggi, pada waktu pengiriman yang lama, akan meningkatkan tingkat stres ikan akibat kualitas air yang menurun seperti menurunnya ketersediaan oksigen pada kantong pengepakan. Namun, kepadatan benih ikan yang terlalu rendah akan meningkatkan biaya pengiriman per unit benih. Hal tersebutlah yang mendasari perlunya diketahui kepadatan yang optimal. Indikator yang digunakan untuk mengetahui kepadatan optimum pengepakan adalah kelangsungan hidup benih pasca transportasi dan biaya pengiriman.

1.2. Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kepadatan optimum ikan dalam pengepakan benih patin siam ukuran 0,75, 1,00 dan 1,25 inci yang menghasilkan tingkat kelangsungan hidup tertinggi tiga hari pasca transportasi yang berlangsung selama delapan jam. Penelitian ini bermanfaat untuk mendapatkan biaya pengiriman yang lebih rendah sehingga harga jual benih patin menjadi lebih kompetitif.

(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus)

Ikan patin siam adalah jenis ikan patin yang diintroduksi dari Thailand (Khairuman dan Amri, 2008; Slembrouck et al., 2005). Ikan patin siam berasal dari Sungai Mekong di Vietnam sampai ke Sungai Chao Phraya di Thailand.

Ikan patin siam memiliki badan memanjang berwarna putih seperti perak dengan punggung berwarna kebiruan. Panjang tubuh dapat mencapai 120 cm. Kepala patin siam relatif kecil dengan mulut terletak di ujung kepala relatif di bagian bawah (Susanto dan Amri, 1998). Di sudut mulutnya terdapat dua pasang kumis yang berfungsi sebagai alat pencari makan dan alat peraba pada saat berenang. Ikan patin siam mampu hidup di kualitas air yang kurang baik (Hamid et al., 2007), mampu dibudidayakan dalam kepadatan tinggi, dan termasuk ikan omnivora (Trong et al., 2002)

2.2. Transportasi Ikan

Transportasi ikan adalah penempatan sementara ikan pada lingkungan yang sangat terbatas, yaitu ruang yang sempit dan kepadatan ikan yang tinggi sekali. Kondisi ini menjadikan lingkungan sangat labil dan mengalami perubahan dengan cepat dalam degradasi kualitas lingkungan/air yang mengancam kehidupan ikan. Keberhasilan mengurangi pengaruh perubahan lingkungan yang mendadak ini akan memberi kemungkinan untuk mengurangi tingkat kematian, yang berarti tercapainya tujuan transportasi (Huet, 1971). Effendi (2004) menyatakan bahwa transportasi ikan hidup adalah usaha memindahkan ikan dari suatu daerah (sentra produksi) ke daerah lain (sentra konsumsi) dengan kepadatan transportasi setinggi-tingginya dan biaya serendah-rendahnya serta ikan yang diangkut memiliki kelangsungan hidup setinggi-tingginya dan kondisi ikan sehat setelah sampai tujuan.

Ada dua sistem dasar untuk transportasi ikan hidup yaitu sistem tertutup dan sistem terbuka. Sistem tertutup dilakukan dalam wadah yang tertutup dengan segala persyaratan yang dibutuhkan untuk bertahan hidup selama transportasi telah disertakan sejak awal di dalamnya (Berka, 1986). Dalam sistem ini tidak ada

(17)

persinggungan antara air media transportasi dengan udara luar, kebutuhan oksigen ikan selama transportasi disediakan dengan cara memasukan oksigen murni sehingga bisa berdifusi ke dalam air media transportasi menjadi oksigen terlarut yang bisa dimanfaatkan oleh ikan, sistem ini dapat menggunakan moda angkutan udara sehingga bisa dikirim untuk jarak jauh (Effendi, 2004); sedangkan sistem terbuka dilakukan dengan mengisi wadah dengan air lalu segala kebutuhan untuk bertahan hidup selama transportasi diberikan secara berkala dari luar. Sistem-sistem ini kemudian dikaji dan disesuaikan dengan permasalahan persiapan ikan untuk transportasi, jenis kendaraan dan perlengkapan, masalah kualitas dan penggantian air selama transportasi, dan pencegahan menggunakan bahan kimia selama transportasi ikan (Berka, 1986).

Menurut Nemoto (1957), hal penting yang harus diperhatikan dalam transportasi ikan adalah:

a. Meningkatkan suplai oksigen dengan cara mengganti udara dengan oksigen murni, meningkatkan tekanan oksigen pada wadah, dan mengurangi konsumsi oksigen rata-rata.

b. Mengontrol metabolisme, dengan cara mengurangi laju buangan metabolisme dan menetralisasi atau menghilangkan hasil metabolisme. Huet (1971) menyatakan, bahwa faktor utama yang mempengaruhi transportasi ikan hidup dengan mempertimbangkan persediaan oksigen dalam alat transportasi antara lain :

a. Spesies ikan: kebutuhan ikan terhadap oksigen bervariasi tergantung spesiesnya

b. Umur dan ukuran ikan: ikan yang lebih kecil memiliki kebutuhan oksigen lebih tinggi dibandingkan dengan ikan yang lebih besar.

c. Ketahanan relatif ikan: ikan yang diberi pakan alami lebih tahan dibandingkan dengan ikan yang diberi pakan buatan, serta ikan dalam kondisi yang siap memijah memiliki daya tahan yang rendah dalam transportasi.

d. Suhu air: pada suhu rendah mengakibatkan kadar oksigen di dalam air lebih tinggi, karena kebutuhan oksigen akan menurun.

(18)

5

e. Lama waktu angkut: makin pendek waktu ikan makin tinggi kepadatannya.

f. Cara angkut ikan dan lama istirahat: makin cepat transportasi dan makin baik prasarana serta waktu istirahat yang pendek, kemungkinan keberhasilan transportasi lebih besar.

g. Sifat alami alat pengangkut: transportasi dengan wadah kayu menyebabkan peningkatkan suhu air lebih lamban dibanding dengan wadah logam, tetapi wadah kayu dapat mengisolasi panas dalam wadah. h. Kondisi klimatologik : hal ini berpengaruh terhadap suhu air di dalam

wadah maupun kandungan oksigen terlarutnya.

Pada sistem tertutup, sedikit gerakan pada kantong dapat mendukung masuknya oksigen murni atmosferik ke dalam air. Untuk jangka waktu yang lama, kantong yang berisi ikan apabila dibiarkan tanpa gerakan sama sekali akan dapat menyebabkan kematian ikan walaupun cadangan oksigen di dalam kantong masih tinggi (Berka, 1986).

2.2.1. Kemasan

Transportasi yang paling sering dilakukan karena mudah dan aman untuk jarak dekat maupun jarak jauh adalah dengan menggunakan kantong plastik berukuran 40 x 60 cm yang diisi oksigen murni. Untuk transportasi jarak jauh terutama dengan menggunakan pesawat terbang, biasanya kantong plastik tersebut dimasukkan ke dalam kotak styrofoam. Pada styrofoam diletakkan es yang dibungkus dengan kantong plastik agar suhu selama transportasi rendah. (Hamid et al., 2007).

Kemasan yang baik dalam transportasi sistem tertutup adalah menggunakan plastik jenis polietilen (PE) dengan ketebalan plastik 0,03 mm, karena ringan, mudah didapat, dan murah. Lebih lanjut, penggunaan kantong plastik pada transportasi jarak jauh sebaiknya diletakkan dalam kotak styrofoam untuk mengurangi kontak yang terjadi antara air di dalam kantong dengan temperatur lingkungan yang relatif panas. Garbhards (1965) menyatakan, bahwa penggunaan kantong plastik yang diletakkan pada kotak styrofoam meningkatkan kelangsungan hidup sebesar 99,9%.

(19)

2.2.2. Kepadatan ikan

Kepadatan ikan adalah bobot ikan yang berada dalam suatu wadah pada waktu tertentu. Kepadatan ikan yang akan diangkut bergantung pada volume air, bobot ikan, spesies, ukuran ikan, lama transportasi, suplai oksigen dan suhu (Jhingran dan Pullin, 1985). Untuk kasus di BBAT Jambi transportasi benih patin siam umur 15 hari (0,75 inci) dengan waktu tempuh dibawah 2 jam, diisi 5000 ekor/kantong; sedangkan untuk jarak jauh dengan waktu tempuh 7-24 jam, diisi 2000 ekor/kantong (Hamid et al., 2007). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Nurwahit (Pedagang Benih Ikan Patin Siam, Komunikasi Pribadi, 2009), untuk pengiriman benih patin ukuran 0,75 inci selama 8-12 jam diisi 2000 ekor/kantong dengan air 2,5 liter (800 ekor/liter) dengan SR hampir selalu 100%.

2.3. Persyaratan Kualitas Air 2.3.1. Oksigen terlarut

Konsumsi oksigen oleh ikan sangat bergantung pada jenis, ukuran, aktivitas ikan, toleransi terhadap stres, suhu, pH, CO2 dan amoniak (Berka, 1986;

Boyd, 1990). Nugroho (2006) mengemukakan bahwa oganisme berukuran kecil mengkonsumsi oksigen lebih banyak persatuan waktu dan bobot ikan daripada yang berukuran besar.

Bobot ikan dan suhu air merupakan faktor penting yang mempengaruhi konsumsi oksigen ikan dalam kaitannya dengan metabolisme selama transportasi. Ikan yang lebih berat dan yang diangkut menggunakan air yang lebih hangat memerlukan oksigen yang lebih banyak. Apabila suhu air meningkat 10°C (misalnya dari 10°C menjadi 20°C), maka konsumsi oksigen akan meningkat 2 kali lipatnya (Berka, 1986)

Oksigen terlarut (DO) adalah salah satu parameter kualitas air yang penting. Kekurangan oksigen biasanya merupakan penyebab utama kematian ikan secara mendadak dan dalam jumlah besar. Mempertahankan kondisi DO dalam kisaran normal akan membantu mempertahankan kondisi ikan selama penanganan. Konsentrasi DO yang terlalu rendah menimbulkan pengaruh yang buruk terhadap kesehatan ikan seperti anoreksia, stres pernafasan, hipoksia jaringan, ketidaksadaran, bahkan kematian (Wedemeyer, 1996). Oksigen terlarut

(20)

7

ialah faktor tunggal utama yang berperan dalam pengepakan. Namun, oksigen yang berlimpah dalam wadah tidak selalu menunjukkan bahwa ikan-ikan dalam kondisi baik. Ikan dapat mengatur volume oksigen yang masuk tubuh mereka. Piper et al. (1986) menyatakan, bahwa oksigen terlarut di dalam media transportasi ikan harus lebih besar dari 7 mg/l dan lebih kecil dari tingkat jenuh, sebab kebutuhan oksigen akan meningkat pada saat kadar CO2 tinggi dan stres

penanganan sehingga untuk persiapan disediakan dua kali kebutuhan normal. Pescod (1973) menyatakan, bahwa kandungan oksigen terlarut yang baik untuk transportasi ikan harus lebih dari 2 mg/l. Konsumsi oksigen tertinggi pada ikan terjadi 15 menit pertama dari saat transportasi.

2.3.2. Suhu

Ikan bersifat poikilothermal, yaitu suhu tubuhnya mengikuti suhu lingkungannya (Boyd, 1990). Jadi, suhu mempunyai pengaruh yang nyata pada respirasi, pemasukan pakan, kecernaan, pertumbuhan dan berpengaruh terhadap metabolisme ikan. Suhu juga berakibat pada kelarutan oksigen dalam air, difusi oksigen ke insang dan kehidupan potensial bagi organisme patogen.

Setiap spesies mempunyai kisaran suhu yang berbeda, maka bila terjadi perubahan di luar kisaran suhu tersebut akan membuat ikan stess bahkan bisa mengakibatkan kematian. Suhu yang lebih tinggi dari kisaran suhu optimal akan meningkatkan toksisitas dari kontaminan terlarut yang kemudian meningkatkan pertumbuhan dari patogen, menurunkan konsentrasi oksigen terlarut, meningkatkan konsumsi oksigen dari peningkatan suhu tubuh, serta meningkatkan laju metabolisme. Sebaliknya suhu yang lebih rendah dari kisaran suhu optimum akan mengakibatkan respon imunitas menjadi lebih lambat, mengurangi nafsu makan, aktifitas dan pertumbuhan (Wedemeyer, 1996).

Demikian juga diungkapkan oleh Effendi (2003) bahwa suhu air berpengaruh tehadap aktifitas penting terutama pernafasan, reproduksi serta laju metabolisme. Stickey (1979) menyatakan bahwa, secara umum fluktuasi suhu yang membahayakan bagi ikan ialah 5oC dalam waktu 1 jam. Jhingran dan Pullin (1985) menyatakan untuk transportasi jarak jauh dan lama (lebih dari 24 jam) oksigen harus selalu tersedia dan suhu tidak boleh melebihi 28oC, adapun suhu

(21)

yang ideal untuk transportasi ikan tropis adalah 20-24oC. Suhu pemeliharaan ikan patin umumnya berkisar antara 26,5-28oC untuk pembesaran (Asyari, 1992) dan 29-32oC untuk pembenihan (Slembrouck et al., 2005).

2.3.3. Derajat keasamaan (pH)

Nilai pH (power of hydrogen) merupakan ukuran konsentrasi ion H+ di dalam air. Keasaman adalah kapasitas air untuk menetralkan ion-ion hidroksil (OH-). Nilai pH disebut asam bila kurang dari 7, pH 7 disebut netral dan pH di atas 7 disebut basa (Boyd, 1990).

Jaringan insang merupakan target organ pertama akibat stres asam. Ketika ikan berada dalam pH rendah, peningkatan lendir akan terlihat pada permukaan insang (Boyd, 1990). Begitu juga pada pH tinggi, karena insang sangat sensitif dan berbahaya bagi mata ikan. Nugroho (2006) mengatakan bahwa batas toleransi ikan terhadap pH berkisar antara 4-11. Kriteria pH yang ideal menurut Pescod (1973) adalah 6,5-8,5.

2.3.4. Karbondioksida (CO2)

CO2 dalam media transportasi merupakan hasil respirasi dan dapat

mengancam kelangsungan hidup ikan. Jumlah CO2 yang terlampau banyak akan

bersifat racun bagi ikan (Jhingran dan Pullin, 1985). Peningkatan CO2 akan

mengurangi kemampuan hemoglobin darah untuk membawa O2 dan dibutuhkan

lingkungan dengan kandungan oksigen terlarut yang lebih tinggi agar ikan dapat hidup (Royce, 1984).

Kadar CO2 terlarut lebih dapat ditoleransi oleh ikan dibandingkan dengan

amoniak, bahkan banyak ikan yang hidup pada air yang mengandung CO2 lebih

besar dari 60 mg/l (Boyd, 1990). Kadar CO2 sebesar 50-100mg/l dapat membunuh

ikan dalam waktu relatif lama. Kadar CO2 dalam air juga mempengaruhi pH air.

Pada saat kandungan CO2 tinggi maka pH air rendah demikian pula sebaliknya

(22)

9

2.3.5. Amonia

Ikan adalah hewan yang termasuk dalam golongan amonioletik, yaitu hewan yang mengekskresikan amonia sebagai produk akhir dari metabolisme asam amino (Nugroho, 2006). Pakan yang dimakan oleh ikan sebagian besar akan diubah menjadi daging atau jaringan tubuh, sedangkan sisanya dibuang menjadi kotoran padat (feses) dan terlarut (amonia) (Kordi dan Tancung, 2007). Sumber utama amoniak di perairan adalah ekskresi langsung amoniak oleh ikan atau hasil metabolisme ikan (Boyd, 1990). Soemirat (2005) mengklasifikasikan amonia sebagai racun yang merupakan metabolit organisme. Level racun amonia untuk pemaparan jangka pendek biasanya berkisar antara 0,6-2 mg/l pada suhu 30 oC.

Di dalam air, amonia terdapat dalam 2 bentuk yaitu NH4+ atau biasa

disebut ionized amonia (IA) yang kurang beracun dan NH3 atau unionized amonia

(UIA) yang beracun (Kordi dan Tancung, 2007). Kedua bentuk amonia tersebut di dalam air berada dalam kesetimbangan seperti berikut :

NH3 + H2O ÅÆ NH4+ + OH-

Keberadaan NH3 bergantung pada suhu dan pH (Boyd, 1990; Effendi,

2003; Sanusi et al., 2005). Bentuk kandungan (NH3 dan NH4+) tergantung pada

konsentrasi ion hidrogen pada air. Air dengan pH rendah memiliki ion hidrogen lebih banyak sehingga bentuk NH4+ lebih dominan dimana NH4+ lebih tidak

beracun dibandingkan NH3. Jika pH meningkat di atas 7,2 maka jumlah ion

hidrogen akan berkurang dan mengakibatkan bentuk NH3 lebih dominan. NH3

sudah berbahaya pada konsentrasi lebih dari 0,04 mg/l, karena dapat menurunkan kapasitas darah untuk membawa oksigen sehingga jaringan akan kekurangan oksigen. Effendi (2003) menyatakan bahwa kadar NH3 pada perairan tawar

sebaiknya tidak melebihi 0,02 mg/l karena bersifat toksik bagi beberapa jenis ikan.

Ketika konsentrasi amoniak pada lingkungan meningkat, ekskresi amoniak pada ikan menurun sehingga kadar amoniak dalam darah dan jaringan ikan meningkat (Boyd, 1990). Di dalam wadah transportasi ekskresi amoniak penting diketahui karena akumulasi akan berakibat fatal terhadap kelangsungan hidup organisme yang diangkut.

(23)

Jumlah amoniak yang diekskresikan juga bergantung pada sejumlah faktor seperti spesies, ukuran, makanan, dan temperatur (Boyd, 1990). Spotte (1970) mengemukakan bahwa laju metabolisme hewan air tawar yang berukuran lebih kecil akan lebih cepat dibandingkan hewan yang lebih besar pada spesies yang sama. Dalam wadah transportasi laju metabolime ikan lebih cepat sampai tiga kali metabolisme rutin sehingga menyebabkan laju ekskresi hasil metabolisme selama proses transportasi meningkat pula (Frose, 1985).

2.4. Penanganan Pasca Transportasi

Pelepasan ikan setelah sampai ditempat tujuan dapat menjadi tahapan yang paling kritis dalam proses transportasi ikan. Ikan berada pada tingkatan stres tertentu ketika proses transportasi. Apabila secara tiba-tiba ikan dimasukkan ke dalam air yang berbeda karakteristik atau air dengan kualitas yang lebih rendah akan meningkatkan stres pada ikan yang seringkali melampaui daya tahan ikan tersebut. Air berkualitas rendah dapat berarti air tanah yang baru saja dipompa yang memiliki kandungan oksigen yang rendah atau kandungan karbondioksida yang tinggi; sedangkan perbedaan karakteristik air maksudnya adalah perbedaan pH, suhu, atau saturasi gas antara air dalam kantong dan air yang digunakan sebagai wadah ikan setelah ikan sampai di lokasi tujuan.

Kondisi pengiriman juga mempengaruhi komposisi darah dan parameter biokimia serum darah ikan. Peningkatan suhu dan penurunan rasio antara bobot ikan dengan konsentrasi air dapat meningkatkan jumlah eritrosit dan konsentrasi hemoglobin di dalam darah ikan. Hal tersebut tidak ditemukan pada temperatur yang lebih rendah dan kepadatan ikan yang lebih tinggi (Shevchenko, 1978 dalam Berka, 1986).

Sisi ekonomi pada transportasi ikan merupakan hal yang penting dalam penentuan jumlah kepadatan dalam kemasan. Apabila biaya transportasi tinggi dan nilai ikan yang diangkut cenderung rendah, maka kepadatan dalam setiap unit kemasan (kantong) dapat ditingkatkan meskipun jumlah kematian ikan per kemasan diduga akan lebih tinggi bila dibandingkan dengan kemasan dengan kepadatan ikan yang lebih sedikit (Berka, 1986).

(24)

11

2.5. Efisiensi Ekonomi

Efisiensi ekonomi adalah analisis usaha yang dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kegiatan usaha mengalami keuntungan atau tidak, serta mengukur keberlanjutan usaha. Analisa usaha dalam bidang perikanan merupakan pemeriksaan keuangan untuk mengetahui keberhasilan usaha yang telah dicapai selama kegiatan usaha perikanan berlangsung. Parameter yang digunakan dalam analisis usaha adalah keuntungan, Revenue-cost ratio (R/C), break even point (BEP), harga pokok produksi (HPP), dan payback periode (PP). Break even point merupakan suatu nilai dimana hasil penjualan produksi sama dengan biaya produksi sehingga pengeluaran sama dengan pendapatan atau impas. Harga pokok produksi (HPP) digunakan untuk menentukan harga jual produk, jika ingin mendapatkan keuntungan, penjualan harus diatas HPP.

(25)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November hingga Desember 2009 di Laboratorium Teknik Produksi dan Manajemen Akuakultur, Departemen Budidaya Perairan, FPIK-IPB. Pengujian kualitas air dilakukan di Laboratorium Lingkungan, Departemen Budidaya Perairan, FPIK-IPB. Pemeliharaan ikan sebelum dan sesudah perlakuan dilakukan di Yohanes Tropical Fish Farm, Desa Cogreg, Parung.

3.2. Tahapan Penelitian

Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu penentuan lama puasa maksimum, penentuan suhu optimum pengepakan, penentuan kepadatan optimal dalam media pengangkutan, dan pemeliharaan ikan setelah pengangkutan. Data penelitian dilampirkan pada Lampiran 2.

3.3. Kondisi Umum Benih

Benih yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari pengumpul benih ikan patin siam (Mitra Mina Nusantara) yang berukuran 0,75, 1,00, dan 1,25 inci (Gambar 1). Seluruh benih yang digunakan pada penelitian telah terbiasa memakan pelet sebagai pakannya kecuali benih berukuran 0,75 inci yang baru 1 hari memakan pelet. Kondisi umum benih disajikan pada Tabel 1.

a

b

c

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Gambar 1. Benih ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) yang digunakan dalam penelitian: a) 0,75 inci; b) 1 inci; dan c) 1,25 inci

(26)

13

Tabel 1. Kondisi umum benih yang digunakan

Ukuran ikan Keterangan

0,75 inci 1,00 inci 1,25 inci

Bobot (gram) 0,09-0,1 0,19-0,22 0,4-0,5

Panjang baku (cm) 2 2,6 3,1

Panjang Total (cm) 2,4-2,5 3,1-3,2 3,6-3,7

Volume/100 ekor ikan (ml) 20 40 62,5

umur pemeliharaan (hari) 12-16 16-21 27-35

3.4. Prosedur Penelitian

3.4.1 Penentuan lama puasa maksimum

Lama puasa maksimum ditentukan dari waktu gerakan ikan mulai lemas dan ikan mengalami kematian dalam keadaan dipuasakan. Tiga ukuran benih patin yaitu 0,75, 1,00, dan 1,25 inci masing-masing sebanyak 100 ekor ditempatkan dalam akuarium berdimensi 100 x 50 x 35 cm yang diisi air pada ketinggian 30 cm tanpa aerasi. Ikan dipelihara selama 10 hari tanpa diberi makan. Makanan terakhir yang diperoleh ikan ialah pelet saat pertama kali ikan dipindahkan dalam wadah, pelet diberikan sekenyangnya. Selama pemeliharaan tidak dilakukan pergantian air. Pengamatan terhadap ikan yang dipuasakan adalah perilaku ikan dan kematian ikan yang terjadi.

3.4.2 Penentuan suhu optimum pengepakan

Suhu optimum pengepakan ditentukan dengan mempertimbangkan suhu teknis dalam percobaan Tingkat Konsumsi Oksigen (TKO), yaitu TKO terendah. Pada penelitian ini TKO diteliti pada suhu 20, 24, dan 28oC. TKO ditentukan dengan menyiapkan 9 buah akuarium berukuran 25 x 15 x 15 cm3 yang telah dibersihkan dan dikeringkan, kemudian diisi air sebanyak 3 liter yang sebelumnya telah diaerasi selama 24 jam (sampai kandungan oksigen dalam air jenuh) dan diatur pada suhu 20, 24, dan 28oC dengan penambahan es batu. Ikan uji yang telah dipuasakan selama 24 jam dimasukkan ke dalam wadah masing-masing sebanyak 30 ekor kemudian ditutup dengan tutup styrofoam yang telah dilubangi sebelumnya untuk pengukuran sampel. Lalu diukur kandungan DO dengan menggunakan DO-meter TOA dan dilakukan pengukuran suhu dengan

(27)

termometer setiap satu jam selama 6 jam. Persamaan yang digunakan untuk penentuan TKO adalah (Goddard, 1996):

W.t DO DO TKO/bobot= t − 0 x v n.t DO DO TKO/ekor= t − 0 x v Keterangan:

TKO/ ekor = tingkat konsumsi oksigen/ ekor ikan (mg O2/ekor/jam)

TKO/bobot = tingkat konsumsi oksigen/bobot ikan (mg O2/gram/jam)

DOt = DO akhir

DO0 = DO awal

W = Bobot total ikan (gram)

t = waktu (jam)

n = jumlah ikan (ekor)

v = volume air (l)

3.4.3 Penentuan kepadatan optimal pada suhu optimum

Penentuan kepadatan yang tepat dalam kemasan tertutup bertujuan untuk menghindari kematian benih karena ruang gerak yang terbatas akibat kepadatan yang terlalu tinggi. Penentuan kepadatan ikan optimum dilakukan dengan mengepak benih ikan ukuran 0,75 inci dengan padat pengepakan 600, 800, 1000, dan 1200 ekor/liter; benih ukuran 1,00 inci dengan padat pengepakan 400, 600, 800, dan 1000 ekor/liter; dan benih 1,25 inci dengan padat pengepakan 200, 400, 600, 800 ekor/liter. Benih yang akan diperlakukan sebelumnya dipuasakan terlebih dahulu selama 24 jam. Benih ikan dihitung secara manual dan dimasukkan ke dalam kantong plastik berukuran 28 x 50 cm2 dengan air sebanyak 1,2 liter (200 ml diperhitungkan untuk pengambilan sampel). Oksigen murni dimasukkan ke dalam kantong dengan perbandingan air : oksigen = 1:3, kemudian kantong diikat dengan karet gelang. Air untuk perlakuan diturunkan sampai suhu 24oC dengan penambahan es batu. Kantong yang telah berisi ikan uji dimasukkan ke dalam kotak styrofoam. Perlakuan dilakukan selama 8 jam dan diukur kualitas air (DO, suhu, NH3, pH, dan CO2) setiap 2 jam. Satu jam pertama perlakuan dan

setelah perlakuan, benih ditransportasikan menggunakan sepeda motor selama satu jam untuk simulasi goncangan selama pengiriman.

(28)

15

Kelangsungan hidup ikan dihitung dengan rumus: 100% N N SR 0 t × = Keterangan

SR = Kelangsungan hidup (survival rate) (%) Nt = jumlah ikan akhir (ekor)

N0 = jumlah ikan awal (ekor)

3.4.4Prosedur pemeliharaan ikan setelah perlakuan

Setelah diberikan perlakuan selama 8 jam, kantong ikan dibuka dan oksigen murni dimasukkan kembali selama 10 menit untuk memulihkan kondisi ikan. Setelah itu, dilakukan pemeliharaan selama 3 hari dalam akuarium berukuran 100 x 50 x 35 cm2 untuk melihat pengaruh kepadatan pengepakan terhadap kesehatan benih pasca transportasi. Benih diberi makan pelet udang (protein 40%) dengan interval 8 jam sekali sekenyangnya. Jumlah ikan yang mati, gerakan ikan dan respon ikan terhadap pemberian pakan dicatat.

3.5. Rancangan Penelitian

Perlakuan yang digunakan pada penelitian ini adalah perbedaan kepadatan pengepakan ikan untuk melihat pengaruhnya terhadap kelangsungan selama transportasi. Perlakuan dikenakan pada benih ikan patin berukuran 0,75, 1,00 dan 1,25 inci selama 8 jam seperti yang ditampilkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Perlakuan yang digunakan dalam penelitian Ukuran ikan (inci) Perlakuan

0,75 1 1,25 1 600 ekor/liter 400 ekor/liter 200 ekor/liter

2 800 ekor/liter 600 ekor/liter 400 ekor/liter 3 1000 ekor/liter 800 ekor/liter 600 ekor/liter

(29)

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL). Masing-masing perlakuan terdiri dari 3 kali ulangan. Model rancangan yang digunakan ialah: yij = μ + τi + εij (Steel dan Torrie, 1993).

yij = data pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j μ = nilai tengah data

τi = pengaruh perlakuan ke-i

εij = kesalahan percobaan pada perlakuan ke-j dan ulangan ke-i

3.6. Analisis Data

Data yang telah diperoleh kemudian dianalisis ragam (anova) dengan uji F pada selang kepercayaan 95% untuk menentukan apakah perlakuan berpengaruh terhadap kelangsungan hidup benih ikan patin siam. Apabila berpengaruh nyata, untuk melihat perbedaan antar perlakuan akan diuji lanjut menggunakan uji wilayah-berganda Duncan (Walpole, 1995).

(30)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kemampuan Puasa Ikan

Benih ikan yang dipuasakan selama 10 hari untuk masing-masing ukuran pada penelitian ini memperlihatkan kemampuan bertahan hidup yang berbeda. Kematian yang pertama kali terjadi pada benih ikan berukuran 0,75 inci adalah pada hari ke-5 sebanyak 10% (Gambar 2); sedangkan pada benih yang berukuran 1 inci adalah hari ke-6 sebanyak 3%. Berbeda dengan benih berukuran 1,25 inci yang sampai hari ke-10 tidak mengalami kematian. Kelangsungan hidup benih ikan ukuran 0,75, 1 dan 1,25 inci berturut-turut pada hari ke-10 adalah 87%, 93%, dan 100%. Hasil ini memperlihatkan bahwa semakin besar ukuran ikan, maka semakin dapat bertahan pada saat dipuasakan karena cadangan energi ditubuhnya lebih banyak, metabolismenya lebih lambat (Spotte, 1970), dan pencernaannya lebih sempurna (Slembrouck et al., 2005).

80% 85% 90% 95% 100% 105% 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Hari ke-K e la n g sung a n hi d up (% )

0,75 inci 1,00 inci 1,25 inci

Gambar 2. Kelangsungan hidup benih patin siam ketika dipuasakan

Selama dipuasakan sampai terjadi kematian, ikan memperlihatkan gerakan yang semakin lemah terutama untuk ikan berukuran 0,75 dan 1,00 inci. Kelincahan ikan berukuran 0,75 inci mulai berkurang pada hari ke-4 dan mulai melemas pada hari ke-6; sedangkan ikan berukuran 1 inci mulai berkurang kelincahannya pada hari ke-6 dan mulai melemas pada hari ke-9. Berkurangnya kelincahan ikan diduga terkait dengan energi yang sudah semakin sedikit akibat

(31)

tidak adanya asupan energi dari makanan karena ikan sedang dipuasakan. Adapun ikan berukuran 1,25 inci tidak memperlihatkan gejala seperti itu dan tetap aktif sampai hari ke-10 (Tabel 3).

Tabel 3. Gerakan benih patin siam saat dipuasakan Ukuran ikan Hari ke

0,75 inci 1,00 inci 1,25 inci

1 ++++ ++++ ++++ 2 ++++ ++++ ++++ 3 ++++ ++++ ++++ 4 +++ ++++ ++++ 5 +++ ++++ ++++ 6 ++ +++ ++++ 7 ++ +++ ++++ 8 ++ +++ ++++ 9 + ++ ++++ 10 + ++ ++++

Keterangan: ++++ = sangat lincah; +++ = lincah; ++ = lemas namun masih merespon gangguan; + = lemas

4.2 Suhu Optimum Pengepakan

Suhu air pada media pemeliharaan sebelum ikan dipindahkan ke media perlakuan adalah 26oC. Suhu media perlakuan adalah 20oC, 24oC, dan 28oC. Ketika ikan dipindahkan ke media perlakuan yang suhunya 20oC, beberapa ikan berukuran 1,00 inci dan 1,25 inci ditemukan pingsan pada awal pemindahan. Namun ikan-ikan tersebut kembali normal 1 jam setelahnya. Ikan yang pingsan menggantung dipermukaan atau tergeletak di dasar seperti ikan mati. Kondisi serupa tidak ditemukan pada ikan yang berukuran 0,75 inci. Stickey (1979) menyatakan bahwa perubahan suhu sebesar 5oC dalam satu jam bisa menyebabkan stres pada ikan. Hal inilah yang mendasari tidak ditemukannya ikan yang pingsan pada saat pemindahan awal dari media pemeliharaan ke media perlakuan bersuhu 24oC dan 28oC pada semua ukuran ikan karena selisih media pemeliharaan dan media perlakuan masih lebih kecil dari 5oC.

Suhu berpengaruh terhadap kelarutan oksigen awal (Gambar 3). Pada suhu 20oC, oksigen terlarut awal berkisar antara 5,48-5,59 mg/l; pada suhu 24oC berkisar antara 4,94-5,34 mg/l; dan pada suhu 28oC berkisar antara 4,22-4,77

(32)

19

mg/l. Kelarutan oksigen menurun seiring dengan meningkatnya suhu air. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh Boyd (1990). Kondisi akhir oksigen terlarut pada seluruh perlakuan adalah diatas 2 mg/l kecuali pada benih berukuran 1,25 inci pada perlakuan suhu 28oC. Pada perlakuan tersebut, ikan mengalami kematian pada saat oksigen terlarut dibawah 2 mg/l. Tingkat kelangsungan hidup pada akhir perlakuan suhu 28oC dengan ukuran ikan 1,25 inci adalah 78 ± 11%. Tidak ditemukan ikan yang mati pada akhir perlakuan yang memiliki oksigen terlarut diatas 2 mg/l. Pescod (1973) menyatakan bahwa kandungan oksigen terlarut yang baik untuk transportasi ikan harus lebih dari 2 mg/l.

0 1 2 3 4 5 6 0 1 2 3 4 5 6 D O ( m g /l) 0 1 2 3 4 5 6 0 1 2 3 4 5 6 Jam ke-D O (m g /l) 0 1 2 3 4 5 6 D O ( m g /l) (a) (b) (c)

Keterangan: 2 20 celcius3 4 24 celcius5 6 28 celcius

Gambar 3. Kondisi oksigen terlarut (DO) pada perlakuan suhu untuk benih patin siam berukuran 0,75 inci (a), 1,00 inci (b), dan 1,25 inci (c)

Nilai Tingkat Konsumsi Oksigen (TKO) per ekor ikan disajikan pada Gambar 4. TKO per ekor ikan benih berukuran 1,25 inci jauh lebih besar bila dibandingkan dengan ukuran 0,75 dan 1,00 inci; sedangkan TKO per ekor ikan

(33)

benih berukuran 0,75 inci dan 1,00 inci tidak jauh berbeda. Pada suhu 20oC, TKO per ekor ikan benih berukuran 0,75 inci lebih rendah bila dibandingkan dengan ikan berukuran 1,00 inci; bernilai sama pada suhu 24oC; dan lebih tinggi pada suhu 28oC. Pada keseluruhan ukuran, TKO per ekor ikan pada suhu 24oC lebih rendah dibandingkan TKO pada suhu 20oC dan 28oC.

0,00 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05 0,06 20 24 28 Suhu (oC) T KO ( m g O2 /e k o r/ ja m)

0,75 inci 1 inci 1,25 inci

Gambar 4. Tingkat konsumsi oksigen per ekor benih patin siam

Perbandingan nilai TKO per kilogram ikan antara ukuran 0,75, 1,00, dan 1,25 inci disajikan pada Gambar 5. Nilai TKO per kilogram ikan 0,75 inci jauh lebih besar daripada ukuran 1,00 dan 1,25 inci; sedangkan TKO per kilogram ikan ukuran 1,00 inci secara umum relatif lebih tinggi daripada ikan ukuran 1,25 inci. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nugroho (2006) yang mengemukakan bahwa oganisme berukuran kecil mengkonsumsi oksigen lebih banyak persatuan waktu dan berat daripada yang berukuran besar.

0 50 100 150 200 250 300 20 24 28 Suhu (oC) T KO (mg O2 /K g /j a m

) 0,75 inci 1 inci 1,25 inci

Gambar 5. Tingkat konsumsi oksigen per kilogram bobot tubuh benih patin siam Pada keseluruhan ukuran, TKO per kilogram ikan pada suhu 24oC lebih rendah bila dibandingkan TKO pada suhu 20oC dan 28oC. Hal ini tidak sesuai

(34)

21

dengan Berka (1986) yang menyatakan bahwa peningkatan suhu air sebesar 10°C (misalnya dari 10°C menjadi 20°C), akan meningkatkan konsumsi oksigen dua kali lipatnya. Perbedaan ini disebabkan karena selain dipengaruhi oleh suhu, TKO juga dipengaruhi oleh ukuran ikan, aktivitas ikan, dan toleransi terhadap stres (Berka, 1986; Boyd, 1992). Stickey (1979) menyatakan bahwa penurunan suhu drastis dapat mengakibatkan stres pada ikan. Pada suhu 20oC, ikan mengalami stres yang tinggi akibat penurunan suhu yang terlalu drastis sehingga dibutuhkan lebih banyak O2 untuk pemulihan kondisi tubuh dari stres. Hal ini sesuai dengan

Piper et al. (1986) yang menyatakan bahwa kebutuhan oksigen akan meningkat pada saat kadar CO2 tinggi dan stres penanganan.

Berdasarkan Gambar 4 dan 5, dapat disimpulkan bahwa suhu pengepakan optimum berdasarkan TKO terendah ialah suhu 24oC. Berdasarkan Gambar 3b dan 3c, diketahui bahwa oksigen terlarut akhir pada suhu 20oC dan 24oC memiliki nilai yang hampir sama meskipun kelarutan oksigen awalnya berbeda jauh. Oleh karena itu, pada penelitian padat tebar ini digunakan suhu 24oC sebagai suhu pengepakan optimum. Suhu 24oC juga dipilih karena suhu air pemeliharaan benih ikan patin berkisar antara 29-32oC (Slembrouck et al., 2005) dan suhu air untuk pembesaran berkisar antara 26,5-28oC Asyari (1992) sehingga tidak berbeda jauh dari suhu pengepakan. Hal yang sejalan juga diungkapkan oleh Jhingran dan Pullin (1985) yang menyatakan bahwa suhu untuk pengepakan tidak boleh melebihi 28oC dan suhu ideal untuk transportasi ikan tropis adalah 20-24oC.

4.3 Kualitas Air Selama Transportasi 4.3.1 Total Amonia Nitrogen (TAN)

Peningkatan TAN secara signifikan terjadi pada jam ke 2 dari 0,172-0,578 mg/l menjadi 1,367-3,880 mg/l (Gambar 6). TAN pada jam ke 2 sampai dengan jam ke 8 cenderung berfluktuasi dengan tren meningkat. Penurunan TAN diduga karena komponen TAN yang berbentuk NH3 menguap ke udara atau masuk ke

dalam darah ikan melalui proses difusi (Handayani dan Samsundari, 2005). Secara umum terjadi peningkatan TAN seiring dengan peningkatan padat pengepakan. Namun, TAN pada ukuran 1,25 inci dengan kepadatan 800 ekor/liter mengalami penurunan jika dibandingkan dengan kepadatan 600 ekor/liter. TAN yang

(35)

dihasilkan per-ekor ikan mengalami penurunan seiring peningkatan padat pengepakan.

Pada penelitian ini, TAN tidak berbahaya karena hampir seluruhnya berbentuk NH4+ yang tidak terlalu berbahaya bagi ikan. TAN berbentuk NH4+

pada pH dan suhu rendah (Boyd, 1990).

600 800 1000

Gambar 6. Konsentrasi TAN selama transportasi benih patin siam pada ukuran 0,75 (a), 1,00 (b), dan 1,25 inci (c)

4.3.2 Derajat Keasaman (Power of Hydrogen, pH)

Profil pH selama transportasi cenderung fluktuatif (Gambar 7). Secara umum terjadi penurunan pH selama transportasi dari jam ke 2. Penurunan pH antar perlakuan dan antar ukuran tidak menunjukan perbedaan yang besar. Penurunan pH pada keseluruhan perlakuan disebabkan oleh produksi CO2 yang

0 1 2 3 4 0 2 4 6 8 Jam ke-pH 200 400 600 800 0 1 2 3 4 T A N ( ppm) 400 600 800 1000 1200 (a) (b) (c) 0 1 2 3 4 pH

(36)

23

mengasamkan pH air di dalam kemasan. Nilai pH pada akhir perlakuan berada dibawah kisaran optimum pemeliharaan (Kriteria pH yang ideal menurut Pescod (1973) adalah 6,5-8,5), namun masih dapat ditoleransi oleh ikan. Wedemeyer (1996) mengatakan bahwa batas toleransi ikan terhadap pH pada perairan alami berkisar antara 5-9.

5,5 6 6,5

7 600 800 1000

Gambar 7. Nilai pH selama transportasi benih patin siam pada ukuran 0,75 (a), 1,00 (b), dan 1,25 inci (c)

4.3.3 Karbondioksida (CO2 )

Secara umum terjadi peningkatan kadar CO2 seiring dengan peningkatan

padat pengepakan (Gambar 8). Kadar CO2 tertinggi ialah 153,15 mg/l pada padat

pengepakan 800 ekor/liter pada ukuran 1,25 inci. Pada jumlah ikan yang sama kadar CO2 untuk ukuran 1,25 inci > 1,00 inci > 0,75 inci. CO2 dihasilkan dari

5,5 6 6,5 7 1 2 3 4 5 Jam ke-pH 200 400 600 800 5,5 6 6,5 7 1 2 3 4 5 pH 400 600 800 1000 1 2 3 4 5 1200 (a) (b) (c) pH

(37)

respirasi ikan, dimana setiap mililiter oksigen yang dikonsumsi ikan akan menghasilkan sekitar 0,9 mililiter CO (Berka, 1986) sehingga pada ikan dengan 2

kepadatan yang lebih tinggi dihasilkan CO yang lebih banyak. Peningkatan CO 2 2

akan menurunkan pH air (Berka, 1986) dan menurunkan kemampuan darah mengikat oksigen karena terjadi peningkatan CO dalam darah (Wedemeyer, 2

1996). Secara umum CO pada penelitian ini berada dalam kisaran lebih dari 50 2

mg/l yang berbahaya bagi ikan dalam waktu lama (Boyd, 1990) tetapi masih dibawah batas toleransi ikan perairan hangat yang mencapai 140-160 mg/l (Berka,1986). Oksigen yang rendah akan meningkatkan toksisitas CO Diduga 2.

kematian ikan diakibatkan oleh tingginya CO selama transportasi.2

0 20 40 60 80 100 120 140 160 600 800 1000 1200 C O 2 ( ppm ) (a) (b) (c)

Gambar 8. Konsentrasi karbondioksida (CO2) selama transportasi benih patin

siam pada ukuran 0,75 (a), 1,00 (b), dan 1,25 inci (c) 0 20 40 60 80 100 120 140 160 200 400 600 800 Kepadatan (ekor/liter) C O 2 ( ppm ) 0 20 40 60 80 100 120 140 160 400 600 800 1000 C O 2 ( m g/ l)

(38)

25

4.3.4 Oksigen Terlarut (Dissolved oxygen, DO)

Oksigen terlarut selama transportasi mengalami penurunan dari 9,07-9,8 mg/l menjadi 3,18-6,36 mg/l. Oksigen terlarut pada akhir transportasi semakin rendah seiring peningkatan padat pengepakan (Gambar 9). Kondisi akhir oksigen terlarut pada seluruh perlakuan adalah diatas 2 mg/l sehingga tidak berbahaya bagi ikan (Pescod, 1973). 600 800 1000 1200 0 2 4 6 8 10 12 D O ( m g /l)

Gambar 9. Konsentrasi DO selama transportasi benih patin siam pada ukuran 0,75 (a), 1,00 (b), dan 1,25 inci (c)

Oksigen terlarut mengalami penurunan yang relatif besar pada 2 jam pertama bila dibandingkan 6 jam berikutnya pada seluruh perlakuan. Hal ini sesuai dengan Pescod (1973) yang menyatakan bahwa konsumsi oksigen tertinggi pada ikan terjadi 15 menit pertama dari saat transportasi. Terjadi peningkatan perbandingan penggunaan oksigen 2 jam pertama dengan 6 jam berikutnya seiring peningkatan padat pengepakan kecuali pada ukuran 1,25 inci dengan padat

0 2 4 6 8 10 12 0 2 4 6 8 Jam ke-D O ( m g /l) 200 400 600 800 0 2 4 6 8 0 2 4 6 8 10 12 0 2 4 6 8 1000 (a) (b) (c) 400 600 800 D O ( m g /l)

(39)

pengepakan 800 ekor/liter yang mengalami penurunan dibandingkan padat pengepakan yang 400 ekor/liter dan 600 ekor/liter. Hal ini menunjukan bahwa secara umum peningkatan padat pengepakan mengakibatkan penggunaan oksigen di 2 jam awal transportasi mengalami peningkatan dan penggunaan oksigen 6 jam berikutnya mengalami penurunan.

4.4. Kelangsungan Hidup (Survival Rate, SR) 4.4.1. Selama transportasi

Berdasarkan hasil analisis ragam dan uji berganda Duncan, diketahui bahwa kelangsungan hidup benih ikan berukuran 0,75 inci pada akhir transportasi (setelah 8 jam, H-0) pada kepadatan 600, 800, dan 1000 ekor/liter (Tabel 4) tidak saling berbeda nyata namun berbeda nyata bila dibandingkan dengan kepadatan 1200 ekor/liter (Lampiran 3). Kematian ikan pada kepadatan 1200 ekor/liter diduga karena CO2 yang tinggi (Boyd, 1990; Berka, 1986), oksigen terlarut yang

rendah, dan stres akibat kepadatan tinggi (Wedemeyer, 1996). Tabel 4. Kelangsungan hidup benih patin siam selama transportasi

Kepadatan (ekor/liter) SR (%) 200 400 600 800 1000 1200 0,75 inci Jam ke-0 100 100 100 100 2 100 100 100 100 4 100 100 100 100 6 100 100 100 100 8 99,78 a 99,46 a 99,17a 85,03b 1,00 inci Jam ke-0 100 100 100 100 2 100 100 100 100 4 100 100 100 100 6 100 100 100 100 8 99,94 a 99,17a 98,27b 97,50c 1,25 inci Jam ke-0 100 100 100 100 2 100 100 100 100 4 100 100 100 100 6 100 100 100 100 8 100 a 99,92 a 99,67 a 98,42b Keterangan: Huruf superscript yang sama menunjukkan tidak adanya pengaruh perlakuan

(40)

27

Kelangsungan hidup ikan berukuran 1,00 inci, pada akhir transportasi, untuk kepadatan 400 dan 600 ekor/liter tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata (Lampiran 3). Begitu pula dengan kepadatan 800 dan 1000 ekor/liter. Pada akhir transportasi, banyak ditemukan ikan yang lemas dan berkumpul di permukaan air. Hal ini diduga karena kandungan oksigen terlarut yang rendah dan konsentrasi CO2 yang tinggi. SR ikan berukuran 1 inci pada H0 berkisar antara

97,5-99,94 %.

Pada benih ikan berukuran 1,25 inci, SR di akhir perlakuan (H0) pada kepadatan 200, 400, 600, dan 800 ekor/liter menunjukan perbedaan nyata hanya pada kepadatan 800 ekor/liter (Lampiran 3). Sama seperti kondisi benih ikan berukuran 1 inci pada akhir transportasi, banyak ditemukan ikan yang lemas dan berkumpul di permukaan air karena kandungan oksigen terlarut yang rendah dan konsentrasi CO2 yang tinggi. SR pada H0 untuk benih berukuran 1,25 inci

berkisar antara 98,42-100%.

4.4.2. Pasca transportasi

Kematian benih ikan berukuran 0,75 dan 1 inci masih terjadi sampai hari pertama pemeliharaan pasca transportasi (Gambar 10). Hal ini disebabkan oleh stres karena rendahnya oksigen dan tingginya CO2 pada saat transportasi. Pada

pemeliharaan hari kedua dan dan ketiga, tidak lagi ditemukan kematian benih berukuran 0,75 dan 1,00 inci dalam jumlah yang penting. Hal yang berbeda terjadi pada benih berukuran 1,25 inci. Kematian masih berlanjut hingga pemeliharaan hari ketiga. Hal ini diduga selain karena rendahnya oksigen dan tingginya CO2

pada saat transportasi, juga karena adanya luka lecet akibat gesekan dengan sesama benih ikan. Sirip benih ikan berukuran 1,25 inci sudah lebih keras dan tajam jika dibandingkan sirip ikan berukuran 0,75 dan 1,00 inci. Ikan yang mati diduga ialah ikan yang pada akhir transportasi mengalami stress yang dicirikan dengan kondisi lemas, pingsan, atau berkumpul di permukaan air.

Pada seluruh perlakuan pada ikan berukuran 0,75 inci, terjadi penurunan SR seiring peningkatan padat pengepakan. Kelangsungan hidup benih ikan patin siam berukuran 0,75 inci pada tiga hari pasca transportasi untuk kepadatan 600, 800, dan 1000 tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata bila dibandingkan

(41)

dengan kepadatan 1200 ekor/liter (Lampiran 3). Berdasarkan kelangsungan hidup, kepadatan yang paling efektif pada pengepakan benih ikan berukuran 0,75 inci ialah 1000 ekor/liter.

Untuk benih ikan berukuran 1,00 inci, kelangsungan hidup menurun seiring dengan meningkatnya padat pengepakan. Kepadatan pengepakan sebesar 600, 800, dan 1000 ekor/liter memberikan pengaruh yang berbeda nyata bila dibandingkan dengan kepadatan pengepakan 400 ekor/liter (Lampiran 3). Jika ditinjau dari kelangsungan hidup, kepadatan yang paling efektif pada pengepakan benih ikan berukuran 0,75 inci ialah 400 ekor/liter.

600 800 1000

Gambar 10. Kelangsungan hidup benih patin siam setelah transportasi selama 8 jam (H0) pada ukuran 0,75 (a), 1,00 (b), dan 1,25 inci (c)

Pada benih ikan berukuran 1,25 inci, kematian dalam jumlah besar masih terjadi sampai hari kedua pasca transportasi pada seluruh kepadatan. Kematian ikan pada hari ketiga sudah menurun pada kepadatan 400, 600, dan 800 ekor/liter,

70 75 80 85 90 95 100 H0 H1 H2 H3 Waktu SR ( % ) 200 400 600 800 70 75 80 85 90 95 100 SR ( % ) 400 600 800 1000 1200 (a) (b) 70 75 80 85 90 95 100 SR ( % ) (c)

(42)

29

bahkan sudah tidak terjadi lagi pada kepadatan 200 ekor/liter. Perbedaan kepadatan pengepakan 200, 400, 600,dan 800 ekor/liter tidak menunjukan pengaruh yang berbeda nyata pada kelangsungan hidup benih patin siam (Lampiran 3). Kepadatan pengepakan yang paling efektif untuk benih berukuran 1,25 inci, berdasarkan SR, adalah 800 ekor/liter.

4.5 Pemeliharaan Ikan Pasca Transportasi

Peningkatan padat pengepakan memengaruhi kondisi ikan pasca transportasi. Tingkat stres yang tinggi akibat kualitas air yang buruk dan kepadatan tinggi mengakibatkan lemahnya respon ikan terhadap gangguan dan rendahnya nafsu makan ikan pasca transportasi. Hari ke-0 (H0) adalah kondisi saat perlakuan berakhir (setelah 8 jam transportasi). Secara umum, gerakan ikan dan nafsu makan sudah normal pada hari ke-2 setelah transportasi. Namun, pada kepadatan 1000 ekor/liter benih ukuran 1,00 inci, gerakan ikan baru normal pada hari ke-3 setelah transportasi (Tabel 5 dan Tabel 6).

Tabel 5. Gerakan benih patin siam pasca transportasi Kepadatan (ekor/liter) Gerakan 200 400 600 800 1000 1200 0,75 inci Hari ke- 0 +++ +++ +++ ++ 1 ++++ ++++ ++++ +++ 2 ++++ ++++ ++++ ++++ 3 ++++ ++++ ++++ ++++ 1,00 inci Hari ke- 0 ++++ ++++ ++ + 1 ++++ ++++ +++ ++ 2 ++++ ++++ ++++ +++ 3 ++++ ++++ ++++ ++++ 1,25 inci Hari ke- 0 ++++ +++ ++ ++ 1 ++++ ++++ ++++ +++ 2 ++++ ++++ ++++ ++++ 3 ++++ ++++ ++++ ++++

Keterangan: ++++ = sangat lincah; +++ = lincah; ++ = lemas namun masih merespon gangguan; + = lemas

(43)

Tabel 6. Respon makan benih patin siam pasca transportasi Kepadatan (ekor/liter) Respon makan 200 400 600 800 1000 1200 0,75 inci Hari ke-0 +++ ++ ++ ++ 1 ++++ ++++ ++++ +++ 2 ++++ ++++ ++++ ++++ 3 ++++ ++++ ++++ ++++ 1,00 inci Hari ke-0 +++ +++ + + 1 ++++ ++++ ++ ++ 2 ++++ ++++ ++++ ++++ 3 ++++ ++++ ++++ ++++ 1,25 inci Hari ke-0 +++ +++ ++ + 1 ++++ +++ +++ +++ 2 ++++ ++++ ++++ ++++ 3 ++++ ++++ ++++ ++++

Keterangan: ++++ = sangat lincah; +++ = lincah; ++ = lemas namun masih merespon gangguan; + = lemas

4.6. Efisiensi Ekonomi

Asumsi yang digunakan adalah transportasi benih ke Palembang dan Banjarmasin menggunakan jalur udara; sedangkan ke Lampung lewat jalur darat. Transportasi ke Palembang, Banjarmasin, dan Lampung seluruhnya menghabiskan waktu 8 jam perjalanan. Hal yang membedakan adalah komponen biaya transportasi (Lampiran 4). Waktu transportasi dihitung dari saat ikan dikemas sampai ikan dibuka di lokasi tujuan.

Berdasarkan perbandingan biaya transportasi (Tabel 7) didapatkan bahwa perlakuan padat pengepakan yang menghasilkan biaya transportasi yang paling efisien untuk benih patin ukuran 0,75 inci ialah padat pengepakan 1000 ekor/liter dengan biaya transportasi Rp 38/ekor untuk ke Banjarmasin, Rp 28/ekor untuk transportasi ke Palembang, dan Rp 5/ekor untuk transportasi ke Lampung. Padat pengepakan yang paling efisien untuk benih patin berukuran 1,00 inci ke Palembang dan Banjarmasin adalah kepadatan 800 ekor/liter dengan biaya transportasi masing-masing Rp 69 dan Rp 55 per ekor; sedangkan untuk ke Lampung kepadatan 400 ekor/liter dengan biaya transportasi Rp 14/ekor. Untuk benih berukuran 1,25 inci, padat pengepakan transportasi yang paling efisien

(44)

31

adalah 800 ekor/liter dengan biaya Rp 50/ekor untuk transportasi ke Palembang Rp 63/ekor untuk transportasi ke Banjarmasin; dan Rp 20/ekor untuk transportasi ke Lampung. Seluruh biaya transportasi telah memperhitungkan resiko kematian sampai hari ke-3 pasca transportasi sehingga baik pembeli maupun penjual tidak dirugikan.

Tabel 7. Perbandingan biaya antar perlakuan pada transportasi benih patin siam Kepadatan (ekor/liter)

Ukuran benih ikan 200 400 600 800 1000 1200 0,75 inci

SR (%) 99 99 99* 82

Biaya per ekor Banjarmasin (Rp) 55 44 38* 49 Biaya Per ekor Palembang (Rp) 40 33 28* 40 Biaya Per ekor Lampung (Rp) 8 6 5* 18 1,00 inci

SR (%) 98* 88 82 77

Biaya per ekor Banjarmasin (Rp) 82 72 69* 70 Biaya Per ekor Palembang (Rp) 60 56 55* 58 Biaya Per ekor Lampung (Rp) 14* 19 23 28 1,25 inci

1,25 inci : SR (%) 91 87 86 87* Biaya per ekor Banjarmasin (Rp) 176 105 77 63* Biaya Per ekor Palembang (Rp) 129 80 61 50*

Biaya Per ekor Lampung (Rp) 34 27 23 20*

Keterangan: * Biaya yang paling murah

Kepadatan pengepakan dengan SR tertinggi tidak selalu memberikan biaya pengiriman terendah seperti pada benih berukuran 1 inci untuk pengiriman ke Banjarmasin dan Palembang menggunakan jalur udara. Hal ini sesuai dengan Berka (1986) yang menyatakan bahwa apabila biaya transportasi tinggi dan nilai ikan yang diangkut cenderung rendah, maka kepadatan dalam setiap unit kemasan (kantong) dapat ditingkatkan meskipun jumlah kematian ikan per kemasan diduga akan lebih tinggi bila dibandingkan dengan kemasan berkepadatan ikan yang lebih sedikit.

Kepadatan pengepakan dengan biaya yang paling efisien tergantung moda transportasi dan komponen biaya transportasi yang dapat berubah jika komponen biaya transportasi mengalami perubahan biaya. Kepadatan pengepakan yang efisien akan menurunkan biaya transportasi yang bermanfaat untuk menurunkan harga jual benih di daerah pemasaran (Lampung, Banjarmasin, dan Palembang) atau meningkatkan keuntungan distributor benih patin siam di Bogor.

(45)

5.1 Kesimpulan

Kepadatan yang digunakan mempengaruhi biaya transportasi dimana untuk benih berukuran 0,75 inci biaya transportasi terendah diperoleh pada padatan pengepakan 1000 ekor/liter melalui jalur darat maupun udara; untuk benih 1,00 inci biaya terendah pada kepadatan 400 ekor/liter untuk transportasi melalui jalur darat dan pada kepadatan 800 ekor/liter untuk transportasi melalui jalur udara; dan untuk benih 1,25 inci biaya terendah pada kepadatan 800 ekor/liter untuk semua jalur transportasi.

5.2 Saran

Disarankan untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh pengepakan ulang terhadap sintasan benih ikan patin siam dengan kepadatan optimum sehingga penelitian ini dapat diaplikasikan pada waktu transportasi yang lebih lama. Selain itu diperlukan juga penelitian mengenai pengaruh zeolit, arang aktif, dan pemingsanan ikan terhadap kepadatan optimum, dan penelitian mengenai perlakuan pasca transportasi.

Untuk penentuan padat pengepakan benih disarankan untuk menggunakan kepadatan optimum, namun harus disesuaikan pula dengan kondisi benih, jarak tempuh transportasi, dan biaya transportasi.

(46)

DAFTAR PUSTAKA

Berka R. 1986. The Transport of Live Fish. Review. EIFAC Tech. Pap.

Boyd CE. 1990. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Alabama: Auburn University

[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008a. Data Potensi, Produksi, dan Ekspor/impor Kelautan dan Perikanan 2007. Jakarta: DKP

[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008b. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2008. Jakarta: DKP

Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta: Kanisius

Effendi I. 2004. Pengantar Akuakultur. Jakarta: Penebar Swadaya

Frose R. 1985. Improved Fish Transport in Plastic Bag. ICLARM Newsletter 8 (4): 8-9.

Ghozali MFR. 2007. Pengaruh Penambahan Zeolit dan Karbon Aktif Terhadap Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan Maanvis (Pterophylium scalare) pada Pengangkutan Sistem Tertutup [skripsi]. Bogor: Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor Garbhards VS. 1965. Transport of Juvenile Trout in Sealed Container. The

Progressive Culturist 27 (1): 1-6.

Goddard S. 1996. Feed Management in Intensive Aquaculture. New York: Chapman and Hall.

Hamid MA, Wibowo WB, Irwan, Purba YR, Lubis RA, Furusawa A. 2007. Manual Pembenihan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus). BBAT Jambi dan JICA.

Handayani H, Samsundari S. 2005. Parasit dan Penyakit Ikan. Malang: UMM Press

Huet M. 1971. Text Book of Fish Culture Cultivation. London: Fishing New Books Ltd.

Jhingran VG, Pullin RSV. 1965. Hatchery Manual of Common Carp, Chinese, and Indian Major Carp. ICLARM Studies and Reviews II. Asian Development Bank: 74-80.

Khairuman, Amri K. 2002. Buku Pintar 15 Ikan Konsumsi. Jakarta: Agromedia Pustaka

Kordi MGHK, Tancung AB. 2007. Pengelolaan Kualitas Air dalam Budidaya Perairan. Jakarta: Rineka Cipta

Nemoto CM. 1957. Experiment with Methods for Asia Transport of Live Fish.Proggresive. Fish Culturist 19 (4): 147-157

Nugroho A. 2006. Bioindikator Kualitas Air. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti

(47)

Numberi F. 2005. Revitalisasi Perikanan Budidaya 2006-2009. Jakarta: DKP Nurhamidah D. 2007. Pengaruh Padat Penebaran pada Kinerja Pertumbuhan

Benih Ikan Patin Pangasius hypophthalmus dengan Sistem Resirkulasi [skripsi]. Bogor: Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor

Pescod MB. 1973. Investigation of Rational Effluent and Stream Standar for Trophical Countries. Bangkok: AIT

Sanusi HS, Kaswadji RF, Nurjaya IW, Rafni R. 2005. Kajian Kapasitas Asimilasi Beban Pencemaran Organik dan Anorganik di Teluk Jobokuto, Kab. Jepara, Jawa Tengah.Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia 12(1): 9-16

Slembrouck J, Komarudin O, Maskur, Legendre M. 2005. Petunjuk Teknis Pembenihan Ikan Patin Indonesia, Pangasius djambal. Jakarta: Karya Pratama

Soemirat J. 2005. Xenobiotik. Di dalam: Soemirat J, editor. Toksikologi Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Spotte S. 1970. Fish and Invertebrate Culture Management in Closed System Second Edition. New York: Jon Willey

Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik. Sumantri, B., penerjemah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Stickney RR. 1979. Principles of Warm Water Aquaculture. New York: John Willy and Sons

Supendi A. 2006. Pemanfaatan Zeolit dan Karbon Aktif pada Sistem Pengepakan Tertutup Ikan Corydoras (Corydoras aenus) Berorientasi Ekspor [skripsi]. Bogor: Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor

Susanto H, Amri K. 1998. Budidaya Ikan Patin. Jakarta: Penebar Swadaya.

Trobos. Februari 2010. Sesumbar Jadi yang Terbesar. Edisi 125, Tahun XI: 68-71 Trong TQ, Hao NV, Griffiths D. 2002. Status of Pangasiid Aquaculture in

Vietnam. MRC Technical Paper No 2. Phnom Penh: Mekong River Commision

Walpole RE. 1995. Pengantar Statistika. Sumantri, B., penerjemah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Wedemeyer GA. 1996. Physiology of Fish in Intensive Culture Systems. New York: Chapman and Hall

(48)

Gambar

Tabel 1. Kondisi umum benih yang digunakan
Gambar 2. Kelangsungan hidup benih patin siam ketika dipuasakan
Tabel 3. Gerakan benih patin siam saat dipuasakan  Ukuran ikan  Hari ke
Gambar 3. Kondisi oksigen terlarut (DO) pada perlakuan suhu untuk benih patin  siam berukuran 0,75 inci (a), 1,00 inci (b), dan 1,25 inci (c)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Analisis secara deskriptif dilakukan pada preparat ulas darah dan hematokrit ikan patin siam ( Pangasius hypopthalmus ), dengan membandingkan preparat ulas darah dan hematokrit

Telah dilakukan penelitian dengan tujuan mengetahui salinitas air yang sesuai untuk derajat penetasan telur dan kelangsungan hidup larva ikan patin siam ( Pangasius hypopthalmus

Pada Tabel 4 mengenai pro fi l asam lemak minyak ikan patin Jambal terbukti memiliki kandungan asam lemak tidak jenuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan minyak ikan patin

Pengamatan terhadap sel darah merah dan persentase nilai hematokrit patin siam dilakukan antara konsentrasi tertinggi dan diasumsikan beracun (39 ppm),

Pengamatan terhadap sel darah merah dan persentase nilai hematokrit patin siam dilakukan antara konsentrasi tertinggi dan diasumsikan beracun (39 ppm),

menentukan nilai prevalensi dan intensitas serangan ektoparasit ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) pada kelompok budidaya ikan sistem keramba jaring apung di Sungai

Pengamatan terhadap sel darah merah dan persentase nilai hematokrit patin siam dilakukan antara konsentrasi tertinggi dan diasumsikan beracun (39 ppm),

Penulis dapat me- nyelesaikan laporan penelitian dengan judul “Pengaruh Penambahan Kunyit Pada Pakan Untuk Pertumbuhan Dan Kelangsungan Hidup Terhadap Benih Ikan Patin (Pangasius